Pengembangan Komunitas Asean - Tantangan dan Strategi Pengembangan Kota-Kota Pada Masa Kini dan Masa Depan.

1

PENGEMBANGAN KOMUNITAS ASEAN:
Tantangan dan Strategi Pengembangan Kota-Kota
Pada Masa Kini dan Masa Depan
I Ketut Ardhana1
Abstract
Komunitas Asean sebagai mana yang diketahui sekarang ini dapat dipahami dengan baik
apabila kita melihatnya dari dinamika migrasi dan kesejarahan yang telah terjadi dari masa lalu
hingga sekarang ini. Ini terjadi karena terbentuknya komunitas Asean ini merupakan produk
sosiologis dan sejarah yang menginginkan akan adanya satu badan di kawasan regional dalam
menghadapi berbagai persoalan yang bersifat multikompleks baik dari aspek sosial budaya,
politik, hukum dan politik. Ini dirasakan semakin signifikan, karena apa yang berkembang di
masa lalu tampaknya sudah mengalami perubahan-perubahan yang menuntut sikap cerdas
dalam menyikapinya sehingga dinamika kehidupan komunitas Asean dapat sejajar sebagaimana
yang terjadi dengan warga lainnya di kawasan regional Asean. Ada beberapa pertanyaan yang
muncul pertama: bagaimana dinamika komunitas Asean dilihat perseptif migrasi dan historis,
kedua: apa tantangan komunitas Asean dalam kaitannya dengan harmoni dan konflik muncul ke
permukaan di era yang global ini, dan ketiga makna kearifan apa yang dapat dikembangkan
dalam menyusun strategi kebijakan dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan kebahagian
komunitas Asean.

Kata kunci: migrasi dan sejarah, regionalisme dan pembangunan kota-kota pada Komunitas
Asean

I. Pendahuluan
Tema yang membahas peran kota-kota di Asia Tenggara dalam konteks menuju Komunitas
Asean merupakan salah satu hal yang signifikan dalam upaya pengedepanan soft diplomacy
sebagaimana diprioritaskan oleh negara-negara ASEAN dalam menjaga hubungan antar bangsa
yang baik (goodneighbouring countries). Pemahaman dinamika kota-kota di Asia Tenggara
memiliki makna yang penting dalam upaya penguatan kesadaran historis antar penduduk di
kawasan ini dalam kaitannya dengan pembentukan komunitas Asean dalam konteks kehidupan
masyarakat yang sejahtera dan damai (cf. Chandler, 1989). Konsep sejahtera dan damai telah
terbentuk dalam perjalanan sejarah kita, terutama apabila kita melihat kembali ke masa lalu. Di
sini tampak, bahwa warga komunitas Asean sudah memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang
tersebar di kawasan itu yang berlandaskan akan ajaran filosofis, agama dan nilai-nilai adiluhung
lainnya. Ini dapat dipahami, karena jauh sebelum terbentuknya negara modern (modern state) di
Asia Tenggara ini telah terjadi sebuah kehidupan yang berbasis pada suku bangsa (nation) yang
memiliki kearifan yang berbasis pada aturan atau tradisi yang sudah diwarisi secara turun
temurun (Kartodirjo, 1977). Namun demikian, hubungan negara bangsa ini yang harmoni
(nation-state relationship) mengalami gangguan ketika peran negara (state) menghegemoni
keberadaan suku bangsa itu (nation), sehingga memunculkan persoalan-persoalan tidak hanya di

tahapan negara, tetapi juga di akar rumput (grass roots). Padahal, kenyataannya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara kedua aspek ini negara dan suku bangsa ini adalah tidak
1

Guru Besar Sejarah Asia pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana, Ketua Pusat Kajian Bali
Universitas Udayana dan Sekretaris Tim Ahli Pemerintah Kabupaten Gianyar. Email address:
phejepsdrlipi@yahoo.com, mobile: 08159319373.

2

perlu dipertentangkan, namun diupayakan untuk dapat hidup secara bersinergi dalam penguatan
kehidupan berbangsa dan bernegara itu (the Strengthening of the nation state building) (Dahm
dan Ptak, 1999). Oleh karena itu, asumsi dasar yang dapat diangkat dalam kaitannya ini adalah
seberapa jauh negara dan masyarakat dapat memanfaatkan nilai-nilai kearifan yang dimilikinya
itu? Semakin mereka dapat memanfaatkan dan dengan sendirinya mempertahankan nilai-nilai
yang telah dimiliki secara turun termurun itu, maka dapat dianggap semakin cerdas kehidupan
masyarakat dalam kaitannya dengan hubungan negara bangsa ini dalam kehidupan modern dan
postmodern.
II. Pentingnya Warisan Budaya bagi Pembangunan Kota-kota pada Komunitas Asean
Sebagaimana disampaikan di atas bahwa konsep migrasi dan sejarah akan membantu

menjelaskan hubungan negara bangsa yang terjadi selama ini baik dalam kehidupan harmoni
maupun dalam kehidupan yang diwarnai konflik. Ini bisa dimengerti karena kehidupan
masyarakat di kawasan Asean sangat dinamis. Oleh karena itu, persoalan konflik tidak dapat
dihindari, namun bukan berarti tidak bisa diselesaikan, dalam arti pengelolaan konflik (conflict
management) sangat diperlukan. Ada sebuah contoh yang baik yang dapat dilihat dengan
persoalan ini. Di masa lalu, kehidupan sebelum terbentuknya negara modern (modern state),
dapat dikatakan dalam harmoni, karena adanya ikatan agama yang sama yaitu Buddha (Ardhana,
dan Wijaya, 2015b), sebagaimana yang terjadi di perbatasan Thailand dan Kamboja. Mereka
dipersatukan dengan ideologi agama. Akan tetapi setelah terbentuknya negara modern, mereka
terpisahkan satu dengan yang lainnya berdasarkan perbedaan kewarganegaraan (citizenship). (Cf.
Ardhana, 2015a).
Akibatnya adalah mereka merasakan terpisah antara satu dengan yang lain meskipun memiliki
agama yang sama, tetapi secara politik pemerintahan mereka tidaklah sama karena perbedaan
kewarganegaraa itu sebagai orang Thailand dan orang Kamboja (Ardhana, 2007). Sulit kita bisa
membayangkan, misalnya bagaimana suku bangsa yang dahulunya bersatu itu karena kesamaan
agama yang sama, kemudian mengalami konflik di tahun 2000an, ketika adanya perbedaan
kewarganegaraan yang dipicu oleh kesadaran sebuah situs budaya dan agama bagi kepentingan
ekonomi negara? Inilah yang terjadi pada kasus Preah Vihear Temple yang terletak di perbatasan
antara Thailand dan Kamboja. Inilah sebuah contoh bagaimana identitas itu dikonstruksikan (Cf.
Ardhana, 2010b) dalam hal ini sebagai orang Thai dan Orang Kambodja. Memang di masa lalu

keberadaan Preah Vihear Temple itu di wilayah perbatasan. Di satu pihak pada saat itu, keadaan
negara yang mengalami peperangan di tahun-tahun sebelumnya tampaknya pemerintah
Kambodja kurang memperhatikan keberadaan Preah Vihear Temple itu.
Sementara, pemerintah Thailand yang sudah mengalami kemajuan dengan industri pariwisatanya
itu berharap keberadaan Preah Vihear Temple juga berada di wilayah negaranya. Untuk itu,
untuk dapat meningkatkan industri pariwisatanya, pemerintah Thailand berupaya terus
mengembangkan semua kawasannya untuk bisa dijadikan kawasan wisata (tourist destination),
sehingga perolehan devisa negara dapat semakin ditingkatkan. Misalkan dengan menjadikan
kawasan Preah Vihear Temple sebagai salah satu “daily tour trip”nya. Maka pembangunan
kawasan ini pun dilaksanakan. Akan tetapi, pemerintah Kamboja mengklaim pula bahwa
kawasan Preah Vihear Temple itu menjadi bagian dari wilayah negaranya. Akibat klaim-klaim
kedua pemerintah ini maka menimbulkan konflik antar negara yang akhirnya dapat diselesaikan
melalui pertemuan-pertemuan tingkat Asean. Apa yang terjadi pada kasus Preah Vihear Temple

3

ini merupakan pelajaran yang berharga buat kita (lesson learnt) untuk belajar dari kasus kedua
negara ini yaitu pentingnya untuk menjaga warisan budaya (cultural heritage) yang sudah
diwariskan kepada kita.
III. Nilai Warisan Budaya dan Tantangan Pembangunan Kota-kota pada Komunitas

Asean
Asumsi akan pentingnya warisan budaya tampaknya tidak diragukan lagi bagi komunitas Asean.
Sebagaimana dapat dilihat sebelumnya domain budaya seringkali berubah menjadi domain
politik. Namun, paling tidak hal ini memberikan perhatian yang berharga bagi kita, bagaimana
upaya untuk menjaga warisan budaya kita dapat dilakukan secara berkesinambungan, sehingga
klaim-klaim budaya sebagaimana marak terjadi akhir-akhir ini dapat dihindari. Persoalan
preservasi budaya (cultural preservation) ini tampaknya tidak hanya menjadi kepentingan etnis
atau suku bangsa tertentu saja, tetapi sudah menjadi kepentingan negara untuk melindunginya.
Bahkan, badan dunia seperti UNESCO berupaya keras agar warisan budaya yang memiliki nilainilai universal dapat diangkat sebagai warisan budaya dunia (Organization of World Heitage
Cities). Dunia menyadari akan pentingnya budaya lokal untuk bisa dipertahankan dalam
kehidupan modern ini. Namun kenyataannya, tidak semuanya berjalan seperti yang diharapkan,
misalnya bagaimana budaya lokal Hawaii kehilangan identitasnya karena proses westernisasi
atau “Amerikanisasi” berlangsung cepat sehingga budaya lokalnya tergerus oleh proses
modernisasi itu sendiri. Hal yang berbeda terjadi di Bhutan, dimana negara ini diakui sebagai
negara yang memiliki indek kebahagiaan yang paling tinggi di dunia (index of happiness). Jadi,
sekarang ini selain indek kesejahteraan yang diukur dari income masyarakat, juga diperlukan
ukuran indeks kebahagiaan ini. Dengan demikian, kita bisa melihat meskipun kehidupan sebuah
kota (Sjoberg, 1965) atau masyarakat dilihat dari pembangunan secara fisik kotanya tidak
canggih (sophisticated), namun dengan kesederhanaan yang dimilikinya itu, masyarakat itu
merasakan rasa kebahagiaan yang tinggi. Pertanyaannya adalah apakah masyarakat kita yang

secara materi kekurangan, namun mereka merasakan kebahagiaan ini? Inilah tantangan yang
dihadapi oleh komunitas Asean sekarang ini tidak hanya masa sekarang, tetapi masa yang akan
datang.
IV. Strategi Kebijakan Komunitas Asean Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang
Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat, pengusaha dan pemerintah untuk mensinergikan
kebijakan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan komunitas Asean ini.
Beberapa contoh dapat dilihat misalnya bagaimana upaya pemerintah untuk memberikan
dukungan pada kegiatan komunitas masyarakat lokal sehingga apa yang dilakukan oleh
pemerintah dalam melaksanakan program pembangunannya juga dirasakan sebagai bagian dari
kegiatan pembangunan masyarakat. Di Thailand misalnya dapat dilihat keberhasilan pemerintah
dalam mengelola kerajinan masyarakat lokal (indigenous people) yang mengalami perubahan
dari nuansa negatif ke arah yang lebih positif. Dari catatan sejarah dapat diketahui bahwa
wilayah-wilayah komunitas lokal di daerah pegunungan di Thailand Utara (hilltribes) yang
banyak dihuni oleh orang Karen, Shan dan sebagainya memiliki kebiasaan yang mempergunakan
opium (candu) sebagai komoditas utama pada abad-abad sebelumnya terutama pada abad ke-18
dan ke-19. Pada saat itu, candu tidak merupakan barang terlarang seperti sekarang ini, bahkan
candu itu merupakan komoditas penting karena dianggap obat yang sangat dibutuhkan oleh
pemerintah kerajaan dan dapat diperjualbelikan kepada kerajaan-kerajaan lainnya seperti yang
terjadi di daratan dan dunia kepulauan (the mainland and the insular of Southeast Asia).


4

Demikianlah perkembangan dari sebuah kota seperti di Chiang Rai, Chiang Mai (Thailand
Utara) yang berbatasan dengan Mae Sae di Myanmar (dahulu Birma) yang ramai dikunjungi
karena aktifitas perdagangan ini. Bahkan, oleh pemerintah kerajaan saat itu, dibuka lahan yang
luas untuk perkebunan candu dan juga dibangun gudang-gudang yang diharapkan mampu
menampung hasil panen masyarakat lokal itu.
Akan tetapi, pemerintah Thailand dalam implementasi kebijakannya tidaklah menganggap semua
hal yang berdasarkan tradisi masa lalu adalah negatif. Hal yang tidak sesuai dengan paradigma
pembangunan sekarang dirubah persepsinya, dan pemerintah berupaya menjaga warisan budaya
yang dianggap penting yang bisa menjadi pelajaran dari pengalaman masa lalu itu. Ini berarti,
bahwa gudang-gudang penyimpan candu di masa lalu, bukannya dibongkar, tetapi dijadikan
museum yang sekaligus menjadi obyek wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan domestic
dan internasional. Bahkan, di museum ini diperlihatkan tentang bagaimana kehidupan tradisi
masa lalu orang-orang lokal (hilltribes), sekaligus memberikan ketrampilan baru kepada mereka,
tidak dalam hal mengelola candu tetapi dialihkan dengan memberikan ketrampilan membuat
kerajinan keramik yang merupakan produk penting di kawasan itu. Ini mengingatkan kita, akan
bagaimana ramainya jalan sutra (silkroads) di daratan Asia yang menghubungkan Eropa dan
Asia sebagaimana pernah dilakui oleh pedagang Eropa terkenal yaitu Marcopolo. Tidak hanya
bagi penduduk dari Thailand sendiri yang mendapat berkah dari pengembangan industri wisata

Thailand, tetapi juga kehidupan etnis lainnya di luar Thailand seperti di Laos. Ini bisa dimengerti
karena Laos sebagai (landlocked country) “negara yang terkunci” yang tidak memiliki akses ke
laut dan dikelilingi oleh negara-negara lainnya seperti Thailand, Vietnam, Kamboja dan
sebagainya membuat negeri ini ketergantungan secara ekonomi dengan Thailand. Dalam hal ini
orang Laos yang disebut Lao, dipekerjakan di kerajinan-kerajian pariwisata Thailand dan bahkan
di pusat kegiatan pariwisata seperti hotel, restaurant, destinasi wisata dan sebagainya. Ini
menunjukkan bahwa adanya harmoni di kalangan orang Thailand dan Laos untuk bersinergi
dalam menunjang kawasan wisata Thailand yang secara tidak langsung mendukung upaya
pembangunan berkelanjutan di komunitas Asean itu pada umumnya.
Komunitas Asean sangat menyadari akan pentingnya memiliki keunikan atau karakteristik
pengembangan kawasannya, tidak hanya menyangkut masalah kekayaan sumber daya alam atau
kebudayaan fisik (tangible culture), tetapi juga mencakup aspek kebudayaan non fisik
(intangible culture). Sangat disadari betapa pentingnya untuk merevitalisasi pusaka budaya yang
telah diwariskan dari generasi sebelumnya kepada mereka termasuk pula dalam hal merestorasi
tinggalan-tinggalan bangunan lama (Ardhana dan Setiawan, 2014b), sehingga dapat
dipergunakan untuk mengembangkan kawasan itu untuk pengembangan kawasan wisata
(Ardhana, 2014a). Malaysia sebagai contohnya telah mampu mengangkat dan merestorasi
bangunan-bangunan Portugis untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Malakka.
Sebagaimana diketahui dari tulisan Thomas Pires, berjudul Suma Oriental yang merekam
tentang apa yang terjadi berkenaan dengan fungsi Malakka pada abad ke-17 dan abad ke-18.

Pada abad ini, masyarakat di kawasan Asia dianggap masih memiliki otonomi mereka, karena
peran penguasa pribumi di bidang perdagangan masih dominan dan peranan kolonial belum
masuk secara intensif di daerah yang didatanginya. Betapa pentingnya memahami suasana
perdagangan ini ketika komunitas lokal di Asia mempergunakan budaya dan bahasa mereka
dalam arena perdagangan, seperti halnya dengan peranan Bahasa Melayu sehingga menjadi

5

pemersatu di kalangan komunitas di Nusantara. Karena pentingnya peranan Malakka ini, maka
digambarkan bahwa siapa yang menguasai Malakka akan menguasai jalur perdagangan di Asia
Tenggara. Pendapat seperti ini tampaknya beralasan, karena memang lokasi Malakka yang
secara strategis berada di tengah-tengah dunia perdagangan yang menghubungkan India dan
Cina. Itulah sebabnya mengapa Malaysia memiliki jumlah penduduk yang banyak dari keturunan
India dan Cina di samping penduduk Melayu itu sendiri (the Malays). Tidak mengherankan pula,
mengapa pada dewasa ini pemerintah Malaysia mengangkat konsep “Malaysia is truly Asia,”
dengan anggapan bahwa semua penduduk keturunan India, Cina dan Melayu dapat dijumpai di
Malaysia. Ini berarti tradisi, budaya, peradaban ketiga etnis itu tidak usah jauh-jauh dicari,
melainkan cukup berkunjung ke Malaysia maka ketika budaya itu akan dapat dijumpai. Ini
tampaknya menguntungkan pemerintah Malaysia dalam mengimplementasikan kebijakan
pemerintahannya dalam upaya bertetangga rukun dan tidak terjadi gesekan-gesekan etnis yang

dianggap dapat mempengaruhi persoalan disintegrasi bangsa. Namun, upaya-upaya ini terus
dikembangkan, sehingga tampak terlalu jauh dalam klaim-klaim budaya yang dilakukannya
dalam upaya menguatkan kesan bahwa semua kebudayaan Asia ada di Malaysia. Hal ini
tampaknya sah-sah saja, sepanjang itu hanya menyangkut masalah promosi pariwisata dan tidak
dalam konteks klaim budaya lain untuk menjadi milik mereka. Apa yang dilakukan pemerintah
Malaysia ini tidak terlepas dari persoalan-persoalan persaingan global, perkembangan ekonomi
Asean, menuju kehidupan komunitas Asean yang perannya dapat diperhitungkan di dunia
internasional. Untuk itu, masing-masing pemerintahan di komunitas Asean ini secara berlombalomba untuk menggali lokalitas-lokalitas yang dimilikinya itu untuk dapat dikembangkan tidak
hanya bagi masyarakat lokal itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakat dunia internasional (“think
locally act globally”). Sumbangan pemikiran seperti inilah yang diharapkan sehingga upaya
membangun manusia seutuhnya itu dalam arti tidak tercerabut dari akarnya akan dapat dihindari.
Dalam kaitan ini, tampaknya sungguh tepat apabila badan internasional seperti UNESCO
memikirkan masalah warisan budaya dunia ini untuk dikembangkan secara terus menerus. Kalau
tidak diingatkan, tampaknya masyarakat lokal yang terbuai dengan pembangunan ekonomi yang
instant sifatnya hanya bersifat sesaat, tidak berkelanjutan, sehingga persoalan-persoalan etnisitas,
identitas, dalam kaitannya dengan masalah penguasaan tanah dimana memiliki fungsi signifikan
dalam konteks terbentuknya identitas itu sendiri.
Oleh karena itu, betapa upaya pelestarian budaya di masing-masing masyarakat memiliki arti dan
makna yang penting. Hingga kini, banyak tradisi budaya yang sudah mengalami perubahanperubahan, misalnya ada kesenian yang sudah lenyap, masih langka, masih berkembang karena
kepentingan ritual tertentu dan bahkan ada seni yang terbarukan dengan memadukan konsep

kreatifitas dan inovatif. Kajian-kajian tentang masalah ini terutama yang berkaitan dengan
penyusunan Blueprint dan Roadmap tentang pengembangan atau revitalisasi budaya kota di
komunitas Asean tampaknya sudah mulai banyak dilakukan. Singapura misalnya untuk menarik
jumlah kunjungan wisatawan dalam konteks kelampauannya dikenal sebagai “Alexandria from
the East”, di samping memang Singapura berhasil mengembangkan pelabuhan transito yang
mampu mengembangkan wilayahnya sebagai wilayah yang banyak dikunjungi berbagai
wisatawan mancanegara. Berbagai upaya dilakukan di masing-masing negara di kawasan
komunitas Asean ini untuk meningkatkan pendapatan di bidang pariwisata yang pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Branding-branding pun diciptakan
secara kreatif sehingga ada identitas yang tercermin di masing-masing branding itu yang
menunjukkan keunikan, karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan pengembangan yang

6

dilakukan oleh negara lainnya di komunitas Asean itu. Beberapa contoh bagaimana penciptaan
branding yang dilakukan di masing-masing komunitas Asean sebagai berikut:
Strategi dan Kebijakan Komunitas Asean dalam Mengembangkan Pariwisata
Negara Komunitas Slogan Pengembangan Pariwisata
Strategi dan Kebijakan
Asean
Malaysia
Malaysia Truly Asia Sarawak: CAN (Culture, Promotion 44 channels: Malaysia Truly Asia
Adventure, Nature)
Creating Cultural Village, and festivals, sale
Malaysia
Peninsula:
modernity
and of the year, hub of Asia (KLIA)
traditionalism;
health, convension, culture, nature, casino

Thailand

History, culture, eco-tourism on land, night life
(sand, sex, sea), casino

Packaging, digging festivals

Filipina

History, culture, night life, maritime

Promotion of safe areas, restriction of conflic
areas

Vietnam

Hidden Charm History, culture, eco-tourism land Creating 4 Zona
and maritime
Doi moi – reformation

Singapura

Global City for the Arts
Cultural Hub of Asia Regional and Global tourism,
culture, history, convention, health, new
attractions
Kingdom of the East history, culture, eco-tourism:
dream of safari

New destination/ attraction, songs of the sea,
global city for the arts (music, theater, etc).
Cultural Hub of Asia

Banyuwangi, the Rising Sun of Java
Bandung Paris van Java
Denpasar The Heart of Bali
Gianyar (The Land of Arts) Bumi Seni

Culture and Nature
Culture and Nature
Culture and Nature
Culture and Nature

Kamboja

Laos
Indonesia

Linking 4 Zona: Siem Riep (historical
heritage, culture: cultural village), Vientiane
(history, culture, gate of international
tourists), Sihanouk Ville (eco-tourism,
beaches), Ratanakiri/Mondulkiri (culture +
nature)
Jewell of the Mekong History, culture, eco- Homestay and guest houses
tourism: virgin land
Open door policy

Bagi kita di Indonesia sebagai anggota komunitas Asean tentu tidak mau ketinggalan dengan
berbagai dinamika yang terjadi selama ini di kawasan regional yang sedang berkembang ini.
Dituntut adanya sikap cerdas, dan melihat yang lainnya (the other) sebagai tantangan untuk
maju. Untuk itu, diperlukan kesiapan sumberdaya manusia yang memadai untuk mengelola
wilayah Indonesia yang cukup luas dari pengertian geografis dan kekayaan alam dan budaya
yang melimpah. Perlu kerja keras untuk membangkitkan, merevitalisasi dan merestorasi berbagai
tradisi budaya yang sudah lenyap, langka dan memperbaharuinya untuk dapat dikembangkan dan
dinikmati oleh warga masyarakat. Tidak mengherankan dari pihak pemerintah pusat sudah
memprogramkan agar komunitas masyarakat yang ada di daerah terinspirasi untuk
mengembangkan dan mempertahankan warisan budaya yang dimilikinya itu. Hadirnya Balai
Pelestarian Budaya Indonesia (Jakarta) dan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (Jakarta) telah
memainkan peran aktif agar kota-kota di Indonesia secara bottom up dapat mengembangkan dan
melestarikan warisan budaya yang dimilikinya itu. Hingga kini, terdapat lebih dari 50-an anggota
kota-kota di Indonesia yang menjadi anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia. Upaya yang
dikembangkannya adalah mulai dari masalah nilai budaya yang khas, unik, kemudian masalah

7

arsitektur bangunan, pakaian tradisional, makanan tradisional (gastronomi) hingga tarian
tradisional juga dikembangkan. Pelaksanaan pengembangan kota-kota pusaka ini dilakukan di
kabupaten karena sejak otonomi daerah peran para bupati diharapkan lebih maksimal dalam
pengembangan kabupaten/kota mereka masing. Masing. Harapannya adalah agar dengan
pelestarian baik budaya fisik (tangible culture), maupun nonfisik (intangible culture), maka
dengan sendirinya terdapat persepsi bahwa apaun pembangunan pemerintah daerah di
wilayahnya, akan dirasakan menjadi bagian dari pembangunan wilayah mereka masing-masing.
Untuk itu, perlu diapresiasi secara terus menerus terhadap berbagai kebijakan pemerintah daerah,
pengusaha dan warga kotanya, sehingga upaya-upaya cerdas ini akan membangkitkan kiprah dan
daya saing masyarakat kita (Ardhana, 2010) sebagai anggota komunitas Asean di masa kini dan
masa yang akan datang.
V. Simpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perlunya mempelajari pengalaman dari negaranegara lain di komunitas Asean untuk memperkuat jati diri dan identitas bangsa Indonesia.
Tanpa mengetahui pengalaman, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara di kawasan Asean
lainnya, kita tidak mengerti seberapa jauh sebenarnya kita sudah melangkan di jajaran warga
masyarakat yang termasuk sebagai anggota komunitas Asean ini. Kegagalan dari pengalaman
mereka perlu kita hindari, namun keberhasilan yang diraihnya perlu diapresiasi dan menjadi
bahan berharga untuk dijadikan pelajaran dalam melangkah ke depan untuk mampu berdaya
saing dengan negara-negara komunitas Asean lainnya. Oleh karena itu, tentu kita sebagai sebuah
bangsa tidak hanya menerima apa yang sudah diberikan bangsa lain kepada bangsa kita. Yang
lebih penting adalah adanya upaya kita untuk memberikan kontribusi berharga pada komunitas
Asean dan bahkan, dunia internasional, sehingga bangsa dan negara kita mendapat apresiasi yang
baik juga bagi pembangunan masyarakat dunia internasional di era modern dan postmodern.
Materi yang dipresentasikan pada Kegiatan Sosialisasi Toward ASEAN Community 2015: ASEAN Goes to Campus
dengan tema: ”Menuju Asean Community 2015” yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia di Universitas Mataram (UNRAM) Lombok
Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) hari Senin tanggal 13 April 2015.

Referensi Pilihan
Ardhana I Ketut. 1-2 April 2015a. “Some Issues in the Context of Sustainable Border Development in Southeast
Asia”, dalam Justice for All, Syahida Inn-Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (organized by Prof. Dr.
Margareth Gfrerer), Deutscher Akademischer Austauschdienst DAAD (German Academic Exchange Service),
Jakarta.
Ardhana, I Ketut dan I Nyoman Wijaya, May 26--27, 2015b. “Indian Influences on the Balinese Culture: the Role of
Hinduism and Buddhism in the Present Day Bali”, dipresentasikan pada Seminar Internasional “Thai-India History
and Cultural Relationships” Room 105, Mahachulalongkorn Building, Chulalongkorn University, Bangkok
Thailand.
Ardhana I Ketut. 2015c. “Warisan Budaya dan Pariwisata Kota di Asia Tenggara”, Pusaka Budaya (Majalah
Pelestarian Kota Pusaka Gianyar, Bali). ISSN 2443-065X, Edisi: 01, Gianyar: Pemerintah Kabupaten Gianyar.
Ardhana, I Ketut (ed.). 2014a. Denpasar Smart Heritage City: Sinergi Budaya Lokal, Nasional dan Universal,
Denpasar: Pemerintah Kota Denpasar bekerjasama dengan Pusat Kajian Bali – Universitas Udayana.
Ardhana, I Ketut dan I Ketut Setiawan. 2014b. Raja Udayana Warmadewa. Denpasar: Pemerintah Kabupaten
Gianyar bekerjasama dengan Pusat Kajian Bali-Universitas Udayana.

8

Ardhana, I Ketut. 2010. “Nunukan di Tengah-tengah Kawasan the Golden Triangle: Antara Surabaya, Pare-Pare dan
Tawau”, dalam Yekti Maunati (ed.). Etnisitas Perkembangan Sumberdaya Lokal dam Potensi Perdagangan
Internasional dalam rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Nunukan Kalimantan Timur. Jakarta: Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Ardhana, I Ketut. 2010b. “Kebugisan” Etnik Bugis dalam konteks Negara Bangsa di Malaysia dan Indonesia, dalam
Yekti Maunati, I Ketut Ardhana dkk, Kontestasi Identitas dan Diaspora Bugis di Wilayah Perbatasan Kalimantan
Timur Sabah. Jakarta: LIPI Press.
Ardhana, I Ketut. 2007. “Trade Contacts in the Cross Border Areas between Cambodia and Thailand” ASEAN: Bon
Muoi Nam Nhin Lai Va Huong Toi (ASEAN in Its Fortieth Year- Looking Back and Looking Forward)
diselenggarakan oleh University of Social Sciences and Humanities, Vietnam National University-Hanoi, Vietnam,
July 19.
Chandler, R. David (et al.). 1989. In Search of Southeast Asia. Sydney: Allen & Unwin.
Dahm, Bernhard dan Roderich Ptak. 1999. Sudost Asien Handbuch: Geschichte, Gesellschaft, Politik, Wirtschaft,
Kultur. Munchen: C.H. Beck.
Sartono Kartodirdjo. 1977. Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Sjoberg, Gideon. 1965. The Preindustrial City: Past and Present. New York. The Free Press.