Pengembangan Wisata Kota Pariwisata Masa

0

PENGEMBANGAN WISATA KOTA SEBAGAI PARIWISATA MASA
DEPAN INDONESIA
Oleh
I Gusti Bagus Rai Utama
Email: [email protected]
Program Studi: Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Humaniora
Universitas Dhyana Pura, Badung-Bali
ABSTRAK
Mengembangkan pariwisata di perkotaan adalah usaha untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
melalui pajak hotel dan restoran, dan sekaligus meningkatkan aktivitas ekonomi di perkotaan.
Pengembangan pariwisata apapun jenis dan namanya memerlukan fungsi pengelolaan yang kreatif
dan inovatif berdasarkan atas perencanaan yang matang, konsisten, dan evaluasi yang terukur serta
konstruktif. Pembangunan wisata kota adalah pembangunan yang terintegrasi dan holistik yang
akan mewujudkan kepuasan semua pihak. Secara nyata, sebagaian besar kota-kota di Indonesia
layak untuk dikembangkan sebagai kota wisata ataupun wisata kota jika dilihat dari beberapa
komponen yang menjadi karakter sebuah kota. Komponen-komponen tersebut adalah adanya balai
kota, kawasan jalan yang bermakna mitos dan nostaliga, monumen kota yang bermakna historis,
kuliner khas kota, kampus atau universitas, mall atau pusat perbelanjaan, pasar tradisional, alunalun, taman kota, museum kota, pasar malam, dan sumberdaya lainnya. Untuk dapat
menjadikannya sebagai produk wisata, diperlukan integrasi aspek-aspek terkait yang terdiri dari

aspek daya tarik kota, aspek transportasi, aspek fasilitas utama dan pendukung, dan aspek
kelembagaan berupa atribut sumberdaya manusia, sistem, dan kelembagaan terkait lainnya. Kota
sebagai pusat bisnis merupakan centrum dari akvitas para wisatawan baik wisatawan domestik
maupun mancanegara memerlukan pengelolaan dan penataan. Penataan yang mendesak untuk
dilakukan adalah penataan sentra bisnis masyarakat lokal, penataan penginapan, hotel, dan
sejenisnya, penataan daerah atraksi wisata baik yang given /alamiah maupun man-made/buatan
dapat diarahkan pada kawasan rural atau countryside.
Kata Kunci: wisata kota, wisatawan, aktivitas, atribut wisata

1. PENDAHULUAN
Pengembangan Kota Wisata akan menjadi propek yang menjanjikan dimasa yang
akan datang untuk dikembangkan di Indonesia dengan berbagai alasan yang rasional dan
dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun non ilmiah. Kecenderungan
bahwa kota cenderung menjadi pusat perhatian pembangunan termasuk juga pembangunan
sektor pariwisata. Kecenderungan tersebut dilatarbelakangi oleh faktor sosial demografi
penduduk kota jauh lebih mudah menerima isu-isu terkini yang terkait modernisasi dan
pemberdayaan ekonomi karena memang kaum terpelajar lebih dominan berada di daerah
perkotaan. Sementara jika dilihat dari trend pertumbuhan wilayah, ada kecenderungan
jumlah kota semakin meningkat dari masa ke masa, namun perdesaan semakin menyempit
karena arus modernisasi dan konversi perdesaan menjadi daerah perkotaan baru.

Laporan dari The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson tahun
2006 menjelaskan bahwa telah terjadi pertumbuhan penduduk perkotaan di dunia dengan
sangat berarti sejak tahun 2000an, yakni 41% dari penduduk dunia tinggal di perkotaan,
dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 50% penduduk dunia tinggal di perkotaan.
Laporan terakhir dari World Bank menjelaskan bahwa perkembangan jumlah penduduk

0

1

perkotaan relatif tinggi, dan bahkan diprediksi pada tahun 2050, terdapat 85% penduduk
dunia akan hidup di daerah perkotaan.
Jika di lihat kondisi di Indonesia, pada tahun 1980 persentase jumlah penduduk
kota di Indonesia adalah 27,29% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia. Pada tahun 1990
persentase tersebut bertambah menjadi 30,93%. Diperkirakan pada tahun 2020 persentase
jurnlah penduduk kota di Indonesia mencapai 50% dari jumlah penduduk seluruh
Indonesia (Nawir, 2008). Persentase kecenderungan bertambahnya wilayah dan jumlah
kota adalah prediksi yang sangat menarik bagi pengembangan wisata kota di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2011, jumlah penduduk Indonesia 2010 usia muda
lebih banyak dibandingkan dengan usia tua. Jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun

sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa. Artinya
perencanaan wisata kota Indonesia adalah persembahan untuk generasi di masa
mendatang yang mestinya sudah direncanakan mulai saat ini untuk meminimalkan dampak
negatif di masa mendatang. Dari paparan empiris tersebut di atas, pengembangan wisata
kota nyaris di seluruh dunia akan menjadi trend yang relatif penting untuk direncanakan
dalam tujuan pemberdayaan masyarakat.

2. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Daya Tarik Wisata
Daya tarik wisata sejatinya merupakan kata lain dari obyek wisata, tetapi sesuai
peraturan pemerintah Indonesia tahun 2009 kata obyek wisata sudah tidak relevan lagi
untuk menyebutkan suatu daerah tujuan wisatawan, maka digunakanlah kata “daya tarik
wisata”. Definisi/pengertian mengenai daya tarik wisata diberikan oleh beberapa sumber,
yaitu: (1) Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 2009, daya tarik
wisata dijelaskan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, kemudahan, dan nilai
yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia berwujud
pariwisata, peninggalan sejarah, seni budaya, agro wisata, wisata tirta, wisata buru, wisata
petualangan alam, taman rekreasi dan lain-lain yang menjadi sasaran atau kunjungan
wisatawan. Menurut Yoeti (2001), Daya tarik wisata atau “ tourist attraction”, istilah yang
lebih sering digunakan, yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang untuk

mengunjungi suatu daerah tertentu. Sedangkan Pendit (1994) mengatakan bahwa daya
tarik wisata sebagai segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dilihat.
Jadi berdasarkan ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa daya tarik wisata adalah
segala sesuatu yang mempunyai daya tarik, keunikan dan nilai yang tinggi, yang menjadi
tujuan wisatawan datang ke suatu daerah tertentu
Bila ditanya apa sesungguhnya kekuatan atau daya tarik pariwisata Indonesia yang
membedakannya dengan negara lain, sehingga layak dijual? Pada umumnya akan
menjawab keindahan alamnya. Untuk yang jarang melakukan perjalanan wisata ke
mancanegara, maka jawaban tersebut mungkin benar karena memang tidak pernah melihat
alam lain. Atau mungkin budayanya, tapi budaya yang mana?, Bali kah atau Jawa, Toraja,
atau yang lainnya. Dalam hal pengelolaan peninggalan budaya Indonesia masih belum ada
apa-apanya dan masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain, seperti Yunani, Roma,
Mesir. Bahkan di kawasan ASEAN saja pengelolaan peninggalan budaya Indonesia masih
tertinggal dibandingkan dengan Thailand atau Kamboja dengan Angkor Wat nya.
Kesemuanya ini perlu dikemukakan agar tidak timbul arogansi yang sempit bahwa
Indonesia adalah segalanya, terindah di dunia, cepat berpuas diri.

1

2


Sesungguhnya keindahan alam ataupun peninggalan budaya secara fisik tidak lebih
dari seonggok gunung atau candi ataupun benda/bangunan lainnya, ataupun pantai yang
indah yang juga dimiliki oleh berbagai negara yang lokasinya berdekatan dengan lumbung
turis internasional. Karena tanpa adanya komunitas disekitar monumen, gunung atau
pantai, maka obyek wisata tersebut tidak lebih dari benda mati, tidak ada roh kehidupan
dan bahkan tidak berarti apa-apa bagi pengunjung. Oleh karena itu haruslah disadari bahwa
kekuatan pariwisata Indonesia adalah terletak pada manusianya. Manusia yang hangat,
ramah tamah, murah senyum dan gemar menolong tamunya, sehingga membuat “kangen”
untuk kembali lagi. Gambaran ini adalah pada umumnya manusia Indonesia memang
bercirikan demikian dan kita akui pula bahwa memang ada juga sekelompok kecil bangsa
Indonesia yang mempunyai tingkah laku tidak seperti yang digambarkan, dan ini hanyalah
ekses dari berbagai perubahan yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia. Namun
kreasi manusia Indonesia berupa budaya dan kebudayaan yang beranekaragam perlu
diinventarisasi, dirawat dan dikemas sehingga menjadi suatu daya tarik wisata bagi daerah
tujuan wisata setempat dan bagi Indonesia pada umumnya.
Menurut Ardika (Kompas, Senin, 13 Maret 2006) Kepariwisataan ada dan tumbuh
karena perbedaan, keunikan, kelokalan baik itu yang berupa bentang alam, flora, fauna
maupun yang berupa kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, rasa dan budhi manusia. Tanpa
perbedaan itu, tak akan ada kepariwisataan, tidak ada orang yang melakukan perjalanan

atau berwisata. Oleh karena itu, melestarikan alam dan budaya serta menjunjung
kebhinekaan adalah fungsi utama kepariwisataan. Alam dan budaya dengan segala
keunikan dan perbedaannya adalah aset kepariwisataan yang harus dijaga kelestariannya.
Hilangnya keunikan alam dan budaya, berarti hilang pulalah kepariwisataan itu.
Dengan berlandaskan prinsip keunikan dan kelokalan, kepariwisataan Indonesia
didasari oleh falsafah hidup bangsa Indonesia sendiri, yaitu konsep prikehidupan yang
berkeseimbangan. Seimbangnya hubungan manusia dengan Tuhan, seimbangnya
hubungan manusia dengan sesamanya, seimbangnya hubungan manusia dengan
lingkungan alam. Konsep ini mengajarkan kepada kita untuk menjunjung nilai-nilai luhur
agama serta mampu mengaktualisasikannya, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, toleran,
kesetaraan, kebersamaan, persaudaraan, memelihara lingkungan alam. Kesadaran untuk
menyeimbangkan kebutuhan materi dan rokhani, seimbangnya pemanfaatan sumber daya
dan pelestarian. Konsep ini juga menempatkan manusia sebagai subyek. Manusia dengan
segala hasil cipta, rasa, karsa, dan budhinya adalah budaya. Dengan demikian
kepariwisataan Indonesia adalah kepariwisataan yang berbasis masyarakat ( community
based tourism) dan berbasis budaya (cultural tourism). Kepariwisataan yang dibangun
dengan prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.

2.2 Kota dan Sumberdayanya
Beberapa unsur pendukung pariwisata justru lebih tersedia jika dibandingkan dengan

unsur pendukung pariwisata di perdesaan, misalnya unsur aksesibiltas, di mana bandara,
infrastruktur jalan raya, fasilitas publik lebih banyak temukan lebih baik daripada daerah
perdesaan. Sementara jika dilihat dari unsur atraksi atau daya tarik, hampir sebagaian besar
objek dan atraksi wisata berada di daerah perkotaan. Lalu jika dilihat dari unsur amenitas,
sangat jarang seorang pebisnis atau investor mau membangun hotel atau restoran di
daerrah perdesaan. Dan pada akhirnya jika dilihat dari unsur ensileri atau kelembagaan
kepariwisataan, nyaris sebagaian besar berpusat di daerah perkotaan.
Berikut Sumberdaya yang melekat pada sebuah kota yang dapat dikemas menjadi
daya tarik wisata, yakni: (1) Balai Kota: hampir setiap kota memiliki Balai Kota yang

2

3

sengaja dibangun untuk di gunakan sebagai jantung pemerintahan kota. Bangunan ini
biasanya dibangun dengan arsitektur yang sangat indahnya dan memiliki karakteristik
tertentu sesuai ciri khas sebuah kota. (2) Kawasan Jalan tertentu yang biasanya memiliki
mitologi tertentu seperti horor, nostalgia, historis, heroik, dan sebagainya yang biasanya
melekat dan menjadi ciri khas tersendiri bagi setiap kota. (3) Monumen Kota, yang
memiliki pesan edukasi historis atau sosial atau religius yang biasanya juga dimiliki oleh

kota-kota di Indonesia. (4) Kuliner juga menjadi daya tarik tersendiri yang dapat dikemas
oleh setiap kota di Indoonesia untuk menjadi daya tarik wisata yang menarik. (5) Kampus
atau Universitas yang memang dirancang dan citrakan sebagai aset kota yang dapat
dijadikan daya tarik wisata edukasi, dan ciri ini juga dimiliki hampir sebagian besar kotakota di Indonesia. (6) Mall atau Pusat perbelanjaan atau Pasar Tradisional juga menjadi ciri
khas bagi setiap kota dan akan menjadi daya tarik yang amat penting untuk dikemas
menjadi daya tarik wisata kota. (7) Alun-alun dan Taman Kota adalah ruang terbuka yang
biasanya menjadi daya tarik wisata kota dan juga melekat pada identitas sebuah kota. (8)
Museum Kota juga dimiliki sebagian besar kota-kota didunia yang biasanya dikelola
sebagai bagian dari wujud pelestarian terhadap benda-benda purbakala warisan sebuah
kota yang mungkin bernilai mitos, atau warisan budaya. (9) Pasar Malam juga menjadi ciri
khas sebuah kota dan pasar malam merupakan denyut jantung perekonomian sebuah kota,
dan jika dapat dikelola secara profesional akan dapat menjadi daya tarik wisata kota. Dan
banyak lagi potensi daya tarik wisata kota yang dapat dikembangkan seperti misalnya
taman rekreasi dan sebagainya mengikuti kreatifitas dan daya inovasi pemerintah kota
setempat.
Pengembangan Wisata Kota akan menjadi trend menarik dimasa depan berdasarkan
banyak alasan yang rasional, namun demikian potensi yang bagus akan lebih berhasil jika
dapat dikembangkan dan dikelola dengan manajemen kota yang terintegrasi dalam konsep
totalitas produk wisata yang saling terkait dengan yang lainnya. Minimal ada empat unsur
yang harus diintegrasikan yakni unsur atraksi atau daya tarik wisata, unsur amenitas atau

infrastruktur dan fasilitas pendukung, unsur aksesibilitas berupa publik transportasi yang
baik, manajemen transportasi yang efesien dan efektif. Dan integrasi yang tidak kalah
pentingnya adalah unsur ensileri yang merupakan softkills dari totalitas produk wisata kota
sebagai pengendali, pengeoperasi, dan evaluator yang menerapkan etika pembangunan
yang berkelanjutan. Unsur ensilari dapat dibentuk dalam sebuah badan khusus atau komite
atau apalah namanya yang penting ada yang merencanakan, ada yang menjalankan, dan
harus ada yang mengontrolnya agar apa yang diharapkan dari pengembangan wisata kota
dapat berhasil dan bijak dalam pengelolaannya.
2.3 Motivasi Berwisata
Kata motivasi berasal dari kata ”motive” yang berarti menyebabkan seseorang
melakukan sesuatu dengan cara tertentu; atau merangsang keinginan. Keputusan
seseorang untuk melakukan perjalanan wisata dipengaruhi oleh kuatnya faktor-faktor
pendorong (push factor ) dan faktor-faktor penarik (pull factor ). Faktor pendorong dan
penarik ini sesungguhnya merupakan faktor internal dan eksternal yang memotivasi
wisatawan untuk mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan. Menurut Sharpley,
1994 dan Wahab, 1975 (dalam Pitana dan Gayatri, 2005:52) menekankan, bahwa faktor
motivasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam studi tentang wisatawan dan
pariwisata, karena motivasi merupakan “Trigger” dari proses perjalanan wisata, walau
motivasi ini acapkali tidak disadari secara penuh oleh wisatawan itu sendiri.


3

4

1). Faktor Pendorong Berwisata
Faktor pendorong umumnya bersifat sosial-psikologis, atau merupakan person
specific motivation , sedangkan faktor penarik merupakan destination specific attributes.
Dengan adanya faktor pendorong, maka seseorang ingin melakukan perjalanan wisata, tapi
belum jelas daerah mana yang akan dituju. Ryan, 1993 (dalam Pitana dan Gayatri,
2005:61), dari kajian literaturnya menemukan berbagai faktor pendorong bagi seseorang
untuk melakukan perjalanan wisata seperti di bawah ini.
a) Kejenuhan: ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukan, atau
kejenuhan dari pekerjaan sehari-hari.
b) Penyegaran: keinginan untuk penyegaran yang juga berhubungan dengan motivasi
untuk escape di atas.
c) Kegembiraan: ingin menikmati kegembiraan melalui berbagai permainan, yang
merupakan pemunculan kembali dari sifat kekanak-kanakan, dan melepaskan diri
sejenak dari berbagai urusan yang serius.
d) Kekerabatan: ingin mempererat hubungan kekerabatan, khususnya dalam konteks
VFR (Visiting Friends and Relations).

e) Prestise: untuk menunjukkan gengsi, dengan mengunjungi destinasi yang
menunjukkan kelas dan gaya hidup, yang juga merupakan dorongan untuk
menaikkan status dan derajat sosial.
f) Interaksi sosial: untuk dapat melakukan interaksi sosial dengan teman sejawat, atau
dengan masyarakat lokal yang dikunjungi.
g) Romantika: keinginan untuk bertemu dengan orang-orang yang bisa memberikan
suasana romantis, untuk memenuhi kebutuhan seksual, khususnya dalam pariwisata
seks.
h) Kebudayaan: keinginan untuk melihat sesuatu yang baru, mempelajari orang lain
atau daerah lain, atau kebudayaan etnis lain. Hal ini pendorong yang dominan dalam
pariwisata.
i) Pengalaman: keinginan untuk menemukan diri sendiri, karena diri sendiri biasanya
bisa ditemukan pada saat kita menemukan daerah atau orang yang baru.
j) Impian: keinginan untuk merealisasikan mimpi-mimpi, yang lama dicita-citakan,
sampai mengorbankan diri dengan cara berhemat, agar bisa melakukan perjalanan.
Pada dasarnya seseorang melakukan perjalanan wisata dimotivasi oleh beberapa
hal, motivasi-motivasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar
sebagai berikut: (1) Physical or physiological motivation yaitu motivasi yang bersifat fisik
antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan
olahraga, bersantai dan sebagainya. (2) Cultural motivation yaitu keinginan untuk
mengetahui budaya, adat, tradisi dan kesenian daerah lain. (3) Social or interpersonal
motivation yaitu motivasi yang bersifat sosial, seperti mengunjungi teman dan keluarga,
menemui mitra kerja, melakukan hal-hal yang dianggap mendatangkan gengsi (prestice),
melakukan ziarah, pelarian dari situasi yang membosankan dan seterusnya. (4) Fantasy
motivation yaitu adanya motivasi di daerah lain sesorang akan bisa lepas dari rutinitas
keseharian yang menjemukan dan yang memberikan kepuasan psikologis (McIntosh, 1977
dan Murphy, 1985; dalam Pitana dan Gayatri, 2005:60).
2) Faktor Penarik Berwisata
Berbagai faktor penarik yang dimiliki oleh daerah tujuan wisata akan menyebabkan
wisatawan akan memilih daerah tujuan wisata tertentu untuk memenuhi keinginan dan
kebutuhannya. Medlik, 1980 dan Jackson, 1989 (dalam Pitana dan Gayatri 2005:62), telah

4

5

mengidentifikasikan berbagai faktor penarik dan membedakannya atas sebelas faktor,
yaitu: (1) iklim destinasi, (2) promosi pariwisata, (3) iklan, (4) pemasaran, (5) kejadian
khusus, (6) potongan harga, (7) mengunjungi teman, (8) mengunjungi kerabat, (9) daya
tarik wisata, (10) budaya, (11) lingkungan alamiah dan buatan. Lebih lanjut, ditentukan ada
empat aspek yang harus diperhatikan dalam penawaran pariwisata. Aspek-aspek tersebut
adalah sebagai berikut.
a) Aspek daya tarik destinasi; merupakan atribut daerah tujuan wisata yang berupa
apasaja yang dapat menarik wisatawan dan setiap destinasi pasti memiliki daya tarik,
baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan budayanya.
b) Aspek transportasi atau sering disebut aksesibilitas; merupakan atribut akses bagi
wisatawan domestik dan mancanegara agar dengan mudah dapat mencapai tujuan ke
tempat wisata baik secara internatsional maupun akses terhadap tempat-tempat wisata
pada sebuah destinasi.
c) Aspek fasilitas utama dan pendukung; merupakan atribut amenitas yang menjadi salah
satu syarat daerah tujuan wisata agar wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih
lama pada sebuah destinasi.
d) Aspek kelembagaan; atribut sumberdaya manusia, sistem, dan kelembagaannya berupa
lembaga pariwisata yang akan mendukung sebuah destinasi layak untuk dikunjungi,
aspek kelembagaan tersebut dapat berupa dukungan lembaga keamanan, lembaga
pariwisata sebagai pengelola destinasi, dan lembaga pendukung lainnya yang dapat
menciptakan kenyamanan wisatawan.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat eksploratif-kualitatif, yaitu mengeksplorasi atau menggali
potensi, dampak positif dan negatif, serta kemungkinan pengembangan kota sebagai daya
tarik wisata Kota secara kualitatif. Pada akhirnya berdasarkan data dan informasi potensi,
dampak positif dan negatif pengembangan, kemudian dianalisis menjadi keputusan apakah
memungkinkan dikembangkan kota sebagai daya tarik wisata Kota. Lokasi penelitian
adalah di wilayah Indonesia, di mana kemungkinan akan dikembangkan wisata kota seperti
kota Bandung, Denpasar, Malang, Surabaya, sebagai sebuah perbandingan.
Penelitian ini bersifat eksploratif-kualitatif, sehingga dalam penelitian ini tidak
berbicara tentang populasi dan besarnya sampel, karena penelitian ini tidak bermaksud
melakukan jeneralisasi terhadap populasi. Jenis data kualitatif yang dikumpulkan melalui
wawancara mendalam dan diskusi kelompok umumnya bersumber dari sumber primer
yakni responden atau informan. Jenisnya antara lain, opini atau pendapat pentingnya
dibangun wisata kota, dampak positif dan negatif pembangunan wisata kota sebagai
alternatif daya tarik wisata masa depan. Jenis data dan informasi kuantitatif yaitu data
berbentuk numerik atau angka-angka, yang lebih banyak bersumber dari sumber sekunder,
yaitu dari instansi pemerintah kota.
Data penelitian ini bersumber dari sumber sekunder dan sumber primer. Sumber
data sekunder adalah data yang bersumber dari pihak kedua, seperti Dinas Pariwisata Kota,
Bappeda Kota, Sekretariat Kota, dan sebagainya. Data yang bersumber dari sumber
sekunder melengkapi data yang diperoleh dari sumber primer.
Mengingat jenis penelitian adalah eksploratif-kualitatif, maka pengumpulan data
penelitian menggunakan beberapa metode,yaitu: Observasi adalah metode pengumpulan
data dengan melakukan pengamatan (observasi) atau melihat-lihat, yang mana dalam
penelitian ini observasi dilakukan pada lokasi yang dikembangkan menjadi wisata kota.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif-kualitatif,
yaitu memberi interpretasi, makna dan pembahasan mendalam terhadap fakta dan

5

6

informasi kualitatif yang dikumpulkan, sehingga
mampu menggambarkan atau
mendeskripsikan fenomena penelitian dan menjawab tujuan penelitian.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kota Sebagai Atraksi Wisata
Pariwisata adalah salah satu mesin penggerak perekonomian dunia yang terbukti
mampu memberikan kontribusi terhadap kemakmuran sebuah negara. Pembangunan
pariwisata mampu menggairahkan aktivitas bisnis untuk menghasilkan manfaat sosial.
budaya, dan ekonomi yang signifikan bagi suatu negara. Ketika pariwisata direncanakan
dengan baik, mestinya akan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah
destinasi. Keberhasilan pariwisata terlihat dari penerimaan pemerintah dari sektor
pariwisata dapat mendorong sektor lainnya untuk berkembang. Keberhasilan yang paling
mudah untuk diamati adalah bertambahnya jumlah kedatangan wisatawan dari periode ke
periode. Pertambahan jumlah wisatawan dapat terwujud jika wisatawan yang telah
berkunjung puas terhadap destinasi dengan berbagai atribut yang ditawarkan oleh
pengelolanya. Wisatawan yang puas akan cenderung menjadi loyal untuk mengulang
liburannya dimasa mendatang, dan memungkinkan mereka merekomendasi teman-teman,
dan kerabatnya untuk berlibur ke tempat yang sama (Som dan Badarneh, 2011). Fenomena
yang terjadi pada trend pariwisata, khususnya di dunia saat ini adalah pesatnya
pertumbuhan wisata kota.
Dari perspektif ekonomi, dampak positif pariwisata (kasus: pariwisata BaliIndonesia) yaitu: (1) mendatangkan devisa bagi negara melalui penukaran mata uang asing
di daerah tujuan wisata, (2) pasar potensial bagi produk barang dan jasa masyarakat
setempat, (3) meningkatkan pendapatan masyarakat yang kegiatannya terkait langsung atau
tidak langsung dengan jasa pariwisata, (4) memperluas penciptaan kesempatan kerja, baik
pada sektor-sektor yang terkait langsung seperti perhotelan, restoran, agen perjalanan,
maupun pada sektor-sektor yang tidak terkait langsung seperti industri kerajinan,
penyediaan produk-produk pertanian, atraksi budaya, bisnis eceran, jasa-jasa lain dan
sebagainya, (5) sumber pendapatan asli daerah (PAD), dan (6) merangsang kreaktivitas
seniman, baik seniman pengrajin industri kecil maupun seniman „tabuh‟ dan tayang
diperuntukkan konsumsi wisatawan (Antara, 2011).
Secara nyata, sebagaian besar kota-kota di Indonesia layak untuk dikembangkan
sebagai kota wisata ataupun wisata kota jika dilihat dari beberapa komponen yang menjadi
karakter sebuah kota. Komponen-komponen tersebut adalah adanya balai kota, kawasan
jalan yang bermakna mitos dan nostaliga, monumen kota yang bermakna historis, kuliner
khas kota, kampus atau universitas, mall atau pusat perbelanjaan, pasar tradisional, alunalun, taman kota, museum kota, pasar malam, dan sumberdaya lainnya. Untuk dapat
menjadikannya sebagai produk wisata, diperlukan integrasi aspek-aspek terkait yang terdiri
dari aspek daya tarik kota, aspek transportasi, aspek fasilitas utama dan pendukung, dan
aspek kelembagaan berupa atribut sumberdaya manusia, sistem, dan kelembagaan terkait
lainnya. Tabel 4.1 mendiskripsikan studi kasus Kota Bandung sebagai kota wisata yang
cukup layak untuk dikunjungi, jika dilihat dari popularitas, dan kondisi atribut kota yang
dimilikinya.

6

7

Tabel 4.1 Potensi Kota Bandung Sebagai Kota Wisata
Atribut
Ada/tidak Kondisi
Keterangan
1. Balai Kota
Ada
Terpakai
Gedung Sater/ Kantor Wali Kota
2. Kawasan Jalan
Ada
Baik
Jalan Asia-Afrika
3. Monumen Kota
Ada
Baik
Perjuangan Rakyat Jawa Barat
4. Kuliner
Ada
Populer
Roti Belanda
5. Kampus atau
Ada
Populer
IPB, ITB
Universitas
6. Mall atau Pusat
Ada
Populer
Metro Trade Center
perbelanjaan
7. Pasar Tradisional
Ada
Populer
Pasar Induk Gedebage, Bandung
8. Alun-alun
Ada
Populer
Asia Afrika (Alun-alun Kota
Bandung)
9. Taman Kota
Ada
Populer
Jalan Ganesha; Taman Kantor
Pemerintah Kota Bandung
10. Museum Kota
Ada
Populer
Museum PTT
11. Pasar Malam
Ada
Populer
Primarasa, Brownies Amanda dan
Kartika Sari
12. Lainnya
Ada
Populer
Trans Studio Bandung

Sumber: Berbagai Sumber
Sebagai bahan pembanding lainnya, Kota Sidney Australia berpotensi menjadi daya
tarik wisata jika dilihat dari beberapa atribut kota. Di Kota Sidney, ditemukan bangunan
tua yang dimanfaatkan menampung Pedagang Kaki Lima. Banyak bangunan gudang lama,
direstorasi dan disulap menjadi mall PKL, termasuk di antaranya gudang dipelabuhan yang
menjadi pusat kegiatan anak muda. Ada anggapan, jika belum melihat Sidney Sunday
Market atau Sydney Harbour, rasanya belum ke Sidney. Bagaimana kalau Pemda Kota
juga mencoba konsep pemecahan pedagang kaki lima (PKL) seperti ini, dari berbagai
kemungkinan pemecahan yang kretif yang ada. Kota biasanya punya banyak memiliki
gudang, seperti gudang militer, gudang Pabrik Kina, gudang PJKA, gudang tekstil, dan
lain sebagainya. Kalau benar-benar ingin membantu memecahkan permasalahan kota,
bangunan lama dapat dimanfaatkan dengan baik Selain itu, pemiliknya juga bisa
memperoleh keuntungan, sambil mematuhi UU No. 5 tahun 1992 tentang pelestarian cagar
budaya, selain turut berperan dalam memecahkan permasalahan kota.
Restorasi
sebenarnya lebih murah dibandingkan membangun bangunan baru dan ciri sebuah kota
sebagai kota industri kuno tidak hilang.
Untuk dapat mengemas atribut-atribu kota menjadi produk pariwisata kota yang
menarik, diperlukan dukungan pemerintah, dan masyarakat kota. Pemerintah perlu segera
menambah sarana kegiatan pendidikan nonformal. Hampir semua kota-kota di Indonesia
memiliki museum daerah dan akan menjadi atribut wisata kota yang menarik. Di beberapa
kota di negara Eropa, museum telah menjadi sumber ilmu pengetahuan khususnya tentang
sejarah, dan sekaligus dikomoditifikasi sebagai daya tarik wisata kota yang mengagumkan.
Sebagai sebuah studi kasus, Kota Bandung masa lalu misalnya merupakan pusat
Perusahaan Kereta Api di Indonesia; pusat perkantoran, pusat pendidikan, dan pusat
perbengkelan Kereta Api di Pulau Jawa sejak abad 19. Namun sangat disayangkan, kota
yang sangat bersejarah bagi perkereta-apian Indonesia ini belum memiliki Museum Kereta
Api, padahal banyak bangunan yang merupakan aset PJKA yang sangat potensial dalam
memberikan image Kota Bandung sebagai pusat perkereta-apian di Indonsia. Temuan
lainnya, salah satu diantaranya yang sangat ideal untuk dijadikan Museum Kereta Api
adalah Gedung Reparasi PJKA di jalan Pasirkaliki yang memiliki rel kereta api langsung
masuk ke dalam gedung. Pemerintah kota semestinya memiliki rencana pengembangan

7

8

permuseuman dengan memanfaatkan berbagai bangunan bersejarah tersebut, dalam rangka
program pendidikan nonformal dan kegiatan kepurbakalaan, dan sekaligus menjadikannya
sebagai daya tarik wisata kota. Kota dan lingkungannya berkaitan erat dengan sejarah
perkebunan teh, kopi, dan kina dengan produknya yang pernah berjaya memenuhi
kebutuhan dunia dapat dikemas menjadi atraksi wisata. Artinya museum akan menjadi
suatu aset sejarah budaya manusia yang juga dapat menjadi daya tarik wisata. Jika semua
kekayaan kota-kota di Indonesia dikelola dengan bantuan Dinas Budaya dan Pariwista,
akan sangat menarik dan berharga bagi generasi penerus. Masyarakat akan disadarkan
terhadap ilmu pengetahuan, sejarah budaya, serta obyek wisata. Manfaat lainnya, sebagai
alternatif tempat rekreasi, selain mall. Konsep pemikiran-pemikiran untuk menambah
kegiatan pendidikan nonformal seperti ini, akan menjadi program pendidikan bangsa pada
umumnya dan generasi muda khususnya.
Potensi pengembangan wisata kota atau kota wisata dapat dilihat dari beberapa
atribut kota adalah sebagai berikut: balai kota, kawasan jalan, monumen kota, kuliner,
kampus atau universitas, mall atau pusat perbelanjaan, pasar tradisional, alun-alun, taman
kota, museum kota, pasar malam, dan lainnya merupakan sumberdaya perkotaan yang
berpotensi untuk diintegrasikan menjadi produk pariwisata pada sebuah kota. Diperlukan
sebuah Strategi Pengembangan Wisata Kota yang Berkelanjutan, dan untuk hal tersebut
perlu diketahui beberapa variabel yang berkaitan dengan prinsip-prinsip pembangunan
pariwisata yang berkalnjutan yang pada prinsipnya menekankan pada aspek preservasi dan
konservasi, pengelolaan yang bijaksana, dan berdampak positif terhadap perkonomian dan
pendidikan bagi warga kota. Prinsip yang lainnya adalah bahwa wisata kota harus mampu
memberikan dampak experience /pengalaman yang berharga bagi wisatawan sebagai
penikmat produk wisata kota. Dan selanjutnya wisata kota akan menjadi pemicu bagi
warga kota dan pemerintah kota untuk berkreasi dan berinovasi khususnya untuk
pengembangan wisata kota yang berkelanjutan.
4.2 Strategi Pengembangan Wisata Kota yang Berkelanjutan
Pariwisata apapun jenis dan namanya, hendaknya dapat dibangun dan
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Menurut United
Nation (2005) prinsip-prinsip tersebut adalah satu kesatuan prinsip yang harus dipahami
dan dilaksanakan secara holistik agar pembangunan pariwisata dapat berkesinambungan
termasuk untuk pengembangan kota sebagai daya tarik wisata ataupun pengembangan kota
wisata. Prinsip-prinsip tersebut adalah seperti Gambar 4.1 berikut ini:

Gambar 4.1. Prinsip-prinsip Pembangunan Pariwisata Berkalanjutan, United Nation (2005)

8

9

Pembangunan wisata kota adalah pembangunan yang holistik dan terintegrasi, bisa
jadi terjadi integrasi pengelolaan, pembangunan, dan tentunya integrasi manfaat yang pada
akhirnya berujung pada terwujudnya tiga kualitas yakni pariwisata harus mampu
mewujudkan kualitas hidup ”quality of life” masyarakat lokal, pada sisi yang lainnya
pariwisata harus mampu memberikan kualitas berusaha ”quality of opportunity” kepada
para penyedia jasa dalam industri pariwisata dan sisi berikutnya dan menjadi yang
terpenting adalah terciptanya kualitas pengalaman wisatawan ” quality of experience”.
Sampai pada sebuah kesimpulan bahwa, pembangunan wisata kota mestinya akan dapat
berkesinambungan jika dibangun dan dikembangkan pada prinsip-prinsip dasar
pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, apapun bentuk dan namanya, di manapun
dan kapanpun dikembangkan, dan siapapun yang mengembangkannya.
Berikut model ideal pengembangan wisata kota dengan konsep 4A+CI (integrasi
antara attraction, amenity, accessibelity, ancilary, community involment)

Gambar 4.2 Model Ideal Pengembangan Wisata Kota
Dimodifikasi dari Postma, (2006)

Kota sebagai pusat bisnis merupakan centrum dari akvitas para wisatawan baik
wisatawan domestik maupun mancanegara memerlukan pengelolaan dan penataan.
Gambar 4.2 menggambarkan model ideal pengembangan wisata kota yang mestinya dalam
perencanaannya melibatkan masyarakat lokal, investor (diusahakan berbasis UMKM), dan
wisatawan. Penataan yang mendesak untuk dilakukan adalah penataan sentra bisnis
masyarakat lokal, penataan penginapan, hotel, dan sejenisnya, penataan daerah atraksi
wisata baik yang given/alamiah maupun man-made/buatan dapat diarahkan pada kawasan
rural atau countryside.
5. KESIMPULAN
Pembangunan wisata kota adalah pembangunan yang terintegrasi dan holistik yang
akan mewujudkan kepuasan semua pihak. Perlunya integrasi aspek-aspek terkait yang
terdiri dari: (1)Aspek daya tarik destinasi; merupakan atribut daerah tujuan wisata yang
berupa apasaja yang dapat menarik wisatawan dan setiap destinasi pasti memiliki daya
tarik, baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan budayanya. Hal ini penegasan

9

10

dari bagian Atribut Kota Wisata. (2) Aspek transportasi atau sering disebut aksesibilitas;
merupakan atribut akses bagi wisatawan domestik dan mancanegara agar dengan mudah
dapat mencapai tujuan ke tempat wisata baik secara internatsional maupun akses terhadap
tempat-tempat wisata pada sebuah destinasi. (3) Aspek fasilitas utama dan pendukung;
merupakan atribut amenitas yang menjadi salah satu syarat daerah tujuan wisata agar
wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih lama pada sebuah destinasi. (4)Aspek
kelembagaan; atribut sumberdaya manusia, sistem, dan kelembagaannya berupa lembaga
pariwisata yang akan mendukung sebuah destinasi layak untuk dikunjungi, aspek
kelembagaan tersebut dapat berupa dukungan lembaga keamanan, lembaga pariwisata
sebagai pengelola destinasi, dan lembaga pendukung lainnya yang dapat menciptakan
kenyamanan wisatawan.
Kota sebagai pusat bisnis merupakan centrum dari akvitas malam para wisatawan
baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Sehingga perlu pengelolaan dan penataan.
(1) Penataan Sentra bisnis masyarakat lokal yang mestinya dapat digalakkan adalah
sebagai berikut: Pasar Malam tradisional yang menjual segala bentuk cinderamata khas
sebuah kota, makanan tradisional, pagelaran seni tari tradisional, Spa terapi, fisioterapi
untuk penghilang lelah para wisatawan sehabis tour. (2) Penataan penginapan, hotel, dan
sejenisnya mestinya dapat diarahkan pada pada area sub urban atau pinggiran kota untuk
mengurangi kekroditan kota. (3) Penataan daerah atraksi wisata baik yang given/alamiah
maupun man-made/buatan dapat diarahkan pada kawasan rural atau countryside .
6. DAFTAR PUSTAKA
Anonim ( 2005). Tourism Highlight 2005, UN-WTO, Madrid.
Anonim. 2001). Visitor Profile Report 2001 . Hong Kong Tourism Board.
Antara, M, Pitana, G. (2009). Tourism Labour Market in the Asia Pacific Region: The
Case of Indonesia. Paper Presented at the Fifth UNWTO International Conference on
Tourism Statistics: Tourism an Engine for Employment Creation . Held in Bali,
Indonesia, 30 March – 2 April 2009.
Antara, M. (2009). Pengembangan Museum Budaya Terpadu Sebagai Daya Tarik Wisata
Kota Surabaya . Makalah tidak dipublikasikan.
Ap, J., Mak, B. (1999). Balancing Cultural Heritage, Conservation and Tourism
Development in a Sustainable Manner. Paper presented a t the International
Conference: Heritage and Tourism, 13th–15th December, Hong Kong.
Ardika, I W. (2003). Pariwisata Budaya Berkelanjutan , Refleksi dan Harapan di Tengah
Perkembangan Global. Program Studi Magister (S2): (Kajian Pariwisata Program
Pascasarjana Universitas Udayana)
Ashworrth, G, Tunbridge. (2000). In contemporary society, heritage is often treated as a
commodity for economic uses, especially for tourism
Gunn, C. (1998). Tourism planning (3rd ed.). New York: Taylor and Francis.
Hewison. (1988). The tourism product or as a 'commodity: Culture has become a
commodity
Kotler P., Keller K. (2006). Marketing Management, 12th Edition, Pearson Education Inc,
New Jersey.
Kotler, P., Gary A. (1999). Principle of Marketing . 8th Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Lowenthal, D. (1996). The Heritage Crusade and the Spoils of History. The Free Press,
New York.
Nawir, (2008). Studi Islam, Bandung: Cipustaka Media Perintis. Syahrial
Pitana, I G., Gayatri, PG. (2005). Sosiologi Pariwisata . Penerbit Andi Yogyakarta.

10

11

Postma, Albert. (2002) An Approach for integrated development of quality tourism. In
Flanagan, S., Ruddy, J., Andrews, N. (2002) Innovation tourism planning. Dublin:
Dublin Institute of Technology: Sage.
Reynolds, P. (1999). Design of the Process and Product Interface . In A. Leask & I.
Yeoman (eds), Heritage Visitor Attractions (pp. 110–126) Cassell, New York.
Shackley, M. (2001). Managing Sacred Sites. Continuum, London.
Som, AP., Badarneh , MB. (2011). Tourist Satisfaction and Repeat Visitation ; Toward a
New Comprehensive Model. International Journal of Human and Social Sciences 6:1
2011
Timothy, D. J. (1997). Tourism and the Personal Heritage Experience . Annals of Tourism
Research, 24(3), 751–754.
Wacik, J. (2010). Kata Sambutan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata: Program Tahun
Kunjung Museum 2010. Dalam Google: Museum dan Kebudayaan.

11

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

Analisis pengaruh pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil badan usaha milik daerah terhadap pendapatan asli daerah Kota Tangerang (2003-2009)

19 136 149

Pengembangan infrastruktur jaringan clint-server Kelurahan Bintaro

17 108 114

Pengaruh Atribut Produk dan Kepercayaan Konsumen Terhadap Niat Beli Konsumen Asuransi Syariah PT.Asuransi Takaful Umum Di Kota Cilegon

6 98 0

Perilaku komunikasi para pengguna media sosial path di kalangan mahasiswa UNIKOM Kota Bandung : (studi deksriptif mengenai perilaku komunikasi para pengguna media sosial path di kalangan mahasiswa UNIKOM Kota Bandung)

9 116 145

Sistem Informasi Absensi Karyawan Di Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung

38 158 129

Analisis Prioritas Program Pengembangan Kawasan "Pulau Penawar Rindu" (Kecamatan Belakang Padang) Sebagai Kecamatan Terdepan di Kota Batam Dengan Menggunakan Metode AHP

10 65 6

Perilaku Komunikasi Waria Di Yayasan Srikandi Pasundan (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Komunikasi Waria di Yayasan Srikandi Pasundan di Kota Bandung)

3 50 1