PEMBERDAYAAN KESEHATAN LANJUT USIA DI POSDAYA ONTOSENO PUTON, TRIMULYO, JETIS, BANTUL, YOGYAKARTA.

(1)

PEMBERDAYAAN KESEHATAN LANJUT USIA DI POSDAYA ONTOSENO PUTON, TRIMULYO, JETIS, BANTUL, YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh: Rimawati NIM 12413244030

JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

Seseorang yang telah memiliki kesehatan pastinya memiliki harapan, dan ia yang memiliki harapan pasti akan memiliki segalanya

(Arab)

Kesehatan dan keceriaan secara alami melahirkan satu sama lain (Joseph Addison)


(6)

vi PERSEMBAHAN

Terima kasih atas pertolongan Allah SWT skripsi ini saya persembahkan untuk:

Kedua orangtua yang selalu memberikan segalanya demi kesuksesan anak-anaknya

Ilmi yang menjadi tanggung jawab saya sebagai kakak untuk memberikan teladan yang baik

Teman-teman Pendidikan Sosiologi B 2012 yang sudah menemani belajar selama kurang lebih 4 tahun

Dr. Amika Wardana sebagai pembimbing yang selalu membimbing dan selalu sabar menuntun saya demi menghasilkan skripsi yang bagus

Keluarga Besar Posdaya Ontoseno terutama pihak-pihak yang bersedia berbagi informasi kepada peneliti sehingga membantu peneliti dalam

memperoleh data

Programmer lanjut usia di Puskesmas Jetis 1 dan instruktur senam di senam lanjut usia Posdaya Ontoseno yang sudah bersedia meluangkan waktunya


(7)

(8)

viii

Pemberdayaan Kesehatan Lanjut Usia di Posdaya Ontoseno

Puton, Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta

Oleh:

Rimawati dan Dr. Amika Wardana rimawati2@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberdayaan kesehatan untuk warga lanjut usia di Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga) Ontoseno serta manfaat dan dampaknya dalam pemeliharaan kesehatan warga berusia lanjut di Puton, Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta. Berdasarkan data-data yang terkumpul dari lapangan diperoleh informasi bahwa pasca gempa Bantul 2006 banyak bantuan datang ke Puton yang termasuk wilayah terdampak bencana cukup parah untuk membantu korban dan memulihkan kondisi fisik dan sosial masyarakat, termasuk pelayanan sosial-kesehatan pasca-trauma bencana untuk warga lanjut usia. Selanjutnya, diprakarsai oleh penggerak sosial lokal di Puton Soraya Isfandiari Posdaya Ontoseno yang bertujuan melakukan pemberdayaan sosial-kesehatan bagi warga lanjut usia. Pemberdayaan kesehatan lanjut usia di Posdaya Ontoseno memiliki 2 aktivitas yaitu senam lanjut usia dan Posyandu lanjut usia yang bernama Arum Ndalu. Senam lanjut usia dibedakan menjadi 3 macam yaitu, senam mingguan, senam bulanan, dan senam tahunan. Sedangkan Posyandu Arum Ndalu dilaksanakan satu kali dalam satu bulan. Berbagai aktivitas pemberdayaan kesehatan lanjut usia yang dilaksanakan oleh Posdaya Ontoseno membawa beberapa dampak positif yang dirasakan oleh anggotanya, diantaranya yaitu kesehatan lanjut usia terpelihara, jalinan silaturahmi antar-lanjut usia lebih erat, dan peningkatan partisipasi sosial lanjut usia. Kata kunci: Lanjut Usia, Pemberdayaan Kesehatan, Posdaya


(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan Masalah... 8

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ... 12

A. Kajian Pustaka ... 12

1. Mendefinisikan Lanjut Usia Secara Akademik... 12

2. Gerontologi dan Gejala Penuaan Masyarakat ... 15

3. Penuaan dan Tantangan Lanjut Usia ... 22

4. Lanjut Usia di Indonesia ... 29

5. Demografi Lanjut Usia di Indonesia ... 35

6. Pemberdayaan Lanjut Usia di Indonesia ... 40

B. Penelitian Relevan ... 65

C. Kerangka Pikir ... 68

BAB III METODE PENELITIAN ... 71

A. Bentuk Penelitian ... 71

B. Lokasi Penelitian ... 72

C. Waktu Penelitian ... 72

D. Teknik Pengumpulan Data ... 72

E. Pemilihan dan Penentuan Informan ... 73

F. Validitas Data ... 74


(10)

x

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 79

A. Deskripsi Data ... 79

1. Deskripsi Wilayah Penelitian ... 79

2. Deskripsi Informan... 80

3. Pembentukan dan Perkembangan Posdaya ... 84

4. Pembentukan Posdaya Ontoseno ... 87

5. Struktur Kepengurusan Posdaya Ontoseno ... 90

6. Aktivitas Pemberdayaan Kesehatan Lanjut Usia di Posdaya Ontoseno ... 93

7. Dampak Pemberdayaan Kesehatan Lanjut Usia di Posdaya Ontoseno ... 114

BAB V KESIMPULAN ... 130

A. Kesimpulan ... 130

B. Saran ... 134

DAFTAR PUSTAKA ... 135


(11)

xi DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1. Proyeksi Angka Harapan Hidup Indonesia Periode 2010-2035 ... 36 Tabel 2. Proyeksi Angka Harapan Hidup Yogyakarta Periode 2010-2035 .. 36 Tabel 3. Proyeksi Proporsi Penduduk Indonesia Umur 60+ (Lanjut Usia)

Periode 2010-2035 (Dalam %) ... 37 Tabel 4. Proyeksi Proporsi Penduduk Yogyakarta Umur 60+ (Lanjut Usia)

Periode 2010-2035 (Dalam %) ... 37 Tabel 5. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul Umur 60+ (Lanjut Usia)

Tahun 2015 ... 38 Tabel 6. Jumlah Penduduk Lanjut Usia Kecamatan Jetis Tahun 2015 ... 39 Tabel 7. Jumlah Penduduk Lanjut Usia Desa Trimulyo Tahun 2015 ... 40


(12)

xii DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman

Bagan 1. Kerangka Pikir ... 70 Bagan 2. Struktur Kepengurusan Posdaya Ontoseno ... 92


(13)

xiii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran:

1. Lembar Observasi 2. Lembar Wawancara 3. Hasil Observasi

4. Keterangan Kode Hasil Wawancara 5. Hasil Wawancara

6. Surat Keterangan Izin Penelitian Kabupaten Bantul 7. Surat Keterangan Izin dari Fakultas

8. SK Pembimbing 9. SK Penguji

10.Kartu Bimbingan Tugas Akhir

11.Daftar Hadir Posyandu Arum Ndalu 2015 12.Dokumentasi Foto Penelitian


(14)

14 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penelitian bertujuan untuk mengetahui kegiatan dan pengaruh dari pemberdayaan kesehatan bagi lanjut usia di Yogyakarta. Dengan menganalisis salah satu posdaya di Yogyakarta, yang berangkat dari pelbagai sumber empiris menjelaskan bahwa Yogyakarta merupakan provinsi dengan angka harapan hidup paling tinggi di Indonesia, sekaligus provinsi yang memiliki posdaya terbanyak penelitian ini diharapkan mendapatkan hasil yang mendalam tentang pemberdayaan kesehatan lanjut usia di salah satu posdaya di Yogyakarta, yaitu Posdaya Ontoseno, Pedukuhan Puton Desa Trimulyo Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. Posdaya Ontoseno dijadikan sebagai objek penelitian karena memiliki prestasi yang cemerlang, yaitu menjadi juara nasional lomba posdaya pada tahun 2014 yang diselenggarakan oleh Yayasan Damandiri, yaitu payung dari kegiatan posdaya.

Suyono (2007) sebagai penggagas sekaligus pendiri posdaya menjelaskan bahwa posdaya merupakan forum silaturahmi, advokasi, komunikasi, informasi, edukasi, dan sekaligus bisa dikembangkan menjadi wadah koordinasi kegiatan penguatan fungsi-fungsi keluarga secara terpadu. Silaturahmi, advokasi, komunikasi, penyebaran informasi, dan edukasi tersebut tercipta ketika antar-warga saling bertemu dalam suatu kegiatan yang dinaungi oleh Posdaya dan melakukan berbagai kegiatan bersama, sehingga berbagai hal tersebut bisa dilakukan secara efektif.


(15)

15

Maka Posdaya sebagi hasil dari revitalisasi Posyandu diharapkan bisa menjadi suatu pemberdayaan yang menjadi milik masyarakat dan bisa menampung berbagai masukan untuk mengembangkan keluarga agar mampu melaksanakan delapan fungsi utamanya, yaitu fungsi agama, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, pendidikan, sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan. Sasaran dari kegiatannya pun disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, seperti balita, remaja, dewasa, lanjut usia dan lain-lain.

Lanjut usia dipilih menjadi subjek penelitian karena beberapa alasan. Survey BPS (2004) menyatakan, jika dilihat dari proporsinya terhadap total penduduk, jumlah penduduk usia 60 tahun ke atas (lanjut usia) mengalami peningkatan dari sekitar 4,5% (5,3 juta jiwa) pada tahun 1971 menjadi 7,1% (14,4 juta jiwa) pada tahun 2000. Bahkan pada tahun 2020, diproyeksikan proporsinya akan mencapai 11,3% (28,8 juta jiwa).

Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia telah memasuki era “penduduk

berstruktur tua” (dikutip dari Suardiman, 2011).

Menurut Cicih (2005) jumlah penduduk lanjut usia yang semakin meningkat menyebabkan ketergantungan terhadap penduduk usia produktif ikut meningkat (dikutip dari Suardiman, 2011). Artinya, semakin besar jumlah penduduk lanjut usia maka semakin besar pula beban yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif (15-59 tahun). Ada pelbagai versi untuk menggolongkan lanjut usia. Versi dari Pemerintah Indonesia menyebutkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas (Hanum, 2008; Suardiman, 2011). Sedangkan secara


(16)

16

akademik terdapat tiga cara mengelompokkan lanjut usia, yaitu lanjut usia muda (young old), lanjut usia tua (old-old), dan lanjut usia tertua (oldest old).

Secara kronologis yang termasuk ke dalam young old adalah orang yang berusia antara 65 sampai 74 tahun, biasanya lanjut usia ini masih tergolong aktif, vital, dan bugar, sehingga lanjut usia muda biasanya masih bisa melakukan pekerjaannya. Sedangkan yang termasuk ke dalam

old-old yaitu orang yang berusia 75 tahun ke atas, dan yang termasuk ke dalam oldest old adalah orang yang berusia 85 tahun ke atas. Oldest old

biasanya memiliki kecenderungan yang lemah, tidak bugar, dan memiliki kesulitan dalam mengelola aktivitas keseharian (Papalia, 2008; Santrock, 2002). Cara lain untuk mengelompokkan lanjut usia secara akademik yaitu menggunakan usia fungsional, ialah seberapa baik seseorang berfungsi dalam lingkungan fisik dan sosial dibandingkan dengan orang lain seusianya (Papalia, 2008: 845).

Meningkatnya jumlah lanjut usia tidak hanya menyebabkan ketergantungan pada penduduk usia produktif, melainkan juga menuntut perhatian dari pelbagai pihak mulai dari pemerintah sampai masyarakat. Perhatian dari pemerintah tercermin dari adanya pelbagai program pemberdayaan, seperti Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLUT), Usaha Ekonomi Produktif (UEP), Home care, Day care, Bantuan Sosial melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia (LKS), dan lain-lain.


(17)

17

Program-program tersebut tidak selamanya berjalan mulus, ada saatnya timbul suatu ketegangan misalnya, program UEP yang diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI. Di Yogyakarta program ini mendapat dana dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Namun dukungan dana dari APBD Yogyakarta tidak selalu dialokasikan setiap tahun anggaran, buktinya pada tahun 2011 APBD mengalokasikan dana sebesar Rp. 79.898.000 sementara tahun 2012 justru turun menjadi Rp. 65.000.000 dan pada tahun 2013 sama sekali tidak ada alokasi untuk program UEP lanjut usia. Selanjutnya pada tahun 2014 dialokasikan sebanyak Rp. 172.540.075 (Dinsos DIY, 2014: 135). Ketegangan lain muncul ketika pengalokasian bantuan UEP belum didasarkan atas data persebaran populasi lanjut usia yang bekerja, hal ini terjadi di Yogyakarta dan akibatnya jumlah penerima UEP kurang proporsional (Dinsos DIY, 2014: 135).

Ketegangan program dari pemerintah untuk lanjut usia tidak berhenti disitu saja. Pada 2012 program home care di Yogyakarta mengalami kekacauan pendanaan. Sebenarnya sumber dana dari program ini berasal dari APBN dan APBD. Anggaran yang bersumber dari APBN dialokasikan untuk membiayai home care yang dilaksanakan oleh Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). Sementara dana dari APBD Pemerintah Yogyakarta digunakan untuk penyelenggaraan home care pada unit kerja seksi Perlindungan Sosial Lanjut Usia Dinas Sosial Yogyakarta. Namun


(18)

18

pada 2012 PSTW sudah tidak lagi menyelenggarakan home care karena sudah tidak ada alokasi dana dari APBN (Dinsos DIY, 2014: 120).

Pelbagai ketegangan yang menghambat terselenggaranya pemberdayaan lanjut usia mengindikasikan bahwa perhatian dan fasilitas dari pemerintah masih kurang. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan negara maju, misalnya saja Jepang. Di Jepang Pada tahun 2010 diproyeksikan dari 54 triliun yen dana kesehatan nasional sebanyak 23 triliun (42%) diberikan kepada lanjut usia. Sedangkan untuk tahun 2025, diperkirakan jumlah dana kesehatan berusaha terus ditingkatkan, dari 104 triliun yen dana kesehatan nasional sebanyak 56 triliun yen (54%) akan diberikan kepada lanjut usia. Dari jumlah tersebut terlihat lebih dari setengah dana kesehatan nasional diberikan kepada lanjut usia. Artinya peningkatan jumlah lanjut usia menjadi tanggungjawab pemerintah (Elsy, 2012: 107).

Keterbatasan dari Pemerintah Indonesia bukan berarti membuat lanjut usia hanya bisa pasif dan tidak berdaya. Sekarang banyak bermunculan upaya untuk memberdayakan lanjut usia baik yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah maupun pihak swasta, ini menunjukkan adanya kepedulian pelbagai pihak terhadap lanjut usia. Pelbagai kegiatan pemberdayaan yang sudah ada diantaranya Rumah Sehat Lanjut Usia, Posyandu Lanjut Usia, Posdaya, dan lain-lain. Perkembangan posdaya bisa dibilang cukup signifikan dan paling menonjol jika dibandingkan dengan program pemberdayaan yang lain, karena pada tahun 2008 lebih dari 600


(19)

19

posdaya sudah terbentuk dan dikembangkan secara meluas di tidak kurang dari 83 Kabupaten/ Kota yang tersebar di 12 provinsi yang meliputi seluruh provinsi di Pulau Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Bangka Belitung. Terlebih lagi banyak keinginan dan permintaan dari masyarakat terutama dari Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, untuk mendapatkan sosialisasi dan pelatihan serta mengadakan peninjauan lapangan tentang posdaya. (Suyono, 2009: 1). Sampai sekarang program ini masih terus bergulir di masyarakat, ditambah jumlah posdaya yang semakin bertambah menunjukkan bahwa program ini diterima oleh masyarakat.

Sebagian besar tujuan dari kegiatan pemberdayaan lanjut usia di atas bergerak dalam hal kesehatan, karena kesehatan merupakan masalah paling umum. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak tantangan lain yang harus dihadapi lanjut usia, misalnya tantangan ekonomi, sosial, dan psikologis (Suardiman, 2011: 9). Adanya harapan bahwa lanjut usia ingin tetap sehat, mandiri, aktif, dan berfungsi dalam masyarakat adalah hal yang wajar, namun dibalik harapan tersebut tantangan kesehatan merupakan masalah yang paling dirasakan oleh lanjut usia, karena terjadi kemunduran sel-sel akibat proses penuaan, yang mengakibatkan kelemahan organ, kemunduran fisik, dan munculnya pelbagai penyakit khususnya yang bersifat degeneratif (Suardiman, 2011: 13).

Oleh karena itu pemberdayaan lanjut usia khususnya dalam hal kesehatan perlu ditekankan, hal ini berkaitan dengan usia fungsional, yaitu


(20)

20

seberapa baik seseorang berfungsi dalam lingkungan fisik dan sosial dibandingkan dengan orang lain seusianya. Misal, seseorang yang berusia 90 tahun namun tetap memiliki kesehatan yang prima bisa jadi berfungsi lebih muda dibandingkan orang berusia 65 tahun yang tidak sehat (Papalia, 2008: 845). Selain itu pemberdayaan kesehatan juga ditujukan agar lanjut usia tetap mandiri, berdaya guna, dan mengurangi ketergantungan terhadap keluarga maupun masyarakat. Pendidikan (nonformal), interaksi sosial antara lanjut usia dengan keluarga dan masyarakat juga turut diperhatikan demi turut mengurangi ketergantungan tersebut.

Fenomena yang telah dipaparkan tersebut berusaha dibahas oleh penulis untuk menguji sejauh mana pengaruh pemberdayaan kesehatan bagi lanjut usia yang dibentuk oleh masyarakat. Penulis mencoba menganalisisnya melalui penelitian dalam skripsi dengan judul Pemberdayaan Kesehatan Lanjut Usia di Posdaya Ontoseno Puton, Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Indonesia memasuki era “penduduk berstruktur tua”. Hal ini menuntut perhatian dan pemberdayaan dari semua pihak, karena jika tidak diberdayakan berpotensi menimbulkan ketergantungan terhadap keluarga maupun masyarakat.


(21)

21

2. Semakin besar jumlah penduduk lanjut usia maka semakin besar pula beban yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif (15-59 tahun).

3. Beberapa program pemberdayaan dari Pemerintah Indonesia untuk lanjut usia tidak berjalan mulus, misalnya Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang persebaran penerimanya tidak proporsional, dan home care yang mengalami kekacauan pendanaan.

4. Muncul program pemberdayaan lanjut usia yang dirintis oleh masyarakat sebagai bentuk perhatian kepada lanjut usia.

5. Posdaya menjadi salah satu program pemberdayaan yang kemajuannya cukup signifikan karena jumlahnya bertambah drastis.

6. Kesehatan menjadi tantangan paling umum dirasakan oleh lanjut usia. 7. Pemberdayaan kesehatan ditujukan agar lanjut usia tetap mandiri,

berdaya guna, dan mengurangi ketergantungan terhadap keluarga maupun masyarakat.

C. Batasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka penulis akan menitikberatkan permasalahan tentang aktivitas dan pengaruh pemberdayaan kesehatan bagi lanjut usia di Posdaya Ontoseno Puton, Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta.


(22)

22 D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka diperoleh rumusan masalah pada penelitian yaitu:

1. Bagaimana aktivitas Posdaya Ontoseno dalam melakukan pemberdayaan kesehatan lanjut usia?

2. Bagaimana pengaruh adanya pemberdayaan kesehatan bagi kesehatan lanjut usia di Posdaya Ontoseno?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui aktivitas Posdaya Ontoseno dalam melakukan pemberdayaan kesehatan lanjut usia.

2. Untuk mengetahui pengaruh adanya pemberdayaan kesehatan bagi kesehatan lanjut usia di Posdaya Ontoseno.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Bermanfaat bagi perkembangan ilmu Sosiologi, khususnya mengenai lanjut usia dan Posdaya


(23)

23

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman kepada pembaca mengenai pemberdayaan lanjut usia melalui posdaya

c. Digunakan sebagai ajang berpikir kritis, analitis, dalam mengembangkan teknik/ metode penelitian sosial.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti

Melalui penelitian ini, peneliti dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapatkan selama menempuh studi Pendidikan Sosiologi ke dalam karya nyata. Penelitian ini juga dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan pemberdayaan kesehatan lanjut usia

b. Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi dan memberikan wawasan tambahan tentang pemberdayaan kesehatan lanjut usia.

c. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pemberdayaan masyarakat. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi empiris pada masyarakat tentang pemberdayaan kesehatan lanjut usia.


(24)

24

d. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber informasi bagi warga Universitas Negeri Yogyakarta mengenai pemberdayaan kesehatan lanjut usia.


(25)

25 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Kajian Pustaka

1. Mendefinisikan Lanjut Usia Secara Akademik

Proses menua merupakan sesuatu yang alami dan dialami oleh semua makhluk hidup. Sedangkan lanjut usia merupakan istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut (Suardiman, 2011: 1). Ada beberapa jenis penuaan diantaranya yaitu penuaan primer dan sekunder. Penuaan primer yaitu proses kemunduran tubuh secara gradual yang tak terhindarkan dan dimulai dari masa awal kehidupan selama bertahun-tahun, terlepas dari apa yang orang lakukan untuk menundanya (Papalia, 2008: 845). Jadi penuaan primer merupakan penuaan yang tidak bisa dicegah dan terus berlangsung. Sedangkan yang dimaksud penuaan sekunder yaitu penuaan yang disebabkan oleh hasil penyakit, kecelakaan, dan kesalahan tertentu yang sebenarnya bisa dihindari dan dikontrol (Papalia, 2008:845).

Ilmuan sosial dan ahli perkembangan yang mempelajari tentang penuaan menyebutkan terdapat tiga kelompok lanjut usia yaitu lanjut usia muda (young old), lanjut usia tua (old-old), dan lanjut usia tertua (oldest old). Secara kronologis yang termasuk ke dalam young old adalah orang yang berusia antara 65 sampai 74 tahun, biasanya lanjut usia ini masih tergolong aktif, vital, dan bugar, sehingga lanjut usia muda biasanya masih bisa melakukan pekerjaannya. Sedangkan yang termasuk ke dalam old-old yaitu orang yang berusia 75 tahun ke


(26)

26

atas, dan yang termasuk ke dalam oldest old adalah orang yang berusia 85 tahun ke atas. Oldest old biasanya memiliki kecenderungan yang lemah, tidak bugar, dan memiliki kesulitan dalam mengelola aktivitas keseharian (Papalia, 2008; Santrock, 2002).

Ketiga klasifikasi di atas bukanlah satu-satunya cara untuk mengelompokkan lanjut usia menurut ilmu sosial dan ahli perkembangan. Masih ada cara lain untuk mengelompokkan lanjut usia menurut ilmu sosial, yaitu menggunakan usia fungsional. Usia fungsional merupakan seberapa baik seseorang berfungsi dalam lingkungan fisik dan sosial dibandingkan dengan orang lain seusianya. Misalnya, seseorang yang berusia 90 tahun namun tetap memiliki kesehatan yang prima bisa jadi berfungsi lebih muda dibandingkan orang berusia 65 tahun yang tidak sehat (Papalia, 2008: 845).

Lanjut usia berkaitan erat dengan pelbagai penurunan, salah satunya yaitu penurunan intelektual. Hal ini sangat berimbas pada dunia usaha karena pendapat tersebut dipakai sebagai alasan untuk memberhentikan seseorang yang sudah lanjut (Haditono, 2006: 339). Intelektual atau kecerdasan seseorang berkaitan dengan inteligensi. Setidaknya inteligensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fluit intelligence (suatu inteligensi yang berhubungan dengan faktor pembawaan dan fungsi fisik)dan cristalizedintelligence (berhubungan dengan kebudayaan dan hasil pelajaran sepanjang hidup yang diperoleh melalui belajar dan pengalaman). Fluit intelligence


(27)

27

mengalami kemunduran setelah mencapai puncaknya pada usia 30 atau 40 tahun, sedangkan cristalizedintelligence bisa tetap bertahan sampai seseorang memasuki masa lanjut usia (Haditono, 2006: 340), di mana menurut Lavinson masa lanjut usia atau dewasa akhir adalah ketika seseorang berusia 60 tahun atau lebih (Haditono, 2006: 329).

Horn dan Donaldson (1980) menganggap kemunduran inteligensi merupakan hal yang realistis, khususnya bagi seseorang yang mulai memasuki usia 50 tahun. Sedangkan Schale berpendapat bahwa perubahan intelektual seseorang terjadi ketika ia memasuki usia akhir 50 tahun/ awal 60 tahun, karena menurutnya perubahan intelektual dan kemunduran keterampilan yang terjadi pada seseorang yang belum mencapai usia 60 tahun adalah sebuah patologi dan tidak normal sedangkan di atas usia 80 tahun biasanya terjadi kemunduran pada kebanyakan orang (Haditono, 2006: 340-341).

Horn dan Donaldson (1980) mengakui adanya perbedaan yang besar pada inteligensi seseorang dengan orang yang lain, dan menurut Baltes hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu: fenomena inteligensi mempunyai banyak dimensi (multidimensional), proses berkembangnya tidak sama pada semua orang, tingkatan berfungsinya dan berkembangnya intelektual seseorang berbeda-beda, dan arah jalan serta tingkat perkembangan yang telah dicapai bisa saja berubah (dikutip dari Haditono, 2006). Sedangkan Papalia (2006: 856) menjelaskan bahwa pada lanjut usia normal dan sehat, perubahan pada


(28)

28

otak yang berkaitan dengan inteligensi biasanya bersifat rendah dan hanya membuat sedikit perbedaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan inteligensi pada lanjut usia merupakan sesuatu yang wajar, namun hal ini tidak bisa disamaratakan, karena penurunan inteligensi antara satu lanjut usia dengan lanjut usia yang lain berbeda-beda. 2. Gerontologi dan Gejala Penuaan Masyarakat

Kajian mengenai lanjut usia menjadi hal yang banyak diperbincangkan, ini disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang semakin kesini semakin memasuki era penduduk berstruktur tua. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain penurunan tingkat kelahiran dan kematian yang berpengaruh pada kondisi demografis penduduk, serta pembangunan nasional yang peduli pada peningkatan kesejahteraan sosial dan kesehatan yang ditandai dengan peningkatan status gizi, layanan kesehatan, kemajuan teknologi di bidang kesehatan, peningkatan pendidikan, yang berpengaruh pada meningkatnya angka rata-rata usia harapan hidup penduduk (Suardiman, 2011: 5).

Meningkatnya angka harapan hidup juga menandakan bahwa masa tua penduduk Indonesia menjadi semakin panjang. Data statistik menunjukkan bahwa meningkatnya angka harapan hidup berpengaruh pada jumlah penduduk lanjut usia. Menteri Kependudukan/ Kepala BKKBN (1999) menyatakan bahwa Indonesia telah memasuki aging population bahkan sejak tahun 1995 untuk beberapa provinsi proporsi


(29)

29

lanjut usianya telah jauh berada di atas patokan penduduk berstruktur tua yakni 7%, antara lain Daerah Istimewa Yogyakarta (12,5%), Jawa Timur (9,46%), Jawa Tengah (8,9%), dan Sumatera Barat (7,98%) (dikutip dari Suardiman, 2011).

Perubahan struktur umur penduduk berpengaruh tidak hanya pada aspek demografis saja, melainkan juga terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan psikologi secara keseluruhan. Struktur kebutuhan penduduk juga berubah, seperti kebutuhan akan pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan yang semula diperuntukkan penduduk muda pada akhirnya akan banyak dialokasikan untuk penduduk tua. Ada kecenderungan jumlah dan persentase penduduk lanjut usia akan melebihi jumlah dan persentase penduduk balita.

Gejala peningkatan jumlah penduduk lanjut usia yang mengakibatkan penuaan masyarakat ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan dialami oleh negara lain. Kuroda (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk lanjut usia di seluruh dunia

akan berjalan cepat, terutama pada abad 21, yang akan menjadi “Era Lanjut Usia” (dikutip dari Suardiman, 2011). Inilah yang

menyebabkan kajian tentang lanjut usia di era sekarang semakin banyak.

Pembahasan mengenai pelbagai hal tentang lanjut usia termasuk ke dalam studi gerontologi. Gerontologi merupakan salah


(30)

30

satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari kehidupan orang lanjut usia dimana kajiannya mencakup aspek-aspek biologis, psikologis, sosial, kultural, fisiologis, ekonomi, dan lain-lain (Hardjomarsono, 2011; Indriana, 2012; Hooyman, 2014). Para ahli gerontologi menjelaskan bahwa terdapat 4 tahap yang berbeda dalam proses penuaan, yaitu:

a. Penuaan kronologis

Penuaan ini didasarkan pada perhitungan umur seseorang. Cara yang mudah untuk mengidentifikasi seseorang sudah tergolong tua atau belum adalah melalui usia kronologis, usia yang didasarkan pada umur kalender atau umur dari ulang tahun terakhir (Suardiman: 2011: 3). Usia kronologis tidak selalu berhubungan dengan biologis, fisik, psikologis, dan sosial seseorang. Sehingga ketika seseorang dikatakan tua secara kronologis maka belum tentu secara biologis, fisik, psikologis, maupun sosial ia juga sudah tua. b. Penuaan biologis

Penuaan ini mengacu pada perubahan fisik yang mengurangi efisiensi sistem kerja organ, seperti paru-paru, jantung, dan sistem peredaran darah. Tipe penuaan biologis dapat ditentukan dengan mengukur efisiensi dan kemampuan fisik seseorang (Hooyman, 2011: 2).


(31)

31

c. Penuaan psikologis

Penuaan psikologis meliputi perubahan yang terjadi dalam proses sensorik, persepsi, kepribadian, dan kemampuan kognitif (memori, belajar, kecerdasan) (Hooyman, 2011: 2).

d. Penuaan sosial

Penuaan ini mengacu pada perubahan peran pada individu yang berhubungan dengan keluarga, teman, maupun masyarakat (Hooyman, 2011: 2). Biasanya peran lanjut usia di masyarakat akan digantikan dengan generasi muda, sehingga hal ini menyebabkan lanjut usia mengalami perubahan peran.

Pada kajian tentang gerontologi terdapat beberapa teori mengenai penuaan. Di bawah ini ada beberapa teori penuaan dalam studi gerontologi, yaitu:

a. Teori aktivitas/ Activity theory of aging

Teori ini dipopulerkan oleh Neugarten, inti teorinya menjelaskan agar lanjut usia berhasil maka ia harus tetap seaktif mungkin dan bisa berpartisipasi dalam masyarakat. Semakin tua seseorang maka ia akan memelihara hubungan sosial, baik fisik maupun emosionalnya. Teori ini mendukung agar lanjut usia tetap dilibatkan dalam pelbagai kegiatan (Feldman, 2010; Suardiman, 2011).


(32)

32

b. Teori kontinuitas/ Continuity theory

Teori ini diungkapkan oleh pakar gerontologi yaitu Robert Atchley (1989) yang menekankan bahwa orang perlu memelihara satu hubungan antara masa lalu dan masa kini. Dalam hal ini aktivitas menjadi hal yang penting bukan demi dirinya sendiri melainkan untuk representasi yang berkesinambungan dari suatu gaya hidup (dikutip dari Suardiman, 2011). Sehingga meskipun seseorang sudah memasuki masa lanjut usia sebenarnya ia masih membutuhkan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya sering ia lakukan agar kontinuitas nya tetap terjaga.

c. Teori pengunduran diri/ Disengangement theory

Teori ini secara formal diajukan oleh Cumming dan Henry pada tahun 1961. Teori ini berpendapat bahwa semakin tinggi usia manusia akan diikuti secara berangsur-angsur oleh semakin mundurnya interaksi sosial, fisik, psikologis dan emosi dengan kehidupan dunia. Hal ini dikarenakan lanjut usia tidak bisa lagi memenuhi tuntutan dari masyarakat. Namun, penarikan juga memberikan tujuan yang penting bagi lanjut usia yaitu, memberikan kesempatan untuk meningkatkan introspeksi diri pada waktu hidup, karena semuanya pasti akan berakhir dengan kematian (Suardiman, 2011; Feldman, 2010).


(33)

33

d. Teori interaksi sosial/ Social exchange theory

Teori ini menjelaskan bahwa lanjut usia bertindak sesuai dengan apa yang dihargai oleh masyarakat. Simmons (1945) mengemukakan bahwa kemampuan lanjut usia untuk menjalin interaksi sosial merupakan kemampuannya untuk mempertahankan status sosialnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tetap bisa diterima dan dihargai dalam kehidupan bermasyarakat (dikutip dari Hardywinoto, 1999).

e. Teori perkembangan/ Development theory

Teori ini menjelaskan bagaimana proses menjadi tua, namun teori ini tidak menjelaskan cara menjadi tua yang diinginkan atau seharusnya. Pokok-pokok dari teori perkembangan yaitu (Hardywinoto, 1999: 50):

1) Masa tua merupakan masa dimana lanjut usia merumuskan semua masa kehidupannya.

2) Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan sosial yang baru, seperti halnya pensiun maupun kehilangan pasangan hidup.

f. Teori stratifikasi usia/ Age stratification theory

Teori ini tidak dapat digunakan untuk menganalisis lanjut usia secara perorangan, karena stratifikasi merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Teori ini digunakan untuk mempelajari sifat


(34)

34

kelompok lanjut usia yang bersifat makro. Pokok-pokok dari teori ini yaitu (Hardywinoto, 1999: 51):

1) Arti usia dan posisi kelompok usia bagi masyarakat

2) Terdapatnya transisi yang dialami oleh kelompok terutama kelompok lanjut usia. Seseorang yang sudah memasuki masa lanjut usia maka ia akan banyak mengalami perubahan. Misalnya saja, kehilangan pekerjaan atau pensiun, mengalami sarang kosong dimana anak-anaknya pergi dan tidak tinggal bersama dengannya lagi karena sudah berkeluarga atau bekerja di luar kota, dan kehilangan pasangan hidup.

3) Terdapatnya pengalokasian peran diantara penduduk. Penduduk yang sudah memasuki masa lanjut usia biasanya akan mengalami perubahan peran yang drastis karena peran-peran dalam masyarakat digantikan oleh generasi muda. Meskipun demikian lanjut usia harus tetap mendapatkan peran dalam masyarakat, hal ini ditujukan agar mereka tetap merasa dibutuhkan dan tidak diasingkan oleh masyarakat.

3. Penuaan dan Tantangan Lanjut Usia

Sejalan dengan bertambahnya usia maka kondisi fisik maupun nonfisik akan mengalami penurunan, hal tersebut wajar dialami oleh semua makhluk hidup. Siklus yang dialami makhluk hidup diawali dengan kelahiran, dewasa, berkembang biak, selanjutnya


(35)

35

menjadi tua, menderita pelbagai penyakit, penurunan pelbagai fungsi tubuh, dan akhirnya meninggal dunia.

Adanya harapan bahwa lanjut usia ingin tetap sehat, mandiri, dan aktif merupakan hal yang wajar, namun dibalik harapan tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa banyak tantangan yang harus dihadapi lanjut usia. Suardiman (2011) mengatakan bahwa tantangan yang pada umumnya dihadapi oleh lanjut usia dapat dikelompokkan menjadi empat hal, yaitu:

a. Tantangan ekonomi

Lanjut usia ditandai dengan menurunnya produktivitas kerja, memasuki masa pensiun atau berhentinya pekerjaan utama. Hal ini berakibat pada menurunnya pendapatan yang kemudian terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, rekreasi, dan kebutuhan sosial (Suardiman, 2011: 9). Pada sebagian lanjut usia, karena kondisinya yang tidak memungkinkan, berarti masa tua tidak produktif lagi dan berkurang atau bahkan tidak memiliki penghasilan. Padahal disisi lain lanjut usia dihadapkan pada pelbagai kebutuhan yang semakin meningkat, seperti kebutuhan akan makanan dan gizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perawatan bagi yang menderita penyakit ketuaan, kebutuhan sosial dan rekreasi.

Hal ini dapat dianalisis menggunakan teori pengunduran diri, khususnya pengunduran dalam hal ekonomi. Lanjut usia yang


(36)

36

sebelumnya bekerja dan bisa mendapatkan penghasilan sendiri ketika ia sudah memasuki masa lanjut usia maka bisa jadi penghasilan tersebut tidak ada lagi atau berkurang yang disebabkan oleh pelbagai faktor, seperti pensiun, kondisi fisik yang tidak memungkinkan lagi untuk bekerja, dan lain-lain.

Terlebih lagi dalam teori pengunduran diri dijelaskan keterkaitan lanjut usia dengan emosi kehidupan dunia akan semakin berkurang. Hal ini sejajar dengan yang diungkapkan oleh Hurlock (2004) apabila pendapatan orang lanjut usia secara drastis berkurang maka minat untuk mencari uang tidak lagi berorientasi pada apa yang ingin mereka beli dan untuk membayar simbol status, tetapi untuk sekedar menjaga kemandirian mereka (dikutip dari Suardiman, 2011). Sehingga penurunan ekonomi pada lanjut usia merupakan hal yang umum terjadi, karena selain mereka sudah memasuki masa lanjut usia orientasi merekapun bukan lagi pada kehidupan duniawi, namun menghadapi kematian.

b. Tantangan sosial

Memasuki masa tua ditandai dengan berkurangnya kontak sosial, baik dengan anggota keluarga, anggota masyarakat, maupun teman kerja sebagai akibat terputusnya hubungan kerja karena pensiun. Di samping itu kecenderungan meluasnya keluarga inti atau keluarga batih daripada keluarga luas juga akan mengurangi kontak sosial lanjut usia. Di samping itu perubahan


(37)

37

nilai sosial masyarakat yang mengarah kepada tatanan masyarakat individualistik, berpengaruh bagi para lanjut usia yang kurang mendapat perhatian, sehingga sering tersisih dari kehidupan masyarakat dan terlantar. Kurangnya kontak sosial ini tidak sejalan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang dalam hidupnya selalu membutuhkan kehadiran orang lain (Suardiman, 2011: 12).

Menghadapi kenyataan ini perlu dibentuk kelompok-kelompok lanjut usia yang memiliki kegiatan mempertemukan anggotanya agar kontak sosial berlangsung. Kontak sosial ini berguna bagi lanjut usia agar memiliki kesempatan untuk saling bertukar informasi, saling belajar dan saling bercanda. Kontak sosial akan mendatangkan perasaan senang yang tidak dapat dipenuhi bila ia dalam keadaan sendirian. Oleh karena itu upaya mempertemukan sesama lanjut usia, meninggalkan kebiasaan bahwa lanjut usia sebagai penunggu rumah perlu untuk dilakukan. Ancok (1993) menyatakan bahwa upaya menghimpun kelompok lanjut usia dalam wadah kegiatan, memungkinkan mereka berbagi rasa dan menikmati hidup (dikutip dari Suardiman, 2011).

Tantangan ini dapat dianalisis menggunakan teori pengunduran diri. Teori ini berpendapat bahwa semakin tinggi usia manusia akan diikuti secara berangsur-angsur oleh semakin mundurnya interaksi sosial, fisik, psikologis dan emosi dengan


(38)

38

kehidupan dunia. Hal ini dikarenakan lanjut usia tidak bisa lagi memenuhi tuntutan dari masyarakat, selain itu mereka juga sudah memasuki waktu untuk istirahat dan introspeksi diri, sehingga hal ini memungkinkan lanjut usia kehilangan perannya dalam masyarakat dan digantikan dengan yang lebih muda. Mundurnya interaksi sosial bagi lanjut usia juga bisa disebabkan karena ketidakmampuan fisik sehingga membuat mereka susah keluar dan menemui orang-orang. Namun pelbagai studi juga mengungkapkan bahwa lanjut usia sering kali menghindari kesempatan untuk meningkatkan hubungan sosial dan lebih puas dengan jaringan sosial yang lebih kecil (keluarga) (Papalia, 2008: 930).

c. Tantangan kesehatan

Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia salah satunya adalah meningkatnya usia harapan hidup manusia. Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan diikuti dengan meningkatnya permasalahan kesehatan, seperti masalah kesehatan indera pendengaran dan penglihatan. Pada lanjut usia terjadi kemunduran sel-sel karena proses penuaan yang berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya pelbagai macam penyakit terutama penyakit degeneratif (Suardiman, 2011: 13). Hal ini akan menimbulkan masalah kesehatan, sosial, dan membebani perekonomian baik pada lanjut usia maupun


(39)

39

pemerintah karena masing-masing penyakit memerlukan dukungan dana atau biaya.

Masa tua ditandai oleh penurunan fungsi fisik dan rentan terhadap penyakit. Kerentanan terhadap penyakit ini disebabkan oleh menurunnya fungsi pelbagai organ tubuh. Diperlukan pelayanan kesehatan terutama untuk kelainan degeneratif demi meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lanjut usia. Terlebih lagi masalah kesehatan adalah masalah yang paling dirasakan oleh lanjut usia.

Tantangan ini bisa dianalisis menggunakan teori pengunduran diri, dimana yang dimaksud dengan pengunduran disini adalah kemampuan fisik yang semakin berkurang atau kemunduran biologis. Departemen Kesehatan RI (1998) menyatakan bahwa kemunduran tersebut dapat terlihat dari pelbagai gejala, yaitu kulit yang mulai mengendur, rambut mulai beruban, gigi mulai tanggal, pengindraan mulai berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban, dan kerampingan tubuh menjadi menghilang (dikutip dari Suardiman, 2011). Hal tersebut disebabkan oleh proses penuaan yang wajar dialami oleh lanjut usia.

d. Tantangan psikologis

Tantangan psikologis yang dihadapi oleh lanjut usia pada umumnya meliputi: kesepian, terasing dari lingkungan,


(40)

40

ketidakberdayaan, perasaan tidak berguna, kurang percaya diri, ketergantungan, keterlantaran terutama bagi lanjut usia yang miskin, post power syndrome dan sebagainya. Kebutuhan psikologis merupakan kebutuhan akan rasa aman yang terdiri dari kebutuhan akan keselamatan, keamanan, kemantapan, ketergantungan, perlindungan, bebas dari rasa takut, kecemasan, kekalutan, dan lain-lain. Selanjutnya ada juga kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kebutuhan akan kasih sayang, serta kebutuhan akan aktualisasi diri (Suardiman, 2011: 15). Tantangan ini bisa dianalisis menggunakan teori pengunduran diri. Di mana yang semakin mundur adalah kondisi psikologis para lanjut usia. Terlebih lagi lanjut usia adalah golongan yang rentan mengalami sarang kosong yaitu ditinggal oleh pasangan atau anaknya. Hal ini bisa membuat keadaan psikologis lanjut usia semakin menurun.

Semua tantangan di atas memang cocok untuk dianalisis menggunakan teori pengunduran diri, ini dikarenakan teori ini memandang bahwa pengunduran diri merupakan hal yang umum dalam tahap penuaan. Selain itu kesadaran akan terjadinya kemunduran pada fisik, ekonomi, kesehatan, sosial, psikologis, dan kesadaran akan semakin dekatnya dengan kematian membuat lanjut usia menarik diri dari kehidupan sebelumnya. Pengunduran diri juga bisa disebabkan karena masyarakat tidak lagi memberikan peran sosial. Namun pengunduran diri tidak terjadi begitu saja,


(41)

41

melainkan diikuti dengan introspeksi dan penurunan emosi terhadap kehidupan dunia (Papalia, 2008: 909).

Selain beberapa tantangan di atas Suardiman (2011) menambahkan bahwa lanjut usia memiliki tantangan yang lain, yaitu penurunan kondisi fisik, kesepian, merasa tidak berguna, dan hilangnya kemandirian. Departemen Sosial Indonesia juga menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi oleh lanjut usia.

Menurut Departemen Sosial Indonesia ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh lanjut usia, yaitu: ketiadaan sanak keluarga, kerabat, dan masyarakat lingkungan yang dapat memberikan bantuan tempat tinggal dan penghidupan, kesulitan bagi lanjut usia untuk berinteraksi dengan keluarga, tidak ada jaminan ekonomi dari keluarga, kebutuhan hidup lanjut usia yang tidak terpenuhi, adanya perbedaan nilai antara generasi tua dan muda, dan berkurangnya pelayanan dari keluarga untuk para lanjut usia (Ihromi, 2004: 202).

Hurlock (1993) juga menyatakan adanya beberapa tantangan umum bagi lanjut usia, yaitu: (1) melemahnya kondisi fisik sehingga menyebabkan lanjut usia bergantung dengan orang lain; (2) status ekonomi yang berubah. Misalnya kehilangan pekerjaan karena pensiun; (3) menentukan kondisi hidup baru yang disesuaikan dengan perubahan ekonomi dan kondisi fisik; (4) mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang telah meninggal atau pergi jauh atau cacat; (5) mengembangkan kegiatan baru untuk mengisi waktu luang; (6) belajar memperlakukan anak yang sudah besar selayaknya orang dewasa (7) mulai terlibat dalam kegiatan masyarakat yang secara khusus


(42)

42

direncanakan untuk orang lanjut usia; (8) mulai menikmati kegiatan khusus lanjut usia yang diikuti dan memiliki kemauan untuk mengganti kegiatan lama yang berat dengan kegiatan yang lebih cocok dengan usia dan kondisi fisiknya. Pelbagai kegiatan yang ditujukan untuk lanjut usia sangatlah bermanfaat karena itu bisa membuat mereka tidak merasa kesepian dan merasa masih dihargai oleh masyarakat; dan (9) menjadi “korban” atau dimanfaatkan oleh penjual obat bahkan penjahat karena lanjut usia dianggap tidak sanggup lagi mempertahankan diri (dikutip dari Suardiman, 2011).

4. Lanjut Usia di Indonesia

a. Mendefinisikan Lanjut Usia Di Indonesia

Lanjut usia adalah istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan yang dialami oleh makhluk hidup. Usia tua juga bisa dikatakan sebagai periode penutup dalam rentang hidup seseorang

yaitu suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari

periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat (Jahja, 2011). Ada dua pendekatan yang sering digunakan untuk mengidentifikasi kapan seseorang dikatakan tua, kedua pedekatan itu adalah pendekatan biologis dan pendekatan kronologis. Untuk memahami kedua pendekatan tersebut maka harus tahu terlebih dahulu mengenai usia biologis maupun usia kronologis. Usia biologis adalah usia yang


(43)

43

ditinjau dari kemampuan fisik atau biologis seseorang, sedangkan usia kronologis yaitu usia seseorang yang ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Cara yang paling mudah untuk mengetahui seseorang dikatakan tua atau tidak adalah menggunakan usia kronologis yang didasarkan pada umur kalender (Suardiman, 2011: 3).

Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 13 Tahun 1998 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas. Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Swedia, dan beberapa negara Eropa lainnya yang angka harapan hidup penduduknya lebih tinggi daripada negara-negara berkembang menggunakan batasan usia 65 tahun sebagai batas terbawah untuk kelompok penduduk lanjut usia. Hal ini berbeda dengan beberapa negara di Asia termasuk Indonesia yang menggunakan batas lanjut usia 60 tahun ke atas (Hanum, 2008; Suardiman, 2011). Biro Pusat Statistik (BPS) juga memberikan batasan yang sama untuk menyebut lanjut usia, yaitu 60 tahun ke atas (Hardjomarsono, 2011: 4).

Semakin tua umur seseorang pasti diikuti dengan pelbagai perubahan dan penurunan fungsi organ tubuh, ini merupakan hal wajar yang dialami semua makhluk hidup, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa semakin tua umur seseorang maka ia semakin


(44)

44

membutuhkan pelayanan yang lebih dalam pelbagai aspek, terutama kesehatan. Seiring dengan semakin berkembangnya dunia kesehatan di Indonesia yang ditunjukkan dengan semakin berkurangnya angka fertilitas dan kesejahteraan yang semakin meningkat turut mendorong semakin tingginya angka harapan hidup manusia Indonesia dan jumlah lanjut usia di Indonesia bertambah. Wara K. (2003) menjelaskan bahwa proporsi lanjut usia terbesar di Indonesia ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yaitu 13,72% dari jumlah penduduk DIY (dikutip dari Suardiman, 2011). Harapan hidup tertinggi juga ada di DIY yaitu mencapai 74,3 tahun (BPS, 2013: 34).

Meningkatnya angka harapan hidup masyarakat Indonesia akan berpengaruh terhadap pelbagai aspek kehidupan terkait dengan penurunan pada kondisi fisik, psikis, dan sosial. Penurunan kondisi fisik akan membawa ke kondisi yang rawan terhadap penyakit, sehingga hal ini menuntut adanya peningkatan pelayanan pada pelbagai aspek. Kusumoputro (BPS, 2006) menyebutkan bahwa proses menua adalah sesuatu yang alami disertai penurunan fisik, psikologis, maupun sosial yang saling terkait satu sama lain. Artinya, penurunan fisik akan mempengaruhi penurunan psikis maupun sosial, sementara penurunan psikis akan mempengaruhi fisik dan sosial, serta sebaliknya (dikutip dari Suardiman, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya jumlah lanjut


(45)

45

usia di Indonesia harus diimbangi dengan peningkatan pelayanan bagi mereka, baik layanan kesehatan, psikis, maupun sosial.

Pelbagai penurunan yang ada pada diri lanjut usia memungkinkan mereka terdiskriminasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga hal ini menuntut perlindungan dari pelbagai pihak. Perihal yang berkenaan dengan perlindungan dan hak-hak lanjut usia diatur dalam pasal 5 ayat 1, disebutkan bahwa lanjut usia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu di Pasal 6 ayat 1 menyatakan, bahwa lanjut usia mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari ayat-ayat tersebut jelas bahwa lanjut usia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain (Suardiman, 2011: 4). Adanya pasal perlindungan tersebut diharapkan agar lanjut usia tetap mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat lainnya tanpa adanya intimidasi atau perilaku lain yang memojokkan lanjut usia.

b. Nilai Positif Lanjut Usia di Indonesia

Segala sesuatu pasti ada nilai positif dan negatifnya, seperti halnya menjadi tua. Tidak melulu usia tua diidentikkan dengan pelbagai hal negatif dan segala penurunan baik fisik, sosial, ekonomi, maupun psikologis. Memang benar ketika seseorang memasuki lanjut usia banyak perubahan yang dialami, namun


(46)

46

selain pelbagai perubahan dan penurunan tersebut ada juga pelbagai nilai positif yang dimiliki lanjut usia, khususnya lanjut usia di Indonesia. Berikut ini beberapa nilai positif tersebut:

1) Dihormati atau dipatuhi. Dalam masyarakat Jawa, setiap orang tua mengajarkan kepada anak untuk menghormati dan mematuhi (ngajeni) orang tua. Anak wajib mengikuti petunjuk baik yang diberikan oleh orang tua dengan patuh dan menggunakan bahasa yang sopan. Hal ini dapat dilihat pada saat lebaran, di mana anak melakukan sungkeman atau memohon maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Selain itu orang tua juga menjadi pepundhen atau orang yang sangat dihormati oleh generasi muda baik anak ataupun orang disekitarnya. Hal ini selain menjadi nilai positif bagi lanjut usia juga menjadi tantangan bagi mereka, karena diperlukan introspeksi diri apakah ia sudah layak dihormati dan apakah segala sikapnya sudah baik (Suardiman, 2011: 223).

2) Selain adanya pandangan bahwa yang muda harus menghormati yang tua, penghormatan ini juga dikarenakan adanya pandangan hidup orang Timur yang melihat bahwa lanjut usia merupakan pemberi restu. Jika seseorang berani melecehkan lanjut usia maka hidupnya akan sengsara dan rezekinya terhambat (Haditono, 2006: 337).


(47)

47

3) Local Wisdom/ kearifan lokal. Lanjut usia sering dikaitkan dengan pengetahuannya tentang kearifan lokal. Kearifan lokal sering disebut juga budaya “lama”, “kuno”, atau “ketinggalan”. Para lanjut usia merupakan orang yang sudah memiliki pengalaman hidup panjang bahkan mereka memahami, menghayati, dan menjadi pelaku bagi pelbagai kearifan lokal sehingga mereka bisa menjadi narasumber mengenai nilai-nilai tradisional yang terdapat dalam kearifan lokal yang sudah mulai dilupakan oleh generasi muda. Dalam hal inilah lanjut usia diharapkan bisa menjadi subjek yang lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan kearifan lokal (Suardiman, 2011: 166), sehingga ia bisa menjadi guru bagi masyarakat disekitarnya.

4) Menempati hierarkhis yang tinggi dalam masyarakat. Geertz (1961) menjelaskan bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkhis, keteraturan ini bernilai pada diri seseorang dan orang tersebut waajib mempertahankannya agar ia bisa membawa diri sesuai dengan harapan masyarakat (dikutip dari Suardiman, 2011). Secara hierarkhis lanjut usia memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada anak, sehingga anak wajib mematuhi orang tuanya.

5) Kematangan emosi. Kematangan emosi bisa membawa seseorang pada kebijaksanaan, namun hal ini tidak datang


(48)

48

dengan sendirinya melainkan perlu perjalanan dan pengalaman hidup yang panjang. Sehingga dengan semakin bertambahnya usia seseorang kematangan emosi akan semakin terbentuk. Maka tidak heran jika lanjut usia pandai menasehati, hal ini dikarenakan ia sudah menjalani hidup sejak dulu dan juga kematangan emosinya sudah terbentuk.

5. Demografi Lanjut Usia di Indonesia

Keberhasilanpembangunan yang telah dilaksanakan terutama dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial berpengaruh pada meningkatnya angka rata-rata usia harapan hidup penduduk. Ini berarti masa tua penduduk Indonesia semakin panjang dan jumlah lanjut usia akan semakin banyak. Angka harapan hidup penduduk Indonesia (Laki-laki dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-2015 menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Angka harapan hidup terendah ada di Provinsi Sulawesi Barat yaitu 62,8 tahun, sedangkan harapan hidup tertinggi ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu 74,3 tahun. Namun pada akhir periode proyeksi (tahun 2030 - 2035) angka-angka tersebut berubah menjadi 66,8 tahun dan 75,4 tahun untuk provinsi yang sama seperti pada awal proyeksi (BPS, 2013: 32). Lebih jelasnya lihat tabel proyeksi angka harapan hidup di Indonesia dan Yogyakarta periode 2010-2035 di bawah ini:


(49)

49 Tabel 1. Proyeksi Angka Harapan Hidup Indonesia Periode

2010-2035

Periode Angka Harapan Hidup

2010-2015 70,1

2015-2020 70,9

2020-2025 71,5

2025-2030 72,0

2030-2035 72,2

Sumber: BPS, 2013

Tabel 2. Proyeksi Angka Harapan Hidup Yogyakarta Periode 2010-2035

Periode Angka Harapan Hidup

2010-2015 74,3

2015-2020 74,7

2020-2025 75,0

2025-2030 75,2

2030-2035 75,4

Sumber: BPS, 2013

Tabel di atas menunjukkan selalu terjadi peningkatan tren angka harapan hidup di Indonesia dan Yogyakarta dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut juga diikuti dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia Maupun di Yogyakarta. Lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini:

Tabel 3. Proyeksi Proporsi Penduduk Indonesia Umur 60+ (Lanjut Usia) Periode 2010-2035 (Dalam %)

Tahun Jumlah (%)

2010 7,56

2015 8,49

2020 9,99

2025 11,83

2030 13,82

2035 15,77


(50)

50 Tabel 4. Proyeksi Proporsi Penduduk Yogyakarta Umur 60+

(Lanjut Usia) Periode 2010-2035 (Dalam %)

Tahun Jumlah (%)

2010 12,88

2015 13,38

2020 14,67

2025 16,39

2030 18,15

2035 19,51

Sumber: BPS, 2013

Tabel di atas menunjukkan selalu terjadi peningkatan tren jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dari tahun ke tahun. Di Daerah Istimewa Yogyakarta jumlah penduduk lanjut usia paling banyak terdapat di Kabupaten Gunung Kidul sebanyak 17,79% dari 755. 744 jiwa penduduk Gunung Kidul. Sedangkan jumlah penduduk lanjut usia paling sedikit terdapat di Kota Yogyakarta yaitu 12,02% dari 408.823 jiwa penduduk Kota Yogyakarta (Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015). Jumlah penduduk lanjut usia di Kabupaten Bantul, Kecamatan Jetis, dan Desa Trimulyo dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul Umur 60+ (Lanjut Usia) Tahun 2015

Sumber: Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015

Usia Jumlah

60-64 38.082

65-69 25.689

70-74 23.005

75-79 80+

19.111 19.399


(51)

51

Total penduduk Kabupaten Bantul Tahun 2015 adalah 919.440 jiwa, sedangkan lanjut usianya berjumlah 125.286 jiwa. Hal ini berarti jumlah penduduk lanjut usianya adalah 13,63% dari total penduduk Kabupaten Bantul. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 hal ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk lanjut usia, karena di tahun 2014 hanya terdapat 13,10% penduduk lanjut usia di Kabupaten Bantul (Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015).

Penyebaran jumlah penduduk lanjut usia paling besar di Kabupaten Bantul terdapat di Kecamatan Kretek dengan jumlah lanjut usia 18,30% dari 31.101 jiwa penduduk Kretek. Sedangkan jumlah lanjut usia paling sedikit terdapat di Kecamatan Banguntapan dengan jumlah lanjut usia 10,52% dari 107.318 jiwa penduduk Banguntapan (Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015).

Tabel 6.Jumlah Penduduk Lanjut Usia Kecamatan Jetis Tahun 2015

Umur Jumlah

60 – 64 2.256 65 – 69 1.494 70 – 74

75 – 79 80+

1.427 1.290 1.426

Total 7.893

Sumber: Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015 Total penduduk Kecamatan Jetis Tahun 2015 adalah 57.573 jiwa, sedangkan lanjut usianya berjumlah 7.893 jiwa Hal ini bisa diartikan bahwa jumlah lanjut usia di Kecamatan Jetis adalah 13,70% dari total penduduknya. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 hal ini


(52)

52

menunjukkan adanya peningkatan, karena pada tahun 2014 jumlah penduduk lanjut usia di Kecamatan Jetis adalah 13,31% (Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015).

Penyebaran jumlah penduduk lanjut usia paling besar di Kecamatan Jetis terdapat di Desa Sumber Agung dengan jumlah lanjut usia sebanyak 14,64% dari 15.326 jiwa penduduk Desa Sumber Agung. Sedangkan jumlah lanjut usia paling sedikit terdapat di Desa Trimulyo dengan jumlah penduduk lanjut usia 12,04% dari 18.003 jiwa penduduk Trimulyo (Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015).

Tabel 7.Jumlah Penduduk Lanjut Usia Desa Trimulyo Tahun 2015

Umur Jumlah

60 – 64 621

65 – 69 404

70 – 74 75 – 79

80+

364 373 406

Total 2.168

Sumber: Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015

Total penduduk Desa Trimulyo Tahun 2015 adalah 18.003 jiwa, sedangkan lanjut usianya berjumlah 2.168 jiwa. Hal ini bisa diartikan bahwa jumlah lanjut usia di Desa Trimulyo adalah 12,04% dari total penduduknya. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 hal ini menunjukkan adanya penurunan. Pada tahun 2014 jumlah penduduk lanjut usia berjumlah 12,03% dari total penduduk Desa Trimulyo (Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, 2015).


(53)

53

6. Pemberdayaan Lanjut Usia di Indonesia

Meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia menuntut perhatian yang lebih besar dari pelbagai pihak. Di negara maju perhatian terhadap lanjut usia sudah cukup baik, karena pemerintah memberikan santunan yang relatif cukup kepada para lanjut usia. Misalnya saja di Jepang, pada tahun 2010 diproyeksikan dari 54 triliun yen dana kesehatan nasional sebanyak 23 triliun (42%) diberikan kepada lanjut usia. Sedangkan untuk tahun 2025, diperkirakan jumlah dana kesehatan berusaha terus ditingkatkan, dari 104 triliun yen dana kesehatan nasional sebanyak 56 triliun yen (54%) akan diberikan kepada lanjut usia. Dari jumlah tersebut terlihat lebih dari setengah dana kesehatan nasional diberikan kepada lanjut usia. Artinya peningkatan jumlah lanjut usia menjadi tanggungjawab dari pemerintah (Elsy, 2012: 107). Bahkan di negara maju seperti Jepang dan Belanda lanjut usia merupakan salah satu simbol status dan masa di mana mereka menikmati sisa hidupnya secara terjamin (Suardiman, 2011: 22). Selain itu setiap pelancong di Jepang yang akan check in

hotel sering kali ditanyai usia mereka untuk meyakinkan bahwa jika mereka termasuk ke dalam lanjut usia maka akan diberikan pelayanan khusus dan berbeda (Papalia, 2008: 842).

Seakan berbanding terbalik dengan negara maju, di negara berkembang seperti Indonesia, jaminan sosial penduduk lanjut usia umumnya mengikuti sistem tradisional, yaitu berasal dari anak, teman,


(54)

54

atau anggota keluarga lainnya. Berdasarkan hal ini pemberdayaan bagi lanjut usia sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungannya tersebut (Suardiman, 2011: 27). Pemberdayaan lanjut usia mengacu pada upaya mengembangkan potensi individu maupun kelompok penduduk lanjut usia sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuannya dalam pelbagai aktivitas baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Pranarka dan Moelyanto (dalam Priyono, Onny S. & Pranarka, A.M.W., 1996) menyebutkan, dalam melakukan pemberdayaan terlebih dahulu perlu dipahami dua hal yaitu power

sebagai bangunan dasar dan empowerment yaitu bangunan di atasnya. Maka, dalam pemberdayaan lanjut usia potensi objektif mereka diibaratkan power yang harus dijadikan dasar pemberdayaan (dikutip dari Suardiman, 2011). Pemberdayaan menempatkan pada potensi apa yang bisa dikembangkan dan dilakukan oleh lanjut usia, bukan apa yang diperuntukkan bagi lanjut usia.

a. Peran Pemberdayaan Lanjut Usia

Pemberdayaan bagi lanjut usia menjadi salah satu hal yang perlu dilakukan karena melalui kegiatan tersebut banyak manfaat yang dapat diperoleh lanjut usia, diantaranya mereka dapat berkumpul dengan sesama sehingga rasa kesepian, tidak berguna, dan kurangnya aktivitas sedikit demi sedikit dapat dihilangkan dari pikiran lanjut usia. Kegiatan positif yang dimiliki oleh lanjut usia


(55)

55

juga turut menghilangkan pension-stress atau post power syndrome

yang biasanya dirasakan oleh lanjut usia yang sudah berhenti bekerja karena pensiun, selain itu juga berperan mengembangkan kreativitas dan inisiatif para lanjut usia sehingga mereka dapat mengembangkan aktivitas baik sosial, ekonomi, maupun politik (Suardiman, 2011: 27).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nindria Untarini mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Negeri Surabaya. Judul dari penelitian tersebut adalah Pemberdayaan Lanjut usia Melalui Aktivitas Kognitif Dan Aktivitas Sosial Sebagai Upaya Mengatasi Kondisi Fisik Dan Psikologis. Hasil dari penelitian tersebut adalah pelbagai pelatihan yang berkaitan dengan aktivitas kognitif dan sosial dapat meningkatkan mutu kehidupan lanjut usia, membuat mereka lebih mandiri, sehat, dan berdaya guna. Juga bisa mengurangi rasa sepi, jenuh, bosan, dan mengurangi kepikunan, sebab otak yang selalu diasah dan digunakan untuk berfikir akan berfungsi lebih baik. Artinya, kegiatan positif akan membawa pengaruh positif juga (Untarini, Tt).

Selain memberikan pengaruh positif, pemberdayaan bagi lanjut usia merupakan bentuk kepedulian serta fasilitas dari pemerintah dan masyarakat. Memang jika dibandingkan dengan negara maju fasilitas dari Pemerintah Indonesia untuk lanjut usia masih berbeda, namun pemerintah sudah mengupayakan pelbagai


(56)

56

pemberdayaan, seperti diadakannya program ASLUT (Asistensi Sosial Lanjut Usia), UEP (Unit Ekonomi Produktif), Home Care,

Day Care, Bantuan Sosial melalui LKS Lanjut Usia (Lembaga Kesejahteraan Sosial), Bedah Kamar Lanjut Usia, dan lain-lain. Semua program tersebut berasal dari Kementerian Sosial RI yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, meningkatkan kesejahteraan, dan memberdayakan lanjut usia Indonesia. Keterbatasan fasilitas dari pemerintah untuk lanjut usia Indonesia bukan berarti mereka hanya bisa pasif dan tidak berdaya. Sekarang ini banyak bermunculan upaya untuk memberdayakan lanjut usia baik yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah maupun pihak swasta, ini menunjukkan adanya kepedulian masyarakat terhadap lanjut usia. Pelbagai kegiatan pemberdayaan tersebut diantaranya Rumah Sehat Lanjut Usia, Posyandu Lanjut Usia, Posdaya, dan lain-lain.

Perkembangan posdaya bisa dibilang cukup signifikan dan paling menonjol jika dibandingkan dengan program pemberdayaan yang lain, karena dalam waktu kurang dari 2 tahun sejak diresmikan, konsep Posdaya telah mendapatkan sambutan yang luar biasa serta diterima diberbagai tingkatan dan daerah sebagai suatu gagasan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di akar rumput. Pada 2008 lebih dari 600 Posdaya sudah terbentuk dan dikembangkan secara meluas di 83


(57)

57

Kabupaten/ Kota yang tersebar di 12 Provinsi. Terlebih lagi banyak permintaan dari masyarakat khususnya Pemerintah Daerah untuk mendapatkan sosialisasi tentang Posdaya (Suyono, 2009: 1). Dipelbagai tempat kegiatan posdaya juga terbukti memberikan sumbangan yang positif bagi masyarakat, salah satunya yaitu Posdaya Edelwys di Pedukuhan Serut Palbapang, Bantul. Berdasarkan penelitian dari Sofyan Tri Untoro, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan judul Peran Pos Pemberdayaan Keluarga (POSDAYA) Edelwys Dalam Menangani Ketahanan Pangan Di Pedukuhan Serut Palbapang Bantul D.I.Y. Hasil dari penelitian tersebut adalah adanya peningkatan produksi pangan di Pedukuhan Serut Palbapang setelah adanya Posdaya. Hasilnya yaitu pada 2012 (410.000 ton), 2013 (422.000 ton), dan 2014 (433.000 ton). Adanya peningkatan tersebut merupakan tolok ukur keberhasilan yang dilakukan Posdaya Edelwys (Untoro, 2015).

Posdaya Edelwys selain memberikan sumbangan positif dalam hal ketahanan pangan juga membantu meningkatkan kesehatan masyarakat setempat. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Majid Muhammad, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga dengan judul Peran Posdaya Edelwys Dalam Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat Pedukuhan Serut Palbapang Bantul Yogyakarta. Hasil


(58)

58

dari penelitian tersebut adalah masyarakat Pedukuhan Serut memiliki tambahan pengetahuan mengenai kesehatan, adanya kemandirian dan partisipasi warga dalam pemberdayaan kesehatan (Muhammad, 2014). Dari kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa posdaya yang ada di masyarakat sudah memberikan kontribusi yang positif.

b. Program Pemberdayaan Lanjut Usia

Kepedulian terhadap lanjut usia merupakan tanggungjawab bersama, oleh karena itu dibutuhkan kerjasama dari pelbagai pihak, mulai dari pemerintah sampai masyarakat. Sekarang ini sudah terdapat banyak jenis pemberdayaan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Berikut ini adalah pelbagai macam pemberdayaan bagi lanjut usia:

1) Program Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLUT)

Program ASLUT merupakan salah satu program pusat dari Kementerian Sosial RI yang telah dilaksanakan sejak tahun 2006 hingga sekarang dan ada di semua provinsi. Namun di tahun 2006 sampai 2011 program ini bernama JSLU (Jaminan Sosial Lanjut Usia) dan berganti nama menjadi ASLUT pada tahun 2012 (Kementerian Sosial RI, 2014: 3). Program ini bertujuan untuk membimbing, mendampingi, dan mengarahkan lanjut usia, sehingga diharapkan lanjut usia terdampingi dalam mengatasi pelbagai masalah dan kebutuhannya, serta


(59)

59

meningkatkan kemampuan lanjut usia untuk mengatasi masalahnya sendiri. Program diberikan dalam bentuk bantuan yang bersumber dari dana APBN, berupa uang tunai yang diberikan setiap bulan (BPS, 2013: 121).

2) Program Usaha Ekonomi Produktif (UEP)

Program UEP merupakan salah satu program pusat dari Kementerian Sosial RI berupa layanan sosial kepada lanjut usia potensial yang masih aktif, kreatif, dan produktif, dengan memberikan bimbingan atau pelatihan, bantuan modal dan pendampingan sehingga lanjut usia tersebut bisa berkarya membangun usaha yang setidaknya dapat menjadi sumber penghasilan bagi dirinya sendiri (BPS, 2013: 122).

3) Program Pendampingan dan Perawatan Lanjut Usia di Rumah (Home Care)

Program home care merupakan salah satu program pusat dari Kementerian Sosial RI. Program ini merupakan pelayanan lanjut usia yang dilakukan di luar panti sosial (lanjut usia didatangi ke rumah) yang dilakukan oleh seorang pendamping. Pendamping yang dimaksud adalah seseorang yang mempunyai kompentensi yang didapat baik melalui pelatihan maupun bimbingan teknis dalam memberikan pendampingan dan perawatan sosial kepada lanjut usia di rumah. Tujuan dari program ini yaitu untuk membantu


(60)

60

keluarga dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh anggotanya dalam memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah lanjut usia sekaligus memberi kesempatan kepada lanjut usia untuk tetap tinggal dalam keluarganya (Kementerian Sosial RI, 2014: 7).

Sasaran layanan home care meliputi lanjut usia terlantar, lanjut usia yang tinggal sendiri, lanjut usia miskin, lanjut usia dengan keterbatasan mobilitas, lanjut usia penyandang cacat ringan atau berat, lanjut usia pasca perawatan di rumah sakit (BPS, 2013: 122) dan mempunyai identitas yang jelas, serta terdaftar sebagai binaan di Lembaga Kesejahteraan Sosial lanjut usia (LKS) (Kementerian Sosial RI, 2014: 12). Cara yang perlu dilakukan agar lanjut usia dapat memperoleh pelayanan home care diawali dengan pembuatan proposal oleh LKS yang diajukan kepada Dinas Sosial Kabupaten/ Kota, selanjutnya direkomendasikan ke Dinas Sosial Provinsi, dan dilanjutkan ke Kementerian Sosial RI (Kementerian Sosial RI, 2014: 18).

Pemberhentian penerima home care lajut usia melalui LKS dapat dilakukan apabila terjadi beberapa hal yaitu: penerima home care lanjut usia melalui LKS meninggal dunia yang dinyatakan dengan surat keterangan kematian dari kepala


(61)

61

desa/lurah dan penerima home care lanjut usia pindah alamat di luar wilayah kerja LKS (Kementerian Sosial RI, 2014: 25-26). 4) Day Care Service/ Program Pelayanan Harian Lanjut Usia

(PHLU)

Program pelayanan harian lanjut usia merupakan salah satu program dari Kementerian Sosial RI yang melayani lanjut usia di luar panti dan ditangani secara profesional, terencana, terarah, dan terpadu sehingga dapat lebih efektif. Tujuannya adalah untuk membantu memberikan pelayanan kepada lanjut usia, memenuhi kebutuhan lanjut usia, meningkatkan kemampuan lanjut usia untuk mengembangkan diri dalam menghadapi proses penuaan, membentuk hubungan harmonis antar lanjut usia, keluarga, masyarakat, dan lembaga pelayanan harian lanjut usia, serta mengurangi rasa kecemasan yang timbul dalam diri lanjut usia bersama-sama dengan lanjut usia lainnya. Kegiatan yang dilakukan berupa aktivitas di bidang ekonomi, pendidikan (membaca, menulis), kegiatan spiritual, dan lain-lain. Kegiatan bersama tersebut dilaksanakan 7 - 8 jam per kegiatan dan 5 hari selama satu minggu (Kementerian Sosial RI, 2014: 65).

5) Bantuan Sosial melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Program ini bertujuan untuk membantu baik perorangan, keluarga, kelompok, maupun masyarakat


(62)

62

melalui LKS lanjut usia yang membutuhkan guna melindungi dari terjadinya penurunan kualitas hidup lanjut usia. Bantuan sosial melalui LKS juga merupakan salah satu program pusat dari Kementerian Sosial RI. LKS sebagai perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat baik yang berbadan hukum maupun tidak yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial. LKS ini bisa berbentuk yayasan, LSM, panti sosial, dan lain-lain (Kementerian RI, 2014: 42). LKS hadir ketika keluarga dan masyarakat tidak bisa lagi dan tidak layak dalam memberikan pelayanan kepada lanjut usia. LKS juga berfungsi sebagai penyalur bantuan dari Pemerintah untuk para lanjut usia di suatu daerah.

6) Bantuan Bedah Kamar Lanjut usia

Bantuan bedah kamar merupakan program Kementerian Sosial RI guna memberikan tempat tinggal yang layak bagi lanjut usia. Lanjut usia yang akan menerima bantuan program ini harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditetapkan, yaitu rumah lanjut usia yang akan dibedah dalam keadaan rusak, tidak sehat dan tidak layak huni, status tanah/rumah adalah milik lanjut usia sendiri yang dibuktikan dengan surat/dokumen status kepemilikan yang legal dan tidak dalam status sengketa dengan pihak lain,


(63)

63

penerima bantuan bedah rumah adalah lanjut usia terlantar berusia 60 tahun keatas, tinggal dikeluarga atau tinggal sendiri dalam kondisi miskin (Intelresos, 2015).

7) Rumah Sehat Lanjut Usia

Rumah Sehat Lanjut Usia sebelumnya merupakan Pustu (Puskesmas Pembantu), namun karena jaraknya berdekatan dengan Puskesmas maka dialihfungsikan menjadi Rumah Sehat Lanjut Usia. Program ini baru berjalan pada akhir 2012. Rumah sehat lanjut usia memberikan konsultasi spesialis untuk lanjut usia. Penyelenggaraan program di setiap daerah bisa saja berbeda, hal ini dikarenakan rumah sehat lanjut usia bukan program dari Kementerian Sosial RI melainkan program dari Pemerintah Daerah (BPS, 2013: 126). 8) Posyandu Lanjut Usia

Kegiatan ini biasanya tergabung dengan Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga). Kegiatan yang dilaksanakan adalah pemeriksaan tekanan darah dan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan setiap sebulan sekali, pemberian makanan tambahan serta pelaksanaan senam lanjut usia. Posyandu lanjut usia dibentuk di bawah pembinaan Puskesmas (BPS, 2013: 127). Kegiatan ini diselenggarakan oleh masyarakat setempat, dikelola masyarakat setempat, dan ditujukan untuk kesehatan


(64)

64

masyarakat itu sendiri. Posyandu lanjut usia dapat ditemui dipelbagai daerah di Yogyakarta.

c. Hasil/ Evaluasi Pemberdayaan Lanjut Usia

1) Program Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLUT)

Sasaran program ASLUT yaitu lanjut usia yang tidak potensial, diutamakan yang berusia di atas 60 tahun yang mengalami sakit menahun dan hidupnya sangat tergantung pada bantuan orang lain atau hidupnya hanya bisa berbaring di tempat tidur, tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari, tidak memiliki sumber penghasilan, miskin dan terlantar. Tujuan dari ASLUT adalah untuk menjamin taraf kesejahteraan sosial para penerimanya (Kementerian Sosial RI, 2014: 7). Pada awalnya ASLUT bernama JSLU (Jaminan Sosial Lanjut Usia), namun pada tahun 2012 program ini berganti nama menjadi ASLUT. Sejak tahun 2011 sampai 2013 program ini mengalami kemajuan yang bagus karena setiap tahunnya jumlah penerima ASLUT selalu bertambah. Pada tahun 2011 terdapat 13. 320 lanjut usia penerima ASLUT, di tahun 2012 menjadi 26. 500 lanjut usia, dan di tahun 2013 masih sama yaitu 26.500 lanjut usia penerima ASLUT (Kementerian Sosial RI, 2014: 3). Namun terdapat perbedaan jumlah uang yang diterima oleh lanjut usia penerima program ASLUT di beberapa Provinsi, seperti halnya di Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampai tahun 2013 provinsi Jawa Timur memberikan uang


(65)

65

sejumlah Rp. 200.000 kepada 1.300 lanjut usia penerima program ini (BPS, 2013: 121), sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta sampai pada 2013 sudah ada 1.800 lanjut usia penerima program ini, namun jumlah uang yang diterima Rp. 150.000 per bulan lebih sedikit dibandingkan Jawa Timur (Dinsos DIY, 2014: 101). Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah lanjut usia penerima ASLUT disetiap provinsi. Sumber pendanaan program ini berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), namun Pemerintah DIY juga mengalokasikan budget untuk menambah jumlah sasaran lanjut usia agar mendapat bantuan tunai melalui program ASLUT.

Ada beberapa hasil yang diperoleh oleh lanjut usia penerima program ASLUT. Selain mereka mendapatkan bantuan setiap bulan, di Daerah Istimewa Yogyakarta lanjut usia penerima ASLUT juga mendapatkan home visit dari pekerja sosial atau relawan sosial lokal yang dilakukan minimal 4 kali dalam 1 bulan. Hal yang dilakukan selama pendampingan adalah pendamping memastikan bantuan dapat digunakan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan lanjut usia, memonitor kondisi lanjut usia, apabila lanjut usia mengalami sakit atau masalah lainnya maka pendamping melakukan rujukan dan membantu keluarga menyelesaikan masalah tersebut (Dinsos DIY, 2014: 100). Evaluasi dari program ASLUT adalah semakin baik, karena setiap


(66)

66

tahun jumlah penerima program ini semakin banyak, terlebih lagi di DIY, dimana penerima ASLUT juga mendapatkan home visit. 2) Usaha Ekonomi Produktif Lanjut Usia (UEP)

UEP merupakan program yang diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI, program ini sudah tersebar di pelbagai provinsi di Indonesia, diantaranya Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di DIY program ini mendapat dana dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Namun dukungan dana dari APBD DIY tidak selalu dialokasikan pada setiap tahun anggaran, buktinya pada tahun 2011 APBD mengalokasikan dana sebesar Rp. 79.898.000 sementara tahun 2012 justru menurun menjadi Rp. 65.000.000 dan pada tahun 2013 sama sekali tidak ada alokasi untuk program UEP lanjut usia. Selanjutnya pada tahun 2014 dialokasikan sebanyak Rp. 172.540.075 (Dinsos DIY, 2014: 135). Sedangkan hasul UEP di Jawa Timur yaitu program ini diberikan bergilir setiap tahun. Pada tahun 2013 diberikan kepada 5 kabupaten/kota masing-masing 20 orang lanjut usia dengan besaran bantuan Rp.1.500.000,- per orang (BPS, 2013: 122).

Peran UEP lanjut usia adalah pemberian modal bagi lanjut usia yang masih bisa bekerja, aktif dan produktif. Namun kekurangan dari penyelenggaraan program ini yaitu penentuan lokasi belum didasarkan atas data persebaran populasi lanjut usia


(67)

67

yang bekerja, hal ini terjadi di DIY dan akibatnya jumlah penerima UEP kurang proporsional (Dinsos DIY, 2014: 135). Penyaluran UEP di DIY menggunakan perantara Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), yang sebelumnya lembaga tersebut diminta untuk membuat proposal terlebih dahulu selanjutnya proposal diseleksi oleh Dinas Sosial Kabupaten/Kota untuk diajukan kepada Kementerian Sosial RI Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Jadi Dinas Sosial melakukan penilaian kelayakan dan ketepatan. Namun pada umumnya LKS yang dinilai kinerjanya baik akan lebih dipercaya untuk menjadi mitra dan usulan mereka diprioritaskan tanpa melihat usulan yang tertera dalam proposal, sehingga hal inilah yang membuat penyaluran UEP kurang proporsional (Dinsos DIY, 2014: 135) Hal ini sekaligus bisa menjadi bahan evaluasi penyelenggaran UEP untuk kedepannya agar lebih adil dan proporsional.

Hasil dari adanya program UEP yaitu adanya penyaluran bantuan berupa uang yang dilakukan oleh Dinas Sosial. Namun pemberian UEP dalam bentuk uang di DIY baru terjadi di tahun 2012. Di tahun sebelumnya bantuan UEP disalurkan dalam bentuk barang. Perubahan ini disebabkan bantuan dalam bentuk barang ketika datang seringkali kurang sesuai dengan apa yang dibutuhkan, padahal di proposal sudah disusun daftar kebutuhan tersebut (Dinsos DIY, 2014: 131).


(68)

68

3) Home care

Home care merupakan bentuk pelayanan bagi lanjut usia yang berada di rumah dengan didampingi oleh seorang pendamping dalam pemenuhan kebutuhannya. Pendamping mempunyai peran membantu serta melayani lanjut usia agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara layak dan manusiawi (Kementerian Sosial RI, 2014: 7). Salah satu wilayah yang menyelenggarakan program home care adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sumber dana dari program ini berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Anggaran yang bersumber dari APBN diperoleh melalui Kementerian Sosial RI dialokasikan untuk membiayai home care yang dilaksanakan oleh Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). Sementara dana dari APBD Pemerintah DIY digunakan untuk penyelenggaraan home care

pada unit kerja seksi Perlindungan Sosial Lanjut Usia Dinas Sosial DIY. Namun mulai tahun 2012 PSTW sudah tidak lagi menyelenggarakan home care karena sudah tidak ada alokasi dana dari APBN, sehingga program ini hanya dilakukan dengan dana APBD Pemerintah DIY (Dinsos DIY, 2014: 120).

Peran home care bagi lanjut usia yang ditangani adalah adanya pemberian bantuan sembako untuk memenuhi kebutuhan dasar, perawatan fisik, pemeriksaan kesehatan (kebersihan badan,


(69)

69

kamar, cek tensi), bimbingan rohani (berdoa, beribadah), bimbingan psikologi, serta imbingan dan motivasi keluarga. Hasil dari program ini yaitu pada tahun 2009 terdapat 350 lanjut usia di DIY yang ditangani oleh home care. Namun pada tahun 2013 terjadi penurunan drastis karena di tahun tersebut home care hanya menangani 105 lanjut usia saja, hal ini disebabkan oleh tidak adanya lagi dana dari APBN untuk program ini, sehingga pelaksanaannya hanya mengandalkan APBD (Dinsos DIY, 2014: 124)

Evaluasi dari program home care adalah terjadinya penurunan jumlah lanjut usia yang ditangani. Ini perlu menjadi perhatian khusus agar semakin kesini lanjut usia yang ditangani oleh home care semakin banyak, bukan sebaliknya. Perihal pendanaan juga perlu diperhatikan agar program home care bisa berjalan dengan baik dan dirasakan oleh semua lanjut usia yang menjadi sasaran program home care.

4) Day Care Service/ Program Pelayanan Harian Lanjut Usia (PHLU)

Pelayanan ini merupakan suatu model pelayanan sosial lanjut usia dimana lanjut usia datang ke lokasi PHLU yang dilaksanakan secara profesional dalam waktu terbatas (tidak lebih dari 8 jam) tidak menginap serta tidak memisahkan lanjut usia dari keluarga dan masyarakatnya dan dilaksanakan selama 5 hari dalam seminggu (Kementerian Sosial RI, 2014: 62). Program ini mulai


(70)

70

dilaksanakan pada 2005, di mana pada awalnya panti sosial lah yang menangani program ini. Lambat laun setelah dilaksanakan uji coba ternyata dimasyarakatpun dapat dikembangkan model PHLU (Kementerian Sosial RI, 2014: 63), sehingga program ini bisa diselenggarakan di masyarakat maupun di panti sosial.

PHLU dalam penyelenggaraannya melibatkan pendamping, yaitu seseorang yang karena keahliannya memberikan pelayanan kepada lanjut usia di PHLU. Kompetensi di dapat melalui pelatihan untuk memberikan bimbingan dan pendampingan lanjut usia di PHLU agar dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar. Tujuan dari PHLU yaitu meningkatkan kemampuan lanjut usia untuk menyesuaikan diri terhadap proses perubahan dirinya secara fisik, mental dan sosial, terpenuhinya kebutuhan dan hak lanjut usia agar mampu berperan dan berfungsi di masyarakat secara wajar, meningkatkan peran serta keluarga dan masyarakat dalam pendampingan dan perawatan, terciptanya rasa aman, nyaman dan tentram bagi lanjut usia dengan tetap tinggal bersama keluarga namun tetap dapat mengikuti aktifitas di PHLU (Kementerian Sosial RI, 2014: 65-66). Ada dua sasaran dari PHLU yaitu sasaran langsung (lanjut usia potensial yang tinggal sendiri, bersama keluarga, baik keluarganya sendiri maupun keluarga pengganti, pra lanjut usia yang sudah berusia 56 tahun) dan sasaran tidak langsung (keluarga, masyarakat, dan kelembagaan yang ada


(71)

71

di masyarakat). Tujuan dari adanya sasaran tidak langsung adalah agar mereka bisa membantu, mendukung, dan memfasilitasi program yang diselenggarakan oleh PHLU (Kementerian Sosial RI, 2014: 74).

Kegiatan yang bisa dilaksanakan oleh PHLU antara lain: kegiatan biologis (pemeriksaan kesehatan, tambahan makan sehat), psikologis (konseling), hiburan, pendidikan, bakti sosial, rekreasi, dan lain-lain. Evaluasi dari PHLU adalah program ini berjalan dengan baik dari mulai diselenggarakan yaitu tahun 2005 (Kementerian Sosial RI, 2014: 63). Program ini sudah tersebar luas di pelbagai provinsi di Indonesia salah satunya yaitu Jawa Timur. Pada tahun 2013 Program Pelayanan Harian Lanjut Usia di Jawa Timur diberikan kepada lanjut usia melalui UPT Lanjut usia Jombang di Kabupaten Jombang dan Karang Werda Yudistira di Kabupaten Sidoarjo dengan jumlah penerima manfaat masing-masing sebanyak 40 orang selama 8 bulan (BPS, 2013: 123).

5) Bantuan Sosial Melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia (LKS)

LKS lanjut usia merupakan organisasi atau perkumpulan sosial yang melaksanakan kesejahteraan sosial lanjut usia dan dibentuk masyarakat, Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah baik yang berbadan hukum maupun tidak (Kementerian Sosial RI,


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)