Peranan Koenzim Q-10 Pada Lanjut Usia (Lansia) Dengan Gagal Jantung

(1)

Tinjauan Kepustakaan

PERANAN KOENZIM Q-10 PADA LANJUT USIA

(LANSIA) DENGAN GAGAL JANTUNG

OLEH:

Dr. RIRI ANDRI MUZASTI NIP: 197912242008122001

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011


(2)

BAB I Pendahuluan

Dalam dua dekade terakhir teridentifikasi bahwa gagal jantung merupakan masalah besar kesehatan masyarakat karena banyak mengenai populasi terutama lanjut usia (lansia), yaitu mereka yang berusia 60 tahun atau lebih. Di Amerika Serikat, gagal jantung menjadi penyebab utama para lansia dirawat di rumah sakit (Kane et al, 1999).1,2,3,4

Ada beberapa kelainan pada jantung lansia yang merupakan akibat proses menua. Akan tetapi kelainan tersebut dapat juga sudah ada pada usia yang relatif masih muda, dan sebaliknya mungkin sekali kelainan tersebut belum ditemukan sebagai hasil proses menua pada seseorang yang usianya sudah tergolong lanjut. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa proses menua jantung mempunyai korelasi positif dengan meningkatnya usia, meskipun belum dapat dikatakan adanya korelasi absolut antara usia dengan kelainan yang didapati pada lansia.5

Walaupun patofisiologi gagal jantung dapat dikatakan hampir sama antara usia muda dan lansia, namun lansia cenderung lebih mudah mengalami gagal jantung bila berhadapan dengan berbagai stressor. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan lansia dalam merespon suatu

stressor.5 Manifestasi gagal jantung pada lansia sering tertutup oleh kondisi penyakit yang menyertai, dan sangat dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya organ lain yang dipengaruhi secara sekunder oleh keadaan gagal jantungnya. Oleh karena itu data objektif lebih banyak diperlukan untuk mendiagnosis gagal jantung pada lansia.5,6

Prinsip pengobatan gagal jantung pada lansia tidak berbeda dengan pasien muda. Pengobatan juga menggunakan obat-obatan yang sama, akan tetapi perlu dipikirkan adanya penyesuaian dosis, interaksi, efek samping, toksisitas obat serta penyakit iatrogenik.2,6

Sejenis zat yang bernama koenzim Q10 diperlukan untuk mengatasi radikal bebas dan kerusakan mitokondria sebagai penyebab gagal jantung pada lansia. Secara alami banyak ditemukan pada hewan dan manusia. Suplemennya tersedia dalam berbagai bentuk sediaan dan komposisi. Dosis optimal belum diketahui dan berbeda sesuai beratnya kondisi yang diterapi. Meskipun berfungsi sebagai suplemen makanan, bukan berarti bebas dari efek samping, sehingga harus


(3)

berbagai dosis pada beberapa studi menunjukkan peningkatan pada ejeksi fraksi, toleransi latihan dan status NYHA, walaupun pada studi lain tidak terbukti.10,13

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah menguraikan masalah gagal jantung pada lansia dan menjelaskan peranan koenzim Q10 sebagai salah satu pengobatan terbaru pada keadaan yang berhubungan dengan proses penuaan dan penyakit kronik.


(4)

BAB II Tinjauan Pustaka II.1. Gagal jantung pada lansia

II.1.1. Definisi

Definisi gagal jantung yaitu ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh (Ebbersole, Hess, 1998). Gagal jantung dapat dilihat sebagai kelainan kardiovaskuler pada lansia, akibat perubahan struktur dan fungsi, karena ada kaitan antara meningkatnya penyakit kardiovaskuler berupa penurunan fungsi ventrikel dengan pertambahan usia.2,5,6

II.1.2. Epidemiologi

Berdasarkan penelitian epidemiologi terbaru, didapatkan bahwa gagal jantung lebih banyak dialami pasien lansia. Pria sama jumlahnya dengan wanita, dengan wanita mempunyai masa hidup yang lebih tinggi. Sekitar 1% penduduk Amerika menderita gagal jantung, yang pada umumnya diderita mereka yang berusia 50 tahun, Insiden ini akan terus bertambah setiap tahun pada mereka yang berusia di atas 50 tahun (Aronow et al,1998).3,4,6,9

II.1.3. Etiologi

Pada umumnya penyebab gagal jantung pada lansia dan pasien muda lebih kurang sama, tetapi gagal jantung pada lansia sering multifaktorial. Pada lansia fungsi jantung cadangan sudah terbatas, sehingga jantung kurang sanggup memenuhi kebutuhan yang meningkat. Karena itu bila ada perubahan akut atau kondisi perburukan nonkardiak, mudah terjadi gagal jantung. Penyebab gagal jantung kiri yang sering pada lansia adalah PJK (>70%), hipertensi, kelainan katup (aorta dan mitral), kardiomiopati, infeksi dan age related diastolic dysfunction. Sedangkan penyebab gagal jantung kanan yang paling sering berupa penyakit paru obstruktif menahun.1,2,3,4,6

II.1.4. Patofisiologi

Beberapa keadaan yang dapat mengubah struktur dan fungsi sehingga meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada lansia adalah:


(5)

A. Perubahan Anatomis

Kekakuan pada jantung akibat penebalan dinding ventrikel kiri jantung kerap terjadi, sehingga compliance jantung berkurang, meski tekanan darah relatif normal. Beberapa penyebabnya antara lain; peningkatan jaringan ikat interstitial, hipertrofi miosit kompensatoris karena banyak sel yang apoptosis dan keterlambatan relaksasi miosit karena gangguan pembebasan Ca dari protein kontraktil, terutama mengenai lapisan endokardium termasuk daun katup. Juga dapat terjadi fibrosis dan kalsifikasi katup jantung terutama pada anulus katup mitral dan aorta.2,4,6,7

Sementara itu, pada pembuluh darah terjadi kekakuan arteri sentral dan perifer akibat proliferasi kolagen, hipertrofi otot polos, kalsifikasi, serta kehilangan jaringan elastik. Seringkali terdapat aterosklerosis pada lansia, yang menyebabkan pembuluh darah mengalami penurunan debit aliran akibat peningkatan situs deposisi lipid pada endotel. Lebih jauh, terdapat pula aterosklerosis pada arteri koroner difus yang pada awalnya terjadi di arteri koroner kiri ketika muda, kemudian berlanjut pada arteri koroner kanan dan posterior di atas usia 60 tahun.2,4,6,7

Perubahan yang baru-baru ini dikemukakan adalah berupa senile cardiac amiloidosis yaitu degenerasi amiloid atau amiloidosis. Frekuensi kelainan ini meningkat dengan bertambahnya usia (Pomerance,1965).6

Selain itu terdapat pengurangan jumlah sel pada nodus sinoatrial (SA node) yang menyebabkan hantaran listrik jantung mengalami gangguan. Hanya sekitar 10% sel yang tersisa ketika seseorang berusia 75 tahun dibandingkan dengan pada usia 20 tahun sebelumnya. 2,6,7

B. Perubahan Fisiologis

Akibat dari kekakuan jantung adalah perubahan pada fungsi sistolik ventrikel. Sebagai pemompa utama aliran darah sistemik manusia, perubahan sistolik ventrikel akan sangat mempengaruhi keadaan umum pasien. Parameter utama yang dapat dinilai adalah kontraksi jantung,

preload dan afterload, performa otot jantung, serta regulasi neurohormonal kardiovaskuler. Akibat terlalu sensitif terhadap respon tersebut, isi sekuncup menjadi bertambah menurut kurva Frank-Starling. Efeknya, volume akhir diastolik menjadi bertambah dan menyebabkan kerja jantung yang terlalu berat dan lemah jantung.2,4,5,6


(6)

Di lain sisi, terjadi perubahan pada diastolik terutama pada pengisian awal diastolik akibat otot-otot jantung sudah mengalami penurunan fungsi. Secara otomatis, akibat kurangnya kerja otot atrium untuk melakukan pengisian diastolik awal, akan terjadi pula fibrilasi atrium, sebagaimana sangat sering dikeluhkan para lansia. Masih berhubungan dengan diastol, akibat ketidakmampuan kontraksi atrium secara optimal, akan terjadi penurunan komplians ventrikel ketika menerima darah yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel ketika istirahat dan exercise. Hasilnya, akan terjadi edema paru dan kongesti sistemik vena yang sering menjadi gejala klinis utama pasien lansia. 2,4,5,6

Usia dikaitkan dengan menurunnya respon terhadap stimulasi beta adrenergik, sehingga peningkatan denyut nadi dan kontraktilitas terbatas pada saat menghadapi beban. Begitu juga dengan metabolisme energi di mitokondria akan menurun sesuai pertambahan usia, walaupun pada keadaan istirahat mitokondria masih sanggup menghasilkan ATP yang dibutuhkan . Tetapi bila beban memerlukan ATP lebih banyak mitokondria sering tidak sanggup untuk menghasilkannya. 2,4 C. Lain-lain

Pada lansia konsentrasi sitokin dan radikal bebas meningkat. Angiotensin II meningkatkan IL-6 dan TNFα di sel otot polos vaskuler. IL-6 menurunkan nafsu makan dan menyebabkan gizi kurang selain karena perubahan pada sensasi bau dan rasa, berkurangnya masukan kalori, isolasi sosial, malabsorpsi dan kemungkinan adanya kongesti pada aliran darah splanikus dan hepatik.2,10

Radikal bebas menyebabkan kerusakan pada kolagen, elastin, DNA, mukopolisakarida dan lipid yang menyebabkan akumulasi pigmen ketuaan (lipofuscin) pada organel seperti mitokondria, lisosom, komponen pembuluh darah dan membran sel otot jantung sehingga otot berwarna coklat yang disebut brown atrophy (Card,1985; Brocklehurst). 2,6,7,8

Petanda stres oksidatif meningkat pada pasien gagal jantung adalah berupa bertambah beratnya fungsional kelas, berkurangnya toleransi latihan, rendahnya kadar antioksidan dan memburuknya prognosis. Salah satu antioksidan yang berkurang pada pasien gagal jantung adalah koenzim Q10 (suatu antioksidan endogen yang kuat). Kadar koenzim Q10 plasma yang rendah dihubungkan dengan peningkatan angka kematian pada gagal jantung.10


(7)

II.1.5. Diagnosis

Gejala dan tanda gagal jantung akibat proses menua relatif sama dengan gagal jantung pada orang muda. Gejala terbanyak dari gagal jantung pada lansia adalah sesak napas, edema dan kelelahan. Namun biasanya gejala klinis dan keluhan utama pasien lansia seringkali tidak khas dan sangat tersembunyi, terutama pada umur diatas 80 tahun, seperti anoreksia, mual, rasa tidak nyaman di perut, gangguan tidur, iritabilitas, perasaan tidak berharga, tidak berguna, dan relatif menerima keadaan apa adanya seiring dengan bertambahnya usia. 2,3,4,6,9

Pada pemeriksaan fisik juga didapat tanda non spesifik. Pada lansia tetap diperlukan penemuan geriatric giant misalnya inkontinensia urin yang nantinya akan berpengaruh pada pengobatan diuretik. Gangguan kognitif dan depresi sering didapat pada pasien lansia dengan gagal jantung, yang berpengaruh juga terhadap penanganan non farmaka, misal kepatuhan minum obat dan dukungan sosial lainnya. 2,3,4,9

Untuk mendiagnosis gagal jantung pada lansia diperlukan lebih banyak data obyektif. Laboratorium diperlukan untuk pemeriksaan elektrolit, analisa gas darah dan enzim jantung. Disamping foto toraks dan elektrokardiografi, ekokardiografi khususnya eko-Doppler-kardiografi sangat penting dalam menentukan tindakan dan pemilihan obat-obat untuk mengatasi gagal jantung. 2,5,9

II.1.6. Penatalaksanaan II.1.6.1. Non farmakologi

Tata laksana gagal jantung pada lansia relatif sama dengan pasien muda. Secara umum, lansia dengan gagal jantung harus cukup istirahat, meskipun tetap dianjurkan untuk berolahraga bagi lansia dengan gagal jantung kompensata. Penggunaan stocking untuk kompresi dibarengi antikoagulan (terbatas sampai gejala dekompensasi berkurang) dapat dilakukan guna menghindari trombosis dan emboli vena. Diet restriksi cairan tetap perlu dilakukan meskipun biasanya lansia sangat sulit untuk makan secara normal. Lansia pun cenderung mengalami cardiac cahexia dengan mekanisme yang belum jelas. Sangat penting juga peran dokter untuk memberi semangat hidup para lansia ini, mengajak keluarganya untuk merawat bersama, serta meyakinkan bahwa mereka akan


(8)

mendapatkan penanganan yang terbaik karena faktor psikologis memegang peranan mengingat banyaknya obat yang cenderung menjadi 'tidak efektif' untuk lansia akibat penurunan fungsi organ yang hampir total.3

II.1.6.2. Farmakologi

Obat-obat yang sering diperlukan untuk gagal jantung pada lansia hampir tidak banyak berbeda dengan obat-obat yang diperlukan untuk gagal jantung pada usia muda, seperti diuretik, ACEI, ARB, inotropik dan vasodilator. Diuretik loop lebih sering digunakan karena efektif pada GFR orang tua yang relatif rendah (kurang dari 30-40 ml/min). Orang-orang tua relatif lebih peka terhadap obat sehingga pemberian diuretik, terutama diuretik loop sebaiknya diberikan secara bertahap. Penggunaan ACE-I dengan kaptopril dosis standar merupakan prosedur standar tata laksana gagal jantung pada lansia, jika fungsi ginjal terus dimonitor, ACE-I memberikan efek yang baik pada hemodinamik dan fungsi jantung. Para lansia yang telah mengalami aterosklerosis sistemik dapat menjadi pencetus stenosis arteri renal yang mengakibatkan peningkatan risiko gagal ginjal akibat ACE-I. Selain itu, ACE-I juga sering mengakibatkan batuk. Jika pasien intoleransi dengan ACE-I, dapat digunakan hidralazine dengan kombinasi isosorbid mononitrat. Selain obat-obatan tersebut di atas, inotropin (digoxin) dapat pula digunakan meskipun memiliki rentang keamanan yang relatif sangat sempit. 2,3,5,9

Pemberian obat pada lansia harus mempertimbangkan efek farmakologis obat-obat yang dipergunakan dan pengaruhnya terhadap kondisi usia lanjutnya, mengingat adanya kemunduran fungsi sistem organ sehingga farmakokinetik obat tersebut menunjukkan perbedaan dibandingkan pada usia muda sehingga dalam hal ini perlu adanya penyesuaian dosis obat yang diberikan. 3,5

II.1.6.3. Terapi tambahan

Menurut teori proses menua, penyakit degeneratif seperti gagal jantung dapat disebabkan oleh radikal bebas (free radical theory of aging) dan penurunan fungsi mitokondria (mitochondrial decline theory of aging), sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan suplemen makanan yang berfungsi sebagai anti oksidan (pengurangan stres oksidatif) seperti koenzim Q10, ATP dan lain-lain.6,7,8


(9)

A. Definisi koenzim Q10

Koenzim Q10, sejenis vitamin yang bersifat larut lemak dan termasuk ke dalam golongan ubikuinon. Koenzim Q10 yang juga dikenal sebagai koenzim Q dan mitokuinon, mempunyai struktur kimia yang terdiri dari benzokuinon dan terpinoid. Perbedaan yang paling utama di antara berbagai koenzim Q adalah jumlah unit isoprenoid-nya. Koenzim Q terdiri dari satu hingga dua belas unit isoprenoid, dan koenzim yang mengandung 10 unit isoprenoid adalah yang paling banyak mempengaruhi fungsi fisiologis (Gambar 1).11,12

B. Sumber koenzim Q10

Koenzim Q10 merupakan jenis koenzim yang banyak terdapat pada hewan dan manusia. Sintesis koenzim Ql0 cukup kompleks, yaitu rantai bagian isoprenyl berasal dari mevalonat, cincin

benzoquinone berasal dari tyrosine dan kondensasi struktur ini melalui aktivitas enzim polyprenyl transferase. Regulator utama sintesis koenzim Ql0 adalah 3-hydroxy-methylglutaryl coenzyme A

(HMG-CoA) yang mirip dengan jalur kolesterol (gambar 2). Koenzim Ql0 ini dapat melindungi manusia dari risiko atherosklerosis serta penyakit jantung dan pembuluh darah lainnya. Namun, seiring dengan pertambahan usia, kadar koenzim Q10 akan menurun. Penurunan kadar koenzim Q10 juga terjadi pada pasien penyakit kronik seperti pasien penyakit jantung, distropi otot, Parkinson, kanker, diabetes, serta HIV/AIDS. 11

Kebutuhan koenzim Q10 dapat diperoleh dari biosintesis dalam tubuh manusia sendiri ataupun dari luar tubuh melalui makanan atau konsumsi suplemen koenzim Q10. Secara alami, koenzim Q10 dalam jumlah yang sedikit terdapat dalam berbagai jenis makanan terutama jenis daging seperti hati, jantung, dan ginjal hewan, juga pada minyak kedelai, ikan sarden, makarel, dan kacang-kacangan. Konsumsi setengah kilogram ikan sarden atau satu kilogram daging sapi atau satu kilogram kacang dapat memberi suplai tubuh 30 mg koenzim Q10.13


(10)

Karena kepraktisannya, mengkonsumsi suplemen koenzim Q10 lebih banyak dipilih daripada mengkonsumsi makanan sumber alami koenzim Q10 yang memang hanya mengandung sedikit koenzim Q10 dibanding suplemen. 13

Gambar 2: Sintesa koenzim Q10

C.Mekanisme kerja koenzim Q10

Koenzim Q10 adalah kofaktor yang penting pada proses rantai transpor elektron di mitokondria, di mana koenzim Ql0 menerima elektron dari kompleks I (nicotinamide adenine dinucleotide dehydrogenase) dan II (succinate dehydrogenase) yang merupakan aktivitas yang penting pada produksi ATP (Gambar 3). Koenzim Ql0 juga mempunyai aktivitas antioksidan di mitokondria dan membran sel, yang menghambat oksidasi kolesterol LDL, dimana kolesterol LDL teroksidasi adalah faktor yang berperan dalam proses atherosklerosis pada lansia.13


(11)

Gambar 3. Mekanisme kerja koenzim Q10

D. Suplemen koenzim Q10

Suplemen koenzim Q10 tersedia dalam berbagai bentuk sediaan dan komposisi. Tersedia bentuk sediaan kapsul basis lemak, kapsul serbuk, tablet, kapsul lunak, mikroemulsi dan sebagainya. Bentuk sediaan kapsul lunak mempunyai tingkat penyerapan lebih tinggi. Kadar komposisi sediaan suplemen koenzim Q10 juga dibuat bervariasi mulai 5 hingga 300 miligram.13

Suplemen koenzim Q10 yang masuk ke dalam tubuh akan diserap di usus halus, namun tingkat penyerapannya rendah yaitu dari seluruh asupan yang masuk, 60%-nya akan terbuang bersama dengan kotoran. Penyerapannya ini tidak hanya tergantung dari makanan yang dimakan tapi juga banyaknya lemak yang terdapat pada makanan tersebut Tingkat penyerapaannya sangat rendah jika dikonsumsi pada keadaan perut kosong dan sangat baik jika dikonsumsi bersama dengan makanan terutama yang mengandung banyak lemak. 13

E. Dosis terapetik

Dosis optimal dari koenzim Q10 tidak diketahui, berbeda sesuai beratnya kondisi yang diterapi. Sebagai contoh, dosis 30 mg/hari dilaporkan efektif pada terapi gagal jantung ringan.11 Pada gagal jantung berat dosis yang dianjurkan 50-150 mg/hari dibagi dalam 2-3x/hari. Perbaikan klinik dan hemodinamik akan terlihat dalam 2 minggu – 3 bulan konsumsi.13 Penambahan koenzim


(12)

Q10 dengan berbagai dosis pada studi tanpa kontrol menunjukkan peningkatan pada ejeksi fraksi, toleransi latihan dan status NYHA, walaupun pada studi lain tidak terbukti (tabel 1).10,13

Tabel 1. Beberapa penelitian acak, double-blind, plasebo-kontrol dari suplemen

koenzim Q10 pada pasien dengan gagal jantung13

Metode Penelitian Jumlah Pasien Kelas NYHA awal Dosis KoQ10 Oral (mg) Lama terapi

(bln) Hasila

Crossover 19 III-IV 33.3 t.i.d. 2 x 3 EF (p<0.0001 vs dasar dan plasebo)

Toleransi aktivitas umum

Crossover 14 IV 100 q.d. 2 x 3 SI: +36.1 s/d 59.1 (p 0.01 vs plasebo)

CI: +35.0 s/d 49 (p 0.01 vs plasebo)

EF: +53.3 s/d 80 (p 0.01 vs plasebo)

EDVI: -16.1 s/d172 (p 0.01 vs plasebo)

Two parallel groups

20 Unknown 200 q.d. 3 Total kerja (W on bicycle): 384 vs 574 (p<0.005 vs dasar)

Work/min (W/min): 50-60 (p<0.005 vs dasar)

EF istirahat dan CO tidak berubah

Nadi dan TD saat bekerja tidak berubah

Crossover 20 II-III 60 q.d. 2 x 1 SV(ml): 58.7 vs 71.90 (p<0.01 vs plasebo)

CO(L/min): 4.17 vs 4.45 (p<0.05 vs plasebo)

Kapasitas latihan: end point

latihan (p<0.05), durasi latihan (p<0.01)↑ SVR , PEP:LVET

Crossover 20 II-III 50 q.d. 2 x 2 EF (%): 45.72 s/d 49.17 (p<0.001 vs. dasar)


(13)

Nadi dan TD tidak berubah Tidak ada perburukan pada kelas NYHA

Two parallel groups

641 III-IV 2 mg/kg/d

(50 mg b.i.d.-t.i.d.)

12 Perbaikan kelasNYHA (p value tidak dilaporkan)

Rawat inap: (p<0.01)

Edema paru akut : (p<0.001)

Aritmia: (p<0.05)

Crossover 6 II-IV 50 t.i.d. 2 x 1 EF, istirahat (%): 27 vs 33 (p<0.05 vs plasebo)

EF, bekerja (%): 24 vs 30 (p<0.05 vs plasebo)

SV, bekerja (% EDV): 26 vs 35 (p<0.05 vs plasebo)

CO, istirahat (% EDV/min) :19 vs 33 (p<0.05 vs plasebo)

CO,bekerja (% EDV/min) :24 vs 41 (p<0.05 vs plasebo) SV saat bekerja , toleransi latihan

Crossover 79 II-IV 100 q.d. 2 x 3 Kapasitas latihan(W): 94 vs 100 (p<0.05 vs plasebo) EF , volume load (%): 25 vs 23 (p<0.05 vs plasebo) Skor total QOL : 107 vs 113 (p<0.05 vs plasebo)

Crossover 30 Tdk

diketahui

33 t.i.d. 2 x 3 EF dan SVR tidak berubah, sistolik ventrikular kiri dan volume diastolik

Two parallel groups

55 III-IV 200 q.d. 6 Lama latihan , EF tidak berubah, konsumsi oksigen NYHA = New York Heart Association; EF = ejection fraction; SI = stroke index; CI =

cardiac index; EDVI = end-diastolic volume index; W = watts; SV = stroke volume; CO =

cardiac output; EDV = end-diastolic volume; SVR = systemic vascular resistance;

PEP:LVET = preejection period:left ventricular ejection time ratio; QOL = quality of life; TD = tekanan darah

a


(14)

Dosis yang direkomendasikan pada beberapa keadaan di bawah adalah: 11,15 1. Gangguan mitokondria: 400-600 mg/hari, dibagi dalam beberapa dosis 2. Angina: 150-600 mg/hari, dibagi dalam beberapa dosis

3. Defisiensi koenzim Q10: 150 mg/hari

4. Penyakit Huntington`s: 75-360 mg/hari dibagi dalam beberapa dosis 5. Penyakit periodontal: 25-50 mg/hari selama 3 minggu - 6bulan 6. Migren: 150 mg/hari

7.

Gagal ginjal kronik dengan atau tanpa dialisa: 60 mg/hari, 3x/hari. 16,17


(15)

(16)

F. Hal-hal yang harus diperhatikan

Terdapat beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam penggunaan suplemen koenzim Q-10:

1. Efek samping

Penggunaan koenzim Q-10, walaupun merupakan suplemen makanan, bukan berarti bebas dari efek samping. Beberapa efek samping yang dapat terjadi terutama pada konsumsi dosis tinggi (200 miligram atau lebih dalam sehari), seperti mual, diare, dan nyeri epigastrik, meskipun prevalensinya kurang dari 1%. Peningkatan LDH dan enzim fungsi hati meskipun asimptomatik dapat terjadi jika dosis > 300 mg/hari.13

2. Kontraindikasi

Wanita hamil dan menyusui sebaiknya menghindari penggunaan suplemen ini karena belum adanya penelitian yang memadai mengenai keamanan penggunaannya pada wanita hamil dan menyusui. Suplemen koenzim Q10 pada pasien dengan insufisiensi hati atau obstruksi bilier dapat meningkatkan kadar koenzim Q10 serum karena molekul ini dimetabolisme di hati dan diekskresikan terutama di saluran bilier. 13

3. Interaksi

Suatu penelitian di Jepang mengenai penggunaan suplemen koenzim Q-10 pada pasien diabetes menyatakan bahwa koenzim Q-10 dapat meningkatkan fungsi sel beta pankreas sehingga dapat memperbaiki kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe II. Namun hal ini tidak terjadi pada pasien diabetes melitus tipe I yang juga mengonsumsi suplemen koenzim l0. Oleh karena itu pasien diabetes yang juga mengonsumsi suplemen koenzim Q-10, selain obat anti diabetes, perlu dimonitor kadar gula darahnya dengan lebih ketat. 13

Suplemen koenzim Q-l0 berinteraksi dengan beberapa jenis obat di antaranya warfarin, obat penurun lipid golongan statin, doksorubisin, dan obat anti hipertensi golongan penyekat beta. Penggunaan koenzim Q-l0 bersama-sama warfarin harus hati-hati karena koenzim Q-10 dapat menurunkan efektivitas warfarin. Konsumsi suplemen koenzim Q-10 bersama dengan obat penurun lipid golongan statin dapat menurunkan kadar koenzim Q-10 dalam tubuh karena koenzim Q-10 dan kolesterol mengalami jalur metabolisme yang sama. 13


(17)

BAB III Kesimpulan

Gagal jantung lebih merupakan suatu sindrom klinik daripada suatu diagnosis penyakit pada pasien geriatri. Insidennya terus bertambah setiap tahun pada lansia berusia di atas 50 tahun. Pada umumnya penyebab gagal jantung pada lansia dan pasien muda lebih kurang sama, tetapi gagal jantung pada lansia sering multifaktorial. Beberapa keadaan dapat mengubah struktur dan fungsi, sehingga meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada lansia

Gejala dan tanda gagal jantung akibat penuaan relatif sama pada gagal jantung orang muda. Namun biasanya gejala klinis dan keluhan utama pasien tua seringkali tidak khas dan sangat tersembunyi. Pada pemeriksaan fisik juga didapat tanda non spesifik, sehingga diperlukan lebih banyak data obyektif untuk mendiagnosis gagal jantung pada lansia.

Tata laksana gagal jantung pada lansia relatif sama dengan pasien muda. Obat-obat yang sering diperlukan untuk gagal jantung pada lansia hampir tidak banyak berbeda dengan obat-obat yang diperlukan untuk gagal jantung pada usia muda, hanya perlu dipikirkan adanya penyesuaian dosis, interaksi, efek samping, toksisitas obat serta penyakit iatrogenik.

Gagal jantung pada lansia dapat disebabkan oleh radikal bebas dan kerusakan mitokondria, sehingga untuk mengatasinya diperlukan suplemen makanan seperti koenzim Q10 yang berfungsi sebagai anti oksidan. Koenzim Q10, sejenis vitamin yang bersifat larut lemak, termasuk ke dalam golongan ubikuinon dan banyak terdapat pada hewan dan manusia. Seiring dengan pertambahan usia, kadar koenzim Q10 menurun, sehingga diperlukan tambahan dari luar tubuh melalui makanan atau konsumsi suplemen koenzim Q10. Suplemen koenzim Q10 tersedia dalam berbagai bentuk sediaan dan komposisi.

Meskipun dosis optimal dari koenzim Q10 tidak diketahui dan berbeda sesuai beratnya kondisi yang diterapi, tetapi penambahan koenzim Q10 dengan berbagai dosis pada studi tanpa kontrol telah terbukti menunjukkan peningkatan pada ejeksi fraksi, toleransi latihan dan status NYHA, walaupun pada studi lain tidak terbukti. Pada penggunan suplemen koenzim Q-10 tetap harus memperhatikan beberapa hal seperti efek samping serta interaksi yang dapat timbul atau terjadi.


(18)

Daftar Pustaka

1. Suryadipradja R.M. Faktor-faktor Risiko Sebagai Prediktor Gagal Jantung pada Usia Lanjut. Dalam: Supartondo, Siti Setiati, Czresna H.S, editor. Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin; Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2003. Balai Penerbit FKUI. Jakarta:138-145

2. Makmun L.H. Gagal jantung pada pasien Geriatri. Dalam: Supartondo, Siti Setiati, Czresna H.S, editor. Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin; Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2003. Balai Penerbit FKUI.Jakarta:146-152

3. Arnold M. Congestive Heart Failure in the Elderly. Available at:

http://www.ccs.ca/download/consensus-conference

4. Forman D.E. Heart Failire in the Elderly. Available at:

http://www.medscape.com/viewarticle/465715

5. Abdurahman N. Penatalaksanaan Gagal Jantung pada Usia Lanjut. Dalam: Supartondo, Siti Setiati, Czresna H.S, editor. Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin; Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2003. Balai Penerbit FKUI. Jakarta:153-159 6. Boedhi-Darmojo R. Penyakit kardiovaskuler pada lanjut usia. Dalam: Boedhi-Darmojo R,

Hadi Martono H, editor. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2006. 262-282

7. Lukman H. Makmun. Proses Menua dan Implikasinya pada Sistem Kardiovaskular. Dalam: Bawazier L. Aziza, Idrus Alwi, editor. Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular; Prosiding Simposium. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001. 111-123

8. Julius. Anti aging medicine. Dalam: Manaf A, Najirman, Fauzar, editor. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Berkala VI Ilmu Penyakit Dalam. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND. Padang. 2005. 98-116

9. Neil D.G. Heart Failure: a diagnostic and therapeutic dilemma in elderly patients. Available at: http://findarticles.com/p/articles/mi-m2459

10. K.K.A.Witte et al. The effect of micronutrient supplementation on quality-of-life and left ventricular function in elderly patients with chronic heart failure. European Heart Journal

(2005) 26:2238-2244


(19)

12. Chow C.K. Coenzyme Q: Molecular Mechanisms in Health and Disease. Am J Clin Nutr

(2001) 73: 1116-7

13. Tran M.T, et al. Role of coenzyme Q10 in Chronic heart failure, angina, and hypetension. Available at: http://www.medscape.com/viewarticle/409742

14. Robert A. B, Erminia G. Coenzyme Q10. Am Fam Physician (2005)72:1065-70.

15. Bliznakov E.G, Coenzyme Q10. Available at:

http://www.uchsc.edu/sop/pharmd/8.Experiential_Programs/-downloads/coenzyme_q10.pdf

16. Singh RB, Khanna HK, Niaz MA. Randomized, Double-Blind Placebo_Controlled Trial of Coenzyme Q10 in Chronic Renal Failure: Discovery of a New Role. J Nutr Environ Med

(2000)10:281-288

17. Singh RB, et al. Randomized, double-blind placebo-controlled trial of coenzyme Q10 in in patients with end-stage renal Failure. J Nutr Environ Med (2003)13:13-22


(1)

Dosis yang direkomendasikan pada beberapa keadaan di bawah adalah: 11,15 1. Gangguan mitokondria: 400-600 mg/hari, dibagi dalam beberapa dosis 2. Angina: 150-600 mg/hari, dibagi dalam beberapa dosis

3. Defisiensi koenzim Q10: 150 mg/hari

4. Penyakit Huntington`s: 75-360 mg/hari dibagi dalam beberapa dosis 5. Penyakit periodontal: 25-50 mg/hari selama 3 minggu - 6bulan 6. Migren: 150 mg/hari

7.

Gagal ginjal kronik dengan atau tanpa dialisa: 60 mg/hari, 3x/hari. 16,17


(2)

(3)

F. Hal-hal yang harus diperhatikan

Terdapat beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dalam penggunaan suplemen koenzim Q-10:

1. Efek samping

Penggunaan koenzim Q-10, walaupun merupakan suplemen makanan, bukan berarti bebas dari efek samping. Beberapa efek samping yang dapat terjadi terutama pada konsumsi dosis tinggi (200 miligram atau lebih dalam sehari), seperti mual, diare, dan nyeri epigastrik, meskipun prevalensinya kurang dari 1%. Peningkatan LDH dan enzim fungsi hati meskipun asimptomatik dapat terjadi jika dosis > 300 mg/hari.13

2. Kontraindikasi

Wanita hamil dan menyusui sebaiknya menghindari penggunaan suplemen ini karena belum adanya penelitian yang memadai mengenai keamanan penggunaannya pada wanita hamil dan menyusui. Suplemen koenzim Q10 pada pasien dengan insufisiensi hati atau obstruksi bilier dapat meningkatkan kadar koenzim Q10 serum karena molekul ini dimetabolisme di hati dan diekskresikan terutama di saluran bilier. 13

3. Interaksi

Suatu penelitian di Jepang mengenai penggunaan suplemen koenzim Q-10 pada pasien diabetes menyatakan bahwa koenzim Q-10 dapat meningkatkan fungsi sel beta pankreas sehingga dapat memperbaiki kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe II. Namun hal ini tidak terjadi pada pasien diabetes melitus tipe I yang juga mengonsumsi suplemen koenzim l0. Oleh karena itu pasien diabetes yang juga mengonsumsi suplemen koenzim Q-10, selain obat anti diabetes, perlu dimonitor kadar gula darahnya dengan lebih ketat. 13

Suplemen koenzim Q-l0 berinteraksi dengan beberapa jenis obat di antaranya warfarin, obat penurun lipid golongan statin, doksorubisin, dan obat anti hipertensi golongan penyekat beta. Penggunaan koenzim Q-l0 bersama-sama warfarin harus hati-hati karena koenzim Q-10 dapat menurunkan efektivitas warfarin. Konsumsi suplemen koenzim Q-10 bersama dengan obat penurun lipid golongan statin dapat menurunkan kadar koenzim Q-10 dalam tubuh karena koenzim Q-10 dan kolesterol mengalami jalur metabolisme yang sama. 13


(4)

BAB III

Kesimpulan

Gagal jantung lebih merupakan suatu sindrom klinik daripada suatu diagnosis penyakit pada pasien geriatri. Insidennya terus bertambah setiap tahun pada lansia berusia di atas 50 tahun. Pada umumnya penyebab gagal jantung pada lansia dan pasien muda lebih kurang sama, tetapi gagal jantung pada lansia sering multifaktorial. Beberapa keadaan dapat mengubah struktur dan fungsi, sehingga meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada lansia

Gejala dan tanda gagal jantung akibat penuaan relatif sama pada gagal jantung orang muda. Namun biasanya gejala klinis dan keluhan utama pasien tua seringkali tidak khas dan sangat tersembunyi. Pada pemeriksaan fisik juga didapat tanda non spesifik, sehingga diperlukan lebih banyak data obyektif untuk mendiagnosis gagal jantung pada lansia.

Tata laksana gagal jantung pada lansia relatif sama dengan pasien muda. Obat-obat yang sering diperlukan untuk gagal jantung pada lansia hampir tidak banyak berbeda dengan obat-obat yang diperlukan untuk gagal jantung pada usia muda, hanya perlu dipikirkan adanya penyesuaian dosis, interaksi, efek samping, toksisitas obat serta penyakit iatrogenik.

Gagal jantung pada lansia dapat disebabkan oleh radikal bebas dan kerusakan mitokondria, sehingga untuk mengatasinya diperlukan suplemen makanan seperti koenzim Q10 yang berfungsi sebagai anti oksidan. Koenzim Q10, sejenis vitamin yang bersifat larut lemak, termasuk ke dalam golongan ubikuinon dan banyak terdapat pada hewan dan manusia. Seiring dengan pertambahan usia, kadar koenzim Q10 menurun, sehingga diperlukan tambahan dari luar tubuh melalui makanan atau konsumsi suplemen koenzim Q10. Suplemen koenzim Q10 tersedia dalam berbagai bentuk sediaan dan komposisi.

Meskipun dosis optimal dari koenzim Q10 tidak diketahui dan berbeda sesuai beratnya kondisi yang diterapi, tetapi penambahan koenzim Q10 dengan berbagai dosis pada studi tanpa kontrol telah terbukti menunjukkan peningkatan pada ejeksi fraksi, toleransi latihan dan status NYHA, walaupun pada studi lain tidak terbukti. Pada penggunan suplemen koenzim Q-10 tetap harus memperhatikan beberapa hal seperti efek samping serta interaksi yang dapat timbul atau terjadi.


(5)

Daftar Pustaka

1. Suryadipradja R.M. Faktor-faktor Risiko Sebagai Prediktor Gagal Jantung pada Usia Lanjut. Dalam: Supartondo, Siti Setiati, Czresna H.S, editor. Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin; Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2003. Balai Penerbit FKUI. Jakarta:138-145

2. Makmun L.H. Gagal jantung pada pasien Geriatri. Dalam: Supartondo, Siti Setiati, Czresna H.S, editor. Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin; Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2003. Balai Penerbit FKUI.Jakarta:146-152

3. Arnold M. Congestive Heart Failure in the Elderly. Available at:

http://www.ccs.ca/download/consensus-conference

4. Forman D.E. Heart Failire in the Elderly. Available at:

http://www.medscape.com/viewarticle/465715

5. Abdurahman N. Penatalaksanaan Gagal Jantung pada Usia Lanjut. Dalam: Supartondo, Siti Setiati, Czresna H.S, editor. Penatalaksanaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin; Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2003. Balai Penerbit FKUI. Jakarta:153-159 6. Boedhi-Darmojo R. Penyakit kardiovaskuler pada lanjut usia. Dalam: Boedhi-Darmojo R,

Hadi Martono H, editor. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2006. 262-282

7. Lukman H. Makmun. Proses Menua dan Implikasinya pada Sistem Kardiovaskular. Dalam: Bawazier L. Aziza, Idrus Alwi, editor. Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular; Prosiding Simposium. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001. 111-123

8. Julius. Anti aging medicine. Dalam: Manaf A, Najirman, Fauzar, editor. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Berkala VI Ilmu Penyakit Dalam. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND. Padang. 2005. 98-116

9. Neil D.G. Heart Failure: a diagnostic and therapeutic dilemma in elderly patients. Available at: http://findarticles.com/p/articles/mi-m2459

10.K.K.A.Witte et al. The effect of micronutrient supplementation on quality-of-life and left ventricular function in elderly patients with chronic heart failure. European Heart Journal (2005) 26:2238-2244


(6)

12.Chow C.K. Coenzyme Q: Molecular Mechanisms in Health and Disease. Am J Clin Nutr

(2001) 73: 1116-7

13.Tran M.T, et al. Role of coenzyme Q10 in Chronic heart failure, angina, and hypetension. Available at: http://www.medscape.com/viewarticle/409742

14.Robert A. B, Erminia G. Coenzyme Q10. Am Fam Physician (2005)72:1065-70.

15.Bliznakov E.G, Coenzyme Q10. Available at:

http://www.uchsc.edu/sop/pharmd/8.Experiential_Programs/-downloads/coenzyme_q10.pdf

16.Singh RB, Khanna HK, Niaz MA. Randomized, Double-Blind Placebo_Controlled Trial of Coenzyme Q10 in Chronic Renal Failure: Discovery of a New Role. J Nutr Environ Med (2000)10:281-288

17.Singh RB, et al. Randomized, double-blind placebo-controlled trial of coenzyme Q10 in in patients with end-stage renal Failure. J Nutr Environ Med (2003)13:13-22