Pengaruh Pengawasan Internal Dan Pengawasan Eksternal Terhadap Kinerja Pemerintahan Kota Bandung.

PENGARUH PENGAWASAN INTERNAL
DAN PENGAWASAN EKSTERNAL
TERHADAP KINERJA PEMERINTAHAN KOTA BANDUNG

Oleh
AGUSTINUS WIDANARTO

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2009

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemerintah Kota Bandung telah melakukan berbagai perubahan untuk
mengarah ke perbaikan penyelenggaraan pemerintahan dengan harapan pelayanan kepada
masyarakat dapat lebih ditingkatkan. Namun dalam kenyataannya banyak pelayanan kepada
masyarakat belum optimal.
Dari penelitian pendahuluan, diperoleh informasi tentang adanya temuan-temuan

terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung yang belum sesuai dengan tolok ukur yang
telah ditetapkan. Temuan selama lima tahun anggaran melalui Laporan
Pertanggangjawaban (LPJ) Wali Kota Bandung dan Laporan Akuntabilitas
Kineja Pemerintah (LAKIP) Badan Pengawasan Daerah Kota Bandung yaitu sebagai
berikut:
1. Tahun Anggaran 2003.
a. Temuan dari Fraksi Persatuan Pembangunan, yaitu belum adanya kejelasan
tentang penggunaan pos bantuan keuangan organisasi kemasyarakatan
(ormas) pada Bagian Pembangunan, pos bantuan pada Bagian Kesejahteraan
Rakyat (Kesra), dan pos bantuan keuangan ormas.
b. Fraksi Persatuan Pembangunan melihat adanya pengucuran dana bantuan
keuangan tersebut juga tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat.
c. Temuan dari Fraksi Keadilan Bulan Bintang (FKBB) yaitu masalah
penggunaan dana pada pos dana bagi hasil dan bantuan keuangan yang belum
transparan.
d. Temuan Pansus DPRD Kota Bandung, yaitu menyoroti adanya 169 Sekolah
Dasar di Kota Bandung yang kondisinya sangat memprihatinkan dan setiap
tahun anggaran yang disediakan baru terealisasi Rp. 3 milyar dari kebutuhan
sebesar Rp. 30 milyar.
e. Temuan dari Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung, bahwa di

bidang pemerintahan kota, pelanggaran administrasi yang dilakukan aparatur
Pemerintah Kota Bandung masih tinggi, yaitu 440 temuan. Selain itu, di bidang
ekonomi, dari 3 Perusahaan Daerah yang dimiliki Kota Bandung, yaitu
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), PD Badan Perkreditan Rakyat (PD
BPR), dan PD Kebersihan, ternyata baru PDAM yang dapat memberikan
kontribusi kepada pendapatan asli daerah, akan tetapi dari segi cakupan
pelayanan masih belum memenuhi standar yang ada. Apalagi kondisi PD BPR
walaupun beberapa kali dibantu APBD, tetapi tidak ada peningkatan kinerja,
malah beban hutang perusahaan terus bertambah sehingga saat ini hampir tidak
ada pelayanan perbankan di PD BPR.
2. Tahun Anggaran 2004.
Pada Tahun Anggaran 2004, Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota
Bandung menemukan adanya ketidak sesuaian dalam kinerja sebanyak 445
buah, terdiri dari aspek pemeriksaan di bidang Tugas Pokok dan Fungsi
(Tupoksi) 150 temuan, SDM 70 temuan, Keuangan 84 temuan, Sarana prasarana 105 temuan, dan Metode kerja sebanyak 36 temuan.
3. Tahun Anggaran 2005.
Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung menemukan berbagai
pelanggaran. Pelanggaran tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan lima sasaran.

Secara kuantitatif jumlah pelanggaran itu menurun dibanding tahun 2004 yang

mencapai 445 kasus pelanggaran. Pelanggaran itu meliputi tugas pokok dan
fungsi (Tupoksi) sebanyak 38 temuan, SDM aparat sebanyak 79 temuan,
masalah keuangan sebanyak 153 temuan, sarana dan prasarana 127 temuan, dan
metode kerja sebanyak 8 temuan.
4. Tabun Anggaran 2006
Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung menemukan sebanyak 377
kasus temuan/pelanggaran. Temuan ini jauh lebih sedikit bila
dibandingkan dengan temuan pada Tahun Anggaran 2005. Pelanggaran ini
meliputi aspek Tupoksi 57 temuan, SDM aparat sebanyak 48 temuan, aspek
Keuangan sebanyak 126 temuan, aspek Sarana-prasarana sebanyak 132
temuan, dan Metode kerja sebanyak 14 temuan.
5. Tabun Anggaran 2007.
Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kota Bandung melakukan pemeriksaan
kinerja Pemerintah Kota Bandung terhadap 81 (delapan puluh satu) Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Bandung pada Semester I dan Semester II,
dengan mendapatkan temuan pelanggaran seluruhnya sebanyak 681, terdiri dari 368
temuan pada Semester I dan 313 temuan pada Semester II. Jumlah temuan tersebut
justru jauh lebih banyak dibandingkan pada Tabun Anggaran 2006, dengan jumlah
SKPD sebanyak 76. Temuan pada Tabun Anggaran 2007 ini terdiri dari aspek
Tupoksi 110, aspek SDM aparat sebanyak 67, aspek Keuangan 274, aspek

Sarana-prasarana 199, dan aspek Metode kerja sebanyak 31 temuan.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Kota Bandung, pada Tahun Anggaran 2003 dan 2004 (berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999) dan pada Tahun Anggaran 2005, 2006 dan 2007
(berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004) masih diketemukan berbagai masalah.
Padahal di dalam kedua undang-undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut, dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan pembinaan dan pengawasan
berdasarkan ketentuan Pasal 218 Undangundang Nomor 32 Tahun 2004. Bahkan pada
Tahun Anggaran 2007 dengan dilakukan pemeriksaan sebanyak dua kali, jumlah
temuan yang diperoleh menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan tahun
anggaran sebelumnya.
Secara empirik belum optimalnya kinerja Pemerintah Kota Bandung
berkaitan erat dengan pelaksanaan pengawasan internal yang dilakukan oleh
Inspektorat dan pengawasan eksternal oleh DPRD Kota Bandung juga belum optimal.
Apabila tidak segera ditanggulangi maka efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Kota
Bandung dapat terganggu, sehingga visi dan misi pembangunan Kota Bandung
tidak akan tercapai. Penelitian tentang pengaruh pengawasan internal dan pengawasan
eksternal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung ini penting dilakukan, agar dapat
direkomendasikan solusi peningkatan kinerja melalui perbaikan pengawasan, baik
pengawasan internal maupun pengawasan eksternal.

Berdasarkan Tatar belakang di atas, problem statement penelitian ini sebagai
berikut: Pengawasan internal oleh Inspektorat dan pengawasan eksternal oleh DPRD belum
efektif, sehingga kinerja Pemerintah Kota Bandung belum optimal. Dalam kajian ini,
kinerja pemerintah Kota Bandung difokuskan pada kinerja organisasi dari Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintahan Kota Bandung dalam
menjalankan fungsi pelayanan publik. Pengawasan internal dibatasi pada
pengawasan internal yang dilakukan pada SKPD oleh Inspektorat. Sedangkan
pengawasan eksternal dibatasi pada pengawasan eksternal yang dilakukan pada

SKPD oleh DPRD melalui Komisi DPRD. Sebagaimana Undang-undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Komisi DPRD
sesuai fungsi pengawasan DPRD berkaitan dengan semua program/kegiatan yang
berhubungan dengan penggunaan APBD, termasuk kinerjanya. Adapun rumusan
masalah (Research Question) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Seberapa besar
pengawasan internal dan pengawasan eksternal berpengaruh terhadap kinerja
Pemerintah Kota Bandung?
1.2. Rumusan Masalah
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa perubahan untuk mengarah ke perbaikan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah telah dilakukan, dengan harapan untuk lebih
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Namun dalam kenyataannya

banyak pelayanan kepada masyarakat oleh pemerintah Kota Bandung belum optimal
yang ditandai oleh akuntabilitas yang rendah, kualitas layanan yang kurang, Berta
rendahnya produktivitas kerja.
Secara empirik belum optimalnya kinerja Pemerintah Kota Bandung berkaitan erat
dengan pelaksanaan pengawasan internal yang dilakukan oleh Bawasda dan
pengawasan eksternal oleh DPRD dan masyarakat Kota Bandung juga belum optimal.
Apabila tidak segera ditanggulangi maka efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan
Kota Bandung dapat terganggu, sehingga visi dan misi pembangunan Kota Bandung tidak
akan tercapai. Penelitian tentang seberapa besar pengaruh pengawasan internal dan
pengawasan eksternal terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung ini penting dilakukan,
agar dapat direkomendasikan solusi peningkatan kinerja melalui perbaikan
pengawasan, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan problem statement
penelitian ini sebagai berikut: Pengawasan internal oleh Bawasda dan pengawasan
eksternal oleh DPRD dan masyarakat belum efektif, sehingga, kinerja Pemerintah Kota
Bandung belum optimal. Dalam kajian ini, kinerja pemerintah Kota Bandung difokuskan
pada kinerja organisasi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan
Pemerintahan Kota Bandung dalam menjalankan fungsi pelayanan publik.
Pengawasan internal dibatasi pada pengawasan internal yang dilakukan pada SKPD
oleh Bawasda. Sedangkan pengawasan eksternal dibatasi pada pengawasan eksternal

yang dilakukan pada SKPD oleh DPRD melalui Komisi DPRD dan masyarakat.
Sebagaimana Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh Komisi DPRD sesuai fungsi pengawasan DPRD
berkaitan dengan semua program/kegiatan yang b erhubungan dengan
penggunaan APBD, termasuk kinerjanya.
Sebagai rumusan masalah (Research Question) dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: Seberapa besar pengawasan internal dan pengawasan eksternal berpengaruh terhadap
kinerja Pemerintah Kota Bandung?
Selanjutnya secara lebih terperinci, rumusan masalah tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Seberapa besar pengaruh pengawasan internal terhadap kinerja Pemerintah Kota
Bandung?
2. Seberapa besar pengaruh pengawasan eksternal terhadap kinerja Pemerintah
Kota Bandung?
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh konsep pengawasan, yang dapat
dijadikan model pengawasan internal dan pengawasan eksternal yang tepat dalam mendorong
peningkatan kinerja Pemerintah Kota Bandung. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya pengaruh pengawasan internal

terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya pengaruh pengawasan eksternal terhadap
kinerja Pemerintah Kota Bandung.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberi kegunaan pada dua aspek, yaitu kegunaan
akademi (pengembangan ilmu), dan kegunaan praktis (guna laksana). Adapun kegunaan pada
dua aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1.4.1. Kegunaan Akademis
Temuan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam
pengembangan Ilmu Administrasi, khususnya yang berhubungan dengan konsep
pengawasan dan pengaruhnya terhadap kinerja Pemerintah Daerah.
1.4.2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perumusan kebijakan publik bagi
Pemerintahan Kota Bandung, khususnya Badan Pengawasan Daerah dalam pelaksanaan
pengawasan internal, dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan masyarakat
Kota Bandung dalam pelaksanaan pengawasan eksternal, guna meningkatkan kinerja
Pemerintah Kota Bandung dalam mensejahterakan masyarakat.
1.5. Kerangka Pemikiran
Konsep pengawasan internal dalam penelitian ini merujuk kepada Terry (1960:
530) yang berpendapat bahwa pengawasan internal merupakan proses m enent ukan

st andar unt uk p en gawasan, m en gukur hasi l pekerj a an, membandingkan hasil
pekerjaan dengan standar dan memastikan perbedaan bila ada perbedaan, serta mengoreksi
penyimpangan yang tidak dikehendaki melalui tindakan. perbaikan. Sedangkan konsep
pengawasan eksternal merujuk pada Lembaga Administrasi Negara (1997: 161) yang
menyatakan bahwa pengawasan eksternal terdiri dari pengawasan legislatif dan pengawasan
masyarakat. Adapun konsep kinerja pemerintah menggunakan pendapat dari Dwiyanto
(2006: 49-51) yang menyatakan bahwa kinerja pemerintah meliputi produktivitas,
kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas.
Adanya pengawasan memungkinkan pelaksanaan pekerjaan dapat diamati dan
dikelola kesesuaiannya dengan rencana dalam rangka pencapaian tujuan (Terry, 1960:
395). Fungsi pengawasan yang diarahkan pada: peningkatan kinerja organisasi; pemberian
opini atas kinerja organisasi; dan pemberian rekomendasi kepada manajemen untuk
melakukan koreksi atas masalah pencapaian kinerja yang ada akan memberikan nilai
tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggara, baik secara intemal maupun eksternal
(Ndraha, 2003: 197). Dibandingkan pengawasan eksternal, pengawasan internal
memiliki tingkat integrasi yang lebih tinggi dengan manajemen yang diawasinya (G.R.
Terry dan Leslie W. Rue, 2001:10). Sedangkan peran DPRD dalam melakukan fungsi
pengawasan sangat penting dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan,

penyelewengan dan kebocoran dalam penyelenggaraan pemerintahan. Posisi DPRD

yang tidak memiliki hubungan kedinasan dengan pemerintah diharapkan
menjamin objektivitas pengawasan (Budiardjo dan Ambong, 1995:180).
Adanya pengawasan memungkinkan pelaksanaan pekerjaan dapat diamati dan
dikelola pengendaliannya. Dengan demikian kesesuaian pekerjaan dengan rencana
selalu dapat dievaluasi dalam rangka menjamin tercapainya, kinerja yang diharapkan.
Semakin baik pelaksanaan fungsi pengawasan internal oleh Bawasda akan mendorong
manajemen untuk lebih mampu melakukan tindakan pengendalian yang diperlukan
dalam usaha mencapai kinerja yang direncanakan. Demikian pula semakin baik
pengawasan eksternal oleh Komisi DPRD dan masyarakat, semakin rendah
kemungkinan terjadinya pe nyalahgunaan, penyelewengan dan kebocoran dalam
penyelenggaraan pemerintahan sehingga pencapian kinerja lebih dapat dicapai. Paradigm
dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1:
Paradigma Penelitian

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal
Winardi (1990:587) menyatakan bahwa: "Pengawasan dapat ditujukan ke bidang
interns mmaupun ke bidang ekstem". Pengawasan internal dari sisi pemerintah,

adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dari
lingkungan internal organisasi pemerintah. Bila dirinci lebih lanjut, pengawasan internal
dapat dipilah menjadi pengawasan internal dalam arti dan pengawasan internal dalam arti
luas. Pengawasan internal dalam arti sempit adalah pengawasan internal yang dilakukan
oleh aparat pengawas yang berasal dari lingkungan internal organisasi atau lembaga negara
yang diawasi. Sedangkan pengawasan internal dalam arti luas adalah pengawasan internal
yang dilakukan oleh aparat pengawasan yang berasal dari lembaga khusus pengawas,
yang dibentuk secara khusus oleh pemerintah atau lembaga eksekutif.
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (1996:161) membagi pengawasan
internal ke dalam beberapa jenis, yaitu:
a. Pengawasan Melekat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh setiap pimpinan
terhadap bawahan dan satuan kerja yang dipimpinnya.
b. Pengawasan Fungsional, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang tugas
pokoknya melakukan pengawasan, seperti Itjen, Itwilprop. BPKP dan Bapeka.
Pengawasan ekstemal adalah suatu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh suatu
unit pengawasan yang sama sekali berasal dari luar lingkungan organisasi eksekutif.
Dengan demikian, dalam pengawasan ekstemal antara pengawas dengan pihak yang diawasi
tidak lagi terdapat hubungan kedinasan. Bentuk pengawasan ini dapat dilaksanakan oleh
legislatif (DPRD) mmaupun masyarakat.
Pengawasan eksternal, menurut Lembaga Administrasi Negara Republik
Indonesia (1997:160-161), dapat dibedakan menjadi:
a. Pengawasan Legislatif (Wasleg) yaitu pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga
Perwakilan Rakyat baik di pusat (DPR) mmaupun di daerah (DPRD).
Pengawasan ini merupakan pengawasan politik (Waspol).
b. Pengawasan Masyarakat (Wasmas), ialah pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat, seperti yang termuat dalam media massa.
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Umar (2006:90) menjelaskan adanya tiga
jenis pengawasan, yakni: pengawasan melekat, pengawasan fungsional, dan
pengawasan masyarakat.
a.

Pengawasan melekat.
Istilah pengawasan melekat secara formal diadopsi dari Instruksi Presiders
No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan dimana pada salah
satu pasal yakni pasal 3 menjelaskan bahwa: "setiap pimpinan di semua tingkatan
meningkatkan pengawasan melekat dan meningkatkan mutu di lingkungan tugas
masing-masing.
b.

Pengawasan fungsional
Pengawasan fungsional digunakan dengan mengacu pada Inpres No. 15 tahun 1983.
Dalam pengawasan ini adalah setiap upaya yang dilakukan oleh aparat yang ditunjuk
khusus (exclusively a ssigned) yang bertugas untuk melakukan audit secara independen

terhadap obyek yang diawasinya, dalam praktiknya aparat pengawas ini melakukan
pemeriksaan dan melakukan tugas lainnya seperti melakukan verifikasi, konfirmasi,
survei, assessment dan melakukan pemantauan (monitoring) atas sesuatu yang
sedang dalam pengawasan.
c.

Pengawasan masyarakat
Pengawasan ini dapat dikategorikan sebagai socia l contr ol, yakni
pengawasan yang tercipta karena adanya pengakuan dan kepatuhan pada norma
kelompok yang ada dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi.
Socia l control adalah pengawasan yang dilakukan secara non-formal oleh publik
atau masyarakat secara lebih luas misalnya kelompok penekan (pressure) organisasi asosiasi,
LSM dan kelompok yang berkepentingan (stakeholders).
Secara umum, menurut Sarundajang (2006:240) fungsi pengawasan adalah
untuk membantu manajemen dalam tiga hal, yaitu:
1. Meningkatkan kinerja organisasi;
2. Memberikan opini atas kinerja organisasi, dan
3. Mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah pencapaian
kinerja yang ada.
Ada kalanya bahwa pengawasan itu perlu dilakukan oleh Pimpinan. Tujuan dari
pengawasan oleh pimpinan adalah untuk meyakinkan apakah usaha-usaha atau kegiatankegiatan dalam manajemen ini sudah baik atau belum. Lagi pula pengawasan ini bukan
sesuatu yang sekali dilakukan itu sudah selesai, akan tetapi secara terus menerus dilakukan
dan pengawasan ini merupakan sesuatu yang mempunyai hubungan satu dengan
yang lain. Denga n kata lain bahwa pengawasan merupakan bagian yang terintegrasi
dengan manajemen, sekalipun aparat dari pengawasan itu diusahakan sekecil mungkin.
Selanjutnya dalam prosedur, pelaksanaan dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak
sempurna, metode pengawasan tersebut harus diterapkan. Apabila teriadi ketidaksempumaan, hal ini berarti bahwa orang-orang yang bekerja di tempat itulah yang tidak
efektif dalam melakukan pekerjaan atau kegiatan tersebut. Oleh karena itu, maka pimpinan
harus menaruh perhatian dengan menggunakan metode dan prosedur pengawasan yang
bermanfaat, jika apabila pengawasan di sini tidak dilakukan secara efektif. Dengan
demikian, maka pimpinan harus menentukan rencana, dan prosedur pengawasan yang
dapat mencapai pada hasil tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, bahwa tujuan dari
pengawasan adalah untuk mencapai hasil yang diinginkan, bukan untuk mencari kesalahan
dari orang-orang yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
Kaho (1982:143-144) menyatakan bahwa tujuan pengawasan adalah:
1. Untuk menjaga agar standar minimal dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat tetap dipertahankan oleh pejabat-pejabat daerah;
2. Untuk mempertahankan atau menjaga mutu standar administrasi dengan
cara menjalankan koordinasi antara pelbagai macam tingkatan pemerintah yang
ada;
3. Untuk melindungi warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan
oleh pejabat-pejabat daerah;
4. Untuk mengawasi pengeluaran atau penggunaan uang yang dilakukan oleh
Pemeridtah Daerah, sebagai bagian dari manajemen dan perencanaan
ekonomi nasional;
5. Untuk mengikat rakyat dan mempersatukan rakyat yang berbeda-beda menjadi satu
bangsa.

Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari pengawasan
adalah agar dalam pelaksanaan pekerjaan diperoleh hasil yang berdaya guna (efisien)
dan berhasil guna (efektif), sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Selain mempunyai tujuan sebagaimana tersebut di atas, pengawasan juga
mempunyai fungsi-fungsi yang dapat dirinci paling sedikit menjadi empat macam. Keempat
fungsi pengawasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Untuk mempertebal rasa tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi tugas dan
wewenang dalam melaksanakan pekerjaan.
2. Untuk mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai dengan
prosedur yang telah ditentukan;
3. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan, kelalaian dan kelemahan,
agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan;
4. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan pekerjaan tidak
mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan.
Keempat fungsi pengawasan tersebut selalu terdapat di dalam setiap bentuk
pengawasan, baik yang berskala besar m maupun kecil. Agar suatu pengawasan
dapat melakukan fungsinya dengan sebaik-baiknya, maka peranan pimpinan pun perlu
mendapat perhatian dalam setiap proses pengawasan.
Luther Gulick dan L. Urwick (dalam Ndraha, 2003:197) berbicara tentang control
sebagai proses sebagai berikut:
Proses tersebut berlangsung di bawah empat prinsip kontrol yang juga adalah
prinsip organisasi. Keempat prinsip itu adalah (1) koordinasi sebagai
hubungan timbal balik semua faktor di dalam suatu. situasi, (2) koordinasi dengan
kontak langsung antar manusia yang berkepentingan, (3) koordinasi pada tahap
awal setiap kegiatan, dan (4) koordinasi sebagai sebuah proses yang berjalan terus
menerus. Jadi antara kontrol dengan koordinasi terdapat kaitan yang erat sekali.
Pengawasan dapat dilakukan oleh siapa saja yang berkepentingan terhadap suatu
organisasi atau kelompok masyarakat, baik internal mmaupun eksternal. Dilihat dari sudut
ini, menurut Ndraha (2003:197) bahwa pengawasan dapat dilakukan misalnya oleh:
1. Atasan terhadap bawahan.
2. Unit kerja kontrol, baik internal mmaupun ekstemal terhadap organisasi yang

berada di dalam lingkungan kompetensinya.
3. Konsumer atau pelanggan terhadap produser atau penjual.
4. Mekanisme built-in-control terhadap organisasi yang bersangkutan.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, pengawasan daerah
dapat diartikan secara luas sebagai salah satu aktivitas fungsi manajemen untuk
menemukan, menilai dan mengoreksi penyimpangan yang mungkin terjadi atau yang
sudah terjadi berdasarkan standar yang telah disepakati dalam hal ini peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan demikian, pengawasan akan memberikan nilai
tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggara pemerintahan daerah.
Menurut Bellone (1980:268-270) bahwa dalam sebuah organisasi
(pemerintah), pengawasan merupakan masalah yang sangat penting untuk
mendapatkan perhatian, karena pengawasan merupakan upaya untuk mencapai tujuan
organisasi yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam sektor organisasi pemerintahan, pengawasan akan dapat menumbuhkan

kepercayaan publik dari pihak-pihak yang terkait dalam organisasi. Dalam sektor organisasi
pemerintahan, terdapat 3 pilar utama, yakni: rakyat, wakil rakyat dan pemerintah. Dalam
menjalankan pemerintahan, pemerintah diawasi oleh rakyat melalui wakil rakyat. Bahkan
rakyat melalui LSM ikut mengawasi kinerja pemerintah agar supaya berjalan sesuai
dengan tujuan pemerintah.
Memperhatikan adanya berbagai konsep pengawasan di atas, jelaslah bahwa
pengawasan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi termasuk
diantaranya organisasi pemerintah, karena pengawasan dilakukan dalam upaya untuk
meyakinkan bahwa implementasi suatu aturan/kebijakan telah sesuai dengan yang
diharapkan. Pengawasan juga bermanfaat dalam penentuan keputusan selanjutnya
dalam upaya untuk menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan,
penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidakadilan, dan mencegah berulangnya
kesalahan, penyimpangan.
2.2. Konsep Kinerja
Salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai
tujuannya adalah dengan mengukur kinerjanya. Callahan (2003:911) menyatakan bahwa
kinerja menggambarkan sampai seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil
ketika dibandingkan dengan kinerjanya terdahulu pr evious per for ma nce),
dibandingkan organisasi lain (benchma r king), dan sampai seberapa jauh pencapaian
tujuan dan target yang telah ditetapkan.
Kinerja atau performance dalam arti yang sederhana adalah prestasi kerja. Rue dan
Byars (1981:375) mendefinisikan bahwa: “Kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil
atau degree of accomplishment” . Ini berarti kinerja merupakan tingkat pencapaian
tujuan organisasi. Stolovitch (dalam Rivai, 2005:14) mengatakan bahwa: kinerja
merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta
pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta". Sedangkan menurut Sedarmayanti
(2001:50), bahwa performance yang diterjemahkan menjadi kinerja, juga berarti "prestasi
kerja, pelaksanaan kerja, hasil kerja/tindakan, unjuk kerja, dan penampilan kerja".
Ndraha (2003:196) menjelaskan bahwa kerja dalam bahasa Inggris perform
berarti to a ct, to ca rry out, to execute. Kata performance mengandung arti luas. Beberapa
artinya adalah entertaiment, the act of performing, the xecution or accomplishment of work
act, etc.". Jadi performance bisa diartikan sebagai produk, dan dapat diartikan sebagai
proses.
Menurut Mangkunegara (2000:67), bahwa: “pengertian kinerja (prestasi kerja)
adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Berdasarkan definisi kinerja yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas,
maka yang dimaksud dengan kinerja adalah hasil kerja atau prestasi kerja yang dicapai
oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi berdasarkan tugas dan
kewajibannya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Swanson (1999:73) membagi
kinerja atas tiga tingkatan, yaitu kinerja organisasi, kinerja proses, dan kinerja individu.
Kinerja organisasi di sini mempertanyakan apakah tujuan atau misi suatu ogmisasi
telah sesuai dengan kenyataan kondisi atau faktor ekonomi, politik, dan budaya yang ada;
apakah struktur dan kebijakannya mendukung kinerja yang diinginkannya, apakah memiliki
kepemimpinan, modal, dan infrastruktur dalam mencapai misinya; apakah kebijakan, budaya,
dan sistem insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan; dan apakah
organisasi tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan seleksi dan pelatihan,
serta sumberdayanya.

Kinerja proses menunjukkan apakah suatu proses yang dirancang dalam organisasi
memungkinkan organisasi tersebut mencapai misinya dan tujuan para individu, didesain
sebagai suatu sistem, kemampuan untuk menghasilkan, baik secara kuantitas, kualitas,
dan tepat waktu, memberikan informasi dan factor-faktor manusia yang dibutuhkan
untuk memelihara sistem tersebut, dan apakah proses pengembangan keahlian telah sesuai
dengan tuntutan yang ada.
Kinerja individu berkaitan dengan apakah tujuan atau misi individu sesuai dengan
misi organisasi, apakah individu menghadapi hambatan dalam bekerja dan mencapai hasil,
apakah para individu memiliki kemampuan mental, fisik, dan emosi dalam bekerja, dan
apakah mereka memiliki motivasi tinggi, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dalam
bekerja.
Selanjutnya apabila dikaitkan dengan manajemen kinerja, Surya Dharma (2005:25)
mengemukakan bahwa:
Manajemen Kinerja adalah suatu cara untuk mendapatkan hasil yang lebih baik bagi
organisasi, kelompok dan individu dengan memahami dan mengelola kinerja
sesuai dengan target yang telah direncanakan, standar dan persyaratan kompetansi
yang telah ditentukan..
Dengan demikian manajemen kinerja adalah sebuah proses untuk menetapkan apa yang
harus dicapai, dan pendekatannya untuk mengelola dan pengembangan manusia
melalui suatu cara yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa sarana akan dapat
dicapai dalam suatu jangka waktu tertentu baik pendek maupun panjang.
Bacal (2005:3) menjelaskan mengenai manajemen kinerja adalah: “Proses
komunikasi yang berlangsung terus-menerus, yang dilaksanakan berdasarkan
kemitraan, antara seorang karyawan dengan penyelia langsungnya”.
Lebih lanjut Bacal (2005:3-4) menyatakan bahwa manajemen kinerja meliputi
upaya membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang: a) fungsi kerja
esensial yang diharapkan dari karyawan; b) seberapa besar kontribusi pekerjaan karyawan
bagi pencapaian tujuan organisasi; c) apa arti konkretnya “melakukan pekerjaan dengan
baik”; d) bagaimana karyawan dan penyelianya bekerja sama untuk mempertahankan,
memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja karyawan yang sudah ada sekarang; e)
bagaimana prestasi kerja akan diukur; dan f) mengenali berbagai hambatan kinerja dan
menyingkirkannya.
Sistem manajemen kinerja terdiri dari beberapa komponen (Bacal, 2005:34), yaitu:
1. Perencanaan Kinerja
Titik awal manajemen kinerja: karyawan dan manajer bekerja sama untuk
mengidentifikasikan, memahami, dan menyepakati apa yang seharusnya dikerjakan
oleh karyawan, seberapa baiknya hal itu perlu dilaksanakan, mengapa, bilamana,
dan seterusnya.
2. Komunikasi Kinerja yang Berlangsung Terus-menerus
Sebuah proses dua arah yang bekerja sepanjang tahun untuk memastikan bahwa
pelaksanaan tugas kerja berjalan sebagaimana mestinya, bahwa masalah dapat
dikenali sebelum berkembang, dan bahwa baik manajer mmaupun karyawan
selalu memperoleh informasi yang segar.
3. Pengumpulan Data, Pengamatan dan Dokumentasi
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang kinerja
organisasi atau perseorangan dengan tujuan meningkatkan kinerja.
Pengamatan merupakan cara bagi manajer untuk mengumpulkan data. Dokumentasi
adalah mencatat informasi yang dikumpulkan.

4. Pertemuan Evaluasi Kinerja
Suatu proses di mana manajer dan karyawan bekerja sama dalam menilai sampai
sejauh mana karyawan telah mencapai sasaran yang telah disepakati dan bekerja
sama untuk mengatasi berbagai kesulitan yang ditemui. Biasanya merupakan
suatu pertemuan tahunan.
5. Diagnosis Kinerja dan Bimbingan
Diagnosis Kinerja adalah proses pemecahan masalah dan komunikasi, yang
digunakan untuk mengidentifikasikan penyebab dasar yang sebenarnya dari
permasalahan atau kegagalan kinerja, bagi perseorangan, suatu bagian, atau
bahkan keseluruhan organisasi. Sedangkan bimbingan merupakan suatu proses di
mana seseorang yang lebih berpengetahuan mengenai suatu hal, bekerja dengan
seorang karyawan untuk membantunya mengembangkan pengetahuan dan
keahlian dalam rangka meningkatkan kinerja.
Dalam pen yel enggaraan pem eri ntahan, pada Pasal 1 a yat (2) Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah, disebutkan bahwa: “ Kinerja adalah keluaran/hasil dari
kegiatan/program yang hendak at au tel ah di capai sehubungan dengan
p enggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur”. Selanjutnya dikemukakan
pada Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, bahwa: “Laporan
Kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian
Kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka
pelaksanaan APBN/APBD.
Kinerja suatu organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi sosial ataupun
organisasi perusahaan bergantung pada kinerja subyek pelaksananya. Menurut Weston
(dalam Prawirosentono, 2008:140-142), bahwa di dalam suatu organisasi dikenal 3 jenis
kinerja, yakni:
1. Kinerja Administratif (administrative performance)
Kinerja administratif berkaitan dengan kinerja administrasi organisasi. Termasuk
didalamnya tentang struktur administratif yang mengatur hubungan otoritas
(wewenang) dan tanggung-jawab dari orang yang menduduki jabatan atau bekerja
pada unit-unit kerja yang terdapat dalam organisasi. Di samping itu, kinerja
administratif berkaitan dengan kinerja dari mekanisme aliran informasi antar unit
kerja dalam organisasi, agar tercapai sinkronisasi kerja antar unit kerja.
2. Kinerja Operasional (operational performance)
Kinerja operational berkaitan dengan efektivitas penggunaan setiap sumber daya
yang digunakan perusahaan. Kemampuan mencapai efektivitas penggunaan
sumber daya (modal, bahan baku, teknologi, d1l) bergantung kepada sumberdaya
manusia yang mengerjakannya.
3. Kinerja Strategik (strategic performance)
Kinerja strategik suatu perusahaan dievaluasi atas ketepatan perusahaan dalam
memilih lingkungannya dan kemampuan adaptasi (penyesuaian) perusahaan
bersangkutan atas lingkungan hidupnya dimana dia beroperasi.
Berdasarkan hal tersebut, maka kinerja suatu organisasi pemerintah dapat dinilai
secara administratif, operasional dan strategik. Kinerja unit-unit organisasi dimana
seseorang atau sekelompok orang berada didalamnya merupakan pencerminan dari
kinerja sumber daya manusia bersangkutan. Kaitannya dengan organisasi pemerintah,
maka kinerja yang dicapai oleh organisasi tersebut merupakan pencerminan dari
kinerja aparaturnya sebagai pelaksana dan penggerak dalam mekanisme pemerintahan.

Menurut Ndraha (2003:196) bahwa berdasarkan teori t ent ang
pertanggungjawaban pemerintahan, dapat dikonstruksi peng ertian kinerja
pemerintahan, bahwa:
Dari sudut accountability, kinerja adalah pelaksanaan tugas atau perintah (task
a ccoplishment), dari segi obliga tion, kinerja adalah kewajiban untuk menepati janji
(penetapan janji), dan dari segi ca use, kinerja adalah proses tindakan (prakarsa)
yang diambil menurut keputusan batin berdasarkan pilihan bebas pelaku pemerintahan
yang bersangkutan dan kesiapan memikul segala resiko (konsekuensi) nya.
Salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai
tujuannya adalah dengan mengukur kinerjanya. Pengukuran kinerja merupakan tahapan
yang amat penting dalam sistem manajemen organisasi. Pengukuran kinerja ini
dimaksudkan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah aktivitas yang dilakukan
oleh organisasi. Callahan (2003:911) menyatakan bahwa pengukuran kinerja
menggambarkan sampai seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil ketika
dibandingkan dengan kinerjanya terdahulu (previous performance), dibandingkan
organisasi lain, dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan.
Sementara. Simon (2000:196) berpendapat bahwa: “Setiap alat pengukuran kinerja mampu
menjelaskan bentuk priontas yang berbeda, memungkinkan setiap pegawai untuk memasuki
arah dan tujuan strategi dan mewujudkan strategi tersebut kemudian mengkomunikasikan
arah dan tujuan bisnis mereka”.
Bagi setiap organisasi, pengukuran dan evaluasi kinerja merupakan suatu kegiatan
yang sangat penting. Melalui pengukuran dan evaluasi kerja dapat ditentukan
tingkat keberhasilan dan kegagalan organisasi dalam mencapai misinya. Kinerja
organisasi di sini mempertanyakan apakah tujuan atau misi suatu organisasi telah sesuai
dengan kenyataan kondisi atau faktor ekonomi, politik, dan budaya yang ada; apakah struktur
dan kebijakannya mendukung kinerja. yang diinginkannya, apakah memiliki kepemimpinan,
modal dan infrastruktur dalam mencapai misinya; apakah kebijakan, budaya, dan sistem
insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan; dan apakah organisasi
tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan seleksi dan pelatihan, serta
sumberdayanya.
Untuk organisasi pelayanan publik, informasi mengenai kinerja tentu sangat
berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi
harapan dan memuaskan penguna jasa. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja, maka
upaya untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis.
Informasi mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi para.
pejabat penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam
organisasi. Adanya akuntabilitas akan mendorong organisasi pemerintah untuk lebih
memperhatikan kebutuhan masyarakat yang dilayani dan menuntut perbaikan dalam
pelayanan publik. Efektivitas pengukuran kinerja pemerintahan hanya dapat menjadi
kenyataan, jika dapat dirumuskan dan ditetapkan indicator yang dapat menggambarkan
tingkat pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi.
Organisasi publik adalah organisasi yang didirikan dengan tujuan memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan organisasi publik diukur
keberhasilannya melalui ekonomi, efisiensi, dan efektivitas dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Untuk itu organisasi publik harus menetapkan indicator-indikator
dantarget pengukuran kinerja yang berorientasi kepada masyarakat. Pengukuran kinerja pada
organisasi publik dapat meningkatkan pertanggungjawaban dan memperbaiki proses
pengambilan keputusan. Bagi pemerintah daerah, sebagai organisasi yang mengemban fungsi
utama pemerintahan yaitu pelayanan publik, penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang
sangat penting terutama untuk mengukur pelayanan yang telah diberikan kepaa masyarakat,

dan sebagai upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan di tahun berikutnya.
Dwiyanto (2006:47) mengemukakan bahwa:
Mengukur kinerja organisasi pelayanan publik sangat berguna untuk menilai seberapa
jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan
pengguna jasa. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja maka upaya untuk
memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis.
Informasi mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi para pejabat
penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi. Dengan
adanya informasi mengenai kinerja, maka penilaian dengan mudah dapat dilakukan dan
dorongan untuk memperbaiki kinerja bisa diciptakan.
Ada berbagai perspektif dalam menyusun kinerja publik. Secara garis besar, berbagai
parameter yang dipergunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokkan
menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama, melihat kinerja pelayanan publik dari
perspektif pemberi pelayanan, dan pendekatan kedua, melihat kinerja pelayanan publik dari
perspektif pengguna jasa.
Gerakan Reinventing Government menuntut agar kinerja tidak lagi diukur dengan
besarnya input dan bagaimana prosedur yang ditempuh untuk mencapai output, tetapi dengan
mengutamakan hasil akhir yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat atau pelanggannya
(Osborne dan Gaebler, 1993; Barzesley, 1992; Osborne dan Plastrik, 1997.
Menurut Keban (2004: 1994-195), penilaian suatu kinerja selalu didasarkan pada
kriteria atau indikator yang diilhami oleh suatu paradigm yang dianut. Apabila paradigm
yang dianut lebih didasarkan pada manajemen klasik, maka kriteria karakter pegawai, sikap,
dan tingkah laku pegawai akan menjadi penting. Bila paradigm yang dianut lebih
berpengaruh pada manajemen sumber daya manusia, maka hasil dan partisipasi, inisiatif, dan
perkembangan pegawai akan menjadi pusat perhatian. Sedangkan apabila organisasi
menganut paradigm good governance, maka kedua-duanya akan menjadi sama pentingnya,
karena selain harus bekerja professional dan akuntabel terhadap apa yang telah dijanjikan
kepada publik, aspek transparansi, responsivitas, kepatuhan terhadap hokum, dan sebagainya,
juga harus diperhatikan.
Pengukuran kinerja dengan demikian merupakan suatu proses penilaian kemajuan
pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dansasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi
mengenai efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas
barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam
mencapai tujuan. Pengungkapan dan pengukuran kinerja organisasi publik (pemerintah) pada
saat ini menjadi sangat penting, karena dipergunakan sebagai salah satu cara untuk
menunjukkan akuntabilitas organisasi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya kepada publik.
Berdasarkan kepentingan untuk membangun good governance, banyak organisasi
pemerintah berusaha untuk memperbaiki kinerjanya dengan membangun dan
mengembangkan sistem manajemen pemerintahan berbasis kinerja.
Focus manajemen berbasis kinerja adalah pengukuran kinerja sector publik yang
berorientasi pada pengukuran hasil (outcome), tidak sekedar input dan output. Dalam istilah
Osborne dan Gaebler (1992) disebut sebagai result-oriented government, yaitu pemerintahan
yang membiayai outcomes bukan input. Konsep tersebut lahir sebagai reaksi dan
ketidakpercayaan publik kepada kinerja pemerintah dan kebangkrutan birokrasi Amerika
Serikat, sehingga memunculkan konsep reinventing government.
Prawirosentono (2008:27-32) dalam melakukan penilaian kinerja organisasi
melakukan pendekatan dari perspektif pemberi layanan. Adapun indikator yang digunakan
untuk mengukur kinerja suatu organisasi adalah:
1. Efektivitas dan Efisiensi

Efektivitas adalah bila tujuan organisasi tersebut dapat dicapai sesuai dengan
kebutuhan yang direncanakan. Efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang
dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan
2. Otoritas dan Tanggungjawab.
Otoritas adalah wewenang yang dimiliki seseorang untuk memerintah pada
orang lain agar melaksanakan tugas yang dibebankan padanya dalam suatu
organisasi. Wewenang tersebut mempunyai batas-batas tentang apa yang boleh
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tanggung jawab adalah bagian yang
tidak terpisahkan atau sebagai akibat dari kepemilikan wewenang tersebut.
Bila ada wewenang berarti dengan sendirinya muncul tanggung jawab.
3. Disiplin.
Disiplin adalah taat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
4. Inislatif.
Inisiatif berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam bentuk ide untuk
merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.
Indikator kinerja penyelenggaraan pemerintahan menurut Mc. Donald dan
Lawton (dalam Sadu Wasistiono dkk, 2002:47), adalah “output, oriented
measures, throughout, efficiency and effectiveness”. Masih dalam buku yang sama,
Sadu Wasistiono dkk. (2002:48) mengutip pendapat Lenvile mengenai tiga konsep yang biasa
digunakan sebagai indikator kinerja untuk mengukur kinerja organisasi pemerintah,
antara lain: r esponsiveness, r esponsibili ty, a nd accountability.
Dalam kaitan ini, Sadu Wasistiono dkk. ( 2002: 48-50) menjelaskan beberapa
indikator yang kiranya dapat dijadikan ukuran yang menggambarkan dan menjelaskan
tingkat pencapaian misi dan tujuan organisasi pemerintah sebagai berikut:
a) Indikator Produktivitas.
Produktivitas dapat dijadikan indikator kinerja organisasi pemerintah. Namun
produktivitas bukan satu-satunya indikator kinerja organisasi pemerintah karena produktivitas
tidak akan mampu menggambarkan secara keseluruhan tingkat kemampuan pencapaian misi
dan tujuan organisasi pemerintah. Namun ini bukan berarti bahwa produktivitas tidak lagi
penting untuk menilai kinerja organisasi pemerintah. Produktivitas tetap merupakan salah
satu indikator kinerja organisasi pemerintah yang penting (Perry, 1990). Produktivitas
pada umumnya dipahami sebagai konsep efisiensi atau rasio antara output dan input.
Konsep ini terasa terlalu sempit jika dikaitkan dengan misi dan tujuan organisasi
pemerintah. Hatri (1990) mengusulkan bahwa konsep produktivitas tidak hanya mengukur
efisiensi, tetapi diperluas sehingga mencakup efektivitas pelayanan.
b) Indikator Kualitas Layanan
Quality of services atau kualitas layanan kini menjadi isu yang semakin penting
dalam menjelaskan kinerja organisasi pemerintah. Kualitas layanan seringkali membentuk
image masyarakat terhadap organisasi pemerintah. Banyak image negatif yang terbentuk
mengenai organisasi pemerintah muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap
kualitas layanan yang diterima dari organisasi pemerintah. Dengan demikian kepuasan
masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik.
Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja
adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan
murah. Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas layanan seringkali dapat
diperoleh dari media masa atau diskusi publik. Karena akses terhadap mformasi
mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi maka bisa

menjadi satu indikator kinerja organisasi pemerintah yang murah dan mudah
dipergunakan. Kepuasan masyarakat dapat menjadi decibel meter s untuk menilai
kinerja organisasi pemerintah.
c) Responsivitas.
Lenvile (1990) menyatakan bahwa responsivitas adalah kemampuan organisasi
untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas dalam konteks ini
adalah menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Responsivitas perlu dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena,
menggambarkan secara langsung kemampuan organisasi pemerintah dalam
menjalankan misi dan tujuannya. Responsivitas yang rendah, seperti ditunjukkan dengan
ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat, jelas menunjukkan
kegagalan organisasi pemerintah dalam mewujudkan misi dan tujuannya. Organisasi
yang memiliki responsivitas yang rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.
d) Responsibilitas.
Lenvile (1990) menyatakan pula bahwa responsibilitas adalah apakah pelaksanaan
kegiatan organisasi pemerintah itu dilakukan sesuai dengan prinsip -prinsip
administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi baik yang implisit
atau eksplisit. Karena itu responsibilitas bisa saja suatu ketika berbenturan dengan
responsivitas. Keinginan seorang pejabat organisasi pemerintah untuk meningkatkan
responsivitas bisa saja mengorbankan responsibilitas, manakala kebijakan dan prosedur
administrasi yang ada dalam organisasinya ternyata tidak lagi memadai untuk menjawab
dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Ini terjadi disebabkan dinamika
masyarakat selalu lebih cepat dari perubahan organisasi.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Dwiyanto, dkk. (2006: 49-51)
bahwa ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja
birokrasi publik, yaitu sebagai berikut:
1. Produktivitas.
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio
antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan
kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu
ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar
pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu
indikator kinerja yang penting.
2. Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam
menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang
terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena, ketidakpuasan masyarakat
terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan
demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan
indikator kinerja organisasi pulik.
Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator
kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat sering kali tersedia
secara mudah dan murah. Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas
pelayanan sering kali dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik.

Akibat akses terhadap infonnasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas
layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi publik
yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter
untuk menilai kinerja organisasi publik.
3. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan
program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program
dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas
dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara
langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan
misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara
pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan
organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi
yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang
jelek pula.
4. Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai
dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implicit
(Lenvine,1990). Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika
berbenturan dengan responsivitas.
5. Akuntabilitas
Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat.
Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat,
dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks
ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar
kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak
masyarakat banyak. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti
nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi
publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan
sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.
Organisasi itu sendiri menurut Gibson (1992:8), pada dasarnya merupakan suatu
bentuk kerjasama antara individu dan proses penggabungan aktivitas untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan bersama. Pada hakekataya organisasi itu tidak berdiri sendiri, akan
tetapi merupakan bagian dari sistem yang lebih besar dengan memuat banyak unsur lain
seperti keluarga, pendidikan, pemerintahan dan organisasi lain.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan
Pengawasan Daerah Kota Bandung dan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat Kota Bandung, serta kinerja Pemerintah
Kota Bandung.
3.2. Desain Penelitian
De