Isu Terkini Penanganan Yang Tepat Dampak Metabolik Sindroma Polikistik Ovarium.

Continuing Medical Education (CME) on Clinical Reproductive Endocrinology for Medical Practice Hotel Saphir Yogyakarta 10 Oktober 2010

ISU TERKINI PENANGANAN YANG TEPAT DAMPAK METABOLIK
SINDROMA POLIKISTIK OVARIUM
Tono Djuwantono, Dian Tjahyadi, Mulyanusa A Ritonga*
Subbagian Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS dr. Hasan Sadikin Bandung
Abstrak :
Fokus penatalaksanaan Sindroma ovarium polikistik
(SOPK) biasanya berfokus pada penatalaksanaan
infertilitas atau hanya pada penatalaksanaan
gangguan haid, hiperandrogen dan masalah yang
berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Konsekuensi
jangka panjang yang timbul dari SOPK belum
banyak dipelajari seperti kaitannya berbagai
gangguan metabolik seperti hiperinsulinemia,
resistensi insulin, dislipidemia, hipertensi dan
penyakit kardiovaskuler, ataupun neoplasia. Faktor
lingkungan dan pertumbuhan sangat signifikan
mempengaruhi perkembangan SOPK. Kejadian

SOPK pada remaja dihubungkan dengan fetus yang
mengalami gangguan pertumbuhan intra uterin.
Kelainan ini selanjutnya dapat berkembang menjadi
SOPK pada sebagian wanita. Gangguan metabolik
pada SOPK diketahui berkaitan erat dengan kejadian
DM tipe 2, hipertensi dan dislipidemia sehingga juga
meningkatkan risiko kardiovaskular.
Resistensi
insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan tubuh
untuk beradaptasi dengan asupan normal glukosa
atau ketidakmampuan insulin menghasilkan efek
fisiologis metabolik yang memadai bagi tubuh. Hal
ini merupakan suatu masalah besar pada wanita
dengan SOPK baik yang memiliki berat badan
normal ataupun yang mengalami obesitas. Oleh
karena itu maka penapisan kondisi sindroma
metabolik pada wanita SOPK merupakan suatu
keharusan pada penatalaksanaan efek jangka
panjang SOPK. Bukti-bukti menunjukan bahwa
terdapat asosiasi yang kuat antara obesitas, obesitas

abdominal dan resistensi insulin. Obesitas dapat

memperburuk
gangguan
metabolik
dan
kardiovaskular pada wanita SOPK. Selain risiko
kardiovaskuler, wanita dengan SOPK memiliki
risiko peningkatan terjadinya kejadian kanker yang
hormon dependent.
Diketahui bahwa risiko
karsinoma endometrium meningkat diakibatkan oleh
kondisi unopposed estrogen meskipun tidak ada
bukti bahwa estrogen alami merupakan zat
karsinogenik bagi wanita. Keganasan yang diduga
berkaitan dengan SOPK diantaranya adalah kanker
endometrium dan payudara meskipun secara
prevalensi kejadian karsinoma endometrium dan
payudara pada wanita SOPK tergolong rendah.
Wanita SOPK memerlukan terapi yang sistematik

baik pada saat usia reproduksi maupun pada masa
postmenopausenya.Penurunan 2-5% berat badan
diketahui berkaitan dengan pemulihan fungsi
ovarium. Insulin sensitizing agent baik metformin
maupun thiazolidinediones telah dibuktikan mampu
menurunkan risiko kardiovaskular. Terapi inisial
untuk mencegah efek jangka panjang SOPK adalah
perubahan gaya hidup, terutama penurunan berat
badan yang merupakan target utama terapi. Terapi
ini harus dijalankan bersama support emosional dan
group terapi yang efektif. Setiap wanita pada setiap
usia yang didiagnosis dengan SOPK harus mendapat
penatalaksanaan yang menyeluruh untuk mengatasi
efek gangguan metabolik jangka panjang secara
komprehensif.
Kata Kunci : Sindroma Ovarium Polikistik,
Sindroma Metabolik, Aterosklerosis, Kanker
Endometrium, Insulin Sensitizing Agent.

Korespondensi: Dr.Tono Djuwantono, dr, SpOG(K), M.Kes. Subbagian Fertililitas Endokrinologi Reproduksi

Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Telp: 022-032530.E-mail: djuwantono@yahoo.com Website: asterfertilityclinic.com

PENDAHULUAN
Telah diketahui bahwa Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) merupakan
kelainan endokrin yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi, secara
epidemiologi kelainan ini diketahui terjadi pada 5-10% populasi wanita usia
reproduksi. Saat ini diagnosis dari SOPK ditegakkan berdasarkan konsensus
Rotterdam 2003,1 dengan tiga kriteria dasar yaitu adanya :
1. Oligo- atau anovulasi.

1

2. Tanda klinis atau biokimia dari hiperandrogenisme (dengan pengecualian
congenital adrenal hyperplasia, Cushing’s Syndrome, tumor penghasil
androgen, kelainan tiroid dan hiperprolaktinemia).
3. Gambaran ovarium polikistik yang didapat melalui USG.
Untuk mendiagnosis SOPK, perlu diingat bahwa kondisi ini merupakan suatu
sindroma, dan tidak pernah timbul sebagai suatu kondisi klinis tunggal, minimal
dua dari tiga kriteria seperti yang disebutkan diatas harus ditemukan.

Pada saat seorang wanita datang dengan SOPK, kita biasanya hanya
berfokus pada penatalaksanaan infertilitas khususnya apabila wanita tadi
menginginkan kehamilan, atau hanya berfokus pada penatalaksanaan gangguan
haid, hiperandrogen ataupun masalah lain yang berkaitan dengan fungsi
reproduksinya. Namun ternyata sindroma ini membawa konsekuensi jangka
panjang yang dapat menjadi masalah besar dikemudian hari.
SOPK diketahui berkaitan erat dengan berbagai gangguan metabolik seperti
hiperinsulinemia, resistensi insulin, dislipidemia, hipertensi dan penyakit
kardiovaskuler, SOPK juga diketahui berkaitan dengan peningkatan risiko
terjadinya neoplasia.2
Beberapa faktor telah diketahui berkaitan dan
mempengaruhi berat-ringannya sindroma ini baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Hal-hal tersebut seolah menjadi bom waktu bagi wanita dengan
SOPK. Faktor diet dan gaya hidup juga diketahui memiliki peranan sangat penting
pada patogenesis sindroma ini.3
TANTANGAN BAGI PARA GINEKOLOG
Para ginekolog harus berhati-hati terhadap efek jangka panjang SOPK dan
mengusahakan pencegahannya sejak dini dengan memodifikasi faktor-faktor yang
diketahui mempengaruhi sindroma ini. Saat ini seorang ginekolog harus
mengusahakan suatu pendekatan holistik bagi pasien dengan SOPK dengan tidak

hanya berfokus pada penatalaksaan gangguan klinis jangka pendek tetapi sedapat
mungkin mengendalikan faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan gangguan
jangka panjang.
Dalam hal ini sebagai klinisi Evidence Based Medicine harus menjadi
pegangan dalam setiap pengambilan keputusan. Namun hingga saat ini studipenelitian mengenai efek jangka panjang meliputi risiko dan prevalensi dari
outcome jangka panjang SOPK belum banyak dikemukakan. Penelitian yang ada
belum merupakan suatu penelitian randomized controlled trial, kebanyakan
penelitian hanya merupkan suatu laporan kasus non random, dan hanya
berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya atau merupakan penelitian nonrandomized tanpa group kontrol yang memadai. Hal ini dapat dimaklumi
mengingat pengetahuan mengenai efek jangka panjang gangguan metabolik yang
disebabkan SOPK juga baru menjadi perhatian dan dipelajari lebih khusus dalam
1-2 dekade terakhir ini.
Oleh karena itu untuk saat ini perlu dilakukan penelitian yang lebih baik
dan terorganisir untuk dapat menentukan protokol penatalaksanaan jangka
panjang yang seharusnya dari wanita dengan SOPK. Salah satunya adalah
menyusun riwayat kesehatan pasien sejak dalam kandungan hingga saat ini dan

2

riwayat penyakit pada keluarganya karena banyak hal yang ternyata bisa

didapatkan dengan penelaahan tersebut. Penelitian Norman dkk6 menekankan
pentingnya diketahui riwayat penyakit pada keluarga, karena kondisi resistensi
insulin dan hiperinsulinemia dapat bersifat familial dan mengenai kerabat-kerabat
dari wanita dengan SOPK. Selain dari pada itu kondisi pertumbuhan intra uterin
dari pasien juga diketahui dan dicatat karena memberikan pengaruh yang cukup
besar pada patogenesis dari SOPK, kondisi lingkungan dan gaya hidup pasien
harus dijadikan bahan kajian dalam penatalaksanaan SOPK.
Sejak diketahuinya SOPK sebagai suatu kelainan endokrin yang disertai
berbagai gangguan metabolik maka pada saat ini tujuan dari pengobatan SOPK
harus disesuaikan, dengan tujuan untuk mencegah gangguan jangka panjang
sebagai konsekuensi dari kronisitas gangguan yang terjadi pada SOPK.
PATOGENESIS EFEK JANGKA PANJANG SINDROMA OVARIUM
POLIKISTIK
Faktor lingkungan dan pertumbuhan sangat signifikan mempengaruhi
perkembangan SOPK. Diketahui bahwa fetus yang mengalami kondisi asupan
nutrisi yang buruk pada pertumbuhan janin terhambat memiliki peningkatan
prevalensi kejadian penyakit jantung koroner, stroke, hipertensi dan diabetes
mellitus tipe 2 (DM tipe 2) pada masa dewasanya. 4 Kondisi ini didasarkan pada
hipotesis yang dikemukan oleh Barker dan Clark5 yang membuktikan bahwa
berat bayi pada saat lahir berkaitan dengan perkembangan berbagai penyakit pada

masa dewasanya. Hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan
peningkatan risiko penyakit jantung koroner, diabetes dan stroke pada masa
dewasa telah dapat dibuktikan. Hubungan ini juga dipengaruhi oleh pola
pertumbuhan postnatal. Mekanisme yang banyak disetujui sebagai penyebab dari
keadaan ini adalah gangguan program stimulus nutrisi sebagai akibat paparan
berlebih dari fetal glukokortikoid. Fetus yang mengalami gangguan suplai nutrisi
intra uterin secara fisiologis beradaptasi sedemikian rupa terhadap kondisi dalam
kandungan Hal ini termasuk adanya modifikasi genetik dari ekspresi gen-gen
yang mengatur pola-pola metabolisme tubuh.
Kelainan ini selanjutnya dapat berkembang menjadi SOPK pada sebagian
wanita. Pada masa remaja dan reproduksi kelainan ini bermanifestasi dalam
berbagai gangguan klinik berupa gangguan haid, hirsutisme dan infertilitas. Satu
hal yang kurang mendapat perhatian adalah gangguan metabolik yang terjadi.
Gangguan metabolik inilah yang sesungguhnya menjadi patofisiologi kunci bagi
timbulnya berbagai gejala klinis yang telah disebutkan sebelumnya. Gangguan
metabolik yang dimaksud adalah timbulnya resistensi insulin dan compensatory
hiperinsulinemia. Resistensi insulin merupakan masalah sentral pada wanita
dengan SOPK. Wanita dengan SOPK mengalami masalah jangka pendek dan
jangka panjang sebagai konsekuensi resistensi insulin dan compensatory
hiperinsulinemia yang terjadi. Hampir semua manifestasi klinis SOPK ternyata

berkaitan dengan gangguan ini dan derajatnya bertambah berat seiring dengan
perjalanan waktu. Masalah jangka pendek yang bisa terjadi karena gangguan ini
meliputi anovulasi, hiperandrogenisme, infertilitas dan abortus.

3

Kelainan metabolik pada SOPK apabila tidak ditangani dengan baik akan
berkembang menjadi kelainan metabolik endokrin yang bersifat kronis dan
progresif. Gangguan metabolik pada SOPK diketahui berkaitan erat dengan
kejadian DM tipe 2, hipertensi dan dislipidemia. Gangguan metabolik ini
dikhawatirkan berkaitan pula dengan peningkatan risiko kardiovaskular. Bahkan
pada beberapa penelitian telah berhasil dibuktikan adanya berbagai gangguan
lipid, mediator-mediator inflamasi dan gangguan kardiovaskular pada wanita
dengan SOPK. Gangguan kardiovaskular yang utama yang berkaitan dengan
SOPK adalah obesitas, resistensi insulin, hipertensi dan dislipidemia.

Gambar 1.

Obesitas, hipertensi, dyslipidemia bersama dengan resistensi
insulin berpartisipasi dalam peningkatan cardiovaskuler risk,

penyakit kardiovaskuler dan diabetes melitus

EFEK METABOLIK JANGKA PANJANG SOPK
RESISTENSI INSULIN DAN HIPERINSULINEMIA
Resistensi insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan asupan normal glukosa atau ketidakmampuan insulin
menghasilkan efek fisiologis metabolik yang memadai bagi tubuh. Hal ini
merupakan suatu masalah besar pada wanita dengan SOPK baik yang memiliki
berat badan normal ataupun yang mengalami obesitas. Dahlgren2 melakukan
pemantauan pada subjek penelitiannya selama 11 tahun dan menemukan bahwa

4

wanita dengan SOPK memiliki kecendrungan berkembang menjadi penderita DM
tipe dua.
Insulin meningkatkan aksi LH pada sel teka dan menyebabkan produksi
berlebih dari androgen. Sebagai dampaknya maka terjadilah hiperinsulinemia,
resistensi insulin, dan anovulasi. Karena kondisi hiperandrogen ini maka dapat
ditemukan juga acanthosis nigricans sebagai efek dari hiperandrogen pada kulit,
dan juga gangguan dari metabolism hati, khususnya penurunan kadar SHBG yang

menyebabkan meningkatnya testosteron aktif dalam sirkulasi.7
Resistensi insulin nampaknya lebih dari sekedar penanda awal akan
timbulnya diabetes dikemudian hari, tetapi juga memegang peranan penting dalam
patofisiologi SOPK dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler. Reaven 8
menjelaskan kondisi ini dengan istilah sindroma X, atau sindroma metabolik yaitu
suatu sindroma yang ditandai dengan adanya abnormalitas lipid, hipertensi,
obesitas sentral dan gangguan metabolisme glukosa. Sering ditemukan bahwa
sindroma metabolik dan SOPK terjadi bersama-sama pada seorang wanita. Glueck
dkk9 melaporkan bahwa pada wanita dengan SOPK prevalensi metabolik
sindromnya mencapai 46 %, dibandingkan pada populasi normal yang hanya 23
%, hal ini biasanya mulai terjadi apabila pasien berusia diatas 20 tahun. Oleh
karena morbiditas dan mortalitas yang signifikan, maka skrining bagi kondisi
sindroma metabolik pada wanita SOPK merupakan suatu keharusan pada
penatalaksanaan efek jangka panjang SOPK.10
Obesitas
Obesitas merupakan suatu masalah yang komplek dengan efek yang sangat
luas dan memiliki implikasi serius terhadap status kesehatan. Yang jadi masalah
dengan obesitas adalah bahwa kondisi ini diduga meningkatan risiko timbulnya
berbagai macam penyakit. Obesitas meningkatkan kejadian DM tipe 2, penyakit
kardiovaskuler, osteoarthritis, sleep apnoe, dan karsinoma uteri.11
Berbagai metode pemeriksaan untuk menentukan lokalisasi lemak dan
kaitannya dengan massa tubuh, diantaranya adalah pengukuran lemak bawah
kulit, MRI dan spektroskopi infra merah. Namun untuk keperluan klinis maka
diperlukan suatu definisi yang sederhana namun dapat diandalkan untuk
menentukan tingkat obesitas yang terjadi. Body Mass Index (BMI) merupakan
suatu metode perhitungan yang sangat bermanfaat dalam praktek klinis dalam
menentukan tingkat penimbunan lemak tubuh (tabel 1).12 Klasifikasi yang
dikemukakan oleh JC Seidell pada tahun 1995 banyak dipergunakan untuk
menentukan risiko dari berbagai morbiditas yang mungkin akan terjadi berkaitan
dengan obesitas.13 Salah satu teknik pemeriksaan yang mudah dan praktis adalah
“waist-hip ratio”. Teknik ini memungkinkan kita menentukan perkiraan jumlah
lemak abdominal tanpa membedakan lemak viseral atau lemak subkutaneus. 14
Rasio lebih dari 0,8 pada wanita atau 0,9 pada laki-laki berkaitan dengan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler.15
Tabel 1. Klasifikasi dampak kelebihan berat badan pada orang dewasa
berdasarkan Body Mass Index (BMI)
Klasifikasi

BMI

Risiko dan Ko-Morbiditas

5

Underweight
Rentang Normal
Overweight
Pre Obese
Obesitas Kelas 1
Obesitas Kelas 2
Obesitas Kelas 3

< 18,5

Normal (tetapi penyakit peserta
karena malnutrisi meningkat)
Rata-rata
Moderat
Meningkat
Moderat
Berat
Sangat berat

18,5-24,9
≥ 25
25-29,9
30 – 34,9
35-39,9
≥ 40

Dobbelsteyn dkk17 menggunakan teknik pemeriksaan pengukuran lingkar
perut (tabel 2) dengan cara mengukur lingkaran daerah perut diantara tulang iga
terendah dan Crista iilliaca. Pemeriksaan ini dapat memprediksi komplikasi
metabolik yang berkatian dengan obesitas. Apabila pasien diketahui memiliki
nilai positif untuk pemeriksaan ini maka klinisi harus mewaspadai kemungkinan
timbulnya peningkatan risiko kardiovaskuler dikemudian hari, apabila nilainya
sangat berlebihan maka inisiasi terapi harus segera dimulai. Pada penelitian yang
dikemukan oleh Hartz dkk, diketahui adanya risiko relatif
terjadinya
ketidakteraturan haid dan oligomenorrhea pada wanita dengan pola obesitas
sentral sebesar 1,56 % dan 2,29 % dibandingkan dengan wanita yang tidak
memiliki pola obesitas sentral.
Tabel 2. Lingkar perut sebagi prediktor komplikasi gangguan metabolik
yang berkaitan dengan obesitas13
Jenis Kelamin
Laki-laki
Wanita

Risiko Mulai Meningkat
≥ 94 cm
≥ 80 cm

Risiko Secara Signifikan
Meningkat
≥ 100 cm
≥ 88 cm

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui pengaruh lemak viseral
dan subkutan terhadap gangguan metabolisme sistim tubuh. Salah satunya adalah
kaitan obesitas dengan infertilitas. Kaitan antara obesitas dan infertilitas sangat
komplek. Selain perubahan kadar gonadotropin, wanita dengan obesitas diketahui
memiliki variasi beragam kadar hormon reproduksi.22 Pada penderita obesitas
diketahui bahwa kadar serum androgen meningkat khususnya testosteron dan
androstenedion, diketahui juga bahwa pada obesitas terjadi penurunan kadar
SHBG. Hal ini yang menyebabkan testosteron bebas meningkat, testosteron bebas
secara biologis merupakan produk aktif dengan dampak metabolik di target organ,
karena penurunan SHBG maka produk aktif lebih banyak dalam sirkulasi tubuh
dan sebagai konsekuensinya maka terjadilah kondisi hiperandrogenisme.
Penelitian yang dikemukakan Pasquali dkk 23, Seidel dkk 24 dan Holte
25,26
dkk
mendukung hipotesis ini, penelitian-penelitian ini menunjukan bahwa
peningkatan lemak abdominal berkaitan dengan penurunan SHBG dan
peningkatan produksi androgen. Bukti-bukti menunjukan bahwa terdapat
asosiasi yang kuat antara obesitas, obesitas abdominal dan resistensi
insulin.23,25,27,28 Peningkatan produksi androgen, penurunan ikatan androgen

6

terhadap SHBG menyebabkan hiperandrogenisme. Hiperandrogenisme pada
akhirnya menyebabkan anovulasi melalui gangguan maturitas follikel.
Penelitian oleh Peretsky dan Kalin29 dan Plymate dkk 30 menunjukan bahwa
kondisi hiperinsulinemia juga meningkatkan produksi androgen ovarium,
penurunan SHBG, dengan efek yang signifikan pada wanita dengan SOPK.
Penelitian dari Dunaif dkk27 mendukung bahwa resistensi insulin dapat terjadi
lebih sering pada wanita yang obese dibandingkan pada wanita yang normal.
Obesitas dan terlebih lagi obesitas sentral diketahui memperberat perubahan pola
hormon pada wanita SOPK yang memang sudah terganggu, akibatnya terjadi
peningkatan kejadian anovulasi, irregularitas haid dan infertilitas.
GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER
Telah jelas bahwa SOPK meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler.
Faktor risiko ini termasuk hipertensi, dislipidemia, abnormalitas koagulasi,
disfungsi endotel dan hiperhomosisteinemia.31
Bengstsson dkk32
mempublikasikan penemuannya mengenai gangguan profil lipid pada wanita
dengan SOPK. Penelitian ini berlangsung di Gothenburg selama lebih dari 20
tahun dan menunjukan adanya peningkatan konsentrasi serum trigliserida dan
obesitas sentral yang berkaitan dengan peningkatan mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler. Penelitian yang dilakukan Robinson dkk33 dan Wild dkk34 juga
menemukan hal sama bahwa perubahan profil lipid dapat mempengaruhi
peningkatan morbiditas jangka panjang secara bermakna.
Dahlgren35 mengungkapkan bahwa pada wanita dengan SOPK setelah
beberapa dekade akan terjadi hipertensi. Penelitian lain dari Amsterdam
mengkonfirmasi hipotesis ini dengan menemukan adanya peningkatan kejadian
hipertensi pada wanita dengan SOPK dalam jangka waktu yang panjang dan hal
ini diduga juga berkaitan dengan adanya obesitas dan proses penuaan pada wanita
SOPK.
Bukti menunjukan bahwa ditemukan juga adanya gangguan proses
koagulasi dan faktor-faktor fibrinolitik pada wanita dengan SOPK dan hal ini akan
semakin meningkatkan risiko kejadian penyakit kardiovaskuler. Penelitian fungsi
endothelial oleh Talbott dkk37 menunjukan bahwa endotelin-1 sebagai indikator
vaskulopati meningkat pada wanita dengan SOPK. Data-data yang ada saat ini
mendukung banwa plasminogen activator dan aktivitas vaskuler mempengaruhi
evolusi terjadinya penyakit kardiovaskuler pada wanita dengan SOPK. Penelitian
Loverro dkk38 menunjukan bahwa pada wanita SOPK diketahui juga mengalami
kondisi hiperhomosisteinemia, yang dapat menyebabkan peningkatan penyakit
kardiovaskuler. Kadar homosistein bervariasi menurut etnik dan berkaitan erat
dengan
kadar
insulin.31
Disfungsi
diastolik,
ditambah
dengan
hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko yang memperberat kejadian
penyakit kardiovaskuler.39 Birdsall dkk40 membuktikan korelasi antara penyakit
kardiovaskuler dengan SOPK. Pada penelitian ini wanita dengan usia dibawah 60
tahun yang menjalani angiography arteri koroner diketahui 42 % nya menderita
SOPK. Wanita-wanita ini juga diketahui menunjukan gejala klinis hirsutisme,
peningkatan kadar testosterone dan abnormalitas profil lipid. Tingkat keparahan

7

gangguan arteri koronernya juga diketahui lebih buruk pada wanita dengan
SOPK.
Tabel 3. Bukti Klinis Keterkaitan Sindroma Ovarium Polikistik,
Cardiovascular Risk (CRV) Factors dan Penyakit Kardiovaskuler
(CVD)
FAKTOR
KETERKAITAN
Faktor CRV yang sudah
Aterosklerosis, coronary artery disease, infark
dikenali
miokard, atherogenik lipid profile (peningkatan total
kolesterol, peningkatan LDL, peningktan trigliserida
dan penurunan HDL)
Faktor Emerging/Novel
Peningkatan CRP, peningkatan WBC ( limfosit dan
CRV
monosit)
Pengukuran langsung
LVH dan disfungsi diastolik, peningkatan ketebalan
CVD subklinis
tunika intima, disfungsi endothel (penurunan flow
mediated dilation, peningkatan endothelin-1),
gangguan fibrinolisis (plasminogen activator-1)
Peningkatan penyakit
Belum
ada
peningkatan
mortalitas
yang
kardiovaskuler secara
terdokumentasi oleh karena penyakit kardiovaskuler
klinis
pada SOPK, meskipun demikian diketahui bahwa
resistensi insulin merupakan penyebab tersering
peningkatan CVR dan CVD
Obesitas sentral ternyata ditemukan pada 50 % wanita dengan SOPK.
Obesitas sentral merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya resistensi
insulin, hiperinsulinemia, dislipidemia, DM tipe 2, hipertensi, abnormalitas
pembekuan darah dan timbulnya penyakit kardiovaskuler dini. Obesitas dapat
memperburuk semua jenis gangguan metabolik dan gangguan jantung yang terjadi
pada wanita SOPK, meskipun bukan merupakan penyebab primer atau penyebab
tunggal bagi meningkatnya risiko kardiovaskular. Meskipun obesitas dan
resistensi insulin saling berkaitan satu sama lain, namun kejadian resistensi insulin
bersifat independen terhadap obesitas pada wanita SOPK.
Wanita dengan SOPK - khususnya yang berusia muda - secara umum tidak
menunjukan peningkatan tekanan darah. Namun apabila diteliti lebih lanjut
ternyata terjadi peningkatan tekanan darah secara intermitten pada saat siang hari,
hal ini merupakan faktor predisposisi terjadinya hipertensi kronis yang menetap
dikemudian hari, dan hal ini sudah dilaporkan terjadi pada wanita-wanita dengan
SOPK. Wanita menopause dengan riwayat SOPK memiliki risiko darah tinggi
dua setengah kali lebih tinggi dibandingkan wanita seusianya tanpa SOPK, dan
hal ini berkaitan dengan derajat resistensi insulin yang terjadi di masa mudanya. 39
Profil lipid abnormal merupakan faktor risiko kardiovaskuler yang sangat
penting. Kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida diketahui meningkat pada
wanita dengan SOPK, sebaliknya kadar HDL dilaporkan menurun pada wanita
SOPK.7,8 Dan kondisi ini sering ditemukan pada wanita SOPK berusia muda,
sebagai akibatnya adalah kemungkinan terjadinya risiko penyakit kardiovaskuler
dini semakin tinggi pada kelompok wanita dengan SOPK.

8

Salah satu gejala awal dari penyakit kardiovaskuler adalah adanya jejas dan
disfungsi endotel. Perubahan dini anatomi dan fisiologi pembuluh darah arterial
dilaporkan terjadi pada wanita muda dengan SOPK. Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya bahwa resistensi insulin merupakan faktor risiko utama
untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler pada wanita dengan SOPK. Resistensi
insulin memiliki peranan sebagai penyebab kerusakan endotel. Kerusakan endotel
ini merupakan tanda awal dari kerusakan lebih lanjut yaitu terjadinya
ateroskelerosis.
Perhatian klinisi terhadap kemungkinan peningkatan kejadian penyakit
kardiovaskuler pada wanita dengan SOPK semakin meningkat beberapa tahun
terakhir ini oleh karena konsekuensi penting pada kondisi kesehatan wanita
dengan SOPK. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengevaluasi
perubahan biokimia, morfologi, dan gangguan fungsi sebagai biomarker dari
kemungkinan timbulnya penyakit kardiovaskuler dini.
Diketahui bahwa
peningkatan total kolesterol, obesitas, hiperhomosisteinemia, left ventricular
hypertrophy dan low-grade chronic inflammation meningkat sejalan dengan
peningkatan risiko cardiovaskuler pada SOPK.9 Risiko kardiovaskuler dan
abnormalitas cardiovaskuler yang terjadi pada usia dini, menunjukan bahwa
proses hormonal yang abnormal telah berlangsung secara kronis dimulai pada saat
seorang wanita dengan SOPK memasuki usia adolescence, proses yang
merugikan ini berlangsung terus menerus tanpa disadari, suatu saat kondisi ini
menyebabkan aterosklerosis prematur dan pada gilirannya menyebabkan penyakit
kardiovaskuler dini.
RISIKO KANKER
Wanita dengan SOPK memiliki risiko peningkatan terjadinya kejadian
kanker yang hormon dependent.41
Diketahui bahwa risiko karsinoma
endometrium meningkat diakibatkan oleh kondisi unopposed estrogen.42 Risiko
kejadian kanker payudara dan penyakit tumor jinak payudara belum diketahui.
Dahlgren dan Hardiman dkk44 menyarankan bahwa wanita yang diketahui
menderita SOPK dan siklus anovuluasi berulang disarankan memperoleh terapi
hormon untuk melindungi endometriumnya, dan follow up rutin untuk mengatasi
hiperplasia yang kemungkinan terjadi sangat diperlukan.
Penapisan dan
pengawasan terhadap hiperplasia endometrium diketahui sangat bermanfaat untuk
mencegah progresivitas karsinoma endometrium. Namun belum terdapat data
yang mendukung kejadian kanker payudara pada wanita dengan PCOS.
Kebanyakan penelitian tidak menemukan adanya kaitan risiko khusus antara
kanker payudara dengan kondisi hiperestrogen pada wanita SOPK.45 Cattral dan
Healy46 pada penelitiannya tidak menemukan adanya peningkatan risiko
karsinoma ovarium pada wanita dengan SOPK.
Keterkaitan antara kanker endometrium dan SOPK disebabkan oleh karena
stimulasi kronik pertumbuhan endometrium oleh karena kondisi unopposed
estrogen. Tidak ada bukti bahwa estrogen alami merupakan zat karsinogenik bagi
wanita. Aktifitas proliferasi dari estrogen dan aksinya sebagai tumor promotor
telah banyak dibuktikan, namun tidak ada bukti bahwa estrogen menyebabkan
mutasi genetik kearah keganasan. Estrogen diketahui memiliki mekanisme

9

genetik dan epigenetik terhadap sel kanker, estrogen tidak berdiri sendiri, estrogen
mempengaruhi growth factor dan onkogen lainnya yang diperlukan untuk
transformasi kearah suatu keganasan.46
Etiologi pertumbuhan kanker endometrium pada wanita SOPK belum
diketahui dengan jelas, penelitian terakhir menemukan bahwa wanita dengan
obesitas memiliki peningkatan risiko kejadian kanker endometrium tiga kali lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita yang normal, hal ini menunjukan bahwa
anovulasi bukan merupakan satu-satunya faktor risiko untuk timbulnya kanker
endometrium.47
Hipersekresi LH juga diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan kanker
pada wanita dengan SOPK. Reseptor LH dan hCG terdapat banyak ditemukan di
mRNA dan level protein pada adenokarsinoma endometrium. Koishi dkk 48 telah
membuktikan adanya overekspresi reseptor ini baik pada hiperplasia endometrium
maupun karsinoma endometrium. Tiga dari lima belas wanita dalam penelitian
mereka secara biokimia menunjukan gejala SOPK.
Struktur reseptor estrogen alpha bervariasi pada kondisi endometrium
normal, hiperplastik dan pada keganasan endometrium. Analisis sekuensial
mengindikasikan adanya delesi pada satu exon, hal ini menunjukan adanya
kesalahan splitting dari reseptor estrogen alpha merupakan penyebab dari
transformasi kearah keganasan. Salah satu variasi dari reseptor estrogen alpha
yaitu exon 5 splice varian terdeteksi didalam adenokarsinoma endometrium.
Perubahan gen ini mengaktifkan transkripsi reseptor estrogen alpha meskipun
tanpa rangsangan hormon.
Pada saat reseptor progesteron alpha mengikat progesteron, aktifitas
estrogen mengalami down-regulation dengan cara mencegah transkripsi reseptor
estrogen alpha, sementara reseptor progesteron beta bekerja sebagai endometrial
estrogen agonist. Efek antineoplastik dari progesteron ini sangat tergantung dari
keseimbangan isomer antara reseptor progesteron alpha dan beta. De Vivo et al
mengidentifikasi adanya polimorfisme fungsional pada region promoter pada
reseptor progesterone manusia yang menyebabkan overproduksi reseptor
progesterone beta, ketidakseimbangan ini menyebabkan sistim homeostasis
terganggu dan menjadi promoter peningkatan risiko keganasan endometrium.
Kondisi ini diketahui lebih banyak terjadi pada kondisi wanita yang mengalami
obesitas. Li et al menunjukan bahwa expresi dari reseptor progesterone pada
wanita dengan hiperplasia endometrium dan SOPK tidak menyebar secara merata
dan jumlahnya sangat berkurang dibandingkan dengan endometrium normal pada
wanita non SOPK.50
Peningkatan p160 koaktivator dari reseptor hormon steroid pada
endometrium wanita SOPK menyebabkan endometrium wanita SOPK lebih
sensitive terhadap rangsangan estrogen. Kondisi ini menyebabkan ekspresi
reseptor estrogen alpha meningkat sangat tinggi. Selanjutnya hal ini memicu
proliferasi endometrium, dan pada gilirannya meningkatkan risiko hyperplasia
endometrium.
Pada wanita dengan SOPK endometrium menunjukan peningkatan aktivitas
Bcl-2 dan penurunan Bax dibandingkan wanita yang non SOPK. Pada siklus
menstruasi yang normal, pada fase sekresi akhir, kematian sel endometrium aktif

10

diatur melalui mekanisme apoptosis. Bcl-2 merupakan agen antiapoptosis yang
menyebabkan sel terus tumbuh, sementara Bax adalah agen promoter apoptosis.
Sebagai akibatnya pada wanita SOPK akivitas apoptosis alami sel-sel
endometrium mengalami gangguan yang mengakibatkan lebih lamanya masa
hidup sel endometrium.25
SOPK berkaitan dengan resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Nagamani
dkk51 menemukan bahwa insulin binding sites pada endometrium wanita
premenopause dan wanita yang menderita karsinoma endometrium meningkat
dibandingkan kondisi normal. Berhstein dkk52 menemukan konstentrasi insulin
plasma pada wanita dengan karsinoma endometrium meningkat tajam. Oleh
karena insulin mengupregulasi aktivitas aromatase pada kelenjar dan stroma
endometrium, maka produksi estrogen endogen akan sangat meningkat pada
wanita dengan kadar insulin yang tinggi.
Kesimpulannya adalah bahwa bukti-bukti kemungkinan peningkatan
kejadian kanker endometrium pada wanita SOPK sudah ada, meski masih terlalu
dini untuk dapat menjelaskan patogenesisnya secara jelas dan lengkap. Namun
yang harus diingat adalah bahwa wanita dengan SOPK memiliki risiko yang lebih
tinggi sebagai akibat dari unopposed estrogen effect. Meskipun SOPK merupakan
penyebab paling banyak anovulasi, dan anovulasi merupakan penyebab paling
sering terjadinya hiperplasia endometrium, namun tidak berarti bahwa semua
wanita dengan SOPK memiliki risiko tinggi menderita keganasan endometrium,
karena secara prevalensi kenyataannya kejadian karsinoma endometrium pada
wanita SOPK tergolong rendah.
Hal ini didukung oleh penelitian lain juga menunjukan bahwa konsistensi
antara kejadian karsinoma endometrium dan SOPK tidak seperti yang diharapkan.
Ramsy dan Nisker membandingkan ovarium dari 15 orang wanita dengan
karsinoma endometrium, 25 orang wanita dengan SOPK dan 21 orang kontrol.
Mereka menemukan bahwa ovarium pada wanita dengan karsinoma endometrium
memiliki gambaran lebih mirip dengan ovarium pada kelompok kontrol
dibandingkan dengan ovarium pada kelompok SOPK. Ho et al juga gagal
menunjukan keterkaitan antara kanker kanker dengan SOPK, meskipun mereka
menemukan bahwa temuan ovarium polikistik dan subfertilitas merupakan
gambaran yang signifikan pada wanita dengan sitologi endometrium atipik43.
Analisis terakhir mengatakan bahwa bukti-bukti peningkatan risiko
keganasan endometrium pada wanita SOPK belum lengkap, sehingga masih
sebatas hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya.45

11

Gambar 2.

Skema mekanisme patofisiologi yang terjadi pada wanita dengan
SOPK

PENATALAKSANAAN
Terapi utama untuk mengatasi dampak jangka panjang pada wanita dengan
SOPK adalah mengendalikan obesitas. Hal ini berimplikasi pada penurunan berat
badan yang adekuat sebagai ajuvan sebelum intervensi farmakologis. Penurunan
lemak viseral dan abdominal akan memperbaiki fungsi menstruasi dan infertilitas,
dan pada gilirannya akan menurunkan risiko gangguan metabolik lainnya. 47
Dengan penurunan berat badan resistensi insulin juga akan berkurang.26
Karena SOPK merupakan penyakit metabolik kronik maka wanita dengan
SOPK memerlukan terapi yang sistematik baik pada saat usia reproduksi dan juga
pada masa postmenopausenya.
Penurunan berat badan bukan merupakan suatu hal yang mudah. Ginekolog
harus realistis dalam menerapkan suatu strategi penurunan berat badan. Tiap
pasen harus mendapatkan perlakuan secara individual. Sangatlah penting bagi

12

pasien untuk dapat bekerja sama dan memiliki motivasi yang tinggi untuk
menurunkan berat badan. Kebanyakan wanita dengan obesitas memiliki kendala
psikologis dan memerlukan pendekatan yang penuh pengertian dan empati.
Mereka harus mengerti bahwa dengan penurunan berat badan ini akan membawa
dampak yang baik bagi kondisi kesehatan secara menyeluruh.
Tabel III. Guidelines untuk modifikasi gaya hidup non-invasif51
Efek Jangka Panjang Penurunan Berat Badan secara Efektif – National Institute of
Health Guidelines
 Perubahan pola makan yang bijaksana untuk jangka panjang
 Program aktivitas fisik yang efektif dan berkelanjutan untuk
jangka panjang
 Modifikasi perilaku, pengurangan strees dan peningkatan wellbeing
 Kombinasi perubahan diet dan terapi perilaku serta
peningkatan aktivitas fisik
 Dukungan sosial dari dokter, keluarga, pasangan dan rekan
sejawat
 Penghentian kebiasaan merokok dan pengurangan konsumsi
alkohol
 Menghindari diet yang terlalu ketat dan penurunan berat
badan tiba-tiba dalam jangka waktu yang pendek
 Intervensi minimal obat-obatan penurun berat badan
 Menghindari pendekatan operatif agresif untuk sebagian besar
pasien
 Program penurunan berat badan yang disesuaikan dengan
kebutuhan individual pasien
 Observasi jangka panjang, monitoring dan memberikan
semangat dan penghargaan bagi pasien yang berhasil
menjalankan program
Yang menjadi pertanyaaan adalah berapa besar penurunan berat badan yang
harus dicapai?. Hollmann dkk48 dan Clark dkk47,49 menunjukan bahwa dengan
hanya sedikit saja penurunan berat badan maka fungsi ovulasi akan kembali.
Penurunan 2-5% berat badan berkaitan dengan pemulihan fungsi ovarium, 11 %
penurunan lemak perut dan penurunan 4 cm dari lingkar perut meningkatkan 71 %
dari sensitivitas insulin.47,49 Oleh karena itu tidak diperlukan penurunan berat
badan yang berlebihan untuk memulihkan fungsi reproduksi, dan hal ini dapat
dikemukakan kepada pasien hingga mereka lebih termotivasi untuk menurunkan
berat badannya. Perlu disampaikan pula kepada pasien bahwa dampak dari
penurunan berat badan ini sangat bermanfaat karena menurunkan risiko gangguan
metabolik dan pasien harus disarankan memiliki gaya hidup yang lebih sehat.
WHO mengemukakan beberapa strategi untuk menurunkan berat badan.
Manajemen awal adalah dengan merubah pola makanan dan pembatasan asupan

13

kalori, aktivitas fisik harus ditingkatkan. Perubahan lemak viseral tidak dapat
dicapai dengan perubahan pola makan saja. 11
Perubahan perilaku meliputi diskusi dari perubahan pola hidup sehari-hari
dengan perhatian khusus dari penghentian kebiasaan merokok dan konsumsi
alkohol. Penurunan stress psikososial juga harus dilakukan. Program seperti ini
pernah diterapkan pada Fertility Fitness Programme di Adelaide, Australia.
Program ini meliputi perubahan diet mingguan dan intervensi psikologis pada
group dengan pendekatan tim multidisiplin untuk 6 bulan, dan ini memberikan
hasil yang memuaskan. Penurunan berat badan 6,2 kg memberikan hasil
pemulihan fungsi ovulasi pada 12 orang wanita yang sebelumnya anovulasi dan
kehamilan pada 11 orang wanita. Penurunan resistensi insulin dan testosterone
juga berhasil dicapai. Target waktu pasien harus realistik dan didiskusikan
bersama pasien.45 Wadden50 menunjukan pada tahun 1993 bahwa restriksi energi
jangka pendek dapat membuahkan penurunan berat badan dengan cepat dan
perbaikan gangguan sistem reproduksi.
Perubahan gaya hidup adalah suatu intervensi non invasif yang seringkali
berhasil dan seharusnya merupakan suatu terapi inisial. Dokumen NIH51
merupakan suatu alat yang logis, multifase dan petunjuk yang mudah diikuti
untuk merencanakan suatu strategi efektif dalam rangka penurunan berat badan
pada pasien dengan obesitas (Tabel III)
INSULIN SENSITIZER UNTUK PENATALAKSANAAN EFEK JANGKA
PANJANG DARI SOPK
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa resistensi insulin berkaitan
erat dengan kejadian diabetes, hipertensi, dislipidemia, disfungsi endotel, dan
penyakit kardiovaskuler. The National Cholesterol Education Program Adult
Treatment Panel menjelaskan sinroma syndrome yaitu adanya minimal tiga dari
lima faktor risiko yaitu lingkar perut diatas 88 cm pada wanita, kadar serum
glukosa puasa 110 mg/dL atau lebih, kadar serum triglyserida lebih dari 150
mg/dL, kadar HDL kolesterol kurang dari 50 mg/dL dan tekanan darah lebih
tinggi dari 130/85 mmHg.57 Sindroma metabolik ini ditemukan pada 43-46 %
wanita dengan SOPK, dua kali lebih tinggi dibandingkan wanita pada kelompok
usia yang sama yang tidak menderita SOPK.58,59
TERAPI JANGKA PANJANG PADA SOPK DENGAN INSULIN
SENSITIZER
Baik metformin maupun thiazolidinediones telah dibuktikan mampu
menurunkan tekanan darah dan penanda inflamasi. Wanita obes yang mendapat
terapi metformin memiliki kecendrungan penurunan berat badan dan hal ini
nampaknya berbanding lurus dengan dosis metformin yang digunakan.60
Meskipun efek insulin sensitizer pada faktor-faktor risiko kardiovaskuler sangat
menguntungkan belum terdapat penelitian yang bersifat prospective randomized

14

outcome trial yang mempelajari penggunaan insulin sensitizer untuk pencegahan
jangka panjang pada wanita dengan SOPK.
INSULIN SENSITIZER DALAM MENCEGAH DIABETES MELLITUS
TIPE 2
Meskipun data yang ada tidak secara spesifik menggunakan subjek
penelitian wanita dengan SOPK terdapat beberapa penelitian yang melaporkan
bahwa penggunaan insulin sensitizer untuk memperbaiki resistensi insulin dapat
menurunkan kejadian diabetes mellitus pada kelompok risiko tinggi. Penelitian ini
The Diabetes Prevention Project yang disponsori oleh National Health Institute
dengan jumlah subjek penelitian 3234 orang dan kurun waktu penelitian selama 3
tahun menyimpulkan bahwa pemulihan sensitivitas jaringan terhadap insulin baik
melalui modifikasi gaya hidup maupun penggunaan metformin mengurangi risiko
berkembangnya DM tipe 2 pada kelompok risiko tinggi.61
Troglitazone juga telah banyak dipelajari untuk mencegah kejadian diabetes
Buchanan et al mempelajari 235 wanita Hispanic dengan diabetes yang kemudian
dirandom untuk mendapat troglitazone dan plasebo. Dalam follow up selama 30
bulan, dibandingkan dengan kelompok plasebo, subjek penelitian yang
mendapatkan troglitazone dapat mengurangi kejadian diabetes hingga 56%. Efek
protektif ini ternyata juga menetap 8 bulan setelah penghentian troglitazone. Efek
troglitazone ini diduga berkaitan dengan kemampuan troglitazone untuk
melindungi fungsi dari sel beta pankreas. Troglitazone juga digunakan dalam
diabetes prevention project namun dihentikan penggunaannya setelah 11 bulan
berlangsung disebabkan adanya laporan mengenai hapatotoksisitas. 63 Namun dari
hasil penelitian selama 11 bulan itu diketahui bahwa troglitazone menurunkan
insidensi diabetes 3,0 kasus/100 orang pertahun dibandingkan dengan kelompok
plasebo, metformin, dan kelompok yang mendapatkan perubahan gaya hidup.
Namun efek dari troglitazone tidak bertahan setelah obat ini dihentikan.63
INSULIN SENSITIZER DALAM MENCEGAH KEJADIAN PENYAKIT
KARDIOVASKULER
Data-data yang ada menunjukan bahwa insulin sensitizer memiliki efek
kardioprotektif yang menguntungkan seperti dilaporkan oleh The United Kingdom
Prospective Diabetes Study.64 Triglitazone juga ternyata mampu meningkatkan
fungsi endotelial pada wanita SOPK dengan obesitas.65 Pada penelitian lain yang
melibatkan wanita risiko tinggi untuk terjadinya diabetes, 266 wanita hispanik
non diabet dengan gestational diabetes dirandom dalam kelompok triglitazone dan
placebo. Ketebalan tunika intima media arteri carotis diperiksa sebagai marker
gangguan endotel. Ternyata pada kelompok yang menerima troglitazone proses
penebalan tunika intima dapat dihambat, proses ini tidak tergantung dari obesitas,
kadar lipid awal, kadar serum glukosa maupun insulin. Hal ini menunjukan
bahwa triglitazone memiliki kemampuan menghambat progresifitas aterosklerosis
subklinis yang merupakan penyebab penyakit kardiovaskuler dalam jangka
panjang.66

15

Terapi farmakologi dan operatif hanya diperlukan apabila tidak dicapai
keberhasilan dengan strategi penurunan berat badan dan perubahan gaya hidup.52
Penelitian penggunaan metformin untuk meningkatkan sensitivitas insulin sudah
banyak dikemukakan. Metformin bermanfaat menghambat output glukosa hepar
dan meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin.53. Pada wanita
dengan SOPK, metformin memperbaiki resistensi insulin juga meningkatkan
fungsi ovarium, memulihkan siklus haid dan menurunkan kadar androgen yang
pada akhirnya memperbaiki gejala klinis hiperandrogenemia. Beberapa bukti
ilmiah menunjukan efek jangka panjang yang bermanfaat namun kebanyakan
penelitian masih dilakukan dalam waktu yang pendek. 54 Untuk rekomendasi lebih
lanjut penelitian dengan jangka waktu yang lebih panjang sangat diperlukan.
NATURAL PROGRESSION SOPK
Dahlgren2 dan Elting dkk35 memfokuskan penelitiannya pada perjalanan
SOPK mengemukakan bahwa mendekati masa menopause pemulian siklus haid
dapat terjadi. Penurunan kadar androgen juga terjadi bersamaan dengan proses
penuaan dan penurunan fungsi follikel, penurunan kadar inhibin B dan
peningkatan kadar FSH juga terjadi.55 Meski perbaikan pada system reproduksi
ini dapat terjadi, tetapi risiko metabolik yang biasanya sudah terjadi tetap menjadi
masalah. Hal ini berkaitan dengan obesitasnya dibandingkan dengan pola siklus
menstruasinya. Terdapat tren perburukan resistensi insulin dan hiperinsulinemia
meskipun kadar androgen menurun menjelang massa menopause.56
Kesimpulan
Terapi inisial yang sangat penting untuk mencegah efek jangka panjang dari
SOPK adalah perubahan gaya hidup, terutama penurunan berat badan yang
merupakan target utama terapi. Terapi ini harus dijalankan bersama support
emosional dan group terapi yang efektif. Perubahan gaya hidup harus diterapkan
sebagai terapi inisial pada wanita dengan SOPK, karena sudah terbukti bermanfaat
bagi pemulihan fungsi fertilitas dan penurunan gangguan metabolik lainnya.
Penatalaksaan SOPK yang berfokus pada masalah infertilitas saja pada saat ini
sudah tidak mencukupi. Setiap wanita pada setiap usia yang didiagnosis dengan
SOPK harus mendapat penatalaksanaan yang menyeluruh untuk mengatasi efek
gangguan metabolik jangka panjang secara komprehensif.

Daftar Pustaka
1.
2.

The Rotterdam ESHRE/ASRM-sponsored PCOS Consensus Workshop
Group.Revised 2003 consensus on diagnostic criteria and long term health
risks related topolycystic ovary syndrome. Fertil Steril 2004; 81(1):19-25.
Dahlgren E, Johansson S, Lindstedt G, et al. Women with polycystic ovary
syndrome wedge reselected in 1956 to 1965: A long-term follow-up focusing
on natural history and circulating hormones. Fertil Steril 1992; 57: 505-51.

16

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

15.
16.

17.
18.
19.

Balen AH, Conway GS, Kaltsas G, et al. Policystic ovary syndrome: The
spectrum of the disorder in 1741 patients. Hum Reprod 1995; 10: 2107-2111.
de Boo HA, Harding JE. The developmental origins of adult disease (Barker)
hypothesis. Aust N Z J Obstet Gyanecol 2006; 46(1): 4-14.
Law CM, Shiell AW. Is blood pressure inversely related to birth weight? The
strength of evidence from a systematic review of the literature. J Hypertens
1996; 14: 935-41.
Norman RJ, Masters S, Hague W. Hyperinsulinemia is common in family
members of women with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril 1996; 66:
942-47.
Dunaif A, Hoffman AR, Scully RE, et al. Clinical, biochemical and ovarian
morphologic features in women with acanthosis nigricans and
masculinization.Obstet Gynecol 1985; 66: 545-52.
Reaven GM. Role of insulin resistance in human disease. Diabetes 1988; 37:
1595-1607.
Glueck CJ, Papanna R, Wang P, et al. Incidence and treatment of metabolic
syndrome in newly referred women with confirmed polycystic ovarian
syndrome. Metabolism 2003; 52: 908-15.
Trevisan M, Liu J, Bahsas FB, et al. Syndrome X and mortality: A
population-basedstudy. Am J Epidemol 1998; 148: 958-66.
World Health Organization. Obesity: Preventing and Managing the Global
Epidemic. Geneva: World Health Organization, 1997.
World Health Organization. Physical Status: The Use and Interpretation
ofAnthropometry. WHO Technical Report Series, #854. Geneva: World
HealthOrganization, 1995.
Seidell JC. Impact of obesity on health status: Some implications for health
carecosts. Int J Obes Relat Metab Disord 1995; 9 (Suppl 6): S13-16.
Price GM, Uauy R, Breeze E, Bulpitt CJ, Fletcher AE. Weight, shape and
mortality risk in older persons: elevated waist-hip ratio, not high body mass
index, is associated with a greater risk of death. Am J Clin Nutr 2006; 84:
449-60.
Megnien JL, Denarie N, Cocaul M, Simon A, Levenson J. Predictive value of
waist to-hip ratio on cardiovascular risk events. Int J Obes 1999; 23: 90-7.
Dobbelsteyn CJ, Joffres MR, Maclean DR, Flowerdew G. A comparative
evaluation of waist circumference, waist-to-hip ratio and body mass index as
indicators of cardiovascular risk factors: The Canadian Heart Health Surveys.
Int J Obes Metab Disord 2001; 25: 625-61.
Han TS, Van Leer EM, Seidell JC, Lean ME. Waist circumference action
levels in the identification of cardiovascular risk factors: prevalence study in a
random sample. BMJ 1995; 311: 1401-05.
Puoane T, Steyn K, Bradshaw D, et al. Obesity in South Africa: the South
Africandemographic and health survey. Obes Res 2002; 10: 1038-48.
Obesity Task Force, World Health Organization. Global Strategy on Diet,
PhysicalActivity and Health: Obesity and Overweight, 2005.
http://www.who.int/hpr/NPH/ docs/gs_obesity.pdf.

17

20. Yamashita S, Nakamura T, Shimomura I, et al. Insulin resistance and body fat
distribution. Diabetes Care 1996; 19: 287-91.
21. Hartz AJ, Rupley DC, Rimm AA. The association of girth measurements
withdisease in 32 856 women. Am J Epidemiol 1984; 119: 71-80.
22. Korhonen S, Hippelainen M.The androgenic sex hormone profile is an
essential feature of metabolic syndrome in premenopausal women: a
controlled community based study. Fertil Steril 003; 79: 1327-34.
23. Pasquali R, Casimirri F, Venturoli S, et al. Body fat distribution has weight
independent effects on clinical, hormonal, and metabolic features of women
with polycystic ovarian syndrome. Metabolism 1994; 43: 706 -13.
24. Seidell JC, Cigolini M, Charzewska J, et al. Androgenicity in relation to body
fat distribution and metabolism in 38-year-old women: The European Fat
Distribution Study. J Clin Epidemiol 1990; 43: 21-34.
25. Holte J, Bergh T, Berne C, Berglund L, Lithell H. Enhanced early insulin
response to glucose in relation to insulin resistance in women with polycystic
ovary syndrome and normal glucose tolerance. J Clin Endocrinol Metab
1994; 78: 1052-58.
26. Holte J, Bergh T, Berne C, Lithell H. Restored insulin sensitivity but
persistently increased early insulin secretion after weight loss in women
polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol Metab 1995; 80: 2586-2593.
27. Folsum AR, Kaye SA, Sellers TA, et al. Body fat distribution and 5-year risk
of death in older women. JAMA 1993; 269: 483-7.
28. Hollmann M, Runnebaum B, Gerhard I. Impact of waist-hip-ratio and bodymass index on hormonal and metabolic parameters in young obese women.
Int J Obes Relat Metab Disord 1997; 21: 476-83.
29. Poretsky L, Kalin MF. The gonadotropic function of insulin. Endocr Rev
1987; 8:132-41.
30. Plymate SR, Matej LA, Jones ER, Freidl KE. Inhibition of sex hormonebinding globulin production in the human hepatoma (Hep G2) cell line by
insulin and prolactin. J Clin Endocrinol Metab 1998; 67: 460-4.
31. Badawy A. Plasma homocysteine and polycystic ovary syndrome: The missed
link. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2007; 131: 68-72.
32. Bengtsson C, Bjorkelund C, Lapidus L, et al. Association of serum lipid
concentration and obesity with mortality in women: 20-year follow up of
participants inprospective population study in Gothenberg, Sweden. BMJ
1993; 307: 1385-88.
33. Robinson S, Henderson AD, Gelding SV, et al. Dyslipidaemia is associated
with insulinresistance in women with polycystic ovaries. Clin Endocrinol
1996; 44: 277-84.
34. Wild RA. Long-term health consequences of PCOS. Hum Reprod Update
2002; 8:231-41.
35. Elting MW, Korsen TJM, Bezemer PD, et al. Prevalence of diabetes mellitus,
hypertensionand cardiac complaints in a follow-up study of a Dutch PCOS
population. Hum Reprod 2001; 16: 556-60.

18

36. Talbott E, Zborowski JV, Sutton-Tyrrell K, et al. Cardiovascular risk in
women with polycystic ovary syndrome. Obstet Gynaecol Clin 2001; 28(1):
1-15.
37. Paradisi G, Steinberg HO, Hempfling A, et al. Policystic ovary syndrome is
associated with endothelial dysfunction. Circulation 2001; 103: 1410-1415.
38. Loverro G, Lorusso F, Mei L, et al. The plasma homocysteine levels are
increased in polycystic ovary syndrome. Gynaecol Obstet Invest 2002; 53:
157-62.
39. Yarali H, Yildinr A, Aybar F, et al. Diastolic dysfunction and increased serum
homocysteine concentrations may contribute to increased cardiovascular risk
in patients with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril 2001; 76: 511-16.
40. Birdsall MA, Farquhar CM, White HD. Association between polycystic
ovaries and extent of coronary artery disease in women having cardiac
catheterization. Ann Intern Med 1997; 126: 32-5.
41. Gadducci A, Gargini A, Palla E, Fanucchi A, Genazzani AR. Polycystic ovary
syndrome and gynecological cancers: is there a link? Gynecol Endocrinol
2005; 20: 200-8.
42. Giudice LC. Endometrium in PCOS: Implantat