Kadar Fibrinogen Dan D-Dimer Pada Wanita Dengan Sindroma Ovarium Polikistik

(1)

KADAR FIBRINOGEN DAN D-DIMER PADA WANITA

DENGAN SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

TESIS

OLEH :

HILMA PUTRI LUBIS

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK

MEDAN

2014


(2)

Penelitian ini di bawah bimbingan Tim 5

Pembimbing : Dr. dr. Binarwan Halim, M.Ked(OG), SpOG(K)

dr. Yostoto B Kaban, SpOG(K)

Penyanggah : Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K)

dr. Makmur Sitepu, M.Ked(OG),SpOG(K)

dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K)

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas

dan memenuhi salah satu syarat untuk mencapai keahlian


(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan nama ALLAH Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala Puji dan Syukur saya panjatkan kepada ALLAH Subhaanahu wata’ala, Tuhan Yang Maha Esa. Hanya atas izin dan kemurahan-Nya lah penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam saya haturkan kepada baginda Muhammad S.A.W, beserta seluruh anbiyaa’ dan para rasul, serta keluarga dan umat mereka seluruhnya.

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh keahlian dalam bidang Obstetri dan Ginekologi. Sebagai manusia biasa, saya menyadari bahwa tesis saya ini masih banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan pustaka, dengan judul :

“KADAR FIBRINOGEN DAN D-DIMER PADA WANITA DENGAN SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK”

Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya

menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :


(5)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Syahril Pasaribu ,DTM&H, MSc(CTM), SpA(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD(K-GEH), yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU Medan.

2. Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K) dan Sekretaris Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, Dr. dr. M. Fidel Ganis Siregar, M.Ked (OG), SpOG(K).

3. Ketua Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K) dan Sekretaris Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, dr. M. Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG), SpOG(K).

4. Kepada Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K); Prof. dr. Hamonangan Hutapea, SpOG(K); Prof. Dr. dr. H. M. Thamrin Tanjung, SpOG(K); Prof. dr. R.Haryono Roeshadi, SpOG(K); Prof. dr. T. M. Hanafiah, SpOG(K), Prof. dr. Budi R. Hadibroto,SpOG(K); Prof. dr. Daulat H. Sibuea, SpOG(K), Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG (K), yang secara bersama-sama telah berkenan menerima saya untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi. Semoga ALLAH SWT membalas kebaikan budi guru-guru saya tersebut.

5. Khususnya kepada Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG (K); yang telah memberi Saya kesempatan untuk dapat menempuh Program Pendidikan


(6)

Dokter Spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU. Saya ucapkan Terimakasih yang tidak terhingga, semoga ALLAH SWT membalas kebaikan beliau.

6. Ketua Divisi FER dr. Ichwanul Adenin, M.Ked(OG), SpOG(K) dan Sekretaris Divisi FER dr. M.Oky Prabudi, SpOG yang telah mengizinkan Saya untuk melakukan penelitian tentang:

“KADAR FIBRINOGEN DAN D-DIMER PADA WANITA DENGAN SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK”

7. Dr. dr .Binarwan Halim, M.Ked(OG), SpOG(K) dan dr. Yostoto B Kaban, SpOG (K), selaku pembimbing tesis Saya, serta Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG (K), dr. Makmur Sitepu, M.Ked (OG), SpOG(K), dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K) selaku penyanggah tesis Saya, yang penuh dengan kesabaran telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk membimbing, memeriksa, dan melengkapi penulisan tesis ini hingga selesai.

8. Kepada Dr. dr. Binarwan Halim, M.Ked(OG), SpOG(K) yang telah banyak membantu saya, memberikan ide dan bimbingan dalam penelitian ini dan mengizinkan saya untuk melakukan penelitian di Klinik Halim Fertility Center Medan.

9. Kepada Dr. dr. M. Fidel Ganis Siregar, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku orang tua angkat saya selama menjalani masa pendidikan, yang telah


(7)

banyak mengayomi, membimbing dan memberikan nasehat yang bermanfaat kepada saya selama dalam pendidikan.

10. Kepada dr. Makmur Sitepu, M.Ked(OG),SpOG(K) selaku pembimbing minirefarat Fetomaternal saya yang berjudul : “ Diagnosis Prenatal Displasia Skeletal Janin” kepada dr. Yostoto B Kaban, SpOG(K) selaku pembimbing Minirefarat Magister Kedokteran Klinis Obstetri dan Ginekologi saya yang berjudul: “Infertilitas Idiopatik”, kepada dr. Ichwanul Adenin, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku pembimbing minirefarat Fertilitas Endokrinologi dan Reproduksi saya yang berjudul “Abortus Berulang Pada Penyakit Tiroid”, dan kepara dr. Roy Yustin Simanjuntak, SpOG(K) selaku pembimbing minirefarat Onkologi-Ginekologi saya yang berjudul “Eksenterasi Pelvik Pada Kanker Ginekologi”.

11. Para guru yang saya hormati, seluruh staf pengajar Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, baik di RSUP H.Adam Malik, RSUD dr.Pirngadi, RS Tembakau Deli, RSU Sundari dan RS KESDAM II Putri Hijau, Medan, yang telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal hingga akhir pendidikan.

12. Kepada Dr. dr. Arlinda Sri Wahyuni, M.kes sebagai pembimbing statistik yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing saya dalam penyelesaian penelitian ini.


(8)

13. Direktur RSUP H.Adam Malik Medan, dr. Lukman Hakim Nasution, SpKK beserta seluruh staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis yang telah memberikan kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan dan selama saya bertugas di instansi tersebut.

14. Direktur RSUD dr.Pirngadi Medan, dr. Amran Lubis, SpJP dan khususnya Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD dr. Pirngadi Medan, dr. Syamsul Arifin Nasution, SpOG(K); beserta seluruh staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis yang telah memberikan kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya selama menempuh pendidikan di Departemen Obstetri dan Ginekologi.

15. Direktur Rumkit Tk. II Puteri Hijau KESDAM II/BB Medan dan Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi Rumkit Tk. II Puteri Hijau KESDAM II/BB Medan dr. Yazim Yaqub, SpOG; beserta staf yang telah memberi kesempatan dan sarana serta bimbingan selama Saya bertugas di Rumah Sakit tersebut.

16. Direktur Rumah Sakit Umum PTPN II Tembakau Deli; dr. Sofyan Abdul Ilah, SpOG dan dr. Nazaruddin Jaffar, SpOG(K) beserta staf yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan selama Saya bertugas menjalani pendidikan di Rumah Sakit tersebut.

17. Direktur RSU Haji Medan; dan Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RSU Haji Medan dr. Muslich Perangin-angin, SpOG beserta staf yang telah


(9)

memberi kesempatan dan sarana serta bimbingan kepada Saya selama bertugas di Rumah Sakit tersebut.

18. Direktur RSU Sundari Medan; dan Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RSU Sundari Medan dr. H. M. Haidir, MHA, SpOG dan Ibu Sundari, Am.Keb beserta staf yang telah memberi kesempatan dan bimbingan selama Saya bertugas di Rumah Sakit tersebut.

19. Direktur RSUD Panyabungan drg. Bidasari; beserta seluruh staf yang telah memberikan kesempatan untuk bekerja dan memberikan bantuan moril selama Saya bertugas di Rumah Sakit tersebut.

20. Ketua Departemen Anestesiologi dan Reanimasi FK-USU Medan beserta staf, atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan selama Saya bertugas di Departemen tersebut.

21. Ketua Departemen Patologi Anatomi FK-USU Medan beserta staf, atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan selama Saya bertugas di Departemen tersebut.

22. Kepada Klinik Halim Fertility Centre Medan beserta seluruh staf yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini.

23. Kepada dr. Zulfikar Lubis, SpPK(K) dan Laboratorium Klinik Thamrin beserta staf yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini.

24. Kepada senior-senior saya dr. Ilham Sejahtera L, SpOG; dr. Anggia Melanie L, SpOG; dr. Gorga W.Udjung, SpOG; dr. Siti S.Silvia, SpOG; dr. Maya Hasmita, SpOG; dr. Riza H. Nasution, SpOG; dr. Lili Kuswani,


(10)

SpOG; dr. M.Ikhwan, SpOG; dr. Edward Muldjadi, SpOG; dr. Ari Abdurrahman Lubis, SpOG; dr. Zilliyadein R, SpOG; dr. Beni J, SpOG; dr. M. Rizki Yaznil, M.Ked(OG), SpOG; dr. Yuri Andriansah, SpOG; dr.T. Jeffrey A, SpOG; dr. Made S. Kumara, SpOG; dr. Sri Jauharah L, SpOG; dr. M. Jusuf Rachmatsyah, M.Ked(OG), SpOG; dr. Boy P.Siregar, SpOG; dr. Firman Alamsyah, SpOG; dr. Aidil A, SpOG; dr. Rizka H, SpOG; dr. Hatsari, SpOG; dr. Andri P. Aswar, SpOG; dr. Alfian ZS, SpOG; dr. Errol Hamzah, SpOG; dr. T.Johan A, M.Ked(OG), SpOG; dr. Tigor PH, M.Ked(OG), SpOG; dr. Hendry Adi S, M.Ked(OG), SpOG; dr. Heika NS, M.Ked(OG), SpOG; dr. Riske EP, M.Ked (OG), SpOG; dr. Ali Akbar, M.Ked(OG), SpOG; dr. Arjuna S, M.Ked(OG), SpOG; dr. Janwar S, M.Ked(OG), SpOG; dr. Irwansyah Putra, M.Ked(OG), SpOG; dr. Ulfah WK, M.Ked(OG), SpOG; dr. Ismail Usman, M.Ked(OG), SpOG; dr. Aries M; dr. Hendri Ginting, M.Ked(OG), SpOG; dr. Robby Pakpahan, M.ked(OG); dr. Meity E, M.Ked(OG), SpOG; dr. M. Yusuf, M.Ked(OG), SpOG; dr.Dany Aryani, M.Ked(OG), SpOG; dr. Fatin Atifa, M.Ked(OG), SpOG; dr. Pantas, M.Ked(OG); dr. Morel, M.Ked(OG), SpOG; dr. Sri Damayana, M.Ked(OG), SpOG; dr. Eka Handayani, M.Ked(OG), SpOG; dr. Liza M, M.Ked(OG); dr. M. Rizky P Lubis, M.Ked(OG); dr. M.Arief, M.ked(OG),SpOG; dr. Ferdiansyah PH, M.Ked(OG), SpOG; dr. Yudha S, M.Ked(OG), SpOG; dr. Henry Gunawan, M.ked(OG); dr. Ika S, dr. Edy Rizaldi, M.ked(OG); dr. Hotbin Purba, M.Ked(OG); dr. Edward Manurung, M.Ked(OG), SpOG; dr. Novrial, M.ked(OG); dr. Nureliani Amni, dr.


(11)

Wahyu, M.Ked(OG), SpOG; dr. Ray C Barus, M.Ked(OG), SpOG; dr. Julita AL, M.Ked(OG),SpOG; dr. Kiko M, M.Ked(OG),SpOG; dr. Hiro, M.Ked(OG), SpOG; dr. Ivo, M.Ked(OG), SpOG; dr. Anindita N, M.Ked(OG), SpOG; dr. A. Rohim, M.Ked(OG), SpOG; dr. Rizal S, M.Ked(OG); dr. Fifianty PA; dr. Ricca P.Rahim, M.Ked(OG); dr. Erwin S, Saya berterima kasih atas segala bimbingan dan dukungan selama ini. 25. Kepada teman-teman seangkatan Saya : dr. M.Dezarino, M.Ked(OG),

SpOG; dr. Rahmanita Sinaga, M.Ked(OG); dr. Masithah T; dr. Ninong AP; dr. Dona W; dr. M.Faisal Fahmi, M.Ked(OG); dr. Hendrik Tarigan; dr. Renny A, M.Ked(OG), SpOG; dr. Afriza P; dr. Chandran FS; dr. Alfred HS; terima kasih untuk kebersamaan dan kerjasamanya selama pendidikan hingga saat ini.

26. Seluruh PPDS yang pernah menjadi tim jaga saya dan dengan kebersamaan yang indah, saling mendukung dan memberikan semangat selama menempuh pendidikan ini, saya ucapkan terima kasih.

27. Seluruh rekan sejawat PPDS yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, baik para senior maupun para adik angkatan. Terima kasih atas kerjasama, bantuan, kebersamaan, dorongan semangat dan doa yang telah diberikan.

28. Kepada almh. Ibu Hj. Asnawati Hsb, Ibu Hj. Sosmalawaty, Ibu Zubaedah, Mimi, dan seluruh Pegawai di lingkungan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP H. Adam Malik Medan terima kasih atas bantuan dan dukungannya.


(12)

29. Seluruh pasien, rekan dokter muda, staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis pada seluruh instansi ditempat saya pernah mengikuti pendidikan maupun bertugas. Terimakasih banyak atas segala kerjasama, bantuan, bimbingan, serta kebaikan yang diberikan selama masa pendidikan yang saya jalani.

30. Tiada kata yang dapat Saya ucapkan selain rasa syukur kepada ALLAH SWT dan sembah sujud serta terima kasih yang tidak terhingga Saya sampaikan kepada kedua orang tua Saya yang sangat Saya cintai, Ayahanda dr. Azwan Hakmi Lubis, SpA, M.kes dan ibunda drg. Asliany Siregar yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta mendidik Saya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang dari sejak kecil hingga kini, memberi contoh yang baik dalam menjalani hidup serta memberikan motivasi dan semangat kepada Saya selama mengikuti pendidikan ini. Kepada saudara-saudara kandung Saya, drg. Hilda Fitria Lubis, SpOrt; dr. Hilfan Ade Putra Lubis, SpJP dan Hilmi Rizki Lubis, terima kasih atas bantuan, dorongan semangat dan doa kepada Saya selama menjalani pendidikan.

31. Akhirnya kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat Saya sebutkan namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil, Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga ALLAH SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.


(13)

Medan, Juli 2014


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

ABSTRAK ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Hiptesis Penelitian ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Definisi Sindroma Ovarium Polikistik ... 7

2.2. Etiologi Sindroma Ovarium Polikistik ... 7

2.3. Gambaran Klinis Sindroma Ovarium Polikistik ... 9

2.4. Resistensi Insulin pada Sindroma Ovarium Polikistik ... 13 2.5. Risiko Keguguran pada Sindroma


(15)

Ovarium Polikistik ... 18

2.6. Risiko Kardiovaskular pada Sindroma Ovarium Polikistik ... 20

2.7. Fibrinogen ... 24

2.7.1. Fibrinogen Sebagai Faktor Hemostasis ... 29

2.7.2. Fibrinogen dan Sindroma Ovarium Polikistik ... 32

2.8. D-Dimer ... 35

2.9. Kerangka Teori ... 39

2.10. Kerangka Konsep ... 40

BAB III . METODE PENELITIAN ... 41

3.1. Rancangan Penelitian ... 41

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 41

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 41

3.4. Kriteria Sampel Penelitian ... 44

3.5. Etika Penelitian ... 45

3.6. Bahan dan Cara Penelitian ... 46

3.7. Alur Penelitian ... 48

3.8. Variabel Penelitian ... 49

3.9. Batasan Operasional ... 49


(16)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

5.1 Kesimpulan ... 68

5.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Ringkasan Etiologi dan Gambaran Klinis SOPK ... 8 Gambar 2.2 Skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi (mFG) untuk

penilaian hirsutisme ... 11 Gambar 2.3 Gambaran ovarium polikistik pada ultrasonografi ... 12 Gambar 2.4 Mekanisme Resistensi Insulin... 15 Gambar 2.5 Hubungan Resistensi Insulin dengan

Hiperandrogenemia ... 16 Gambar 2.6 Diagram Skematik yang Menunjukkan Hubungan antara

SOPK, Obesitas, dan Gambaran Kardiovaskular pada Wanita dengan SOPK ... 21 Gambar 2.7 Skema hipotesa pathogenesis penyakit kardiovaskular pada SOPK. Gambar ini meringkas jalur potensial dimana faktor risiko kardiovaskular dihubungkan dengan SOPK ... 22 Gambar 2.8 Pemecahan Thrombin dari Fibrinogen dan Polimerisasi

Monomer Fibrin menjadi Fibrin. Suatu Skema Pemecahan Thrombin dari Fibrinogen, Diikuti oleh Polimerisasi Monomer Fibrin menjadi Bentuk Fibrin ... 28 Gambar 2.9 Bekuan Darah Fibrin ... 29 Gambar 2.10 Alur Koagulasi dan Fibrinolisis Normal ... 31 Gambar 2.11 Hubungan dan Interaksi antara Fungsi Endotel, Aktivasi

Platelet dan Agregasi, Inflamasi, Koagulasi, dan Fibrinolisis pada SOPK ... 34 Gambar 2.12 Skema Pembentukan D-Dimer ... 37


(18)

Gambar 4.1 Diagram Box Plot Kadar Fibrinogen Kelompok SOPK dan Kontrol ... 57 Gambar 4.2 Diagram Box Plot Kadar D-dimer Kelompok SOPK dan


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2,1 Definisi dari sindroma ovarium polikistik menurut beberapa konsensus. ESHRE, ASRM, NIH, AE & PCOS Society ... 9 Tabel 2.2 Faktor fisiologis, Patologis, dan Gaya hidup yang

mempengaruhi kadar fibrinogen ... 25 Tabel 2.3 Kegunaan Klinis Pemeriksaan Fibrinogen ... 27 Tabel 2.4 Daftar faktor-faktor pembekuan darah yang dinyatakan dalam

angka Romawi, serta sinonim dan beberapa sifat-sifatnya ... ... 32 Tabel 4.1 Tabel Distribusi Responden ... 52 Tabel 4.2 Tabel Karakteristik Responden ... 55 Tabel 4.3 Kadar Fibrinogen Pada Penderita Sindroma Ovarium Polikistik

(SOPK) dan Kontrol ... 56 Tabel 4.4 Kadar D-dimer Pada Penderita Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) dan Kontrol ... 60 Tabel 4.5 Perbandingan Rerata Kadar Fibrinogen Penderita Sindroma

Ovarium Polikistik (SOPK) dan Kontrol Berdasarkan Kelompok IMT ... 62 Tabel 4.6 Perbandingan Rerata Kadar D-dimer Penderita Sindroma

Ovarium Polikistik (SOPK) dan Kontrol Berdasarkan Kelompok IMT ... 64 Tabel 4.7 Perbandingan Rerata Kadar Fibrinogen Penderita Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) dan Kontrol Berdasarkan Usia ... ... 64 Tabel 4.8 Perbandingan Rerata Kadar D-dimer Penderita Sindroma


(20)

... 65 Tabel 4.9 Perbandingan Rerata Kadar Fibrinogen Pada Penderita

Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) Berdasarkan Resistensi Insulin ... 66 Tabel 4.10 Perbandingan Rerata Kadar D-dimer Pada Penderita

Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) Berdasarkan Resistensi Insulin ... 67


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance

Lampiran 2. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subyek Penelitian

Lampiran 3. Lembaran Persetujuan Setelah Penjelasan Subjek Penelitian

Lampiran 4. Lembaran Formulir Penelitian

Lampiran 5. Analisa Statistik


(22)

DAFTAR SINGKATAN

SOPK : Sindroma Ovarium Polikistik

PAI-Fx : Plasminogen Activator Inhibitor Activity DHEAS : Dehydroepiandrosterone Sulfate

GFC : Global Fibrinolytic Capacity PAI-1 : Plasminogen Activator Inhibitor-1 IMT : Indeks Massa Tubuh

DM : Diabetes Mellitus

CYP11a : Cytochrome P450, family 11, subfamily A AES : Androgen Excess Society

ESHRE : European Society of Human Reproduction and Embriology

ASRM : American Society of Reproductive Medicine NIH : National Institutes of Health

AE & PCOS Society : Androgen Excess Society & Polycystic Ovarian Syndrome Society

FSH : Folicle Stimulating Hormone E2 : Estradiol

WHO : World Health Organization mFG : Modification Ferriman-Galwey FAI : Free Androgen Index

DHT : Dihydrotestosterone AMH : Anti Mullerian Hormone


(23)

SHBG : Sex Hormone Binding Globulin IGF-1 : Insulin Growth factor-1

MTFHR : Methylene Tetrahydrofolate Reductase IVF : In Vitro Fertilization

APCR : Activated Protein C Resistance PCO : Polycystic Ovary

PT : Prothrombin Time

APTT : Activated Partial Thromboplastin Time HMWK : High Molecular Weight Kininogen CIMT : Carotid Intima-Media Thickness IL-6 : Interleukin 6

CRP : C-Reactive Protein

t-PA : Tissue Plasminogen Activator FDP : Fibrin Degradation Products

DIC : Disseminated Intravascular Coagulation DVT : Deep Vein Thrombosis

PE : Pulmonary Embolism VT : Venous Thrombosis AT : Arterial Thrombosis

u-PA : Urokinase Plasminogen Activator ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay HOMA-IR :Homeostatic model assessment of insulin

resistance


(24)

KADAR FIBRINOGEN DAN D-DIMER PADA WANITA DENGAN SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

Hilma Putri Lubis

Delfi Lutan, Makmur Sitepu, Henry Salim Siregar , Binarwan Halim, Yostoto B Kaban,

Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, Indonesia, Juli, 2014

ABSTRAK

LATAR BELAKANG : Sindroma ovarium polikistik ( SOPK ) adalah disfungsi

ovarium dengan ciri utama morfologi ovarium yang polikistik serta keadaan hiperandrogenisme. Fibrinogen dan D-dimer merupakan salah satu faktor hemostatik. Fibrinogen dianggap sebagai faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular. D-dimer, produk akhir fibrin degradation products oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik juga berpengaruh pada terjadinya risiko kardiovaskular dan keguguran terutama pada penderita SOPK.

TUJUAN : Mengetahui perbedaan kadar fibrinogen dan D-dimer pada wanita

penderita SOPK dibandingkan dengan wanita tanpa SOPK.

METODE : Penelitian analitik komparatif dengan rancangan studi potong lintang

(cross sectional). Populasi pada penelitian ini adalah wanita penderita sindroma ovarium polikistik di RSUP.H.Adam Malik, RS jejaring FK USU, Klinik Halim Fertility Center dan klinik swasta lain di Medan. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang diambil secara

consecutive sampling.

HASIL : Dari 60 orang subjek penelitian, yang terbagi secara rata menjadi 2

kelompok, penderita SOPK dan kelompok kontrol yang bukan penderita SOPK, didapatkan rerata kadar fibrinogen penderita SOPK (289,1) sedikit lebih rendah daripada kontrol (301,9) dengan nilai p=0,430. Rerata kadar D-Dimer penderita SOPK lebih rendah (148,6) daripada kontrol (193,3) dengan nilai p =0,041.

KESIMPULAN : Dari hasil penelitian, tidak didapati perbedaan bermakna antara

kadar fibrinogen penderita SOPK dengan kontrol (p>0,05). Rerata kadar D-dimer penderita SOPK lebih rendah secara bermakna dibandingkan kontrol (p<0,05).


(25)

FIBRINOGEN AND D-DIMER LEVEL IN WOMAN WITH POLYCYSTIC OVARIAN SYNDROME

Hilma Putri Lubis

Delfi Lutan, Makmur Sitepu, Henry Salim Siregar , Binarwan Halim, Yostoto B Kaban,

Obstetric and Gynecology Department Medical Faculty University of Sumatera Utara

Medan, Indonesian, July, 2014

ABSTRACT

BACKGROUND : Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) is a dysfunction of

ovarium with polycystic ovarian morphology and hiperandrogenism state. Fibrinogen dan D-dimer are hemostatic factors. Fibrinogen considered as an independent risk factor for cardiovascular disease. D-dimer, final product of cross-linked fibrin degeneration by plasmin in fibrinolytic system, also contributes to cardiovascular and miscarriage risk especially in PCOS patient.

OBJECTIVE : To find the difference of fibrinogen and D-dimer level between

women with PCOS and without PCOS.

METHODS : Comparative analytic study with cross sectional design. This study

population are women with PCOS in RSUP.H.Adam Malik, FK USU satellite hospitals, Klinik Halim Fertility Center and other private clinic in Medan. Study samples are part of population which fulfilled the inclusion and exclusion criteria and collected with consecutive sampling.

RESULTS : From 60 study subjects, which divided equally into 2 groups, with

PCOS and without PCOS, mean level of fibrinogen in women with PCOS ((289,1) is slightly lower than women without PCOS (301,9) with p-value=0,430. Mean level of D-Dimer in women with PCOS is lower (148,6) than control (193,3) with p-value=0,041

CONCLUSION : From the study, no significant difference found in the level of

fibrinogen between women with PCOS and control group (p>0,05). Mean level of D-dimer in women with PCOS is significantly lower than control (p<0,05).


(26)

KADAR FIBRINOGEN DAN D-DIMER PADA WANITA DENGAN SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

Hilma Putri Lubis

Delfi Lutan, Makmur Sitepu, Henry Salim Siregar , Binarwan Halim, Yostoto B Kaban,

Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, Indonesia, Juli, 2014

ABSTRAK

LATAR BELAKANG : Sindroma ovarium polikistik ( SOPK ) adalah disfungsi

ovarium dengan ciri utama morfologi ovarium yang polikistik serta keadaan hiperandrogenisme. Fibrinogen dan D-dimer merupakan salah satu faktor hemostatik. Fibrinogen dianggap sebagai faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular. D-dimer, produk akhir fibrin degradation products oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik juga berpengaruh pada terjadinya risiko kardiovaskular dan keguguran terutama pada penderita SOPK.

TUJUAN : Mengetahui perbedaan kadar fibrinogen dan D-dimer pada wanita

penderita SOPK dibandingkan dengan wanita tanpa SOPK.

METODE : Penelitian analitik komparatif dengan rancangan studi potong lintang

(cross sectional). Populasi pada penelitian ini adalah wanita penderita sindroma ovarium polikistik di RSUP.H.Adam Malik, RS jejaring FK USU, Klinik Halim Fertility Center dan klinik swasta lain di Medan. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang diambil secara

consecutive sampling.

HASIL : Dari 60 orang subjek penelitian, yang terbagi secara rata menjadi 2

kelompok, penderita SOPK dan kelompok kontrol yang bukan penderita SOPK, didapatkan rerata kadar fibrinogen penderita SOPK (289,1) sedikit lebih rendah daripada kontrol (301,9) dengan nilai p=0,430. Rerata kadar D-Dimer penderita SOPK lebih rendah (148,6) daripada kontrol (193,3) dengan nilai p =0,041.

KESIMPULAN : Dari hasil penelitian, tidak didapati perbedaan bermakna antara

kadar fibrinogen penderita SOPK dengan kontrol (p>0,05). Rerata kadar D-dimer penderita SOPK lebih rendah secara bermakna dibandingkan kontrol (p<0,05).


(27)

FIBRINOGEN AND D-DIMER LEVEL IN WOMAN WITH POLYCYSTIC OVARIAN SYNDROME

Hilma Putri Lubis

Delfi Lutan, Makmur Sitepu, Henry Salim Siregar , Binarwan Halim, Yostoto B Kaban,

Obstetric and Gynecology Department Medical Faculty University of Sumatera Utara

Medan, Indonesian, July, 2014

ABSTRACT

BACKGROUND : Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) is a dysfunction of

ovarium with polycystic ovarian morphology and hiperandrogenism state. Fibrinogen dan D-dimer are hemostatic factors. Fibrinogen considered as an independent risk factor for cardiovascular disease. D-dimer, final product of cross-linked fibrin degeneration by plasmin in fibrinolytic system, also contributes to cardiovascular and miscarriage risk especially in PCOS patient.

OBJECTIVE : To find the difference of fibrinogen and D-dimer level between

women with PCOS and without PCOS.

METHODS : Comparative analytic study with cross sectional design. This study

population are women with PCOS in RSUP.H.Adam Malik, FK USU satellite hospitals, Klinik Halim Fertility Center and other private clinic in Medan. Study samples are part of population which fulfilled the inclusion and exclusion criteria and collected with consecutive sampling.

RESULTS : From 60 study subjects, which divided equally into 2 groups, with

PCOS and without PCOS, mean level of fibrinogen in women with PCOS ((289,1) is slightly lower than women without PCOS (301,9) with p-value=0,430. Mean level of D-Dimer in women with PCOS is lower (148,6) than control (193,3) with p-value=0,041

CONCLUSION : From the study, no significant difference found in the level of

fibrinogen between women with PCOS and control group (p>0,05). Mean level of D-dimer in women with PCOS is significantly lower than control (p<0,05).


(28)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan masalah endokrinologi reproduktif yang sering terjadi dan sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Sindroma ovarium polikistik menyebabkan 5%-10% wanita usia reproduksi menjadi infertil. 1 Sindroma ovarium polikistik ( SOPK ) adalah suatu disfungsi ovarium dengan ciri utama morfologi ovarium yang polikistik serta keadaan hiperandrogenisme, sementara manifestasi klinisnya dapat berupa haid yang tidak teratur, tanda - tanda kelebihan kadar hormon androgen serta obesitas. Saat ini SOPK telah melewati gambaran yang lebih luas dari sekedar tanda dan gejala gangguan fungsi ovarium.2 Wanita dengan SOPK cenderung mengalami gangguan ovulasi sehingga cenderung infertil. Selain itu, dari kepustakaan dijelaskan bahwa wanita dengan SOPK cenderung mengalami risiko peningkatan keguguran dibandingkan dengan kehamilan normal. Salah satu teori yang berhubungan dengan terjadinya keguguran pada SOPK adalah gangguan pembekuan darah dimana mekanisme patofisiologinya adalah melalui hiperkoagulasi dengan disertai keadaan hipofibrinolisis yang dapat mengakibatkan terjadinya insufiensi aliran darah menuju plasenta yang berakhir dengan kematian janin.3,4

Penelitian oleh Glueck dkk di Ohio menunjukkan bahwa wanita dengan SOPK memiliki angka kejadian keguguran pada trimester pertama


(29)

yang tinggi yaitu 44%. Beberapa penyebab yang diduga termasuk hipofibrinolisis dengan peningkatan PAI-Fx, peningkatan testosterone, androstenedione, atau DHEAS, dan kadar progesterone yang rendah.3

Selain itu, wanita dengan sindroma ovarium polikistik (SOPK) juga cenderung berkembang menjadi resistensi insulin dengan kompensasi hiperinsulinemia, dislipidemia, hipertensi, dan obesitas-semua komponen sindroma metabolik yang meningkatkan risiko diabetes tipe 2 dan kejadian kardiovaskular. Faktor lain, seperti supresi fibrinolisis, hal ini juga berkontribusi untuk meningkatkan risiko infark miokard. Bagaimanapun, pada SOPK, walaupun diasumsikan bahwa gangguan sistem hemostasis dan koagulasi menyebabkan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular, bukti pada literatur masih diperdebatkan dan berdasarkan dari beberapa studi, dengan beberapa pertanyaan yang perlu dijawab, khususnya berhubungan dengan patogenesis dan faktor risiko. Studi juga menjelaskan mengenai suatu proinflamasi dan prothrombotik, khususnya pada adanya sindrom metabolik.5

Gangguan koagulasi dan fibrinolisis juga dapat berperan menjadi penyakit jantung. Beberapa penelitian dari wanita dengan SOPK telah menunjukkan disregulasi sistem hemostatik. Beberapa hasil menunjukkan suatu keadaan protrombotik, termasuk hifofibrinolisis, hiperkoagulabilitas, dan disfungsi endotel dan trombosit. Penelitian sebelumnya fokus pada sejumlah kecil komponen alur koagulasi dan fibrinolisis. Selain itu, hal ini juga masih belum jelas apakah gangguan hemostatik tidak tergantung


(30)

dengan obesitas. Mekanisme gangguan potensial sistem hemostatis pada wanita dengan SOPK masih belum diketahui. Ada bukti bahwa tingkat plasma dari beberapa faktor hemostatik dimodulasi oleh hiperglikemia, resistensi insulin dengan kompensasi hiperinsulinemia, agen proinflamasi, dan dislipidemia, semuanya merupakan tipe pada SOPK.5,6

Bulent dkk, di Turki, mendapatkan bahwa GFC (Global Fibrinolytic Capacity) secara signifikan lebih rendah pada kelompok SOPK, dibandingkan dengan kelompok kontrol (2,49±1,6 vs.5,95 ± 2,43 µg/ml). Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa wanita dengan SOPK memiliki gangguan fibrinolisis, sesuai dengan penurunan GFC.7

Louise dkk, di Swedia, mendapatkan bahwa kadar fibrinogen dan aktivitas plasminogen activator inhibitor (PAI-1) lebih tinggi pada wanita dengan SOPK daripada kontrol, dimana SOPK dikarakteristikkan dengan adanya keadaan protrombotik.5

Fibrinogen dan D-dimer merupakan salah satu faktor hemostatik. Fibrinogen juga dianggap sebagai faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular.8,9 Selain itu, D-dimer yang merupakan produk akhir degenerasi cross-linked fibrin oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik juga berpengaruh pada terjadinya risiko kardiovaskular dan

keguguran terutama pada penderita SOPK. 9 Oleh karena itu, adanya risiko keguguran dan risiko penyakit


(31)

dengan aktivitas koagulasi yang dapat dinilai dari kadar fibrinogen dan D-dimer.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Dugaan peningkatan rerata kadar fibrinogen dan D-dimer pada penderita sindroma ovarium polikistik menandakan adanya peningkatan risiko jangka panjang kejadian penyakit kardiovaskular dan risiko keguguran melalui peningkatan aktivitas koagulasi. Berdasarkan latar belakang penelitian, memunculkan pertanyaan, bagaimana rerata kadar fibrinogen dan D-dimer pada wanita dengan sindroma ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik? Sehingga perlu dilakukan penelitian kadar fibrinogen dan D-dimer pada penderita dengan sindroma ovarium polikistik, dimana penelitian tersebut belum pernah dilakukan di Sumatera Utara dan Indonesia sebelumnya.

1.3. HIPOTESIS

1. Rerata kadar fibrinogen berbeda pada wanita dengan sindroma ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik.

2. Rerata kadar D-dimer berbeda pada wanita dengan sindroma ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik.


(32)

1.4. TUJUAN PENELITIAN 1.4.1. TUJUAN UMUM

1. Untuk mengetahui rerata kadar fibrinogen dan D-dimer pada wanita penderita sindroma ovarium polikistik.

1.4.2. TUJUAN KHUSUS

1. Untuk mengetahui karakteristik wanita penderita sindroma ovarium polikistik dan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik berdasarkan umur, indeks massa tubuh (IMT) , fenotip SOPK dan resistensi insulin. 2. Untuk mengetahui perbedaan kadar fibrinogen pada wanita penderita

sindroma ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik.

3. Untuk mengetahui perbedaan kadar D-dimer pada wanita penderita sindroma ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik.

4. Untuk mengetahui perbandingan kadar fibrinogen berdasarkan kelompok indeks massa tubuh antara wanita penderita sindroma ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik.

5. Untuk mengetahui perbandingan kadar D-dimer berdasarkan kelompok indeks massa tubuh antara wanita penderita sindroma ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik.


(33)

6. Untuk mengetahui perbandingan kadar fibrinogen berdasarkan kelompok umur antara wanita penderita sindroma ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik.

7. Untuk mengetahui perbandingan kadar D-dimer berdasarkan kelompok umur antara wanita penderita sindroma ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik.

8. Untuk mengetahui rerata kadar fibrinogen pada wanita penderita sindroma ovarium polikistik berdasarkan resistensi insulin.

9. Untuk mengetahui rerata kadar D-dimer pada wanita penderita sindroma ovarium polikistik berdasarkan resistensi insulin.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

1. Dari hasil penelitian diharapkan dapat diketahui perbedaan rerata kadar fibrinogen dan D-dimer pada wanita penderita sindroma ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik. Sehingga dapat mengarahkan klinisi dalam melakukan manajemen terhadap penderita sindroma ovarium polikistik mengenai perlunya pemberian antikoagulan.

2. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi data dasar untuk penelitian sejenis ataupun penelitian lanjutan.


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

SOPK adalah suatu sindroma, kumpulan dari gejala disfungsi ovarium, dengan tampilan utama hiperandrogenisme dan morfologi ovarium yang polikistik. manifestasi klinis dari kelainan ini dapat berupa : menstruasi yang ireguler, tanda -tanda kelebihan kadar androgen beserta obesitas, dan dihubungkan dengan DM tipe 2.10,11,12

Sejak pengamatan awal oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935, ternyata sindroma ovarium polikistik (SOPK), telah berkembang menjadi suatu endokrinopati multisistim. Jika melihat dari gejala dan tandanya, yaitu hirsutisme, infertilitas pada wanita dengan siklus anovulatorik dan gangguan menstruasi, maka SOPK merupakan suatu gangguan endokrin yang paling banyak dijumpai pada wanita terutama usia subur.10,11

2.2. ETIOLOGI SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

Etiologi dari SOPK sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. dasar genetik dan multifaktor diduga sebagai penyebab kelainan ini. Model pasti hubungan genetik atau familial dari SOPK masih belum jelas. SOPK diketahui sebagai kelainan yang bersifat familial yang mana saudara kandung penderita SOPK mempunyai risiko mengalami kelainan ini sebesar 50%. Prevalensi risiko penderita SOPK meningkat sebesar 32% - 66%


(35)

antara saudara kandung, dan 24% - 52% antara ibu dengan anak. Penelitian klinis dan in vitro sel teka ovarium menemukan disregulasi gen CYP11a pada pasien dengan SOPK. Gen ini mengkode enzim yang membelah rantai sisi struktur bangun kolesterol, yaitu enzim yang berperan dalam biosintesis hormon steroid. Data-data biokimiawi mengimplikasikan bahwa penyebab dasar kelainan biosintesis androgen dan atau gangguan metabolismenya sebagai etiologi dari SOPK.10,13

Patofisiologi yang pasti dari SOPK adalah kompleks dan kebanyakan masih tidak jelas, akan tetapi suatu ketidakseimbangan hormonal yang mendasarinya yang diakibatkan oleh kombinasi peningkatan androgen dan/atau insulin. Faktor genetik dan lingkungan terhadap gangguan hormonal bergabung dengan faktor-faktor lain termasuk obesitas, disfungsi ovarium, dan abnormalitas hipofisis berkontribusi terhadap etiologi SOPK.14


(36)

2.3. GAMBARAN KLINIS SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

Menurut kriteria Rotterdam 2003, sebagai standar baku emas diagnosis SOPK, 2 dari 3 hal berikut ini harus terpenuhi untuk menegakkan diagnosis SOPK : 1)Oligo/anovulasi yang secara klinis didiagnosis sebagai oligo/amenore (siklus menstruasi > 35 hari dan atau < 10 x dalam setahun); 2)Hiperandrogenisme baik secara klinis maupun biokimiawi serta 3) Morfologi ovarium yang polikistik (≥ 12 folikel pada masing-masing ovarium dengan ukuran diameter tiap folikel 2 – 9 mm dan atau volume ovarium > 10 ml. Satu ovarium yang polikistik mencukupi dalam penegakan diagnosis). Pada tahun 2006, Androgen Excess Society ( AES ) dan SOPK Society membentuk satuan kerja yang juga mengeluarkan definisi dari SOPK akan tetapi secara umum kriteria dari ketiganya mempunyai kemiripan, dengan kriteria Rotterdam 2003 sebagai standar baku emas saat ini.10,17,18

Tabel 2.1. Definisi dari sindroma ovarium polikistik menurut beberapa konsensus. ESHRE = European Society of Human Reproduction and Embriology; ASRM = American Society of Reproductive Medicine; NIH = US.National Institutes of Health; AE & PCOS Society = Androgen Excess Society & Polycystic Ovarian Syndrome Society.10,17,18


(37)

NIH (1990)

Harus mencakup kedua kriteria dibawah ini : 1. Oligo-ovulasi

2.Hiperandrogenism

ESHRE / ASRM, Rotterdam (2003)

Mencakup setidaknya 2 dari 3 kriteria dibawah ini : 1. Oligo atau anovulasi

2. Gejala klinis dan atau laboratoris kelebihan androgen 3. Ovarium yang polikistik

(dengan mengenyampingkan kelainan lain yang terkait ) AE &PCOS Society (2009)

Harus mencakup kriteria dibawah ini

1.Hiperandrogenisme (hirsutisme dan atau hiperandrogenemia ) 2.Disfungsi ovarium ( oligo ovulasi dan atau ovarium polikistik ) 3.Dengan mengenyampingkan kelainan lain yang terkait

1. Oligoovulasi atau anovulasi

Siklus menstruasi normal mencerminkan fungsi ovulasi yang normal. Sekitar 60-85% pasien SOPK memiliki gangguan menstruasi dan jenis yang paling sering adalah oligomenore dan amenore. Pemeriksaan awal pada perempuan dengan gejala ini adalah kadar FSH dan E2 serum untuk mengeksklusi hipogonadisme hipogonadotropik (gangguan sentral) dan premature ovarian failure. SOPK termasuk pada kategori anovulasi normogonadotropik normoestrogenik (kelas 2 WHO). Meskipun demikian, kadar LH serum pasien SOPK seringkali meningkat.2,19,20

2. Hiperandrogenisme

Hiperandrogenisme pada Kriteria Rotterdam 2003 mencakup tanda-tanda klinis dan atau biokimiawi.2,19,20,21


(38)

a) Hiperandrogenisme klinis

Mencakup hirsutisme, akne, alopesia androgenic, dan tanda-tanda lainnya. Hirsutisme adalah tanda kelebihan androgen yang paling jelas dan merupakan gejala yang penting pada SOPK. Penilaian hirsutisme dilakukan dengan menggunakan skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi.2,19,20,21,22

Gambar 2.2. Skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi (mFG) untuk penilaian hirsutisme. Setiap area diberikan skor 0-4 dan penilaian 9 area tersebut dijumlahkan. Skor≤15:hirsutis me ringan, skor 16-25: hirsutisme sedang, dan skor≥25: hirsutisme berat.21

b) Hiperandrogenisme biokimiawi

Tanda biokimiawi hiperandrogenisme adalah peningkatan androgen di sirkulasi. Androgen yang terpenting yang biasanya digunakan untuk diagnosis adalah testosteron. Androgen lain yang meningkat mencakup


(39)

androstenedion, DHEA, dan DHEA-S. Di antara androgen tersebut, yang lebih sensitive untuk mendiagnosis hiperandrogenisme adalah testosterone bebas (free T) atau free androgen index (FAI). Pemeriksaan total T tidak sensitive untuk menilai kelebihan androgen karena sebagian T akan diubah menjadi DHT yang lebih poten.2,19,20

3. Gambaran ovarium polikistik

Definisi gambaran ovarium polikistik criteria Rotterdam 2003 adalah adanya 12 folikel atau lebih yang memiliki diameter 2-9 mm pada masing-masing ovarium dan/atau peningkatan volum ovarium (>10mL). distribusi folikel dan peningkatan ekogenitas stroma tidak termasuk dalam criteria penilaian ini.2,19,20

Gambar 2.3. Gambaran Ovarium Polikistik pada ultrasonografi.19 Dewaily dkk (2010) menemukan bahwa gambaran ovarium polikistik sendiri merupakan tanda dari hiperandrogenisme. Selain itu, ditemukan bahwa kadar AMH serum juga berhubungan dengan jumlah folikel dan secara tidak langsung juga merupakan tanda dari hiperandrogenisme. Sehingga dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk


(40)

mendiagnosis SOPK, awalnya harus ditemukan oligo-ovulasi dan

hiperandrogenisme.19,20 Wijeyaratne et al menyatakan bahwa Prevalensi SOPK pada ras

kaukasia, kulit hitam, dan hispanik di AS berturut-turut adalah 3,4% ; 4,7%; dan 13%. Sementara di benua Asia, prevalensi dijumpai sebesar 2% di Cina, dan 6,3% di Asia selatan. Variasi etnis berhubungan dengan prevalensi SOPK, terutama terkait keadaan hiperandrogenisme dan resistensi insulin. Kemungkinan hubungan SOPK dengan variasi etnis adalah karena pengaruh genetika dengan etnis-etnis tertentu yang mempunyai kecenderungan gangguan metabolisme dan obesitas, yang mana hal tersebut kebanyakan dipengaruhi lingkungan dan budaya.23

2.4. RESISTENSI INSULIN PADA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK Awalnya pada tahun 1921, Achard dan Thiers menemukan adanya diabetes pada wanita yang berjenggot atau berkumis, mereka menyebutnya sebagai "diabetes in bearded women" yang kemudian dikenal sebagai Achard and Thiers syndrome. Pada tahun 1980, Burghen et al melaporkan bahwa perempuan dengan gangguan hiperandrogenisme dan SOPK mempunyai kadar insulin basal dan insulin setelah stimulasi glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang mempunyai berat badan sama. Saat ini diketahui bahwa wanita dengan SOPK menunjukkan derajat resistensi insulin yang lebih parah serta hiperinsulinemia yang terkompensasi dibandingkan dengan wanita tanpa SOPK.24 Resistensi insulin didefinisikan


(41)

sebagai ketidakmampuan insulin untuk menjalankan fungsi fisiologisnya. Manifestasinya bisa bersifat perifer (pada jaringan) atau sentral (pada liver) akibat berkurangnya kemampuan insulin untuk menurunkan kadar glukosa plasma. Resistensi insulin menyebabkan hiperinsulinemia yang akan menyebabkan metabolisme androgen yang abnormal, mengganggu pertumbuhan folikel dan merubah respons gonadotropin.25 Prevalensi resistensi insulin pada wanita dengan SOPK diperkirakan antara 50% dan 75%, dan lebih banyak pada penderita SOPK yang obese dibandingkan dengan normal.19 Di Jakarta, Wiweko dan Mulya mendapatkan 75% wanita dengan SOPK mengalami resistensi insulin, sementara di Medan, Setiawan mendapatkan proporsi pasien SOPK dengan resistensi insulin sebesar 17,1%.25,26

Dunaif menyatakan bahwa mekanisme berkurangnya sensitivitas insulin ini disebabkan oleh abnormalitas setelah terjadinya ikatan insulin terhadap reseptornya pada saat transduksi reseptor insulin. Wanita dengan SOPK, baik yang kurus maupun obesitas, dijumpai lebih resisten terhadap insulin dibandingkan dengan kontrol wanita bukan penderita SOPK.24


(42)

Gambar 2.4. Mekanisme resistensi insulin19.

Dalam fibroblast, otot, dan adiposit 50% pasien SOPK ada penurunan autofosforilasi residu tirosin dari reseptor insulin dan peningkatan fosforilasi residu serin dari reseptor insulin. Fosforilasi residu serin atau treonin dari reseptor insulin akan menurunkan transduksi signal, dan ini menjadi mekanisme molekular dari resistensi insulin pada pasien SOPK.27


(43)

Gambar 2.5.Hubungan Resistensi insulin dengan hiperandrogenemia19

Selain mekanisme di atas resistensi insulin juga mengakibatkan peningkatan androgen pada pasien SOPK dimana peningkatan androgen ini akan mengakibatkan perubahan profil lipid dengan patofisiologi yang telah dijelaskan di atas. Ada beberapa mekanisme mengapa resistensi insulin menyebabkan androgenemia yaitu: hiperinsulinemia kompensasi akibat resistensi insulin akan menurunkan sintesis hepatik SHBG sehingga androgen bebas meningkat dalam darah; insulin yang berlebihan dapat berikatan dengan reseptor IGF-1 dalam ovarium, menyebabkan peningkatan produksi androgen oleh sel-sel teka; fosforilasi residu serin enzim P450c17


(44)

adrenal dan ovarium pada pasien SOPK meningkatkan aktifitas enzim 17,20 lyase yang akan memproduksi hiperandrogenisme.27

Berbagai cara telah dipakai untuk menilai keadaan resistensi insulin antara lain uji toleransi glukosa oral (UTGO), uji toleransi insulin, infus glukosa secara berkesinambungan, klem euglikemik.19,25 Selain itu, rasio glukosa puasa dan insulin puasa (G:I ratio) telah digunakan secara luas sebagai indeks sensitivitas insulin pada wanita SOPK dimana rasio kurang dari 4,5 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sesuai untuk resistensi insulin. Homeostatic model assessment of insulin resistance (HOMA-IR) merupakan pengukuran lain sensitivitas insulin yang umum digunakan pada studi epidemiologi yang besar. HOMA-IR dihitung dengan membagi kadar glukosa puasa (mg/dl) dan insulin (µU/mL) dengan konstanta: [glukosa (mg/dl)] [insulin (µU/mL)] /405, atau [glukosa (mmol/L)][insulin (µU/mL)] /22,5. Resistensi insulin pada pengukuran dengan HOMA-IR ditandai dengan nilai lebih dari 3,2-3,9. Quantitative insulin sensitivity check index (QUICKI) merupakan metode pengukuran sensitivitas insulin yang lain. Perhitungan dari metode QUICKI yaitu kebalikan dari jumlah kadar glukosa puasa dan insulin, melalui logaritma: (1/[log(glukosa)+log(insulin)]; resistensi insulin ditandai dengan nilai lebih dari 0,33. HOMA-IR dan QUICKI dapat digunakan pada pasien dengan euglikemik dan hiperglikemik.19 Penelitian oleh Muharam pada tahun 2000 di Jakarta tentang nisbah gula darah puasa (Gp) dan insulin puasa (Ip) pada ovarium polikistik menyimpulkan bahwa titik


(45)

potong nisbah Gp/Ip <10,1 untuk menyatakan adanya resistensi insulin dengan sensitivitas 90,2%, spesifisitas 90,9%.25

2,5. RISIKO KEGUGURAN PADA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK Beberapa komplikasi kehamilan yang berhubungan dengan diagnosis maternal sindroma ovarium polikistik telah dijelaskan. Hal ini termasuk peningkatan prevalensi dari abortus spontan, diabetes gestasional, toksemia preeklampsia, kehamilan yang menginduksi hipertensi, dan bayi lahir kecil usia kehamilan. Peningkatan risiko abortus spontan pada trimester pertama pada wanita dengan SOPK, berkisar dari 25% hingga 73%, dimana relatif tinggi.28,29,30

Penelitian oleh Glueck dkk di Ohio menunjukkan bahwa wanita dengan SOPK memiliki angka kejadian keguguran pada trimester pertama yang tinggi yaitu 44%. Spekulasi yang menyebabkan angka keguguran yang tinggi ini termasuk hipofibrinolisis dengan peningkatan PAI-Fx, peningkatan testosterone, androtenedione, atau DHEAS, dan kadar progesterone yang rendah.3,4

Penelitian oleh Velazquez dkk menunjukkan bahwa pasien dengan SOPK mengalami peningkatan aktivitas plasminogen activator inhibitor (PAI-Fx; merupakan inhibitor yang paling potensial dari fibrinolisis), yang menyebabkan hipofibrinolisis dan peningkatan risiko keguguran.31,32

Pada SOPK, hipofibrinolisis diperantarai oleh aktivitas plasminogen activator inhibitor activity (PAI-Fx) yang tinggi, determinan utama


(46)

hipofibrinolisis, merupakan penyebab independen keguguran. PAI-Fx tinggi dapat menyebabkan gangguan plasenta yang terjadi pada preeclampsia dan keguguran berulang. Hipofibrinolisis juga dihubungkan dengan retardasi perkembangan intrauterine, solusio plasenta, dan abortus.3,4

Selain itu, trombofilia juga merupakan faktor risiko abortus yang penting pada beberapa pasien dengan SOPK. Menurut penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa faktor V leiden berhubungan trombofilia, heterozigot mutasi faktor protrombin, dan homozigot mutasi gen methylene tetrahydrofolate reductase (MTHFR) yang merupakan penyebab lain keguguran pada pasien dengan SOPK. Defisiensi beberapa protein termasuk protein C, protein S, dan antitrombin III, juga berhubungan dengan komplikasi kehamilan termasuk keguguran.4,31

Trombofilia merupakan gangguan multigenetik akibat kelainan koagulasi yang didapat (antibodi antiphospholipid) atau kelainan koagulasi yang diturunkan (defisiensi antitrombin protein antikoagulan alami, protein C atau protein S, faktor V leiden, dan prothrombin G20210A), atau kelainan metabolic hiperhomosisteinemia. Pada wanita dengan keguguran berulang, skrining menyebutkan adanya peningkatan insidensi SOPK. Oleh karena itu, peningkatan angka kejadian kematian janin bukan hanya karakteristik wanita dengan keguguran berulaang dengan trombofilia, tetapi juga pada wanita dengan SOPK. Hal ini dipostulasikan bahwa pasien dengan familial trombofilia, mungkin dipengaruhi oleh kelainan endokrin dari SOPK, juga dihubungkan dengan kegagalan transfer embrio dan keguguran. Trombofilia


(47)

dapat menyebabkan kegagalan implantasi pada fertilisasi invitro (IVF). Gangguan preklinik setelah IVF menyebabkan kelainan pada reseptivitas uterus dan/atau kualitas embrio.4,31

Pada penelitian Kazerooni,dkk di Iran menjelaskan bahwa pasien dengan SOPK yang mengalami keguguran berulang menunjukkan adanya peningkatan kadar serum testosterone, DHEAS, Homosistein, insulin, dan PAI-Fx, dan penurunan sensitivitas insulin. Selain itu,dari penelitian ini juga menunjukkan adanya mutasi proporsi APCR dan faktor V leiden yang lebih tinggi pada pasien dengan SOPK yang mengalami keguguran berulang.31

2.6. RISIKO KARDIOVASKULAR PADA SINDROMA OVARIUM

POLIKISTIK

Ada beberapa pendapat kontroversial mengenai apakah penyakit kardiovaskular meningkat pada SOPK. Namun, ada persetujuan umum bahwa ada hubungan peningkatan faktor risiko kardiovaskular dengan SOPK. Wanita dengan SOPK, bahkan dengan usia muda, memiliki faktor risiko kardiovaskular, seperti resistensi insulin, hipertensi, gangguan kapasitas fungsional kardiopulmonal, disfungsi autonom dan inflamasi kronik tingkat rendah. Faktor risko ini meningkat dengan obesitas. Penelitian pada wanita dengan SOPK, mengindikasikan peningkatan risiko sindrom metabolik dibandingkan dengan kontrol yang sehat, disebabkan adanya resistensi insulin pada kebanyakan wanita dengan SOPK. Beberapa studi saat ini mengindikasikan bahwa insidensi sindrom metabolik pada wanita


(48)

usia reproduksi dengan SOPK berkisar 43% hingga 47%. Adanya sindrom metabolik dapat meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular, dimana sangat jelas bahwa obesitas meningkatkan risiko sindrom metabolik pada SOPK. Dahlgren dkk. memprediksi risiko relative infark miokard 7,4 pada kelompok wanita kecil dengan bukti histopatologi ovarium polikistik (PCO) dibandingkan dengan kontrol yang didasarkan pada usia.16,33,34

Gambar 2.6. Diagram skematik yang menunjukkan hubungan antara SOPK, Obesitas, dan gambaran kardiovaskular pada wanita dengan SOPK.33


(49)

Gambar 2.7. Skema hipotesa pathogenesis penyakit kardiovaskular pada SOPK. Gambar ini meringkas jalur potensial dimana faktor risiko kardiovaskular dihubungkan dengan SOPK.34

SOPK dipengaruhi oleh resistensi insulin genetik, resistensi insulin lingkungan (terkait obesitas), seperti kelainan metabolik pada kebanyakan kasus. Wanita dengan SOPK juga memiliki bukti penyakit kardiovaskular subklinis dan tampak memilki peningkatan risiko kejadian kardiovaskular dan kematian, khususnya ketika dikombinasikan dengan faktor risiko yang lain, seperti obesitas dan hipertensi. Sebagian besar wanita dengan SOPK dipengaruhi oleh sindrom metabolik, dan diabetes, merupakan faktor risiko kardiovaskular utama, dimana terjadi peningkatan empat kali lipat pada SOPK. Gambaran yang lain berhubungan dengan sindrom metabolik terjadi


(50)

pada SOPK, termasuk keadaan proinflamasi dan protrombotik, dimana keduanya memiliki hubungan dengan penyakit kardiovaskular. Mekanisme dasar peningkatan risiko kardiometabolik pada SOPK masih belum jelas, walaupun resistensi insulin merupakan suatu kandidat, penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan SOPK baik obesitas dan normal, baik hiperinsulinemia dan beberapa dengan kadar insulin yang tidak meningkat, memiliki peningkatan risiko kardiovaskular. Hiperandrogenisme (dengan resistensi insulin) juga berhubungan dengan peningkatan metabolik dan morbiditas kardiovaskular pada SOPK. Peningkatan kadar testosterone telah menunjukkan adanya faktor risiko independent untuk infark miokard dan aterosklerosis koroner. Ada beberapa laporan peningkatan penanda inflamasi pada SOPK, termasuk C-reactive protein (CRP) dan disfungsi endotel, kekakuan arteri, aterosklerosis awal sebagai indikator kerusakan kardiovaskular. Sejumlah wanita SOPK merupakan obesitas atau mengalami kelebihan berat badan yang dapat meningkatkan risiko kardiovaskular secara langsung maupun tidak langsung, dengan meningkatkan resistensi insulin, hiperandrogenisme, dislipidemia, dan aktivasi potensial sistem hemostatik.33,34,35,36

Penelitian lebih jauh diperlukan, tetapi penggunaan pil kontrasepsi juga membuat wanita dengan SOPK pada peningkatan risiko perkembangan masalah kardiovaskular yaitu melalui peningkatan risiko kejadian thrombosis arteri, disfungsi arteri, dan resistensi insulin, dimana meningkatkan risiko diabetes tipe 2. Secara potensial gangguan hemostasis juga menyebabkan


(51)

kelainan kardiometabolik pada SOPK. Walaupun tidak ada studi epidemiologis yang menunjukkan ada bukti peningkatan klinis peningkatan risiko trombotik vena, studi epidemiologis pada SOPK terbatas. Hal ini ditemukan bahwa 29% wanita SOPK memiliki riwayat keluarga positif thrombosis vena dibandingkan 8% kontrol, tetapi penelitian lebih jauh diperlukan bahwa insidensi penyakit kardiovaskular meningkat pada pasien SOPK dibandingkan kontrol. Sistem hemostasis juga secara integral berhubungan dengan dinding endotel dan pembuluh darah. Disfungsi endotel dan kelainan dinding pembuluh darah fungsional dan struktural terlihat pada SOPK juga berhubungan secara patofisiologi untuk mengganggu hemostasis pada SOPK. Pada akhirnya, peranan patofisiologis potensial bahwa faktor hemostatik berperan pada gambaran kardiometabolik mungkin dapat menjadi pengukuran terapeutik pada SOPK. Hal ini penting khususnya karena wanita menjadi obesitas, hidup lebih panjang, dan memiliki tingkat diabetes dan karena banyak wanita meninggal berhubungan dengan penyakit kardiovaskular.16,33,34,37,38,39,40

2.7. FIBRINOGEN

Fibrinogen merupakan protein plasma utama (konsentrasi normal 200 – 400 mg/dl), yang disintesa di hepatosit. Fibrinogen terdiri dari masing-masing dua dari tiga rantai polipeptida berbeda (Aα, Bβ, dan γ) dihubungkan dengan jembatan disulfide. Pemecahan rantai Aα dan Bβ thrombin untuk melepaskan masing-masing fibrinopeptida A dan B, dari ujung amino.


(52)

Setelah fibrinopeptida dilepaskan, monomer fibrin yang dihasilkan mengalami polimerisasi untuk membentuk bekuan fibrin yang larut. Fibrinogen juga menunjukkan heterogenitas karena pembelahan dalam sirkulasi, pada carboxyl termini dari rantai polipeptida, yang menimbulkan serangkaian molekul dengan berbagai ukuran. Fibrinogen dan fibrin dapat mengalami degradasi menjadi fragmen yang lebih kecil secara progresif oleh enzim proteolitik, termasuk plasmin dan neutrofil elastase. Fibrinogen merupakan fase akut reaktan dan kadarnya dapat meningkat sehubungan dengan berbagai variabel fisiologis dan kondisi inflamasi.41,42

Tabel 2.2. Faktor fisiologis, Patologis, dan Gaya hidup yang mempengaruhi kadar fibrinogen42

Peningkatan Fibrinogen

Peningkatan usia dan jenis kelamin perempuan Musim

Kehamilan dan kontrasepsi oral Wanita post menopause

Reaksi fase akut Merokok

Latihan Keganasan


(53)

Penurunan Fibrinogen

Afibrinogenemia, hifofibrinogenemia Penyakit dekompensasi hati

Hepatitis viral DIC

Hemodilusi

Variasi dari fibrinogen harus diperhitungkan ketika fibrinogen dianggap sebagai faktor risiko untuk penyakit jantung iskemik. Polimorfisme promoter gen beta fibrinogen telah dihubungkan dengan peningkatan kadar fibrinogen. Karier alel-A (sekitar 20% dari populasi) memiliki 7-10% kadar fibrinogen yang lebih tinggi dibandingkan genotip GG. Penurunan kadar fibrinogen terjadi sebagai hasil defek gen yang diturunkan, menghasilkan protein fibrinogen yang abnormal, menurun, atau tidak ada, atau sebagai akibat dari penyakit liver atau gangguan koagulasi.41,42

Dahulu, pemeriksaan fibrinogen diperlukan dalam pemeriksaan keadaan hemoragik atau dalam pemeriksaan laboratorium pada gangguan hemoragik. Beberapa senter menggunakan pemeriksaan fibrinogen bersamaan dengan prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (APTT), sebagai bagian dari skrining hemostatik umum. Pada situasi ini, kadar fibrinogen menggantikan pengunaan waktu pembekuan thrombin,


(54)

tetapi informasi yang tersedia berbeda tergantung pada tipe pemeriksaan yang digunakan.41,42,43

Kondisi yang jarang afibrinogenemia congenital, hipofibrinogenemia, dan disfibrinogenemia disebabkan oleh defek gen, menyebabkan penurunan sintesa fibrinogen dan pelepasan dan/atau spesies molekul yang abnormal. Pada afibrinogenemia, ada penurunan sintesa fibrinogen di hepar dengan fibrinogen plasma yang sangat rendah atau tidak terdeteksi, menyebabkan suatu keadaan diathesis hemoragik, dengan waktu pembekuan yang panjang dan fungsi trombosit yang abnormal. Pada hipofibrinogenemia, kadar fibrinogen di sirkulasi menunjukkan penurunan ringan hingga sedang, dan pasien mengalami asimptomatik atau memiliki masalah hemoragik. Disfibrinogenemia dikarakteristikkan dengan fungsi fibrinogen yang abnormal. Kira-kira 250 pasien dengan disfibrinogenemia telah dilaporkan pada literatur, 55% asimptomatik, 25% memiliki tendensi hemoragik, dan 20% memiliki trombofilia.42


(55)

Peningkatan kadar fibrinogen juga relevan secara klinis. Fibrinogen merupakan protein plasma utama dan, oleh karena itu, peningkatan kecil pada kadar fibrinogen akan menyebabkan dampak signifikan pada viskositas plasma, dan reologi darah. Peningkatan viskositas plasma (seperti pada sindrom hiperviskositas) telah dihubungkan dengan peningkatan risiko tromboembolisme. Pada saat ini, sejumlah studi prospektif yang besar telah menunjukkan bahwa kadar fibrinogen merupakan prediktor variasi kejadian kardiovaskular, termasuk stroke, infark miokard, iskemia pada tungkai dan reoklusi arteri pasca pembedahan.41,42

Hubungan statistik ini tetap signifikan terlepas dari tipe pemeriksaan fibrinogen yang dikerjakan, meskipun sebagian penulis telah menduga bahwa pemeriksaan imunologi mungkin lebih baik dalam memprediksi penyakit kardiovaskular dibandingkan pemeriksaan fungsional.41,42,43

Gambar 2.8. Pemecahan thrombin dari fibrinogen dan polimerisasi monomer fibrin menjadi fibrin. Suatu skema pemecahan thrombin dari fibrinogen, diikuti oleh polimerisasi monomer fibrin menjadi bentuk fibrin.43


(56)

Gambar 2.9. Bekuan darah fibrin. Bagian dari bekuan darah yang ditampilkan (sel darah merah (merah), serat fibrin (biru), agregasi trombosit (ungu))43

2.7.1 FIBRINOGEN SEBAGAI FAKTOR HEMOSTASIS

Pada pembuluh darah yang rusak, kaskade koagulasi secara cepat diaktifasi untuk menghasilkan trombin dan akhirnya untuk membentuk solid fibrin dari solublefibrinogen, memperkuat plak trombosit primer.Koagulasi dimulai dengan dua mekanisme yang berbeda, yaitu proses aktifasi kontak dan kerja dari tissue factor. Aktivasi kontak mengawali suatu rangkaian dari reaksi-reaksi yang melibatkan faktor XII, faktor XI, faktor IX, faktor VIII,prekalikrein, High Molecular Weight Kininogen (HMWK), dan platelet factor 3 (PF-3). Reaksi-reaksi ini berperan untuk pembentukan suatu enzim yang mengaktifasi faktorX, dimana reaksi-reaksi tersebut dinamakan jalur instrinsik (intrinsic pathway). Sedangkan koagulasi yang dimulai dengan tissue factor, dimana suatu interaksi antara tissue factor ini dengan faktor VII, akan menghasilkan suatu enzim yang juga mengaktifasi faktor X. Ini


(57)

dinamakan jalur ekstrinsik ( extrinsic pathway). Langkah selanjutnya dalam proses koagulasi melibatkan faktor X dan V, PF-3, protrombin,dan fibrinogen. Reaksi-reaksi ini dinamakan jalur bersama (common pathway).Jalur ekstrinsik dimulai dengan pemaparan darah ke jaringan yang luka. Disebut ekstrinsik karena tromboplastin jaringan (tissue factor) berasal dari luar darah. Pemeriksaan Protrombin Time (PT) digunakan untuk skrining jalur ini. Apabila darah diambil secara hati-hati sehingga tidak terkontaminasi cairan jaringan, darah tersebut masih membeku didalam tabung gelas. Jalur ini disebut jalur intrinsik, karena substansi yang diperlukan untuk pembekuan ada dalam darah. Jalur intrinsik dicetuskan oleh kontak faktor XII dengan permukaan asing. Partial thromboplastin time (PTT) dan activated PTT (aPTT) adalah monitor yang baik untuk jalur ini. Kedua jalur akhirnya sama -sama mengaktifasi faktor X, dan disebut jalur ber-sama.43,44


(58)

Gambar 2.10. Alur Koagulasi dan Fibrinolisis Normal45

Faktor-faktor pembekuan darah adalah glikoprotein, yang kebanyakan diproduksi dihepar dan disekresi ke sirkulasi darah. Tabel berikut ini menunjukan daftar faktor-faktor pembekuan darah yang dinyatakan dalam angka Romawi, serta sinonim dan beberapa sifat-sifatnya.44


(59)

Tabel 2.4. Daftar faktor-faktor pembekuan darah yang dinyatakan dalam angka Romawi, serta sinonim dan beberapa sifat-sifatnya44

2.7.2 FIBRINOGEN DAN SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

Wanita dengan SOPK dikarakteristikkan dengan adanya beberapa kelainan metabolik yang dapat berkembang menjadi aterosklerosis. Predisposisi untuk perkembangan menjadi aterosklerosis pada wanita dengan SOPK usia pertengahan telah diteliti oleh Talbott,dkk. Mereka mengukur ketebalan dinding carotid intima-media (CIMT) dengan ultrasonografi B-mode. Pada usia berkisar 30-44 tahun peneliti tidak menemukan perbedaan pada CIMT carotid antara kasus SOPK dan control. Pada usia ≥45 tahun, subjek dengan SOPK mengalami IMT lebih besar dari kontrol. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada ketebalan dinding carotid intima-media. Protein fase akut seperti C-reactive


(60)

protein (CRP) dan fibrinogen merupakan penanda yang mungkin berguna pada fase subklinis dari atherosklerosis. Protein fase akut dihasilkan oleh hepatosit oleh karena adanya stimulasi sitokin (terutama IL-6). Peningkatan bukti bahwa aterosklerosis merupakan proses inflamasi kronik dan karena adanya fakta ini penanda respon inflamasi seperti CRP dan fibrinogen mungkin berguna dalam penilaian risiko penyakit kardiovaskular.8,46,47

Peningkatan fibrinogen yang terjadi pada sindroma ovarium polikistik saat ini masih kontroversial diduga ada beberapa faktor yang mempengaruhinya salah satunya yaitu respon inflamasi. Sindroma ovarium polikistik saat ini diduga melibatkan proses inflamasi, oleh karena itu, fibrinogen yang terutama dihasilkan oleh hepatosit di hepar akan mengalami peningkatan sebagai respon terhadap sitokin sebagai mediator inflamasi, dan peningkatan kadar fibrinogen ini berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskular.5 Fibrinogen merupakan faktor risiko kejadian atherosklerosis, dan hal ini akan meningkatkan risiko kejadian penyakit kardiovaskular. Fibrinogen dapat memediasi efek proatherogenik dengan meningkatkan viskositas plasma, mendorong agregasi trombosit dan dengan merangsang otot polos proliferasi . Fibrinogen mempengaruhi agregasi trombosit melalui reaksinya dengan reseptor trombosit (glikoprotein kompleks IIb / IIIa). Ini adalah kunci dari reaksi pembentukan thrombus. Fibrinogen juga diketahui berhubungan dengan resistensi insulin dan peningkatannya telah diteliti terutama pada pasien dengan SOPK. Suatu meta-analisis dari enam studi epidemiologi menunjukkan hubungan


(61)

peningkatan fibrinogen dengan infark miokard akut dan stroke . Di antara studi tersebut termasuk dalam meta-analisis ini, pasien wanita dievaluasi, yang dilaporkan adanya hubungan fibrinogen secara signifikan dengan penyakit jantung koroner, tetapi tidak dengan stroke.8,46

Gambar 2.11. Hubungan dan interaksi antara fungsi endotel, aktivasi platelet dan agregasi, inflamasi, koagulasi, dan fibrinolisis pada SOPK. Beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan jumlah platelet dan fungsi abnormal, inhibisi fungsi endothel, dan inhibisi fibrinolisis pada SOPK, yaitu dengan adanya prothrombotic phenotype.16


(62)

2.8. D-DIMER

D-dimer adalah produk akhir degenerasi cross-linked fibrin oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik. Sejak 1990, tes D-dimer digunakan untuk pemeriksaan trombosis. Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya trombus, namun tidak dapat menunjukkan lokasi kelainan dan menyingkirkan etiologi-etiologi potensial lain.48

Dalam proses pembentukan bekuan normal, bekuan fibrin terbentuk pada tahap terakhir proses koagulasi. Fibrin dihasilkan oleh aktivitas trombin yang memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Fibrinogen adalah glikoprotein dengan formula Aα,Bβ, γ. Terdiri dari 3 pasang rantai polipeptida yang tidak identik dan saling beranyaman yaitu 2 rantai Aα, 2 Bβ, dan 2γ. Molekul fibrinogen adalah dimer yang diikat oleh ikatan disulfida pada bagian terminal end. Pasangan rantai Aα dan Bβ memiliki fibinopolipeptida berukuran kecil pada bagian terminal yang disebut sebagai fibrinopolipeptida A dan B.44,48

Proses perubahan fibrinogen menjadi fibrin terdiri dari 3 tahap yaitu tahap enzimatik, polimerisasi dan stabilisasi. Pada tahap enzimatik, 2 molekul fibrinopeptida A dan 2 molekul fibrinopeptida B dipecah dan fibrinogen diubah oleh trombin menjadi monomer fibrin yang larut. Tahap polimerisasi, fibrinopolipeptida A dilepas yang akan menimbulkan agregasi side to side disusul dengan pelepasan fibrinopeptida B yang mengadakan kontak dengan unit-unit monomer dengan lebih kuat dan membentuk bekuan yang tidak stabil. Tahap selanjutnya adalah stabilisasi dimana ada penambahan


(63)

trombin, faktor XIIIa dan ion kalsium (Ca2+) sehingga terbentuk unsoluble fibrin yang stabil.44,48

Trombin menyebabkan aktivasi faktor XIII menjadi XIIIa yang berperan sebagai transamidinase. Faktor XIIIa menyebabkan ikatan silang ( cross-linked) fibrin monomer yang saling berdekatan dengan membentuk ikatan kovalen yang stabil (fibrin Mesh). Rantai α dan γ berperan dalam pembentukan unsoluble fibrin yang stabil.44,48

Plasminogen yang secara normal terdapat dalam plasma akan diserap oleh fibrin. Saat di dalam fibrin, plasminogen diubah oleh tissue-plasminogen activator (tPA) menjadi plasmin. Plasmin merupakan enzim fibrinolitik utama yang berfungsi memecah fibrinogen dan fibrin yang menghasilkan bermacam-macam produk degenerasi fibrinogen (Fibrin Degradation Product / FDP). Jika plasmin melisiskan unsoluble fibrin, maka akan meningkatkan jumlah produk degradasi fibrin yang terlarut. Fibrindegradation product (FDP) yang dihasilkan berupa fragmen X, Y, D dan E. Dua fragmen D dan satu fragmen E akan berikatan dengan kuat membentuk D-dimer.44,48


(64)

Gambar 2.12.Skema Pembentukan D-dimer49

Pemeriksaan D-dimer bermanfaat untuk mengetahui pembentukan bekuan darah yang abnormal atau adanya kejadian trombotik (indirek) dan untuk mengetahui adanya lisis bekuan atau proses fibrinolitik (direk). Hasil pemeriksaan kadar D-dimer memiliki nilai sensitifitas dan nilai ramal negatif yang tinggi untuk dua keadaan tersebut.48,49,50

Indikasi pemeriksaan D-dimer yaitu disseminated intravascular coagulation (DIC), deep vein thrombosis (DVT), pulmonary embolism (PE), venous dan arterial thrombosis (VT dan AT), terapi antikoagulan dan trombolitik serta sebagai parameter tambahan pada penyakit jantung koroner. Peningkatan kadar D-dimer dapat mengindikasikan adanya proses pembekuan darah yang abnormal, namun kadarnya dapat juga meningkat dari keadaan seperti pembedahan, perdarahan, trauma kehamilan, keganasan, atau gangguan pembekuan darah abnormal pada arteri.48,50


(65)

Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa D-dimer berhubungan dengan SOPK. Pada penelitian oleh Levent et al. (2009) dijumpai bahwa pasien dengan SOPK memiliki kadar plasma dimer yang lebih tinggi. D-dimer yang merupakan turunan dari degradasi cross-linked fibrin polymer merupakan penanda spesifik peningkatan aktivitas prokoagulasi,sama halnya dengan fibrinolisis. Hasilnya, peningkatan kadar plasma D-dimer yang tinggi mengindikasikan koagulasi darah yang berlebihan dan sangat aktif.6 Namun pada penelitian oleh Kelly et al. (2002) dijumpai rerata kadar D-dimer pada kelompok SOPK lebih rendah dibandingkan dengan non SOPK. Oleh karena itu, sampai saat ini penelitian mengenai kadar D-dimer pada penderita SOPK masih relatif sedikit, sehingga bukti peningkatan atau penurunan D-dimer masih diperdebatkan.51


(66)

2.9. KERANGKA TEORI

Fibrinogen ↑↑

Fibrin Monomer ↑↑

Fibrin Degradation Products (FDP) S I N D R O M A O V A R I U M P O L I K I S T I K Hiperkoagulasi Luaran Kehamilan Risiko Kardiovaskular Risiko Abortus Atherosklerosis

D-Dimer Plasmin

Plasminogen Plasminogen

Activation Inhibitor (PAI-1) ↑↑ t-PA, u-PA

Hipofibrinolisis Aktivitas Koagulasi ↑↑


(67)

2.10. KERANGKA KONSEP PENELITIAN

SINDROMA

OVARIUM

POLIKISTIK

KADAR

D-DIMER KADAR FIBRINOGEN - Keganasan - DIC

- Kontrasepsi oral - Afibrinogenemia - Kebiasaan Merokok - Kehamilan - Hepatitis viral

- Konsumsi Vitamin - Pemakaian antikoagulan

- DIC - Trauma - DVT - Sepsis berat - Kehamilan - Hematoma - Adanya keganasan

- Sedang menjalani terapi trombolitik - Trombosis arteri

Variabel Independen Variabel Dependen


(68)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan suatu penelitian analitik komparatif dengan rancangan studi potong lintang (cross sectional).

3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP.H.Adam Malik, RS jejaring FK USU, Klinik Halim Fertility Center dan klinik swasta lain di Medan. Waktu penelitian adalah mulai dari bulan April 2014 sampai jumlah sampel minimal terpenuhi.

3.3. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1. POPULASI PENELITIAN

Populasi pada penelitian ini adalah wanita penderita sindroma ovarium polikistik di RSUP.H.Adam Malik, RS jejaring FK USU, Klinik Halim Fertility Center dan klinik swasta lain di Medan.

3.3.2. SAMPEL PENELITIAN

Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang diambil secara consecutive sampling.


(69)

Rumus untuk menentukan besar sampel pada kadar fibrinogen adalah rumus sampel analitik komparatif untuk menguji hipótesis terhadap dua rerata populasi yang independen:

n1 = n2 =

(Zα + Zβ)x S X1-X2

2

2

Dimana:

n1=n2= jumlah sampel

Zα = Nilai baku normal dari tabel Zα=0,05 Zα=1,96 Zβ = Nilai baku normal dari tabel Zβ=0,20 Zβ=0,842 X1-X2= Selisih minimal yang dianggap bermakna= 0,47

S = Simpang baku gabungan = 0,56 (dari kepustakaan Simpang baku gabungan = 0,56 merupakan simpang baku gabungan kadar fibrinogen penderita SOPK dengan tanpa SOPK5)

n1=n2= 22,1~22 orang (jumlah sampel minimal untuk setiap kelompok) n 1 = n 2=

( 1,96 + 0,842 ) x 0,56 0,47

2


(70)

Rumus untuk menentukan besar sampel pada kadar D-dimer adalah rumus sampel analitik komparatif untuk menguji hipótesis terhadap dua rerata populasi yang independen:

n1 = n2 =

(Zα + Zβ)x S X1-X2

2

2

Dimana:

n1=n2= jumlah sampel

Zα = Nilai baku normal dari tabel Zα=0,05 Zα=1,96 Zβ = Nilai baku normal dari tabel Zβ=0,20 Zβ=0,842 X1-X2= Selisih minimal yang dianggap bermakna= 37

S = Simpang baku gabungan= 39,37 (dari kepustakaan merupakan simpang baku gabungan kadar D-dimer penderita SOPK dengan tanpa SOPK6)

n1=n2= 17,7 ~18 orang (jumlah sampel minimal untuk setiap kelompok)

Dari kedua rumus besar sampel diatas maka pada penelitian ini menggunakan rumus besar sampel dengan jumlah sampel minimal yang lebih besar yaitu pada rumus besar sampel untuk kadar fibrinogen dengan

n 1 = n 2=

( 1,96 + 0,842 ) x 39,37 37

2


(71)

besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok adalah 22 orang, sehingga total sampel minimal adalah 44 orang. Namun pada penelitian ini menggunakan besar sampel untuk masing-masing kelompok sebanyak 30 orang (kelompok kasus SOPK sebanyak 30 orang dan kelompok kontrol sebanyak 30 orang),sehingga total sampel adalah 60 orang.

3.4. KRITERIA SAMPEL PENELITIAN 3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Kelompok kasus adalah wanita usia reproduksi berumur antara 20 - 35 tahun serta memenuhi kriteria Rotterdam dalam diagnosis SOPK yaitu sekurang-kurangnya terdapat 2 dari 3 kriteria berikut: oligo/anovulasi, hiperandrogenisme klinis atau biokimia, dan ovarium polikistik pada pemeriksaan sonografi.

2. Kelompok kontrol adalah wanita usia reproduksi berumur antara 20 - 35 tahun yang tidak memenuhi diagnosis SOPK yaitu tidak memenuhi kriteria Rotterdam.

3. Subjek pada kedua kelompok penelitian tidak dalam kehamilan.

4. Tidak menderita penyakit diabetes mellitus, penyakit tiroid, cushing syndrome dan hiperprolaktinemia pada subjek kedua kelompok penelitian.

5. Subjek pada kedua kelompok penelitian tidak sedang menggunakan kontrasepsi oral dalam ≤ 3 bulan terakhir.


(72)

6. Tidak ada tanda maupun riwayat keganasan pada subjek kedua kelompok penelitian.

7. Subjek pada kedua kelompok penelitian tidak merokok.

8. Tidak menderita penyakit hepatitis viral, DVT, DIC, afibrinogenemia dan riwayat trauma pada kedua subjek kelompok penelitian.

9. Tidak menderita sepsis berat dan tidak ada hematoma pada kedua subjek kelompok penelitian.

10. Subjek pada kedua kelompok penelitian tidak sedang mengkonsumsi vitamin jangka panjang.

11. Tidak adanya riwayat penggunaan antikoagulan pada kedua subjek kelompok penelitian.

12. Tidak ada riwayat trombosis arteri dan tidak sedang menjalani terapi trombolitik pada kedua subjek kelompok penelitian.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Sampel darah rusak sehingga tidak dapat diperiksa.

3.5. ETIKA PENELITIAN

Penelitian dimulai setelah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Sebelum penelitian dilakukan subjek penelitian diberitahu mengenai latar belakang penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Jika subjek menyetujui


(73)

untuk ikut penelitian ini maka subjek penelitian diminta menandatangani lembar persetujuan yang telah disediakan (informed consent).

3.6. BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Bahan untuk penelitian adalah darah wanita penderita SOPK yang datang ke poli ginekologi RSUP.H.Adam Malik, RS.jejaring FK USU, Klinik Halim Fertility Center, dan klinik swasta lain di Medan.

Cara kerja :

1. Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologi dan pemeriksaan ultrasonografi.

2. Setelah tegak diagnosis pasien penderita SOPK sesuai kriteria Rotterdam, pasien diinformasikan tentang penelitian ini dan jika bersedia maka diminta untuk menandatangani lembar persetujuan untuk menjadi subjek penelitian kemudian darah diambil ± 5cc untuk sampel penelitian dari vena mediana cubiti, kemudian dikirim ke laboratorium.

3. Dilakukan pemeriksaan fibrinogen dan D-diimer pada kedua kelompok subjek penelitian di laboratorium.

Pemeriksaan Laboratorium a) Fibrinogen

Persiapan Sampel


(1)

TABEL INDUK KASUS SOPK

N o Nama

U m ur (t hn ) Ting gi Bad an (cm) Ber at Bad an (Kg) Indeks Massa Tubuh (IMT)(kg /m2) Kri teri a IM T Oligo -atau Anov ulasi Hiper andog enism e Klinis Ova rium poli kisti k Fibri nog en (mg /dl) D-dim er (ng /ml ) Gula Darah Puasa (mg/d l) Insuli n Puas a (µU/ mL) R as io G: I Resi sten si Insu lin 1 Kristi n Dame ria Parde

de 24 157 64,5 26,2 Ov er wei ght Ya

Tidak

Ada Ya 272 130 79 10,4 7, 5 Neg atif 2 Rita

ratna 25 159 80 31,6 Ob ese Ya

Tidak

Ada Ya 278 130 93 18,3 5, 1 Neg atif 3 Nurha ini Sitoru

s 29 157 77 31,2 Ob ese Ya

Tidak

Ada Ya 206 100 86 23,9 3, 5

Posi tif

4 Lina 35 158 65 26,0 Ov er wei ght Ya

Tidak

Ada Ya 251 100 93 12,5 7, 4 Neg atif 5 Wilia

ni 28 158 60 24,0 No rm ow eig

ht Ya

Tidak

Ada Ya 281 100 82 6,89 1 1, 9 Neg atif 6 Merli

ana 34 155 63 26,2 Ov er wei ght Ya

Tidak

Ada Ya 220 100 85 4,52 1 8, 8 Neg atif 7 Sabri na Prihat

ini 26 165 85 31,2 Ob ese Ya

Tidak

Ada Ya 379 100 81 5,4 1 5 Neg atif 8 Dwifa Rakh maya

nti 28 161 54 20,8 No rm ow eig

ht Ya

Tidak

Ada Ya 264 240 85 5,16 1 6, 4

Neg atif

9 Juliet 34 173 95 31,7 Ob ese Ya

Tidak

Ada Ya 334 110 86 8,0 1 0, 7 Neg atif 1 0 Lusya na Sitang

gang 29 160 65 25,4 Ov er wei ght Ya

Tidak

Ada Ya 275 160 85 6,3 1 3, 4

Neg atif


(2)

1 1

Popp y Dewi

nta 26 165 88 32,3 Ob

ese Ya Ada Ya 437 170 82 4,0 2 0, 5

Neg atif

1 2

Vera Verda

yani 28 158 65 26,0 Ov er wei ght Ya

Tidak

Ada Ya 223 110 79 3,24 2 4, 3

Neg atif

1 3

Puspit a

Dewi 27 149 52 23,4 No rm ow eig

ht Ya

Tidak

Ada Ya 427 230 85 5,21 1 6, 3

Neg atif

1 4

Nora Dewi Tariga

n 28 151 60 26,3 Ov er wei ght Ya

Tidak

Ada Ya 352 260 104 11,0 9, 4

Neg atif

1 5

Rina Nova Simat

upang 28 158 78 31,2 Ob ese Ya

Tidak

Ada Ya 230 180 95 37,9 2, 5

Posi tif

1

6 dr.Erli 28 150 55 24,4 No rm ow eig

ht Ya

Tidak

Ada Ya 349 100 86 5,6 1 5, 3

Neg atif

1

7 Novia 21 165 70 25,7 Ov er wei ght Ya

Tidak

ada Ya 203 100 92 10,9 8, 4

Neg atif

1 8

Mery

Diana 29 160 65 25,4 Ov er wei ght Ya

Tidak

ada Ya 210 100 95 6,9 1 3, 7

Neg atif

1 9

Anika

wati 24 162 58 22,1 No rm ow eig

ht Ya

Tidak

ada Ya 343 160 86 6,9 1 2, 4

Neg atif

2

0 Beti 28 158 65 26,0 Ov er wei ght Ya

Tidak

Ada Ya 276 100 101 9,8 1 0, 3

Neg atif 2

1 Susy 30 160 80 31,2 Ob ese Ya

Tidak

Ada Ya 248 230 125 18,1 6, 9

Neg atif

2 2

Laurin a Saragi

h 21 167 88 31,6 Ob ese Ya

Tidak

Ada Ya 315 100 83 11,5 7, 2

Neg atif


(3)

2 3

Renit a Simat

upang 29 155 65 27,1 Ov er wei ght Ya

Tidak

Ada Ya 251 190 94 14,93 6, 2

Neg atif

2 4

Natali

na 31 165 76 27,9 Ov er wei ght Ya

Tidak

Ada Ya 263 200 93 15,3 6, 1

Neg atif

2

5 Henni 21 165 57 20,9 No rm ow eig

ht Ya

Tidak

Ada Ya 315 130 90 8,5 1 0, 5

Neg atif

2

6 Dewi 34 155 63 26,2 Ov er wei ght Ya

Tidak

Ada Ya 245 220 91 6,4 1 4, 2

Neg atif

2 7

Maria Siagia

n 30 155 76 31,6 Ob ese Ya

Tidak

Ada Ya 284 170 104 8,9 1 1, 6

Neg atif

2 8

Wind a Setia

wati 23 160 68 26,6 Ov er wei ght Ya

Tidak

Ada Ya 233 100 96 7,9 1 2, 1

Neg atif 2

9 Nurul

Aufa 26 151 75 32,9 Ob ese Ya

Tidak

Ada Ya 423 170 104 17,1 6, 1

Neg atif

3 0

Siti Maisa

rah 33 158 74 29,6 Ov er wei ght Ya

Tidak

Ada Ya 288 170 268 15,4 1 7, 4

Neg atif


(4)

TABEL INDUK KONTROL

N

o Nama Um

ur (thn

)

Tinggi Badan (cm)

Berat Badan (kg)

Indeks Massa Tubuh (IMT) (kg/m2 )

Kriteri a IMT

Oligo-atau Anovulasi

Hiperand rogenism e Klinis

Ovarium Polikistik

Fibrino gen (mg/dl

)

D-dimer (ng/ml)

1 Wanda 22 155 70 29,1

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 277 170

2 Mega 22 160 80 31,2 Obese Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 209 470

3 Renny Junitasa

ri 31 165 85 31,2 Obese Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 263 130

4 Rianda 26 157 63 25,6

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 349 140

5

Ryanda

Pristika 21 166 88 31,9 Obese Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 279 160

6 Dyana 26 155 75 31,2 Obese Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 386 130

7 Eva Margar

etha 26 155 62 25,8

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 259 330

8 Reni

Nazlita 27 153 72 30,8 Obese Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 274 170

9

Erwinda

Lina 26 160 75 29,3

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 233 100

1 0

Elvita Sri Wahyu

ni 27 157 78 31,6 Obese Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 423 440

1

1 Melisa 27 156 77 31,6 Obese Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 337 440

1 2

Adelina Rahmay

ani 21 156 68 27,9

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan


(5)

USG

1 4

Nurhali

mah 21 152 50 21,6

Normo

weight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 230 150

1 5

Aurora Marezk

a 28 157 70 28,4

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 372 110

1 6

Shangit

a 26 167 64 22,9

Normo

weight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 290 120

1

7 Shanta 26 156 55 22,6

Normo

weight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 244 160

1 8

Titi

Amalia 32 160 70 27,3

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 323 100

1 9

Harwee

n 26 165 72 26,4

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 340 200

2

0 Blisa 21 162 55 21,0

Normo

weight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 247 230

2

1 Eva 32 155 75 31,2 Obese Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 427 180

2

2 Shinta 21 150 65 28,9

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 361 100

2 3

Novi

Dara 21 156 70 28,8

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 340 220

2 4

Asmaul

Husna 21 156 68 27,9

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 337 260

2

5 Karsa 22 146 59 27,7

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 290 180

2

6 Serly 26 168 80 28,3

Overw

eight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 328 100

2

7 Anisya 32 153 48 20,5

Normo

weight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 266 170

2

8 Ria Suci 28 165 85 31,2 Obese Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan


(6)

2

9 Nutrisia 30 153 54 23,1

Normo

weight Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan

USG 321 280

3

0 Cyntia 21 157 80 32,5 Obese Tidak

Tidak Ada

Tidak dilakukan