Motif dan generativitas individu voluntary childlessness
MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS
SKRIPSI
Diajikan untuk memenuhi salah satu syarat
Memperoleh gelar sarjana psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Ghea Teresa
109114056
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(2)
SKRIPSI
MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS
Oleh: Ghea Teresa
109114056
Telah Disetujui oleh:
Pembimbing Utama
(3)
SKRIPSI
MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS
Disusun oleh: Ghea Teresa
109114056
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 10 September 2014 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji Tanda Tangan
1. V. Didik Suryo Hartoko, M.Si. ………..
2. Dra. L. Pratidarmanastiti, M.S. ………..
3. C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. ………..
Yogyakarta,
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Dekan,
(4)
Halaman Persembahan
Karya ini penulis persembahkan untuk Tuhan Yang Maha Esa, Papa
(Markus Johan), Mama (Erny Muksin), kedua adik (Brigita M.J. dan Gabriella
A.J.) serta Punta Indratomo yang tidak pernah bosan mendorong penulis untuk
(5)
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 6 Oktober 2014
Penulis,
(6)
MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS
Studi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Ghea Teresa
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai 1) motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak, 2) ada tidaknya generativitas pada individu voluntary childlessness serta 3) proses pembentukan generativitas individu voluntary childlessness. Data diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian skala generativitas Loyola oleh dua orang subjek yang telah menikah dan tidak ingin memiliki anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak adalah pengalaman hidup, adanya manfaat yang dirasakan, pengaruh gerakan zero growth population, karir dan alasan ekonomi. Selain itu, individu voluntary childlessness memiliki dorongan generativitas. Generativitas terbentuk melalui pengalaman masa kecil dan kehidupannya di tengah masyarakat pronatal.
(7)
THE MOTIVES AND GENERATIVITY OF VOLUNTARY CHILDLESSNESS INDIVIDUALS
A Student‟s Research
Faculty of Psychology, Sanata Dharma University
Ghea Teresa
ABSTRACT
This research is conducted to obtain the overviews about 1) The background motives of the individuals who decided not to have a child, 2) The presence of generativity in voluntary childlessness individuals, 3) The process of generativity forming of voluntary childlessness individuals. The data is collected by interviews and Loyola‟s generativity scale filling by two couples which are married and were agreed not to have any child. The result of this research shows that the background motives of the decision are life experience, the gained advantages, and because of the influence of zero growth population movement, career and economic reasons. Beside those, voluntary childlessness individuals have a tendency of generativity. Generativity is formed through the childhood experiences and their lifes among pro-natal society.
(8)
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Ghea Teresa
Nomor Mahasiswa : 109114056
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 6 Oktober 2014 Yang menyatakan,
(9)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis boleh menyelesaikan skripsi ini untuk
memenuhi salah satu syarat pemerolehan gelar Sarjana Psikologi. Penulis juga
mengucapkan banyak terima kasih untuk semua pihak yang telah bersedia untuk
terlibat dalam penelitian ini serta semua pihak yang selalu setia untuk
mendukungku hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap agar skripsi yang telah selesai ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Yogyakarta, 6 Oktober 2014
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN DATA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... x
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian... 6
(11)
A. Voluntary childlessness ... 7
B. Generativitas ... 11
C. Generativitas pada voluntary childlessness ... 17
D. Narasi dalam pembentukan generativitas pada individu voluntary childlessness ... 18
E. Pertanyaan penelitian ... 19
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 21
A. Jenis Penelitian ... 21
B. Subjek Penelitian ... 21
C. Fokus Penelitian ... 22
D. Metode Pengumpulan data ... 22
E. Metode Analisa Data ... 23
1. Analisis Deskriptif ... 23
2. Analisis Interpretatif ... 23
F. Kredibilitas Penelitian ... 24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 25
B. Subjek I ... 26
1. Deskripsi Subjek... 26
2. Analisis Deskriptif ... 27
3. Analisis Interpretatif ... 30
(12)
1. Deskripsi Subjek... 34
2. Analisis Deskriptif ... 35
3. Analisis Interpretatif ... 38
D. Ringkasan Hasil Kedua Subjek ... 41
E. Pembahasan ... 44
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 51
A. Kesimpulan ... 51
B. Keterbatasan Penelitian ... 52
C. Saran ... 52
(13)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Generativitas merupakan salah satu tahap dalam tahapan
perkembangan psikologis menurut Erikson. Pada tahap ini, seorang individu
memiliki hasrat untuk membantu generasi selanjutnya. Erikson menyatakan
bahwa generativitas merupakan tanda kematangan dan kesehatan psikologis.
Orang dewasa membutuhkan agar dibutuhkan, dan kematangan memerlukan
bimbingan dan dorongan dari anak-anak yang dilahirkan dan harus diasuh
(Erikson dalam Bunga Rampai I, 1989). Dengan kata lain, orang dewasa
memiliki keprihatinan dalam membentuk serta membimbing generasi
selanjutnya. Apabila seorang individu tidak dapat mengembangkan
generativitas maka individu tersebut akan berada pada tahap stagnasi, yaitu
keadaan dimana mereka merasa tidak melakukan apa-apa bagi generasi
selanjutnya. Dengan demikian, orang dewasa tanpa anak biasanya perlu
menemukan orang-orang muda pengganti melalui adopsi, perwalian, atau
hubungan dekat dengan anak-anak dari teman-teman dan kerabatnya agar
individu tersebut tidak mencapai tahap stagnasi (Santrock, 1985).
Tujuan pernikahan di budaya Timur sendiri memiliki fokus pada
pentingya kehadiran seorang anak (Irasistible, 2012). Selain itu, kehadiran
seorang anak juga memiliki makna tersendiri dari sudut pandang agama,
(14)
anak. Menurut Elly Nagasaputra (2013), voluntary childlessness telah
menjadi sebuah trend di kota-kota besar. Individu voluntary childlessness
biasanya memiliki pendidikan yang tinggi, bekerja penuh waktu, punya
jabatan yang tinggi, menjadi senior di tempat kerja dan memiliki pendapatan
yang besar. Selain itu, mereka juga lebih fleksibel sehingga dapat menjadi
sukarelawan. Mereka juga menjadi lebih bahagia karena bebas dan menjadi
lebih fleksibel dalam hidupnya, khususnya dalam hal menghabiskan waktu
dan privasi, relaksasi serta menikmati kebebasan (Victor J. Callan, 1987;
Heller, Tsai, & Chalfant; Jacobson & Heaton; Rovi, dalam Abma, J. &
Martinez, G., 2006).
Keputusan individu untuk menjadi voluntary childlessness memiliki
beberapa konsekuensi, baik dalam bentuk yang positif maupun negatif
(Doyle, J.E., Pooley, J., & Breen, L., 2012). Konsekuensi positif yang didapat
berupa dukungan serta penerimaan dari lingkungan sekitar. Sedangkan
konsekuensi negatif muncul dalam bentuk tekanan serta diskriminasi yang
didapat dari keluarga, teman dan masyarakat. Tekanan yang didapatkan
biasanya berupa komentar dari lingkungan yang menilai bahwa ada hal yang
salah dengan mereka karena memilih untuk tidak memiliki anak. Selain itu,
diskriminasi biasanya didapat dalam dunia kerja, seperti adanya harapan
untuk dapat bekerja lebih lama serta dapat menyelesaikan pekerjaan para ibu
yang harus pulang lebih awal untuk merawat anak. Keputusan yang diambil
tersebut serta didukungya kenyataan bahwa mereka cenderung sukses di
(15)
memunculkan beberapa stereotype, yakni voluntary childlessness merupakan
individu yang egois, matrelialistis, belum dewasa dan dingin (Kopper &
Smith; Mueller & Yoder; LaMastro; Lampman & Dowling-Guyer dalam
Giles, Shaw & Morgan, 2009). Stereotype yang muncul seakan menghakimi
bahwa individu voluntary childlessness berada pada tahap stagnasi, yaitu
tahap dimana individu tidak peduli terhadap siapapun. Perlu diketahui bahwa
menjadi orang tua bukanlah jaminan seseorang dapat mencapai tahap
generativitas, sebab menjadi orang tua hanya merupakan salah satu cara untuk
mencapai generativitas (Rothrauff, T. & Cooney, T.M., 2008). Selain itu,
ketika individu menginginkan bahkan memiliki anak, belum tentu individu
tersebut dapat mencapai generativitas (Erikson dalam Bunga Rampai I, 1989).
Generativitas dapat bersumber dari terlibatnya individu dalam beberapa
peran, seperti menjadi kepala keluarga, pemimpin dalam organisasi dan
komunitas (Staudinger & Bluck dalam Human Development, 2008).
Kotre (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa terdapat empat bentuk
generativitas yang merepresentasikan berbagai macam cara dalam
mengekspresikan generativitas, yakni generativitas biologis, generativitas
parental, generativitas kultural dan generativitas teknis. Generativitas biologis
akan berkembang ketika orang dewasa mengandung dan melahirkan anak.
Generativitas parental akan berkembang ketika orang dewasa mengasuh dan
membesarkan anak. Selain itu, generativitas kultural akan berkembang ketika
orang dewasa menciptakan, merenovasi atau memelihara kebudayaan yang
(16)
ketika individu mengembangkan keahlian yang akan diturunkan kepada orang
lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa saat ini semakin
banyak jumlah pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Keputusan
untuk tidak memiliki anak tersebut memunculkan stereotype yang
mencerminkan bahwa voluntary childlessness berada pada tahap stagnasi.
Padahal, orang dewasa dapat mengekspresikan generativitas melalui banyak
cara, seperti menjadi orang tua, pemimpin, pengajar, serta bergabung dalam
kegiatan-kegiatan sosial. Meskipun demikian, adapula motif yang
mencerminkan bahwa individu voluntary childlessness berada pada tahap
generativitas, seperti tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi atau
tidak ingin mengulangi gaya pengasuhan yang salah. Oleh sebab itu, peneliti
tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai motif yang melatarbelakangi
individu untuk tidak memiliki anak, ada tidaknya generativitas pada individu
voluntary childlessness serta proses pembentukan generativitas individu
voluntary childlessness.
Penelitian mengenai generativitas pada voluntary childlessness masih
perlu untuk dilakukan karena kebanyakan penelitian yang dilakukan pada
voluntary childlessness merupakan penelitian yang menawarkan tentang
komentar umum mengenai gaya hidup, refleksi diri, proses pengambilan
keputusan serta perilaku atau cara mengatasi masyarakat pronatal (Mawson,
D.L., 2005). Selain itu, penelitian mengenai individu voluntary childlessness
(17)
mengenai individu voluntary childlessness penting untuk dilakukan di budaya
Timur sebab salah satu tujuan utama dari pernikahan di budaya timur adalah
menghasilkan keturunan (Irasistible, 2012). Sehingga, apabila memutuskan
untuk tidak memiliki anak pada budaya Timur, maka individu tersebut akan
mendapatkan tekanan yang lebih besar daripada memutuskan untuk tidak
memiliki anak pada budaya Barat. Dengan demikian, peneliti tertarik untuk
melihat motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak, ada
tidaknya generativitas pada individu voluntary childlessness serta proses
pembentukan generativitas individu voluntary childlessness.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apa saja motif yang melatarbelakangi individu voluntary childlessness untuk tidak memiliki
anak?”, “apakah individu voluntary childlessness memiliki dorongan
generativitas?” dan “bagaimana proses pembentukan generativitas pada individu voluntary childlessness?”.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran
mengenai motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak,
ada tidaknya generativitas pada individu voluntary childlessness serta proses
(18)
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan dalam bidang Psikologi Perkembangan,
khususnya dalam hal generativitas pada individu voluntary childlessness
sehingga dapat menambah informasi bagi peneliti selanjutnya. Selain itu,
hasil dari penelitian ini dapat menambah informasi dan menjawab
keterbatasan penelitian sebelumnya mengenai generativitas pada voluntary
childlessness.
2. Manfaat Praktis
Menambah pengetahuan bagi para psikolog yang bekerja sebagai seorang
konselor mengenai generativitas pada voluntary childlessness sehingga
(19)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Voluntary Childlessness
Keadaan belum memiliki anak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
involuntary childlessness dan voluntary childlessness (Mc. Quillan, Greil,
White, & Jacob dalam Cahyani, 2013). Involuntary childlessness adalah
sebuah keadaan dimana pasangan belum memiliki anak dan berharap
nantinya akan memiliki anak, sedangkan voluntary childlessness, adalah
sebuah keadaan dimana pasangan yang belum memiliki anak disebabkan
keinginan pasangan tersebut yang dapat dikarenakan beberapa hal, misalnya
saja ingin lebih memikirkan karir.
Samantha A. Kwon (2005) dalam ulasan literaturnya menyebutkan
bahwa terdapat lima macam motif yang mempengaruhi individu dalam
mengambil keputusan sebagai voluntary childlessness, seperti ekonomi,
feminisme, zero polulation growth, pengalaman hidup serta manfaat yang
dirasakan.
1. Ekonomi
Salah satu hal yang menyebabkan seseorang memilih untuk menjadi
voluntary childlessness adalah alasan ekonomi (Gillespie; Hird &
Abshoff; Seccombe dalam Kwon, 2005). Individu voluntary
(20)
sehingga mereka cenderung mendapatkan pekerjaan sebagai seorang
profesional dan memiliki jabatan yang bagus di tempatnya bekerja.
Selain itu, para voluntary childlessness memiliki kebutuhan untuk dapat
berekreasi, memperoleh harta benda dan mempertahankan gaya
hidupnya. Mereka percaya bahwa kehadiran seorang anak dapat
menghambat mereka untuk memenuhi kebutuhannya, sebab mereka perlu
untuk mengeluarkan biaya dalam mengurus anak (Cameron; hird &
Abshoff dalam Kwon, 2005). Oleh sebab itu, mereka memilih untuk
tidak memiliki anak.
2. Feminisme
Faktor lainnya yang juga memiliki pengaruh dalam pengambilan
keputusan adalah feminisme. Tujuan dari gerakan feminisme adalah
membebaskan kaum perempuan dari masalah penindasan. Tujuan
tersebut memungkinkan bagi kaum perempuan untuk secara bebas dapat
memilih pilihan reproduksi (Campbell dalam Kwon, 2005).
3. Zero population growth
Zero population growth merupakan sebuah gerakan sosial politik yang
membuat masyarakat menjadi sadar akan ledakan populasi sehingga
memunculkan kekhawatiran bahwa akan terjadi kekurangan sumber
daya. Dengan demikian, gerakan ini memberikan dorongan bagi
(21)
tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi. Selain itu, gerakan
tersebut juga membenarkan keputusan menjadi voluntary childlessness
(Campbell; Connidis & McMulIIn; Hird & Abshoff; Mei dalam Kwon,
2005).
4. Pengalaman hidup
Pengalaman hidup seseorang juga dapat menjadi dasar pengambilan
keputusan untuk menjadi voluntary childlessness. Park dalam Giles,
Shaw & Morgan (2009) menekankan bahwa pengalaman buruk pada
masa kanak-kanak dapat memicu seseorang untuk memilih tidak
memiliki anak. Pengalaman buruk tersebut biasanya berupa pengalaman
yang traumatik dimana mereka menjadi saksi bahkan menjadi korban
kekerasan dalam keluarganya. Dengan demikian, individu tersebut
memilih untuk menjadi voluntary childlessness sebab mereka ingin
menghentikan serta tidak ingin mengulang kembali kekerasan tersebut
(Charmichael & Whittakr, 2007). Selain itu, pengalaman mereka tentang
kesulitan dalam mengurus seorang anak juga dapat memunculkan
kekhawatiran akan ketidakmampuan dirinya dalam memenuhi standar
sebagai orang tua yang baik (Cameron, Landa, May dalam Kwon, 2005).
Selain itu, pengalaman tersebut juga membuat mereka menjadi takut dan
cemas untuk mengulangi gaya pengasuhan yang kurang baik (Hird &
(22)
5. Manfaat yang dirasakan dari pengambilan keputusan sebagai voluntary childlessness
Keputusan individu untuk menjadi voluntary childlessness memiliki
beberapa konsekuensi, baik dalam bentuk yang positif maupun negatif
(Doyle, J.E., Pooley, J., & Breen, L., 2012). Konsekuensi positif yang
didapat berupa dukungan serta penerimaan dari lingkungan sekitar.
Sedangkan konsekuensi negatif muncul dalam bentuk tekanan serta
diskriminasi yang didapat dari keluarga, teman dan masyarakat. Tekanan
yang didapatkan biasanya berupa komentar dari lingkungan yang menilai
bahwa ada hal yang salah dengan mereka karena memilih untuk tidak
memiliki anak. Selain itu, diskriminasi biasanya didapat dalam dunia
kerja, seperti adanya harapan untuk dapat bekerja lebih lama serta dapat
menyelesaikan pekerjaan para ibu yang harus pulang lebih awal untuk
merawat anak. Adapula stereotype yang muncul mengenai volunta ry
childlessness, yaitu mereka merupakan individu yang egois,
matrelialistis, belum dewasa dan dingin (Kopper & Smith; Mueller &
Yoder; LaMastro; Lampman & Dowling-Guyer dalam Giles, Shaw &
Morgan, 2009). Meskipun mereka mendapatkan tekanan dan
diskriminasi, banyak voluntary childlessness yang dapat merasakan
manfaat dari keputusan mereka untuk tidak memiliki anak. Manfaat yang
mereka rasakan berupa kebebasan, khususnya dalam hal menghabiskan
waktu untuk diri sendiri maupun dengan pasangan (Kwon, S.A., 2005).
(23)
terhadap hubungan pernikahannya sebab mereka dapat lebih mudah
menjaga keintiman serta kenyamanan dalam relasinya dengan pasangan.
Bagi volunta ry childlessness, kehadiran seorang anak dapat mengubah
hubungan mereka dengan pasangannya. Selain itu, mereka cenderung
lebih fleksibel dalam membagi waktunya untuk diri sendiri, pasangan,
keluarga, teman, pekerjaan, hobi serta bergabung dalam kegiatan sebagai
sukarelawan atau pekerjaan sebagai seorang penolong yang dapat
membuat kehidupan orang lain menjadi lebih baik. Dengan demikian,
mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk mencapai tujuan hidup
(Majumdar, D., 2004; Victor J. Callan, 1987; Heller, Tsai, & Chalfant;
Jacobson & Heaton; Rovi, dalam Abma, J. & Martinez, G., 2006; Doyle,
J.E., Pooley, J., & Breen, L., 2012).
B. Generativitas
Ketika individu memasuki usia dewasa madya (35-60 tahun), individu
tersebut berada pada tahap ketujuh dalam tahapan perkembangan psikososial
Erikson, yaitu tahap generativitas versus stagnasi. Generativitas adalah
perhatian orang dewasa untuk membentuk dan membimbing generasi
selanjutnya (Erikson dalam Papalia, 2008). Generativitas muncul ketika
individu memiliki kebutuhan untuk dibutuhkan yang dikombinasikan dengan
tuntuan eksternal dalam bentuk peningkatan harapan dan tanggung jawab
yang dapat menghasilkan kesadaran akan generasi selanjutnya (McAdams
(24)
ketertarikan dalam membuat kontribusi dan mengarah pada kehidupan yang
produktif (Hamachek dalam Lemme, 1995). Berkurangnya tanggung jawab
dalam keluarga dapat membebaskan seseorang untuk mengekspresikan
generativitas pada skala yang lebih luas (Papalia, 2008). Ketika individu tidak
menemukan saluran untuk mengembangkan generativitas maka individu
tersebut akan mengalami stagnasi, dimana individu akan terfokus pada
kebutuhan dan kepentingan pribadinya hingga memanjakan dirinya sendiri
seolah-olah dirinya adalah anak sendiri.
Generativitas merupakan aspek yang penting dalam perkembangan
psikososial dewasa madya dan dapat diekspresikan melalui banyak cara.
Munculnya generativitas dapat dipengaruhi oleh harapan sosial serta
keterlibatannya dalam berbagai peran (Staudinger & Bluck dalam Papalia,
2008). Kotre (1984) menyebutkan bahwa terdapat empat macam bentuk
generativitas, yaitu generativitas biologis, generativitas parental, generativitas
teknis dan generativitas kultural. Terlepas dari bentuknya, orang dewasa
dapat mengekspresikan generativitas melalui dua cara, yaitu communal dan
agentic (Kotre dalam Papalia, 2008). Cara communal merupakan cara yang
mengandung perhatian dan pengasuhan terhadap orang lain, sedangkan cara
agentic dilakukan dengan cara memberi kontribusi personal kepada
(25)
1. Generativitas Biologis
Generativitas biologis dapat berkembang ketika seseorang
memiliki rencana untuk menghasilkan keturunan dan merawatnya. Target
dalam generativitas biologis adalah bayi yang baru lahir. Generativitas
biologis berlangsung setelah periode pembuahan hingga tahun pertama
kehidupan seorang anak. Dalam periode ini, orang tua menyediakan
makanan yang diperlukan oleh anak untuk menjamin kelangsungan hidup
anak mereka (McKeering, H. & Pakenham, K.I., 2000). Erikson (dalam
Scoklitsch, A., 2012) menekankan bahwa generativitas melibatkan
kemampuan seseorang untuk memberikan keturunan, produktivitas dan
kreativitas sehingga orang dewasa diharapkan dapat melahirkan,
mengasuh serta membimbing generasi yang lebih muda. Generativitas
biologis sama halnya dengan istilah prokreativitas yang diutarakan oleh
Erikson, dimana seseorang menghasilkan keturunan dan merawatnya.
Salah satu bentuk perilaku yang mengekspresikan generativitas adalah
orang dewasa memiliki ketertarikan untuk memiliki keturunan dan
merawat anaknya sendiri (Hamachek dalam Lemme, 1995).
2. Generativitas Parental
Generativitas parental berkembang ketika seseorang mengasuh
anak-anak. Pengasuhan yang dimaksud dapat diekspresikan melalui
memberi makan, memberikan pakaian, melindungi, mencintai,
(26)
keluarga. Pada penelitian sebelumnya, Pratt, Norris, Arnold dan Flyer
(1999) menyatakan bahwa generativitas berkaitan dengan kepentingan
orang dewasa dalam mensosialisasikan nilai-nilai kepada orang muda.
Selain itu, Hart, McAdam, Hirsch dan Bauer (2001) juga menunjukkan
bahwa individu yang generatif memiliki kesadaran dimana mereka
memiliki tugas sebagai guru dan panutan bagi anak-anak mereka. Cara
seseorang merawat anak dapat memperluas generativitas sosial
(McKeering dan Pakenham, 2000). Misalnya, ketika seorang individu
memiliki keprihatinan pada perkembangan sosial emosi anaknya, maka
individu tersebut juga memiliki keprihatian pada kesejahteraan umum
masyarakat. Seseorang dapat sukses dalam mengembangkan generativitas
apabila upayanya dalam merawat anak berjalan dengan baik dan
menghasilkan hubungan yang dekat dengan anak (Snarey, 1993).
3. Generativitas Teknis
Generativitas teknis berkembang ketika seseorang mengajarkan
sebuah keterampilan dalam melakukan sesuatu, seperti cara membaca,
cara memancing, cara bermain biola dan sebagainya. Erikson menyatakan
bahwa generativitas dapat dikembangkan dengan cara mengajar
(Christiansen, S. L. & Palkovitz, R., 1998). Melalui generativitas teknis,
guru mewariskan keterampilan pada siswa mereka. Dengan melakukan
identifikasi pada diri siswa, maka guru tersebut dapat menemukan bahwa
(27)
lalunya mengenai kemampuan yang dimilikinya serta menyadari bahwa
kemampuan tersebut dapat diperluas di masa depan (Weber, S., 1990).
4. Generativitas Kultural
Generativitas kultural mengacu pada pelestarian, perbaharuan, atau
menciptakan sebuah budaya yang kemudian akan ditinggalkan pada
generasi selanjutnya. Budaya merupakan hal yang sangat beragam dan
manusia hidup di dalam keberagaman tersebut. Dengan demikian, seorang
anak perlu untuk ditanamkan budaya agar dapat bertahan hidup. Dalam
domain budaya, seseorang tidak hanya mengajarkan bagaimana
melakukan sesuatu tetapi juga memberitahu mereka tentang sebuah
keyakinan, nilai-nilai apa yang perlu mereka pertahankan, teori- teori,
serta hal-hal apa saja yang mereka jiwai. Budaya yang dimaksud dapat
berupa tradisi sebuah suku dan agama, serta kelompok yang dibentuk
untuk menolong diri seseorang, seperti para pecandu alkohol, gerakan para
penginjil atau komunitas ideologis (Manheimer, R.J., 1995). Generativitas
kultural tidak hanya berpusat pada kelangsungan hidup secara fisik, namun
juga pada perkembangan psikologis dan moral. Erikson (dalam Kotre,
1999) juga menyatakan bahwa yang menjadi pusat perhatian bukanlah
pada perkembangan hidup fisik seorang anak, melainkan pada
perkembangan psikosial mereka, yaitu perkembangan pada tahap
kepercayaan, otonomi, inisiatif dan industri. Dengan demikian, orang tua
(28)
dalam hidupnya sehingga dapat memberikan penjelasan kepada anak
mengenai makna yang ada dibalik perilaku anak tersebut, sebab anak
memerlukan sebuah kerangka yang dapat dipercaya dari sebuah budaya.
Lebih lanjut, Mc.Adams (1992) menyebutkan terdapat tiga macam
aspek yang dapat digunakan untuk mengukur generativitas, yakni
komitmen, perilaku generatif dan naratif.
1. Komitmen
Komitmen dalam perilaku generativitas muncul karena adanya
pengaruh dari tuntutan budaya, dorongan dari dalam diri, perhatian serta
adanya rasa percaya pada harapannya untuk memajukan serta
memperbaiki kehidupan generasi selanjutnya. Keempat hal tersebut akan
memunculkan rasa tanggung jawab sehingga individu berani mengambil
keputusan serta menjalankan tujuannya yang bersifat generatif.
Untuk mengukur komitmen seseorang dalam berperilaku generatif,
skala yang digunakan adalah skala generativitas loyola yang dirancang
oleh para peneliti di Pusat Foley. Pada awalnya, skala ini memiliki 39
item. Namun, setelah dilakukan pengujian, didapat 20 item terbaik.
Masing-masing item dari 20 pernyataan tersebut menunjukkan bahwa item
tersebut memiliki variabilitas yang luas di setiap respons, memiliki
korelasi yang tinggi dengan skor total LGS dan memiliki korelasi yang
tinggi dengan pengukuran eksternal generativitas. Koefisien alpha
(29)
item merupakan item yang handal atau reliabel. Dalam menskor skala
tersebut, digunakan angka 0-3. Individu diminta untuk memutuskan
seberapa dekat pernyataan-pernyataan yang ada dengan dirinya. Angka 0
jika tidak sama sekali, angka 1 jika kadang-kadang atau jarang, angka 2
jika cukup sering dan angka 3 jika sangat sering atau hampir selalu.
2. Aksi/ Perilaku Generatif
Dalam perilaku generatif, seseorang akan menjadi kreatif dan
produktif sehingga menghasilkan hal atau orang. Idealnya, perilaku
generatif berkaitan langsung dengan komitmen. Perilaku yang termasuk
dalam perilaku generatif adalah membuat, memelihara, dan memberikan
penawaran pada orang lain.
3. Narasi
Pada aspek narasi, orang-orang dewasa mendefinisikan dirinya di
dalam masyarakat. Definisi tersebut dibuat dengan membentuk suatu
dongeng atau kisah hidup (McAdams & de St. Aubin, 1992). Narasi
digunakan untuk membantu seseorang dalam memahami kehidupan yang
merupakan sebuah proses berkesinambungan dalam perkembangan diri
(30)
C. Generativitas pada Voluntary Childlessness
Generativitas adalah perhatian orang dewasa untuk membentuk dan
membimbing generasi selanjutnya. Dengan kata lain, orang dewasa memiliki
keprihatinan dalam membentuk serta membimbing generasi yang lebih muda.
Generativitas berkembang pada usia dewasa madya. Orang dewasa tanpa
anak bisa berhasil melewati tahap generativitas, sebab menjadi orang tua
hanya merupakan salah satu cara untuk mencapai generativitas.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa generativitas pada
voluntary childlessness dapat dikembangkan melalui berbagai macam cara.
Hal tersebut nampak pada motif yang mempengaruhi mereka dalam
mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak, seperti bergabung dalam
kegiatan sebagai sukarelawan, berprofesi sebagai seorang penolong yang
dapat membuat kehidupan orang lain menjadi lebih baik, tidak ingin
mengulang kembali kekerasan yang diakibatkan oleh gaya pengasuhan yang
salah serta tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi yang dapat
menyebabkan kurangnya sumber daya.
D. Narasi dalam pembentukan Generativitas Pada Individu Voluntary Childlessness
Pada masa paruh baya, orang-orang dewasa akan merevisi kisah
hidup (McAdams dalam Papalia, 2008) serta memutuskan kontinuitas dan
koherensi kisah hidup tersebut (Rosenberg et al. dalam Papalia, 2008).
(31)
yang perlu untuk dipahami. Dan untuk memahami identitas yang dipandang
sebagai kisah hidup tersebut, dapat digunakan narasi. Sebab, fungsi utama
narasi adalah menata sesuatu yang tidak tertata. Melalui narasi, kita dapat
menangkap keteraturan pada sesuatu yang kelihatannya tidak teratur (Murray
dalam Smith, 2009).
Erikson dalam Papalia (2008) menyatakan bahwa generativitas
merupakan sebuah aspek dari pembentukan identitas dan identitas terkait erat
dengan komitmen serta peran sosial. Meskipun Erikson mengatakan bahwa
pembentukan identitas merupakan masalah utama masa remaja, dia juga
mengatakan bahwa identitas akan terus berkembang (Papalia, 2008). Hal
tersebut didukung oleh pandangan beberapa ahli yang mengatakan bahwa
proses pembentukan identitas merupakan isu pokok dalam masa dewasa
(McAdams & de St. Aubin dalam Paplia, 2008). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pembentukan identitas yang terjadi pada masa dewasa
madya adalah pembentukan generativitas. Ketika individu menjadi semakin
tua, generativitas dapat menjadi tema penting dalam kisah hidupnya. Naskah
generativitas dapat memberikan akhir yang bahagia untuk kisah kehidupan
tersebut.
Naskah yang dibuat tersebut didasari oleh keyakinan bahwa tindakan
generatif dapat menghasilkan perbedaan dan hasil dari tindakan generatif
tersebut dapat bertahan sampai individu tersebut meninggal (McAdams
dalam Papalia, 2008). Dengan demikian, orang-orang akan mengikuti naskah
(32)
(McAdams, Diamon, de. St. Aubin, & Mansfield dalam Papalia, 2008).
Orang dewasa yang generatif biasanya menuturkan kisah komitmen dan telah
menikmati hidup yang lebih baik serta memiliki keinginan untuk
meringankan penderitaan orang lain (McAdams dalam Papalia, 2008).
E. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah “apa saja motif yang melatarbelakangi individu voluntary childlessness untuk tidak memiliki
anak?”, “apakah individu voluntary childlessness memiliki dorongan
generativitas?” dan “bagaimana proses pembentukan generativitas pada
(33)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian (Moleong, 2012). Tujuan
dari penelitian kualitatif adalah untuk menggali lebih dalam serta
memahami permasalahan seorang individu maupun kelompok (Creswell
dalam Herdiansyah, 2010).
B. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini merupakan individu dewasa madya
yang berusia 35-60 tahun. Teknik yang digunakan dalam pencaharian
subjek adalah criterion sampling, yaitu teknik pemilihan subjek
berdasarkan kriteria yang dibuat oleh peneliti. Kriteria yang digunakan
dalam memilih subjek adalah individu yang memilih untuk tidak memiliki
anak dan sudah menikah. Peneliti memilih individu yang telah menikah
karena adanya asumsi bahwa tuntutan untuk memiliki anak pada individu
yang telah menikah jauh lebih besar daripada individu yang belum atau
(34)
C. Fokus Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah pengalaman hidup individu
voluntary childlessness di tengah masyarakat pronatal. Pengalaman hidup
yang dimaksud berupa pengalaman ketika individu mengambil keputusan
untuk hidup tanpa anak serta pengalaman ketika menjalani keputusan
tersebut di tengah masyarakat pronatal hingga saat ini. Selain itu,
penelitian ini juga akan memberikan gambaran mengenai keberadaan
dorongan generativitas pada individu voluntary childlessness serta proses
terbentuknya dorongan generativitas tersebut.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode yang akan digunakan untuk mengumpulkan data pada
penelitian ini adalah metode wawancara. Menurut Gorden (dalam
Herdiansyah, 2009), wawancara merupakan percakapan antara dua orang,
dimana salah satu individu mencoba untuk menggali dan mendapatkan
informasi sesuai dengan tujuan tertentu. Wawancara yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Menurut
Herdiansyah (2009), ciri-ciri wawancara semi terstruktur adalah
menggunakan pertanyaan terbuka, kecepatan wawancara dapat diprediksi,
pertanyaan maupun jawaban lebih fleksibel namun terkontrol, adanya
pedoman wawancara yang dapat dijadikan patokan saat wawancara
berlangsung, serta bertujuan untuk memahami suatu fenomena tertentu.
(35)
(LGS) untuk menambah informasi mengenai komitmen individu voluntary
childlessness dalam pengambilan keputusan serta berperilaku generatif.
E. Metode Analisa Data
Metode yang digunakan untuk menganalisa data dalam penelitian
ini adalah metode analisis naratif. Menurut Murray dalam Smith (2009),
terdapat dua langkah yang dilakukan untuk menganalisa data mentah yang
telah didapatkan, yaitu:
1. Analisis Deskriptif
Hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu dalam analisis deskriptif
adalah membuat sebuah ringkasan yang terdiri dari alur cerita awal,
tengah dan akhir. Tujuan dari membuat ringkasan adalah untuk
memungkinkan bagi peneliti dalam memperoleh gagasan mengenai
isu-isu utama yang muncul (Mishler dalam Smith, 2009). Kerangka
yang telah dibuat memungkinkan peneliti untuk menangkap makna
menyeluruh dari berbagai narasi yang ada, serta beragam isu
khusus yang muncul pada masing-masing narasi.
2. Analisis Interpretatif
Analisis interpretatif merupakan tahap kedua dalam analisis naratif.
(36)
dengan literatur teoretis untuk menginterpretasi kisah yang
berssangkutan.
F. Kredibilitas Penelitian
Kredibilitas dalam penelitian kualitatif merupakan pemeriksaan
terhadap keakuratan hasil penelitian dari sudut pandang peneliti, partisipan
dan pembaca (Creswell & Miller dalam Creswell, 2012). Dalam penelitian
ini, kredibilitas dicapai melalui triangulasi sumber dan triangulasi teori.
Triangulasi sendiri merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan
peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data (Rahardjo, 2010).
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara menggali kebenaran informasi
tertentu melalui berbagai sumber data (Rahardjo, 2010). Dalam penelitian
ini, triangulasi sumber dilakukan untuk memperoleh keyakinan bahwa
subjek benar-benar merupakan individu voluntary childlessness.
Sedangkan triangulasi teori dilakukan dengan cara menyertakan penjelasan
(37)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian
Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti melakukan persiapan
terlebih dahulu. Pertama-tama, peneliti mencari subjek yang sesuai dengan
kriteria subjek dalam penelitian ini. Peneliti mendapatkan subjek yang
sesuai dengan kriteria melalui teman dan keluarga. Peneliti segera
menghubungi ketiga subjek tersebut untuk menjelaskan tujuan dari
penelitian ini serta menanyakan kebersediaannya untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini. Setelah ketiga subjek tersebut bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti segera menentukan waktu dan
tempat bertemu dengan mereka. Berikut jadwal bertemu subjek dengan
peneliti:
Tabel 2. Jadwal wawancara dan pengisian skala
No. Subjek Hari,Tanggal Waktu Tempat
1. B Sabtu, 17 Mei 2014 17.00-19.00 Rumah subjek 2. T Jumat, 23 Mei 2014 14.00-14.30 Rumah subjek 3. P Senin, 26 Mei 2014 11.00-13.00 Rumah subjek
Wawancara yang terlaksana direkam dengan menggunakan digital
recorder. Proses wawancara dengan subjek pertama berjalan dengan
lancer. Subjek dapat bercerita panjang lebar dengan mudah kepada
peneliti. Beberapa hari kemudian, peneliti menemui subjek kedua untuk
(38)
kedua terpaksa harus peneliti gugurkan karena subjek kedua tidak masuk
dalam kriteria subjek yang telah peneliti tentukan sebelumnya. Sama
seperti proses wawancara dengan subjek pertama, proses wawancara
dengan subjek ketiga juga berjalan dengan lancar. Setelah wawancara
selesai, peneliti kemudian membuat verbatim yang sesuai dengan deskripsi
yang telah subjek sebutkan sebelumnya serta melakukan analisis dari
deskripsi tersebut.
B. SUBJEK I
1. Deskripsi Subjek
B merupakan seorang perempuan yang berusia 35 tahun. Saat
ini B tinggal terpisah dengan suaminya karena tuntutan pekerjaan.
Meskipun demikian, B dan suaminya telah berkomitmen untuk
bertemu setiap 3 bulan 1 kali selama 1 bulan penuh. B bekerja di
Jakarta sedangkan suami B bekerja di Paris. Saat ini B bekerja di Bank
Dunia di program nasional pemberdayaan masyarakat. B telah
memutuskan untuk tidak memiliki anak sejak B masih duduk di
bangku kuliah. Sebelum bertemu dengan lelaki yang saat ini menjadi
suami B, B sempat menjalin sebuah relasi romantis dengan salah
seorang lelaki selama 8 tahun. Namun, hubungan tersebut harus
berakhir karena lelaki tersebut tidak mendukung keinginan B untuk
tidak memiliki anak. Meskipun demikian, B kemudian bertemu dengan
(39)
pertamanya dengan lelaki tersebut, B menceritakan permasalahan yang
terjadi pada dirinya dan menemukan kecocokan dengan lelaki tersebut.
B merasa cocok dengan lelaki tersebut karena mereka memiliki jalan
pikiran yang sama, khususnya dalam hal pengambilan keputusan untuk
tidak memiliki anak. Karena kecocokan tersebutlah, B menikah dengan
lelaki itu.
2. Analisis Deskriptif a. Awal
Dalam wawancara, B menceritakan bahwa ketika B masih
kecil, B tidak mendapatkan haknya sebagai seorang anak untuk
diasuh oleh kedua orang tuanya. B menganggap pengalaman masa
kecilnya merupakan pengalaman yang menyakitkan. Pengalaman
tersebut berpengaruh besar pada pengambilan keputusan B untuk
tidak memiliki anak. B merupakan individu yang senang memiliki
banyak kegiatan dan masih ingin meniti karirnya. Saat itu B
memiliki pekerjaan yang menuntutnya untuk selalu berpergian. B
menyadari bahwa memiliki anak merupakan tanggung jawab yang
besar sehingga apabila B memiliki anak, B akan terpaksa diam
dirumah dan harus berhati-hati dalam memilih kegiatan. Oleh
sebab itu, B mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak
karena B menyadari bahwa pekerjaan yang ia pilih tidak sejalan
(40)
mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada
anaknya apabila B memiliki anak.
b. Tengah
Selama menjalankan pilihannya untuk tidak memiliki
anak, B sering mendapatkan pertanyaan-pertanyaan seputar anak
dari lingkungan sekitar. Pada awalnya, B masih sangat
bersemangat untuk menjelaskan kepada mereka mengenai
alasannya memilih tidak memiliki anak. Namun, saat ini B tidak
begitu bersemangat lagi dan lebih memilih untuk memberikan
jawaban yang diharapkan oleh lingkungan. “Harus belajar ngeles, sama orang harus dapetin jawaban yang mereka mau”.
Ibu B sempat tidak menyetujui keputusan B tersebut.
namun, perlahan-lahan ibu B mulai menyadari bahwa B tidak
ingin menyusahkan ibunya sehingga ibu B mendukung keputusan
B. Ketidakpedulian B pada komentar lingkungan sekitar serta
Adanya dukungan dan upaya dari sang ibu agar B terhindar dari
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keluarga besar,
membuat B semakin berpegang teguh pada pilihannya. “Mau ngomong apa juga bodo. Hahaha. Hidupku. Hahaha. Yang penting
kan keluarga”.
Tak hanya bergantung pada usaha sang ibu, B juga
(41)
pilihan hidupnya merupakan pilihan yang benar. “Dan memang saudara-saudara ngeliat aku juga makin maju aja, jadi ya „ah.. mungkin itu memang pilihan yang benar‟. Gitu aja sih. Itu pembuktian juga”.
c. Akhir
Pada akhirnya, keputusan B untuk tidak memiliki anak
tetap B jalani hingga saat ini. Hal ini dikarenakan B merasa hidup
yang dijalaninya sudah memuaskan. Sebab, hal yang diinginkan
oleh B telah tercapai, yakni tidak berlaku tidak adil pada anaknya.
“Kehidupan seperti ini lebih adil. Nggak bayangin kan, kalo punya anak, suami dimana, istri dimana, anak dimana, itu juga
tambah nggak lucu lagi”. Selain itu, B juga merasakan adanya keuntungan dari menjalankan pilihannya tersebut, yakni lebih
bebas dalam menggunakan waktunya untuk karir dan diri sendiri
serta tidak berkontribusi dalam ledakan populasi.
d. Kesimpulan
Kisah hidup B bersifat progresif. Usaha yang dilakukan B
untuk mempertahankan keputusannya sebagai seorang voluntary
childlessness di tengah masyarakat pronatal membuatnya semakin
sukses dalam meniti karir serta mendapatkan kehidupan yang
(42)
3. Analisis Interpretatif a. Generativitas
Skor generativitas yang diukur menggunakan Skala
Generativitas Loyola juga menunjukkan bahwa B memiliki
komitmen dalam berperilaku yang berkaitan dengan generativitas
yang tergolong normal. Dari skala tersebut, dapat dilihat bahwa B
mewariskan atau meneruskan ilmu pengetahuan yang ia miliki,
kemampuan, dan lain-lain; berkontribusi pada kebaikan komunitas,
masyarakat, dan lain-lain; melakukan sesuatu yang akan selalu
diingat dan diwariskan; menjadi kreatif dan produktif serta
merawat dan bertanggung jawab pada orang lain.
Generativitas Parental
Salah satu cara B untuk menyalurkan dorongan generativitas
yaitu melalui generativitas parental. B akan menyalurkan kasih
sayang dan perhatiannya pada suami dan hewan peliharaan.
“Soalnya kalo cuman mikir obyek afeksi aja, stiap orang pasti butuh obyek afeksi kan. Toh ada suami, ada kucing tiga.“
Selain itu, B juga memiliki keinginan untuk membantu
anak-anak yang kurang mampu serta memiliki pekerjaan yang
berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Toh kalo nanti memang butuh anak, atau ngerasa butuh obyek afeksi yang baru gitu bisa ngangkat, kan banyak anak yang dibuang
(43)
juga kan ya. Masih banyak yang butuh di bantu juga kok. Kalopun nggak ngangkat, paling nggak bantu anak buat digedein gitu. Di keluarganya sendiri atau apa.”
“Kerjaanku di program nasional pemberdayaan masyarakat”
B memiliki keinginan untuk tidak ingin mengulangi kesalahan
yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anak seperti yang
dilakukan oleh orang tua subjek terhadapnya.
“Aku nggak mau kalo aku punya anak aku seperti aku dulu sampai aku kesulitan banget, tapi yaudah. Kebetulan aku memilih kegiatan yang mobilitasnya tinggi, jadi ya aku nggak mau aku nggak fair sama anakku.”
“... kita nggak mau mengulang kesalahan yang sama ya.”
“Dan ketika aku aktif banget, akan nggak fair buat anakku nanti.”
“... pilihan pekerjaanku apa dan aku yakin kalo aku terusin pilihan pekerjaan eh.. aku ngejar cita -citaku itu, aku nggak akan sempet punya waktu untuk ngurus anak dan itu nggak adil buat anaknya.”
“... di sisi yang lain juga aku tidak berlaku tidak adil pada anakku kalo aku punya anak.”
Generativitas Kultural
Cara lain yang dilakukan oleh B untuk menyalurkan dorongan
(44)
“Nggak nambah populasi juga. Hahaha. Itu masalah dunia. Terlalu banyak manusia.”
b. Motif-motif Karir
B memilih untuk tidak memiliki anak karena masih ingin
membangun karir dan mengejar cita-citanya. B menyadari
bahwa dirinya akan kehilangan kebebasan dalam memilih
kegiatan dan dengan terpaksa diam di rumah apabila B
memiliki anak. Oleh sebab itu, B lebih memilih untuk tidak
memiliki anak agar tidak kehilangan kebebasannya.
“Aku sadar karena pertama, waktu itu aku masih merasa aku harus bangun karir dulu gitu.”
“... pilihan pekerjaanku apa dan aku yakin kalo aku terusin pilihan pekerjaan eh.. aku ngejar cita -citaku itu, aku nggak akan sempet punya waktu untuk ngurus anak dan itu nggak adil buat anaknya.”
Zero Population Growth
B sadar salah satu permasalahan yang sedang dihadapi oleh
dunia adalah masalah ledakan populasi sehingga hal tersebut
mempengaruhi B untuk tetap menjalani kehidupan tanpa anak.
“Nggak nambah populasi juga. Hahaha. Itu masalah dunia. Terlalu banyak manusia.”
(45)
Pengalaman hidup
Pengalaman masa kanak-kanak B sangat mempengaruhi B
dalam mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. B
memiliki pengalaman yang kurang baik sebagai seorang anak.
Ketika B masih kecil, B tidak diasuh oleh kedua orang tuanya,
melainkan diasuh oleh kakek neneknya. B merasa hal tersebut
tidak adil sebab orang tua yang seharusnya mengasuh anak,
lebih memilih untuk bersenang-senang dengan
teman-temannya. Dengan demikian, B sadar bahwa dirinya tidak
ingin mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak
adil kepada anaknya hanya karena dirinya disibukkan oleh
pekerjaan.
“Jadi aku dititipkan di orang tua dan kemudian mereka akan sibuk traveling, jalan-jalan, haha hihi dengan temannya, tanpa merasa mereka ada tanggung jawab anak, yang mereka harus nabung untuk anaknya itu sekolah dan seterusnya, dan seterusnya, makan sehari-hari.”
“Jadi, aku masih punya dendam itu sampe aku menyalahkan ibuku untuk beberapa hal yang aku nggak punyai atau nggak dapet kesempatan itu.”
“Aku nggak mau kalo aku punya anak aku seperti a ku dulu sampai aku kesulitan banget, tapi yaudah. Kebetulan aku memilih kegiatan yang mobilitasnya tinggi, jadi ya aku nggak mau aku nggak fair sama anakku.”
Manfaat yang dirasakan
Adanya manfaat yang dirasakan oleh B dari menjalankan
(46)
fleksibilitas dalam menggunakan waktu sehingga B dapat
bekerja semaksimal mungkin dan terus dapat mengejar
cita-citanya. Selain itu, B merasa kehidupan yang ia jalani saat ini
sangat memuaskan dan lebih adil. Keinginan B untuk tidak
bersikap tidak adil pun terpenuhi.
“... lebih enteng untuk ngejalanin opsiku buat memilih karir dan kerja gitu kan. Eee.. bahwa aku juga bebas maksimalkan wa ktuku untuk kerja buat masyarakat. Yang kayak gitu. Eeem.. aku juga bisa pakai waktuku banyak tanpa harus.. misal memang ada kerjaan yang belum selesai, kalo aku harus kerja sampe jam 11, aku nggak akan mikir „ooh.. ada anakku yang harus ini.. nggak enak.. gimana..‟ jadi nggak stengah-stengah. Kalo kerja, kerja total gitu. Totalitas aja sih.”
“Ketika aku tidak mem... tidak menjalankan citaku dengan stengah-stengah di satu sisi,...”
“Kehidupan seperti ini lebih adil.”
C. Subjek II
1. Deskripsi Subjek
P merupakan seorang lelaki yang berusia 54 tahun. Pertama
kali P memutuskan untuk tidak memiliki anak ketika P masih berumur
16 tahun. Saat itu P memiliki keinginan untuk hidup selibat sehingga P
memutuskan untuk masuk seminari. P memilih untuk masuk seminari
karena P ingin dapat meolong orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat
oleh anak dan istri. Namun, keinginan P untuk hidup selibat pun
terhenti karena P merasa bahwa hal tersebut bukan panggilan
hidupnya. Dengan demikian, P memutuskan untuk keluar dari seminari
(47)
sebanyak-dan IKIP Negeri Semarang, fakultas ilmu kimia sebanyak-dan fakultas hukum.
Ketika P masih muda, P bergabung dengan organisasi yang membela
para buruh. Selain itu, dulu B juga bekerja sebagai dosen. Berhubung
saat ini P sudah menginjak usia 54 tahun, P merasa bahwa dirinya
sudah tua dan tidak ada perusahaan yang ingin menerimanya untuk
bekerja. Oleh sebab itu, P sekarang hanya bergabung dalam kegiatan di
masyarakat dan gereja serta berjualan makanan ringan untuk
menambah biaya hidup keluarganya. P telah menikah dengan seorang
perempuan yang kebetulan rahimnya telah diangkat. P merasa bahwa
dengan mendapatkan istri yang tidak memiliki Rahim tersebut justru
mendukung obsesinya untuk menolong orang lain
sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak.
2. Analisis Deskriptif a. Awal
P memutuskan untuk tidak memiliki anak karena P ingin
melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak dan
istri sehingga P memilih untuk menjadi seorang Romo. Keinginan
P untuk melayani ini muncul karena ayah P sering berpesan untuk
selalu menolong orang lain. Setelah menjalani kehidupannya di
seminari, keinginan P untuk menjadi Romo tidak tercapai karena P
merasa bahwa panggilan hidup untuk menjadi Romo telah hilang.
(48)
bertemu dengan seorang perempuan yang rahimnya telah diangkat.
“Bulek kan bicara gini „Pak. Bapak. Tapi aku udah diangkat loh rahimnya. Dak kecewa toh dapet aku?‟. Nggak. Malah kebetulan. Jadi, mendukung obsesi om toh”. P tidak mempermasalahkan hal tersebut karena P sudah dari awal memutuskan untuk tidak
memiliki anak demi menjalankan keinginannya, yaitu melayani
orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak. P menyatakan
bahwa biaya kebutuhan anak saat ini tergolong mahal. P menyadari
bahwa apabila P memiliki anak, uang yang P dapatkan tidak dapat
digunakan untuk melayani melainkan untuk memenuhi kebutuhan
sang anak.
b. Tengah
Setelah menjalani kehidupannya sebagai voluntary
childlessness, P sering mendapatkan pertanyaan mengenai anak
dari beberapa orang yang P temui, terutama dari lingkungan tempat
tinggalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut
dirasakan P cukup mengganggu. “Yang halangannya kalo ada
orang tidak seiman, trus kok udah married lama nggak dikasih
anak?”. Untuk mengatasi hal tersebut, P akan memberikan jawaban
yang dapat mencegah pembicaraan tersebut terus mengalir, seperti
belum dikaruniai anak. Meskipun demikian, P menyatakan bahwa
(49)
tersebut. Untuk bertahan pada situasi tersebut, P selalu berserah,
bersyukur kepada Tuhan dan berusaha menolong sesama dengan
sebaik-baiknya. “Ya udahlah nanti masa tua kan mengalir. Hidup ini mengalir. Bersyukur pada Tuhan, sesuai dengan
penyelenggaraan Allah, penyelenggaraan Tuhan, hidup mengalir
berusaha menolong melayani sesama dengan sebaik-baiknya. Nanti
Tuhan selalu memberikan jalan yang terbaik buat om dan bulek”. Kerabat serta orang-orang seiman tidak pernah mempermasalahkan
pilihan hidup P untuk tidak memiliki anak. Dari menjalani
hidupnya sebagai voluntary childlessness, P menunjukkan pada
masyarakat sekitar bahwa dirinya merupakan individu yang ringan
tangan sehingga P menjadi salah satu orang yang diperhatikan dan
dipandang oleh masyarakat.
c. Akhir
Akhir cerita, P tetap menjalankan kehidupannya sebagai
voluntary childlessness hingga saat ini. Hal ini dikarenakan P
merasakan adanya keuntungan dari tidak memiliki anak, yaitu P
bebas dalam menggunakan waktunya. Dengan demikian, P merasa
sangat bahagia karena P mendapatkan apa yang diinginkannya,
yaitu melayani orang sebanyak-banyaknya. “Secara psikis om bahagia sekali”.
“
Semakin kesini, nggak punya anak semakin lebih bisa melayani”. Keputusan P untuk tidak memiliki anak juga(50)
diperkuat oleh kesepakatan P dengan sang istri untuk tidak
mengadopsi anak.
d. Kesimpulan dan Isu yang Terkait
Kisah hidup P bersifat progresif. Melalui usahanya untuk
tetap mempertahankan keputusannya sebagai seorang voluntary
childlessness di tengah masyarakat Pronatal, P saat ini merasa
sangat bahagia. Selain itu, pengalaman religiusitas P semakin
diperkuat setelah menjalani keputusannya untuk tidak memiliki
anak. P terus berserah dan bersyukur kepada Tuhan atas apa yang
telah Tuhan berikan kepadanya.
3. Analisis Interpretatif a. Generativitas
P memiliki skor yang tergolong normal pada skor
generativitas yang diukur menggunakan Skala Generativitas
Loyola. Dari skala tersebut, dapat dilihat bahwa P mewariskan atau
meneruskan ilmu pengetahuan yang ia miliki, kemampuan, dan
lain-lain; berkontribusi pada kebaikan komunitas, masyarakat, dan
lain-lain; melakukan sesuatu yang akan selalu diingat dan
diwariskan; menjadi kreatif dan produktif serta merawat dan
(51)
Generativitas Parental
Salah satu cara yang dilakukan P untuk menyalurkan
dorongan generativitas, yaitu melalui generativitas parental. P
memiliki keinginan untuk membantu orang lain.
“... supaya bisa melayani orang sebanyak-banyaknya, ikut berbagi dengan banyak orang.”
“Kepengennya ya melayani itu tok.”
P melakukan hal yang bermanfaat bagi masyarakat
untuk menyalurkan dorongan tersebut.
“Masalah kenaikan gaji, upah berkala, tunjangan kesehatan, jaminan sosial, jaminan tenaga kerja, trus kenaikan eee.. UMR, upah minimal regional. Udah masuk dua tahun, gaji belum sesuai dengan UMR daerah itu, harus diperjuangkan.”
“Melayani itu misalnya ya, misalnya melayani itu ada melayani untuk gereja, itu kan juga pelayanan. Kegiatan gereja, aktivis gereja kan pelayanan juga. Belum di RT RW kan banyak kegiatan. Belum di karang taruna, belum di masyarakat.”
“Ya masyarakat sini, lingkungan sini ada masalah, tanya om.” Generativitas Kultural
P juga menyalurkan dorongan generativitas melalui
generativitas kultural, dimana P menanamkan nilai-nilai pada
mahasiswanya ketika P menjadi seorang dosen.
“Anak-anak itu kalo trisakti nakal-nakal anaknya. Kalo masuk kuliah tu, dosennya udah masuk, satu jam sesudahnya baru masuk.
(52)
Jangan main-main ya sama bapak. Bapak kuliah ja m tujuh ya, stengah tujuh udah masuk ruangan. Buka, bapak duduk di kursi dosen nunggu anak-anak itu. Nanti, „bapak udah dateng loh. Udah di dalam ruangan loh.‟. Wuah langsung cepet-cepetan. Paling nggak ada lima menit udah selesai masuk. Kan ngajari disiplin.”
Generativitas Teknis
P meneruskan ilmu pengetahuan yang P miliki pada
generasi muda melalui perannya sebagai seorang dosen. P juga
menanamkan nilai-nilai pada generasi muda.
“Om ngajar, ngajar PMP sama hukum itu, ya mata kuliahnya om, tak ajarkan.”
b. Motif-motif Ekonomi
Salah satu alasan P memilih untuk tidak memiliki anak adalah
alasan ekonomi. P menyatakan bahwa biaya kebutuhan anak
saat ini tergolong mahal. P menyadari bahwa apabila P
memiliki anak, uang yang P dapatkan tidak dapat digunakan
untuk melayani melainkan untuk memenuhi kebutuhan sang
anak.
“... coba kalo punya istri dan anak, kan gajinya kan untuk anak istri. Untuk anak biaya anak kan mahal sekarang.”(231-237)
(53)
Pengalaman hidup
Ketika P masih anak-anak, ayah P sering menasihati untuk
selalu menolong sesama. Hal ini secara tidak langsung
mempengaruhi P dalam mengambil keputusan untuk tidak
memiliki anak. P ingin melayani orang sebanyak-banyaknya
tanpa terikat oleh anak. Oleh sebab itu, P memilih untuk tidak
memiliki anak.
“Dulu bapak sering berpesan „gemar-gemarlah menolong orang lain‟.”
Manfaat yang dirasakan
Adanya manfaat yang P rasakan setelah menjalani
keputusannya, membuat P semakin kuat pada pendiriannya
untuk tidak memiliki anak. P saat ini merasa sangat bahagia
karena P dapat menolong orang lain tanpa terikat oleh waktu.
“... ndak punya anak, jadi lebih leluasa lah kemana -mana. Nggak jam sembilan bapak-bapak pulang nidurin anaknya. Lah om kan sampe jam 12, 1 ada kebaktian ato ada apa kan, sampe pagi pun tak ladeni.”
“Semakin kesini, nggak punya anak semakin lebih bisa melayani.”
D. Ringkasan Hasil Kedua Subjek
Kedua subjek memiliki narasi yang bersifat progresif. Narasi yang
bersifat progresif ini merupakan narasi yang melukiskan kehidupan
sebagai sebuah tantangan yang mengandung kesempatan untuk
(54)
keputusan untuk tidak memiliki anak di tengah masyarakat pronatal.
Keputusan yang mereka ambil mengantar mereka pada kehidupan yang
kurang nyaman. Beragam pertanyaan dan komentar dilontarkan oleh
masyarakat pronatal. Pertanyaan dan komentar yang didapat merupakan
konsekuensi dari keputusan yang telah mereka ambil dan dirasa cukup
mengganggu oleh kedua subjek. Berbagai macam usaha dilakukan oleh
kedua subjek untuk mendapatkan kehidupan yang lebih nyaman. Akhir
cerita, usaha yang mereka lakukan membuahkan hasil yang baik, yakni
subjek pertama merasa bahwa kehidupannya saat ini terasa memuaskan
dan lebih adil serta semakin sukses dalam meniti karirnya sedangkan
subjek kedua semakin diperkuat dalam pengalaman religiusitasnya dan
merasa sangat bahagia karena ia dapat melayani orang
sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak.
Kedua subjek sama-sama memiliki dorongan generativitas.
Generativitas yang muncul pada diri individu voluntary childlessness
adalah generativitas parental, generativitas kultural dan generativitas
teknis. Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan skala generativitas
loyola, komitmen kedua subjek untuk bertanggung jawab terhadap
generativitas selanjutnya tergolong normal. Hal ini menunjukkan bahwa
kedua subjek dapat mengembangkan generativitas melalui berbagai
macam cara, seperti melalui generativitas parental, kultural dan teknis.
Generativitas parental kedua subjek muncul dalam bentuk
(55)
dan masyarakat yang kurang beruntung. Generativitas kultural kedua
subjek muncul dalam bentuk mempertahankan budaya yang sudah ada,
seperti tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi dan menanamkan
nilai-nilai kepada generasi yang lebih muda. Sedangkan generativitas
teknis muncul dalam bentuk mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah
dimiliki.
Dalam mengambil keputusan sebagai individu voluntary
childlessness, kedua subjek sama-sama memiliki motif yang dipengaruhi
oleh pengalaman hidupnya dan adanya manfaat yang dirasakan. Motif lain
yang muncul adalah adanya pengaruh zero population growth, alasan
ekonomi dan karir. Motif-motif tersebut muncul karena adanya pengaruh
dari pengalaman pribadi dan lingkungan.
Dalam konteks personal, kedua subjek memiliki pengalaman yang
berbeda. Subjek pertama menganggap bahwa tantangan utama dalam
menjalankan kehidupannya sebagai voluntary childlessness adalah
membuktikan bahwa pilihan untuk tidak memiliki anak yang diambilnya
merupakan pilihan yang tepat. Konsekuensi yang didapat dari menjalankan
keputusannya memang dirasa cukup mengganggu, namun tidak dilihat
sebagai ancaman melainkan sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi
dan dapat membawanya untuk lebih maju. B mendeskripsikan berbagai
pengalaman yang penuh perjuangan dan adanya dukungan dari keluarga.
Sedangkan tantangan utama bagi subjek kedua adalah dapat
(56)
mendeskripsikan pengalaman yang penuh perjuangan dan adanya
dukungan dari pasangan dan kerabatnya. Konsekuensi yang didapat P
tidak dilihat sebagai ancaman untuk menolong orang sebanyak-banyaknya,
melainkan sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik.
Pada konteks sosial, narasi dilihat melalui perspektif moral (Noblitt
dan Dempsey dalam Murray dalam Smith, 2008) sebagai suatu dongeng
tentang benar dan salah, dari berbagai usaha untuk melakukan kesalehan
selama masa cobaan (Murray dalam Smith, 2008). Dalam menghadapi
konsekuensi yang didapat dari masyarakat pronatal, B tidak berusaha
melawan masyarakat, melainkan berusaha berdamai dengan keadaan yang
ada. B akan memberikan penjelasan serta jawaban yang diharapkan oleh
masyarakat apabila B mendapatkan pertanyaan seputar anak. Sedangkan P,
apablia P mendapatkan komentar dan pertanyaan dari masyarakat pronatal,
P juga akan memberikan jawaban yang diharapkan oleh masyarakat.
Selain itu, P juga memiliki kehidupan iman yang kuat sehingga P melihat
konsekuensi yang didapat dari menjalankan keputusannya sebagai sebuah
sarana untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
E. Pembahasan
Kisah para subjek dilukiskan sebagai kisah yang bersifat progresif.
Kehidupan dideskripsikan sebagai sebuah tantangan yang mengandung
(57)
untuk menjalankan kehidupan tanpa anak di tengah masyarakat pronatal.
Keputusan individu untuk menjadi voluntary childlessness memiliki
beberapa konsekuensi, baik dalam bentuk yang positif maupun negatif
(Doyle, J.E., Pooley, J., & Breen, L., 2012). Konsekuensi positif yang
didapat berupa dukungan serta penerimaan dari lingkungan sekitar.
Sedangkan konsekuensi negatif muncul dalam bentuk tekanan serta
diskriminasi yang didapat dari keluarga, teman dan masyarakat.
Masyarakat pronatal sering melontarkan komentar dan
pertanyaan-pertanyaan yang dirasa cukup mengganggu. Meskipun demikian, kedua
subjek juga mendapatkan dukungan dari pasangan dan beberapa
kerabatnya. Kemugkinan mendapatkan tekanan yang lebih besar dari
lingkungan sekitar akan terjadi pada subjek pertama dibandingkan subjek
kedua. Hal ini dikarenakan subjek kedua memiliki istri yang rahimnya
telah diangkat dan memungkinkan berkurangnya mendapatkan tekanan
dari keluarga.
Beragam usaha dilakukan oleh kedua subjek untuk menghadapi
masyarakat pronatal. Dalam hal mengatasi komentar serta
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tersebut, kedua subjek akan memberikan
jawaban yang diharapkan oleh masyarakat pronatal, seperti “belum dikaruniai” agar tidak memperpanjang pembicaraan. Beberapa individu
voluntary childlessness tidak akan mengizinkan tekanan memberikan
dampak pada hidupnya dan beberapa akan mengungkapkan kepuasan dari
(58)
dalam Doyle, Polley & Breen, 2012). Sebagai contoh, subjek pertama
mengatakan bahwa kehidupannya saat ini terasa memuaskan dan lebih adil
dari kehidupan sebelumnya untuk membuktikan keputusan yang telah
diambilnya tersebut benar. Sedangkan subjek kedua mengatakan bahwa ia
merasa sangat bahagia setelah menjalani kehidupan tanpa anak sebab ia
dapat melayani orang sebanyak-banyaknya. Pada subjek pertama, ada
kemungkinan dilakukannya mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi
tekanan yang ia dapatkan dari luar. Sebab, subjek pertama tidak menikah
secara sah dan memiliki ketakutan mendapatkan label negatif dari
masyarakat.
Para voluntary childlessness memiliki dorongan generativitas.
Generativitas dapat diekspresikan melalui banyak cara. Mereka
mengekspresikan generativitasnya melalui generativitas parental, kultural
dan teknis. Munculnya generativitas dapat dipengaruhi oleh harapan sosial
serta keterlibatannya dalam berbagai peran (Staudinger & Bluck dalam
Papalia, 2008). Selain itu, berkurangnya tanggung jawab dalam keluarga
dapat membebaskan seseorang untuk mengekspresikan generativitas pada
skala yang lebih luas (Papalia, 2008).
Terdapat lima macam motif yang melatarbelakangi subjek untuk
tidak memiliki anak, yaitu pengalaman hidup, adanya manfaat yang
dirasakan, pengaruh gerakan zero population growth, karir dan alasan
(59)
dari luar. Motif merupakan sebuah dorongan yang dapat berasal dari
pengalaman-pengalaman masa lalu (Hasibuan, 2005).
Motif yang pertama adalah karir. Dengan mengambil keputusan
untuk hidup tanpa anak, individu voluntary childlessness akan lebih bebas
untuk menentukan pilihan hidupnya, terutama dalam hal karir. Kebebasan
dilihat sebagai komponen yang diperlukan dalam karir (Doyle, J.E.,
Pooley, J., & Breen, L., 2012). Sebagai contoh keinginan B untuk tidak
memiliki anak muncul karena B masih ingin membangun karir dan
mengejar cita-citanya. B menyadari bahwa dirinya akan kehilangan
kebebasan dalam memilih kegiatan dan dengan terpaksa diam di rumah
apabila B memiliki anak. Oleh sebab itu, B lebih memilih untuk tidak
memiliki anak agar tidak kehilangan kebebasannya.
Motif lainnya adalah zero population growth. Tujuan dari gerakan
ini adalah membuat masyarakat sadar akan ledakan populasi (Samantha A.
Kwon, 2005). Dalam hal ini, B menyadari bahwa salah satu permasalahan
yang sedang dihadapi oleh dunia adalah masalah ledakan populasi.
Kesadaran B akan hal tersebut mempengaruhi B untuk tetap menjalani
kehidupan tanpa anak.
Keinginan untuk tidak memiliki anak juga dipengaruhi oleh alasan
ekonomi. P menyatakan bahwa biaya kebutuhan anak saat ini tergolong
mahal. Mereka percaya bahwa kehadiran seorang anak dapat menghambat
mereka untuk memenuhi kebutuhannya, sebab mereka perlu untuk
(60)
Sebagai contoh, P menyadari bahwa apabila P memiliki anak, uang yang P
dapatkan tidak dapat digunakan untuk melayani orang lain melainkan
untuk memenuhi kebutuhan sang anak.
Pengalaman masa kanak-kanak kedua subjek juga mempengaruhi
keputusan mereka untuk tidak memiliki anak. Ketika P masih anak-anak,
ayah P sering menasihati untuk selalu menolong sesama. Hal ini secara
tidak langsung mempengaruhi P dalam mengambil keputusan untuk tidak
memiliki anak. P ingin melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat
oleh anak. Oleh sebab itu, P memilih untuk tidak memiliki anak. Selain
itu, pengalaman buruk pada masa kanak-kanak dapat memicu seseorang
untuk memilih tidak memiliki anak (Park dalam Giles, Shaw & Morgan,
2009) sebab pengalaman tersebut membuat mereka menjadi takut dan
cemas untuk mengulangi gaya pengasuhan yang kurang baik (Hird &
Abshoff dalam Kwon, 2005). Misalnya, Ketika B masih kecil, B tidak
diasuh oleh kedua orang tuanya, melainkan diasuh oleh kakek neneknya. B
merasa hal tersebut tidak adil sebab orang tua yang seharusnya mengasuh
anak, lebih memilih untuk bersenang-senang dengan teman-temannya.
Dengan demikian, B sadar bahwa dirinya tidak ingin mengulangi
kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anaknya hanya
karena dirinya disibukkan oleh pekerjaan dan ambisinya untuk mengejar
cita-citanya.
Setelah menjalani kehidupannya tanpa anak, kedua subjek
(61)
Adanya manfaat yang dirasakan oleh kedua subjek dari menjalankan
keputusannya, membuat kedua subjek hingga saat ini tetap memilih untuk
tidak memiliki anak. Manfaat yang kedua subjek rasakan, yaitu berupa
fleksibilitas dalam menggunakan waktu sehingga mereka dapat bekerja
semaksimal mungkin dan terus dapat mengejar cita-citanya. Kebebasan
dilihat sebagai hal penting untuk karir mereka karena mereka tidak
terkekang untuk dapat mencurahkan waktu dan perhatian mereka dimana
hal tersebut dianggap penting ketika mereka kembali pada komunitas
mereka (Doyle, Pooley & Breen, 2005). Dengan demikian, B merasa
kehidupan yang ia jalani saat ini sangat memuaskan, lebih adil, serta
keinginannya untuk tidak bersikap tidak adil pun terpenuhi. Selain itu, P
saat ini merasa sangat bahagia karena P dapat menolong orang lain tanpa
terikat oleh waktu.
Generativitas muncul ketika individu memiliki kebutuhan untuk
dibutuhkan yang dikombinasikan dengan tuntuan eksternal dalam bentuk
peningkatan harapan dan tanggung jawab yang dapat menghasilkan
kesadaran akan generasi selanjutnya (McAdams dalam Papalia, 2001).
Pengalaman masa kecil kedua subjek membentuk mereka sebagai individu
yang generatif. Sebagai contoh, subjek pertama memilih untuk tidak
memiliki anak karena ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dan
mengambil pekerjaan yang berhubungan dengan pemberdayaan
masyarakat. Pengalaman masa kecil subjek membuat subjek ingin
(1)
melayani itu ada melayani untuk gereja, itu kan juga pelayanan. Kegiatan gereja, aktivis gereja kan pelayanan juga. Belum di RT RW kan banyak kegiatan. Belum di karang taruna, belum di masyarakat. Apa yang dibutuhkan ya entengan kita. Selama kita bisa membantu dengan tangan tenaga maupun otak dan mulut. Apa toh artinya memberikan masukan, kan boleh juga memberikan masukan. Itu suatu anugerah juga.
Apa keuntungannya bagi diri om?
Keuntungannya banyak banget. Tak ceritakan satu-satu ya. Om nggak pernah kesulitan baik dalam soal relasi, soal persaudaraan, banyak saudara, banyak teman, soal status sosial maupun timbal impas dari secara psikis, secara psikis om bahagia sekali. Kalo om jatuh kok nggak ada kesulitan. Mesti ada aja rejeki dari Tuhan lewat siapa aja. Om nggak pernah kesulitan. Dimana aja berada selalu ada saudara dan temen. Seneng loh berbagi dengan orang lain itu.
Trus apa lagi om?
Ya banyak. Mau pergi ke tempat bepergian, minimal di pulau Jawa ini ya banyak saudara-saudara. Kalo om bisa menerima orang lain, sperti saya sendiri, pasti saya juga akan diterima mereka sperti dirinya sendiri. Ternyata tak buktikan banyak sekali. Udah berjalan sampai sekarang.
Sekarang kegiatan sehari-harinya apa om?
Dulu megang buku. Sekarang kan yang bekerja istri, ibu. Jaga toko itu. Om kadang-kadang jasa... melayani jasa orang-orang kampung. Karna om udah 54 tahun, mana kantor yang mau nerima om seusia ini. Paling om main internet, dapet masukan sedikit-sedikit untuk makan berdua. Walaupun om tidak bekerja, istri juga bisa memberi makan. Tapi kan siapa yang mau makan harus bekerja. Di kitab suci kan gitu. Jadi ya kerjaan om ya kegiatan om ya kemasyarakatan, ke gereja, trus kegiatan-kegiatan yang menghasilkan. Kuliner makanan-makanan kecil, om beli disini lalu om kelilingkan. Ya nampaknya dapet hasil tuh. Untuk isi pulsa ya dapet, untuk rokok ya dapat. Selama kita mau berusaha, dapat. Jangan khawatir.
Kegiatan kemasyarakatan yang om lakukan itu gimana om?
(2)
cangkrep sana. Disini, ronda ikut. Kegiatan arisan bapak-bapak, ikut. RT RW kan banyak sekali tu. Terus yang lebih kemasyarakatan ya ada orang meninggal kumpul, berdoa 3 hari, 7 hari, 40, 100, trus 1000. Kan banyak yang gitu. Dimana aja ada kegiatan. Itu kemasyarakatannya. Om di lingkungan sini termasuk ketengen. Gitu lah. Maksudnya apa ya ketengen.. ketengen itu maksudnya diperhatikan sama masyarakat sini, dipandang gitu. Soalnya kan om entengan. Tau toh? Ringan tangan gitu. Masih muda, ndak punya anak, jadi lebih leluasa lah kemana-mana. Nggak jam sembilan bapak-bapak pulang nidurin anaknya. Lah om kan sampe jam 12, 1 ada kebaktian ato ada apa kan, sampe pagi pun tak ladeni. Jadi ketengen di masyarakat sini. Ya masyarakat sini, lingkungan sini ada masalah, tanya om. Kalo misalnya om dimana, misalnya ketemu orang, di kereta
ato di bis tanya “anaknya berapa?”. “ndak. Ndak punya anak.” “Ooo nanti
dikasih pak.” “Oh iya makasih.” Tapi kalo yang sudah kenal ya ndak menanyakan itu. Ya enjoy aja gitu ya. Yang belum... yang belum tahu sama sekali tu trus tanya yang nomor satu kan bukan kekayaannya gimana pak? Berapa pak? Atau rumahnya berapa? Kalo om pertama kali yang ditanyakan itu anaknya berapa? Lah itu om kadang-kadang jawabnya sok agak ... mm.... Waktu ditanya kayak gitu, apa sih yang dirasain om?
Ya nggak dirasain apa-apa. Biasa.
Om ceritain tentang membantu orang yang om lakukan dong.
Dulu om mahasiswa. Misalnya ada anak muda, kan om di SPSI kan kenal dengan bagian personalia-personalia. Ada orang “Pak, saya baru lulus pak. Tolong carikan kerjaan.” Ya saya tak telponkan. Bisa di tes. Baik, bisa diterima. Itu yang pekerjaan. Yang buruh, mati-matian om memperjuangkan dari tingkat basis, terus cabang, selalu menang. Buruh menang kalo om yang bela. Aaa... lucu banget. Ada yang ke rumah, terima kasih Pak. Ada yang pergi, trima kasih aja. Ada yang ngasih.. ngasih pak, ini saya bersyukur. Hanya bisa ngasih ucapan syukur. Ada sedikit aja tanda kasih, tak buka amplop isinya uang. Dari pesangonnya itu berapa persen diberikan bapak. Ya terima kasih. Om tidak minta toh. Itu dari pembelaan ya. Trus, dari keluarga-keluarga sekarang ya. Om kan mendampingi keluarga muda banyak sekali. Di desa sana. Ada keluarga punya
(3)
anak dua masih kecil-kecil tak sarankan, “kamu tukang pijet kalo punya HP, punya motor, lebih enak lagi.”. “Lah piye carane pak?”. “Ya kamu mampunya ngangsur berapa per bulan sebagai tukang pijet?”. “Saya empat ratus pak.”. “Sini, pinjamkan ke BRI jaminannya ada nggak sertifikat?”. “Ada.”. “Trus pinjam, sepuluh juta untuk beli motor sama beli HP.”. “Sekarang, udah toh. Kamu beli rumah. Udah banknya lunas. Sekarang pinjam bank lagi. Kamu cicil. Punya rumah. Mumpung anak kamu kecil-kecil lunas.”. Om ngarah-ngarahkan gitu sama keluarga muda. Akhirnya banyak yang terima kasih.”.
Kalo untuk buruh, yang dibela apa saja om?
Eee... misalnya, masalah pesangon. Eh. Masalah kenaikan gaji, upah berkala, tunjangan kesehatan, jaminan sosial, jaminan tenaga kerja, trus kenaikan eee.. UMR, upah minimal regional. Udah masuk dua tahun, gaji belum sesuai dengan UMR daerah itu, harus diperjuangkan. Banyak perjuangannya mbak. Om kan sekertaris pimpiman daerah Jawa Tengah. Jadi menangani farmasi kesehatan tuh menangani buruh-buruh yang khusus membuat obat-obatan. Buruh pabrik, buruh apa. Tapi kalo di pabrik, semuanya buruh dibela. Itu om sendirian loh. Ndak ada kawan yang seiman. Jadi kadang-kadang digencet sama temen-temen, “itu nganu
lah. Singkirkan aja bapak itu. Terlalu jujur.”. Temen-temen kalo bela kan
nyuwun dapet uang banyak. Kalo bapak kan bersih. Bela, bela. Kalo berhasil kan terima kasih. Kalo yang lainnya kan buruhnya ditekan. Kasian buruh-buruh itu. Om murni perjuangannya. Sampe sekarang, buruh-buruh masih kenal semua dengan saya. Mau bantu paduan suara, suruh bapak. Bapak kan ikut paduan suara.
Berarti om fokusnya ke buruh-buruh ya?
Dulu iya. Masa muda. Sekarang masa tua dah tua. Dah lain ya. Senangnya tu kumpul dengan bapak-bapak. Ikut badminton, ikut obyeki masyarakat. Ikut obyeki masyarakat tu ikut bermasyarakat bersama.
Itu yang dibela regionalnya di Jawa Tengah atau ...?
Semua. Dari tingkat perusahaan sampe tingkat provinsi. Regional Jawa Tengah. Dulu itu kerja di gramedia nggak mikir itu. Yang penting kerja, dapet duit. Ngajar nggak. Om ngajar, ngajar PMP sama hukum itu, ya mata kuliahnya om,
(4)
tak ajarkan. Anak-anak itu kalo trisakti nakal-nakal anaknya. Kalo masuk kuliah tu, dosennya udah masuk, satu jam sesudahnya baru masuk. Jangan main-main ya sama bapak. Bapak kuliah jam tujuh ya, stengah tujuh udah masuk ruangan. Buka, bapak duduk di kursi dosen nunggu anak-anak itu. Nanti, “bapak udah
dateng loh. Udah di dalam ruangan loh.”. Wuah langsung cepet-cepetan. Paling
nggak ada lima menit udah selesai masuk. Kan ngajari disiplin. Trus bentuk mental karakter mahasiswa sulit.
Om ngajar berapa tahun?
Enam tahun. Mau disuruh S2, kuliah om ndak mau, trus balik ke desa sini. Kan dulu waktu itu asal memenuhi syarat, nggak S2 nggak apa-apa. Jaman dulu. Trus, perkembangan terbaru kan harus S2, trus S3. Om malas sekolah lagi. Kok dulu om fokusnya di buruh?
Dulu om kan tamat SMA, kuliahnya di UNDIP sama IKIP Negeri Semarang, fakultas ilmu kimia ngerangkap fakultas hukum. Dah, selama kuliah itu kan ada kegiatan mahasiswa. Macem-macem toh kegiatan mahasiswa. Om ambil yang kegiatan di luar kampus. Organisasi buruh. Mahasiswa gabung disitu sampe lulus tiga tahun tetep disitu. Kan kaitannya dengan hukum kan ada untuk pembelaan itu. Daripada latian di perdata pidana di pengadilan. Kalo ini kan langsung peradilan buruh. Latian teori ke praktek.
Kok om bisa memiliki keinginan untuk menolong orang lain?
(5)
SKALA GENERATIVITAS LOYOLA
Skala II
Untuk setiap pernyataan berikut, silahkan anda memutuskan seberapa dekat pernyataan tersebut dengan anda.
Angka 0 jika tidak sama sekali.
Angka 1 jika kadang-kadang atau jarang. Angka 2 jika cukup sering.
Angka 3 jika sangat sering atau hampir selalu.
___ 1. Saya mencoba meneruskan pengetahuan yang sudah saya peroleh berdasarkan pengalaman saya.
___ 2. Saya tidak merasa bahwa orang lain membutuhjan saya. ___ 3. Saya rasa saya akan menyukai pekerjaan sebagai seorang guru. ___ 4. Saya merasa bahwa saya membawa perubahan bagi banyak orang. ___ 5. Saya tidak menjadi relawan untuk kemanusiaan.
___ 6. Saya telah menghasilkan karya atau pekerjaan yang memiliki pengaruh terhadap orang banyak.
___ 7. Saya berusaha kreatif dalam setiap hal yang saya lakukan. ___ 8. Saya pikir, saya akan dikenang lama setelah saya tiada.
___ 9.Saya percaya bahwa masyarakat tidak bisa bertanggung jawab menyediakan makanan dan tempat penampungan untuk tuna wisma. ___ 10. Orang lain akan mengatakan bahwa saya telah memberikan kontribusi
unik pada masyarakat.
___ 11. Jika saya tidak dapat memiliki anak kandung, saya akan senang hati menghadapi.
___ 12. Saya memiliki keahlian-keahlian penting yangcoba saya ajarkan pada orang lain.
___ 13. Saya merasa bahwa saya tidak melakukan apapun yang bisa bertahan setelah saya meninggal.
(6)
orang lain.
___ 15. Saya merasa bahwa saya tidak melakukan kontribusi yang cukup berharga bagi orang lain.
___ 16. Saya membuat banyak komitmen terhadap orang-orang, kelompok dan kegiatan-kegiatan yang berbeda-beda dalam hidup saya.
___ 17. Orang lain mengatakan bahwa saya orang yang produktif.
___ 18. Saya memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan lingkungan tempat tinggal saya.
___ 19. Orang-orang datang meminta nasehat pada saya.
___ 20. Saya merasa bahwa kontribusi saya akan tetap bertahan setelah saya meninggal.