Motif dan generativitas individu voluntary childlessness.

(1)

1

THE MOTIVES AND GENERATIVITY OF VOLUNTARY CHILDLESSNESS INDIVIDUALS

A Student’s Research

Faculty of Psychology, Sanata Dharma University

Ghea Teresa

ABSTRACT

This research is conducted to obtain the overviews about 1) The background motivesof the individuals whodecided not to have a child, 2) The presence of generativity in voluntary childlessness individuals, 3) The process of generativity forming of voluntary childlessness individuals. The data is collected by interviews and Loyola’s generativity scale filling by two couples which are married and were agreed not to have any child. The result of this research shows that the background motives of the decision are life experience, the gained advantages, and because of the influence of zero growth population movement, carrier and economic reasons. Beside those, voluntary childlessness individuals havea tendency of generativity. Generativity is formed through the childhood experiences and their lifes among

pro-natal society.


(2)

MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS

Studi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Ghea Teresa

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikangambaranmengenai 1) motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak, 2) ada tidaknya generativitas pada individu voluntary childlessness serta 3) proses pembentukan generativitas individu

voluntary childlessness. Data diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian skala generativitas Loyola oleh dua orang subjek yang telah menikah dan tidak ingin memiliki anak.Hasil penelitian menunjukkan bahwamotif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak adalah pengalaman hidup, adanya manfaat yang dirasakan, pengaruh gerakan

zero growth population, karir dan alasan ekonomi. Selain itu, individu voluntary childlessness memiliki dorongan generativitas.Generativitas terbentuk melalui pengalaman masa kecil dan kehidupannya di tengah masyarakat pronatal.


(3)

MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS

SKRIPSI

Diajikan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar sarjana psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Ghea Teresa

109114056

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

SKRIPSI

MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS

Oleh: Ghea Teresa

109114056

Telah Disetujui oleh:

Pembimbing Utama


(5)

SKRIPSI

MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS

Disusun oleh: Ghea Teresa

109114056

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 10 September 2014 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji Tanda Tangan

1. V. Didik Suryo Hartoko, M.Si. ………..

2. Dra. L. Pratidarmanastiti, M.S. ………..

3. C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. ………..

Yogyakarta,

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Dekan,


(6)

Halaman Persembahan

Karya ini penulis persembahkan untuk Tuhan Yang Maha Esa, Papa (Markus Johan), Mama (Erny Muksin), kedua adik (Brigita M.J. dan Gabriella A.J.) serta Punta Indratomo yang tidak pernah bosan mendorong penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.


(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 6 Oktober 2014

Penulis,


(8)

MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS

Studi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Ghea Teresa

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai 1) motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak, 2) ada tidaknya generativitas pada individu voluntary childlessness serta 3) proses pembentukan generativitas individu

voluntary childlessness. Data diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian skala generativitas Loyola oleh dua orang subjek yang telah menikah dan tidak ingin memiliki anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak adalah pengalaman hidup, adanya manfaat yang dirasakan, pengaruh gerakan zero growth population, karir dan alasan ekonomi. Selain itu, individu voluntary childlessness memiliki dorongan generativitas. Generativitas terbentuk melalui pengalaman masa kecil dan kehidupannya di tengah masyarakat pronatal.


(9)

THE MOTIVES AND GENERATIVITY OF VOLUNTARY CHILDLESSNESS INDIVIDUALS

A Student‟s Research

Faculty of Psychology, Sanata Dharma University

Ghea Teresa

ABSTRACT

This research is conducted to obtain the overviews about 1) The background motives of the individuals who decided not to have a child, 2) The presence of generativity in voluntary childlessness individuals, 3) The process of generativity forming of voluntary childlessness individuals. The data is collected by interviews and Loyola‟s generativity scale filling by two couples which are married and were agreed not to have any child. The result of this research shows that the background motives of the decision are life experience, the gained advantages, and because of the influence of zero growth population movement, career and economic reasons. Beside those, voluntary childlessness individuals have a tendency of generativity. Generativity is formed through the childhood experiences and their lifes among

pro-natal society.


(10)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Ghea Teresa

Nomor Mahasiswa : 109114056

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

MOTIF DAN GENERATIVITAS INDIVIDU VOLUNTARY CHILDLESSNESS

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun

memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 6 Oktober 2014 Yang menyatakan,


(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis boleh menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat pemerolehan gelar Sarjana Psikologi. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih untuk semua pihak yang telah bersedia untuk terlibat dalam penelitian ini serta semua pihak yang selalu setia untuk mendukungku hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap agar skripsi yang telah selesai ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Yogyakarta, 6 Oktober 2014


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN DATA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian... 6


(13)

A. Voluntary childlessness ... 7

B. Generativitas ... 11

C. Generativitas pada voluntary childlessness ... 17

D. Narasi dalam pembentukan generativitas pada individu voluntary childlessness ... 18

E. Pertanyaan penelitian ... 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 21

A. Jenis Penelitian ... 21

B. Subjek Penelitian ... 21

C. Fokus Penelitian ... 22

D. Metode Pengumpulan data ... 22

E. Metode Analisa Data ... 23

1. Analisis Deskriptif ... 23

2. Analisis Interpretatif ... 23

F. Kredibilitas Penelitian ... 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 25

B. Subjek I ... 26

1. Deskripsi Subjek... 26

2. Analisis Deskriptif ... 27

3. Analisis Interpretatif ... 30


(14)

1. Deskripsi Subjek... 34

2. Analisis Deskriptif ... 35

3. Analisis Interpretatif ... 38

D. Ringkasan Hasil Kedua Subjek ... 41

E. Pembahasan ... 44

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 51

A. Kesimpulan ... 51

B. Keterbatasan Penelitian ... 52

C. Saran ... 52


(15)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Generativitas merupakan salah satu tahap dalam tahapan perkembangan psikologis menurut Erikson. Pada tahap ini, seorang individu memiliki hasrat untuk membantu generasi selanjutnya. Erikson menyatakan bahwa generativitas merupakan tanda kematangan dan kesehatan psikologis. Orang dewasa membutuhkan agar dibutuhkan, dan kematangan memerlukan bimbingan dan dorongan dari anak-anak yang dilahirkan dan harus diasuh (Erikson dalam Bunga Rampai I, 1989). Dengan kata lain, orang dewasa memiliki keprihatinan dalam membentuk serta membimbing generasi selanjutnya. Apabila seorang individu tidak dapat mengembangkan generativitas maka individu tersebut akan berada pada tahap stagnasi, yaitu keadaan dimana mereka merasa tidak melakukan apa-apa bagi generasi selanjutnya. Dengan demikian, orang dewasa tanpa anak biasanya perlu menemukan orang-orang muda pengganti melalui adopsi, perwalian, atau hubungan dekat dengan anak-anak dari teman-teman dan kerabatnya agar individu tersebut tidak mencapai tahap stagnasi (Santrock, 1985).

Tujuan pernikahan di budaya Timur sendiri memiliki fokus pada pentingya kehadiran seorang anak (Irasistible, 2012). Selain itu, kehadiran seorang anak juga memiliki makna tersendiri dari sudut pandang agama, seperti agama Katolik, Islam dan Kristen Protestan. Meskipun demikian, saat ini semakin banyak jumlah pasangan yang memilih untuk tidak memiliki


(16)

anak. Menurut Elly Nagasaputra (2013), voluntary childlessness telah menjadi sebuah trend di kota-kota besar. Individu voluntary childlessness biasanya memiliki pendidikan yang tinggi, bekerja penuh waktu, punya jabatan yang tinggi, menjadi senior di tempat kerja dan memiliki pendapatan yang besar. Selain itu, mereka juga lebih fleksibel sehingga dapat menjadi sukarelawan. Mereka juga menjadi lebih bahagia karena bebas dan menjadi lebih fleksibel dalam hidupnya, khususnya dalam hal menghabiskan waktu dan privasi, relaksasi serta menikmati kebebasan (Victor J. Callan, 1987; Heller, Tsai, & Chalfant; Jacobson & Heaton; Rovi, dalam Abma, J. & Martinez, G., 2006).

Keputusan individu untuk menjadi voluntary childlessness memiliki beberapa konsekuensi, baik dalam bentuk yang positif maupun negatif (Doyle, J.E., Pooley, J., & Breen, L., 2012). Konsekuensi positif yang didapat berupa dukungan serta penerimaan dari lingkungan sekitar. Sedangkan konsekuensi negatif muncul dalam bentuk tekanan serta diskriminasi yang didapat dari keluarga, teman dan masyarakat. Tekanan yang didapatkan biasanya berupa komentar dari lingkungan yang menilai bahwa ada hal yang salah dengan mereka karena memilih untuk tidak memiliki anak. Selain itu, diskriminasi biasanya didapat dalam dunia kerja, seperti adanya harapan untuk dapat bekerja lebih lama serta dapat menyelesaikan pekerjaan para ibu yang harus pulang lebih awal untuk merawat anak. Keputusan yang diambil tersebut serta didukungya kenyataan bahwa mereka cenderung sukses di bidang pekerjaan, memiliki pendapatan yang besar dan berpendidikan tinggi


(17)

memunculkan beberapa stereotype, yakni voluntary childlessness merupakan individu yang egois, matrelialistis, belum dewasa dan dingin (Kopper & Smith; Mueller & Yoder; LaMastro; Lampman & Dowling-Guyer dalam Giles, Shaw & Morgan, 2009). Stereotype yang muncul seakan menghakimi bahwa individu voluntary childlessness berada pada tahap stagnasi, yaitu tahap dimana individu tidak peduli terhadap siapapun. Perlu diketahui bahwa menjadi orang tua bukanlah jaminan seseorang dapat mencapai tahap generativitas, sebab menjadi orang tua hanya merupakan salah satu cara untuk mencapai generativitas (Rothrauff, T. & Cooney, T.M., 2008). Selain itu, ketika individu menginginkan bahkan memiliki anak, belum tentu individu tersebut dapat mencapai generativitas (Erikson dalam Bunga Rampai I, 1989). Generativitas dapat bersumber dari terlibatnya individu dalam beberapa peran, seperti menjadi kepala keluarga, pemimpin dalam organisasi dan komunitas (Staudinger & Bluck dalam Human Development, 2008).

Kotre (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa terdapat empat bentuk generativitas yang merepresentasikan berbagai macam cara dalam mengekspresikan generativitas, yakni generativitas biologis, generativitas parental, generativitas kultural dan generativitas teknis. Generativitas biologis akan berkembang ketika orang dewasa mengandung dan melahirkan anak. Generativitas parental akan berkembang ketika orang dewasa mengasuh dan membesarkan anak. Selain itu, generativitas kultural akan berkembang ketika orang dewasa menciptakan, merenovasi atau memelihara kebudayaan yang akhirnya akan bertahan. Sedangkan generativitas teknis akan berkembang


(18)

ketika individu mengembangkan keahlian yang akan diturunkan kepada orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa saat ini semakin banyak jumlah pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Keputusan untuk tidak memiliki anak tersebut memunculkan stereotype yang mencerminkan bahwa voluntary childlessness berada pada tahap stagnasi. Padahal, orang dewasa dapat mengekspresikan generativitas melalui banyak cara, seperti menjadi orang tua, pemimpin, pengajar, serta bergabung dalam kegiatan-kegiatan sosial. Meskipun demikian, adapula motif yang mencerminkan bahwa individu voluntary childlessness berada pada tahap generativitas, seperti tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi atau tidak ingin mengulangi gaya pengasuhan yang salah. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak, ada tidaknya generativitas pada individu voluntary childlessness serta proses pembentukan generativitas individu voluntary childlessness.

Penelitian mengenai generativitas pada voluntary childlessness masih perlu untuk dilakukan karena kebanyakan penelitian yang dilakukan pada voluntary childlessness merupakan penelitian yang menawarkan tentang komentar umum mengenai gaya hidup, refleksi diri, proses pengambilan keputusan serta perilaku atau cara mengatasi masyarakat pronatal (Mawson, D.L., 2005). Selain itu, penelitian mengenai individu voluntary childlessness di budaya Timur sendiri masih sulit untuk ditemui. Padahal, penelitian


(19)

mengenai individu voluntary childlessness penting untuk dilakukan di budaya Timur sebab salah satu tujuan utama dari pernikahan di budaya timur adalah menghasilkan keturunan (Irasistible, 2012). Sehingga, apabila memutuskan untuk tidak memiliki anak pada budaya Timur, maka individu tersebut akan mendapatkan tekanan yang lebih besar daripada memutuskan untuk tidak memiliki anak pada budaya Barat. Dengan demikian, peneliti tertarik untuk melihat motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak, ada tidaknya generativitas pada individu voluntary childlessness serta proses pembentukan generativitas individu voluntary childlessness.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apa saja motif yang melatarbelakangi individu voluntary childlessness untuk tidak memiliki anak?”, “apakah individu voluntary childlessness memiliki dorongan generativitas?” dan “bagaimana proses pembentukan generativitas pada individu voluntary childlessness?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai motif yang melatarbelakangi individu untuk tidak memiliki anak, ada tidaknya generativitas pada individu voluntary childlessness serta proses pembentukan generativitas individu voluntary childlessness.


(20)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Menambah pengetahuan dalam bidang Psikologi Perkembangan, khususnya dalam hal generativitas pada individu voluntary childlessness sehingga dapat menambah informasi bagi peneliti selanjutnya. Selain itu, hasil dari penelitian ini dapat menambah informasi dan menjawab keterbatasan penelitian sebelumnya mengenai generativitas pada voluntary childlessness.

2. Manfaat Praktis

Menambah pengetahuan bagi para psikolog yang bekerja sebagai seorang konselor mengenai generativitas pada voluntary childlessness sehingga diharapkan dapat lebih memahami para voluntary childlessness.


(21)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Voluntary Childlessness

Keadaan belum memiliki anak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu involuntary childlessness dan voluntary childlessness (Mc. Quillan, Greil, White, & Jacob dalam Cahyani, 2013). Involuntary childlessness adalah sebuah keadaan dimana pasangan belum memiliki anak dan berharap nantinya akan memiliki anak, sedangkan voluntary childlessness, adalah sebuah keadaan dimana pasangan yang belum memiliki anak disebabkan keinginan pasangan tersebut yang dapat dikarenakan beberapa hal, misalnya saja ingin lebih memikirkan karir.

Samantha A. Kwon (2005) dalam ulasan literaturnya menyebutkan bahwa terdapat lima macam motif yang mempengaruhi individu dalam mengambil keputusan sebagai voluntary childlessness, seperti ekonomi, feminisme, zero polulation growth, pengalaman hidup serta manfaat yang dirasakan.

1. Ekonomi

Salah satu hal yang menyebabkan seseorang memilih untuk menjadi voluntary childlessness adalah alasan ekonomi (Gillespie; Hird & Abshoff; Seccombe dalam Kwon, 2005). Individu voluntary childless-ness biasanya memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki tingkat pendidikan yang tinggi


(22)

sehingga mereka cenderung mendapatkan pekerjaan sebagai seorang profesional dan memiliki jabatan yang bagus di tempatnya bekerja. Selain itu, para voluntary childlessness memiliki kebutuhan untuk dapat berekreasi, memperoleh harta benda dan mempertahankan gaya hidupnya. Mereka percaya bahwa kehadiran seorang anak dapat menghambat mereka untuk memenuhi kebutuhannya, sebab mereka perlu untuk mengeluarkan biaya dalam mengurus anak (Cameron; hird & Abshoff dalam Kwon, 2005). Oleh sebab itu, mereka memilih untuk tidak memiliki anak.

2. Feminisme

Faktor lainnya yang juga memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan adalah feminisme. Tujuan dari gerakan feminisme adalah membebaskan kaum perempuan dari masalah penindasan. Tujuan tersebut memungkinkan bagi kaum perempuan untuk secara bebas dapat memilih pilihan reproduksi (Campbell dalam Kwon, 2005).

3. Zero population growth

Zero population growth merupakan sebuah gerakan sosial politik yang membuat masyarakat menjadi sadar akan ledakan populasi sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa akan terjadi kekurangan sumber daya. Dengan demikian, gerakan ini memberikan dorongan bagi seseorang untuk memilih menjadi voluntary childlessness sebab mereka


(23)

tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi. Selain itu, gerakan tersebut juga membenarkan keputusan menjadi voluntary childlessness (Campbell; Connidis & McMulIIn; Hird & Abshoff; Mei dalam Kwon, 2005).

4. Pengalaman hidup

Pengalaman hidup seseorang juga dapat menjadi dasar pengambilan keputusan untuk menjadi voluntary childlessness. Park dalam Giles, Shaw & Morgan (2009) menekankan bahwa pengalaman buruk pada masa kanak-kanak dapat memicu seseorang untuk memilih tidak memiliki anak. Pengalaman buruk tersebut biasanya berupa pengalaman yang traumatik dimana mereka menjadi saksi bahkan menjadi korban kekerasan dalam keluarganya. Dengan demikian, individu tersebut memilih untuk menjadi voluntary childlessness sebab mereka ingin menghentikan serta tidak ingin mengulang kembali kekerasan tersebut (Charmichael & Whittakr, 2007). Selain itu, pengalaman mereka tentang kesulitan dalam mengurus seorang anak juga dapat memunculkan kekhawatiran akan ketidakmampuan dirinya dalam memenuhi standar sebagai orang tua yang baik (Cameron, Landa, May dalam Kwon, 2005). Selain itu, pengalaman tersebut juga membuat mereka menjadi takut dan cemas untuk mengulangi gaya pengasuhan yang kurang baik (Hird & Abshoff dalam Kwon, 2005)


(24)

5. Manfaat yang dirasakan dari pengambilan keputusan sebagai

voluntary childlessness

Keputusan individu untuk menjadi voluntary childlessness memiliki beberapa konsekuensi, baik dalam bentuk yang positif maupun negatif (Doyle, J.E., Pooley, J., & Breen, L., 2012). Konsekuensi positif yang didapat berupa dukungan serta penerimaan dari lingkungan sekitar. Sedangkan konsekuensi negatif muncul dalam bentuk tekanan serta diskriminasi yang didapat dari keluarga, teman dan masyarakat. Tekanan yang didapatkan biasanya berupa komentar dari lingkungan yang menilai bahwa ada hal yang salah dengan mereka karena memilih untuk tidak memiliki anak. Selain itu, diskriminasi biasanya didapat dalam dunia kerja, seperti adanya harapan untuk dapat bekerja lebih lama serta dapat menyelesaikan pekerjaan para ibu yang harus pulang lebih awal untuk merawat anak. Adapula stereotype yang muncul mengenai voluntary childlessness, yaitu mereka merupakan individu yang egois, matrelialistis, belum dewasa dan dingin (Kopper & Smith; Mueller & Yoder; LaMastro; Lampman & Dowling-Guyer dalam Giles, Shaw & Morgan, 2009). Meskipun mereka mendapatkan tekanan dan diskriminasi, banyak voluntary childlessness yang dapat merasakan manfaat dari keputusan mereka untuk tidak memiliki anak. Manfaat yang mereka rasakan berupa kebebasan, khususnya dalam hal menghabiskan waktu untuk diri sendiri maupun dengan pasangan (Kwon, S.A., 2005). Dengan demikian, para voluntary childlessness cenderung merasa puas


(25)

terhadap hubungan pernikahannya sebab mereka dapat lebih mudah menjaga keintiman serta kenyamanan dalam relasinya dengan pasangan. Bagi voluntary childlessness, kehadiran seorang anak dapat mengubah hubungan mereka dengan pasangannya. Selain itu, mereka cenderung lebih fleksibel dalam membagi waktunya untuk diri sendiri, pasangan, keluarga, teman, pekerjaan, hobi serta bergabung dalam kegiatan sebagai sukarelawan atau pekerjaan sebagai seorang penolong yang dapat membuat kehidupan orang lain menjadi lebih baik. Dengan demikian, mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk mencapai tujuan hidup (Majumdar, D., 2004; Victor J. Callan, 1987; Heller, Tsai, & Chalfant; Jacobson & Heaton; Rovi, dalam Abma, J. & Martinez, G., 2006; Doyle, J.E., Pooley, J., & Breen, L., 2012).

B. Generativitas

Ketika individu memasuki usia dewasa madya (35-60 tahun), individu tersebut berada pada tahap ketujuh dalam tahapan perkembangan psikososial Erikson, yaitu tahap generativitas versus stagnasi. Generativitas adalah perhatian orang dewasa untuk membentuk dan membimbing generasi selanjutnya (Erikson dalam Papalia, 2008). Generativitas muncul ketika individu memiliki kebutuhan untuk dibutuhkan yang dikombinasikan dengan tuntuan eksternal dalam bentuk peningkatan harapan dan tanggung jawab yang dapat menghasilkan kesadaran akan generasi selanjutnya (McAdams dalam Papalia, 2001). Individu yang mencapai tahap generativitas memiliki


(26)

ketertarikan dalam membuat kontribusi dan mengarah pada kehidupan yang produktif (Hamachek dalam Lemme, 1995). Berkurangnya tanggung jawab dalam keluarga dapat membebaskan seseorang untuk mengekspresikan generativitas pada skala yang lebih luas (Papalia, 2008). Ketika individu tidak menemukan saluran untuk mengembangkan generativitas maka individu tersebut akan mengalami stagnasi, dimana individu akan terfokus pada kebutuhan dan kepentingan pribadinya hingga memanjakan dirinya sendiri seolah-olah dirinya adalah anak sendiri.

Generativitas merupakan aspek yang penting dalam perkembangan psikososial dewasa madya dan dapat diekspresikan melalui banyak cara. Munculnya generativitas dapat dipengaruhi oleh harapan sosial serta keterlibatannya dalam berbagai peran (Staudinger & Bluck dalam Papalia, 2008). Kotre (1984) menyebutkan bahwa terdapat empat macam bentuk generativitas, yaitu generativitas biologis, generativitas parental, generativitas teknis dan generativitas kultural. Terlepas dari bentuknya, orang dewasa dapat mengekspresikan generativitas melalui dua cara, yaitu communal dan agentic (Kotre dalam Papalia, 2008). Cara communal merupakan cara yang mengandung perhatian dan pengasuhan terhadap orang lain, sedangkan cara agentic dilakukan dengan cara memberi kontribusi personal kepada masyarakat.


(27)

1. Generativitas Biologis

Generativitas biologis dapat berkembang ketika seseorang memiliki rencana untuk menghasilkan keturunan dan merawatnya. Target dalam generativitas biologis adalah bayi yang baru lahir. Generativitas biologis berlangsung setelah periode pembuahan hingga tahun pertama kehidupan seorang anak. Dalam periode ini, orang tua menyediakan makanan yang diperlukan oleh anak untuk menjamin kelangsungan hidup anak mereka (McKeering, H. & Pakenham, K.I., 2000). Erikson (dalam Scoklitsch, A., 2012) menekankan bahwa generativitas melibatkan kemampuan seseorang untuk memberikan keturunan, produktivitas dan kreativitas sehingga orang dewasa diharapkan dapat melahirkan, mengasuh serta membimbing generasi yang lebih muda. Generativitas biologis sama halnya dengan istilah prokreativitas yang diutarakan oleh Erikson, dimana seseorang menghasilkan keturunan dan merawatnya. Salah satu bentuk perilaku yang mengekspresikan generativitas adalah orang dewasa memiliki ketertarikan untuk memiliki keturunan dan merawat anaknya sendiri (Hamachek dalam Lemme, 1995).

2. Generativitas Parental

Generativitas parental berkembang ketika seseorang mengasuh anak-anak. Pengasuhan yang dimaksud dapat diekspresikan melalui memberi makan, memberikan pakaian, melindungi, mencintai, mengajarkan untuk disiplin dan memperkenalkan anak-anak pada tradisi


(28)

keluarga. Pada penelitian sebelumnya, Pratt, Norris, Arnold dan Flyer (1999) menyatakan bahwa generativitas berkaitan dengan kepentingan orang dewasa dalam mensosialisasikan nilai-nilai kepada orang muda. Selain itu, Hart, McAdam, Hirsch dan Bauer (2001) juga menunjukkan bahwa individu yang generatif memiliki kesadaran dimana mereka memiliki tugas sebagai guru dan panutan bagi anak-anak mereka. Cara seseorang merawat anak dapat memperluas generativitas sosial (McKeering dan Pakenham, 2000). Misalnya, ketika seorang individu memiliki keprihatinan pada perkembangan sosial emosi anaknya, maka individu tersebut juga memiliki keprihatian pada kesejahteraan umum masyarakat. Seseorang dapat sukses dalam mengembangkan generativitas apabila upayanya dalam merawat anak berjalan dengan baik dan menghasilkan hubungan yang dekat dengan anak (Snarey, 1993).

3. Generativitas Teknis

Generativitas teknis berkembang ketika seseorang mengajarkan sebuah keterampilan dalam melakukan sesuatu, seperti cara membaca, cara memancing, cara bermain biola dan sebagainya. Erikson menyatakan bahwa generativitas dapat dikembangkan dengan cara mengajar (Christiansen, S. L. & Palkovitz, R., 1998). Melalui generativitas teknis, guru mewariskan keterampilan pada siswa mereka. Dengan melakukan identifikasi pada diri siswa, maka guru tersebut dapat menemukan bahwa dengan mengajar, guru dapat mengingat kembali pengalaman masa


(29)

lalunya mengenai kemampuan yang dimilikinya serta menyadari bahwa kemampuan tersebut dapat diperluas di masa depan (Weber, S., 1990).

4. Generativitas Kultural

Generativitas kultural mengacu pada pelestarian, perbaharuan, atau menciptakan sebuah budaya yang kemudian akan ditinggalkan pada generasi selanjutnya. Budaya merupakan hal yang sangat beragam dan manusia hidup di dalam keberagaman tersebut. Dengan demikian, seorang anak perlu untuk ditanamkan budaya agar dapat bertahan hidup. Dalam domain budaya, seseorang tidak hanya mengajarkan bagaimana melakukan sesuatu tetapi juga memberitahu mereka tentang sebuah keyakinan, nilai-nilai apa yang perlu mereka pertahankan, teori- teori, serta hal-hal apa saja yang mereka jiwai. Budaya yang dimaksud dapat berupa tradisi sebuah suku dan agama, serta kelompok yang dibentuk untuk menolong diri seseorang, seperti para pecandu alkohol, gerakan para penginjil atau komunitas ideologis (Manheimer, R.J., 1995). Generativitas kultural tidak hanya berpusat pada kelangsungan hidup secara fisik, namun juga pada perkembangan psikologis dan moral. Erikson (dalam Kotre, 1999) juga menyatakan bahwa yang menjadi pusat perhatian bukanlah pada perkembangan hidup fisik seorang anak, melainkan pada perkembangan psikosial mereka, yaitu perkembangan pada tahap kepercayaan, otonomi, inisiatif dan industri. Dengan demikian, orang tua memerlukan sebuah panduan hidup atau hal-hal yang menjadi pegangan


(30)

dalam hidupnya sehingga dapat memberikan penjelasan kepada anak mengenai makna yang ada dibalik perilaku anak tersebut, sebab anak memerlukan sebuah kerangka yang dapat dipercaya dari sebuah budaya.

Lebih lanjut, Mc.Adams (1992) menyebutkan terdapat tiga macam aspek yang dapat digunakan untuk mengukur generativitas, yakni komitmen, perilaku generatif dan naratif.

1. Komitmen

Komitmen dalam perilaku generativitas muncul karena adanya pengaruh dari tuntutan budaya, dorongan dari dalam diri, perhatian serta adanya rasa percaya pada harapannya untuk memajukan serta memperbaiki kehidupan generasi selanjutnya. Keempat hal tersebut akan memunculkan rasa tanggung jawab sehingga individu berani mengambil keputusan serta menjalankan tujuannya yang bersifat generatif.

Untuk mengukur komitmen seseorang dalam berperilaku generatif, skala yang digunakan adalah skala generativitas loyola yang dirancang oleh para peneliti di Pusat Foley. Pada awalnya, skala ini memiliki 39 item. Namun, setelah dilakukan pengujian, didapat 20 item terbaik. Masing-masing item dari 20 pernyataan tersebut menunjukkan bahwa item tersebut memiliki variabilitas yang luas di setiap respons, memiliki korelasi yang tinggi dengan skor total LGS dan memiliki korelasi yang tinggi dengan pengukuran eksternal generativitas. Koefisien alpha cronbach dari 20 item tersebut adalah 0,83 yang berarti bahwa keduapuluh


(31)

item merupakan item yang handal atau reliabel. Dalam menskor skala tersebut, digunakan angka 0-3. Individu diminta untuk memutuskan seberapa dekat pernyataan-pernyataan yang ada dengan dirinya. Angka 0 jika tidak sama sekali, angka 1 jika kadang-kadang atau jarang, angka 2 jika cukup sering dan angka 3 jika sangat sering atau hampir selalu.

2. Aksi/ Perilaku Generatif

Dalam perilaku generatif, seseorang akan menjadi kreatif dan produktif sehingga menghasilkan hal atau orang. Idealnya, perilaku generatif berkaitan langsung dengan komitmen. Perilaku yang termasuk dalam perilaku generatif adalah membuat, memelihara, dan memberikan penawaran pada orang lain.

3. Narasi

Pada aspek narasi, orang-orang dewasa mendefinisikan dirinya di dalam masyarakat. Definisi tersebut dibuat dengan membentuk suatu dongeng atau kisah hidup (McAdams & de St. Aubin, 1992). Narasi digunakan untuk membantu seseorang dalam memahami kehidupan yang merupakan sebuah proses berkesinambungan dalam perkembangan diri seorang individu (Papalia, 2008).


(32)

C. Generativitas pada Voluntary Childlessness

Generativitas adalah perhatian orang dewasa untuk membentuk dan membimbing generasi selanjutnya. Dengan kata lain, orang dewasa memiliki keprihatinan dalam membentuk serta membimbing generasi yang lebih muda. Generativitas berkembang pada usia dewasa madya. Orang dewasa tanpa anak bisa berhasil melewati tahap generativitas, sebab menjadi orang tua hanya merupakan salah satu cara untuk mencapai generativitas.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa generativitas pada voluntary childlessness dapat dikembangkan melalui berbagai macam cara. Hal tersebut nampak pada motif yang mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak, seperti bergabung dalam kegiatan sebagai sukarelawan, berprofesi sebagai seorang penolong yang dapat membuat kehidupan orang lain menjadi lebih baik, tidak ingin mengulang kembali kekerasan yang diakibatkan oleh gaya pengasuhan yang salah serta tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi yang dapat menyebabkan kurangnya sumber daya.

D. Narasi dalam pembentukan Generativitas Pada Individu Voluntary

Childlessness

Pada masa paruh baya, orang-orang dewasa akan merevisi kisah hidup (McAdams dalam Papalia, 2008) serta memutuskan kontinuitas dan koherensi kisah hidup tersebut (Rosenberg et al. dalam Papalia, 2008). Dalam psikologi naratif, kisah hidup tersebut dipandang sebagai identitas


(33)

yang perlu untuk dipahami. Dan untuk memahami identitas yang dipandang sebagai kisah hidup tersebut, dapat digunakan narasi. Sebab, fungsi utama narasi adalah menata sesuatu yang tidak tertata. Melalui narasi, kita dapat menangkap keteraturan pada sesuatu yang kelihatannya tidak teratur (Murray dalam Smith, 2009).

Erikson dalam Papalia (2008) menyatakan bahwa generativitas merupakan sebuah aspek dari pembentukan identitas dan identitas terkait erat dengan komitmen serta peran sosial. Meskipun Erikson mengatakan bahwa pembentukan identitas merupakan masalah utama masa remaja, dia juga mengatakan bahwa identitas akan terus berkembang (Papalia, 2008). Hal tersebut didukung oleh pandangan beberapa ahli yang mengatakan bahwa proses pembentukan identitas merupakan isu pokok dalam masa dewasa (McAdams & de St. Aubin dalam Paplia, 2008). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembentukan identitas yang terjadi pada masa dewasa madya adalah pembentukan generativitas. Ketika individu menjadi semakin tua, generativitas dapat menjadi tema penting dalam kisah hidupnya. Naskah generativitas dapat memberikan akhir yang bahagia untuk kisah kehidupan tersebut.

Naskah yang dibuat tersebut didasari oleh keyakinan bahwa tindakan generatif dapat menghasilkan perbedaan dan hasil dari tindakan generatif tersebut dapat bertahan sampai individu tersebut meninggal (McAdams dalam Papalia, 2008). Dengan demikian, orang-orang akan mengikuti naskah yang telah mereka ciptakan ketika mereka dimotivasi oleh identitas mereka


(34)

(McAdams, Diamon, de. St. Aubin, & Mansfield dalam Papalia, 2008). Orang dewasa yang generatif biasanya menuturkan kisah komitmen dan telah menikmati hidup yang lebih baik serta memiliki keinginan untuk meringankan penderitaan orang lain (McAdams dalam Papalia, 2008).

E. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah “apa saja motif yang melatarbelakangi individu voluntary childlessness untuk tidak memiliki anak?”, “apakah individu voluntary childlessness memiliki dorongan generativitas?” dan “bagaimana proses pembentukan generativitas pada individu voluntary childlessness?”.


(35)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian (Moleong, 2012). Tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk menggali lebih dalam serta memahami permasalahan seorang individu maupun kelompok (Creswell dalam Herdiansyah, 2010).

B. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini merupakan individu dewasa madya yang berusia 35-60 tahun. Teknik yang digunakan dalam pencaharian subjek adalah criterion sampling, yaitu teknik pemilihan subjek berdasarkan kriteria yang dibuat oleh peneliti. Kriteria yang digunakan dalam memilih subjek adalah individu yang memilih untuk tidak memiliki anak dan sudah menikah. Peneliti memilih individu yang telah menikah karena adanya asumsi bahwa tuntutan untuk memiliki anak pada individu yang telah menikah jauh lebih besar daripada individu yang belum atau tidak menikah.


(36)

C. Fokus Penelitian

Fokus dari penelitian ini adalah pengalaman hidup individu voluntary childlessness di tengah masyarakat pronatal. Pengalaman hidup yang dimaksud berupa pengalaman ketika individu mengambil keputusan untuk hidup tanpa anak serta pengalaman ketika menjalani keputusan tersebut di tengah masyarakat pronatal hingga saat ini. Selain itu, penelitian ini juga akan memberikan gambaran mengenai keberadaan dorongan generativitas pada individu voluntary childlessness serta proses terbentuknya dorongan generativitas tersebut.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode yang akan digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah metode wawancara. Menurut Gorden (dalam Herdiansyah, 2009), wawancara merupakan percakapan antara dua orang, dimana salah satu individu mencoba untuk menggali dan mendapatkan informasi sesuai dengan tujuan tertentu. Wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Menurut Herdiansyah (2009), ciri-ciri wawancara semi terstruktur adalah menggunakan pertanyaan terbuka, kecepatan wawancara dapat diprediksi, pertanyaan maupun jawaban lebih fleksibel namun terkontrol, adanya pedoman wawancara yang dapat dijadikan patokan saat wawancara berlangsung, serta bertujuan untuk memahami suatu fenomena tertentu. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan Loyola Generativity Scale


(37)

(LGS) untuk menambah informasi mengenai komitmen individu voluntary childlessness dalam pengambilan keputusan serta berperilaku generatif.

E. Metode Analisa Data

Metode yang digunakan untuk menganalisa data dalam penelitian ini adalah metode analisis naratif. Menurut Murray dalam Smith (2009), terdapat dua langkah yang dilakukan untuk menganalisa data mentah yang telah didapatkan, yaitu:

1. Analisis Deskriptif

Hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu dalam analisis deskriptif adalah membuat sebuah ringkasan yang terdiri dari alur cerita awal, tengah dan akhir. Tujuan dari membuat ringkasan adalah untuk memungkinkan bagi peneliti dalam memperoleh gagasan mengenai isu-isu utama yang muncul (Mishler dalam Smith, 2009). Kerangka yang telah dibuat memungkinkan peneliti untuk menangkap makna menyeluruh dari berbagai narasi yang ada, serta beragam isu khusus yang muncul pada masing-masing narasi.

2. Analisis Interpretatif

Analisis interpretatif merupakan tahap kedua dalam analisis naratif. Pada tahap ini, hal yang perlu dilakukan adalah mengkaikan narasi


(38)

dengan literatur teoretis untuk menginterpretasi kisah yang berssangkutan.

F. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas dalam penelitian kualitatif merupakan pemeriksaan terhadap keakuratan hasil penelitian dari sudut pandang peneliti, partisipan dan pembaca (Creswell & Miller dalam Creswell, 2012). Dalam penelitian ini, kredibilitas dicapai melalui triangulasi sumber dan triangulasi teori. Triangulasi sendiri merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data (Rahardjo, 2010). Triangulasi sumber dilakukan dengan cara menggali kebenaran informasi tertentu melalui berbagai sumber data (Rahardjo, 2010). Dalam penelitian ini, triangulasi sumber dilakukan untuk memperoleh keyakinan bahwa subjek benar-benar merupakan individu voluntary childlessness. Sedangkan triangulasi teori dilakukan dengan cara menyertakan penjelasan pembanding pada hasil analisis yang telah dilakukan (Moleong, 2012).


(39)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti melakukan persiapan terlebih dahulu. Pertama-tama, peneliti mencari subjek yang sesuai dengan kriteria subjek dalam penelitian ini. Peneliti mendapatkan subjek yang sesuai dengan kriteria melalui teman dan keluarga. Peneliti segera menghubungi ketiga subjek tersebut untuk menjelaskan tujuan dari penelitian ini serta menanyakan kebersediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Setelah ketiga subjek tersebut bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti segera menentukan waktu dan tempat bertemu dengan mereka. Berikut jadwal bertemu subjek dengan peneliti:

Tabel 2. Jadwal wawancara dan pengisian skala

No. Subjek Hari,Tanggal Waktu Tempat 1. B Sabtu, 17 Mei 2014 17.00-19.00 Rumah subjek 2. T Jumat, 23 Mei 2014 14.00-14.30 Rumah subjek 3. P Senin, 26 Mei 2014 11.00-13.00 Rumah subjek

Wawancara yang terlaksana direkam dengan menggunakan digital recorder. Proses wawancara dengan subjek pertama berjalan dengan lancer. Subjek dapat bercerita panjang lebar dengan mudah kepada peneliti. Beberapa hari kemudian, peneliti menemui subjek kedua untuk melakukan proses wawancara. Data dari hasil wawancara dengan subjek


(40)

kedua terpaksa harus peneliti gugurkan karena subjek kedua tidak masuk dalam kriteria subjek yang telah peneliti tentukan sebelumnya. Sama seperti proses wawancara dengan subjek pertama, proses wawancara dengan subjek ketiga juga berjalan dengan lancar. Setelah wawancara selesai, peneliti kemudian membuat verbatim yang sesuai dengan deskripsi yang telah subjek sebutkan sebelumnya serta melakukan analisis dari deskripsi tersebut.

B. SUBJEK I

1. Deskripsi Subjek

B merupakan seorang perempuan yang berusia 35 tahun. Saat ini B tinggal terpisah dengan suaminya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun demikian, B dan suaminya telah berkomitmen untuk bertemu setiap 3 bulan 1 kali selama 1 bulan penuh. B bekerja di Jakarta sedangkan suami B bekerja di Paris. Saat ini B bekerja di Bank Dunia di program nasional pemberdayaan masyarakat. B telah memutuskan untuk tidak memiliki anak sejak B masih duduk di bangku kuliah. Sebelum bertemu dengan lelaki yang saat ini menjadi suami B, B sempat menjalin sebuah relasi romantis dengan salah seorang lelaki selama 8 tahun. Namun, hubungan tersebut harus berakhir karena lelaki tersebut tidak mendukung keinginan B untuk tidak memiliki anak. Meskipun demikian, B kemudian bertemu dengan seorang lelaki yang saat ini menjadi suaminya. Pada pertemuan


(41)

pertamanya dengan lelaki tersebut, B menceritakan permasalahan yang terjadi pada dirinya dan menemukan kecocokan dengan lelaki tersebut. B merasa cocok dengan lelaki tersebut karena mereka memiliki jalan pikiran yang sama, khususnya dalam hal pengambilan keputusan untuk tidak memiliki anak. Karena kecocokan tersebutlah, B menikah dengan lelaki itu.

2. Analisis Deskriptif a. Awal

Dalam wawancara, B menceritakan bahwa ketika B masih kecil, B tidak mendapatkan haknya sebagai seorang anak untuk diasuh oleh kedua orang tuanya. B menganggap pengalaman masa kecilnya merupakan pengalaman yang menyakitkan. Pengalaman tersebut berpengaruh besar pada pengambilan keputusan B untuk tidak memiliki anak. B merupakan individu yang senang memiliki banyak kegiatan dan masih ingin meniti karirnya. Saat itu B memiliki pekerjaan yang menuntutnya untuk selalu berpergian. B menyadari bahwa memiliki anak merupakan tanggung jawab yang besar sehingga apabila B memiliki anak, B akan terpaksa diam dirumah dan harus berhati-hati dalam memilih kegiatan. Oleh sebab itu, B mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak karena B menyadari bahwa pekerjaan yang ia pilih tidak sejalan dengan kehidupan seorang ibu yang memiliki anak. B tidak ingin


(42)

mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anaknya apabila B memiliki anak.

b. Tengah

Selama menjalankan pilihannya untuk tidak memiliki anak, B sering mendapatkan pertanyaan-pertanyaan seputar anak dari lingkungan sekitar. Pada awalnya, B masih sangat bersemangat untuk menjelaskan kepada mereka mengenai alasannya memilih tidak memiliki anak. Namun, saat ini B tidak begitu bersemangat lagi dan lebih memilih untuk memberikan jawaban yang diharapkan oleh lingkungan. “Harus belajar ngeles, sama orang harus dapetin jawaban yang mereka mau”.

Ibu B sempat tidak menyetujui keputusan B tersebut. namun, perlahan-lahan ibu B mulai menyadari bahwa B tidak ingin menyusahkan ibunya sehingga ibu B mendukung keputusan B. Ketidakpedulian B pada komentar lingkungan sekitar serta Adanya dukungan dan upaya dari sang ibu agar B terhindar dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keluarga besar, membuat B semakin berpegang teguh pada pilihannya. “Mau ngomong apa juga bodo. Hahaha. Hidupku. Hahaha. Yang penting kan keluarga”.

Tak hanya bergantung pada usaha sang ibu, B juga melakukan usaha untuk membuktikan pada keluarga bahwa


(43)

pilihan hidupnya merupakan pilihan yang benar. “Dan memang saudara-saudara ngeliat aku juga makin maju aja, jadi ya „ah.. mungkin itu memang pilihan yang benar‟. Gitu aja sih. Itu pembuktian juga”.

c. Akhir

Pada akhirnya, keputusan B untuk tidak memiliki anak tetap B jalani hingga saat ini. Hal ini dikarenakan B merasa hidup yang dijalaninya sudah memuaskan. Sebab, hal yang diinginkan oleh B telah tercapai, yakni tidak berlaku tidak adil pada anaknya. “Kehidupan seperti ini lebih adil. Nggak bayangin kan, kalo punya anak, suami dimana, istri dimana, anak dimana, itu juga tambah nggak lucu lagi”. Selain itu, B juga merasakan adanya keuntungan dari menjalankan pilihannya tersebut, yakni lebih bebas dalam menggunakan waktunya untuk karir dan diri sendiri serta tidak berkontribusi dalam ledakan populasi.

d. Kesimpulan

Kisah hidup B bersifat progresif. Usaha yang dilakukan B untuk mempertahankan keputusannya sebagai seorang voluntary childlessness di tengah masyarakat pronatal membuatnya semakin sukses dalam meniti karir serta mendapatkan kehidupan yang lebih baik.


(44)

3. Analisis Interpretatif a. Generativitas

Skor generativitas yang diukur menggunakan Skala Generativitas Loyola juga menunjukkan bahwa B memiliki komitmen dalam berperilaku yang berkaitan dengan generativitas yang tergolong normal. Dari skala tersebut, dapat dilihat bahwa B mewariskan atau meneruskan ilmu pengetahuan yang ia miliki, kemampuan, dan lain-lain; berkontribusi pada kebaikan komunitas, masyarakat, dan lain-lain; melakukan sesuatu yang akan selalu diingat dan diwariskan; menjadi kreatif dan produktif serta merawat dan bertanggung jawab pada orang lain.

Generativitas Parental

Salah satu cara B untuk menyalurkan dorongan generativitas yaitu melalui generativitas parental. B akan menyalurkan kasih sayang dan perhatiannya pada suami dan hewan peliharaan.

“Soalnya kalo cuman mikir obyek afeksi aja, stiap orang pasti butuh obyek afeksi kan. Toh ada suami, ada kucing tiga.“

Selain itu, B juga memiliki keinginan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu serta memiliki pekerjaan yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Toh kalo nanti memang butuh anak, atau ngerasa butuh obyek afeksi yang baru gitu bisa ngangkat, kan banyak anak yang dibuang


(45)

juga kan ya. Masih banyak yang butuh di bantu juga kok. Kalopun nggak ngangkat, paling nggak bantu anak buat digedein gitu. Di keluarganya sendiri atau apa.”

“Kerjaanku di program nasional pemberdayaan masyarakat” B memiliki keinginan untuk tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anak seperti yang dilakukan oleh orang tua subjek terhadapnya.

“Aku nggak mau kalo aku punya anak aku seperti aku dulu sampai aku kesulitan banget, tapi yaudah. Kebetulan aku memilih kegiatan yang mobilitasnya tinggi, jadi ya aku nggak mau aku nggak fair sama anakku.”

“... kita nggak mau mengulang kesalahan yang sama ya.”

“Dan ketika aku aktif banget, akan nggak fair buat anakku nanti.”

“... pilihan pekerjaanku apa dan aku yakin kalo aku terusin pilihan pekerjaan eh.. aku ngejar cita-citaku itu, aku nggak akan sempet punya waktu untuk ngurus anak dan itu nggak adil buat anaknya.”

“... di sisi yang lain juga aku tidak berlaku tidak adil pada anakku kalo aku punya anak.”

Generativitas Kultural

Cara lain yang dilakukan oleh B untuk menyalurkan dorongan generativitas yaitu dengan generativitas kultural. B tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi


(46)

“Nggak nambah populasi juga. Hahaha. Itu masalah dunia. Terlalu banyak manusia.”

b. Motif-motif Karir

B memilih untuk tidak memiliki anak karena masih ingin membangun karir dan mengejar cita-citanya. B menyadari bahwa dirinya akan kehilangan kebebasan dalam memilih kegiatan dan dengan terpaksa diam di rumah apabila B memiliki anak. Oleh sebab itu, B lebih memilih untuk tidak memiliki anak agar tidak kehilangan kebebasannya.

“Aku sadar karena pertama, waktu itu aku masih merasa aku harus bangun karir dulu gitu.”

“... pilihan pekerjaanku apa dan aku yakin kalo aku terusin pilihan pekerjaan eh.. aku ngejar cita-citaku itu, aku nggak akan sempet punya waktu untuk ngurus anak dan itu nggak adil buat anaknya.”

Zero Population Growth

B sadar salah satu permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia adalah masalah ledakan populasi sehingga hal tersebut mempengaruhi B untuk tetap menjalani kehidupan tanpa anak. “Nggak nambah populasi juga. Hahaha. Itu masalah dunia. Terlalu banyak manusia.”


(47)

Pengalaman hidup

Pengalaman masa kanak-kanak B sangat mempengaruhi B dalam mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. B memiliki pengalaman yang kurang baik sebagai seorang anak. Ketika B masih kecil, B tidak diasuh oleh kedua orang tuanya, melainkan diasuh oleh kakek neneknya. B merasa hal tersebut tidak adil sebab orang tua yang seharusnya mengasuh anak, lebih memilih untuk bersenang-senang dengan teman-temannya. Dengan demikian, B sadar bahwa dirinya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anaknya hanya karena dirinya disibukkan oleh pekerjaan.

“Jadi aku dititipkan di orang tua dan kemudian mereka akan sibuk traveling, jalan-jalan, haha hihi dengan temannya, tanpa merasa mereka ada tanggung jawab anak, yang mereka harus nabung untuk anaknya itu sekolah dan seterusnya, dan seterusnya, makan sehari-hari.”

“Jadi, aku masih punya dendam itu sampe aku menyalahkan ibuku untuk beberapa hal yang aku nggak punyai atau nggak dapet kesempatan itu.”

“Aku nggak mau kalo aku punya anak aku seperti aku dulu sampai aku kesulitan banget, tapi yaudah. Kebetulan aku memilih kegiatan yang mobilitasnya tinggi, jadi ya aku nggak mau aku nggak fair sama anakku.”

Manfaat yang dirasakan

Adanya manfaat yang dirasakan oleh B dari menjalankan keputusannya, membuat B hingga saat ini tetap memilih untuk tidak memiliki anak. Manfaat yang B rasakan, yaitu berupa


(48)

fleksibilitas dalam menggunakan waktu sehingga B dapat bekerja semaksimal mungkin dan terus dapat mengejar cita-citanya. Selain itu, B merasa kehidupan yang ia jalani saat ini sangat memuaskan dan lebih adil. Keinginan B untuk tidak bersikap tidak adil pun terpenuhi.

“... lebih enteng untuk ngejalanin opsiku buat memilih karir dan kerja gitu kan. Eee.. bahwa aku juga bebas maksimalkan waktuku untuk kerja buat masyarakat. Yang kayak gitu. Eeem.. aku juga bisa pakai waktuku banyak tanpa harus.. misal memang ada kerjaan yang belum selesai, kalo aku harus kerja sampe jam 11, aku nggak akan mikir „ooh.. ada anakku yang harus ini.. nggak enak.. gimana..‟ jadi nggak stengah-stengah. Kalo kerja, kerja total gitu. Totalitas aja sih.”

“Ketika aku tidak mem... tidak menjalankan citaku dengan stengah-stengah di satu sisi,...”

“Kehidupan seperti ini lebih adil.” C. Subjek II

1. Deskripsi Subjek

P merupakan seorang lelaki yang berusia 54 tahun. Pertama kali P memutuskan untuk tidak memiliki anak ketika P masih berumur 16 tahun. Saat itu P memiliki keinginan untuk hidup selibat sehingga P memutuskan untuk masuk seminari. P memilih untuk masuk seminari karena P ingin dapat meolong orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak dan istri. Namun, keinginan P untuk hidup selibat pun terhenti karena P merasa bahwa hal tersebut bukan panggilan hidupnya. Dengan demikian, P memutuskan untuk keluar dari seminari dan tetap melanjutkan cita-citanya untuk menolong orang


(49)

sebanyak-dan IKIP Negeri Semarang, fakultas ilmu kimia sebanyak-dan fakultas hukum. Ketika P masih muda, P bergabung dengan organisasi yang membela para buruh. Selain itu, dulu B juga bekerja sebagai dosen. Berhubung saat ini P sudah menginjak usia 54 tahun, P merasa bahwa dirinya sudah tua dan tidak ada perusahaan yang ingin menerimanya untuk bekerja. Oleh sebab itu, P sekarang hanya bergabung dalam kegiatan di masyarakat dan gereja serta berjualan makanan ringan untuk menambah biaya hidup keluarganya. P telah menikah dengan seorang perempuan yang kebetulan rahimnya telah diangkat. P merasa bahwa dengan mendapatkan istri yang tidak memiliki Rahim tersebut justru mendukung obsesinya untuk menolong orang lain sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak.

2. Analisis Deskriptif a. Awal

P memutuskan untuk tidak memiliki anak karena P ingin melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak dan istri sehingga P memilih untuk menjadi seorang Romo. Keinginan P untuk melayani ini muncul karena ayah P sering berpesan untuk selalu menolong orang lain. Setelah menjalani kehidupannya di seminari, keinginan P untuk menjadi Romo tidak tercapai karena P merasa bahwa panggilan hidup untuk menjadi Romo telah hilang. Dengan demikian, P keluar dari seminari dan secara kebetulan


(50)

bertemu dengan seorang perempuan yang rahimnya telah diangkat. “Bulek kan bicara gini „Pak. Bapak. Tapi aku udah diangkat loh rahimnya. Dak kecewa toh dapet aku?‟. Nggak. Malah kebetulan. Jadi, mendukung obsesi om toh”. P tidak mempermasalahkan hal tersebut karena P sudah dari awal memutuskan untuk tidak memiliki anak demi menjalankan keinginannya, yaitu melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak. P menyatakan bahwa biaya kebutuhan anak saat ini tergolong mahal. P menyadari bahwa apabila P memiliki anak, uang yang P dapatkan tidak dapat digunakan untuk melayani melainkan untuk memenuhi kebutuhan sang anak.

b. Tengah

Setelah menjalani kehidupannya sebagai voluntary childlessness, P sering mendapatkan pertanyaan mengenai anak dari beberapa orang yang P temui, terutama dari lingkungan tempat tinggalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut dirasakan P cukup mengganggu. “Yang halangannya kalo ada orang tidak seiman, trus kok udah married lama nggak dikasih anak?”. Untuk mengatasi hal tersebut, P akan memberikan jawaban yang dapat mencegah pembicaraan tersebut terus mengalir, seperti belum dikaruniai anak. Meskipun demikian, P menyatakan bahwa dirinya merasa biasa saja ketika mendapat pertanyaan-pertanyaan


(51)

tersebut. Untuk bertahan pada situasi tersebut, P selalu berserah, bersyukur kepada Tuhan dan berusaha menolong sesama dengan sebaik-baiknya. “Ya udahlah nanti masa tua kan mengalir. Hidup ini mengalir. Bersyukur pada Tuhan, sesuai dengan penyelenggaraan Allah, penyelenggaraan Tuhan, hidup mengalir berusaha menolong melayani sesama dengan sebaik-baiknya. Nanti Tuhan selalu memberikan jalan yang terbaik buat om dan bulek”. Kerabat serta orang-orang seiman tidak pernah mempermasalahkan pilihan hidup P untuk tidak memiliki anak. Dari menjalani hidupnya sebagai voluntary childlessness, P menunjukkan pada masyarakat sekitar bahwa dirinya merupakan individu yang ringan tangan sehingga P menjadi salah satu orang yang diperhatikan dan dipandang oleh masyarakat.

c. Akhir

Akhir cerita, P tetap menjalankan kehidupannya sebagai voluntary childlessness hingga saat ini. Hal ini dikarenakan P merasakan adanya keuntungan dari tidak memiliki anak, yaitu P bebas dalam menggunakan waktunya. Dengan demikian, P merasa sangat bahagia karena P mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu melayani orang sebanyak-banyaknya. “Secara psikis om bahagia sekali”.

Semakin kesini, nggak punya anak semakin lebih bisa melayani”. Keputusan P untuk tidak memiliki anak juga


(52)

diperkuat oleh kesepakatan P dengan sang istri untuk tidak mengadopsi anak.

d. Kesimpulan dan Isu yang Terkait

Kisah hidup P bersifat progresif. Melalui usahanya untuk tetap mempertahankan keputusannya sebagai seorang voluntary childlessness di tengah masyarakat Pronatal, P saat ini merasa sangat bahagia. Selain itu, pengalaman religiusitas P semakin diperkuat setelah menjalani keputusannya untuk tidak memiliki anak. P terus berserah dan bersyukur kepada Tuhan atas apa yang telah Tuhan berikan kepadanya.

3. Analisis Interpretatif a. Generativitas

P memiliki skor yang tergolong normal pada skor generativitas yang diukur menggunakan Skala Generativitas Loyola. Dari skala tersebut, dapat dilihat bahwa P mewariskan atau meneruskan ilmu pengetahuan yang ia miliki, kemampuan, dan lain-lain; berkontribusi pada kebaikan komunitas, masyarakat, dan lain-lain; melakukan sesuatu yang akan selalu diingat dan diwariskan; menjadi kreatif dan produktif serta merawat dan bertanggung jawab pada orang lain.


(53)

Generativitas Parental

Salah satu cara yang dilakukan P untuk menyalurkan dorongan generativitas, yaitu melalui generativitas parental. P memiliki keinginan untuk membantu orang lain.

“... supaya bisa melayani orang sebanyak-banyaknya, ikut berbagi dengan banyak orang.”

“Kepengennya ya melayani itu tok.”

P melakukan hal yang bermanfaat bagi masyarakat untuk menyalurkan dorongan tersebut.

“Masalah kenaikan gaji, upah berkala, tunjangan kesehatan, jaminan sosial, jaminan tenaga kerja, trus kenaikan eee.. UMR, upah minimal regional. Udah masuk dua tahun, gaji belum sesuai dengan UMR daerah itu, harus diperjuangkan.”

“Melayani itu misalnya ya, misalnya melayani itu ada melayani untuk gereja, itu kan juga pelayanan. Kegiatan gereja, aktivis gereja kan pelayanan juga. Belum di RT RW kan banyak kegiatan. Belum di karang taruna, belum di masyarakat.”

“Ya masyarakat sini, lingkungan sini ada masalah, tanya om.”Generativitas Kultural

P juga menyalurkan dorongan generativitas melalui generativitas kultural, dimana P menanamkan nilai-nilai pada mahasiswanya ketika P menjadi seorang dosen.

“Anak-anak itu kalo trisakti nakal-nakal anaknya. Kalo masuk kuliah tu, dosennya udah masuk, satu jam sesudahnya baru masuk.


(54)

Jangan main-main ya sama bapak. Bapak kuliah jam tujuh ya, stengah tujuh udah masuk ruangan. Buka, bapak duduk di kursi dosen nunggu anak-anak itu. Nanti, „bapak udah dateng loh. Udah di dalam ruangan loh.‟. Wuah langsung cepet-cepetan. Paling nggak ada lima menit udah selesai masuk. Kan ngajari disiplin.”

Generativitas Teknis

P meneruskan ilmu pengetahuan yang P miliki pada generasi muda melalui perannya sebagai seorang dosen. P juga menanamkan nilai-nilai pada generasi muda.

Om ngajar, ngajar PMP sama hukum itu, ya mata kuliahnya om, tak ajarkan.”

b. Motif-motif Ekonomi

Salah satu alasan P memilih untuk tidak memiliki anak adalah alasan ekonomi. P menyatakan bahwa biaya kebutuhan anak saat ini tergolong mahal. P menyadari bahwa apabila P memiliki anak, uang yang P dapatkan tidak dapat digunakan untuk melayani melainkan untuk memenuhi kebutuhan sang anak.

“... coba kalo punya istri dan anak, kan gajinya kan untuk anak istri. Untuk anak biaya anak kan mahal sekarang.”(231-237)


(55)

Pengalaman hidup

Ketika P masih anak-anak, ayah P sering menasihati untuk selalu menolong sesama. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi P dalam mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. P ingin melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak. Oleh sebab itu, P memilih untuk tidak memiliki anak.

“Dulu bapak sering berpesan „gemar-gemarlah menolong orang lain‟.”

Manfaat yang dirasakan

Adanya manfaat yang P rasakan setelah menjalani keputusannya, membuat P semakin kuat pada pendiriannya untuk tidak memiliki anak. P saat ini merasa sangat bahagia karena P dapat menolong orang lain tanpa terikat oleh waktu.

“... ndak punya anak, jadi lebih leluasa lah kemana-mana. Nggak jam sembilan bapak-bapak pulang nidurin anaknya. Lah om kan sampe jam 12, 1 ada kebaktian ato ada apa kan, sampe pagi pun tak ladeni.”

“Semakin kesini, nggak punya anak semakin lebih bisa melayani.”

D. Ringkasan Hasil Kedua Subjek

Kedua subjek memiliki narasi yang bersifat progresif. Narasi yang bersifat progresif ini merupakan narasi yang melukiskan kehidupan sebagai sebuah tantangan yang mengandung kesempatan untuk membuatnya maju. Kisah kedua subjek diawali dengan pengambilan


(56)

keputusan untuk tidak memiliki anak di tengah masyarakat pronatal. Keputusan yang mereka ambil mengantar mereka pada kehidupan yang kurang nyaman. Beragam pertanyaan dan komentar dilontarkan oleh masyarakat pronatal. Pertanyaan dan komentar yang didapat merupakan konsekuensi dari keputusan yang telah mereka ambil dan dirasa cukup mengganggu oleh kedua subjek. Berbagai macam usaha dilakukan oleh kedua subjek untuk mendapatkan kehidupan yang lebih nyaman. Akhir cerita, usaha yang mereka lakukan membuahkan hasil yang baik, yakni subjek pertama merasa bahwa kehidupannya saat ini terasa memuaskan dan lebih adil serta semakin sukses dalam meniti karirnya sedangkan subjek kedua semakin diperkuat dalam pengalaman religiusitasnya dan merasa sangat bahagia karena ia dapat melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak.

Kedua subjek sama-sama memiliki dorongan generativitas. Generativitas yang muncul pada diri individu voluntary childlessness adalah generativitas parental, generativitas kultural dan generativitas teknis. Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan skala generativitas loyola, komitmen kedua subjek untuk bertanggung jawab terhadap generativitas selanjutnya tergolong normal. Hal ini menunjukkan bahwa kedua subjek dapat mengembangkan generativitas melalui berbagai macam cara, seperti melalui generativitas parental, kultural dan teknis.

Generativitas parental kedua subjek muncul dalam bentuk penyaluran kasih sayang serta perhatian pada pasangan, hewan peliharaan


(57)

dan masyarakat yang kurang beruntung. Generativitas kultural kedua subjek muncul dalam bentuk mempertahankan budaya yang sudah ada, seperti tidak ingin berkontribusi pada ledakan populasi dan menanamkan nilai-nilai kepada generasi yang lebih muda. Sedangkan generativitas teknis muncul dalam bentuk mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki.

Dalam mengambil keputusan sebagai individu voluntary childlessness, kedua subjek sama-sama memiliki motif yang dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya dan adanya manfaat yang dirasakan. Motif lain yang muncul adalah adanya pengaruh zero population growth, alasan ekonomi dan karir. Motif-motif tersebut muncul karena adanya pengaruh dari pengalaman pribadi dan lingkungan.

Dalam konteks personal, kedua subjek memiliki pengalaman yang berbeda. Subjek pertama menganggap bahwa tantangan utama dalam menjalankan kehidupannya sebagai voluntary childlessness adalah membuktikan bahwa pilihan untuk tidak memiliki anak yang diambilnya merupakan pilihan yang tepat. Konsekuensi yang didapat dari menjalankan keputusannya memang dirasa cukup mengganggu, namun tidak dilihat sebagai ancaman melainkan sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi dan dapat membawanya untuk lebih maju. B mendeskripsikan berbagai pengalaman yang penuh perjuangan dan adanya dukungan dari keluarga.

Sedangkan tantangan utama bagi subjek kedua adalah dapat menolong orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak. P cenderung


(58)

mendeskripsikan pengalaman yang penuh perjuangan dan adanya dukungan dari pasangan dan kerabatnya. Konsekuensi yang didapat P tidak dilihat sebagai ancaman untuk menolong orang sebanyak-banyaknya, melainkan sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Pada konteks sosial, narasi dilihat melalui perspektif moral (Noblitt dan Dempsey dalam Murray dalam Smith, 2008) sebagai suatu dongeng tentang benar dan salah, dari berbagai usaha untuk melakukan kesalehan selama masa cobaan (Murray dalam Smith, 2008). Dalam menghadapi konsekuensi yang didapat dari masyarakat pronatal, B tidak berusaha melawan masyarakat, melainkan berusaha berdamai dengan keadaan yang ada. B akan memberikan penjelasan serta jawaban yang diharapkan oleh masyarakat apabila B mendapatkan pertanyaan seputar anak. Sedangkan P, apablia P mendapatkan komentar dan pertanyaan dari masyarakat pronatal, P juga akan memberikan jawaban yang diharapkan oleh masyarakat. Selain itu, P juga memiliki kehidupan iman yang kuat sehingga P melihat konsekuensi yang didapat dari menjalankan keputusannya sebagai sebuah sarana untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan.

E. Pembahasan

Kisah para subjek dilukiskan sebagai kisah yang bersifat progresif. Kehidupan dideskripsikan sebagai sebuah tantangan yang mengandung kesempatan untuk lebih maju. Kisah dimulai saat keduanya memutuskan


(59)

untuk menjalankan kehidupan tanpa anak di tengah masyarakat pronatal. Keputusan individu untuk menjadi voluntary childlessness memiliki beberapa konsekuensi, baik dalam bentuk yang positif maupun negatif (Doyle, J.E., Pooley, J., & Breen, L., 2012). Konsekuensi positif yang didapat berupa dukungan serta penerimaan dari lingkungan sekitar. Sedangkan konsekuensi negatif muncul dalam bentuk tekanan serta diskriminasi yang didapat dari keluarga, teman dan masyarakat. Masyarakat pronatal sering melontarkan komentar dan pertanyaan-pertanyaan yang dirasa cukup mengganggu. Meskipun demikian, kedua subjek juga mendapatkan dukungan dari pasangan dan beberapa kerabatnya. Kemugkinan mendapatkan tekanan yang lebih besar dari lingkungan sekitar akan terjadi pada subjek pertama dibandingkan subjek kedua. Hal ini dikarenakan subjek kedua memiliki istri yang rahimnya telah diangkat dan memungkinkan berkurangnya mendapatkan tekanan dari keluarga.

Beragam usaha dilakukan oleh kedua subjek untuk menghadapi masyarakat pronatal. Dalam hal mengatasi komentar serta pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tersebut, kedua subjek akan memberikan jawaban yang diharapkan oleh masyarakat pronatal, seperti “belum dikaruniai” agar tidak memperpanjang pembicaraan. Beberapa individu voluntary childlessness tidak akan mengizinkan tekanan memberikan dampak pada hidupnya dan beberapa akan mengungkapkan kepuasan dari menjalani pilihannya yang tidak dirasakan sebelumnya (Park dan Kelly


(60)

dalam Doyle, Polley & Breen, 2012). Sebagai contoh, subjek pertama mengatakan bahwa kehidupannya saat ini terasa memuaskan dan lebih adil dari kehidupan sebelumnya untuk membuktikan keputusan yang telah diambilnya tersebut benar. Sedangkan subjek kedua mengatakan bahwa ia merasa sangat bahagia setelah menjalani kehidupan tanpa anak sebab ia dapat melayani orang sebanyak-banyaknya. Pada subjek pertama, ada kemungkinan dilakukannya mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi tekanan yang ia dapatkan dari luar. Sebab, subjek pertama tidak menikah secara sah dan memiliki ketakutan mendapatkan label negatif dari masyarakat.

Para voluntary childlessness memiliki dorongan generativitas. Generativitas dapat diekspresikan melalui banyak cara. Mereka mengekspresikan generativitasnya melalui generativitas parental, kultural dan teknis. Munculnya generativitas dapat dipengaruhi oleh harapan sosial serta keterlibatannya dalam berbagai peran (Staudinger & Bluck dalam Papalia, 2008). Selain itu, berkurangnya tanggung jawab dalam keluarga dapat membebaskan seseorang untuk mengekspresikan generativitas pada skala yang lebih luas (Papalia, 2008).

Terdapat lima macam motif yang melatarbelakangi subjek untuk tidak memiliki anak, yaitu pengalaman hidup, adanya manfaat yang dirasakan, pengaruh gerakan zero population growth, karir dan alasan ekonomi. Munculnya motif-motif tersebut dipengaruhi oleh rangsangan


(61)

dari luar. Motif merupakan sebuah dorongan yang dapat berasal dari pengalaman-pengalaman masa lalu (Hasibuan, 2005).

Motif yang pertama adalah karir. Dengan mengambil keputusan untuk hidup tanpa anak, individu voluntary childlessness akan lebih bebas untuk menentukan pilihan hidupnya, terutama dalam hal karir. Kebebasan dilihat sebagai komponen yang diperlukan dalam karir (Doyle, J.E., Pooley, J., & Breen, L., 2012). Sebagai contoh keinginan B untuk tidak memiliki anak muncul karena B masih ingin membangun karir dan mengejar cita-citanya. B menyadari bahwa dirinya akan kehilangan kebebasan dalam memilih kegiatan dan dengan terpaksa diam di rumah apabila B memiliki anak. Oleh sebab itu, B lebih memilih untuk tidak memiliki anak agar tidak kehilangan kebebasannya.

Motif lainnya adalah zero population growth. Tujuan dari gerakan ini adalah membuat masyarakat sadar akan ledakan populasi (Samantha A. Kwon, 2005). Dalam hal ini, B menyadari bahwa salah satu permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia adalah masalah ledakan populasi. Kesadaran B akan hal tersebut mempengaruhi B untuk tetap menjalani kehidupan tanpa anak.

Keinginan untuk tidak memiliki anak juga dipengaruhi oleh alasan ekonomi. P menyatakan bahwa biaya kebutuhan anak saat ini tergolong mahal. Mereka percaya bahwa kehadiran seorang anak dapat menghambat mereka untuk memenuhi kebutuhannya, sebab mereka perlu untuk mengeluarkan biaya dalam mengurus anak (Samantha A. Kwon, 2005).


(62)

Sebagai contoh, P menyadari bahwa apabila P memiliki anak, uang yang P dapatkan tidak dapat digunakan untuk melayani orang lain melainkan untuk memenuhi kebutuhan sang anak.

Pengalaman masa kanak-kanak kedua subjek juga mempengaruhi keputusan mereka untuk tidak memiliki anak. Ketika P masih anak-anak, ayah P sering menasihati untuk selalu menolong sesama. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi P dalam mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. P ingin melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak. Oleh sebab itu, P memilih untuk tidak memiliki anak. Selain itu, pengalaman buruk pada masa kanak-kanak dapat memicu seseorang untuk memilih tidak memiliki anak (Park dalam Giles, Shaw & Morgan, 2009) sebab pengalaman tersebut membuat mereka menjadi takut dan cemas untuk mengulangi gaya pengasuhan yang kurang baik (Hird & Abshoff dalam Kwon, 2005). Misalnya, Ketika B masih kecil, B tidak diasuh oleh kedua orang tuanya, melainkan diasuh oleh kakek neneknya. B merasa hal tersebut tidak adil sebab orang tua yang seharusnya mengasuh anak, lebih memilih untuk bersenang-senang dengan teman-temannya. Dengan demikian, B sadar bahwa dirinya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, yaitu berlaku tidak adil kepada anaknya hanya karena dirinya disibukkan oleh pekerjaan dan ambisinya untuk mengejar cita-citanya.

Setelah menjalani kehidupannya tanpa anak, kedua subjek sama-sama merasakan adanya manfaat dari menjalani keputusannya tersebut.


(1)

melayani itu ada melayani untuk gereja, itu kan juga pelayanan. Kegiatan gereja, aktivis gereja kan pelayanan juga. Belum di RT RW kan banyak kegiatan. Belum di karang taruna, belum di masyarakat. Apa yang dibutuhkan ya entengan kita. Selama kita bisa membantu dengan tangan tenaga maupun otak dan mulut. Apa toh artinya memberikan masukan, kan boleh juga memberikan masukan. Itu suatu anugerah juga.

Apa keuntungannya bagi diri om?

Keuntungannya banyak banget. Tak ceritakan satu-satu ya. Om nggak pernah kesulitan baik dalam soal relasi, soal persaudaraan, banyak saudara, banyak teman, soal status sosial maupun timbal impas dari secara psikis, secara psikis om bahagia sekali. Kalo om jatuh kok nggak ada kesulitan. Mesti ada aja rejeki dari Tuhan lewat siapa aja. Om nggak pernah kesulitan. Dimana aja berada selalu ada saudara dan temen. Seneng loh berbagi dengan orang lain itu.

Trus apa lagi om?

Ya banyak. Mau pergi ke tempat bepergian, minimal di pulau Jawa ini ya banyak saudara-saudara. Kalo om bisa menerima orang lain, sperti saya sendiri, pasti saya juga akan diterima mereka sperti dirinya sendiri. Ternyata tak buktikan banyak sekali. Udah berjalan sampai sekarang.

Sekarang kegiatan sehari-harinya apa om?

Dulu megang buku. Sekarang kan yang bekerja istri, ibu. Jaga toko itu. Om kadang-kadang jasa... melayani jasa orang-orang kampung. Karna om udah 54 tahun, mana kantor yang mau nerima om seusia ini. Paling om main internet, dapet masukan sedikit-sedikit untuk makan berdua. Walaupun om tidak bekerja, istri juga bisa memberi makan. Tapi kan siapa yang mau makan harus bekerja. Di kitab suci kan gitu. Jadi ya kerjaan om ya kegiatan om ya kemasyarakatan, ke gereja, trus kegiatan-kegiatan yang menghasilkan. Kuliner makanan-makanan kecil, om beli disini lalu om kelilingkan. Ya nampaknya dapet hasil tuh. Untuk isi pulsa ya dapet, untuk rokok ya dapat. Selama kita mau berusaha, dapat. Jangan khawatir.

Kegiatan kemasyarakatan yang om lakukan itu gimana om?


(2)

cangkrep sana. Disini, ronda ikut. Kegiatan arisan bapak-bapak, ikut. RT RW kan banyak sekali tu. Terus yang lebih kemasyarakatan ya ada orang meninggal kumpul, berdoa 3 hari, 7 hari, 40, 100, trus 1000. Kan banyak yang gitu. Dimana aja ada kegiatan. Itu kemasyarakatannya. Om di lingkungan sini termasuk ketengen. Gitu lah. Maksudnya apa ya ketengen.. ketengen itu maksudnya diperhatikan sama masyarakat sini, dipandang gitu. Soalnya kan om entengan. Tau toh? Ringan tangan gitu. Masih muda, ndak punya anak, jadi lebih leluasa lah kemana-mana. Nggak jam sembilan bapak-bapak pulang nidurin anaknya. Lah om kan sampe jam 12, 1 ada kebaktian ato ada apa kan, sampe pagi pun tak ladeni. Jadi ketengen di masyarakat sini. Ya masyarakat sini, lingkungan sini ada masalah, tanya om. Kalo misalnya om dimana, misalnya ketemu orang, di kereta

ato di bis tanya “anaknya berapa?”. “ndak. Ndak punya anak.” “Ooo nanti

dikasih pak.” “Oh iya makasih.” Tapi kalo yang sudah kenal ya ndak menanyakan itu. Ya enjoy aja gitu ya. Yang belum... yang belum tahu sama sekali tu trus tanya yang nomor satu kan bukan kekayaannya gimana pak? Berapa pak? Atau rumahnya berapa? Kalo om pertama kali yang ditanyakan itu anaknya berapa? Lah itu om kadang-kadang jawabnya sok agak ... mm.... Waktu ditanya kayak gitu, apa sih yang dirasain om?

Ya nggak dirasain apa-apa. Biasa.

Om ceritain tentang membantu orang yang om lakukan dong.

Dulu om mahasiswa. Misalnya ada anak muda, kan om di SPSI kan kenal dengan bagian personalia-personalia. Ada orang “Pak, saya baru lulus pak. Tolong carikan kerjaan.” Ya saya tak telponkan. Bisa di tes. Baik, bisa diterima. Itu yang pekerjaan. Yang buruh, mati-matian om memperjuangkan dari tingkat basis, terus cabang, selalu menang. Buruh menang kalo om yang bela. Aaa... lucu banget. Ada yang ke rumah, terima kasih Pak. Ada yang pergi, trima kasih aja. Ada yang ngasih.. ngasih pak, ini saya bersyukur. Hanya bisa ngasih ucapan syukur. Ada sedikit aja tanda kasih, tak buka amplop isinya uang. Dari pesangonnya itu berapa persen diberikan bapak. Ya terima kasih. Om tidak minta toh. Itu dari pembelaan ya. Trus, dari keluarga-keluarga sekarang ya. Om kan mendampingi keluarga muda banyak sekali. Di desa sana. Ada keluarga punya


(3)

anak dua masih kecil-kecil tak sarankan, “kamu tukang pijet kalo punya HP, punya motor, lebih enak lagi.”. “Lah piye carane pak?”. “Ya kamu mampunya ngangsur berapa per bulan sebagai tukang pijet?”. “Saya empat ratus pak.”. “Sini, pinjamkan ke BRI jaminannya ada nggak sertifikat?”. “Ada.”. “Trus pinjam, sepuluh juta untuk beli motor sama beli HP.”. “Sekarang, udah toh. Kamu beli rumah. Udah banknya lunas. Sekarang pinjam bank lagi. Kamu cicil. Punya rumah. Mumpung anak kamu kecil-kecil lunas.”. Om ngarah-ngarahkan gitu sama keluarga muda. Akhirnya banyak yang terima kasih.”.

Kalo untuk buruh, yang dibela apa saja om?

Eee... misalnya, masalah pesangon. Eh. Masalah kenaikan gaji, upah berkala, tunjangan kesehatan, jaminan sosial, jaminan tenaga kerja, trus kenaikan eee.. UMR, upah minimal regional. Udah masuk dua tahun, gaji belum sesuai dengan UMR daerah itu, harus diperjuangkan. Banyak perjuangannya mbak. Om kan sekertaris pimpiman daerah Jawa Tengah. Jadi menangani farmasi kesehatan tuh menangani buruh-buruh yang khusus membuat obat-obatan. Buruh pabrik, buruh apa. Tapi kalo di pabrik, semuanya buruh dibela. Itu om sendirian loh. Ndak ada kawan yang seiman. Jadi kadang-kadang digencet sama temen-temen, “itu nganu

lah. Singkirkan aja bapak itu. Terlalu jujur.”. Temen-temen kalo bela kan

nyuwun dapet uang banyak. Kalo bapak kan bersih. Bela, bela. Kalo berhasil kan terima kasih. Kalo yang lainnya kan buruhnya ditekan. Kasian buruh-buruh itu. Om murni perjuangannya. Sampe sekarang, buruh-buruh masih kenal semua dengan saya. Mau bantu paduan suara, suruh bapak. Bapak kan ikut paduan suara.

Berarti om fokusnya ke buruh-buruh ya?

Dulu iya. Masa muda. Sekarang masa tua dah tua. Dah lain ya. Senangnya tu kumpul dengan bapak-bapak. Ikut badminton, ikut obyeki masyarakat. Ikut obyeki masyarakat tu ikut bermasyarakat bersama.

Itu yang dibela regionalnya di Jawa Tengah atau ...?

Semua. Dari tingkat perusahaan sampe tingkat provinsi. Regional Jawa Tengah. Dulu itu kerja di gramedia nggak mikir itu. Yang penting kerja, dapet duit. Ngajar nggak. Om ngajar, ngajar PMP sama hukum itu, ya mata kuliahnya om,


(4)

tak ajarkan. Anak-anak itu kalo trisakti nakal-nakal anaknya. Kalo masuk kuliah tu, dosennya udah masuk, satu jam sesudahnya baru masuk. Jangan main-main ya sama bapak. Bapak kuliah jam tujuh ya, stengah tujuh udah masuk ruangan. Buka, bapak duduk di kursi dosen nunggu anak-anak itu. Nanti, “bapak udah

dateng loh. Udah di dalam ruangan loh.”. Wuah langsung cepet-cepetan. Paling

nggak ada lima menit udah selesai masuk. Kan ngajari disiplin. Trus bentuk mental karakter mahasiswa sulit.

Om ngajar berapa tahun?

Enam tahun. Mau disuruh S2, kuliah om ndak mau, trus balik ke desa sini. Kan dulu waktu itu asal memenuhi syarat, nggak S2 nggak apa-apa. Jaman dulu. Trus, perkembangan terbaru kan harus S2, trus S3. Om malas sekolah lagi. Kok dulu om fokusnya di buruh?

Dulu om kan tamat SMA, kuliahnya di UNDIP sama IKIP Negeri Semarang, fakultas ilmu kimia ngerangkap fakultas hukum. Dah, selama kuliah itu kan ada kegiatan mahasiswa. Macem-macem toh kegiatan mahasiswa. Om ambil yang kegiatan di luar kampus. Organisasi buruh. Mahasiswa gabung disitu sampe lulus tiga tahun tetep disitu. Kan kaitannya dengan hukum kan ada untuk pembelaan itu. Daripada latian di perdata pidana di pengadilan. Kalo ini kan langsung peradilan buruh. Latian teori ke praktek.

Kok om bisa memiliki keinginan untuk menolong orang lain?


(5)

SKALA GENERATIVITAS LOYOLA

Skala II

Untuk setiap pernyataan berikut, silahkan anda memutuskan seberapa dekat pernyataan tersebut dengan anda.

Angka 0 jika tidak sama sekali.

Angka 1 jika kadang-kadang atau jarang. Angka 2 jika cukup sering.

Angka 3 jika sangat sering atau hampir selalu.

___ 1. Saya mencoba meneruskan pengetahuan yang sudah saya peroleh berdasarkan pengalaman saya.

___ 2. Saya tidak merasa bahwa orang lain membutuhjan saya. ___ 3. Saya rasa saya akan menyukai pekerjaan sebagai seorang guru. ___ 4. Saya merasa bahwa saya membawa perubahan bagi banyak orang. ___ 5. Saya tidak menjadi relawan untuk kemanusiaan.

___ 6. Saya telah menghasilkan karya atau pekerjaan yang memiliki pengaruh terhadap orang banyak.

___ 7. Saya berusaha kreatif dalam setiap hal yang saya lakukan. ___ 8. Saya pikir, saya akan dikenang lama setelah saya tiada.

___ 9.Saya percaya bahwa masyarakat tidak bisa bertanggung jawab menyediakan makanan dan tempat penampungan untuk tuna wisma. ___ 10. Orang lain akan mengatakan bahwa saya telah memberikan kontribusi

unik pada masyarakat.

___ 11. Jika saya tidak dapat memiliki anak kandung, saya akan senang hati menghadapi.

___ 12. Saya memiliki keahlian-keahlian penting yangcoba saya ajarkan pada orang lain.

___ 13. Saya merasa bahwa saya tidak melakukan apapun yang bisa bertahan setelah saya meninggal.


(6)

orang lain.

___ 15. Saya merasa bahwa saya tidak melakukan kontribusi yang cukup berharga bagi orang lain.

___ 16. Saya membuat banyak komitmen terhadap orang-orang, kelompok dan kegiatan-kegiatan yang berbeda-beda dalam hidup saya.

___ 17. Orang lain mengatakan bahwa saya orang yang produktif.

___ 18. Saya memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan lingkungan tempat tinggal saya.

___ 19. Orang-orang datang meminta nasehat pada saya.

___ 20. Saya merasa bahwa kontribusi saya akan tetap bertahan setelah saya meninggal.