Kondisi Sumberdaya Kelautan Dan Perikana

Kondisi Sumberdaya Kelautan Dan Perikanan Di
NTT
20 September 2015 Tanggapi 2,587 Lihat

PENDAHULUAN
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi kepulauan yang terletak di sebelah selatan
wilayah Indonesia memiliki luas wilayah laut 200.000 km2 (di luar ZEEI) di dalamnya memiliki sumberdaya
kelautan dan perikanan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat.
Dengan melihat pada kontribusi sumberdaya pesisir dan laut di NTT cukup besar dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi daerah, maka upaya untuk mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya
tersebut perlu digali dan diupayakan sebesar-besarnya dengan tetap mempertahankan daya dukung
lingkungan pesisir dan laut bagi kepentingan masyarakat serta menambah devisa bagi daerah NTT.
Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki terdiri atas 3 (tiga) kelompok diantaranya
sumberdaya dapat pulih (renewable resources); sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable
resources dan Jasa-jasa lingkungan (jasling). Sumberdaya dapat pulih seperti mangrove, terumbu
karang, padang lamun dan rumput laut (alga), dan sumberdaya perikanan (ikan dan non ikan).
Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi seperti laut Sawu, namun termasuk juga dalam
kawasan segitiga coral dunia (coral triangle),
Sumberdaya kelautan dan perikanan ini telah dimanfaatkan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi di
NTT melalui kegiatan penangkapan ikan, dan budidaya perikanan,dan dilanjutkan dengan kegiatan
pengolahan hasil perikanan dan pemasaran. Kegiatan-kegiatan ini sudah dilakukan sejak dulu dan

sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat pesisir di NTT. Pemanfaatan sumberdaya kelautan dan
perikanan terus berlangsung.
Akibat dari pola pemanfaatan yang tidak memperhatikan unsur kelestarian tentu akan membawa
dampak terhadap kerusakan sumberdaya dan lingkungan perairan.
Kebijakan pemerintah dalam mengatasi dan meminimalisir dampak yang terjadi terhadap kerusakan
sumberdaya kelautan dan perikanan terus dilakukan melalui program-program seperti sosialisasi dan
kampanye kesadaran lingkungan, pelatihan-pelatihan, bantuan dana usaha serta melalui program
konservasi. Salah satu contoh dengan menetapkan Laut Sawu sebagai Kawawasn Konservasi Perairan
Nasional.
Bertolak dari uraian di atas, maka tulisan ini dibuat untuk mengungkapkan fakta kondisi sumberdaya
kelautan dan perikanan di NTT, dimana data yang digunakan dalam tulisan ini bersumber dari beberapa
hasil penelitian dan referensi lain.

Potensi Sumberdaya Ikan dan Non Ikan
NTT memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat beragam jenisnya. Pemanfaatan sumberdaya ikan
melalui kegiatan penangkapan ikan. Diketahui potensi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) sebesar
388,7 ton/tahun (Widodo, dkk, 2001dalam DKP, 2009) dengan Jumlah tangkapan Yang Diperbolehkan
(JTB) sebesar 292.800 tontahun. komoditas unggulan yang dimiliki terdiri atas ikan pelagis baik pelagis
besar maupun pelagis kecil seperti tuna, cakalang, tenggiri, layang, selar, dan kembung, sedangkan ikan
demersal seperti kerapu, ekor kuning, kakap, bambangan, dan lain-lain, serta (3) komoditi non ikan

seperti lobster, cumi-cumi, kerang darah, dan lain-lain (Kupang (Antara News) 2012).
Hasil penelitian Risamasu, dkk (2011), telah mendata sumber pangan ikan yang dikonsumsi masyarakat
NTT khusus di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang melalui wawancara dan pengamatan pada sejumlah
pasar ikan di kota Kupang ditemukan beragam jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat . Adapun Jenis
ikan yang dikonsumsi masyarakat untuk ikan pelagis baik pelagis besar maupun kecil ada 42 spesies
yang tergolong dalam 27 genus dan 12 famili, sedangkan ikan demersal terdata ada 62 spesies yang
tergolong dalam 42 genus dan 25 famili.
Selanjutnya untuk sumberdaya non ikan ditemukan pula berbagai jenis moluska, kepiting, udang, dan
cumi-cumi.
Data BPS NTT (2011, 2012), mengungkapkan armada yang digunakan dalam kegiatan penangkapan
ikan masih didominasi oleh jukung dan perahu papan, sedangkan alat tangkap yang dominan digunakan
nelayan untuk menangkap ikan yaitu jaring insang (gill net).
Selanjutnya perikanan budidaya laut memiliki luas lahan 51.879 ha, tersebar pada 16 Kabupaten/Kota.
Luas lahan budidaya laut sebesar 5,870 ha diperuntukan untuk budidaya rumput laut, mutiara, dan
kerapu, dengan potensi produksi dapat mencapai 51.500 ton/tahun. Budidaya air payau seluas 35,455
ha, khusus budidaya udang dan bandeng dengan potensi produksi dapat mencapai 36.000 ton/tahun.
Budidaya air tawar seperti budidaya kolam seluas 8,375 ha, dengan potensi produksi mencapai 1,297
ton/tahun dan mina padi seluas 85 ha, dengan potensi produksi mencapai 85 ton/tahun (Kupang
(Antara News), 2012).
Luas lahan potensial untuk budidaya rumput laut di provinsi NTT sebesar 51.870 Ha atau 5% dari

panjang garis pantai, dengan potensi produksi sebesar.250.000 ton kering/tahun. Walaupun potensi ini
cukup besar namun lahan yang dimanfaatkan pada tahun 2010 baru mencapai 5.205,70 Ha dengan
produksi 1,7 juta ton rumput laut basah. Pengembangan usaha budidaya rumput laut berpotensi ada
pada semua Kabupaten/ Kota di provinsi NTT kecuali Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), karena
kondisi perairannya tidak memenuhi syarat bagi pengembangan budidaya ini.
Kabupaten di NTT yang mengembangkan usaha budidaya rumput lautnya antara lain: Kabupaten
Kupang, Sabu Raijua, Rote Ndao, Alor, Lembata, Flores Timur, Sikka, Sumba Timur dan Kabupaten

Manggarai Barat. Jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah Echeumacotonii, Eucheuma sp, dan Alga
Merah (red algae) (Kupang (Antara News), 2012).
Risamasu, dkk (2011), juga telah mendata beberapa jenis rumput laut yang sudah dibudidayakan oleh
masyarakat Kabupaten Kupang seperti Eucheuma spinosum, E. cottonii, E. striatum (sakol) dan Codim
sp. Perkembangan budidaya rumput laut cukup maju dan sudah dipasarkan keluar daerah NTT maupun
sampai manca negara.
Terumbu Karang
Potret kondisi terumbu karang di NTT yang diambil dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
kondisi terumbu karang saat ini semakin menurun dan termasuk kategori rendah sampai sedang. Hasil
penelitian Rusydi, dkk (2010) yang melakukan penelitian untuk mengamati kondisi terumbu karang di
perairan Kecamatan Kupang Barat pada 5 stasiun pengamatan ditemukan presentase penutupan karang
berkisar antara 10,36 – 20,12% tergolong kategori sangat rendah – rendah, sedangkan di perairan Pulau

Semau yang diteliti pada 5 stasiun ditemukan presentase penutupan karang keras antara 0,20 -35,22%
tergolong kategori sangat rendah sampai sedang.
Menurut Ninef, dkk, (2010), kondisi terumbu karang pada 11 lokasi di perairan Lembata termasuk
kategori cukup baik / sedang dengan persentase penutupan karang keras rata-rata sebesar 41,86 %.
Sine (2012), melalui penelitiannya ditemukan jenis karang yang berada di perairan Teluk Kupang pada 6
lokasi yang diamati sebanyak 28 genus dan 11 famili.
Perkembangan presentase tutupan karang hidup di perairan Teluk Kupang dari tahun 2002 – 2010 yang
diambil dari beberapa hasil penelitian terdahulu pada 10 lokasi (desa) ternyata rata-rata presentase
tutupan karang di bawah 50% tergolong kategori cukup/sedang.
Namun Sine (2012), juga melakukan pengamatan kondisi terumbu karang di Teluk Kupang pada 6 lokasi
(Pertamina Bolok, Pelabuhan Tenau, Batu Kepala, Oesapa, Pulau Kera bagian Timur dan bagian
Selatan) ditemukan presentase penutupan karang keras antara 4,0 – 50 % dengan rata-rata 33,33 %
tergolong kategori sedang.
Hasil penelitian Undana (2009), mengungkapkan jenis karang yang ditemukan di perairam Alor berjumlah
75 spesies karang dan famili yang dominan adalah Acroporidae. Kondisi ekosistem terumbu karang pada
beberapa lokasi penelitian seperti Bana (Pantar), Kokar, Pulau Ternate, dan Pulau Buaya ternyata
presentase penutupan karang keras rata-rata antara cukup sampai bagus dan dominan dibawah 50 %,
hanya di Pulau Ternate 52,60 %. Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan WWF ((2011)
mengungkapkan bahwa beberapa perairan khusus perairan Wolwal dan Pura presentase penutupan
karang keras berada dalam kondisi sedang antara 25 – 49,9%. Sementara hasil penelitian WWF (2013)

pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten di zona inti, zona perlindungan (buffer),
zona pemanfaatan (zona parawisata dan zona perikanan berkelanjutan) ternyata presentase tutupan
karang keras hidup rata-rata di bawah 50% (kondisi sedang).

Khusus zona inti rata-rata presentase penutupan karang dibawah 40 %, zona perlindungan di bawah 40
%, zona pemanfaatan (zona parawisata dan zona perikanan berkelanjutan) juga dibawah 40%. Hal ini
mengindikasikan bahwa kondisi terumbu karang di perairan Alor sudah berada dalam kodisi rusak dan
perlu mendapat perhatian yang serius dari pihak pemerintah Kabupaten Alor.
Mangrove
Nienef, dkk (2010), telah melakukan pengamatan jenis mangrove pada 10 lokasi di 5 kecamatan
Lembata, ditemukan jenis mangrove ada 14 spesies (jenis). Nilai kerapatan jenis mangrove tertinggi di
Waekerong adalah Rhizophora mucronata dan R. apiculata, di dermaga Ferry Lewoleba
adalah Rhizophora apiculata, Sonneratia alba dan Lumnitzera racemosa, di Waejarang
adalah Rhizophora mucronata dan R. apiculata, di Lewoleba (Bandara) adalah Pemphis
acidula dan Rhizophora apiculata, di Jontana adalah R. mucronata, di Watodiri adalah R.
apiculata dan Avicennia marina dan Tapobaran adalahExcoecaria agallocha dan Sonneratia caseolaris.
Nilai Indeks Keragaman (H’) jenis mangrove pada semua lokasi umumnya rendah, artinya komunitas
mangrove berada pada kondisi tertekan.
Nai Ulu (2010), mengemukakan jenis mangrove yang ditemukan di Kelapa Lima, Tanah Merah dan
Oebelo, dimana di Kelapa Lima terdapat 2 jenis mangrove, di Tanah Merah terdapat 12 jenis dan di

Oebelo terdapat 4 jenis mangrove, dengan jenis mangrove terbanyak terdapat di Tanah
Merah. Kerapatan pohon tertinggi didominasi oleh jenisAvicennia marina (Aviceniaceae) pada ketiga
lokasi.
Nani (2011), mengemukakan jenis mangrove yang ditemukan di Pariti ada 5 jenis dan di Oeteta ada 6
jienis. Jenis mangrove pada kedua lokasi ini yang memiliki keraparan pohon tertinggi adalah Avicennia
alba(Avicenniaceae). Selanjutnya Bait (2011), mengemukakan jenis mangrove yang ditemukan di Bipolo
ada 11 jenis dan jenis yang memiliki kerapatan pohon tertinggi adalah Lumnitzera
racemosa (Combretaceae). Hasil analisis indeks keragaman (H’) pada tingkat pohon pada 6 stasiun
pengamatan di desa Bipolo berada pada kisaran 0,79 – 3,52 tergolong kategori sangat buruk, sedang
sampai baik.
Rusydi, dkk (2011) mengemukakan jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada lima lokasi penelitian
meliputi Tesabela terdapat 5 jenis mangrove dan jenis yang memiliki kerapatan pohon tertinggi
adalah Aegialitis annulata (Pumbaginacae). Tablolong terdapat 6 jenis mangrove dan jenis yang memiliki
kerapatan pohon tertinggi adalahRhizophora mucronata dan Bruquiera cylindrica (Rhizophoraceae),
Pulau Kambing terdapat 3 jenis mangrove dan jenis yang memiliki kerapatan pohon tertinggi
adalahSonneratia alba (Sonneratiaceae). Sebelah Barat Kawasan Budidaya Mutiara di Semau terdapat 3
jenis mangrove dan jenis yang memiliki kerapatan pohon tertinggi adalah Sonneratia
alba (Sonneratiaceae), sedangkan di Hansisi terdapat 7 jenis mangrove dan jenis yang memiliki
kerapatan pohon tertinggi adalah Rhizophora mucronata(Rhizophoraceae).


Padang Lamun
Hasil penelitian Pellu (2008), mengatakan bahwa jenis-jenis lamun yang ditemukan di pesisir pantai desa
Tablolong ada 6 jenis antara lain : Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Thalassiodendron ciliatum,
Cymodocea rotundata, halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis dan H. spinosa.
Ninef, dkk (2010), telah melakukan pengamatan terhadap ekosistem lamun yang berada pada 4 lokasi
penelitian di pantai Lembata ditemukan jenis mangrove sebanyak 8 spesies, dimana 4 spesies terdapat
di Dermaga Ferry Lewoleba dan Waipukang, sedangkan 2 spesies terdapat di Lewoleba (Bandara) dan
Jontana. Jenis lamun yang memiliki kerapatan tertinggi di Dermaga Ferry Lewoleba adalah Thalassia
hemprichii dan Cymodocea serrulata, di Lewoleba (Bandara) adalah Thalassia
hemprichii dan Cymodocea serrulata, di Waipukang adalah Thalassia hemprichii dan di Jontana
adalah Halodule pinifolia.
Indeks Keragaman (H’) tertinggi di Dermaga Ferry Lewoleba adalah Cymodocea serrulata dan Halodule
pinifolia, di Lewoleba (Bandara) adalah Enhalus acoroides dan Halodule pinifolia, di Waipukang
adalah Enhalus acoroides dan Halodule pinifolia, serta di Jontona adalahHalodule
pinifolia dan Halophyla ovalis.
Nilai Indeks Keragaman (H’) pada semua lokasi rendah artinya lamun di lokasi penelitian berada pada
kondisi tertekan.
Sementara Rusydi, dkk (2011), yang melakukan penelitian terhadap jenis-jenis lamun pada tiga lokasi
yaitu Dermaga PT Tom Bolok, Tesabela/Batubao dan Tablolong ditemukan pada Dermaga PT Tom Bolok
terdapat 8 spesies yang tergolong dalam 4 genus dan 2 famili dimana dari famili Potamogetonaceae

ada Cymodocea serrulata, C. rotundata, Halodule uninervis, dan H. pinifolia , sedangkan dari famili
Hydrocharitaceae ada Halophila ovalis, H.decipiens, Thalassia hemprichii dan Enhalus
acoroides. Kemudian Tablolong terdapat 5 spesies yang tergolong dalam 4 genus dan 2 famili seperti
famili Potamogetonaceae ada Halodule uninervis dan H. pinifolia, sedangkan dari famili Hydrocharitaceae
ada Halophila ovalis, Enhalus acoroides, dan Thalassiodendron ciliatum. Selanjutnya Tesabela/Batubao
terdapat 4 spesies yang tergolong dalam 3 genus dan 2 famili, dimana dari famili Potamogetonaceae
ada Halodule uninervis, H. pinifolia,sedangkan dari famili Hydrocharitaceae ada Halophila
ovalis dan Enhalus acoroides.
Jumini (2011), mengemukakan bahwa hasil analisis nilai Indeks Keragaman (H’) dari 3 jenis lamun
(Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium) yang diteliti di Tablolong nilai H’
berkisar antara 1,098 – 2,160.
Begitu pula di Paradiso nilai H”’dari Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium berada pada
kisaran 1,280 – 1,506. Artinya keanekaragaman jenis lamun pada kedua lokasi berada pada kategori
sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, dan tekanan ekologis sedang.
Mas’ulah (2011), menemukan jenis lamun di desa Bolok terdiri atas Halodule uninervis,H. pinifolia,
Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium termasuk familiPotamogetonaceae, dan Enhalus
acoroides dari famili (Hydrocharitaceae).

Jenis lamun yang mempunyai kerapatan tertinggi adalah Halodule pinifolia dan Enhalus acoroides. Nilai
rata-rata indeks keragaman (H’) lamun sebesar 0,844. Nilai ini menunjukkan keanekaragaman jenis

lamun rendah, miskin,dan produktivitas rendah yang mengindikasikan kondisi ekosistem lamun di desa
Bolok berada dalam kondisi tertekan.
Ancaman Sumberdaya Ikan dan Non Ikan
Ancaman utama terhadap sumberdaya ikan dimana nelayan masih menangkap ikan menggunakan bom
dan racun di terumbu karang mengakibat sumberdaya perikanan karang menurun, praktek Illegal fishing
masih terus berangsung, musim yang tidak menentu, konflik kepentingan dan orientasi wilayah
penangkapan terpusat di perairan pantai karena armada penangkapan masih didominasi oleh perahu
tanpa motor.
Untuk budidaya ikan dan rumput laut ancaman utamanya yaitu kualitas dan sumber bibit, lokasi
budidaya, musim, hama dan penyakit yang sering menyerang ikan dan rumput laut, serta harga jual
produk rumput di pasaran yang selalu berfluktuatif.
Terumbu Karang
Menurut YPPL (2011), beberapa ancaman yang dapat merusak terumbu karang akibat aktivitas manusia
pada 11 kabupaten di NTT (Kota Kupang,Kupang, Manggarai, Manggarai Barat, Rote Ndao, Sabu
Raijua, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Sumba Timur dan TTS) yaitu penambangan
karang, pembuangan limbah, pengeboman ikan, penangkapan ikan dengan racun, dan pembangunan
infrastruktur (jeti, hotel, seawall, resort, dll). Menurut Sine (2012), ancaman yang dapat merusak terumbu
karang di Teluk Kupang akibat aktivitas manusia yaitu pencemaran limbah domestik dan aktivitas
makameting oleh masyarakat pesisir. Tim Peneliti Undana (2009), mengemukaan ancaman yang dapat
merusak terumbu karang di perairan Alor yaitu penangkapan ikan menggunakan bom dan racun,

kematian secara alami, dan predator. WWF (2013), mengemukan beberapa ancaman yang dapat
merusak terumbu karang di Kabupaten Alor yaitu aktivitas penangkapan oleh nelayan lokal, jalur
pelayaran, kematian alami, pembangunan di wilayah pesisir, pengambilan pasir laut, pelabuhan laut dan
penebangan mangrove.
Manggrove
Menurut Dishut, NTT(1997), ancaman akibat aktivitas manusia yang menyebabkan mangrove rusak pada
lokasi penelitian di Flores dan Kepulauan Solor yaitu pengambilan mangrove untuk kayu bakar, tiang
konstruksi rumah, dan pembuatan tambak, sedangkan ancaman alami disebabkan oleh tsunami dan
pengendapan lumpur. Menurut Ninef, dkk (2010), yang melakukan penelitian di Lembata ditemukan
ancaman yang dapat merusak ekosistem mangrove yaitu aktivitas manusia berupa perluasan lahan
pantai untuk Dermaga Ferry dan pelabuhan udara, masyarakat mengambil kayu mangrove untuk kayu
bakar, tempat pendaratan perahu, tambak garam dan kematian secara alami.
Selanjutnya Nai Ulu (2010), mengemukakan faktor-faktor penyebab rusaknya mangrove di Kelapa Lima,
Tanah Merah dan Oebelo karena dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat rekreasi, mencari makanan

ternak, mengambil kayu bakar, tambak garam dan ikan, tempat penangkapan kepiting dan hewan laut
lainnya. Menurut Bait (2011), aktivitas manusia yang berdampak pada ekosistem mangrove di desa
Bipolo yaitu masyarakat memanfaatkan kayu mangrove untuk kayu bakar dan bahan bangunan, sebagai
tiap pancang sero sapu lidi, penyangga pancing kepiting dan penyangga tali pengusir burung, tempat
penambatan perahu serta konversi lahan untuk tambak ikan.

Selanjutnya Nani (2011), mengemukakan aktivitas manusia di Pariti yang berdampak pada ekosistem
mangrove yaitu penggunaan kayu mangrove sebagai kayu bakar, kayu pagar, penggantung alat tangkap
trammel net, penyangga sero waring, konversi lahan mangrove untuk tambak ikan bandeng dan garam,
sedangkan di Oeteta disebabkan oleh penggunaan kayu mangrove sebagai kayu bakar, penyangga sero
waring, dan konversi lahan mangrove untuk tambak garam. YPPL (2011), beberapa ancaman yang
dapat merusak mangrove akibat aktivitas manusia pada 11 kabupaten di NTT yaitu penebangan hutan
bakau, penangkapan ikan dengan racun dan pembuangan limbah.
Padang Lamun (Seagrass)
Hasil penelitian Ninef, dkk ( 2010) mengemukakan aktivitas manusia yang dapat mengamcam padang
lamun pada lokasi penelitian di Lembata yakni padang lamun digunakan sebagai tempat pendaratan
perahu, tempat budidaya, makameting dan pengerukan untuk membuat pelabuhan. Hasil penelitian
Jumini (2011), menemukan bahwa aktivitas manusia yang dapat menjadi ancaman bagi padang lamun
(seagrass) diTabolong yaitu penambatan perahu nelayan, lalulintas petani pembudidaya rumput laut,
parawisata dan limbah domestik.
Selanjutnya untuk Paradiso yaitu kegiatan makameting (pengambilan biota saat air surut, penambatan
perahu nelayan, doking perahu nelayan, parawisata, penambangan karang dan limbah domestik.
Menurut Mas’ulah (2011), aktivitas manusia yang dapat menjadi ancaman bagi padang lamun (seagrass)
di desa Bolok yaitu kegiatan budidaya rumput laut, makameting dan tempat pendaratan perahu. Menurut
YPPL (2011), beberapa ancaman yang dapat merusak padang lamun akibat aktivitas manusia pada 11
kabupaten di NTT yaitu penambangan karang, penambangan pasir pantai dan pembuangan limbah.
Upaya Yang Sudah Dilakukan Pemerintah
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan
dan perikanan di NTT melalui berbagai program antara lain :
1.

Memberikan bantuan modal usaha kepada para nelayan dan pembudidaya,

2.

Memberikan bantuan alat tangkap dan armada penangkapan bagi para nelayan

3.

Memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada para nelayan dan pembudidaya untuk meningkat
pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang usahanya

4.

Membuat berbagai regulasi dalam hubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan di NTT

5.

Melakukan sosialisai dan kampanye tentang kesadaran lingkungan mulai dari anak usia dini
sampai orang dewasa

6.

Mencanangkan program Gemala

7.

Membentuk lembaga-lembaga pengelola sumberdaya kelautan dan perikanan di NTT

8.

Melaksanakan program rehabiliatsi terumbu karang

9.

Melaksanakan program reboisasi hutan mangrov

10.

Telah menetapkan Laut Sawu sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional

Namun semua program yang telak dilaksanakan pemerintah belum sepenuhnya menjawab dan
mengatasi permasalah kebutuhan masyarakat NTT. Oleh karena itu, kedepan pemerintah perlu membuat
perencanaan program yang lebih terarah dengan memperhatikan kebutuhkan masyarakat sehingga
sasaran program jelas dan memberikan hasil yang optimal dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat NTT.
Rekomendasi
Rekomendasi yang diusulkan kepada pemerintah dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan di NTT kedepan sebagai berikut :
1.

Kegiatan Penangkapan Ikan
Perlu penataan zonasi daerah penangkapan yang dituangkan dalam Rencana Tata

o

Ruang Wilayah (RTRW) provinsi/kota/kabupaten
o

Perlu pengawasan dan penegakan aturan terhadap Illegal fishing

o

Menambah sarana dan prasarana pengawasan di perairan laut

o

Perlu meningkatkan pemahaman nelayan tentang teknologi penangkapan ramah
lingkungan

o

Perlu meningkatkan kelembagaan usaha nelayan

o

Perlu kerjasama dengan jasa perbankan agar nelayan dapat mengakses modal usaha
dengan mudah
Perlu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan nelayan dalam bidang penangkapan

o
ikan
o

Perlu pendampingan kepada para nelayan

o

Memudahkan nelayan untuk mengakses sumber pasar dalam pemasaran produkPerlu
meningkatkan sarana dan prasarana penangkapan terutama armada penangkapan yang masih
didominasi perahu tanpa motor

o

Melakukan standarisasi harga jual produk perikanan sehingga tidak ada permainan
harga dipasaran

2. Kegiatan Budidaya
Perlu mendata dan memetakan potensi sumberdaya ikan dan non ikan yang dapat

o

dibudidaya di NTT
Pengadaan panti pembenihan (hatchery) sehingga bibit ikan dan rumput laut tidak

o

didatangkan dari luar daerah
Menerapkan teknologi yang dapat menanggulagi penyakit ikan dan rumput laut bagi

o

pembudidaya
Meningkatkan pemahaman pembudidaya untuk memanfaatkan bahan-bahan lokal

o

sebagai sumber pakan
o

Perlu kajian tentang kelayakan lokasi budidaya

o

Perlu membuat peta zonasi peruntukan lokasi budidaya

o

Perlu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pembudidaya tentang teknologi
budidaya
Perlu kerjasama dengan jasa perbankan agar pembudidaya dapat mengakses modal

o

usaha dengan mudah
o

Perlu meningkatkan kapasitas kelembagaan usaha budidaya

o

Memudahkan pembudidaya untuk mengakses sumber pasar dalam pemasaran produk

o

Standarisasi harga jual produk perikanan sehingga tidak ada permainan harga

2.

Habitat Vital
Terumbu Karang

o
1.

Penertiban penambangan karang

2.

Pelarangan pembuangan sampah secara sembarangan

3.

Meningkatkan pemahaman dan ketrampilan nelayan tentang metode
penangkapan ikan yang ramah lingkungan
Mengembangkan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan

4.

Modernisasi armada penangkapan agar nelayan bisa melaut dengan jangkauan
yang lebih luas sehingga mengurangi waktu melaut di kawasan perairan pantai

5.

Pengembangan teknologi transplantasi dan terumbu karang buatan (artificial
reef) guna merehabilitasi karang keras yang sudah rusak.

6.

Perlu melakukan konservasi pada kawasan terumbu karang

7.

Membangun persepsi masyarakat tentang pentingnya konservasi agar tidak ada
pertentangan sehigga sasaran dan tujuan konservasi dapat diterima oleh seluruh lapisan
masyarakat

8.

Membentuk pos-pos pengamanan laut melalui kerjsama pemerintah dan
masyarakat,

9.

Melakukan sosialisasi dan kampanye tentang kesadaran lingkungan bagi anak
usia dini sampai orang dewasa dalam menjaga kelestarian sumbedaya dan lingkungan perairan,

10.

Mengaktifkan lembaga-lembaga adat khusus kearifan lokal yang terkait dengan
perlindungan ekosistem dan biota laut.

11.

Penegakkan aturan bagi masyarakat yang merusak karang
Mangrove

o
1.

Melarang penduduk untuk tidak memotong pohon mangrove secara
sembarangan

2.

Reboisasi mangrove pada lahan mangrove yang sudah rusak

3.

Membuat kebun pembibitan mangrove

4.

Kampanye kesadaran lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan
mangrove mulai dari anak usia dini sampai orang dewasa

5.

Membentuk kelompok sadar lingkungan

6.

Pengaturan zona pengambilan hasil laut di hutan mangrove

7.

Konservasi mangrove

8.

Pengembangan ekowisata

9.

Penegakkan aturan bagi masyarakat yang merusak mangrove
Padang lamun

o
1.

Penertiban penambangan pasir laut

2.

Mengatur tempat pendaratan perahu secara baik agar tidak merusak lamun

3.

Mengatur kegiatan parawisata

4.

Mengatur masyarakat yang melakukan makameting

5.

Melarang masyarakat untuk tidak membuang sampah secara sembarangan

6.

Penegakkan aturan bagi masyarakat yang merusak padang lamun

PENUTUP
Demikian penyampaian materi ini agar bermanfaat sebagai dasar kebijakan dalam pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan di NTT.


DAFTAR PUSTAKA
Bait, N.M, 2011. Analisis Ekologis Mmangrove di Desa Bipolo Kecamatan Selamu Kabupaten Kupang
(Tesis). Program Pascasarjana Undana Kupang.



BPS NTT, 2012. NTT Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi NTT



DKP Provinsi NTT, 2009. Renstra Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2009 – 2013.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT.



Dishut Provinsi NTT, 1997. Rencana Pengelolaan Hutan Bakau di Flores dan Kepulauan Solor
provinsi NTT. Kerjasama Dishut dan PPLH Lemlit IPB.



Jumini, 2011. Hubungan antara Struktur Komunitas Padang Lamun dengan keanekaragaman
Makrobentos di di perairan Tablolong dan Paradiso Kupang (Tesis). Program Pascasarja Undana
Kupang.



Kupang (Antara News), 2012. NTT Terus Optimalkan Potensi Kelautan dan Perikanan.
Bkpm.go.id, Diunduh tanggal, 25 Juni 2014.



Mas’ulah, R, 2011. Keterkaitan antara Struktur Komunitas Lamun dan Struktur Populasi Bulu
Babi pada Zona Intertidal di Desa Bolok, Kabupaten Kupang (Tesis). Program Pascasarjana Undana
Kupang.



Nai Ulu, M.A, 2010. Analisis Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Mangrove dan Upaya
Pengelolaannya di Teluk Kupang (Tesis). Program Pascasarjana Undana Kupang.



Nani, Y, 2011. Pengaruh Aktivitas Manusia pada Ekosistem Mangrove Terhadap Hasil Tangkapan
Udang dan Upaya Pengelolaannya di Pariti dan Oeteta Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang
(Tesis). Program Pascasarjana Undana Kupang.



Ninef, J.S.R, J. Pello, F.J.L Risamasu, I. Sinu, A,. Kangkan dan A.Y Lukas, 2010. Pengkajian
dan Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten (KKPK) Lembata. Kerjasama Pusat
Penelitian Perikanan dan Kelautan Lemlit Undana dengan DKP Lembata. Pusat Penelitian Perikanan
dan Kelautan Lemlit Undana Kupang.



Pellu, Y.A.Y, 2008. Studi Struktur komunitas dan kerusakan Padang Lamun di Pesisir Kecamatan
Kupang Barat Kabupaten Kupang. (Tesis) Program Pascasarjana Universitas Nusa Cendana.



Risamasu, F.J.L; A. Tjendanawangi, F, CH, Liufeto, J.S.R Ninef dan J. Jasmanindar, 2011. Kajian
Potensi Sumberdaya Ikan dan Non Ikan sebagai Sumber Pangan di Kabupaten Kupang. Pusat
Penelitian Perikanan dan Kelautan Lemlit Undana Kupang.



Rusydi, Barhiman, A. Majid, F.J.L Risamasu, dan T. Da Cunha, 2010. Baseline Data Kualitas Air
dan Biota Perairan di Teluk Kupang Sebelum Pengoperasian PLTU di Bolok Kecamatan Kupang Barat.
Kerjasama Fakultas Perikanan UMK dan PT TOM Kupang.



Sine, K.G, 2012. Fitoplankton sebagai Bioindikator Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk
Kupang dan Sekitarnya (Tesis). Program Pascasarjana Undana, Kupang.



Tim Peneliti Undana, 2009. Laporan Hasil Studi Ekologi Kabupaten Alor. Kerjasama dengan
WWF, Tim PPKKLD dan Pemda Kabupaten Alor.



WWF, 2011. Survey Kesehatan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Perairan (KKPD)
Kabupaten Alor .



WWF, 2013. Survey Kesehatan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Perairan (KKPD)
Kabupaten Alor .