RISIKO OPERASIONAL BANK negara ISLAM
Magister Ekonomi SYari’ah II, 2015
Resume:
BAB 6
RISIKO OPERASIONAL BANK ISLAM
Oleh : Fithrah Kamaliyah
NIM : 2113043300011
Risiko operasional terkait dengan kegiatan bisnis sehari-hari bank. Biasanya terjadi
akibat faktor manusia, proses internal, sistem, teknologi, kontrol kepatuhan terhadap aturan,
maupun faktor eksternal lainnya seperti bencana alam, kerusuhan, perang dan sebagainya.
Jika digambarkan dalam suatu siklus, risiko operasional-lah yang menjadi starting point
sekaligus menjadi destination point dalam siklus risiko tersebut. Keberhasilah suatu manajemen
bank dalam mengelola risiko operasional memberi dampak positif terhadap naiknya kualitas dan
stabilitas earning yang diperoleh dan tentu akan mampu menguatkan daya saing serta daya tahan
yang dimiliki oleh bank.
A. Pentingnya Kesadaran akan Adanya Risiko
Kesadaran terhadap risiko operasional bisa dimulai dengan melihat potensi faktor
penentunya. Faktor ini bisa berasal dari suatu yang terlihat sepele hingga suatu yang memang
sudah terlihat membahayakan dari awalnya. Bank Islam sangat rentan terekspos risiko
operasional. Masih terbatasnya sumber daya insane yang belum terlalu mumpuni secara kualitas
maupun kuantitas, dukungan sistem informasi dan teknologi serta core banking system yang
belum memadai dapat menjadi pemicu terjadinya risiko operasional.
B. Definisi dan Cakupan Risiko Operasional Bank Islam
Basel II mendefinisikan risiko operasional sebagai “risk of loss resulting from inadequate
or failed internal process, people or system, or from external events”. Sementara itu, IFSB
mendefinisikan risiko operasional yang dihadapi bank Islam lebih dari sekedar risiko manusi,
risiko sistem dan proses internal, serta risiko karena kejadian eksternal. Namun juga mencakup
risiko kepatuhan atas ketentuan syari’ah dan risiko fidusia.
1. Risiko Manusia
Para karyawan bank Islam, adalah kunci keberhasilan bisnis bank. Jika karyawan
mengerjakan pekerjaan sesuai dengan yang diamanahkan, target bank akan tercapai, dan
sekaligus berperan besar dalam mengelola risiko operasional. Risiko operasional akibat faktor
manusia bisa terjadi karena dua hal: faktor kesalahan (human error) dan faktor pelanggaran
(human fraud). Kesalahan manusia bisa diakibatkan karena kelalaian, kesalahan pengambilan
keputusan maupun kebingungan karyawan dalam melakukan kegiatan operasional.
Page | 1
Magister Ekonomi SYari’ah II, 2015
Kelalaian ini dapat diperbaiki dengan pelatihan, peningkatan kontrol internal, maupun
pendokumentasian kesalahan yang pernah dilakukan. Buku dokumentasi kesalahan ini dikenal
dengan “buku dosa yang paling sering dilakukan”. Hal yang berat adalah apabila kesalahan ini
yang disengaja/pelanggaran, seperti pencurian, penggelapan dana, pelporan keuangan yang
sengaja dimanipulasi, insider trading, dan sebagainya. Terjadi atau tidaknya risiko ini sangat
ditentukan oleh kuat atau lemahnya sistem pengendalian internal yang ada.
Risiko manusia juga mungkin disebabkan oleh risiko personalia,yaitu buruknya sistem
manajemen sumber daya manusia pada suatu institusi, seperti buruknya sistem rekrutmen,
kurang menariknya remunerasi, terbatasnya pelatihan dan pengembangan yang diberikan kepada
para karyawan, dan sebagainya. Melalui proses rekrutmen yang dibuar secara tailor-made
dengan budaya bank Islam tersebut dapat diterapkan ketika menyeleksi karyawan baru. Tidak
hanya melakukan seleksi dengan tes kemampuan kognitif, namun juga psikotes, diskusi
kelompok, studi kasus, wawancara, dan tes pemahaman mengenai Islam.
2. Risiko Teknologi
Minimnya investasi teknologi pada bank Islam menimbulkan akibat yang cukup miris.
Masyarakat cenderung memiliki perspektif bahwa teknologi bank Islam masih terbelakang
dibanding bank konvensional. Untuk itu, sudah semestinya bank Islam mengagendakan untuk
berinvestasi pada teknologi dan diperlukan pula hali-ahli IT yang kompeten.
3. Risiko Kepatuhan
Risiko ini bisa disebabkan karena ketidakpatuhan bank Islam terhadap aturan yang
berlaku, aturan syariah maupun regulasi yang berlaku dimana bank Islam beroperasi. Bank Islam
juga perlu mematuhi peraturan tidak tertulis, seperti norma yang biasa berlaku pada masyarakat
selama tidak bertentangan dengan hukum syariah.
Pelanggaran atas kepatuhan, khususnya terhadap ketentuan syariah, bisa membuat
batalnya akad yang dilakukan bank Islam. Bila akad tersebut menghasilkan laba, maka laba itu
tidak boleh diakui sebagai pendapatan. Untuk mencegah risiko tersebut dapat dibentukk divisi
kepatuhan, Dewan Pengawas Syariah dan komite audit.
4. Risiko Fidusia
Risiko fidusia terkait dengan fungsi intermediasi bank Islam yang perannya adalah untuk
menyalurkan dana berbasis akad bagi hasil. Risiko ini timbul saat bank Islam gagal memenuhi
perjanjian yang telah disepakati sebelumnya dengan nasabah, karena ketidakpatuhan terhadap
syariah maupun adanya salah kelola dana nasabah.
Salah satu yang dapat menunjukkan risiko ini adalah pergerakan pendapatan yang
fluktuatif atau pemenuhan risiko kecukupan modal yang naik-turun. Akibatnya bank Islam
mengalami kesulitan dalam memenuhi fungsi intermediasinya, sulit memenuhi kebutuhan
penarikan dana giro dan tabungan wadiah atau memberi bagi hasil kepada nasabah. Risiko
fidusia dapat dicegah dengan perbaikan kebijakan pembiayaan melalui seleksi yang tepat
Page | 2
Magister Ekonomi SYari’ah II, 2015
sebelum menyalurkan sebelum menyalurkan pembiayaan, dan penerapan kebijakan manajemen
asset-liabilitas yang tepat.
5. Risiko Legal
Terjadi saat bank Islam atau karyawannya melakukan tindakan pelanggaran hukum dan
mengakibatkan bank harus melakukan kewajiban sebagai sanksi atas tindak pelanggaran
tersebut. Atau ketika bank Islam terlibat kasus hukum akibat salah menginterpretasi hukum dan
regulasi. Terjadi ketika hukum dan regulasi disampaikan dalam bahasa yang terlalu umum dan
multi-interpretatif. Selain itu, juga mungkin terjadi akibat perubahan undang-undang dan regulasi
lainnya atau terjadi saat bank Islam melakukan inovasi produk yang belum memiliki paying
hukum. Oleh karena itu, bank Islam sangat membutuhkan adanya ahli hukum seperti kondisi saat
ini.
6. Risiko Reputasi
Risiko ini juga dikenal sebagai “headline risk” atau “Twitter risk” biasanya tidak hanya
berpotensi menimbulkan kerugian pada bank yang bersangkutan, namun juga industri bank
secara umum. Risiko ini juga dapat memicu meningkatnya risiko penarikan dana nasabah, modal
pemegang saham, dan risiko likuiditas. Risiko ini dapat dimitigasi dengan melakukan supervisi
yang teratur, standardisasi prosedur operasional perbankan syariah, evaluasi mandiri oleh tiap
bank Islam.
C. Identifikasi Faktor Penentu Risiko Operasional
Secara umum risiko operasional dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu risiko operasional
berdasarkan faktor penyebab terjadinya dan berdasarkan frekuensi serta dampak terjadinya.
Berdasarkan penyebab terjadinya, risiko operasional dapat disebabkan faktor internal dan
eksternal. Contoh faktor internal: kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan,
manipulasi laporan keuangan, pelanggaran aspek legal secara disengaja, kesalahan dalam sistem
IT, inovasi produk yang tidak tepat, dan ketidakpatuhan terhadap syari’ah. Contoh faktor
eksternal: sistem IT yang di-hack pihak yang tidak bertanggung jawab, perubahan regulasi,
bencana alam, dan faktor lain yang berada di luar kuasa manajemen bank Islam.
Risiko operasional juga dapat dikelompokkan berdasarkan frekuensi dan dampak
terjadinya. Risiko yang frekuensinya sering namun dampak terjadinya kecil, seperti kesalahan
dalam transaksi, kurang lengkapnya data isian pada boring penarikan/setoran/transfer, semuanya
dapat dicegah melalui pemeriksaan berlapis. Risiko yang frekuensinya rendah namun bisa
menimbulkan dampak yang besar, seperti bencana alam, bisa dikelola dengan membagi risiko
tersebut dengan perusahaan takaful. Risiko dengan frekuensi kejadian rendah dan dampak
kerugiannya masik bisa ditoleransi, dapat dikelola dengan proses kontrol internal yang memadai.
Contoh risiko ini, seperti peminjaman uang intra-day ‘ilegal’ oleh teller. Kemudian risiko yang
kemungkinan frekuensi terjadinya tinggi dan bila terjaddi menimbulkan dampak yang bisa
mengacaukan bank, sudah sepatutnya dicegah dengan supervisi yang ketat. Seperti adanya
kesempatan bagi privat banker untuk menyalahgunakan data maupun penggelapan dana
nasabahnya. Terhadap risiko seperti ini diperlukan supervisi yang jelas dan pelaksanaan kontrol
Page | 3
Magister Ekonomi SYari’ah II, 2015
internal yang bak disosialisasikan termasuk kepada nasabah private banking tersebut agar
bertransaksi sesuai prosedur.
D. Pengukuran Risiko Operasional Bank Islam
Secara sederhana perhitungan risiko operasional bisa diukur dengan mengklasifikasikan
risiko operasional yang bisa diekspektasi dan yang tidak bisa diekspektasikan. Kerugian atas
risiko yang bisa diekspektasi pada umumnya sudah diantisipasi manajemen dengan
memasukkannya pada pricing yang akan dikenakan pada klien. Perhitungan risiko operasional
yang sulit dilakukan adalah pada risiko yang tidak dapat diekspektasikan. Jenis risiko ini tidak
dapat dihitung dengan VAR biasa, namun dapat diminimalisasi dengan upaya preventif serta
bekerja sama dengan isntitusi takaful. Lazimnya jenis risiko ini memiliki distribusi kerugian
bentuk fat tail. Model yang dapat digunakan, misalnya extreme value theory (EVT).
Dalam basel II menetapkan bahwa bank harus mengalokasikan sebagian modalnya untuk
berjaga-jaga atas munculnya risiko operasional. Sebelumnya Basel I masih memberi perhatian
besar kepada risiko kredit dan menyatakan bahwa risiko operasional masih dapat dicakup dalam
8% CAR (Capital Adequacy Ratio) yang dipersyaratkan kepada bank. Lebih lanjut, Basel II
merekomendasikan tiga metode pengukuran risiko operasional, yakni Basic Indicator Approach
(BIA), Standardised Approach (SA), dan Advanced Measurement Approach (AMA).
Dengan metode BIA, bank harus menyiapkan 15% dari rata-rata pendapatan brutonya
selama tiga tahun terakhir untuk persiapan sekiranya risiko operasional benar-benar terjadi.
Metode BIA banyak menuai kritik kerena terlalu menyimplifikasi dan terkesan “top-down".
Metode ini tidak mengakomodasi faktor lain yang penting dipertimbangkan adalah keragaman
aktivitas bisnis, ukuran dan pertumbuhan asset bank.
Sedangkan dalam metode SA, meski masih terkesan “top-down”, metode ini sudah
memasukkan keragaman aktivitas bank. Modal operasional dihitung dengan rata-rata pendapatan
bruto bank dari delapan aktivitasi utama bank selama tiga tahun terakhir dikalikan dengan bobot
yang telah ditentukan. Aktivitas-aktivitas tersebut mencakup corporate finance, trading and
sales, retail banking, commercial banking, payment and settlement, agency services, asset
management, dan retail brokerage. Adapun pembobotan akan ditetapkan oleh regulator
berdasarkan perhitungan atas nilai rata-rata pendapatan bruto atas aktivitas-aktivitas tersebut
pada industri perbankan. Metode SA pun menuai kritik karena berpotensi terlalu membebani
bank dengan rasio kecukupan modal yang tinggi. Hal ini karena adanya kemungkinan double
counting risiko atas delapan aktivitas bisnis tersebut, yaitu dikenakannya perhitungan atas risiko
kredit, karena kerugian akibat gagal bayar, dan risiko operasional, karena penetapan pricing yang
terlalu tinggi atas aktivitas-aktivitas bisnis tersebut.
Oleh karena itu diperkenalkanlah metode alternative standard approach (ASA). Metode
ini hanya menghitung risiko atas kerugian akibat gagal bayar yang terjadi pada aktivitas retail
banking dan commercial banking dikalikan dengan faktor tertentu yang ditetapkan oleh
regulator. Untuk mengakomodasi bank yang sudah memiliki pengukuran risiko operasional
sendiri berdasarkan data dan internalnya, Basel II memberi kesempatan penggunaan metode
AMA. Berdasarkan metode ini, bank diperbolehkan menghitung risiko operasionalnya sendiri
Page | 4
Magister Ekonomi SYari’ah II, 2015
selama perhitungan tersebut mendapat izin dari regulator di mana bank beroperasi. Bank yang
menggunakan metode AMA, diharuskan menghitung risiko operasionalnya berdasarkan data
kerugian internal akibat risiko tersebut minimal selama tiga tahun terakhir. Perhitungannya pun
harus memperhatikan seluruh aktivitas yang dilakukan bank. Semua faktor tersebut
diperhitungkan untuk menghitung kebutuhan modal minimum yang dipercayakan regulator atas
risiko operasional bank yang bersangkutan.
Mengukur kerugian atas risiko yang terjadi dapat menggunakan judgement dan scenario
analysis dalam memperhitungkan kerugian akibat risiko tersebut. IFSB (2005) menetapkan
bahwa bank Islam dapat menghitung modal berdasarkan risiko operasional dengan menggunakan
metode BIA atau SA sebagaimana ditetapkan dalam Basel II. Namun, kedua metode ini perlu
disesuaikan sebelum digunakan oleh bank Islam. Akan lebih baik lagi bank Islam untuk
menggunakan metode AMA dengan mendesain sendiri metode dan alat pengukuran risiko yang
dihadapinya.
E. Membangun Sistem Manajemen Risiko Operasional
Manajemen dan mitigasi risiko operasional perlu dirangkai menjadi sebuah sistem
manajemen risiko operasional yang andal. Bank Islam perlu memiliki kerangka kerja khusus
terkait manajemen risiko operasional. Setidaknya, ada delapan aspek yang harus diperhatikan
dalam menyusun kerangka kerja ini, yaitu: penyusun kebijakan manajemen risiko operasional,
pengidentifikasian risiko operasional, penyusunan skema proses bisnis, penentuan metode
perhitungan risiko operasional yang paling tepat digunakan, penentuan kebijakan mitigasi risiko
operasional, penentuan bagaimana melaporkan dan menyajikan manajemen risiko operasional
tersebut kepada pihak yang memerlukannya, pelaksanaan analisis risiko operasional termasuk
penyusunan database risiko operasional dan stress testing, serta pengalokasian modal bank untuk
mempersiapkan sekiranya terjadi kerugian akibat risiko operasional.
Page | 5
Resume:
BAB 6
RISIKO OPERASIONAL BANK ISLAM
Oleh : Fithrah Kamaliyah
NIM : 2113043300011
Risiko operasional terkait dengan kegiatan bisnis sehari-hari bank. Biasanya terjadi
akibat faktor manusia, proses internal, sistem, teknologi, kontrol kepatuhan terhadap aturan,
maupun faktor eksternal lainnya seperti bencana alam, kerusuhan, perang dan sebagainya.
Jika digambarkan dalam suatu siklus, risiko operasional-lah yang menjadi starting point
sekaligus menjadi destination point dalam siklus risiko tersebut. Keberhasilah suatu manajemen
bank dalam mengelola risiko operasional memberi dampak positif terhadap naiknya kualitas dan
stabilitas earning yang diperoleh dan tentu akan mampu menguatkan daya saing serta daya tahan
yang dimiliki oleh bank.
A. Pentingnya Kesadaran akan Adanya Risiko
Kesadaran terhadap risiko operasional bisa dimulai dengan melihat potensi faktor
penentunya. Faktor ini bisa berasal dari suatu yang terlihat sepele hingga suatu yang memang
sudah terlihat membahayakan dari awalnya. Bank Islam sangat rentan terekspos risiko
operasional. Masih terbatasnya sumber daya insane yang belum terlalu mumpuni secara kualitas
maupun kuantitas, dukungan sistem informasi dan teknologi serta core banking system yang
belum memadai dapat menjadi pemicu terjadinya risiko operasional.
B. Definisi dan Cakupan Risiko Operasional Bank Islam
Basel II mendefinisikan risiko operasional sebagai “risk of loss resulting from inadequate
or failed internal process, people or system, or from external events”. Sementara itu, IFSB
mendefinisikan risiko operasional yang dihadapi bank Islam lebih dari sekedar risiko manusi,
risiko sistem dan proses internal, serta risiko karena kejadian eksternal. Namun juga mencakup
risiko kepatuhan atas ketentuan syari’ah dan risiko fidusia.
1. Risiko Manusia
Para karyawan bank Islam, adalah kunci keberhasilan bisnis bank. Jika karyawan
mengerjakan pekerjaan sesuai dengan yang diamanahkan, target bank akan tercapai, dan
sekaligus berperan besar dalam mengelola risiko operasional. Risiko operasional akibat faktor
manusia bisa terjadi karena dua hal: faktor kesalahan (human error) dan faktor pelanggaran
(human fraud). Kesalahan manusia bisa diakibatkan karena kelalaian, kesalahan pengambilan
keputusan maupun kebingungan karyawan dalam melakukan kegiatan operasional.
Page | 1
Magister Ekonomi SYari’ah II, 2015
Kelalaian ini dapat diperbaiki dengan pelatihan, peningkatan kontrol internal, maupun
pendokumentasian kesalahan yang pernah dilakukan. Buku dokumentasi kesalahan ini dikenal
dengan “buku dosa yang paling sering dilakukan”. Hal yang berat adalah apabila kesalahan ini
yang disengaja/pelanggaran, seperti pencurian, penggelapan dana, pelporan keuangan yang
sengaja dimanipulasi, insider trading, dan sebagainya. Terjadi atau tidaknya risiko ini sangat
ditentukan oleh kuat atau lemahnya sistem pengendalian internal yang ada.
Risiko manusia juga mungkin disebabkan oleh risiko personalia,yaitu buruknya sistem
manajemen sumber daya manusia pada suatu institusi, seperti buruknya sistem rekrutmen,
kurang menariknya remunerasi, terbatasnya pelatihan dan pengembangan yang diberikan kepada
para karyawan, dan sebagainya. Melalui proses rekrutmen yang dibuar secara tailor-made
dengan budaya bank Islam tersebut dapat diterapkan ketika menyeleksi karyawan baru. Tidak
hanya melakukan seleksi dengan tes kemampuan kognitif, namun juga psikotes, diskusi
kelompok, studi kasus, wawancara, dan tes pemahaman mengenai Islam.
2. Risiko Teknologi
Minimnya investasi teknologi pada bank Islam menimbulkan akibat yang cukup miris.
Masyarakat cenderung memiliki perspektif bahwa teknologi bank Islam masih terbelakang
dibanding bank konvensional. Untuk itu, sudah semestinya bank Islam mengagendakan untuk
berinvestasi pada teknologi dan diperlukan pula hali-ahli IT yang kompeten.
3. Risiko Kepatuhan
Risiko ini bisa disebabkan karena ketidakpatuhan bank Islam terhadap aturan yang
berlaku, aturan syariah maupun regulasi yang berlaku dimana bank Islam beroperasi. Bank Islam
juga perlu mematuhi peraturan tidak tertulis, seperti norma yang biasa berlaku pada masyarakat
selama tidak bertentangan dengan hukum syariah.
Pelanggaran atas kepatuhan, khususnya terhadap ketentuan syariah, bisa membuat
batalnya akad yang dilakukan bank Islam. Bila akad tersebut menghasilkan laba, maka laba itu
tidak boleh diakui sebagai pendapatan. Untuk mencegah risiko tersebut dapat dibentukk divisi
kepatuhan, Dewan Pengawas Syariah dan komite audit.
4. Risiko Fidusia
Risiko fidusia terkait dengan fungsi intermediasi bank Islam yang perannya adalah untuk
menyalurkan dana berbasis akad bagi hasil. Risiko ini timbul saat bank Islam gagal memenuhi
perjanjian yang telah disepakati sebelumnya dengan nasabah, karena ketidakpatuhan terhadap
syariah maupun adanya salah kelola dana nasabah.
Salah satu yang dapat menunjukkan risiko ini adalah pergerakan pendapatan yang
fluktuatif atau pemenuhan risiko kecukupan modal yang naik-turun. Akibatnya bank Islam
mengalami kesulitan dalam memenuhi fungsi intermediasinya, sulit memenuhi kebutuhan
penarikan dana giro dan tabungan wadiah atau memberi bagi hasil kepada nasabah. Risiko
fidusia dapat dicegah dengan perbaikan kebijakan pembiayaan melalui seleksi yang tepat
Page | 2
Magister Ekonomi SYari’ah II, 2015
sebelum menyalurkan sebelum menyalurkan pembiayaan, dan penerapan kebijakan manajemen
asset-liabilitas yang tepat.
5. Risiko Legal
Terjadi saat bank Islam atau karyawannya melakukan tindakan pelanggaran hukum dan
mengakibatkan bank harus melakukan kewajiban sebagai sanksi atas tindak pelanggaran
tersebut. Atau ketika bank Islam terlibat kasus hukum akibat salah menginterpretasi hukum dan
regulasi. Terjadi ketika hukum dan regulasi disampaikan dalam bahasa yang terlalu umum dan
multi-interpretatif. Selain itu, juga mungkin terjadi akibat perubahan undang-undang dan regulasi
lainnya atau terjadi saat bank Islam melakukan inovasi produk yang belum memiliki paying
hukum. Oleh karena itu, bank Islam sangat membutuhkan adanya ahli hukum seperti kondisi saat
ini.
6. Risiko Reputasi
Risiko ini juga dikenal sebagai “headline risk” atau “Twitter risk” biasanya tidak hanya
berpotensi menimbulkan kerugian pada bank yang bersangkutan, namun juga industri bank
secara umum. Risiko ini juga dapat memicu meningkatnya risiko penarikan dana nasabah, modal
pemegang saham, dan risiko likuiditas. Risiko ini dapat dimitigasi dengan melakukan supervisi
yang teratur, standardisasi prosedur operasional perbankan syariah, evaluasi mandiri oleh tiap
bank Islam.
C. Identifikasi Faktor Penentu Risiko Operasional
Secara umum risiko operasional dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu risiko operasional
berdasarkan faktor penyebab terjadinya dan berdasarkan frekuensi serta dampak terjadinya.
Berdasarkan penyebab terjadinya, risiko operasional dapat disebabkan faktor internal dan
eksternal. Contoh faktor internal: kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan,
manipulasi laporan keuangan, pelanggaran aspek legal secara disengaja, kesalahan dalam sistem
IT, inovasi produk yang tidak tepat, dan ketidakpatuhan terhadap syari’ah. Contoh faktor
eksternal: sistem IT yang di-hack pihak yang tidak bertanggung jawab, perubahan regulasi,
bencana alam, dan faktor lain yang berada di luar kuasa manajemen bank Islam.
Risiko operasional juga dapat dikelompokkan berdasarkan frekuensi dan dampak
terjadinya. Risiko yang frekuensinya sering namun dampak terjadinya kecil, seperti kesalahan
dalam transaksi, kurang lengkapnya data isian pada boring penarikan/setoran/transfer, semuanya
dapat dicegah melalui pemeriksaan berlapis. Risiko yang frekuensinya rendah namun bisa
menimbulkan dampak yang besar, seperti bencana alam, bisa dikelola dengan membagi risiko
tersebut dengan perusahaan takaful. Risiko dengan frekuensi kejadian rendah dan dampak
kerugiannya masik bisa ditoleransi, dapat dikelola dengan proses kontrol internal yang memadai.
Contoh risiko ini, seperti peminjaman uang intra-day ‘ilegal’ oleh teller. Kemudian risiko yang
kemungkinan frekuensi terjadinya tinggi dan bila terjaddi menimbulkan dampak yang bisa
mengacaukan bank, sudah sepatutnya dicegah dengan supervisi yang ketat. Seperti adanya
kesempatan bagi privat banker untuk menyalahgunakan data maupun penggelapan dana
nasabahnya. Terhadap risiko seperti ini diperlukan supervisi yang jelas dan pelaksanaan kontrol
Page | 3
Magister Ekonomi SYari’ah II, 2015
internal yang bak disosialisasikan termasuk kepada nasabah private banking tersebut agar
bertransaksi sesuai prosedur.
D. Pengukuran Risiko Operasional Bank Islam
Secara sederhana perhitungan risiko operasional bisa diukur dengan mengklasifikasikan
risiko operasional yang bisa diekspektasi dan yang tidak bisa diekspektasikan. Kerugian atas
risiko yang bisa diekspektasi pada umumnya sudah diantisipasi manajemen dengan
memasukkannya pada pricing yang akan dikenakan pada klien. Perhitungan risiko operasional
yang sulit dilakukan adalah pada risiko yang tidak dapat diekspektasikan. Jenis risiko ini tidak
dapat dihitung dengan VAR biasa, namun dapat diminimalisasi dengan upaya preventif serta
bekerja sama dengan isntitusi takaful. Lazimnya jenis risiko ini memiliki distribusi kerugian
bentuk fat tail. Model yang dapat digunakan, misalnya extreme value theory (EVT).
Dalam basel II menetapkan bahwa bank harus mengalokasikan sebagian modalnya untuk
berjaga-jaga atas munculnya risiko operasional. Sebelumnya Basel I masih memberi perhatian
besar kepada risiko kredit dan menyatakan bahwa risiko operasional masih dapat dicakup dalam
8% CAR (Capital Adequacy Ratio) yang dipersyaratkan kepada bank. Lebih lanjut, Basel II
merekomendasikan tiga metode pengukuran risiko operasional, yakni Basic Indicator Approach
(BIA), Standardised Approach (SA), dan Advanced Measurement Approach (AMA).
Dengan metode BIA, bank harus menyiapkan 15% dari rata-rata pendapatan brutonya
selama tiga tahun terakhir untuk persiapan sekiranya risiko operasional benar-benar terjadi.
Metode BIA banyak menuai kritik kerena terlalu menyimplifikasi dan terkesan “top-down".
Metode ini tidak mengakomodasi faktor lain yang penting dipertimbangkan adalah keragaman
aktivitas bisnis, ukuran dan pertumbuhan asset bank.
Sedangkan dalam metode SA, meski masih terkesan “top-down”, metode ini sudah
memasukkan keragaman aktivitas bank. Modal operasional dihitung dengan rata-rata pendapatan
bruto bank dari delapan aktivitasi utama bank selama tiga tahun terakhir dikalikan dengan bobot
yang telah ditentukan. Aktivitas-aktivitas tersebut mencakup corporate finance, trading and
sales, retail banking, commercial banking, payment and settlement, agency services, asset
management, dan retail brokerage. Adapun pembobotan akan ditetapkan oleh regulator
berdasarkan perhitungan atas nilai rata-rata pendapatan bruto atas aktivitas-aktivitas tersebut
pada industri perbankan. Metode SA pun menuai kritik karena berpotensi terlalu membebani
bank dengan rasio kecukupan modal yang tinggi. Hal ini karena adanya kemungkinan double
counting risiko atas delapan aktivitas bisnis tersebut, yaitu dikenakannya perhitungan atas risiko
kredit, karena kerugian akibat gagal bayar, dan risiko operasional, karena penetapan pricing yang
terlalu tinggi atas aktivitas-aktivitas bisnis tersebut.
Oleh karena itu diperkenalkanlah metode alternative standard approach (ASA). Metode
ini hanya menghitung risiko atas kerugian akibat gagal bayar yang terjadi pada aktivitas retail
banking dan commercial banking dikalikan dengan faktor tertentu yang ditetapkan oleh
regulator. Untuk mengakomodasi bank yang sudah memiliki pengukuran risiko operasional
sendiri berdasarkan data dan internalnya, Basel II memberi kesempatan penggunaan metode
AMA. Berdasarkan metode ini, bank diperbolehkan menghitung risiko operasionalnya sendiri
Page | 4
Magister Ekonomi SYari’ah II, 2015
selama perhitungan tersebut mendapat izin dari regulator di mana bank beroperasi. Bank yang
menggunakan metode AMA, diharuskan menghitung risiko operasionalnya berdasarkan data
kerugian internal akibat risiko tersebut minimal selama tiga tahun terakhir. Perhitungannya pun
harus memperhatikan seluruh aktivitas yang dilakukan bank. Semua faktor tersebut
diperhitungkan untuk menghitung kebutuhan modal minimum yang dipercayakan regulator atas
risiko operasional bank yang bersangkutan.
Mengukur kerugian atas risiko yang terjadi dapat menggunakan judgement dan scenario
analysis dalam memperhitungkan kerugian akibat risiko tersebut. IFSB (2005) menetapkan
bahwa bank Islam dapat menghitung modal berdasarkan risiko operasional dengan menggunakan
metode BIA atau SA sebagaimana ditetapkan dalam Basel II. Namun, kedua metode ini perlu
disesuaikan sebelum digunakan oleh bank Islam. Akan lebih baik lagi bank Islam untuk
menggunakan metode AMA dengan mendesain sendiri metode dan alat pengukuran risiko yang
dihadapinya.
E. Membangun Sistem Manajemen Risiko Operasional
Manajemen dan mitigasi risiko operasional perlu dirangkai menjadi sebuah sistem
manajemen risiko operasional yang andal. Bank Islam perlu memiliki kerangka kerja khusus
terkait manajemen risiko operasional. Setidaknya, ada delapan aspek yang harus diperhatikan
dalam menyusun kerangka kerja ini, yaitu: penyusun kebijakan manajemen risiko operasional,
pengidentifikasian risiko operasional, penyusunan skema proses bisnis, penentuan metode
perhitungan risiko operasional yang paling tepat digunakan, penentuan kebijakan mitigasi risiko
operasional, penentuan bagaimana melaporkan dan menyajikan manajemen risiko operasional
tersebut kepada pihak yang memerlukannya, pelaksanaan analisis risiko operasional termasuk
penyusunan database risiko operasional dan stress testing, serta pengalokasian modal bank untuk
mempersiapkan sekiranya terjadi kerugian akibat risiko operasional.
Page | 5