Dr. Catharina S (LKasus)

  Laporan Kasus

PURE NEURAL LEPROSY

  

Catharina Sagita, Agnes Sri Siswati

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK Universitas Gadjah Mada/RS Dr Sardjito Yogyakarta

  ABSTRAK

Latar belakang: Pure-Neural-Leprosy (PNL) merupakan bentuk klinis kusta yang jarang ditemui, ditandai dengan penebalan saraf

tepi tanpa lesi kulit, hilangnya fungsi sensoris dengan atau tanpa paralisis motoris dan reaksi kusta. Pure-Neural-Leprosy (PNL)

sulit didiagnosis karena tidak ada lesi khas kusta dan bakteri tahan asam (BTA) pada apusan kulit.

  

Kasus: Seorang wanita didiagnosis PNL dengan neuritis dan kecacatan derajat 2. Pasien mempunyai riwayat parestesi, kekakuan

dan luka tak nyeri pada ekstremitas. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan lesi kulit, tetapi didapatkan anestesi pada ekstremitas,

pembesaran saraf ulnaris dan suralis, atrofi tenar, hipotenar serta claw hand tangan kiri, dan ulkus ibu jari kaki kanan. Pada

apusan kulit tidak ditemukan BTA. Biopsi saraf suralis menunjukkan gambaran kusta tipe borderline dengan BTA. Pasien

mendapat rejimen Pausibasiler (PB) WHO.

  

Diskusi: Diagnosis PNL dapat ditegakkan berdasarkan disfungsi klinis saraf. Pemeriksaan baku adalah biopsi saraf yang sulit

dilakukan dan berisiko tinggi. Pada kasus ini, diagnosis pasti PNL ditegakkan berdasarkan hasil biopsi saraf. Belum ada acuan

baku terapi PNL. Pasien mendapat terapi rejimen PB WHO berdasarkan The National Leprosy Eradication Programme.

  

Kesimpulan: Pure-Neural-Leprpasieny (PNL) perlu dipertimbangkan jika ditemukan gangguan fungsi saraf tepi sensoris dan

motoris tanpa lesi kulit dan BTA pada apusan kulit untuk mencegah disability. Kata kunci: pure-neural-leprosy, disability, terapi ABSTRACT

Background: Pure-Neural-Leprpasieny (PNL) is a rare variant of leprosy with thickening of peripheral nerve without skin lesion,

sensibility impairment, with or without motor paralysis and nerve reaction. PNL is difficult to diagnose because of no typical skin

lesion and acid-fast-bacilli (AFB) on slit-skin-smear (SSS).

  

Case: A women was diagnose PNL with neuritis and deformity grade 2. She had history of paresthesia, stiffness, and painless

wound on extremities. There were no skin lesions, but anesthesia on extremities, ulnaris and suralis nerves enlargement, thenar,

hypothenar athrophy and claw hand on left hand, and toe tumb ulcer were found. SSS showed no AFB. Suralis nerve biopsy

revealed borderline leprosy with AFB. She received Pausibasiler WHO regiment.

  

Discussion: Pure-Neural-Leprpasieny (PNL) could be diagnosed based on clinical nerve dysfunction. The gold standard

examination is nerve biopsy which is difficult and risky. In this case definite diagnosis was established based on nerve biopsy result.

  

There is no standart treatment for PNL. She received Pausibasiler regiment based on The National Leprpasieny Eradication

Programme.

  

Conclusion: Pure-Neural-Leprpasieny (PNL) have to be considered if there is sensory and motor peripheral nerve function

impairment without skin lesion and AFB on SSS in order to prevent disability. Keyword: pure-neural-leprpasieny, disability, treatment PENDAHULUAN

  Pure Neural Leprpasieny (PNL), disebut juga pure neuritic, primary neural, primary neuritic,

polyneuritic, purely neural adalah penebalan saraf tepi batang tubuh ditandai hilangnya fungsi sensoris

  pada area distribusi saraf tersebut, dengan atau tanpa paralisis motoris, dan tanpa lesi kulit tanpa 1-3 memperhatikan ada tidaknya reaksi saraf yang disebabkan oleh Mycobacterium kustae. Penyakit ini 4,5 merupakan bentuk jarang pada individu terinfeksi M.kustae. Frekuensi PNL bervariasi antara 4,6% - 1 5,5% di India Barat, 17,7% di India Selatan, dan 4,2% di India Utara. Insidens PNL meningkat pada laki- 1,4 laki dan pertambahan usia. Tidak ditemukannya lesi kulit khas dan bakteri tahan asam (BTA) pada 6 pemeriksaan apus kulit menyebabkan PNL sulit didiagnosis maupun diklasifikasi.

  Pada umumnya diagnosis PNL didasarkan pada pemeriksaan klinis terutama di daerah endemik.

  

Pure-Neural-Leprpasieny (PNL) seringkali hanya menunjukkan gejala dan tanda kelainan fungsi

sensoris, parestesia, pembesaran saraf, nyeri saraf, dan kelemahan otot tanpa perubahan kulit.

  1,2,7,8

  komplikasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kerusakan saraf lebih mudah terjadi pada PNL, 9-11 ditandai dengan tingginya frekuensi deformitas. Hal ini mungkin terjadi karena keterlambatan 1 diagnosis. WHO tidak mempunyai guideliness tertentu untuk PNL, baik klasifikasi maupun terapi, akan tetapi penggolongan PNL sebagai salah satu bentuk tersendiri penyakit kusta telah diterima oleh 2,12,13 klasifikasi Madrid (1953) dan Indian (1955).

  Berikut ini akan dipaparkan satu laporan kasus PNL pada seorang wanita usia 27 tahun. Diharapkan laporan ini dapat meningkatkan kewaspadaan kita akan diagnosis PNL yang seringkali sulit ditegakkan karena tidak ditemukan lesi kulit maupun BTA pada pemeriksaan apus kulit, sehingga dapat dihindari timbulnya kecacatan.

  KASUS

  Seorang wanita usia 27 tahun bertempat tinggal di Banyumas, Jawa Tengah, datang ke poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr Sardjito pada tanggal 23 Agustus 2005 dengan keluhan utama tangan kiri kaku. Sejak kurang lebih satu tahun yang lalu, pasien merasa tangan kiri sering kesemutan, timbul luka yang tidak nyeri atau tidak disadari, dan kemudian jari-jari tangan kiri menjadi kaku dan tidak dapat diluruskan. Tangan kanan, kaki kiri dan kanan juga mulai sering kesemutan. Oleh karena keluhan tersebut pasien berobat ke RS di Jakarta dan dilakukan beberapa pemeriksaan. Pasien disarankan untuk berobat ke dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.

  Pasien menyangkal riwayat penyakit serupa sebelumnya, trauma pada tangan maupun kaki sebelum keluhan muncul, atau keluhan pada mata. Pasien menyangkal keadaan cepat lapar, cepat haus, dan sering buang air kecil (BAK) yang mengganggu, serta penurunan berat badan yang abnormal. Pasien menyangkal adanya anggota keluarga atau tetangga yang menderita penyakit serupa atau menderita kusta.

  Pada pemeriksaan fisis didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, dan gizi cukup. Tanda vital dalam batas normal. Pada lengan bawah serta tangan kanan dan kiri tidak didapatkan adanya lesi kulit; anestesi (+) parsial pada tangan kanan dan total pada tangan kiri, atrofi tenar dan hipotenar tangan kiri, claw hand tangan kiri, pembesaran dan nyeri pada perabaan n.ulnaris kiri dan kanan (+). Pada kaki kanan tidak didapatkan lesi, anestesi parsial kaki kanan dan kiri (+); pembesaran n.suralis kanan (+). Pada bagian tubuh yang lain juga tidak ditemukan lesi. Pemeriksaan apus kulit pada 6 daerah standar (cuping kanan dan kiri, siku kanan dan kiri, lutut kanan dan kiri), mukpasiena nasal, dan daerah anestesi, tidak ditemukan BTA.

  Gambar 1. Atrofi tenar dan hipotenar tangan kiri Gambar 2. Claw hand tangan kiri

  Diagnosis banding yang diajukan adalah PNL dan neuropati diabetika (ND). Diagnosis kerja adalah PNL dengan neuritis dan kecacatan tangan derajat 2. Terapi yang diberikan adalah prednison

  30mg/hari (5 hari) dilanjutkan 20mg/hari (5 hari), vitamin B kompleks 3x10mg, vitamin C 3x100mg , dan imobilisasi tangan kiri dengan gips.

  Satu minggu kemudian pasien kontrol membawa hasil pemeriksaan di Jakarta berupa

  

electromyography (EMG) dengan hasil terdapat bukti adanya gangguan neurogen perifer yang dapat

  sesuai dengan Morbus Hansen, yaitu berupa tidak adanya respons pada n.ulnaris kiri, penurunan amplitudo dan pemanjangan latensi terminal n.medianus kiri, tidak adanya reaksi sistem sensorik kiri, dan spontan tidak tampak fibrilasi/fasikulasi elementer m.abduktor pollicus brevis dan m.fleksor carpi ulnari kiri.; MRI spinal torakal dalam batas normal, MRI spinal servikal tampak straight cervical vertebra (muscle spasm) dan degenerasi diskus ringan terutama pada segmen cervical C5,6. Hasil pemeriksaan darah dan kimia darah dalam batas normal kecuali LED (Westergen) 32 mm/jam. Terdapat luka di ujung 3 jempol kaki kanan yang tidak disadari, ulkus ukuran 1x1x0,2 cm , dasar bersih, tepi teratur terdapat krusta hemoragik, skuama tebal, dan eksudasi. Pemeriksaan BTA (-). Diagnosis kerja adalah PNL dengan neuritis dan kecacatan tangan derajat 2 serta ulkus trofik pada pedis dekstra. Pasien diobati dengan

  

multidrug therapy pausebasilar (MDT PB) bulan I, neurotropik satu kali sehari, meneruskan kortikteroid

  pasien, krim gentamisin 2x sehari untuk ulkus tropik, serta edukasi perawatan dan pencegahan luka, serta direncanakan biopsi saraf.

  Gambar 3. Ulkus trofik pada ibu jari kaki kanan

  Biopsi saraf dilakukan pada n.suralis dekstra, dengan hasil pemeriksaan histopatologis tampak radang granulomatosa yang terdiri atas limfosit, makrofag, dan sel-sel raksasa tipe Langhans. Juga didapatkan tuberkel epiteloid. Pada pewarnaan Fite Faraco ditemukan BTA sebagian bergerombol (utuh dan fragmented) sebagian tersebar. Disimpulkan bahwa sediaan saraf suralis tungkai bawah kanan secara histologis sesuai MH tipe neural. Gambar 4. Histopatologi biopsi saraf: radang granulomatpasiena terdiri atas Gambar 5. Histopatologi biopsi saraf: bakteri limfpasienit, makrofag, sel raksasa Langhans (HE) tahan asam solid dan fragmented (merah, Fite Faraco)

  Pasien kontrol pada bulan kedua dan tiga terapi, dengan berkurangnya rasa kesemutan dan nyeri 3 pada lengan dan kaki. ukuran ulkus pada ujung jari I kaki kanan mengecil (0,8x0,8x0,1 cm ).

  Pemeriksaan apus kulit tetap negatif. Pengobatan dilanjutkan dengan MDT PB bulan II dan III, vitamin neurotropik dan krim gentamisin.

  PEMBAHASAN

  Diagnosis PNL dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis jika ditemukan penebalan saraf 10,14 pada daerah predileksi. Gambaran klinis yang paling sering ditemukan adalah gangguan sensoris, 8-10 3 defisit motoris, dan parestesia. Gambaran tersebut tidak spesifik dan tidak selalu ditemukan pada PNL. 10,12,14 Kelainan mononeuritis dan keterlibatan anggota gerak atas paling sering ditemukan. Saraf yang 3 paling sering terlibat adalah ulnaris, medianus, peroneus, dan tibialis posterior, atau kombinasi ulnaris 12,15 dan poplitea lateral. Awitan episode reaksi (neuritis dan reaksi reversal) merupakan salah satu tanda 8 yang paling sering ditemukan untuk mengkonfirmasi diagnosis kusta. Salah satu gambaran penting 13 lainnya adalah tidak ditemukannya BTA pada pemeriksaan apus kulit.

  Kriteria histopatologis PNL meliputi ditemukannya BTA dan granuloma epiteloid pada saraf. 2 Tanda lain yang kurang spesifik adalah infiltrat inflamasi nonspesifik (sel mononuklear). Gambaran 6 tersebut dapat ditemukan pada semua spektrum kusta. Pola elektromiografi pada neuropati kusta 8 digambarkan sebagai gangguan konduksi impuls saraf dan penurunan amplitudo potensi sensori-motor. 19 Jika gangguan saraf menunjukkan kelainan klinis maka perubahan konduksi saraf semakin berat.

  Pada kasus ini, ditemukan gangguan fungsi sensoris dan motorik disertai pembesaran saraf pada daerah predileksi tanpa lesi kulit, yaitu anestesi parsial pada tangan kanan, kaki kanan dan kiri, serta total pada tangan kiri, atrofi tenar dan hipotenar tangan kiri, claw hand pada tangan kiri, pembesaran dan nyeri pada perabaan n.ulnaris kiri dan kanan serta n.suralis kanan. Tidak ditemukan BTA pada pemeriksaan apus kulit di enam daerah standar, mukosa nasal, dan daerah anestesi. Pada perkembangan penyakit ditemukan ulkus trofik pada ujung jari I kaki kanan. Hasil pemeriksaan biopsi saraf suralis kanan sesuai dengan kriteria histopatologis kusta spektrum borderline. Pemeriksaan EMG menunjukkan gambaran abnormalitas konduksi saraf pada n.medianus dan ulnaris kiri. Berdasarkan temuan klinis, histopatologis, dan EMG tersebut maka diagnosis PNL dengan neuritis dan kecacatan tangan derajat 2; ulkus trofik pada pedis dekstra ditegakkan pada kasus ini.

  Keterlibatan saraf pada kusta merupakan salah satu bentuk neuropati perifer. Penyakit lain 20,21 dengan neuropati perifer yang paling sering terjadi adalah ND. Penyebab lain neuropati perifer dapat dilihat pada tabel 1 (lampiran). Neuropati diabetika (ND) adalah adanya gejala dan/atau tanda disfungsi saraf perifer pada pasien diabetes setelah eksklusi penyebab lainnya. Kriteria diagnosis ND adalah: 1. Pasien menderita diabetes melitus (DM) berdasarkan the National Diabetes Data Group; 2. hiperglikemi kronis berkepanjangan; 3. Pasien mengalami predominan polineuropati sensorimotor distal pada ekstremitas bawah; 4. Retinopati atau neuropati diabetika timbul seperti polineuropati; 5. Penyebab lain 22 polineuropati sensorimotor telah disingkirkan. Gejala ND meliputi gejala sensoris yaitu positif (burning,

  

pricking pain, dan tightness) atau negatif (kebal, deadness, trauma tidak nyeri), difus atau fokal motoris

  (kelemahan distal, proksimal, atau fokal), dan otonom, yaitu sudomotor (kulit kering, jarang berkeringat), 23

  

pupillary, urinary, gastrointestinal, dan seksual. Biopsi n.suralis menunjukkan kumpulan limfosit di

  sekitar pembuluh darah kecil epineural. Gambaran EMG menunjukkan velositas konduksi saraf motor 22 yang tidak kurang dari 50% normal dan denervasi.

  Pada kasus ini ditemukan adanya polineuropati sensorimotor (negatif fokal dan kelemahan distal). Untuk mengetahui status DM, pasien seharusnya diperiksa kadar gula darah. Hasil biopsi saraf dan pemeriksaan EMG tidak sesuai dengan gambaran ND. Selain itu pada ND tidak ditemukan adanya pembesaran saraf seperti yang dialami pasien. Dengan demikian diagnonis banding ND dapat disingkirkan pada kasus ini.

  Keterbatasan biopsi saraf sebagai pemeriksaan ideal PNL antara lain disebabkan karena kesalahan pengambilan sampel, sensitivitas rendah, dan defisit saraf permanen. Biopsi saraf dapat dilakukan pada cabang saraf radius sensoris superfisial pada pergelangan tangan dan saraf suralis. Saraf 3 motoris biasanya tidak diambil untuk biopsi saraf. Gabriel dkk. menyarankan biopsi hanya dilakukan jika pemeriksaan lain gagal mendiagnosis dan pada pasien dengan gejala gangguan saraf sensoris yang nyata, 24

  Spektrum PNL meliputi bentuk tuberkuloid dan lepromatosa, dan beberapa peneliti memasukkan bentuk borderline dan indeterminate. Pada PNL tuberkuloid, terdapat imunitas selular derajat tinggi dan menimbulkan neuritis granulomatosa berat, tidak ditemukan BTA, serta kesembuhan dapat terjadi tanpa terapi spesifik. PNL borderline dihubungkan dengan derajat imunitas selular yang lebih rendah, disertai kerusakan saraf pada beberapa tempat dan dapat ditemukan BTA dalam jumlah sedikit. PNL lepromatosa terjadi pada imunitas selular rendah dengan lesi multipel dan ditemukan banyak BTA di dalam foamy

  

histiocytes. Bentuk PNL indeterminate ditandai dengan sedikit patch hipoestesi atau anestesi, sedikit atau

5

  tanpa pembesaran saraf, sedikit BTA, dan tanpa lesi kulit. Pada kasus berdasarkan pemeriksaan klinis dan histopatologis yang telah dipaparkan di atas, maka diperkirakan bahwa spektrum PNL pada pasien ini ialah tipe borderline.

  Tidak ada guidelines baku dari WHO mengenai klasifikasi PNL, sehingga juga belum ada terapi standar PNL. The National Leprosy Eradication Programme (1994) menggolongkan PNL sebagai kasus PB karena pemeriksaan apus kulit memberikan hasil negatif, sebagian besar uji lepromin positif, dan laporan awal histologi saraf menunjukkan gambaran tuberkuloid. Akan tetapi beberapa biopsi saraf telah 1,13 menunjukkan gambaran borderline atau lepromatosa dengan sejumlah besar BTA. Jumlah saraf yang terlibat dapat digunakan sebagai kriteria klinis yang cukup terpercaya untuk menentukan rejimen MDT 1,29 (PB/MB). Pasien dengan keterlibatan ≥ 2 saraf diterapi dengan rejimen MB WHO. Pada kasus ini, pasien mendapat terapi rejimen PB WHO walaupun terdapat keterlibatan ≥ 2 saraf. Hal ini dilakukan merujuk kriteria rejimen WHO bahwa jika hasil pemeriksaan apus saraf menunjukkan hasil BTA negatif maka diberikan rejimen PB. Akan tetapi mengingat kontroversi terapi PNL maka diperlukan pengawasan lebih lanjut keberhasilan terapi pada kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

  

1. Kumar B, Kaur I, Dogra S, Kumaran MS. Pure Neutric Leprosy in India: an Appraisal. Int J Lepr and Other

Mycobacterial Diseases, 2004; 72: 284-90.

  

2. Jardim MR, Antunes SLG, Santpasien RA, Nascimento OJM, Nery JAC, Sales AM, dkk. Cirteria for diagnosis

of pure neuritic leprosy. J Neurol, 2003: 250; 806-9.

  3. Walder-Smith E. Diagnosis of pure neuritic leprosy. J Neurol Southeast Asia, 2002; 7: 61-3.

  

4. Noordeen SK cit Kumar B, Kaur I, Dogra S, Kumaran MS. Pure Neuritic Leprpasieny in India: an Appraisal.

  Intl J Lepr and Other Mycobacterial Diseases, 2004: 72; 284-90.

  

5. Jenkins D, Papp K, Jakubovic JR, Shiffman N. Leprotic involvement of peripheral nerves in the absence of skin

lesions. J Am Acad Dermatol, 1990; 23: 1023-6.

  

6. Menicucci LA, Miranda A, Antunes SLG, Jardim MR, Nery JAcC, Sales AM, dkk. Microscopic leprosy skin

lesions in primary neuritic leprosy. J Am Acad Dermatol, 2005; 52: 648-52.

  

7. Jayaseelan E, Shariff S, Rout P. Cytodiagnpasienis of primary neuritic leprosy. Int J Lepr and Other

Mycobacterial Diseases, 1999: 67; 429-34.

  

8. Skacel M, Antunes SLG, Rodrigues MMJ, Nery JADC, Valentim VDC, de Morais RPB, dkk. The diagnosis of

leprosy among patients with symptoms of peripheral neuropathy without cutaneous lesions, a follow-up study.

  Arq Neuropsiquiatr, 2000: 58; 800-7.

  

9. Kaur G, Birdhar BK, Firdhar A, Malaviya GN, Mukherjer A, Sengupta U, Desikan KV cit Kumar B, Kaur I,

Dogra S, Kumaran MS. Pure Neuritic Leprosy in India: an Appraisal. Int J Lepr and Other Mycobacterial Diseases, 2004: 72; 284-90.

  

10. Mahajan PM, Jogaikar DG, Mehta JM cit Kumar B, Kaur I, Dogra S, Kumaran MS. Pure Neuritic Leprosy in

India: an Appraisal. Int J of Leprosy and Other Mycobacterial Diseases, 2004: 72; 284-90.

  

11. Talwar S, Jha PK, Tiwari VD cit Kumar B, Kaur I, Dogra S, Kumaran MS. Pure Neuritic Leprosy in India: an

Appraisal. Int J Lepr and Other Mycobacterial Diseases, 2004: 72; 284-90.

  12. Narahari SR. Unknown presentations of pure neuritic leprosy. Indian J Lepr, 1997; 69: 401-6.

  13. Girdhar BK. Neuritic leprosy. Indian J Lepr, 1996; 68: 35-42.

  

14. Pfaltzgraff RE, Ramu G. ……… judulnya …….Dalam: Hastings RC, editor. Leprosy. Edisi ke-2. … .kota …:

Churchill Livingstone, 1994: 237-90.

  

15. Desikan KV, Anbalagan J, Maheshwari PK. Pure neuritic leprosy of supraorbital nerve as unusual presentation.

  Indian J Lepr, 2001; vol …..: 47-50.

  

16. Sridharan R, Larenzo N, Ranganathar LN, Govindarajan S. Neuropathy of leprosy.

  Diakses tanggal 15 Januari 2006.

  17. Poncelet AN. An algorithm for the evaluation of peripheral neuropathy. Am Fam Phys, 1998; 57: 4.

  18. Hughes RAC. Peripheral neuropathy. BMJ, 2002; 324: 446-9.

  19. Soliman E, Gellindo C. Diabetic neuropathy. Diakses tanggal 15 Januari 2006.

  

20. Duby JJ. Campbell RK, Setter SM, White JR, Rasmussen KA. Diabetic neuropathy; An intensive review. Am J

Health-Syst Pharm … thn ….; 61: 160-76.

  

21. Gabriel CM, Howar R, Kinsella N, Lucas S, McColl J, Saldanha G, et al. Prospective study of the usefulness of

sural nerve biopsy. J Neurol Neurpasienurg Psychiatry 2000; 69: 442-6

  

22. Suneetha S, Sigamoni A, Kurian N, Chacko CJG. The development of cutaneous lesions during follow-up of

patients with primary neuritic leprosy. Int J Dermatol, 2005; 44: 224-9.