OPINI TENTANG DAMPAK DARI PERADABAN MOD

“OPINI TENTANG DAMPAK DARI PERADABAN MODERNISASI TERHADAP
PERGESERAN NILAI-NILAI DI INDONESIA”
Di ajukan guna melengkapi tugas mandiri serta Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Ilmu
Sosial Budaya

Oleh
Tantik Dahlia

:
130810201048

Kelas SBD.02

JURUSAN MANAJEMEN S1
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JEMBER
2014
1

KATA PENGANTAR


Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, penyusunan makalah yang

berjudul

“Budaya Korupsi Sebagai Problematika Soaial Budaya Di Indonesia dan Peran Pemerintah
dalam Menanganinya” dapat diselesaikan tepat pada waktunya meskipun dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana.
Harapan saya semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman, juga membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, sehingga untuk kedepannya saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi dari
makalah ini dengan lebih baik.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
segala kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk penyempurnaan makalah ini, dari
siapapun datangnya, penulis akan menerima dan menyambutnya dengan segala kerendahan
hati.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah Yang Maha Kuasa
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Jember, 04 April 2014


Penulis

2

IDENTITAS PRIBADI

1. Nama
2. Nim
3. Jurusan/Program Studi
4. Fakultas
5. Semester
6. Alamat email
7. Agama
8. Jenis Kelamin
9. Tempat, Tanggal lahir
10. Golongan Darah
11. Alamat Asal
12. Alamat Di Jember
13. Nama Ayah

14. Nama Ibu
15. Anak ke

: Tantik Dahlia
: 130810201048
: Manajemen
: Ekonomi
: II (dua)
: tantik_jujha@yahoo.com
: Islam
: Perempuan
: Probolinggo, 06 Juni 1995
: AB
: Dsn. Karang Anyar RT/RW:11?04 Ds.Bucor Wetan
Pakuniran-Probolinggo
: Jl. Jawa Gang.7 No.124
: Hosen
: Parma
: 2 (dua) dari 2 bersaudara


DAFTAR ISI

3

HALAMAN JUDUL……………………………………………………..…………………….i
KATA PENGANTAR…………………………………………………..…………………......ii
IDENTITAS DIRI……………………………………………………..……………………...iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………......................iv
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………..…........................1
1.1.

Latar Belakang Masalah……………………………………………………………...
……1

1.2.

Pemecahan Masalah………...
……………………………………………………………..2


1.3.

Manfaat Penulisan………………...
…………………………………………………….....2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA………………………..……………………………………………...3
2.1. Pengertian Korupsi……………... ……………………………………………..………....3
2.2. Jenis-Jenis korupsi…… …………………………………………………………………..4
BAB III
PEMBAHASAN……………………………………………………………………….............8
3.3. Gambaran Umum dan Persepsi Masyarakat tentang Korupsi di Indonesia ……………....8
3.2. Budaya Korupsi di Indonesia……………………………………..……………………….9
3.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Korupsi di Indonesia ………………………………10
3.4. Akibat Atau Dampak Dari Korupsi……………………………………………………...13
3.5. Peran Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi...............................................................14
BAB IV
PENUTUP………………………………………………………………………………...…..16
Kesimpulan dan Saran………………………………………………………………………..16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...................17


BAB I
4

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kata Korupsi mungkin sudah tidak menjadi hal yang asing lagi di telinga masyarakat
Indonesia, pasalnya hampir setiap hari media disibukkan dengan pemberitaan korupsi, baik di
media surat kabar maupun media elektronik di negeri ini. Sehingga Korupsi jelas menjadi
fenomena memprihatinkan bagi bangsa ini. Bangsa yang luhur, beretika, bermoral ketimuran
kini mulai luntur seiring menghegimoninya praktik korupsi.
Tindakan Korupsi di sini dapat dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan demi
keuntungan pribadi atau kelompok. Selain itu tindakan korupsi tersebut juga dapat diartikan
sebagai pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para
pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan (Braz dalam Lubis dan Scott; 1985).
Beberapa tahun terakhir ini masyrakat Indonesia tanpa henti disuguhi dengan
sederetan sandiwara di panggung dunia hukum. Semuanya bermuara pada tidak adanya
perpaduan antara penerapan hukum formal dengan nilai moral. Alasan logis dan legal bahwa
“belum ada cukup bukti” mengakibatkan dilupakannya banyak kasus di negeri ini. Sehingga

masih banyak pejabat dan tokoh publik yang terjerat kasus korupsi tanpa malu masih nyaman
tampil tanpa beban.
Korupsi sudah tidak lagi dianggap sebagai perilaku menyimpang individu ataupun
orang per orang. Melainkan sudah menggejala ke berbagai institusi, baik eksekutif, yudikatif,
dan legislatif hanya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Nampaknya korupsi
telah menancap kuat pada sendi-sendi kehidupan Negara dan memungkinkan akan menjadi
budaya baru dalam hidup bernegara. Fenomena ini patut di perhatikan dan diwaspadai secara
serius karena dampak dari tindakan korupsi tidak hanya sekedar merugikan keuangan Negara
namun lebih dari itu, menciptakan kemiskinan, menciptakan pengangguran dan memicu
tindakan kriminalitas, bahkan mengubur masa depan bangsa.
Hal yang jelas adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam level manapun merupakan hal
yang dapat menghancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga
dapat menjadi perilaku yang mengkorupsi budaya, dan ketika secara bertahap atau sekaligus
diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi budaya
yang kemudian membentuk budaya korupsi.
Mengakhiri budaya korupsi hanya bisa diwujudkan dengan menegakan budaya etika
dan integritas. Lalu, menjadikan hukum sebagai panglima. Korupsi tidak boleh di lindungi.
Sebab, semakin dilindungi, semakin menjadi budaya permanen yang abadi kekuatanya.
Selama budaya etika dan integritas tidak kuat dalam berbangsa dan bernegara maka semua
upaya pemberantasan korupsi akan sia-sia. Setiap warga Negara wajib berkontribusi untuk

5

menghentikan budaya korupsi. Selain itu sangatlah di perlukan integritas dan konsistensi
pemerintah bersama semua lembaga tinggi dan tertinggi Negara untuk membangun sistem,
tata kelola dan kebijakan yang membuat korupsi tidak berdaya.
Menghapus budaya korupsi haruslah dengan membangun mindset, bahwa jabatan
adalah alat untuk pelayanan dari integritas, dan bukan sebagai alat untuk mendapatkan
keuntungan. Sudah waktunya untuk mengakhiri budaya korupsi. Bila tidak segera mengambil
langkah-langkah untuk menghapus budaya korupsi, maka setiap orang berpotensi di jadikan
hamba korupsi oleh sistem kehidupan dalam budaya korupsi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran umum dan persepsi masyarakat tentang korupsi di Indonesia?
2. Apakah Korupsi sudah menjadi budaya Indonesia?
3. Apa saja penyebab terjadinya korupsi di Indonesia?
4. Apa akibat atau dampak dari korupsi?
5. Bagaimana peran pemerintah dalam memberantas Korupsi?
1.3 Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas mandiri dari mata
kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (SBD). Selain itu makalah ini bisa menjadi

sumber acuan bagi penulis untuk lebih mengetahui dan memahami tentang korupsi
dan akibat-akibat yang ditimbulkan dari tindakan korupsi.
2. Bagi pihak lain
Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan
permasalahan dan upaya penyelesaian Korupsi di Indonesia. Selain itu makalah ini
diharapakan dapat menjadi sebuah sumber wawasan bagi semua pihak yang membaca
makalah ini untuk membuka pikiran masyarakat luas tentang bahaya korupsi terhadap
kepribadian Bangsa.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Korupsi
Korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan merupakan suatu peristiwa universal
yang dapat terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia. Terminologi korupsi dari bahasa latin
yaitu coruptio atau corruptus, berasal dari kata corrumpere adalah suatu kata dari bahasa latin
yang lebih tua. Selanjutnya istilah korupsi muncul dalam beberapa bahasa di Eropa seperti
bahasa Inggris yaitu corrupti, dan bahasa Belanda menggunakan kata corruptive yang
selanjutnya menjadi “Korupsi” dalam bahasa Indonesia.
6


Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa indonesia) menyebutkan bahwa korupsi
bermakna penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan) untuk
kepentingan pribadi atau orang lain. Korupsi menurut Black’s Law Dictionary korupsi adalah
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak
resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya
untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan
dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
Menurut Syeh Hussein Alatas menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam
aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan
pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi
dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat
yang diderita oleh masyarakat.
Korupsi menurut wikipedia perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka.
Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 “Setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…”
Korupsi menurut corruption is the abuse of trust in the interest of private gain

penyelahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Sedangkan Korupsi menurut Pasal 3
Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
Korupsi menurut wikipedia Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan

jabatan

resmi

untuk

keuntungan

pribadi.

Semua

bentuk

pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda,
dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi
dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya.
2.2 Jenis-Jenis Korupsi
Terdapat beberapa jenis-jenis korupsi. Instrumen hukum untuk menyaring tindakan
yang mengarah pada korupsi termasuk tindak pidana korupsi itu sendiri telah cukup lengkap.
Instrumen tersebut berupa peraturan dan perundang-undangan yang dimaksud untuk
7

difungsikan dan dioptimalkan untuk mencegah dan menanggulangi perbuatan korupsi yang
dilakukan para birokrat dan para pelaku dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
dan sarana serta prasarana yang ada karena kedudukan dan jabatannya, yang secara langsung
dan tidak langsung merugikan ekonomi dan keuangan negara.
Melihat pengertian di atas maka korupsi dapat dibagi menjadi beberapa jenis atau tifologi. Hal
ini dipertegas Syed Husain Alatas, jenis-jenis korupsi tersebut antara lain:
1. Korupsi Transaksi, jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbak balik
antara pihak pemberi dan pihak penerima yang kedua pihak memperoleh keuntungan.
2. Korupsi Perkerabatan, jenis korupsi yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan
kewenangan untuk berbagai keuntungan bagi teman atau sanak saudara serta kronikroninya.
3. Korupsi yang Memeras, biasanya korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang
disertai dengan ancaman, teror, penekanan terhadap kepentingan orang-orang dan halhal demikiannya.
4. Korupsi Insentif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan suatu jasa atau
barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan masa depan.
5. Defensif, yaitu pihak yang dirugikan terpaksa ikut terlibat didalammya atau membuat
pihak tertentu terjebak atau bahkan menjadi korban perbuatan korupsi.
6. Korupsi Otogenik, korupsi yang dilakukan seseorang, tidak ada orang lain ataupun
pihak lain terlibat didalammya.
7. Korupsi Suportif, korupsi yang dilakukan dengan cara memberikan dukungan.
Jenis korupsi menurut Guy Benveniste yang terdapat dalam Pasal 2-Pasal 12 Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 adalah:
1. Discretionary Corruption adalah korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam
menentukan kebijaksanaan.
2. Illegal Corruption adalah tindakan yang dimaksud untuk mengacaukan bahasa atau
maksud hukum.
8

3. Mercenary Corruption adalah tindakan korupsi untuk kepentingan pribadi.
4. Ideological Corruption adalah korupsi untuk mengejar tujuan kelompok.
Karakteristik dan dimensi kejahatan korupsi dapat diidentifikasikan yaitu:
1. Masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain, masalah
moral/sikap mental, masalah pola hidup dan budaya serta lingkungan sosial, masalah
kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial ekonomi, masalah struktur/sistem
ekonomi, masalah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan
lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) dibidang
keuangan dan pelayananan publik. Jadi, kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen
untuk timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), yaitu bisa dibidang moral,
sosial, ekonomi, politik, budaya, dan birokrasi/administrasi.
2. Mengingat sebab-sebab yang multidimensional itu, maka korupsi pada hakikatnya
tidak hanya mengandung aspek ekonomis (yaitu merugikan keuangan/ perekonomian
negara dan memperkaya diri sendiri/orang lain), tetapi juga mengandung korupsi nilainilai moral, korupsi jabatan/kekuasaan, korupsi politik dan nilai-nilai demokrasi.
3. Mengingat aspek yang sangat luas itu, sering dinyatakan bahwa korupsi termasuk atau
terkait juga dengan economic crimes, organized crimes, illicit drug trafficking, money
laundering, white collar crime, political crime, top hat crime, dan bahkan transnational
crime.
4. Karena terkait dengan masalah politik/jabatan/kekuasaan (termasuk top hat crime),
maka di dalamnya mengandung kembar yang dapat menyulitkan penegakan hukum
yaitu adanya penalisasi politik dan politisasi proses peradilan pidana.
Bila diperhatikan Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, maka dapat ditarik beberapa asas yang tercakup di dalamnya yang dapat
membedakannya dengan undang-undang tindak pidana lainnya, asas-asas tersebut diantaranya
adalah:
1. Pelakunya adalah setiap orang.
2. Pidananya bersifat Kumulasi dan Alternatif.
9

3. Adanya pidana minimum dan maksimum.
4. Percobaan melakukan Tindak Pidana Korupsi, pembantuan pemufakatan jahat
melakukan Tindak Pidana Korupsi sama hukumannya dengan delik yang sudah
selesai.
5. Setiap orang yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan sehingga
dapat terjadi tindak pidana korupsi dipidana sama sebagai pelaku tindak pidana
korupsi.
6. Mempunyai pidana tambahan selain yang diatur KUHP, misalnya seperti: (1)
Perampasan barang bergerak dan barang yang tidak bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, (2) Pembayaran uang ganti rugi yang jumlahnya
maksimal dengan harga yang diperoleh dari tindak korupsinya, (3) Pencabutan seluruh
atau sebagian hak-hak tertentu
7. Jika terpidana tidak dapat membayar uang pengganti selama 1 bulan setelah putusan
maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang.
8. Dapat dibentuk Tim Gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung
9. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar
pengganti, maka dipidana penjara yang lamanya melebihi ancaman maksimum dari
pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang.
10. Orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai tindak
pidana korupsi maka dapat dipidana.
11. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan didahulukan dari
perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
12. Tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya.
13. Penyidik/Jaksa Penuntut Umum/Hakim berwenang meminta keterangan kepada Bank
tentang keadaan keuangan Tersangka.
14. Identitas pelapor dilindungi.
15. Dapat dilakukan gugatan perdata.
10

16. Putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut
kerugian terhadap keuangan negara.
17. Ahli waris tersangka/terdakwa/terpidana korupsi dapat digugat untuk menuntut
kerugian negara.
18. Dalam tindak pidana korupsi dikenal dengan pembuktian terbalik.
19. Dapat diadili in absentia.
20. Hakim atas tuntutan Penuntut Umum menetapkan perampasan barang-barang yang
telah disita.
21. Orang yang berkepentingan atas perampasan dapat menngajukan keberatan ke
pengadilan.
22. Adanya peran serta dari masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.

11

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum dan Persepsi Masyarakat tentang Korupsi di Indonesia
KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sudah terjadi, bahkan sebelum Indonesia
merdeka. Berawal sejak Indonesia masih berupa kerajaan-kerajaan, nepotisme sudah berjalan
karena tahta raja diwariskan secara turun temurun. Bukan tidak mungkin, pada masa itu
korupsi dan kolusi pun mulai merebak, seiring adanya upeti yang harus dibayarkan rakyat
kepada raja yang bekuasa.
Pada masa penjajahan Belanda tepatnya saat tanam paksa dilakukan, ada enam
peraturan tentang tanam paksa yang kesemuanya dilanggar oleh pihak Belanda ataupun para
aparaturnya. Salah satunya peraturan bahwa tanah yang ditanami tanaman wajib yaitu 1/5
tanah penduduk tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan
membayar upeti yang tidak hanya dinikmati orang belanda tapi juga aparaturnya yang
termasuk pribumi. Jelaslah bahwa hal ini merupakan tindak korupsi.
Seiring dengan berjalannya waktu, 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah
memproklamasikan kemerdekaannya, tetapi bangsa Indonesia tetap belum merdeka dari
korupsi. Bahkan pada masa pemerintahan Soekarno, korupsi masih menjadi penyakit bangsa
yang sulit diobati meski telah dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi bernama
PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Sayangnya Operasi Budhi
yang mampu menyelamatkan uang negara sebanyak Rp 11 miliar, harus dibubarkan karena
dianggap mengganggu prestise presiden yang mengetuai badan tersebut.
Bergantinya masa orde lama menjadi masa orde baru nyatanya tidak mampu membuat
korupsi menghilang, tapi semakin merajalela karena tertutupnya sitem pemerintahan saat itu.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina serta Departemen Kehutanan menjadi
sorotan tajam masyarakat karena dianggap sebagai sarang koruptor. Keberadaan Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) pun dipertanyakan karena dianggap tidak mampu mencegah
ataupun menindaklanjuti perkara korupsi kala itu.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup
banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat
negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya
menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru
menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi &
12

Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih & Bebas dari KKN.
Ironinya Korupsi di Indonesia semakin merajarela hingga kini, ditambah kasus kasus
Korupsi yang terjadi beberapa tahun terakhir ini yang telah menjadi suguhan dari media
kepada rakyat Indonesia. Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan
koreksi dan memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling
menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik
korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.
Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan demonstrasi. Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”.
Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para koruptor.
Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas
terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin
berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerintahan secara
menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata.
3.2 Budaya Korupsi di Indonesia
Mungkin kita sering kali mendengar ataupun sering membaca tentang adanya sebuah
kata Budaya Korupsi. Tentu kita akan bertanya-tanya apakah benar adanya bahwa korupsi
sudah menjadi budaya di negeri ini. Namun apabila kita di tanya apakah korupsi sudah
menjadi budaya? jawabannya pasti akan bervariasi tergantung apa yang dimaksud dengan
budaya serta kekuatan ikatannya dalam menentukan pola dan norma kehidupan sosial
masyarakat. Namun Melihat kasus kasus Korupsi di Indonesia yang semakin hari semakin
memprihatinkan, dan juga adanya kenyataan bahwa korupsi di Indonesia seakan-akan menjadi
kebutuhan seperti makanan pokok yang di konsumsi oleh semua lapisan penyelenggara
Negara dan lapisan masyarakat kecil, korupsi seakan – akan sudah menjadi kebudayaan yang
legal dan tidak dilarang baik dari pandangan agama maupun hukum.
Kita bisa temui disekeliling kita, mulai dari hal yang terkecil seperti membeli buah
dipasar yang menggunakan timbangan yang terkadang juga tidak tepat timbanganya, naluri
penipu dan mental korupsi sudah membudaya sampai kelapisan masyarakat kecil. Mental
korupsi ternyata tanpa kita sadari sudah mulai ditanamkan pada masyarakat. Semua aktivitas
di indonesia ternyata tidak pernah lepas dari yang namanya praktek korupsi.
13

Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia telah menjadi budaya
dengan melihat fenomena yang terjadi, namun bila budaya itu diwariskan apakah nenek
moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang kemudian dalam masa modern
disebut korupsi ?, masalahnya jelas jadi rumit oleh karena itu penyebutan tersebut perlu
dilakukan hati-hati atau harus dengan referensi pemaknaan budaya yang spesifik dengan
selalu memperhatikan continuity and change. Dan bukankah kata budaya berasal dari bahasa
sansekerta yaitu buddhayah artinya hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Jika
demikian, korupsi bukan budaya karena budaya bersifat positif sedangkan korupsi bersifat
negatif.
Lagi pula penggunaan embel-embel budaya pada korupsi tidaklah tepat karena jika
korupsi adalah budaya, korupsi harus dilestarikan layaknya budaya-budaya lain. Jika korupsi
diberikan lebel budaya, maka para koruptorlah yang benar karena telah melestarikan budaya.
Namun kita semua tahu bahwa tindak korupsi tidaklah benar apapun alasannya.
Di dunia ini, tak ada satupun negara yang terbebas dari korupsi sehingga janganlah
kita berpikir korupsi adalah budaya bangsa. Hilangkanlah kata budaya pada korupsi karena
sebenarnya korupsi adalah perilaku menyimpang yang menjangkiti seseorang. Tapi, galakkan
lah budaya antikorupsi karena yang sebenarnya harus dibudayakan adalah pemberantasan
korupsi.
3.3 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Korupsi di Indonesia
Berikut merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi di Indonesia :


Tidak Menerapkan ajaran Agama. Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang
tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini
menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.

 Kelemahan Sistem pengangkatan pejabat partai politik dan pejabat pemerintahan,
Kelemahan pengkaderan partai dan pencalonan pemimpin partai atau yang akan menjadi
pejabat publik, legislatif atau pengawas pejabat publik yang tidak transparan dan berbiaya
tinggi memicu terjadi korupsi sebagai tindakan untuk mencapai balik modal saat biaya
mahal yang telah dikeluarkan saat menjadi pejabat partai dan pejabat publik
 Kurang Memiliki Keteladanan Pimpinan Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal
maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak
14

bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi,
maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
 Tidak Memiliki Kultur Organisasi yang Benar Kultur organisasi biasanya punya
pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik,
akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada
posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
 Sistem Akuntabilitas yang Benar di Instansi Pemerintahan yang Kurang Memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang
diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai
dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi
pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya
atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan
sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif
untuk praktik korupsi.
 Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen Pengendalian manajemen merupakan
salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin
longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka
perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
 Manajemen Cendrung Menutupi Korupsi di Organisasi Pada umumnya jajaran
manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam
organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan
berbagai bentuk.
 Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk
terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya,
masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali
membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu
didapatkan.
 Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya
kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya
15

peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas
peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang
terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya
bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
1. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya)
2. Rangsangan dari luar (dorongan dari teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya).
3. Gaji pegawai negeri yangh tidak sebanding dengan kebutuhan yang semakin tinggi
4. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab
meluasnya korupsi
5. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efesien, yang
memberikan peluan untuk korupsi;
6. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.
 Aspek Individu Pelaku Sifat Tamak Manusia Kemungkinan orang melakukan korupsi
bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut
sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur
penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak
dan rakus.
 Moral yang Kurang Kuat Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda
untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat,
bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
 Tingkat Upah dan Gaji Pekerja di Sektor Publik Penghasilan seorang pegawai dari
suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak
terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila
segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi
peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran
dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.

16

 Kebutuhan Hidup yang Mendesak Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan
seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka
ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan
korupsi.
 Gaya Hidup yang Konsumtif Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya
hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan
pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai
tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan
korupsi.
 Malas atau Tidak Mau Bekerja Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah
pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial
melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan
korupsi.
3.4 Akibat Atau Dampak Dari Korupsi
Korupsi ibarat kanker yang mengancam proses pembangunan dengan berbagai akibat,
antara lain merugikan keuangan dan perekonomian Negara, sehingga menghambat
pembangunan nasional. Korupsi juga menjadi kendala investasi dengan meningkatkan
berbagai resiko bagi investor yang berasal dari dalam maupun luar negeri, karena pelaku
bisnis bekerja berurusan dalam lingkungan masyarakat yang korup. Bukan hanya berakibat
pada banyaknya waktu yang terbuang tetapi juga pada besarnya uang yang harus dikeluarkan
dalam proses investasi, khusunya saat berhubungan dengan aparatur pemerintah yang
berwenag dalam hal tersebut.
Meskipun terdapat beberapa pakar seperti Nathaniel Lef, dan Bayley (meningkatkan
investasi, fleksibilitas administrasi, percepatan penyelesaian pekerjaan terkait birokrasi)
yang melihat ada dampak positif dari korupsi, namun secara universal korupsi lebih banyak
dipandang sebagai perilaku yang berakibat pada keruksakan tatanan sosial ekonomi dan
budaya serta mutu kehidupan masyarakat suatu bangsa. Nye dalam Revida (2003)
menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal,
terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
17

2. ketidakstabilan,

revolusi

sosial,

pengambilan

alih

kekuasaan

oleh

militer,

menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi,
hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan,
ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara,
tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan
politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat
para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan,
gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri,
hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya
keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah,
pengambilan tindakan-tindakan represif. (Revida, 2003)
Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
3.5 Peran Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi
Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan
sistematis dalam memberantas korupsi, berikut merupakan upaya-upaya yang telah dilakukan
oleh pemerintah :
1. Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres No. 11 Tahun 2005, lanjutnya, merupakan
upaya untuk meningkatkan kualitas pemberantasan korupsi. Namun dalam
pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efektif dan masih meninggalkan banyak catatan.
Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006 justru merupakan blunder kebijakan yang
18

ditempuh pemerintah. Dengan keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala
korupsi, khususnya bagi anggota DPRD, menjadi semakin besar, tambahnya.
2. Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang anti korupsi. Berbagai
produk peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan korupsi telah
diterapkan di Indonesia, antara lain
a. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah terbukti lamban
b. Peraturan Penguasa Perang Pusat untuk daerah Angkatan Darat, No.
Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958; dan
c. Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
(perpu No. 24 Tahun 1960); yang diganti dengan
d. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi; yang diganti dengan
e. Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi; sebagaimana diubah dengan
f. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tanggal 16 Agustus 1999.
g. Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Komitmen pemerintah
dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu paling krusial tentang
perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh pemerintah.
Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
korupsi menegaskan perlunya dibentuk komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
independen dengan tugas dan wewenangnya dalam melakukan pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Ketiga, penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua
kasus yang disoroti, yakni kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza
Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks ini, Presiden terlihat
mengintervensi proses hukum yang semestinya dapat dijalankan sesuai dengan
prosedur.
4. Keempat , Pemerintah pernah membentuk beberapa komisi Pemberantasan Korupsi,
sebagai berikut:
a. Komisi IV yang dibentuk pada tanggal 31 Januari 1970 berdasarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1970. Komisi Empat yang
19

terdiri dari Wilopo, SH, I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johanes, dan Anwar
Tjokroaminoto dengan tugas pokok meneliti dan menilai kebijaksanaan dalam
pemberantasan korupsi serta memberikan pertimbangan kepada pemerintah
yang telah dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 50 Tahun
1970 tentang membubarkan Komisi IV yang dibentuk dengan Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 1970.
b. Komisi Pemeriksaan Kekayaan penyelenggaraan Negara (KPKPN) yang
dibentuk melalui Kepres RI No. 127 tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi
Pemeriksaan Kekayaan penyelenggara Negara;
c. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) yang
dibentuk tanggal 5 April 2000 berdasarkan PP RI Nomor 19 Tahun 2000
tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. TGTPK yang
diketuai oleh Andi Andoyo, SH bertugas melakukan penyidikan perkara
Korupsi yang sulit pembuktiannya.
Di samping Kejaksaan dan kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga
memiliki peran yang sangat penting. Merupakan suatu hal yang memprihatin, karena
sedemikian banyaknya para koruptor yang dituntut di pengadilan belum menyusutkan tingkat
tindak pidana Korupsi. Indikasi korupsi yang terjadi di Indonesia tetap tinggi bahkan
mnempati kelompok tertinggi di Asia.
Penangan masalah korupsi di Indonesia telah menimbulkan dilema sosial akibat
manajemen korupsi dalam birokrasi pemerintahan dan swasta yang menyebabkan korupsi
membudaya. Pada sisi lain, proses penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi yang
dilakukan oleh pemerintah amat lamban. Kalaupun bisa sampai ke pengadilan, lebih banyak
mengecewakan masyarakat. Sehingga, pemecahan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan
guna mengatasi dilema yang menimpa masyarakat dalam memberantas korupsi menjadi
tanggung jawab bersama.

20

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Masalah korupsi di Indonesia bermula dari memudarnya budaya etika dan integritas.
Dimana Korupsi disini yang terjadi dalam level manapun dan jenis apapun merupakan hal
yang dapat mengahancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga hal
ini bisa menjadi perilaku yang mengkorupsi budaya. Krisis moral yang dimiliki oleh para
koruptor sangat merugikan bangsa dan negara. Selain itu menjadi hambatan utama pada
pembangunan.
Ironinya Korupsi di Indonesia seakan-akan menjadi kebutuhan seperti makanan pokok
yang di konsumsi oleh semua lapisan penyelenggara Negara dan lapisan masyarakat kecil,
korupsi seakan – akan sudah menjadi hal yang legal dan tidak dilarang baik dari pandangan
agama maupun hukum. Dan ketika secara bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat
sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi budaya yang kemudian
membentuk budaya korupsi. Dengan demikian jika pun benar ada budaya korupsi, maka itu
sebenarnya terjadi karena korupsi budaya akibat makin lemahnya kontrol sosial/pengabaian
terhadap upaya mementingkan pribadi diatas kepentingan publik pada saat mereka
mempunyai kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung maupun tak langsung. Telah
berbagai Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam memberantas Korupsi namun semua upaya
itu seakan tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
4.2
Saran
Dalam menghadapi korupsi di Indonesia tidak cukup hanya dengan upaya yang
dilakukan oleh pemerintah saja, karena terbukti dengan hanya menunggu upaya yang
21

dilakukan oleh pemerintah, Korupsi di Indonesia tidak kunjung tertuntaskan. Namun perlu
adanya upaya yang dilakukan oleh semua elemen masyarakat di Indonesia. dan di perlukan
integritas dan konsistensi pemerintah bersama semua lembaga tinggi dan tertinggi Negara
untuk membangun sistem, tata kelola dan kebijakan yang membuat korupsi tidak berdaya.
Pendidikan moral khususnya kejujuran, kesadaran bahwa korupsi itu salah serta tegaknya
hukum adalah obat yang paling mujarab untuk menghilangkan korupsi. menegakan budaya
etika dan integritas. Lalu, menjadikan hukum sebagai panglima. Menghapus budaya korupsi
haruslah dengan membangun mindset, bahwa jabatan adalah alat untuk pelayanan dari
integritas, dan bukan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA
Jahja, Juni Sjafrien. Say No to Korupsi!. Jakarta: Visimedia, 2012
Poernomo, Soen’an Hadi. Berani Korupsi itu Memalukan. Jakarta: Imania, 2013
Alatas, Syeid Hussain. Korupsi, Sifat, Sebab, dan fungsi. Jakarta: LP3ES, 1987
Alatas, Syed Hussein. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1983
Chazawi, Adami. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang:
Bayumedia Publishing, 2003
Suratman. dan Munir. Salamah, Umi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Malang: Intimedia, 2010
Politik.kompasiana.com/2013/11/03/benarkah-budaya-Korupsi-Sudah-menjadi-kebudayaan—
60622.html (Di akses pada tanggal 03 April 2014)
Achamadhidir.blogspot.com/2010/09/budaya-korupsi-sebuah-bentuk-masalah.html (Di akses
pada tanggal 03 April 2014)
Scram-monster.blogspot.com/2011/08/krisis-moral-indonesia.html (Di akses pada tanggal 03
April 2014)
www.harianhaluan.com/index.php/opini/29925-menandingi-budaya-korupsi (Di akses pada
tanggal 03 April 2014)
id.wikipedia.org/wiki/Korupsi (Di akses pada tanggal 03 April 2014)

22

Dokumen yang terkait

ANALISIS ISI LIRIK LAGU-LAGU BIP DALAM ALBUM TURUN DARI LANGIT

22 212 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

KEBIJAKAN BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN DAERAH (BAPEDALDA) KOTA JAMBI DALAM UPAYA PENERTIBAN PEMBUANGAN LIMBAH PABRIK KARET

110 657 2

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TENTANG DESAIN KEMASAN PRODUK DENGAN INTENSI MEMBELI

9 123 22

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22