SYNURBIZATION INTEGRASI BINATANG DENGAN. pdf

UNIVERSITAS INDONESIA SYNURBIZATION : INTEGRASI BINATANG DENGAN MANUSIA DI KOTA SKRIPSI

MONIKA 1006706605

FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN ARSITEKTUR ARSITEKTUR DEPOK JUNI 2014

UNIVERSITAS INDONESIA SYNURBIZATION : INTEGRASI BINATANG DENGAN MANUSIA DI KOTA SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Arsitektur

MONIKA 1006706605

FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN ARSITEKTUR ARSITEKTUR DEPOK JUNI 2014

KATA PENGANTAR

Skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Arsitektur, Program Studi Arsitektur pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Hasil kerja keras di semester terakhir ini tidak akan selesai tanpa tuntunan secara mental dan rohani yang diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus, untuk itu saya mengucap syukur atas segala berkat dan hikmat-Nya. Selain itu, saya menyadari banyak pihak yang sangat berpengaruh dalam proses pembuatan skripsi ini. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih saya kepada :

1. Bapak Prof. Yandi Andri Yatmo, S.T., Dip.Arch., M.Arch., Ph.D, selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan dukungan, motivasi, waktu, kesabaran, dan semua kebaikannya kepada saya. Dan kepada Ibu Paramita Atmidiwirjo, ST. M.Arch., PhD beserta Tari dan Bagus yang telah memberi tempat untuk bimbingan darurat di rumah.

2. Bapak Prof. Ir. Triatno YH, M.Sc., Ph.D dan Kak Farid Rakun,

S.Ars., M.Arch selaku dewan penguji atas kritik, saran, dan masukannya.

3. Om Jupri dan Tante Elly yang telah mengantar dan menemani selama proses pengamatan kalong dan pengenalan kota di Kota Watansoppeng. Serta seluruh keluarga di Makassar dan di Watansoppeng atas dukungan dan motivasinya.

4. Mama, Papa, dan Aa yang selalu mengingatkan makan dan memberi semangat. Khususnya mama yang telah bersedia memberi masukan,

mengkoreksi dan mendengarkan latihan presentasi berkali-kali sehingga skripsi saya menjadi lebih baik.

5. Teman seperguruan dan seperjuangan: Dendy, Widya, dan Ratih yang saling mengingatkan, menasehati, dan melawak ataupun "membully" dikala bosan sehingga pembuatan skripsi menjadi sangat menyenangkan.

6. COPETERS: Tita, Adel, Atih, Keket, Adin, Ii, Anthya, Marin, Syifa, Upil, Audy, Nanditta, dan Uwa atas kehebohannya, hiburannya, dan kebersamaannya dalam sedih, suka, dan duka. Tidak akan ada lagi teman seperti kalian yang bisa jadi sahabat, teman hidup, dan guru sekalipun.

7. Rekan-rekan PELKAT PA GPIB JATIPON atas dukungan doa setiap hari minggu dan semangatnya.

8. Keluarga besar Arsitektur dan Interior 2010 atas dukungannya dan semangatnya yang luar biasa. Saya sangat senang berada di angkatan 2010. Angkatan yang sangat kompak untuk maju bersama dan yang paling penting, bersama kalian serasa waktu berhenti di masa remaja.

9. Rekan-rekan ASMAS, kakak-kakak dan dosen di PA2 atas pengertiannya, pembelajarannya, dan dukungannya selama proses pembuatan skripsi.

10. Teman-teman SMA yang terlibat dalam memberi semangat dan dukungan doa. Khususnya untuk Jilly dan Paul yang menghibur dikala galau skripsi melanda dan memberi semangat.

11. Dan semua pihak serta teman-teman lain yang selalu mendukung saya selama pembuatan skripsi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Akhir kata, saya berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk kepentingan akademis dan praktek selanjutnya, khususnya pengembangan arsitektur di kota. Terima kasih.

Depok, 26 Juni 2014

Monika

ABSTRAK

Nama : Monika Program Studi

: Arsitektur Judul

: Synurbization: Integrasi Binatang dengan Manusia di Kota

Skripsi ini membahas pentingnya synurbization untuk hadir di kota. Synurbization adalah kejadian ketika binatang datang, beradaptasi, dan berkembang biak di kota karena kecocokan akan lingkungan kota. Manusia dan binatang perlu diintegrasi kehidupannya. Binatang merupakan komponen penting dalam ekosistem yang perlu diberikan ruang dalam kota. Sehingga kota tidak bisa dipandang hanya untuk kepentingan dan hunian bagi manusia saja karena kota mempunyai ekosistem yang membuat segala sesuatu hidup di dalamnya. Suatu ekosistem terdiri dari berbagai jenis keanekaragaman hayati yang bersama-sama memfungsikan ekosistem tersebut. Jadi, synurbization adalah subjek yang penting dalam kota yang mempunyai peluang untuk menjadikan kota lebih berkualitas.

Kata kunci: Synurbization, kota, binatang, ekosistem urban, dan integrasi.

ABSTRACT

Name : Monika Study Program : Architecture Title

: Synurbization: Integration of Animal with Human in The City

This writing discusses the importance of synurbization existence in the city. Synurbization is a phenomenon in which the animals come, adapt, and breed in urban areas because of the environment. Human and animal environment need to

be integrated. Animals, as one of component in urban ecosystem should be given the space to live in the city. City cannot be considered only for human, because a city is the ecosystem where human and animal live and alive. Within the ecosystem, there are biodiversity that participate in the functioning of the ecosystem. Thus, synurbization is an important aspect to enhance the quality of the city.

Keyword: Synurbization, city, animal, urban ecosystem, integrate.

Gambar 3.20. A. Christmas Island National Park, Australia; B. Banff National Park, Alberta, Canada; C. Ecoduct, France; D. Ecoduct, The Netherlands; E. Green bridge over the A20 near Grevesmühlen, Germany; F. Highway 464 near Boeblingen, Germany; G. Montana, USA; H. Near Keechelus Lake, Washington, USA............................................. 36

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota modern pada saat ini seringkali melupakan lingkungan dan alam sekitarnya. Kota terbentuk karena urbanisasi, yaitu perubahan dan pengaturan lansekap dari alam liar menjadi wilayah urban atau terbangun. Sesuai dengan sejarahnya, kota didefinisikan berdasarkan batas secara fisik; kota menjadi pusat aktivitas manusia seperti perdagangan dan sumber pendapatan, sementara untuk produksi seperti pertanian, peternakan, dan industri ditempatkan di luar dari batas (Kostof, 1992). Kota bersifat eksklusif dengan manusia sebagai sudut pandang utamanya, sehingga kota memisahkan antara yang terbangun dengan alam.

Bumi terdiri dari berbagai macam keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya. Aktivitas manusia telah merubah 30-50% permukaan bumi (Alberti, 2008). Banyak spesies-spesies di alam harus beradaptasi dengan perubahan lingkungannya. Kedatangan binatang ke dalam kota tidak dapat dihindari. Ketika binatang datang, berada dalam kota, dan beradaptasi terhadap lingkungannya serta berkembang biak, itulah yang disebut dengan synurbization.

Synurbization merupakan respon dari kehidupan liar terhadap meluasnya urbanisasi secara global (Luniak, 2004). Perubahan alam menjadi kota telah membuat beberapa spesies binatang untuk menempati kota tersebut. Kota menjadi tempat yang adaptif bagi binatang untuk dijadikan habitatnya. Ketika mereka berhasil melewati tantangan ekologis dengan perbedaan alam tersebut dan berhasil menempati kota, mereka dapat disebut spesies synurbic yang berarti mereka hidup bersama-sama dengan lingkungan urban.

Synurbization berbeda dengan kebun binatang. Binatang yang ada pada kebun binatang ditempatkan dalam wilayah kota dan mempunyai arenya tersendiri. Dengan synurbization saya ingin membahas peranan binatang lebih luas lagi yang dapat menempati ruang kota manapun.

Setiap keanekaragaman hayati mempunyai peranannya masing-masing dalam memfungsikan ekosistem. Kehadiran synurbization di tengah–tengah kota Setiap keanekaragaman hayati mempunyai peranannya masing-masing dalam memfungsikan ekosistem. Kehadiran synurbization di tengah–tengah kota

Sebagai komponen yang penting dalam sebuah ekosistem di kota, synurbization menciptakan kesempatan untuk membuka batas baik secara fisik maupun secara konsep. Sehingga kota perlu dikaji kembali apakah kota harus selalu menjadi eksklusif, hanya berupa hunian dan hanya untuk aktivitas manusia atau kota seharusnya dapat terintegrasi dengan kehidupan yang lainnya yaitu binatang.

1.2 Ruang Lingkup Permasalahan

Synurbization merupakan penambahan subjek dalam kota. Binatang menempati ruang kota yang dipadati oleh manusia. Sementara manusia mempunyai pola kehidupan yang berbeda dengan binatang dan binatang beradaptasi ke dalam pola tersebut. Permasalahannya adalah apakah synurbization penting dalam kota?; Bagaimana synurbization diperlakukan dalam kota agar kehadiran binatang menjadi penting?

Skripsi ini membahas mengenai keadaan synurbization, nilai positif dari synurbization , perkembangan kota mulai dari sejarahnya, kualitas kota yang terintegrasi dengan alam, subjek dari kota, dan kaitan antara manusia dengan binatang di dalam ekosistem urban.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah mempelajari seberapa besar pengaruh binatang dalam kota dan membuka batasan kota dari batas secara fisik maupun konsep dengan melihat dari sudut pandang binatang karena mereka merupakan bagian dari ekosistem urban yang menunjang keberlangsungan hidup manusia di kota. Dalam kesempatan ini juga, saya mencoba mengkaji kota–kota yang telah memfasilitasi synurbization baik di Indonesia dan di seluruh dunia, sehingga synurbization dapat dianggap sebagai keadaan yang penting dan dibutuhkan dalam suatu kota.

1.4 Metode Pembahasan

Metode yang saya lakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan mengkaji literatur yang membahas tentang kota, ekologi, binatang, dan synurbization melalui buku, film, jurnal, dan informasi yang ada pada internet. Saya juga melakukan pengamatan langsung di kota Watansoppeng, Sulawesi Selatan sebagai tempat terjadinya synurbization kalong untuk mengobeservasi dan menganalisis ruang antara binatang dan hunian yang terintegrasi dalam kota. Hasil analisis kemudian dihubungkan dengan studi literatur.

1.5 Urutan Penulisan

Penulisan ini dibagi atas 4 bagian, yaitu: Bab I

Pendahuluan Berisi latar belakang topik penulisan skripsi berdasarkan ketertarikan saya, yaitu synurbization dan kota, permasalahan yang akan dibahas, sejauh mana batasan masalahnya, tujuan penulisan, metode yang digunakan dalam penulisan, dan urutan pembahasan tulisan beserta penjelasannya.

Bab II Synurbization dan Kota Bab ini berisi tentang kajian literatur yang membahas tentang kota dan synurbization yang saya gunakan dalam menganalisa topik yaitu, synurbization yang mengintegrasi alam dengan manusia di kota. Teori yang digunakan terkait dengan arsitektur sebagai bidang studi dari penulisan ini dan menjadi bahan untuk pembahasan pada studi kota - kota yang terintegrasi dengan alam.

Bab III Studi Kasus dan Analisa : Kota Watansoppeng dan Kota Lainnya. Studi kasus yang saya angkat adalah kota Watansoppeng tempat terjadinya synurbization di kota sebagai contoh kota yang mempunyai kualitas integral urbanism. Didukung juga oleh kota– Bab III Studi Kasus dan Analisa : Kota Watansoppeng dan Kota Lainnya. Studi kasus yang saya angkat adalah kota Watansoppeng tempat terjadinya synurbization di kota sebagai contoh kota yang mempunyai kualitas integral urbanism. Didukung juga oleh kota–

Bab IV Kesimpulan Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi. Berisi jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan di awal penulisan dan menjabarkan kesimpulan akhir pembahasan synurbization di Bab 2 dan analisis kota tempat terjadinya synurbization di Bab 3.

BAB 2 SYNURBIZATION DAN KOTA

2.1 Synurbic dan Synurbization

Synurbization adalah kejadian ketika binatang datang ke dalam kota karena kecocokan akan lingkungan kota. ‘Syn’ merupakan awalan yang berarti ‘bersama dengan’ dari bahasa Yunani (Merriam Webster, 2014). Luniak (2004) mengatakan bahwa synurbization dibuat oleh seorang theriologist yang juga ahli ekologi (Andrzejewski et al. 1978; Babiñska-Werka et al. 1979). Synurbization ditandai oleh penyesuaian populasi binatang pada kondisi spesifik dari lingkungan urban sehubungan dengan kebiasaan dari binatang liar untuk berkembang biak. Francis dan Chawick (2011) mendukung dengan mengatakan istilah 'synurbic' (atau 'synurban') untuk spesies yang mendiami atau ditemukan pada suatu wilayah urban dalam kuantitas yang besar dibanding dengan pedesaannya. Synurbization dapat diasumsikan sebagai suatu fenomena dan synurbic sebagai keadaan saat binatang mendiami lingkungan urban.

Synurbization terjadi karena perubahan lingkungan dari alami menjadi buatan manusia sehingga membuka peluang bagi suatu spesies untuk beradaptasi. Adaptasi merupakan mutasi atau perubahan genetik yang dapat membantu organisme seperti tumbuhan atau binatang hidup dalam lingkungannya (National Geography Encyclopedia, 2014). Synurbization berkaitan dengan 2 hal, yaitu: synanthropization dan urbanization; synanthropization mengacu kepada populasi binatang yang beradaptasi di lingkungan buatan manusia (antropogenik) sementara urbanization mengacu kepada perubahan lansekap (lingkungan) yang disebabkan oleh perkembangan urban (Luniak, 2004). Urbanisasi telah membentuk kota dengan merubah dan mengatur lansekap dari alam liar menjadi lingkungan urban. Francis dan Chadwick (2011) menambahkan bahwa 'synurbic' merupakan subkategori dari 'synanthropic', yaitu spesies yang berkaitan dengan konteks lingkungan urban secara spesifik. Dengan kata lain, aktivitas manusia telah membuat lingkungan yang adaptif bagi beberapa binatang untuk beradaptasi.

2.1.1 Adaptif dan Adaptasi pada Synurbization

Beberapa spesies dituntut untuk beradaptasi pada lingkungan yang dibuat oleh manusia, karena mereka adalah synanthropes (Francis & Chadwick, 2011). Synanthropes merupakan spesies terkait dengan manusia dan habitat manusia yang populasinya terus bertambah seiring dengan meningkatnya aktivitas antropogenik (Johnston, 2001; Rodewald & Shustack, 2008 dalam Francis & Chadwick, 2011). Synurbization merupakan respon dari kehidupan liar terhadap meluasnya urbanisasi secara global (Luniak, 2004). Dengan keadaan ini, tidak aneh jika ditemukan beberapa binatang pada habitat manusia karena mereka harus mengalami perubahan habitat dari alam menjadi buatan manusia.

Keadaan yang spesifik dalam urban dapat memancing beberapa spesies untuk synurbic. Francis dan Chadwick (2011) mencoba menjelaskan melalui sebuah contoh kawasan industri yang tergolong kawasan ‘urban’ dari segi ekologis dan sosial. Secara ekologis, "urbanisasi" dinilai dari perubahan produktivitas, iklim mikro, sumber daya, gangguan, dan ekosistem buatan yang dibentuk dari dinding, atap, trotoar, taman, dan daerah industri. Meskipun kepadatan penduduk merupakan faktor utama terjadinya urbanisasi, aspek ekologis dari sebuah kawasan urban merupakan lingkungan yang menjadi tantangan bagi spesies binatang untuk bertahan hidup di ekosistem urban, dalam proses mereka menjadi benar-benar synurbic (Francis dan Chadwick, 2011).

Sebuah area urban mempunyai klasifikasi yang tentatif. Albania mengklasifikasikan urban sebagai area dengan penghuni lebih dari 400 orang, sementara Turki membutuhkan populasi lebih dari 20.000 orang dan Jepang lebih dari 50.000 orang (United Nations Statistical Division, 2011 dalam Francis dan Chadwick, 2011). Spesies ‘synurbic’ ditujukan kepada spesies yang membuat ekosistem urban menjadi lebih kaya dibandingkan dengan ekosistem lainnya, dan populasi dari spesies tersebut mungkin dapat synurbic pada suatu lokasi tetapi tidak bisa pada lokasi lainnya (Francis & Chadwick, 2011). Sehingga, setiap area urban mempunyai lingkungannya masing-masing yang membuat spesies secara spesifik cocok untuk berada di dalamnya.

Spesies yang berhasil melalui tantangan lingkungan baru yang dibentuk dari urbanisasi disebut spesies synurbic. Perkembangan urban menghancurkan Spesies yang berhasil melalui tantangan lingkungan baru yang dibentuk dari urbanisasi disebut spesies synurbic. Perkembangan urban menghancurkan

2.1.3 Peran Synurbization terhadap Ekosistem

Aktivitas manusia dalam perkembangan kawasan urban dapat mengancam dan merusak ekologi alam, tetapi juga memunculkan sistem yang baru. Dari perspektif ekologi, ekosistem urban berbeda dengan ekosistem alam dalam beberapa hal: iklim, tanah, hidrologi, komposisi spesies, dinamika populasi, dan aliran energi serta materi (Rebele 1994, Collins et al. 2000, Pickett et al. 2001 dalam Alberti, 2008). Konsekuensi utama dari perkembangan urban bagi kehidupan alam liar adalah penurunan keberagaman spesies dan ekologi (Luniak, 2004). Francis dan Chadwick (2011) menambahkan bahwa fenomena synurbization menjadi pertanda baik pada perkembangan lingkungan urban. Binatang mengisi peranannya dalam ekosistem urban dan turut serta dalam menunjang kehidupan manusia di kota.

Synurbization dan ekosistem urban berfungsi untuk saling melengkapi. Sebuah ekosistem didefinisikan sebagai kumpulan interaksi antar spesies dan lingkungan setempat, baik lingkungan non-biologis dan biologis dapat berfungsi bersama-sama dalam mempertahankan kehidupan (Moll and Petit, 1994 dalam Bolund & Hunhammar, 1999). Berdasarkan gambar 2.1, pada dasarnya binatang bisa mendapatkan habitatnya di tengah-tengah kota seiring dengan ekosistem urban yang efisien bagi manusia. Hal ini dikarenakan kota diasumsikan sebagai satu set dengan kekuatan interaksi sistemnya atau spheres (Marzluff et. al., 2008).

Gambar 2.1 Komponen dasar ekosistem urban Sumber : http://download.e-bookshelf.de/download/0000/0021/52/L-G- 0000002152-0002339976.pdf dan telah diolah kembali

Synurbization ini akan terus meluas dan membawa dampak positif bagi ruang kota. Luniak (2004) mengatakan bahwa synurbization telah terjadi terutama pada burung dan mamalia, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk binatang lainnya (contoh : binatang amfibi). Synurbization juga telah mendemonstrasikan perilaku yang elastis dan evolusi mikro yang mengubah populasi binatang menuju lingkungan antropogenik (Luniak, 2004). Kehadiran synurbization menunjukkan adanya kemungkinan integrasi antara alam dengan manusia pada perkembangan peradaban urban.

2.2 Synurbization dari Segi Teori Kota dan Arsitektur Synurbization telah membuka peluang kota sebagai wadah bagi spesies

selain manusia. Synurbization terjadi pada wilayah urban, dalam hal ini yang saya maksud adalah kota. Francis dan Chadwick (2011) mendefinisikan ‘kota’ murni sebagai administratif atau berbasis populasi dan memiliki sedikit makna ekologi selain dari daerah yang tinggi perkembangan urbannya. Sementara ‘urban’ dianggap sebagai area yang relatif dipadati oleh populasi manusia dengan proporsi selain manusia. Synurbization terjadi pada wilayah urban, dalam hal ini yang saya maksud adalah kota. Francis dan Chadwick (2011) mendefinisikan ‘kota’ murni sebagai administratif atau berbasis populasi dan memiliki sedikit makna ekologi selain dari daerah yang tinggi perkembangan urbannya. Sementara ‘urban’ dianggap sebagai area yang relatif dipadati oleh populasi manusia dengan proporsi

Kota sesuai sejarahnya terbentuk karena kebutuhan akan perlindungan, sehingga batas fisik adalah alat untuk mendefinisikan kota secara utuh. Sama seperti pendefinisian kota berdasakan lingustik bahasa Cina tradisional yaitu “city” dan “wall” yang mempunyai karakter identik ch’eng di keduanya. Terlihat pada gambar 2.2 bahwa kota memisahkan aktivitas manusia dengan kebutuhan sumber makanan (agrikultur) melalui batas. Terdapat bukti lain bahwa gudang persenjataan, tempat penyimpanan anggur, dan peternakan dibangun secara sengaja di luar batas kota tersebut (Kostof, 1992).

Gambar 2.2 Dinding dari Siena yang memisahkan pemerintahan kota dengan

pedesaannya, kota mempunyai batas fisik Sumber : Buku The City Assembled

Saat ini masa peperangan telah usai dan jarang ditemukan lagi kota yang terbentuk dari batas secara fisik. Namun, konsep kota akan “batas” tidak hilang begitu saja. Batas hadir bukan hanya sekedar fisik melainkan terbentuk oleh konsep atau pemikiran manusia. Konsep batas terjadi karena manusia cenderung memberi tipe pada suatu objek sesuai pemikirannya untuk mempermudah pemberian contoh (Schneekloth, 1994). Seringkali manusia menyingkirkan atau mengabaikan tipe yang dianggap tidak penting baginya, padahal bisa saja tipe tersebut merupakan suatu kebutuhan. Sehingga, karakteristik kota sebenarnya Saat ini masa peperangan telah usai dan jarang ditemukan lagi kota yang terbentuk dari batas secara fisik. Namun, konsep kota akan “batas” tidak hilang begitu saja. Batas hadir bukan hanya sekedar fisik melainkan terbentuk oleh konsep atau pemikiran manusia. Konsep batas terjadi karena manusia cenderung memberi tipe pada suatu objek sesuai pemikirannya untuk mempermudah pemberian contoh (Schneekloth, 1994). Seringkali manusia menyingkirkan atau mengabaikan tipe yang dianggap tidak penting baginya, padahal bisa saja tipe tersebut merupakan suatu kebutuhan. Sehingga, karakteristik kota sebenarnya

2.2.1 Karakteristik Kota dengan Batas

Kota secara umum mempunyai karakteristik secara kuantitatif atau terlihat secara fisik seperti yang dijabarkan oleh Kostof (1991) dengan 9 poin dari A-I (lihat gambar 2.3). Karakteristik tersebut telah saya sintesis kembali menjadi 4 karakteristik berdasarkan kemiripan sifatnya. Sintesis ini merupakan pembuktian bahwa karakteristik kota mempunyai kekurangan secara kualitatif dengan pemberian batas fisik.

Gambar 2.3 9 poin karakteristik kota menurut Kostof (1991) Sumber : http://www.pdx.edu/sites/www.pdx.edu.architecture/files/Arch432_kostof.pdf

Pertama, kepentingan kota adalah untuk manusia berdasarkan poin A,I, dan E pada gambar 2.3. Segala sesuatu ditujukan untuk tempat beraktivitas manusia. Kenyataannya, manusia tidak lepas dari aktivitas alam seperti ekosistem. Seharusnya kota mempunyai sistem yang melibatkan aktivitas organisme lainnya selain manusia.

Kedua, kota bersifat ekslusif berdasarkan poin C dan H pada gambar 2.3. Dua poin tersebut menyampaikan batas secara fisik yang memberi hambatan terhadap kota. Seharusnya kota membuka peluang bagi perkembangan yang tidak dapat dihindari. Kostof (1992) menggunakan istilah fringe belt yaitu perluasan dari kota yang sudah terbatasi, hal ini terjadi karena lahan di luar kota lebih murah (lihat gambar 2.4).!Dalam masa kini, fringe belt akan menampung industri besar, pekerjaan, perumahan, dan lapangan olahraga. Sementara itu pedesaan menampung rumah produksi makanan dari binatang, tempat pembuangan, limbah tanaman, dan kilang minyak (Kostof, 1992). !

Gambar 2.4 Proses terjadinya fringe belt Sumber : Buku The City Assembled

Ketiga, kota memberi dan mempunyai aturan berdasarkan poin D dan F pada gambar 2.3. Kota mempunyai hukum yang mengatur tentang komunitas di dalamnya. Peraturan dibuat untuk memberi keteraturan, tetapi jika kota dibuat untuk membatasi, maka hal tersebut akan menjadi masalah karena batas secara konsep muncul di dalamnya.

Keempat, kota tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan ‘yang lainnya’ seperti terkandung dalam poin B dan G pada gambar 2.3. Karakteristik yang keempat ini menambahkan karakteristik dari pertama hingga ketiga karena sebenarnya kota membutuhkan elemen yang ada di luar dari kota untuk menunjang kehidupan manusia yang ada di dalam kota.

Keempat karakteristik tersebut memaparkan bahwa kota dibentuk untuk kepentingan manusia, tetapi belum ada karakteristik yang menjelaskan bagaimana sebuah kota bekerja. Jika melihat kembali karakteristik keempat, sebenarnya kota membutuhkan subjek selain manusia. Mulai dari apa yang menunjang kehidupan kota sehingga membuat hubungan timbal balik antara kota dengan ‘yang lainnya’.

Kota merupakan kompleksitas dari sebuah sistem ekologi yang didominasi oleh manusia (Alberti, 2005 dalam Alberti, 2008). Kota dari kacamata manusia Kota merupakan kompleksitas dari sebuah sistem ekologi yang didominasi oleh manusia (Alberti, 2005 dalam Alberti, 2008). Kota dari kacamata manusia

Saat ini konsep batas mengarah kepada segmentasi kota atau pembagian zona. Perkembangan kota menjadikan ia mempunyai lansekapnya sendiri, yaitu pembangunan akan pegunungan gedung pencakar langit dan hutan dari blok-blok perumahan (Betsky, 2000). Jika konsep batas diteruskan maka manusia akan mendiskriminasi kehidupan selain manusia. Schneekloth (1994) sangat menentang adanya batas, karena kerusakan akan habitat manusia akan terjadi di masa depan karena manusia merasa superior dan berhak untuk mengeksploitasi alam. Synurbization mempunyai peranan penting dalam suatu kota. Habitat binatang dalam kota menjadi pertimbangan yang baik dalam memperkaya ekosistem di kota, namun konsep batas ini dapat menjadi hambatan untuk mencapainya.

2.2.2 Binatang Termasuk dalam Subjek Kota

Synurbization merupakan penambahan subjek yang tinggal dalam lingkungan kota yaitu, binatang. Kota merupakan lingkungan yang dibangun oleh manusia/ lingkung bangun, sementara lingkung bangun merupakan tugas dari arsitektur. Seperti yang dikatakan oleh Smith dalam Conway dan Roenisch (1994) bahwa arsitektur adalah bagian dari lingkungan yang berperan untuk meningkatkan kualitas kehidupan, sehingga arsitektur harus mengatur ruang dengan bangunan.

Kota merupakan wadah kehidupan atau habitat bagi banyak makhluk hidup. Pernyataan Haraway (2008 : 4) “To be one is always to become with many.” menjadi landasan bahwa sebuah kehidupan tidak terlepas dari kehidupan makhluk hidup lainnya. “Kehidupan” sebagai kesatuan ide dalam arsitektur, atau “arsitektur” sebagai kesatuan ide dalam kehidupan dan kehidupan manusia adalah kehidupan binatang (Ingraham, 2006). Lepori (2000) berkata bahwa arsitektur Kota merupakan wadah kehidupan atau habitat bagi banyak makhluk hidup. Pernyataan Haraway (2008 : 4) “To be one is always to become with many.” menjadi landasan bahwa sebuah kehidupan tidak terlepas dari kehidupan makhluk hidup lainnya. “Kehidupan” sebagai kesatuan ide dalam arsitektur, atau “arsitektur” sebagai kesatuan ide dalam kehidupan dan kehidupan manusia adalah kehidupan binatang (Ingraham, 2006). Lepori (2000) berkata bahwa arsitektur

Hill (1998) mengatakan bahwa subjek arsitektur adalah yang mengalami aritektur. Kata “mengalami” dapat dilakukan oleh setiap makhluk hidup, salah satunya binatang. Pernyataan Ingraham (2006) mendukung bahwa binatang tidak hanya hidup yang memenuhi syarat sebagai penghuni, namun sebagai subjek yang sama seperti manusia, seperti pemenuhan kebutuhan dan tempat berlindung.

Kota saat ini merupakan area yang bisa menjadi habitat bagi manusia dan binatang. Manusia membutuhkan binatang untuk dapat hidup. Binatang termasuk dalam sistem ekosistem kota, sehingga binatang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Kehidupan binatang juga kehidupan manusia (Ingraham, 2006). Binatang biasa maupun binatang liar, secara universal dapat dilihat manusia sebagai hal yang berpotensi untuk berkontribusi dalam kehidupan manusia (Ingraham, 2006). Agar manusia dapat hidup, maka mereka harus mengambil kehidupan yang ada pada tumbuhan dan binatang (Miwa, film Fireflies: River of light, 2004).

Segala sesuatu tidak dimulai dari manusia dan menjadikan manusia sebagai tolak ukur. Dalam wawancara Wolfe (2012) tentang posthumanism, ia menjabarkan alasan manusia untuk memperhatikan binatang bukan karena kesamaan manusia dan binatang, tetapi karena perbedaannya. Cara hidup binatang yang berbeda di dunia berhak berkembang biak, mendapatkan perlindungan dari eksploitasi, dan kekejaman. Kota terdiri dari berbagai macam organisme sehingga tidak terpaku pada satu objek ataupun homogen. Oleh sebab itu subjek dari kota bukan hanya manusia, tetapi bisa dari semua makluk yang hidup di kota yang menjadikan kota kaya akan keberagaman hayatinya.

2.3 Synurbization sebagai Kota yang Terintegrasi dengan Alam

Kota bukanlah objek yang tetap, tetapi sistem yang aktif dengan aliran energi yang terus menerus bertransformasi dalam membuat lansekap dan Kota bukanlah objek yang tetap, tetapi sistem yang aktif dengan aliran energi yang terus menerus bertransformasi dalam membuat lansekap dan

Kota membutuhkan hal lain yang berasal dari alam yang tidak hanya buatan manusia. Schneekloth (1994) berkata bahwa bumi merupakan sebuah ruang di alam semesta, yang terbuat dari mineral, sayuran, dan binatang, bentuk dari kehidupan yang digunakan sebagai sumber daya untuk tempat tinggal manusia. Kota perlu diintegrasi dengan alam atau antar manusia dengan bentuk kehidupan yang lainnya seperti yang katakan Hillman dalam Schneekloth, 1992:

If we choose to re-inhabit the world because the image of the holistic earth reverberates in us, nature is no longer out or over there and other. It must always and already be here and us.... and if nature is no longer far and away because it is both us and not-us, then our own construction - our cities and things - are natural and deserve to be as beautiful and protected as nature preserves and tropical forest . (hal.58)

Lebih lanjut Schneekloth (1994) mengatakan bahwa pembatas antara hijau (organik) dengan abu-abu (terbangun) dapat bersifat membaur. Kehidupan manusia harus bisa serasi dengan kehidupan alam.

Binatang dapat menjadi peran ‘yang lainnya’ yang dapat menunjang dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Binatang merupakan bagian dari ekosistem alam. Hubungan antar manusia dengan yang lainnya tidak didefinisikan dari hirarki dan dominansi (Schneekloth, 1994). Sama halnya dengan manusia dengan spesies synurbic ataupun antara kota dan spesies synurbic, keduanya dapat hidup harmonis dalam satu tempat sebagai simbiosis secara biologis.

2.3.1 Synurbization Lewat Integral Urbanism

Synurbization adalah upaya integral urbanism untuk menjadikan alam bagian dari desain, bukan menyingkirkannya. Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang integral urbanism, perlu diketahui makna dari intergral yang dijelaskan oleh Ellin (2006):

Integral — Essential to completeness, lacking nothing essential, formed as a unit with another part.

Integrate — To form, coordinate, or blend into a functioning or unified whole; to unite with something else; to end the segregation of and bring into equal membership in society or an organization; desegregate.

Integrity — Adherence to artistic or moral values; incorruptibility; soundness; the quality or state of being complete and undivided; completeness. (hal. 1)

Integral urbanism ada untuk memperbaiki habitat manusia. Tantangannya adalah melihat segala elemen yang ada pada suatu area urban sebagai bagian dari keseluruhannya. Ellin (2006) mengatakan kesuksesan ekologi diukur dari kapasitas planet kita untuk mendukung segala bentuk kehidupan. Dengan demikian keberhasilan desain urban dan keunggulannya harus diukur dari kapasitasnya untuk mendukung humanitas.

Ellin (2006) menyatakan bahwa yang dilakukan oleh integral urbanism adalah mengintegrasi fungsi di mana kota modern biasanya memisahkan fungsi dengan zona. Integral urbanism adalah integrasi dengan alam. Kota akan mempunyai kekayaannya tersendiri jika menjadikan alam sebagai bagian dari kota tersebut.

2.3.1.1 Cakupan Integral Urbanism

Ellin (2006) berkata, Integral urbanism membahas mengenai jaringan bukan sebagai batas, hubungan, dan kaitan yang mengisolasi objek; saling bergantung bukan kebebasan atau ketergantungan; alami dan komunitas sosial bukan hanya individu; transparansi atau tembus pandang bukan buram; berpori Ellin (2006) berkata, Integral urbanism membahas mengenai jaringan bukan sebagai batas, hubungan, dan kaitan yang mengisolasi objek; saling bergantung bukan kebebasan atau ketergantungan; alami dan komunitas sosial bukan hanya individu; transparansi atau tembus pandang bukan buram; berpori

Terdapat kualitas-kualitas yang perlu diperhatikan dalam integral urbanism , Ellin (2006) mengatakan 5 kualitas pada integral ubanism sebagai bahan yang paling esensial untuk kota dan komunitas kita untuk dapat berkembang.

• Hybridity dan Connectivity merupakan ciri dari integrasi baru dengan membawa aktivitas manusia dari lokal sampai dengan global. Kualitas ini

juga memperlakukan orang dan alam sebagai simbiosis.

Porosity merupakan pendemonstrasian dari perbedaan untuk bertemu, yaitu dengan akses yang bersifat permeable sehingga alam dapat selalu berhubungan dengan aktivitas manusianya.

Authenticity merupakan tujuannya, yaitu keterlibatan kondisi sosial dan fisik yang nyata dengan etika untuk saling memperhatikan, menghargai, dan jujur.

• dan Vulnerability merupakan cara untuk meraihnya, yaitu dengan melepaskan kontrol sambil tetap terlibat dalam proses menilai dan menghasilkan produk, mempunyai dinamika dan mengintegrasikan ruang dengan waktu.

Gambar 2.5 a. Hybridity dan Connectivity; b. Porosity; c. Authenticity; d. Vulnerability

Sumber : Buku Integral Urbanism : contents

Dengan adanya kualitas tersebut, integral urbanism membuka peluang untuk kota dengan segala kemungkinan. Kota tidak lagi dilihat sebagai satu aktivitas yang dominan, tetapi campuran akan sesuatu yang bersama-sama menjalankan fungsi kota. Hubungan antara subjek–subjek atau subjek–objek dapat melebur menjadi satu kesatuan. Kota tidak menyampingkan sesuatu tetapi mengintegrasinya, sesuatu yang baru dianggap sebagai kekayaan dari sebuah kota.

2.3.1.2 Flow sebagai Tujuan Kota Terintegrasi

Tujuan kota adalah menciptakan aliran (flow). Segala objek dan subjek dalam kota menjadi satu bagian dalam menunjang satu sama lain. Karena kota akan selalu berubah dan berkembang sesuai dengan berjalannya waktu. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Kostof (1992) :

Cities are never still; they resist efforts to make neat sense of them. We need to respect their rhythms and to recognize that the life of city form must lie loosely somewhere between total control and total freedom of action. Between conservation and process, process must have the final word. In the end, urban truth is in the flow. (hal. 304)

Perkembangan urban telah memperlakukan kota sebagai mesin yang efisien untuk tempat berlindung dan melindungi dan untuk perpindahan orang- orang, uang, dan barang (Ellin, 2006). Kota adalah tempat yang memiliki batasan fisik di mana memisahkan apa yang termasuk dan yang tidak dalam kota (Kostof, 1992). Sesuatu yang dipisahkan dalam kota belum tentu merupakan kebutuhan paling esensial untuk manusia yang ada di dalamnya. Seharusnya kota juga dipandang sebagai aktivitas produksi, bukan hanya sebagai tempat bersosialisasi.

Integral urbanism dengan kualitasnya bertujuan untuk mencapai flow (Ellin, 2006). Batas ataupun pengaturan yang memisahkan fungsi-fungsi dalam kota tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya pemikiran integrasi. Hal yang terpenting adalah bagaimana membuat segala sesuatunya berjalan secara alami.

2.3.2 Ekosistem Urban

Pada saat ini terjadi pergeseran ekosistem alam karena urbanisasi. Alberti (2008) mengatakan bahwa urbanisasi telah meningkatkan pengaruhnya dalam ekosistem bumi. Fungsinya tergantung pada pola lansekap yang ada dalam urbanisasi daerah. Keberagaman lansekap merupakan fenomena spasial yang disebabkan oleh variasi kondisi lingkungan.

Ekosistem urban tidak dapat diprediksi, karena ia adalah hybrid (Alberti, 2008). Perubahan adalah properti yang melekat pada sistem ekologi; kemampuan Ekosistem urban tidak dapat diprediksi, karena ia adalah hybrid (Alberti, 2008). Perubahan adalah properti yang melekat pada sistem ekologi; kemampuan

Kompleksitas diakibatkan oleh ekosistem urban yang hybrid yang berarti banyak aktor/peranan yang berpengaruh dalam ekosistem urban tersebut. Semakin banyak keragaman spesies, maka suatu ekosistem dapat berfungsi dengan maksimal, seperti yang dikatakan Alberti (2008):

The ability of earth’s processes to sustain life over a long period of time. Biodiversity is essential for the functioning and sustainability of an ecosystem. Different species play specific functions, and changes in species composition, species richness, and functional type affect the efficiency with which resources are processed within an ecosystem. (hal. 70)

Aktor/peranan dalam ekosistem tersebut adalah suatu keanekaragaman hayati, termasuk juga keanekaragaman spesies binatang. Mereka merupakan hal esensial dalam menggerakan suatu ekosistem. Dengan kata lain manusia dengan spesies binatang dapat bekerja sama dalam ekosistem urban untuk mencapai hidup berkualitas di lingkungan kota.

Setiap lingkungan urban mempunyai keunikannya masing-masing dikarenakan adanya pola dari heterogenitas yang khas (Alberti, 2008). Pola tersebut terbentuk dari proses dan fungsinya dari setiap aktor yang menggerakan ekosistem di dalam lingkungan urban. Alberti (2008) membuat gambaran untuk menjelaskan mekanisme hubungan antar pola, proses, dan fungsi (lihat gambar 2.6; gambar 2.7) untuk manusia dan organisme makhluk hidup lainnya.

Manusia dan organisme lainnya sama-sama mempunyai pola dan proses untuk fungsi yang spesifik. Dalam sebuah kota di mana terjadi synurbization, kedua pola dan fungsi tersebut dapat diintegrasi sehingga mampu meningkatkan kualitas kehidupan di dalamnya (lihat gambar 2.8).

Gambar 2.6 Hubungan fungsi, pola, dan proses Gambar 2.7 Hubungan fungsi, pola, dan proses dalam sistem manusia

dalam sistem ekologi Sumber : Buku Advances in Urban Ecology :

Sumber : Buku Advances in Urban Ecology : hal. 69

hal. 69

Gambar 2.8 Kaitan antara sistem manusia dan ekologi Sumber : Buku Advances in Urban Ecology : hal 70

Pola yang terintegrasi antara manusia dengan organisme yang lainnya (binatang) merupakan realisasi dari teori yang digagas oleh Alberti et. al., (2003) dalam Alberti (2008) bahwa ekosistem urban mempunyai sistem yang kompleks, adaptif, dan dinamis. Synurbization menjadi pertanda bahwa lingkungan urban adalah adaptif, sehingga membuat ekosistem urban kaya dan penuh kompleksitas, dan dinamis merupakan penyesuaian dari integrasi pola, proses dan fungsi dari spesies binatang ke pola, proses, fungsi manusia di kota.

BAB 3 STUDI KASUS DAN ANALISA : KOTA WATANSOPPENG DAN KOTA LAINNYA

3.1 Synurbization Kalong pada Kota Watansoppeng

Kota Watansoppeng merupakan salah satu wilayah urban terjadinya synurbization. Berdasarkan data dari website kabupaten Soppeng, kota yang dikenal sebagai kota kalong terletak di sebelah utara Kota Makassar dengan jarak 179 km dengan luas wilayah Kabupaten Soppeng 1500 km2. Kota Watansoppeng dikenal sebagai kota kalong (lihat gambar 3.1)!

Gambar 3.1 Kalong di Kota Watansoppeng

Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 3.2 Lokasi Kabupaten Soppeng dan posisi Jl. Merdeka Sumber : Google maps yang sudah diolah

Kalong–kalong dalam jumlah yang banyak ditemukan pada pepohonan sebagian jalan dari Jl. Merdeka (lihat gambar 3.2). Walaupun mereka menghuni pepohonan pinggir jalan atau dekat jalan raya, mereka tidak merasa terganggu dengan kehadiran masyarakat.

Habitat utama kalong pada kota ini terutama di hutan kota galimporo. Pohon asam dikenal memiliki karena batang dan rantingnya kuat (Yunus, 2014). Kalong tersebut juga menempati pohon lain yang ada di sekitar pohon asam yaitu, pohon flamboyan, pohon kelapa, pohon jati putih, pohon ebony, pohon mangga, dan pohon tinggi lainnya.

3.1.1 Identifikasi Kalong dalam Ruang Kota

Kota Watansoppeng mempunyai keadaan yang spesifik sehingga kalong kalong mau mendiaminya. Kota masih tergolong kecil dan masih sangat asri yang ditandai dengan banyaknya pepohonan, hutan dan hutan kota, agrikultur, dan dekat dari pegunungan (gunung jole) yang kurang lebih 20km jauhnya.

Gambar 3.3 Denah hutan galimporo dan hunian sekitarnya

Sumber : Ilustrasi pribadi

Pada gambar 3.3 terlihat kalong banyak ditemukan pada pepohonan tinggi di hutan galimporo dan mereka menempati pohon yang relatif berdekatan. Mereka juga berada di pohon yang berdiri di atas kontur menurun terutama pada hutan galimporo (lihat gambar 3.4).

Gambar 3.4 Potongan untuk memperlihatkan hutan galimporo dan hunian

Sumber : ilustrasi pribadi

Pada gambar 3.4 terlihat hutan galimporo yang berkontur dan terlihat juga bahwa kota tidak membatasi antara yang terbangun dengan yang hijau atau pepohonan. Schneekloth (1994) menyatakan bahwa sudah seharusnya habitat manusia mempunyai batas yang kabur atau menyatu antara yang terbangun atau abu–abu dengan elemen alam atau hijau.

3.1.2 Integrasi Kalong dengan Manusia Melalui Fungsi, Pola dan Proses

Bagi masyarakat setempat, kalong dianggap tidak berhubungan dengan kebutuhan kota. Mereka hanya dianggap sebagai hama dan objek wisata di kota. Akan tetapi keberadaaan kalong pada kota ini telah menjadi sebuah identitas seperti yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai ‘kota kalong’. Kehidupan antara warga dan kalong dapat terintegrasi dengan kebersamaannya hidup mereka dalam satu wadah, yaitu kota.

Upaya kalong dalam beradaptasi di tengah–tengah kota membuat kota tidak lagi ekslusif hanya untuk kepentingan manusia. Kota Watansoppeng Upaya kalong dalam beradaptasi di tengah–tengah kota membuat kota tidak lagi ekslusif hanya untuk kepentingan manusia. Kota Watansoppeng

Kalong atau disebut sebagai kelelawar pemakan buah berperan dalam ekosistem, habitatnya di pepohonan hutan galimporo berfungsi dalam ekosistem kota secara keseluruhan.

“Flying fox (kalong) berperan penting sebagai penyerbuk hutan dan penyebar benih buah-buahan hutan hujan dibanyak lokasi di seluruh dunia. Kalong adalah binatang yang bermobilitas tinggi dan melalui penyerbukan dan penyebaran benih, mereka memainkan peran penting dalam menjaga keragaman genetik dalam jangka panjang untuk berbagai jenis habitat. ... Kalong juga berperan penting dalam siklus pe-nutrisi-an. (Flying fox policy, 2008 dalam www.parksandwildlife.nt.gov.au)

Gambar 3.5 Fungsi, pola, proses kalong Sumber : ilustrasi pribadi !

Sesuai dengan teori Alberti (2008) setiap keanekaragaman hayati mempunyai pola hidup, proses untuk fungsi tertentu, dan setiap keberagaman Sesuai dengan teori Alberti (2008) setiap keanekaragaman hayati mempunyai pola hidup, proses untuk fungsi tertentu, dan setiap keberagaman

Kesuburan dan keasrian hutan galimporo berhubungan dengan guano dan bolus yang berjatuhan di tanah hutan tersebut (lihat gambar 3.6). Guano dan bolus mengandung fosfor yang tinggi yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Kadar fosfor dalam guano dan bolus tersebut lebih besar dibandingkan dari pupuk yang berasal dari sapi dan domba. Dengan demikian, guano dan bolus berperan sebagai pemicu pertumbuhan akar, perkembangan cabang di tunas, dan menumbuhkan bunga pada tanaman (Goveas, et al. 2005).

Gambar 3.6 Kalong dengan guano dan bolus di hutan kota galimporo Sumber : ilustrasi pribadi

Kesuburan tanah dapat menunjang banyak pertumbuhan tanaman yang menjadi habitat bagi organisme lain (lihat gambr 3.7). Organisme tersebut menjadi keanekaragaman hayati yang berperan dalam memperkaya dan membuat suatu ekosistem urban bekerja secara maksimal. Sehingga guano dan bolus yang dihasilkan oleh kalong membuat kalong berfungsi sebagai indikator kehidupan hutan kota galimporo.

Gambar 3.6 Kalong dengan guano dan bolus di hutan kota galimporo Sumber : ilustrasi pribadi

Heinze (2011) memaparkan fungsi dari hutan kota adalah menjadi pencegah erosi dan longsor, pemurnian air, pembersih udara dari polusi ataupun debu, penyejuk temperatur dan menurunkan penggunaan akan Air Conditioning (AC), memproduksi banyak oksigen, dan penyerap karbon. Organisme yang berada pada hutan galimporo yaitu pohon-pohonan dan lain-lainnya, berfungsi sebagai penetral dari polusi yang dikeluarkan oleh suatu kota.

Kehidupan manusia dan kalong telah terintegrasi yang terlihat pada pola huniannya di Kota Watansoppeng saat ini seperti yang terlihat pada gambar 3.8. Kota Watansoppeng mempunyai kualitas integral urbanism seperti pada penjelasan bab 2, yang pertama adalah hybridity dan connectivity yaitu antara aktivitas manusia (warga) dan kalong terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Kedua, porosity saat hutan terkait dengan hunian warganya dan keduanya dapat diakses tanpa dibatasi. Ketiga, authenticity saat masyarakat sosial turut andil dalam menjaga kondisi hutan galimporo berserta kalongnya. Keempat, vulnerability terjadi saat hutan dan kalong dapat berkembang secara alami namun, tidak terlepas dari kontrol kota atau pemerintah daerah yang memberi regulasi untuk tidak membunuh kalong.

Gambar 3.8 Pola integral urbanism yang dihasilkan dari integrasi manusia dan kalong

Sumber : ilustrasi pribadi

Secara tidak langsung, manusia pada kota ini tidak dapat terlepas dari kehidupan kalong karena fungsinya terhadap hutan. Kehadiran kalong dalam kota membuat kota bertahan dalam jangka panjang dengan adanya ekosistem yang bekerja secara maksimal. Sistem tersebut berfungsi untuk keberlangsungan kehidupan manusia. Kota tidak perlu membatasi antara kalong dan manusia karena kalong membawa dampak positif dalam menjaga keseimbangan ekosistem kota.

3.2 Synurbization di Kota–Kota Lain yang Tersebar di Dunia

Masih banyak kota-kota lain yang sudah terjadi synurbization ataupun kota tersebut sengaja membuat keadaan agar terjadi synurbization. Berikut ini merupakan 8 contoh kota-kota yang mempunyai ide dari synurbization tersebut.

3.2.1 Ikan Koi di Sungai Kota Hida Furukawa

Kota Hida Furukawa di Jepang merupakan tempat terjadinya synurbization ikan koi. Sungai yang bernama Sungai Seto mengalir melalui kota kecil Hida Furukawa, air sungai tersebut merupakan aliran dari Sungai Miya yang berada dekat dari kota. Sungai Seto yang bersih menjadi habitat bagi ikan Koi untuk hidup di tengah–tengah hunian warga (lihat gambar 3.9).

Gambar 3.9 Peta Kota Hida Furukawa

Sumber : http://www.hida-kankou.jp/kanko/foreign/en/plan-your- visit/pdf/Hida_Furukawa_Sightseeing_Map.pdf

Ikan koi yang hidup di Sungai Seto menjadi penanda bahwa air sungai tersebut bersih. Air merupakan elemen yang penting dalam kehidupan manusia. Ikan koi dapat memakan kotoran ataupun lumut yang ada pada sungai. Ikan koi juga berperan dalam menjaga dan memelihara kebersihan air pada sungai yang ada di tengah-tengah kehidupan manusia. Air sungai di Kota Hida Furukawa dapat dikatakan bersih karena terdapat kehidupan ikan koi di dalamnya.

Gambar 3.10 Suasana kota dengan Sungai Seto Sumber (a&b): http://uniqpost.com/91760/ikan-koi-hidup-tenang-di-sungai-jepang/ Sumber (c): http://lifetoreset.wordpress.com/2012/05/30/canals-and-carps-of-hida-furukawa/

Dengan kota yang menyediakan ruang untuk ikan koi, menandakan kota mempunyai integrasi dengan alam (lihat gambar 3.10). Kehadiran koi-koi ini menjadi penting karena terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara kota (manusia yang menghuni kota) dengan ikan koi. Fungsi, pola, dan proses kehidupan ikan koi menjadi indikator bagi kebersihan air dan lingkungan di sungai kota yang dibutuhkan oleh manusia.

3.2.2 Kunang-Kunang di Sungai dalam Kota

Synurbization kunang-kunang terjadi di salah satu sungai kota di Jepang berdasarkan film “Hotaru no Hoshi”. Berawal dari seorang guru dan murid– muridnya yang ingin mendatangkan kembali kunang-kunang yang sudah lama hilang di Kota Jepang. Guru dan murid-muridnya berusaha untuk menciptakan keadaan sungai yang sesuai dengan habitat kunang–kunang di tengah kota.