PEMIKIRAN NAJMUDDIN ATH THUFI TENTANG KO

PEMIKIRAN NAJMUDDIN ATH-THUFI TENTANG
KONSEP MASLAHAH
SEBAGAI TEORI ISTINBATH HUKUM ISLAM
Harun
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Pabelan Tromol Pos I Kartasura, Surakarta 57102
Abstrak
Dalam pemikiran hukum Islam bila dikaitkan dengan perubahan sosial,
muncul dua teori; Pertama, teori keabadian yang meyakini bahwa hukum Islam
tidak mungkin bisa berubah dan dirubah sehingga tidak bisa beradaptasi dengan
perkembangan zaman. Peran akal manusia hanya memahami doktrin teks-teks
hukum. Kedua, teori Adaptabilitas yang meyakini bahwa hukum Islam, sebagai
hukum yang diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, dan bisa beradaptasi
dengan perkembangan zaman, sehingga ia bisa dirubah demi mewujudkan
kemaslahatan umat manusia. Hukum Islam terikat dan dipahami menurut latar
belakang sosio kultural yang mengelilinginya, sehingga peran akal dapat memahami perputaran hukum. Berdasarkan perspektif diatas, pemikiran hukum Islam
yang sedang berkembang ada kecenderungan mengikuti pola pemikiran yang
kedua. Diantara salah satu tokoh pemikir hukum Islam penganut teori adabtabilitas antara lain adalah Najmuddin ath-Thufi. Kerangka dasar pemikiran yang
melatarbelakangi teori adaptabilitas adalah prinsip Maslahah, yang merupakan
tujuan hukum Islam itu sendiri. Prinsip maslahah ini sebagai nilai fundamental
bagi keberlangsungan hukum Islam dalam konteks perubahan sosial, yang mampu

merespons setiap perubahan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pemikiran Najmuddin al-Thufi tentang teori maslahah sebagai istinbath hukum
Islam dan perbedaannya dengan pemikiran ulama ushul fiqh pada umumnya
(dalam hal ini, al-Ghozali, Abu Ishak al-Syathibi dan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah)
Penelitian ini termasuk penelitan pustaka dengan menggunakan pendekatan
sosiologis historis. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis. Metode
analisa data yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pola pikir deduktif.
Hasil penelitian, ditemukan bahwa maslahah menurut pemikiran al-Thufi
merupakan dasar hukum yang mandiri yang kehujahannya tidak bergantung
pada nash tetapi pada akal semata. Ukuran untuk menentukan kemaslahatan
cukup dengan akal tanpa petunjuk nash. Konsekwensi hukumnya, jika terjadi
kontradiksi antara nash dengan maslahah, ole ath-Thufi maslahah lebih
Harun, Pemikiran Najmuddin Ath-Thufi tentang ...: 21-34

21

didahulukan. Secara Explicit teori maslahah al-Thufi ini berbeda dengan teori
maslahah yang dianut oleh ulama ushul fiqh pada umumnya yaitu dengan teori
maslahah mursalah, yaitu maslahah yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan
hukum, harus mendapatkan dukungan dari syara’, Ukuran untuk menentukan

maslahah adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak akal. Namun
secara implicit, teori maslahah ath-Thufi tidak berbeda dengan teori istihsan
Imam Malik maupun ulama Ushul Fiqh
Kata Kunci: Hukum Islam, Maslahah, Istinbath, Najmuddin ath-Thufi

Pendahuluan
Dalam pemikiran hukum Islam bila
dikaitkan dengan perubahan social,
muncul dua teori; Pertama, teori keabadian yang meyakini bahwa hukum Islam
tidak mungkin bisa berubah dan dirubah
sehingga tidak bisa beradaptasi dengan
perkembangan zaman. Peran akal manusia hanya memahami doktrin teks-teks
hukum. Kedua, teori Adaptabilitas yang
meyakini bahwa hukum Islam, sebagai
hukum yang diciptakan Tuhan untuk
kepentingan manusia, dan bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman,
sehingga ia bisa dirubah demi mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Hukum
Islam terikat dan dipahami menurut latar
belakang sosio kultural yang mengelilinginya, sehingga peran akal dapat
memahami perputaran hukum (Fuad,

2005: 16-17).
Dasar lahirnya teori adaptabilitas
adalah prinsip Maslahah, yang merupakan tujuan hukum Islam itu sendiri..
Prinsip maslahah ini yang membuat
hukum Islam mampu merespons setiap
perubahan sosial.( Mas’ud, 1995: 23-24).
Dalam catatan sejarah, eksistensi
22

maslahah sebagai metode istinbath
hukum bila dikaitkan dengan peran akal
di dalamnya, memunculkan corak maslahah yang berbeda-beda di kalangan pemikiran hukum Islam.Maslahah versi
Hasby Ash-Shiddieqiey berbeda dengan
corak maslahah Munawir Sadzali,
termasuk corak maslahah Najmuddin
ath-Thufi berbeda dengan al-Ghazali dan
Asy-Syatibi (Bakri, 1996: 60-157).
Perbedaan corak maslahah para pemikir
hukum Islam dipengaruhi oleh kondisi
sosio-kultural, dimensi ruang dan waktu

yang melingkupinya. Menarik apa yang
dikatakan Louay Safi bahwa setiap
pengetahuan tidak bisa lepas dari pra
anggapan tertentu; wahyu mengandung
suatu “ rasionalitas “ tertentu dan bahwa
realitas wahyu dan realitas empiris samasama bisa menjadi sumber pengetahuan.
Memisahkan kebenaran keagamaan
(metafisika, wahyu) dari wilayah ilmiyah,
terutama wilayah ilmu-ilmu sosial tentu
tidak dapat dibenarkan. Sebagai konsekwensinya, sumber-sumber pengetahuan
juga harus digali dari sumber wahyu dan
juga realitas empiris histories (Bakri, 1996:
60-157).

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2009

Dalam penelitian ini penulis mengkaji pemikiran Ath-Thufi karena pandangan al-Thufi tersebut secara explisit
bertentangan dengan paham yang dianut
mayoritas ulama ushul fiqh pada umumnya (termasuk al-Ghozali, Abu Ishak AlSyathibi dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah).
Pemikiran ath-Thufi yang liberalis ini

mendorong penulis untuk meneliti dan
mencermati lebih jauh pandangan athThufi tersebut kedalam karya ilmiyah.
Adapun rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah konsep Maslahah sebagai
metode istinbath hukum Islam menurut
pemikiran Najmuddin ath-Thufi?. (2) Bagaimanakah Perbedaan Corak Maslahah Najmuddin ath-Thufi dengan Corak
Maslahah ahli Ushul Fiqh pada umumnya
( dalam hal ini al-Ghozali, Abu Ishak alSyathibi dan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah).
Tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah: Pertama, mengetahui dan memahami pemikiran Najmuddin ath-Thufi tentang konsep Maslahah
sebagai teori Istinbath Hukum Islam.
Kedua, mengetahui dan memahami
perbedaan corak Maslahah Najmuddin
ath-Thufi dengan corak Maslahah Ahli
Ushul Fiqh pada umumnya (dalam hal ini
al-Ghozali, Abu Ishak al-Syathibi dan
Ibnmul Qayyim al-Jauziyyah). Sedangkan
manfaat dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut: (1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di
bidang hukum Islam. (2) Sebagai tambahan informasi untuk kajian hukum Islam
pada perguruan tinggi.


Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian
kepustakaan, data dan bahan kajian yang
dipergunakan berasal dari sumber-sumber kepustakaan, dengan thema permasalahan. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah buku Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyyah oleh Ath-Thufi,
Nazhariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh alIslami wa Najm al-Din al-Thufi karya
Mustafa Zaid dan Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum
Najm ad-Din Thufi oleh Abdallah M. AlHusayn al-Amiri. Nazhariyyat alMaslahah fi al-Fiqh al-Islamikarya
Husain Hamid Hasan Sumber data
pendukung adalah al-Muwafaqat fi
Ushul al-Syari’ah” karya Abu Ishak
al-Syathibi, al-Mustashfa fi al-Ushul
karya Abu Hamid al-Ghazali, I’lam alMuwaqqi’in ‘an Rabb al-Alamin karya
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan buku-buku
ushul fiqh yang lain.
Pendekatan yang dipakai dalam
penelitian ini adalah pendekatan sosiologis
histories. Pendekatan sosiologis histories
dipergunakan untuk mengamati proses

interaksi pemikir (Najmuddin ath-Thufi)
dengan dimensi ruang dan waktu, di mana
ide pemikiran hukum Islam itu muncul.
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu berusaha memaparkan fenomena hukum yang terjadi apa
adanya, kemudian menarik pemahaman
atau kesimpulan berdasarkan penilaian
terhadap fenomena tersebut.
Metode analisa data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pola pikir deduktif yaitu pro-

Harun, Pemikiran Najmuddin Ath-Thufi tentang ...: 21-34

23

ses analisis yang berangkat dari latar
belakang sosio-historis (pemikiran Najmuddin Ath-Thufi tentang maslahah)
yang kemudian menganalisanya secara
khusus dengan merujuk pada teori ushul
fiqh yang ada.
Hasil dan Pembahasan

1. Maslahah Sebagai Teori Istinbath
Hukum
Istinbath berasal dari kata “nabth“
(air yang mula-mula memancar dari
sumur yang digali). Istinbath menurut
bahasa ialah mengeluarkan sesuatu dari
persembunyiannya. Menurut istilah ushul
fiqh ialah menggali atau mengeluarkan
hukum syara’ dari dalil al Qur’an dan al
Sunnah.(Rahman, 1996: 1). Istinbath
hukum dari al Qur’an dan al Sunnah
dengan melalui dua cara pendekatan,
yaitu pendekatan kaidah lughowiyyah
dan tasyri’iyyah. Pendekatan kaidah
lughowiyyah artinya dalam menggali
hukum dari dalil al Qur’an dan al Sunnah
menggunakan pendekatan kebahasaan
atau lafadz. Sementara pendekatan kaidah tasyri’iyyah menggunakan pendekatan ruh atau semangat ajaran al Qur’an
dan al Sunnah.(A.Djazuli dan Nurol Aen,
2000: 231). Pendekatan dari segi bahasa,

dikenal dikalangan ulama ushul fiqh
dengan teori bayani, Sedang pendekatan
dari segi ruh atau semangat ajaran alQur’an dan al-Sunnah dimodifikasi dan
dikembangkan sebagai teori ta’lili dan
teori istislahi. Ketiga teori ini yang
dipandang lebih relevan untuk menganalisa pokok permasalahan adalah teori
24

istislahi (maslahah). Oleh sebab itu,
dalam pembahasan ini penulis fakuskan
pada teori istislahi.
Teori istislahi merupakan salah satu
metode yang dikembangkan oleh ulama
ushul fiqh dalam meng-istinbath-kan
hukum dari nash (dalil) lewat pendekatan
Istislahi adalah maslahah mursalah,
yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada
nash juz’i (rinci) yang mendukungnya,
dan tidak ada pula yang menolaknya dan
tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya,

tetapi kemaslahatan ini didukung oleh
sejumlah nash dengan cara induksi dari
sejumlah nash (al-Syathibi, 1973: 8-12).
Teori istislahi digunakan bila tidak ada
dalil khusus yang berhubungan dengan
kasus hukum baru sehubungan dengan
kemajuan dan perkembangan zaman
(Abu Bakar, 1991: 23).
Maslahah secara etimologi sama
dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat (Hasan, 1971: 3-4). Secara
terminologi maslahah dapat diartikan
mengambil manfa’at dan menolak
madhorot (bahaya) dalam rangka memelihara tujuan syara’ (hukum Islam).
Tujuan syara’ yang harus dipelihara
tersebut adalah memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Apabila
seseorang melakukan aktivitas yang pada
intinya untuk memelihara kelima aspek
tujuan syara’ diatas, maka dinamakan
maslahah. Disamping itu untuk menolak

segala bentuk kemadhorotan (bahaya)
yang berkaitan dengan kelima tujuan
syara’ tersebut, juga dinamakan masla-

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2009

hah(Al-Ghozali, 1980: 286).
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia, karena
kemaslahatan manusia tidak selamanya
didasarkan kepada kehendak syara’,
tetapi sering didasarkan pada hawa nafsu.
Oleh sebab itu, yang dijadikan patokan
dalam mentukan kemaslahatan itu adalah
kehendak dan tujuan syara’, bukan
kehendak dan tujuan manusia. (AlGhozali, 1980: 286).
Kemaslahatan yang dapat dijadikan
pertimbangan untuk menetapkan hukum
menurut al-Ghazali adalah apabila ;
Pertama, maslahah itu sejalan dengan
tindakan syara’. Kedua, maslahah itu
tidak meninggalkan atau bertentangan
dengan nash syara’. Ketiga, maslahah
itu termasuk ke dalam kategori maslahah
yang dhoruri, baik yang menyangkut kemaslahatan pribadi maupun orang banyak
dan universal, yaitu berlaku sama untuk
semua orang. (Al-Ghozali, 1980: 139).
Maslahah menurut Abu Ishak alSyathibi dapat dibagi dari beberapa segi:
pertama, dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan ada tiga macam ,
yaitu: (a) Maslahah al-Dharuriyyah,
kemaslahatan yang berhubungan dengan
kebutuhan pokok umat manusia di dunia
dan di akhirat, yakni memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara
harta. Kelima kemaslahatan ini disebut
dengan al-mashalih al-khamsah. (b).
Maslahah al-Hajiyah, kemaslahatan
yang dibutuhkan untuk menyempurnakan

atau mengoptimalkan kemaslahatan
pokok (al-mashalih al-khamsah) yaitu
berupa keringanan untuk mepertahankan
dan memelihara kebutuhan mendasar
manusia (al-mashalih al-khamsah)
diatas. (c). Maslahah al-Tahsiniyyah,
kemaslahatan yang sifatnya komplementer (pelengkap), berupa keleluasan
dan kepatutan yang dapat melengkapi
kemaslahatan sebelumnya ( maslahah
al-hajiyyah). Kedua, dari segi keberadaan maslahah, ada tiga macam, yaitu :
(a).Maslahah al-Mu’tabarah, kemaslahatan yang didukung oleh syara’.
Maksudnya, adanya dalil khusus yang
menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. (b). Maslahah al-Mulghah, kemaslahatan yang ditolak oleh
syara’, karena bertentangan dengan
ketentuan syara’. (c). Maslahah alMursalah, kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak
pula dibatalkan atau ditolak syara’ melalui
dalil yang rinci, tetapi didukung oleh
sekumpulan makna nash (ayat atau
hadits). Kemaslahatan dalam bentuk ini
terbagi dua, yaitu maslahah gharibah
dan maslahah mursalah. Maslahah
gharibah adalah kemaslahatan yang
asing, atau kemaslahatan yang sama
sekali tidak ada dukungan syara’, baik
secara rinci maupun secara umum. AlSyathibi mengatakan kemaslahatan
seperti ini tidak ditemukan dalam praktek,
sekalipun ada dalam teori. Maslahah
mursalah adalah kemaslahatan yang
tidak didukung dalil syara’ atau nash yang
rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan
makna nash (Al-Syathibi,1973: 8-12).

Harun, Pemikiran Najmuddin Ath-Thufi tentang ...: 21-34

25

Jumhur Ulama Ushul Fiqh (Ulama
Hanafiyah, Syafi’iyyah, Malikiyyah dan
Hanabilah) menetapkan bahwa maslahah
dapat dijadikan dalil untuk menetapkan
hukum, apabila memenuhi tiga syarat:
Pertama, kemaslahatan itu sejalan
dengan kehendak syara’ dan termasuk
dalam jenis kemaslahatan yang didukung
nash secara umum. Kedua, kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan
sekedar perkiraan sehingga hukum yang
diterapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan
manfaat dan menghindari atau menolak
kemudaratan. Ketiga, kemaslahatan itu
menyangkut kepentingan orang banyak,
bukan kepentingan pribadi atau kelompok
kecil tertentu.(Al-Syathibi, 1973: 8-12; AlJauziyyah, 1973: 14). Alasan Jumhur
ulama Ushul Fiqh, antara lain : (a). Hasil
induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung
kemaslahatan bagi umat manusia. (b).
Kemaslahatan manusia senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman
dan lingkungan mereka sendiri. Apabila
Syari’at Islam terbatas pada teks-teks
hukum yang ada, akan membawa kesulitan. (c). Merujuk kepada tindakan yang
dilakukan oleh beberapa sahabat Nabi
saw., antara lain Umar Ibn al-Khaththab
tidak memberi zakat kepada para mu’allaf, karena kemaslahatan orang banyak
menuntut hal itu. Abu Bakar Ash-Shiddiq
mengumpulkan al-Qur’an atas saran
Umar ibn al-Khaththab sebagai salah satu
kemaslahatan kelestarian al-Qur’an dan
menuliskan al-Qur’an pada satu logat
bahasa di zaman Utsman bin Affan demi
26

memelihara tidak terjadinya perpedaan
bacaan al-Qur’an itu sendiri (Al-Ghozali,
1980: 139; Al-Syathibi, 1973: 8-12).
2. Latar Belakang Sosio Historis
Najmuddin ath-Thufi
Najmuddin ath-Thufi adalah seorang
ulama fiqh dan ushul fiqh mazhab Hanbali
yang dilahirkan di desa Thufi, Shashar,
dekat Baghdat Irak (Haroen, 1996: 124).
Kata Thufi kata sifat relative yang berhubungan dengan kata Tawfa, jadi ath-Thufi
adalah “orang yang berasal dari Tawfa”.
Najm ad-Din yang berarti “bintangnya
agama “, merupakan nama panggilan atau
gelar yang diberikan oleh para pemujanya
kepadanya. Sedang nama aslinya adalah
Sulayman Ibn “ Abd al-Qawi Ibn “Abd
al Karim Ibnu Sa’id (Zayd, 1964: 6 ). Ia
adalah seorang ilmuwan yang haus akan
berbagai ilmu pengetahuan, sehingga
dalam sejarah tercatat ia belajar fiqh,
ushul fiqh, bahasa arab, ilmu manthiq, ilmu
kalam, hadits, tafsir, sejarah, dan ilmu
jadal (ilmu berdiskusi). Pada tahun 691
H, ia telah menghafal buku al-Muharrar
fi al-Fiqh al-Hanbali (kitab fiqh rujukan
dalam madzhab Hanafi) dan mendiskusikannya dengan Syekh Taqiy al_Din alZarzirati, ulama besar mazhab Hanbali
ketika itu. Kebanyakan gurunya adalah
ulama-ulama besar Mazhab Hanbali di
zamannya, sehingga tidak mengherankan
al-Thufi dianggap sebagai penganut
mazhab tersebut (Haroen, 1996: 124).
Ath-Thufi meninggalkan tidak
kurang 42 buku yang ia tulis mengenai
berbagai topic, terutama menyangkut
tema-tema al-Qur’an, yurisprudensi,

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2009

logika, bahasa arab dan sastra. Sebagaian
besar buku tersebut hilang atau tersiasiakan di dalam manuskrip-manuskrip
yang rusak didalam kondisi perpustakaan
yang menyedihkan (Al-‘Amiri, 2004: 29).
Sebagian informasi yang bisa diketahui
mengenai kehidupannya telah diteliti dan
dipublikasikan oleh Mustafa Zayd dalam
karyanya “ al-Maslahah fi al-Thufi alIslam wa Najm ad-Din at-Thufi (Zayd,
2004: 63-91).
Berbekal berbagai ilmu pengetahuan yang ia kuasai, al-Thufi berupaya
untuk mengembangkan pemikirannya
dan mengajak para ulama di zamannya
untuk berpegang teguh pada al-Qur’an
dan Sunnah secara langsung dalam
mencari kebenaran; tanpa terikat kepada
pendapat orang lain atau madzhab fiqh
manapun. Ajakannya ini dituangkan dalam
kitabnya, al-Akbar fi Qawa’id al-Tafsir,
kitab yang membahas kaidah-kaidah
tafsir (Haroen, 1996: 125).
Dalam rangka kebebasan berpikir
untuk mencari kebenaran tersebut, alThufi tidak saja mempelajari berbagai
kitab dalam mazhab sunni, tetapi juga
banyak mempelajari literatur-literatur
Syi’ah di zamannya. Ketika itu dikhotomi
Sunni-Syi’ah sangat kuat, tetapi al-Thufi
tidak terpengaruh dengan dikotomi
tersebut. Dalam sejarah bahwa al-Thufi
pernah terpengaruh dan menganut
madzhab syi’ah. Namun ternyata dari
beberapa karya tulisnya menunjukkan
bahwa ia jauh dari pengikut kaum syi’ah,
karena menolak beberapa pendapat
syi’ah, karena dinilai kaum syi’ah sangat
berpegang pada hadits-hadits versi

mereka sendiri, yang mana propagandapropaganda partai mereka selama masa
Abbassiyah sama-sama dinisbatkan
kepada Nabi, termasuk hal-hal yang
bertentangan dengan akal pikiran dan
prinsip-prinsip universal al-Qur’an (Zayd,
2004: 32). Tetapi sampai pada akhir
hayatnya ath-Thufi tetap penganut
madzhab Hanbali. Namun demikian,
pemikiran intelektual al-Thufi yang
terbiasa berpikir bebas tidak pernah
terhenti (Haroen, 1996: 125). Tampaknya,
hal yang penting adalah kemampuannya
untuk membebaskan diri dari pengaruh
madzhab-madzhab hukum muslim yang
tradisional, khususnya dari kritik dan
kebencian mereka terhadap akal yang
kritis dan pangabaian terhadap prinsipprinsip-prinsip universal al-Qur,an, seperti
perlindungan terhadap kemaslahatan
manusia (Al-‘Amiri, 2004: 30).
Menurut riwayat, salah satu dari
karya-karya ath-Thufi yang hilang atau
yang mendapat kritikan pedas berjudul
Da’ al-Malam ‘an Ahl al-Mantiq wa
al-Kalam (Bantahan atau catatan terhadap pendukung logika dan teologi Sistematis), menegaskan bahwa adalah masuk
akal membela prinsip-prinsip logika dan
teologi rasional, dan membela terhadap
kaum muslimin awal yang telah menegakkannya, khususnya Kaum Mu’tazilah
(Zayd, 2004: 91). Dalam riwayat lain,
ath-Thufi Selama tinggal di Mesir, pernah
disiksa, diarak dijalan-jalan Kairo.
dipenjarakan dan kemudian dibuang oleh
penguasa politik atas permintaan para ahli
hukum tradisional, terutama oleh hakim
yang mewakili mazhab Hanbali di Kairo

Harun, Pemikiran Najmuddin Ath-Thufi tentang ...: 21-34

27

pada masa itu, Sa’id ad-Din al-Harisi
(Zayd, 2004: 30).
Konspirasi melawan ath-Thufi oleh
ulama atau para ahli hukum, tampaknya
terjadi karena penghormatannya terhadap akal dipandang telah menantang legitimasi,otoritas, kebenaran atau otentisitas
asumsi-asumsi dasar dari mazhab hukum
mereka, khususnya asumsi-asumsi mereka berkaitan dengan sunah Nabi. Karena
itu, penindasan-penindasan dan penyiksaan terhadap akal pikiran dan pembelanya sejak masa al-Mutawakkil w. 247
H/861 M (Al-‘Amiri, 2004: 30-31). Anehnya, pandangan-pandangan ath-Thufi
yang unik mengenai kemaslahatan manusia yang menolak sumber-sumber hukum
tradisional para cendekiawan dan kesimpulan mereka karena tidak Islami dan
bertentangan dengan akal manusia dan
kemaslahatannya tidak disebutkan oleh
para penuduh atau rekan sezamannya
dalam tulisannya perihal kehidupan athThufi dan isi pendapat-pendapatnya (terutama mengenai kemaslahatan manusia)
yang berbeda dengan para ahli hukum
yang memusuhi dan menyiksanya tidak
dijelaskan atau diriwayatkan.Meskipun ia
dikatakan telah dikenal oleh ahli hukum
mazhab Hanbali sampai akhir abad ke10 Hijriyah dan dipandang ia sebagai
ulama yang terkemuka (Al-‘Amiri, 2004:
32). Diantara ulama semasa ath-Thufi
yang menuduh, mengkritik, dan menganiayanya adalah Ibnu Rajab ahli hukum dan
ahli hadits Mazhab Hanbali, yang menuduh ath-Thufi sebagai pembohong tidak
bermoral. Dia berkata bahwa yang
mengikuti pendapat ath-Thufi dan berbagi
28

pendapat dengannya adalah lebih buruk
dari dia (Zayd, 2004: 34). Bahkan. Muhammad Zahid al-Kawsari menyatakan
pendapat ath-Thufi mengenai prioritas
hukum terhadap kemaslahatan manusia
sebagai atheisme yang terang-terangan
dan memusnahkan hukum agama. Hanya
ahli hadits kontemporer yang merespon
positip terhadap pandangan ath-Thufi
yaitu Muhammad Syalabi (Al-‘Amiri,
2004: 34).
Serangan keras Ibnu Rajab terhadap
ath-Thufi tidak banyak disebutkan dalam
karya tulisnya, meski fakta menyebutkan
adanya bukti bahwa ia menyadari eksistensi dan isinya. Hal ini didasarkan atas
dua argumen, yaitu : Pertama, Ibnu Rajab
telah mendaftar banyak buku yang dinisbatkan pada ath-Thufi, sekitar 30 jumlahnya, termasuk satu buku yang berisi satusatunya pendapatnya yang masih bertahan mengenai kemaslahatan manusia
yaitu Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah. Kedua, ia telah mengutip satu bagian dari tesis ath-Thufi tentang kemaslalahatan manusia, hanya saja tampaknya
ia sengaja menyalahgunakan untuk
mendiskreditkan penulisnya (ath-Thufi).
Pada akhirnya, teks-teks yang masih
bertahan yang memuat pandanganpandangan hukumnya mengenai kemaslahatan, dapat diamankan pada abad ini.
Misal, Jamal ad-Din al-Qasim setelah
mengedit pandangan ath-Thufi, serta perselisihan, saling membenci dan menfitnah
di antara madzhab-madzhab hukum yang
berbeda yang telah dipublikasikan oleh
Rasyid Ridho di Jurnal Mesir, al-Manar,
9 10, 1324 H/1906 M. Dan sebagian

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2009

perbaikan terhadap bagian-bgian yang
masih ada dipublikasikan oleh Mustafa
Zayd dalam karyanya :al-Maslahah fi alTasyri’ al-Islam wa Najm ad-Din alThufi (Al-‘Amiri, 2004: 35). Namun
respon kontemporer terha-dap pandangan
ath-Thufi sangat Negatif, karena absolutisme politik dan sektarianisme tradisional
dari masa lampau tampak belum berubah,
pandangan akal atau intlegensia yang
obyektif, baik dalam kehidupan politik,
hukum dan social masih belum dipandang
sebagai kreteria kebenaran atau standar
rujukan, meskipun aplikasinya selaras
dengan prinsip-prinsip al-Qur’an tentang
kebenaran universal. Sebaliknya perhatian diberikan kepada ketetapan-ketetapan politik atau dari otoritas tradisional
yang memusuhi pencarian manusia akan
kebenaran dan kebebasan ekspresi akal
pikirannya (Al-‘Amiri, 2004: 34). Dengan
kata lain, penekanan-penekanan terhadap
prinsip-prinsip al-Qur’an yang universal
tentang keadilan, kebebasan, penekanan
terhadap akal atau intlegensia obyektif
sebagai pedoman tindakan, dan persamaan dibidang hukum, yang merupakan
esensi-esensi dari kemaslahatan manusia
diabaikan oleh para yuris, ahli-ahli hukum
Islam tradisional ketika itu.
Seruan ath-Thufi mengenai tujuan
Islam yaitu, perlindungan kemasalahatan
manusia sebagai sumber atau prinsip
hukum tertinggi, didorong oleh penderitaan politik, hukum, dan social yang ia
alami atau praktek-praktek hukum dan
politik saat itu telah melumpuhkan
kehidupan muslim (Al-‘Amiri, 2004: 3436). Otoritas politik dan hukum untuk

menghukum para pendukung akal pikiran,
kebebasan berpikir dalam awal sejarah
muslim bermula dari pengambilan tindakan keras terhadap kaum khawarij dan
kaum mu’tazilah, para pengkritik terhadap hadits palsu yang dimasukkan kedalam ajaran-ajaran dan hukum Islam (Al‘Amiri, 2004: 36)
Atmosfir politik, hukum dan social
yang demikian, terjadi ketika penguasa
Mamluk menduduki jabatan puncak,
sultan, sebagian besar merupakan akibat
dari berlakunya prinsip yang kuat adalah
yang menang. Prinsip ini terus dipraktekkan oleh penguasa-penguasa Muslim
Mongol, ide-ide al-Qur’;an tentang
keadilan social, syura, kesamaan dibidang
hukum, dan kebebasan menyatakan
pendapat, secara permanent ditolak oleh
para ahli-ahli hukum Islam, yang berakibat para ahli hukum abad ke 9 Hijrah
(abad 15 M) yang menyatakan bahwa
Syari’ah bukan instrumen yang terus
menerus beroposisi yaitu oposisi terhadap
para penguasa dinasti atau militer atau
terhadap para gubernur yang tidak mewakili mereka dan ketetapan-ketetapannya,
tetapi seperangkat aturan-aturan (tradisional) yang tertutup yang diterapkan
pada masyarakat tanpa kaitan praktis
dengan kehidupan orang-orang yang
berkuasa. Inilah yang kemudian menjadi
rumusan final para ahli hukum mengenai
makna tertutupnya “pintu ijtihad” dan
penerapan “doktrin taqlid”. Akibatnya
para penguasa dan para penguasa dan
para pejabat pemerintah lainnya bukanlah
para pelayan masyarakat, tetapi para
tuan yang harus dilayani, ditakuti atau

Harun, Pemikiran Najmuddin Ath-Thufi tentang ...: 21-34

29

disogok, dirangkai dengan sikap tidak
toleran mereka terhadap semua bentuk
oposisi, tanpa peduli pada nilainya atau
kontribusinya bagi kemanusian yang lebih
baik. Dalam suasana kondisi politik,
hukum dan social semacam ini, ath-Thufi
menyerukan perlindungan terhadap
kemaslahatan manusia sebagai tujuan
hukum yang tertinggi (Al-‘Amiri, 2004:
36-42).
3. Corak Maslahah Pemikiran
Najmuddin al-Thufi
Pandangan Najmuddin ath-Thufi
tentang maslahah berangkat dari maqoshid asy-syari’ah bahwa hukum Islam
itu disyari’atkan untuk mewujudkan
kemaslahatan kemanusiaan universal.
Pemikirannya tentang maslahah bertolak
dari hadits Nabi saw. : Tidak boleh
memudaratkan dan tidak boleh pula
dimudaratkan orang lain ( Hadits
Riwayat al-Hakim, al-Baihaqi, alDaruqutni, Ibnu majah dan Ahmad ibn
Hanbal). Hadits ini, menurut ath-Thufi
adalah “Tidak sah tindakan yang
menyebabkan kerugian (pada orang lain)
kecuali karena sebab yang memaksa
(seperti hukuman bagi pelanggar hukum
yang dibenarkan oleh syara’). Sangsi
hukum atau kerugian semacam ini merupakan pengecualian dari aturan umum
mengenai tidak bolehnya tindakan merugikan (ath-Thufi, tt: 13). Menurut athThufi, hadits la dzarara wa la dzirara
diatas, memberikan prinsip umum mengenai tidak bolehnya melakukan tindakan
yang merugikan,yaitu tidak boleh melakukan atau menyebabkan kerugian atau
30

kerusakan social, harus diberi prioritas
pertimbangan diatas seluruh sumber
hukum tradisional atau argument-argumen madzhab-madzhab hukum muslim;
penggunaan sumber-sumber hukum tersebut harus dibatasi dalam rangka mengakhiri terciptanya kerugian dan kejahatan
social sebagai upaya merealisasikan
kebaikan atau kemaslahatan social dalam
praktek aktual (ath-Thufi, tt: 16).
Sumber-sumber hukum tradisional
yang paling kuat menurut ath-Thufi
adalah consensus para ahli hukum (ijma’)
dan teks-teks keagamaan ( al-Qur’an dan
Sunnah atau hadits-hadits Nabi). Jika dua
sumber ini sejalan dengan kemasalahatan
manusia, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun, jika tidak sejalan,
maka perlidungan kemaslahatan diprioritaskan dari kedua sumber tersebut.
Pemberian prioritas kepada perlindungan
kemaslahatan, kata ath-Thufi tidak dimaksudkan untuk menghentikan secara total
validitas dua sumber tersebut, tetapi untuk
menjelaskan fungsinya yang proposional
(at-Thufi, tt. : 17).
Menurutnya, perlindungan terhadap
kemaslahatan manusia merupakan
prinsip hukum paling tinggi karena ia
merupakan tujuan pertama agama dan
pokok dari maksud syari’ah. Untuk mendukung pendapat ini, ath-Thufi menyatakan bahwa perlindungan terhadap
kemaslahatan manusia sebagai tujuan
dibalik semua aturan hukum, dibalik
petunjuk Tuhan dan penciptaan manusia
serta cara-cara untuk memperoleh mata
pencaharian mereka (ath-Thufi, 2004:
55).

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2009

Konsekwensinya, dalam pendangan
ath-Thufi, hakim tertinggi atau otoritas
paling tinggi dari kemaslahatan hukum
dan social manusia adalah akal atau intelegensia manusia sendiri. Sebab menurutnya, kemaslahatan hukum atau social
dapat diketahui oleh mereka melalui
sinaran intelegensi, akal atau pengalaman
hidup mereka. Pengetahuan atau pola
pemahaman seperti ini sangat alami dan
telah dianugrahkan oleh Tuhan (Al‘Amiri, 2004: xxii).
Oleh sebab itu, kata ath-Thufi bahwa perlindungan terhadap kemaslahatan
manusia merupakan sesuatu yang riil
didalam dirinya dan tidak diperdebatkan.
Lain halnya dengan teks-teks keagamaan,
yang menurut ath-Thufi saling berbeda
dan bertentangan, tidak seperti perlindungan terhadap kemaslahatan manusia,
yang dipandang sebagai sesuatu yang riil
dan subtansial. Teks-teks keagamaan,
kadang-kadang bersifat mutawatir dan
kadang bersifat ahad, kadang jelas dalam
pernyataannya (secara harfiah dalam
aturan hukumnya atau qoth’i) dan ada
pula muhtamal (zhonni). Konsekwensinya, jika teks tersebut mutawatir dan
qoth’i maka bersifat meyakinkan atau
pasti, tetapi bisa jadi ia muhtamal atau
dhonni dari segi keumuman atau ketidakterbatasan signifikansinya. Jika demikian,
ia menyatakan, maka kepastian absolute
disangkal atau diragukan. Termasuk jika
teks hadits adalah ahad atau tidak mutawatir, maka ia dikatakan tidak meyakinkan, tidak peduli apakah ia jelas dalam
pernyataannya ataukah tidak, karena
otentisitas periwayatannya meragu-

kan.Oleh sebab itu, perlindungan terhadap kemslahatan manusia dipandang lebih
kuat atau lebih meyakinkan dari teks (atThufi, tt: 30).
Ath-Thufi lebih mendahulukan
kemaslahatan manusia dari pada ijma,
beragumentasi, bahwa pertama, ia menolak para ahli hukum yang mengklaim tidak
ada kemungkinan salah baikyang dinisbatkan pada ijma’ mereka sendiri maupun
pada consensus fiktif dari seluruh kaum
muslimin. Klaim ini didasarkan terutama
pada hadits Nabi : “ Umatku tidak akan
bersepakat pada kesesatan “ Ia menyatakan, jika ijma’ adalah bukti yang tidak
dapat dibantah, maka hal itu mungkin
disebabkan oleh person-person sendiri,
orang yang bersepakat secara bulat, atau
karena kesaksian terhadap tidak dapat
salahnya mereka oleh “teks keagamaan”,
yaitu oleh hadits disandarkan kepada
Nabi. Kedua, hadits “Umatku tidak akan
bersepakat pada kesesatan” tidak berarti
bahwa kaum muslimin telah bersepakat
bulat atau bahwa ijma’ mereka tidak
dapat salah atau bahwa seseorang harus
mengikutinya. Ia beralasan bahwa (a)
banyak kaum muslimin yang menolak
kandungan atau otentisitas hadits ini dan
juga ijma’ sendiri, termasuk khawarij,
kaum Syi’ah, kaum Zahiri dan orangorang semisal an-Nazzam, tokoh Mu’tazilah.(b) klaim bahwa ijma’ masyarakat
Muslim secara keseluruhan telah diterima
merupakan suatu klaim, kata ath-Thufi,
yang dibuat melalui ijma’ yakni ijma’
hukum, untuk membuktikan atau meligimasi ijma’, yang merupakan metode
argument yang salah yang mengandung

Harun, Pemikiran Najmuddin Ath-Thufi tentang ...: 21-34

31

upaya untuk membuktikan sesuatu
dengan dirinya sendiri. (c) ath-Thufi
mengatakan jika ia adalah hadits
mutawatir atau menyebar luas, maka
seseorang masih tidak dapat memberinya
kepastian yang mewajibkan untuk mengikutinya. Sebab,mungkin saja (dengan
asumsi hadits tersebut otentik) maksud
Nabi pada hadits itu adalah Umatku tidak
akan sepakat pada kesepakatan tidak
adanya iman (kufur) (makna non tradisional al-Qur’an mengenai kufr adalah
penyembunyian atau penyangkalan
kebenaran atau segala sesuatu sebagaimana adanya). Oleh sebab itu, ia berkesimpulan bahwa hadits semacam ini
bukan merupakan bukti atau argument
yang kuat atau wajibnya mengikuti ijma’,
kecuali menyangkut iman sebagai lawan
dari kufr. Ketiga, ath-Thufi mempertentangkan maksud dari hadits diatas,
Umatku tidak akan bersepakat pada
kesesatan dengan hadits lain yang
disandarkan pada Nabi, Umatku akan
terpecah belah menjadi 73 kelompok,
semuanya di neraka kecuali satu. Ia
kemudian menyatakan apa yang dimaksud dengan umat yang tidak akan bersepakat pada kesesatan adalah semua 73
kelompok atau satu kelompok diantara
yang selamat dari api neraka. Jika yang
dimaksud adalah seluruh kelompok, maka
hal itu menurutnya tidak valid, karena dua
alasan (1) sebagian dari mereka tidak
mendukung ijma’, seperti sudah disebutkan, dan dengan demikian, tidak valid
untuk mempertimbangkan ijma’ dari
orang-orang yang menolak ijma’. (2) di

32

antara kelompok-kelompok umat Islam,
ada beberapa kelompok yang dipandang
tidak beriman karena bid’ah mereka, dan
dengan demikian, orang kafir tidak
dipandang termasuk didalam ijma’. Akan
tetapi, jikayang dimaksud adalah kelompok yang selamat, maka kelompok semacam ini, kata ath-Thufi bukan seluruh
umat Islam, tetapi hanya sekirtar sepertujuh puluh tiga dari seluruh umat, yang
merupakan fragmen (pecahan) dari sub
bagian 73. Oleh sebab itu kandungan
hadits yang disandarkan pada nabi menjadi sepertujuh puluh tiga umat Muslim
tidak akan bersepakat pada kesesatan.
Ini merupakan ungkapan yang meragukan, kata ath-Thufi, yang tidak layak
disandarkan pada Nabi. Atau dengan
kata lain, hal ini merupakan pemalsuan,
meskipun ath-Thufi tampaknya dengan
sengaja menolak mengatakan demikian
secara langsung (ath-Thufi, tt: 31-33).
4. Komentar (catatan) terhadap
Pemikiran al-Thufi
Berpijak dari corak pemikiran athThufi diatas, dapat diambil kesimpulan
bahwa ath-Thufi lebih mendahulukan
maslahah, jika terjadi kontradiksi dengan
nash maupun ijma’. Menurut hemat
penulis, boleh jadi maslahah yang oleh alThufi lebih didahulukan dari pada nash,
bukan berarti meninggalkan nash, tetapi
secara subtansial mendukung jiwa nash,
yang oleh ahli ushul fiqh lebih dikenal
dengan Istihsan bil maslahah. Sebagaimana yang pernah dipraktekkan oleh
Umar bin Khothob. Istihsan adalah seba-

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2009

gai pengecualian hukum dari hukum yang
semestinya kepada hukum khusus,
dengan hukum khusus ini dipandang lebih
mudah untuk menggapai terwujudnya
kemaslahatan (maqashid syari’ah).
Secara tekstual Maslahah menurut
Al-Thufi berbeda dengan maslahah
menurut Imam Malik atau ulama ushul
fiqih, yang menggunakan maslahah
mursalah, menurut mereka meskipun
maslahah itu tidak terdapat dalam nash
tertentu, tetapi sejalan dengan semangat
(ruh) nash secara umum. Al-Thufi yang
melepaskan ketergantungan maslahah
pada nash. Maslahah yang dimaksud alThufi tampaknya berujung pada akal
semata. Namun secara kontekstual,
melepaskan ketergantungan maslahah
dari nash oleh ath-Thufi, bukan mengabaikan, tetapi secara implicit mendukung
semangat nash yaitu terwujudnya
maqasid syari’ah. Oleh sebab itu, sebenarnya tidak ada pertentangan pemikiran
ath-Thufi tentang maslahah dengan
Imam Malik atau ulama ushul fiqh pada
umumnya. Konsep maslahah ath-Thufi,
bila dicermati sama dengan konsep
Istihsan menurut Imam Malik.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan,
dapat disimpulkan bahwa:
1. Maslahah menurut pemikiran alThufi merupakan dalil syar’i yang
kehujahannya tidak bergantung pada
nash tetapi pada akal semata. Indikator bahwa sesuatu itu maslahah
atau tidak sangat ditentukan oleh
akal, tanpa petunjuk nash.Oleh
sebab itu, manurut al-Thufi, jika
terjadi kontradiksi dengan nash,
maslahah lebih didahulukan.
2. Teori maslahah al-Thufi ini secara
explicit berbeda dengan teori konsep
maslahah yang dianut oleh ulama
ushul fiqh seperti al-Ghozali Abu
Ishak al-Syathibi dan Ibnul Qayyim
al-Jauziyyah, yaitu dengan menggunakan teori maslahah mursalah,
maslahah yang dapat dijadikan dalil
untuk menetapkan hukum, harus
mendapat dukungan dari syara’.
Oleh sebab itu, yang dijadikan ukuran dalam menentukan kemaslahatan
itu adalah kehendak dan tujuan
syara’, bukan kehendak dan tujuan
manusia (akal).

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asmuni. 1978. Qaidah-Qaidah Fiqhiyyah. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Ghazali, Abu Hamid. 1980. al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul. Beirut: Dar al Kutub
al-”Ilmiyah’.
Al-Haj, Ibnu Amir. tt. al-Taqrir wa al-Tahbir. Mesir: al-Matba’ah al-Amiriyyah.

Harun, Pemikiran Najmuddin Ath-Thufi tentang ...: 21-34

33

Al Jauziyyah, Ibnul Qayyim. 1973. A’lam al-Muwaqqi’in. Beirut: Dar al-Jail.
Al Syathibi, Abu Ishak. 1973. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Beirut: Dar alMa’rifah.
Bakar, Al Yasa Abu. 1991. “Fiqh Islam dan Rekayasa Sosial, dalam Ari Anshori dan
Slamet warsidi (Ed.), Fiqh Indonesia DalamTantangan. Surakarta: FAI
– UMS.
Bakri, Asfari Jaya. 1996. Konsep Maqosid Syari’ah asy-Syathibi. Jakarta: Rajawali
Press.
Djazuli,A, dan Aen, Nurol. 2000. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. Jakarta:
PT Rajawali Grafindo.
Efendi, Satria. 1991. “Hukum Islam : Pelaksanaan dan Perkembangannya di Indonesia,
dalam Ari Anshori dan Slamet Warsidi (Ed.), Fiqh Indonesia Dalam
Tantangan. Surakarta: FAI – UMS.
Fuad, ahsun. 2005. Hukum Islam Indonesia. Yogyakarta: PT LKIS.
Haron, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos.
Hasan, Husein Hamid. Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami. Kairo: Dar
al-Nahdhah al-’Arabiyah.
Husein, Ibrahim Husein. 1988. “Memecahkan Permasalahan Baru “, dalam Jalaluddin
Rahmat. Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan.
Mas’ud, Muhammad Khalid. 1995. Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial,
terj. Yudian W Asmin. Surabaya: al-Ikhlas.
Safi, Louay. 1996. The Foundation of Knowledge a Comparation Studi Islamic
and Western Methods of Inquiry. Selangor: IIU.
Al-Thufi, Najmuddin. tt. Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah. Kairo: Dar al-Fikri.
__________________. 1998. Syarh Mukhtasshar al- Raudhah. Arab Saudi:
Mamlakah al-Arabiyah al-audiyyah.
Zahrah, Muhammad Abu. tt. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zaid, Mustashfa. tt. “al-Maslahah al-Tasyri’ al-Islami wa Najm al_din al-Thufi”, dalam
Nasrun Haroen. Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos.

34

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2009