PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA ANTARA SISWA YANG MENGGUNAKAN PROBLEM BASED LEARNING DENGAN DIRECT INSTRUCTION

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA ANTARA SISWA YANG MENGGUNAKAN PROBLEM BASED LEARNING DENGAN DIRECT INSTRUCTION

(Eksperimen di Madrasah Aliyah Negeri Ciledug, Cirebon)

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh: MOH NURUDIN

NIM 105016300603

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA ANTARA SISWA YANG MENGGUNAKAN PROBLEM BASED LEARNING DENGAN DIRECT INSTRUCTION

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

MOH. NURUDIN

NIM 105016300603

Di bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Zulfiani, M.Pd. Erina Hertanti, M.Si.

NIP. 1976 0309 200501 2002 NIP. 150 293 228

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA

ANTARA SISWA YANG MENGGUNAKAN PROBLEM BASED

LEARNING DENGAN DIRECT INSTRUCTION (Eksperimen di MAN Ciledug, Cirebon) ” disusun oleh Moh. Nurudin, NIM 105016300603, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dinyatakan LULUS pada Ujian Munaqasyah tanggal 11 Januari 2010 di hadapan Dewan Penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada bidang Pendidikan Fisika.

Jakarta, 11 Januari 2010

Panitia Ujian Munaqasyah

Tanda Tangan Ketua (Ketua Jurusan Pendidikan IPA),

Tanggal

23 – 02 – 2010 …………….. NIP. 150 299 475

Baiq Hana Susanti, M.Sc.

Sekretaris (Sekretaris Jurusan Pendidikan IPA) Nengsih Juanengsih, M.Pd.

22 – 02 – 2010 …………….. NIP. 1979 0510 2006 0420

Penguji I, Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.

22 – 02 – 2010 …………….. NIP. 1957 1005 198703 1 003

Penguji II, Drs. Ahmad Sofyan, M.Pd.

08 – 02 - 2010 …………….. NIP. 1965 0115 198703 1 020

Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.

NIP. 1957 1005 198703 1 003

ABSTRAK

MOH. NURUDIN (105016300603). Perbandingan Hasil Belajar Fisika Antara yang Menggunakan Problem Based Learning dengan Direct Instruction.

Skripsi Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

Penelitian ini dilakukan di Kelas XI IPA 1 (menggunakan PBL) dan Kelas

XI IPA 2 (menggunakan DI) Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Ciledug Kab. Cirebon pada materi Hukum Gravitasi. Pemilihan kedua kelas ini berdasarkan teknik purpossive sampling dan pengujian kehomogenan kedua kelas. Penelitian ini berlangsung sekitar dua bulan, dimulai dari September dan selesai Oktober 2009. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes berupa soal-soal pilihan ganda dan instrumen nontes berupa lembar observasi. Data hasil instrumen tes, dianalisis dengan uji analisis statistik berupa uji perbandingan nilai posttest kedua kelas, sedangkan data hasil instrumen nontes lembar observasi dianalisis secara kualitatif dan digunakan untuk mendeskripsikan tingkat ketercapaian proses pembelajaran.

Berdasarkan analisis data hasil penelitian, diperoleh bahwa perbedaan hasil belajar kedua kelas tidak signifikan. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t terhadap kedua nilai posttest. Hasilnya adalah

nilai t hitung = 1,7266 sedangkan nilai t tabel pada taraf signifikansi 1% adalah 2,665 dan pada taraf signifikansi 5% adalah 1,9976. Terlihat bahwa nilai t hitung < t tabel baik pada taraf signifikansi 1% maupun 5%.

Beberapa hal yang menyebabkan temuan ini adalah bahwa PBL dan DI mempunyai keunggulan masing-masing yaitu pengajaran keterampilan pemecahan masalah pada PBL dan sistematika proses pembelajaran pada DI, pengaturan jadwal pelajaran, dan faktor kebiasaan. Di Kelas XI IPA 1 yang menggunakan PBL, fisika selalu ditempatkan pada jam pelajaran terakhir dan setelah pelajaran eksakta lainnya seperti kimia, matematika, dan bilogi. Di samping itu, kelas ini belum terbiasa menggunakan PBL, sehingga masih kesulitan mengikuti rangkaian proses pembelajarannya. Oleh karena itu, direkomendasikan agar fisika tidak ditempatkan pada jam pelajaran terakhir dan setelah pelajaran eksakta lainnya. Juga agar dilakukan pembiasaan penerapan PBL terlebih dahulu sebelum penelitian.

Kata kunci : hasil belajar fisika, problem based learning (PBL), direct instruction (DI), ketercapaian proses pembelajaran.

ABSTRACT

MOH NURUDIN (105016300603). Comparison between Achievements of Physics Subject that uses Problem Based Learning and Direct Instruction. S1

Thesis of Physics Education Department, Faculty of Tarbiya and Teaching Training, State Islamic University of Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

The research was done in XI IPA 1 class (that used PBL) and XI IPA 2 class (that used DI) of State Islamic Senior High School (MAN) Ciledug, District of Cirebon in Law of Gravitation material lesson. Defining these two classes as sample of research based on purposive sampling technique and homogeneity test of these two classes. The research was done approximately in two months, was begun in September and finished in October, 2009. Instrument these were used in the research are test instrument that is multiple choices achievement test and non- test instrument that is observational sheet. Data that is got from test instrument will be analyzed by comparison statistical test, that is comparison between posttest result both of classes, in other side data that is got from observational sheet will be analyzed qualitatively and be used to explain degree of learning process filling.

Based on result of the analysis, we get conclusion that difference between both of posttest result of classes, is not significant. The conclusion is based on result of statistical test of hypothesis that used t test in both of result form classes. The result is, t o price is 1.7266, in other side t table price in degree of significance 1% is 2.665 and in degree of significance 5% is 1.9976. Can be seen that t o <t table price, in degree of significance 1% and 5%

Some things caused this result are PBL and DI have same qualification, PBL teach problem solving skill and DI have systematical learning processes, lesson schedule setting, and habits factor. In XI IPA 1 class that used PBL, physics subject always is placed in last time of lesson schedule and after other exact subjects such as chemistry, mathematics, and biology. In other side, this class is not yet costumed in using PBL, so they still have difficulties to follow processes series of PBL. So, it is recommended that it is better to not place physics subject schedule in last of schedule time and not after others exact subjects.

Keywords : physics subject achievement, problem based learning (PBL), direct instruction (DI), lesson processes fillings.

KATA PENGANTAR

Segala puji milik Allah SWT yang telah mengajarkan manusia dengan qolam , yang mengajarkan manusia segala sesuatu yang belum diketahuinya. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang dijadikan sebagai teladan terbaik bagi segenap manusia, juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya yang selalu menjaga kemurnian sunnah-nya.

Pemilihan judul skripsi ini didasarkan pada asumsi bahwa belum terdapat penelitian yang membandingkan PBI dan DI, setidaknya itulah yang diketahui peneliti. Dengan asumsi tersebut, maka dengan tekad yang kuat, terlaksanalah penelitian ini, walaupun dengan segala keterbatasan dan kekurangannya.

Apresiasi dan terima kasih yang setinggi-tingginya, disampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Semoga menjadi amal baik dan dibalas oleh Allah dengan balasan yang lebih baik. Secara khusus, apresiasi dan terima kasih tersebut disampaikain kepada:

1. Ayahanda KH. Taufik Faqih dan Ibunda Siti Maryam, yang kasih sayangnya kepada peneliti tak terbatas, semoga Allah selalu menyayangi keduanya sebagaimana keduanya menyayangi peneliti.

2. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Baiq Hana Susanti, M. Sc., Ketua Jurusan Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dr. Zulfiani, M. Pd., Dosen Pembimbing I dan Ibu Erina Hertanti, M.Si., Dosen Pembimbing II, yang selalu ada ketika peneliti kesulitan dalam penelitian ini.

5. Bapak Drs. Muhdi, Kepala MAN Ciledug Kab. Cirebon, dan Bapak Budi Susetyo, M.Pd., guru mata pelajaran Fisika, yang telah memberikan ijin penelitian dan menjadi konsultan terbaik selama eksperimen, dan seluruh sivitas akademika MAN Ciledug Kab. Cirebon.

6. Kakak dan Adik tercinta: Siti Muyasyaroh dan Muhammad Yusuf, Aep Saefullah dan Ceu I’ah, Iing Sholehuddin dan Nurdianah, Muhammad Tajudin, Siti Hafidhoh, Abdul Mugni, d an Khotimatussa’adah, tempat berkeluh kesah dan sumber inspirasi serta semangat, bagian kehidupan yang tak tergantikan.

7. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Cirebon Jakarta Raya (HIMA-CITA) dan Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) Jakarta Raya, rumah kedua bagi peneliti.

8. Rekan-rekan mahasiswa Pendidikan Fisika Angkatan 2005, yang menjadi keluarga kedua bagi peneliti. Lebih khusus kepada Khaerul Anwar, Samsul Bahri, Arip Rahman Fauzi, Ade Yusman, Amrizaldi, dan Sulaeman.

Atas semuanya semoga Allah SWT membalas dengan balasan yang lebih baik, jazákum ahsan al- jazâ‟.

Ciputat,

November 2009 M Dzulhijjah 1430 H

Moh. Nurudin

ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Belajar Menurut Bandura (Teori Belajar Sosial) ........ 25 Gambar 2.2 Bagan Kerangka Pikir ............................................................. 42 Gambar 4.1 Diagram Batang Hasil Pretest Kelas XI IPA 1 ...................... 59 Gambar 4.2 Diagram Batang Hasil Pretest Kelas XI IPA 2 ...................... 60 Gambar 4.3 Diagram Batang Hasil Posttest Kelas XI IPA 1 ..................... 61 Gambar 4.4 Diagram Batang Hasil Posttest Kelas XI IPA 2 ..................... 62 Gambar 4.5 Diagram Batang N-Gain Kelas XI IPA 1 .............................. 63 Gambar 4.6 Diagram Batang Kategorisasi N-Gain Kelas XI IPA 1 .......... 64 Gambar 4.7 Diagram Batang N-Gain Kelas XI IPA 2 .............................. 65 Gambar 4.8 Diagram Batang Kategorisasi N-Gain Kelas XI IPA 2 .......... 66

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Konstruktivisme Kognitif Piaget dengan Konstruktivisme Sosial Vygotsky ..........................

14 Tabel 2.2 Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah ............................

21 Tabel 2.3 Teori Perkembangan Sosial Menurut Bandura ....................

26 Tabel 2.4 Tahapan Pembelajaran Direct Instruction (DI) ...................

30 Tabel 3.1 Desain Penelitian .................................................................

45 Tabel 3.2 Kategori Derajat Kesukaran ...............................................

50 Tabel 3.3 Kategori Daya Beda ............................................................

51 Tabel 3.4 Lembar Uji Validitas Instrumen Nontes .............................

53 Tabel 4.1 Tabel Distribusi Frekuensi Hasil Pretest Kelas XI IPA 1 ....

58 Tabel 4.2 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Hasil Pretest Kelas XI IPA 1 ..............................................

59 Tabel 4.3 Tabel Distribusi Frekuensi Hasil Pretest Kelas XI IPA 2 ....

59 Tabel 4.4 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Hasil Pretest Kelas XI IPA 2 ...............................................

60 Tabel 4.5 Tabel Distribusi Frekuensi Hasil Posttest Kelas XI IPA 1 ...

61 Tabel 4.6 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Hasil Posttest Kelas XI IPA 1 ..............................................

61 Tabel 4.7 Tabel Distribusi Frekuensi Hasil Posttest Kelas XI IPA 2 ...

62 Tabel 4.8 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Hasil Posttest Kelas XI IPA 2 ..............................................

63 Tabel 4.9 Tabel Distribusi Frekuensi N-Gain Kelas XI IPA 1 .............

63 Tabel 4.10 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data N-Gain Kelas XI IPA 1 ........................................................

64 Tabel 4.11 Kategorisasi N-Gain Kelas XI IPA 1 ...................................

64 Tabel 4.12 Tabel Distribusi Frekuensi N-Gain Kelas XI IPA 2 ............

62 Tabel 4.13 Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data N-Gain Kelas XI IPA 2 ........................................................

66 Tabel 4.14 Kategorisasi N-Gain Kelas XI IPA 2 ...................................

vii

Tabel 4.15 Rekapitulasi Data Hasil Penelitian .....................................

67 Tabel 4.16 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kai Kuadrat ...................

68 Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ...................................

68 Tabel 4.18 Data Hasil Observasi ..........................................................

70 Tabel 4.19 Ketercapaian Proses Pembelajaran pada Setiap Pertemuan .

viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagian orang menganggap bahwa belajar merupakan kegiatan yang tidak menarik dan membosankan. Padahal belajar akan membuka jendela pemahaman manusia terhadap hakikat segala sesuatu. Dengan belajar, manusia akan dapat memahami hakikat diri, lingkungannya, dan hakikat pencipta diri dan lingkungannya.

Dalam hal ini, fisika dengan beberapa ilmu pengetahuan yang lain menempati urutan pertama bagi manusia dalam memahami hakikat alam semesta. Fisika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam (IPA) yang di dalamnya dipelajari segala fenomena yang terjadi di alam semesta sebagai lingkungan hidup manusia. Oleh karena itu, dengan mempelajari fisika berarti juga mempelajari hakikat alam semesta. Di samping itu, dengan mengetahui hakikat termasuk karakteristik alam semesta, manusia dapat menemukan cara-cara dan alat-alat yang dapat membantu untuk mempermudah usahanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Berdasarkan hal itu semua, maka sudah seharusnya bahwa fisika harus dipelajari secara menyenangkan. Karena mempelajari fisika berkaitan dengan kehidupan manusia yang menggantungkan hidupnya kepada alam. Fisika ditemukan dan dikembangkan berdasarkan masalah-masalah yang dihadapi manusia terkait dengan kehidupannya. Dari sini, tampak bahwa sebetulnya fisika dianjurkan untuk dipelajari oleh setiap orang.

Namun fakta yang ada di masyarakat adalah sebaliknya. Setidaknya terdapat anggapan bahwa fisika termasuk kelompok mata pelajaran yang sulit dan membosankan. Pelajaran fisika cenderung dianggap sulit dan membosankan oleh sebagian siswa. Bahkan anggapan ini hampir dimiliki oleh semua orang. Jika ditanyakan kepada seseorang tentang pelajaran yang dianggap sulit dan membosankan, hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar jawabannya akan menempatkan fisika pada kelompok pertama, yaitu Namun fakta yang ada di masyarakat adalah sebaliknya. Setidaknya terdapat anggapan bahwa fisika termasuk kelompok mata pelajaran yang sulit dan membosankan. Pelajaran fisika cenderung dianggap sulit dan membosankan oleh sebagian siswa. Bahkan anggapan ini hampir dimiliki oleh semua orang. Jika ditanyakan kepada seseorang tentang pelajaran yang dianggap sulit dan membosankan, hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar jawabannya akan menempatkan fisika pada kelompok pertama, yaitu

merasakan bahwa fisika termasuk mata pelajaran yang sulit. 1 Dengan mempelajari fisika, sebetulnya dapat lebih mengenal alam

sekitar. Pada akhirnya, akan lebih bijaksana dalam melakukan eksplorasi sumber daya alam tanpa melakukan eksploitasi. Permasalahan yang muncul kemudian adalah andaipun siswa mengetahui dan hapal akan konsep fisika yang diajarkan, tetapi hanya sebagian kecilnya saja yang memahami konsep tersebut. Sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan.

Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah. Padahal para siswa sangat butuh untuk dapat memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan tempat kerja dan masyarakat pada umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja.

Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan anggapan bahwa fisika itu sulit dan membosankan. Pertama, model pembelajaran yang digunakan guru sangat monoton. Metode ceramah merupakan metode yang secara konsisten digunakan oleh guru dengan urutan menjelaskan, memberi contoh, latihan, dan tugas rumah (PR). Tidak ada variasi metode pembelajaran yang dilakukan guru berdasarkan karakteristik materi pelajaran yang diajarkannya.

Kedua , guru jarang sekali memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan teman sebaya atau dengan guru dalam upaya mengembangkan pemahaman konsep-konsep dan prinsip-prinsip penting. Ketiga , pengajaran yang dilakukan oleh guru lebih menekankan pada manipulasi matematis, dimulai dengan difinisi konsep, kemudian menyatakannya dengan matematis. Hal ini teramati pula dari catatan-catatan

1 Berita diakses dari www.kompas.com yang dimuat pada tanggal 24 April 2008 dan

diakses pada 11 Juli 2009.

fisika siswa yang tidak jauh berbeda dengan catatan matematik, karena isinya hanya kumpulan rumus-rumus fisika.

Keempat , guru tidak memahami model penyelesaian soal-soal secara sistematis. Ketika mengajarkan pemecahan masalah, guru tidak mulai dengan menganalisis masalah, tidak mendeskripsikannya dalam deskripsi fisika, tidak berusaha untuk menggambarkannya dalam diagram-diagram, namun lebih menekankan pada pencocokan soal-soal dengan rumus yang dihapalkan. Kelima , guru lebih tertarik pada jawaban siswa yang benar tanpa menganalisis kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dan prosedur penyelesaiannya.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini, pada tahun 1997, The Cognition and Technology Group at Vanderbilt mengembangkan sebuah program tentang pembelajaran berbasis masalah (problem based learning, PBL atau problem based instruction, PBI) yang dinamai The Jasper Project. Program ini menyediakan beberapa kaset cakram padat (videodisc) berbasis petualangan yang didesain untuk mengembangkan kemampuan matematika siswa kelas lima ke atas. Ternyata program ini sekaligus dapat membantu siswa untuk menghubungkannya dengan konsep- konsep pelajaran lain. Proyek ini difokuskan pada dua buah petualangan yang membutuhkan penyelesaian masalah. Petualangan pertama berjudul Blueprint of Success dan petualangan kedua berjudul The Big Splash. Di akhir penelitian ini ditemukan sebuah fakta bahwa siswa yang mengikuti program ini mempunyai tingkat motivasi dan kinerja akademik yang lebih baik daripada

yang tidak mengikuti program ini. 2 Dalam upaya yang serupa, Reynold dan Farell pada tahun 1996

melakukan sebuah penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian komparasi bertaraf internasional. Salah satu contohnya adalah yang berjudul World Apart Report . Laporan ini menjelaskan perbandingan metode yang digunakan di Inggris dan yang digunakan di Singapura. Para penulis laporan ini menemukan fakta bahwa salah satu faktor yang meyebabkan perbedaan hasil belajar siswa

2 John W Santrock, Educational Psychology, 2 nd Edition (New York: The McGraw Hill

Companies, Inc., 2004), h. 301 – 302.

di kedua negara itu adalah penggunaan pengajaran interaktif whole-class yang merupakan salah satu faktor utama Direct Instruction (DI). 3

Berdasarkan uraian di atas, maka diasumsikan bahwa kedua pembelajaran ini dapat meningkatkan hasil pembelajaran dan menjadikan pembelajaran berlangsung menyenangkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan sebuah eksperimen yang mencoba memberikan sebuah solusi bagi permasalahan di atas dengan cara menerapkan model pembelajaran PBL dan DI dan dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar dan mengubah persepsi siswa terhadap pelajaran fisika menjadi lebih positif.

Pada penelitian ini akan diterapkan dua jenis model pembelajaran, yaitu model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning, PBL) dan model pembelajaran langsung (Direct Instruction, DI). Kedua model pembelajaran ini dianggap akan mampu memberikan solusi terhadap permasalahan sebagaimana diuraikan pada penjelasan di atas. Hal itu dikarenakan kedua model pembelajaran tersebut merupakan model pembelajaran yang lebih bermakna sehingga dapat membekali siswa dalam menghadapi permasalahan hidup yang akan mereka hadapi dalam kehidupannya.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah pada penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Mengapa fisika dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan membosankan dibandingkan dengan pelajaran lain?

2. Bagaimana signifikansi peningkatan hasil belajar siswa setelah diberikan perlakuan berupa penerapan model PBL pada kelompok A dan DI pada kelompok B?

3. Bagaimana perbandingan hasil belajar fisika antara kelompok A yang menggunakan PBL dengan kelompok B yang menggunakan DI?

3 Daniel Muijs dan David Reynolds, Effective Teaching; Evidence and Practice, 2 nd Edition

(London: SAGE Publication, Ltd, 2005), h. 29.

C. Batasan Masalah

Semua permasalahan yang diuraikan di atas tidak mungkin untuk diteliti semua karena keterbatasan penelitian ini. Di samping itu, semua variabel dalam penelitian ini tidak memungkinkan untuk dikontrol semua. Oleh karena itu, dalam penelitian perlu dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Hasil belajar fisika yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan hasil tes kognitif saja. Ranah kognitif yang dinilai berdasarkan taksonomi

Bloom yang sudah direvisi oleh Madaus, dkk. 4 Ranah kognitif yang akan diukur pada penelitian ini adalah mulai C1 sampai dengan C4.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar yang dijadikan bahan analisis dalam penelitian ini hanya dibatasi pada penerapan model PBL dan DI. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar hanya dijadikan sebagai acuan pengambilan kesimpulan saja.

3. Konsep materi pelajaran yang diberikan kepada masing-masing kelompok selama eksperimen adalah konsep hukum gravitasi yang diajarkan pada semester ganjil kelas XI.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana perbandingan hasil belajar fisika antara siswa yang menggunakan PBL dengan yang menggunakan DI?”

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan hasil belajar fisika antara yang menggunakan PBL dengan yang menggunakan DI. Selanjutnya, hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai rujukan untuk memilih model yang lebih tepat dalam pembelajaran fisika di sekolah.

4 Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h.117 – 121.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak yang terlibat langsung terhadap penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

1. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk meningkatkan hasil belajar fisika dan dapat mengurangi kebosanan selama pembelajaran fisika berlangsung.

2. Bagi guru mata pelajaran fisika, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif pilihan untuk menggunakan model pembelajaran yang lebih efektif dalam pembelajaran fisika.

3. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dalam bidang penelitian pendidikan dan model-model pembelajaran yang akan menjadi bekal untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata setelah menyelesaikan studinya.

BAB II KAJIAN TEORETIS, KERANGKA PIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Teoretis

1. Teori Belajar Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan salah satu pendekatan belajar yang menyatakan bahwa siswa akan belajar dengan lebih baik jika siswa secara

aktif membangun (construct) sendiri pengetahuan dan pemahamannya. 5 Dalam hal ini, siswa belajar dengan mengembangkan pengetahuan awal

yang sudah terlebih dahulu dimilikinya. Dengan bermodalkan pengetahuan awal ini, siswa mencoba membangun sendiri pengetahuan dan pemahamannya didasarkan pada informasi-informasi baru yang diterimanya baik dari lingkungan maupun dari orang-orang yang berada di sekitarnya.

Oleh karena itu, para pakar konstruktivisme (constructivist) yakin bahwa pengetahuan itu tidak mutlak, melainkan dibangun oleh pembelajar berdasarkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya dan pandangannya

terhadap dunia di sekitarnya. 6 Para pakar konstruktivisme juga mengemukakan bagaimana pengetahuan dapat disusun sehingga dapat

dipelajari, yaitu dengan cara para pembelajar sendiri yang harus aktif sehingga pembelajar dapat memilih dan menginterpretasikan informasi yang diperolehnya dari lingkungan di sekitar dirinya.

Konstruktivisme menjelaskan bahwa pemahaman bisa didapat dari interaksi seseorang dengan lingkungannya, konflik kognitif dapat mendorong seseorang untuk belajar, dan pengetahuan dapat terbentuk ketika siswa menegosiasikan situasi sosial dan mengevaluasi pemahaman individualnya. Terdapat banyak teori yang menjelaskan konstruktivisme.

5 John W Santrock, Educational Psychology, 2 nd Edition, (New York: McGraw Hill Companies Inc., 2004), h. 314.

6 Maggi Savin-Baden dan Claire Howell Major, Foundation of Problem-based Learning, (London: SRHE, tt), h. 29.

Teori-teori tersebut menjelaskan bagaimana sebuah pengetahuan dan pemahaman terbentuk pada diri seseorang. Dua di antaranya adalah teori konstruktivisme kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan konstruktivisme sosial yang dijelaskan oleh Lev Vygotsky.

a. Konstruktivisme Kognitif Piaget

Teori konstruktivisme kognitif ini tidak terlepas dengan teori Piaget tentang teori perkembangan kognitif. Dalam penjelasannya mengenai bagaimana pengetahuan terbentuk pada diri seseorang selalu dikaitkan dengan perkembangan kognitifnya. Piaget menyatakan bahwa pembelajaran akan berjalan dengan sukses jika sesuai dengan perkembangan kognitif siswa. Oleh karena itu, konstruktivisme ini disebut dengan konstruktivisme kognitif.

Dalam membangun pemahaman tentang lingkungannya secara aktif, anak-anak menggunakan skema (schema atau scheme, bentuk

jamaknya adalah schemata). 7 Skema merupakan sebuah konsep atau kerangka kerja (framework) yang menempatkan pikiran seseorang

untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi. Skema dapat berubah dari bentuk yang sangat sederhana (misalnya skema tentang sebuah mobil) sampai bentuk yang sangat kompleks (misalnya skema tentang alam semesta). Piaget tertarik dengan skema-skema dan

terfokus dengan bagaimana seorang anak dapat mengorganisasikan pengalaman yang sedang dialaminya menjadi sebuah pengetahuan.

Berkenaan dengan ini, Piaget mengatakan bahwa dua proses yang berperan dalam bagaimana seseorang menggunakan dan mengadaptasi skema adalah asimilasi (assimilation) dan akomodasi (accomodation). Asimilasi berperan ketika seseorang memadukan sebuah pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah ada. Dalam hal ini, orang tersebut mengasimilasikan lingkungan ke dalam skema.

7 John W Santrock, Op.Cit., h. 39 dan Kro‟s Report, Theories of Human Learning (The Koron Exploration Department, tt), h. 204.

Di sisi lain, akomodasi berperan ketika seseorang memasukkan dirinya ke dalam informasi baru. Dalam hal ini, orang tersebut memasukkan skema ke dalam lingkungan.

Sebagai contoh, seorang anak berusia delapan tahun diberi sebuah palu dan paku untuk menggantungkan sebuah foto di dinding. Dia tidak pernah menggunakan palu, tetapi dari pengamatannya terhadap orang yang menggunakannya, dia memahami bahwa palu adalah sebuah benda yang dapat digunakan untuk memasukan paku ke dalam dinding dengan cara memegang pegangan palu tersebut dan memukulkan kepala palu ke paku. Berdasarkan hal ini, anak tersebut menyesuaikan perilakunya ke dalam skema yang telah ada (asimilasi). Tetapi palu itu terlalu berat, sehingga ia memegangnya di dekat kepala palu tersebut. Ketika ia mulai memukulkan palu tersebut, ia memukul terlalu keras sehingga paku yang akan dimasukkan ke dalam dinding menjadi bengkok, sehingga pada pukulan berikutnya ia mulai menyesuaikan pukulannya agar paku tidak bengkok lagi. Perilaku ini menunjukkan bahwa ia merefleksikan kemampuannya ke dalam

konsep lingkungannya (akomodasi). 8 Kedua konsep ini, asimilasi dan akomodasi, merupakan perilaku adaptasi yang dilakukan oleh setiap

orang. 9 Piaget juga menekankan bahwa untuk membuat pemikiran

tentang dunianya, seseorang secara kognitif mengorganisasikan (organize) pengalaman-pengalamannya. Organisasi merupakan konsep yang diusulkan Piaget tentang pengelompokkan perilaku yang terisolasi menuju tingkat yang lebih tinggi, dan merupakan sistem kognitif. Dengan kata lain, organisasi merupakan pengelompokkan atau penyusunan segala sesuatu ke dalam kategori-kategorinya.

8 Ibid., h. 39 – 40. 9 John L. Phillips, Jr., The Origins of Intellect: Piaget‟s Theory, (San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1969), h. 7 – 10.

Penggunaan organisasi akan dapat mengembangkan memori jangka panjang (long-term memory).

Penyaringan dan perbaikan yang terus-menerus terhadap organisasi ini merupakan bagian yang inheren dari pembangunan dan pengembangan pengetahuan. Seorang anak yang mempunyai pengetahuan samar-samar tentang cara bagaimana menggunakan palu sangat mungkin akan mempunyai pengetahuan yang samar-samar pula tentang cara menggunakan alat-alat lain. Setelah mempunyai pengetahuan tentang cara menggunakan salah satu alat tersebut, anak itu akan menghubungkannya dengan cara menggunakan benda-benda lainnya, atau dengan kata lain mengorganisasikan pengetahuannya. Dengan cara yang sama, seorang anak akan terus-menerus memadukan dan mengkoordinasikan cabang-cabang pengetahuan lain yang kadang-kadang berkembang terpisah dan merangkainya menjadi sebuah pengetahuan baru yang terpadu.

Konsep lain berkenaan dengan ini adalah ekuilibrasi (equalibration). Ekuilibrasi adalah sebuah mekanisme yang diusulkan Piaget untuk menjelaskan bagaimana seorang anak dapat berpindah dari tahap kognitif yang satu ke tahap kognitif berikutnya. Kenaikan tahap kognitif ini terjadi ketika seorang anak mengalami konflik kognitif atau diekulibrium dalam memahami lingkungannya. Piaget yakin bahwa perubahan akibat konflik kognitif ini disebabkan oleh asimilasi atau akomodasi.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukannya, Piaget mengelompokkan perkembangan kognitif ke dalam empat tahapan. Keempat tahapan perkembangan kognitif ini berhubungan dengan perkembangan usia seseorang yang diikuti perkembangan cara berpikirnya. Keempat tahapan tersebut adalah tahap sensorimotor (0 –

2 tahun), preoperational (2 –7 tahun), concrete operational (7–11

tahun), dan formal operational (11 10 –menjelang dewasa). Phillips menggolongkan tahapan-tahapan perkembangan kognitif Piaget

menjadi tiga periode, yaitu periode sensorimotor (0 – 2 tahun), periode concrete operation (2 – 11 tahun), dan periode formal operation (11 –

15 tahun). 11 Berkaitan dengan proses pembelajaran, Piaget 12 mengemukakan bahwa pembelajaran yang baik harus melibatkan pemberian situasi-

situasi sehingga seorang anak dapat secara mandiri melakukan eksperimen atau mencoba segala sesuatu yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, simbol-simbol, mengajukan pertanyaan, dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokan yang ia temukan pada suatu saat dengan yang ia temukan pada saat yang lain, dan membandingkan temuannya dengan temuan anak lain. Pernyataan ini sangat berkaitan dan didasarkan dengan konsep Piaget tentang konstruktivisme kognitif dan tahapan-tahapan perkembangan kognitif seseorang.

b. Konstruktivisme Sosial Vygotsky

Sebagaimana Piaget, Vygotsky percaya bahwa seorang anak akan secara aktif membangun sendiri pengetahuannya. Tiga inti pandangan Vygotsky tentang hal ini adalah sebagai berikut.

1. Keterampilan kognitif seorang anak hanya dapat dipahami ketika ketarampilan kognitif tersebut dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan

terpadu dengan keterampilan kognitif lain yang bersangkutan.

perkembangannya

secara

2. Keterampilan-keterampilan kognitif dimediasi dengan kata-kata, bahasa, dan bentuk percakapan sebagai alat psikologis untuk memfasilitasi dan mentransformasikan aktivitas mental.

10 John W Santrock, Op.Cit. h. 40. 11 John Phillips, Jr., Op. Cit. h. xv – xvi. 12 Muslimin Ibrahim dan Mohamad Nur, Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Buku Ajar

Mahasiswa) , (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2000), h. 17 – 18.

3. Keterampilan-keteramplan kognitif mempunyai asal-usul dalam hubungan sosial dan tersimpan dalam latar belakang sosiokultural.

Menurut Vygotsky, melakukan pendekatan perkembangan kognitif berarti memahami fungsi kognitif seorang anak dengan menguji asal-usul dan transformasinya dari bentuk awal ke bentuk akhir. Sebagai contoh, perilaku mental yang terpisah seperti perilaku menggunakan kemampuan berpidato tidak dapat dipelajari secara baik jika dipelajari secara terpisah, tetapi dapat dievaluasi sebagai salah satu tahap dari proses perkembangan mental.

Klaim kedua Vygotsky tersebut adalah bahwa untuk memahami fungsi-fungsi kognitif, sangat penting untuk menguji alat-alat yang menjadi mediasinya dan selalu memperbaikinya, dalam hal ini Vygotsky yakin bahwa bahasa merupakan alat mediasi kognitif yang paling penting. Alasan tentang anggapan bahwa bahasa merupakan alat mediasi yang terpenting adalah bahwa pada masa anak-anak, bahasa mulai digunakan oleh mereka untuk membantu mereka dalam merencanakan aktivitasnya dan memecahkan masalah.

Berkenaan dengan klaim ketiganya bahwa keterampilan kognitif berasal dari hubungan sosial dan budaya, Vygotsky menggambarkan bahwa perkembangan kognitif seorang anak dapat terinspirasi dari aktivitas-aktivitas sosial dan budaya. Ia yakin bahwa perkembangan memori, perhatian, dan pemikiran meliputi belajar untuk menggunakan temuan yang berkembang di masyarakat, seperti bahasa, sistem matematis, dan strategi memori. Sebagai contoh, dalam sebuah budaya, terdapat cara belajar menghitung dengan menggunakan komputer, mungkin di budaya lain terdapat belajar

menghitung dengan menggunakan jari atau menggunakan tasbih. 13 Teori Vygotsky ini didasari oleh ketertarikannya terhadap

pandangan bahwa pengetahuan itu tersituasikan (situated) dan

13 John W Santrock, Op. Cit., h. 51 – 53.

terkolaborasi (collaborative). Dalam hal ini, pengetahuan disebarkan melalui orang dan lingkungan yang meliputi benda-benda, artifak, alat, buku, dan komunitas di mana orang tersebut tinggal. Hal ini mengilhami bahwa belajar yang lebih baik adalah belajar dengan orang lain dalam kegiatan kelompok. Oleh karena itu, konstruktivisme yang

dikembangkan oleh Vygotsky dinamakan dengan konstruktivisme sosial karena penekanannya pada interaksi sosial dalam pembelajaran.

Ide kunci Vygotsky tentang konstruktivisme sosial ini adalah konsepnya tentang zone of proximal development (ZPD). Menurutnya, seorang anak mempunyai dua tingkat perkembangan, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual adalah penggunaan fungsi intelektual individu suatu saat dan kemampuan untuk belajar sesuatu yang khusus atas kemampuannya

perkembangan potensial didefinisikan oleh Vygotsky sebagai tingkat seseorang ketika dapat menggunakan fungsi tersebut atau mencapai tingkat itu dengan bantuan orang lain, seperti guru, orang tua, atau teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih tinggi. Zona antara tingkat perkembangan aktual seseorang dengan tingkat perkembangan potensial disebut zona perkembangan terdekat yang didefinisikan sebagai tingkat perkembangan yang sedikit di atas tingkat

sendiri.

Tingkat

perkembangan seseorang saat itu. 14 ZPD yang diusulkan Vygotsky ini mempunyai batas bawah dan

batas atas. Tugas-tugas dalam ZPD terlalu sulit bagi anak untuk dikerjakan sendiri. Oleh karena itu, mereka membutuhkan bimbingan dari orang dewasa atau anak yang mempunyai kemampuan lebih tinggi. Selama pengalamannya dalam pengajaran verbal dan demonstrasi, seorang anak mengorganisasikan informasi yang ada

14 Muslimin Ibrahim dan Mohamad Nur, Op. Cit, h. 18 – 19.

dalam struktur mentalnya, sehingga pada akhirnya mereka dapat melakukan keterampilan yang dibimbingkan tersebut secara mandiri. 15

Konsep yang sangat erat kaitannya dengan ZPD adalah konsep scaffolding yang diartikan sebagai sebuah cara untuk mengubah tingkatan bimbingan. Setelah sesi rangkaian pembelajaran, seseorang yang mempunyai keterampilan lebih tinggi (guru atau anak yang mempunyai kemampuan lebih tinggi) memberikan sejumlah bimbingan untuk menyesuaikan tingkatan keterampilan pada saat itu. Ketika tugas yang diberikan kepada siswa yang sedang belajar merupakan tugas baru, orang yang mempunyai keterampilan yang lebih tinggi ini menggunakan pengajaran langsung (direct instruction). Setelah kompetensi siswa tersebut bertambah, maka pemberian

bimbingan mulai dikurangi. 16 Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikemukakan beberapa

perbedaan antara teori konstruktivisme kognitif Piaget dan konstruktivisme sosial Vygotsky. Pada tabel berikut ini, disajikan perbandingan antara konstruktivisme kognitif Piaget di satu sisi dan konstruktivisme sosial Vygotsky di sisi lain.

Tabel 2.1 Perbandingan Konstruktivisme Kognitif Piaget dan Konstruktivisme Sosial Vygotsky

Topik yang

Vygotsky dibandingkan

Piaget

Konteks

Penekanan yang lebih Penekanan yang lebih

Konstruktivisme Konstruktivisme kognitif Konstruktivisme sosial

15 John W Santrock, Op. Cit., h. 52. 16 Ibid.

Penekanan yang kuat Tidak

ada tahapan

pada

tahapan-tahapan perkembangan yang (sensorimotor, praopera- diusulkan.

Tahapan

sional, kongkrit operasio- nal,

dan

formal

operasional Skema,

asimilasi, ZPD, bahasa, diskusi, alat-

akomodasi,

operasi, alat kebudayaan (tools of

Proses kunci

konservasi, klasifikasi, the culture ) pemikiran

deduktif-

hipotetik Pendidikan

hanya Pendidikan memainkan

Pandangan

merupakan

peranan sentral,

terhadap

perkembangan

membantu anak

pendidikan

keterampilan

kognitif mempelajari alat-alat

anak yang telah ada.

kebudayaan.

Guru

merupakan fasilitator dan pemandu, fasilitator dan pemandu, bukan

merupakan Guru

pengarah (director), menyediakan (director);

pengarah bukan

memberikan

Implikasi

bimbingan bagi anak banyak kesempatan

pengajaran

untuk

mengeksplorasi kepada anak untuk belajar

dunianya

dan bersama dengan guru atau

menemukan pengetahuan teman

sejawat yang mempunyai kemampuan lebih tinggi

Di antara model pembelajaran yang menggunakan konstruktivisme kognitif Piaget dan konstruktivisme sosial Vygotsky sebagai landasan teorinya adalah problem based learning (PBL) atau pembelajaran berbasis

masalah dan direct instruction (DI) atau pengajaran langsung. Berikut ini adalah penjelasan rinci tentang kedua model pembelajaran tersebut.

2. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning, PBL)

a. Definisi dan Landasan Teori

Tidak seperti pada pembelajaran konvensional yang memusatkan perhatian pada masalah setelah pemberian instruksi-instruksi dasar pada fakta dan keterampilan, PBL dimulai dengan pengamatan terhadap sebuah masalah, selanjutnya proses pembelajaran dilakukan berkaitan dengan fakta dan keterampilan dalam konteks yang relevan diberikan.

PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi

pelajaran. 17 PBL menyarankan kepada siswa untuk mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan. PBL

memberikan tantangan kepada siswa untuk belajar sendiri. Dalam hal ini, siswa lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit bimbingan atau arahan guru sementara pada pembelajaran konvensional, siswa lebih diperlakukan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan secara terstruktur oleh seorang guru.

Model pembelajaran berbasis masalah membuat siswa bertanggung jawab pada pembelajaran mereka melalui penyelessaian masalah dan melakukan kegiatan inkuiri dalam rangka mengembangkan proses penalaran. Pembelajaran berbasis masalah lebih menempatkan guru sebagai fasilitator dari pada sebagai sumber. Pembelajaran Berbasis Masalah juga mendukung siswa untuk

17 Kunandar, Op. Cit., h. 354.

memperoleh struktur pengetahuan yang terintegrasi dalam masalah dunia nyata, masalah yang akan dihadapi siswa dalam dunia kerja atau

profesi, komunitas, dan kehidupan pribadi. 18 PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa

untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah. PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pembelajar (siswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended

melalui stimulus dalam belajar. 19 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa PBL merupakan model pembelajaran yang dimulai dengan suatu

permasalahan yang selanjutnya akan dicarikan solusinya. Sebagaimana umumnya model-model pembelajaran lain, PBL

memiliki beberapa landasan teori khusus yang membedakannya dengan model pembelajaran lain. Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa PBL mempunyai landasan teori utama konstruktivisme, baik itu konstrukvisme kognitif Piaget maupun konstruktivisme sosial Vygotsky. Namun demikian, di samping konstruktivisme, PBL juga dilandasai oleh beberapa teori pembelajaran yang lain. Beberapa di antaranya adalah teori pembelajaran demokratis Dewey dan pembelajaran penemuan Bruner. Berikut ini adalah penjelasannya.

1. Dewey dan Kelas Demokratis Dewey menggambarkan suatu pandangan tentang pendidikan agar sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah

kehidupan nyata. Dewey juga menganjurkan guru untuk mendorong

18 Suchaini, “Pembelajaran Berbasis Masalah,” artikel diakses pada tanggal 23 Januari 2009 dari http://suchaini.wordpress.com/2008/12/15/pembelajaran-berbasis-masalah/

19 I Wayan Dasna dan Sutrisno, “Pembelajaran Berbasis Masalah”, artikel diakses pada tanggal 23 Januari 2009 dari http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/19/pembelajaran-berbasis-

masalah/

siswa terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual sosial.

Pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memiliki manfaat daripada abstrak dan pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang menarik dan pilihan mereka sendiri. Visi pembelajaran yang berdaya guna atau berpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan bawaan siswa untuk menyelidiki secara pribadi situasi yang bermakna secara jelas menghubungkan PBL kontemporer dengan filosofi pendidikan dan pedagogi Dewey.

2. Bruner dan Pembelajaran Penemuannya Jerome Bruner mengajukan sebuah model pembelajaran yang

menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu. Hal ini akan menuntut siswa untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran. PBL juga bergantung pada konsep lain dari Bruner, yaitu scaffolding. Bruner memerikan scaffolding sebagai suatu proses ketika seorang siswa dibantu menuntaskan

melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan (scaffolding) dari seorang guru atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih. Konsep scaffolding ini sama dengan konsep scaffolding yang diajukan Vygotsky pada

masalah

tertentu

teorinya tentang konstruktivisme sosial. 20

b. Karakteristik Utama PBL

PBL memiliki karakteristik-karakteristik khusus yang membedakannya dengan model pembelajaran lain. I Nyoman Pasek menyebutkan bahwa karakteristik PBL adalah sebagai berikut.

20 Muslimin Ibrahim dan Mohamad Nur, Op. Cit., h. 15 – 24.

a. Pengajuan pertanyaan atau masalah PBL dimulai dengan pengajuan pertanyaan atau masalah, bukannya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau keterampilan-keterampilan tertentu. PBL mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan atau masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan

nyata dan autentik untuk menghindari jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.

b. Berfokus pada keterkaitan antardisiplin Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu, namun masalah yang dipilih benar-benar nyata. Hal itu dimaksudkan agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah

itu dari banyak mata pelajaran.

c. Penyelidikan autentik PBL menghendaki siswa untuk melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka

harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan.

d. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya PBL menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artifak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk tersebut dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Karya nyata itu kemudian didemonstrasikan

kepada teman-temannya yang lain tentang hal yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif terhadap laporan tradisional atau makalah.

e. Kerjasama PBL dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu sama lain. Bentuk kerja sama ini dilakukan paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog serta untuk

mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir. 21 Dengan bahasa yang sedikit berbeda, Warmada mengungkapkan

bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam PBL, yaitu sebagai berikut.

a. Permasalahan atau tugas (triggering problem /question). Permasalahan yang disajikan sebaiknya memenuhi karakteritik sebagai berikut.

1) Tidak mempunyai struktur yang jelas sehingga siswa terdorong untuk membuat sejumlah hipotesis dan mengkaji berbagai kemungkinan penyelesaian masalah. Permasalahan yang kurang berstruktur ini sebaiknya dirancang oleh guru, agar siswa termotivasi dan berkesempatan untuk secara bebas mencari informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber.

2) Cukup kompleks dan ambigu sehingga siswa terdorong untuk menggunakan strategi-strategi penyelesaian masalah dan keterampilan berpikir tingkat tinggi seperti melakukan analisis dan sintesis, evaluasi, dan pembentukan pengetahuan dan pemahaman baru.