Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Su (1)

Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit
Diwujudkan
Oleh: Syahyuti
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jalan. A. Yani No. 70 Bogor. 16161
Pendahuluan
Satu kebijakan terakhir yang paling penting di bidang
pembangunan pertanian yang berkaitan dengan permasalahan agraria
dalam setahun ini adalah kebijakan tentang “lahan abadi” pertanian.
Hal ini disampaikan pemerintah sebagai salah satu bagian dari
Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK). Namun, jika
dicermati secara mendalam, ada persoalan mendasar dibalik itu yang
dapat menggagalkan implementasinya di lapangan. Hal yang
mendasar tersebut adalah tidak cukup kuatnya dukungan tata
perundang-undangan,
belum terpadunya penataan ruang secara
nasional maupun wilayah, dan lemahnya peran Deptan secara
kelembagaan.
Mewujudkan kebijakan tentang lahan abadi sedikit banyak akan
sama dengan sulitnya mengendalikan konversi lahan pertanian ke non
pertanian. Meskipun sudah banyak himbauan dan peraturan dibuat,

namun konversi lahan tetap terjadi. Akar permasalahannya adalah
karena aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah kurang memiliki
landasan yang kuat dalam hukum agraria nasional, dibandingkan
dengan aspek penguasaan dan pemilikan tanah.
Pembaruan agraria, atau adakalanya disebut dengan “Reforma Agraria”, dari asal
kata Agrarian Reform, terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan
pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi
tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. Namun
sayangnya, sebagian besar pihak terutama kalangan LSM, lebih banyak yang tertarik
kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”, atau disebut dengan
aspek landreform. Di sisi lain, Deptan sebagai departemen teknis misalnya, program dan
kebijakannya lebih berkaitan dengan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, yaitu
bagaimana menghasilkan produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah
dengan merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit usaha,
keterampilan petani, dan lain-lain. Ketidaklengkapan perhatian terhadap konsep
pembaruan agraria telah memberikan hasil yang parsial pula. Itulah kenapa Revolusi
Hijau (aspek pengusahaan) yang tidak didahului oleh program landreform (aspek
penguasaan), hanya mampu mencapai peningkatan produksi dan swasembada, namun
tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi petaninya.
1


Permasalahan ini akan dibahas dalam tulisan ini, yang
merupakan kajian terhadap sistem hukum dan tata hukum agraria
yang cenderung kurang mendukung kepada pembangunan pertanian.
Diharapkan tulisan dapat memberi informasi yang bermanfaat
sehingga kebijakan lahan abadi dapat diwujudkan, tentunya setelah
kendala dan permasalahan dapat ditangani.

UUPA Kurang Mengatur tentang Aspek Penggunaan Tanah
Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang
berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek
“penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini misalnya terlihat secara
tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam
Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa:
“Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek
“penguasaan dan pemilikan” jelas berbeda dengan aspek
“penggunaan dan pemanfaatan”, karena yang pertama berkenaan
dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan

yang kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria
lain) digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumberdaya ekonomi.
UUPA No. 5 tahun 1960, maupun amandemennya yang sudah
sejak tahun 2003 dimasukkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN),
menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari aspek
penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab
II) dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai
dengan pasal 51; padahal batang tubuh UUPA hanya berisi 58 pasal.
Selain jumlah pasal yang lebih dominan, juga timbul kesan
bahwa “aspek penggunaan” tanah diatur setelah hak penguasaan
dimiliki (seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini dapat
dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal 2A (amandemen), pasal 4 ayat 2,
pasal 14 ayat 1, dan pasal 16 ayat 1A (amandemen). Artinya adalah,
bahwa aspek kedua berada dalam aspek pertama, atau aspek kedua
hanyalah bagian dari aspek pertama.
Keluarnya produk hukum seperti ini dapat dimengerti, karena
UUPA No. 5 tahun 1960, lahir di saat permasalahan penguasaan tanah
menjadi sangat penting, jauh lebih penting dari aspek penggunaan
tanah. Suasana politik selama penyusunan UUPA yang disusun selama
tujuh tahun, mulai tahun 1953 sampai 1960 (Wiradi, 1984), adalah

bagaimana “merebut” tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan
pemerintahan kolonial menjadi tanah negara dan rakyat Indonesia.

2

Dengan pola pikir UUPA (dan amandemennya) yang seperti ini
dapat dikatakan bahwa peraturan ini tidak melindungi kegiatan
pertanian. Karena, terbaca dengan jelas, bahwa seseorang bebas
untuk mengolah, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya; setelah
relasi hukumnya dengan tanah tersebut jelas. Dengan kondisi ini,
maka berbagai UU dan peraturan lain yang dibuat pemerintah, yang
secara hierarki
berada di bawah kedudukan UUPA, tidak akan
mampu merubah paradigma tersebut.
Beberapa akibat dan implikasi yang terlihat selama ini dari
paradigma berpikir UUPA tersebut di antaranya adalah:
(1) Pemerintah tidak dapat mengontrol konversi lahan-lahan
pertanian ke non pertanian. Berbagai Inpres dan Perda yang
dikeluarkan berkenaan dengan konversi lahan dapat
dikatakan “tidak bergigi”. Bahkan mungkin pula dapat

dikatakan bahwa Inpres dan Perda tersebut sesungguhnya
tidak konsisten dengan UUPA.
(2) Kebijakan pencadangan lahan abadi pertanian yang
dicetuskan dalam RPPK, yaitu 15 juta ha lahan basah
ditambah 15 juta ha lahan kering, sesungguhnya juga akan
sulit direalisasikan. Penyebabnya adalah karena peraturan
yang ada, terutama UUPA sebagai hukum pokok agraria,
tidak cukup menjamin kebijakan tersebut.
(3) Lemahnya pengaturan dalam “aspek penggunaan“ tersebut,
secara tidak langsung juga berdampak terhadap lemahnya
pengaturan tata ruang dan kelangsungan ekosistem secara
keseluruhan. Sebidang lahan yang sesungguhnya harus
berupa hutan, dapat saja diolah menjadi lahan pertanian
intensif, karena hak pihak yang menguasainya dijamin
secara hukum.
Kewenangan Deptan Lemah terhadap Aspek Penggunaan dan
Pemanfaatan Lahan
Khusus untuk Departemen Pertanian, tugas yang diembannya
berkaitan erat dengan “hanya” pada aspek kedua, yaitu bagaimana
sepetak tanah sebaiknya diolah, ditanami, dipupuk, dan dipelihara

tanamannya; sehingga menghasilkan produksi pertanian. Hal ini
selaras dengan sub-sub organisasi dalam Deptan yang terdiri dari
bagian yang mengurusi teknologi pertanian, menyediakan modal,
menyediakan prasarana, memikirkan pemasarannya, dan lain-lain.
Jadi, dengan fokus Deptan yang hanya terbatas pada aspek kedua
(penggunaan dan pemanfaatan tanah),
sedangkan hal ini tidak
dijamin cukup kuat secara hukum, terutama peraturan dasarnya
(yaitu UUPA); maka dapat dikatakan bahwa memang kegiatan
pertanian kurang terjamin di negara ini. Menyerahkan kegiatan
3

pertanian, produksi pertanian, dan ketahanan pangan, hanya kepada
mekanisme pasar terbukti telah menyebabkan pertanian sebagai
sektor yang kalah. Nilai ekonomi lahan (dan juga air) yang digunakan
untuk kegiatan pertanian seringkali kalah jika lahan (dan air) tersebut
digunakan untuk kepentingan lain misalnya untuk rumah, industri,
pariwisata, dan lain-lain (Husodo, 2005).
Artinya, Deptan hanya memiliki otoritas (meskipun terbatas)
pada aspek non-landreform. Ketika aspek landreform masih tinggal

menjadi wacana, Deptan (dan jajarannya) sulit untuk dituntut
melakukan pembaruan agraria secara utuh. Artinya, Deptan
menjalankan “Pembaruan Agraria tanpa Landreform”. Sebaliknya,
ketika landreform berhasil diimplementasikan, maka aspek-aspek nonlandreform pun harus disiapkan. Distribusi tanah akan menjadi
program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan pendukung
pertanian tidak disediakan. Di Sukabumi misalnya, banyak petani
yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang sebagiannya
didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah menjualnya kepada
orang kota karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik
karena infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena
mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et al., 2002).
“Aspek landreform” dapat dimaknai sebagai penataan ulang
penguasaan dan pemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya
adalah masalah hukum (negara dan adat), tekanan demografis, serta
struktur ekonomi setempat misalnya ketersediaan lapangan kerja
non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik
penguasaan/pemilikan secara vertikal dan horizontal, inkosistensi
hukum (misalnya antara UUPA dan “turunannya”), ketimpangan
penguasaan dan pemilikan, penguasaan yang sempit oleh petani
sehingga tidak ekonomis, serta ketidaklengkapan dan inkosistensi

data. Aktifitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform
ini misalnya adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan
petani penerima, penetapan harga tanah dan cara pembayaran,
pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan
(misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban tanah
guntay (absentee).
Sementara pada “aspek non-landreform” yang didefinisikan
sebagai penataan ulang penggunaan dan pemanfaatan tanah, faktorfaktor pembentuknya adalah faktor geografi,
topografi tanah,
kesuburan tanah, ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal
dan global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan
modal usahatani, serta insentif dari usaha pertanian. Permasalahan
yang dihadapi sekarang dari aspek ini di antaranya adalah kesuburan
lahan yang rendah, degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan
atau
karena
ketidaktepatan
secara
teknis,
dan

konflik
penggunaan/pemanfaatan secara vertikal dan horizontal. Aktifitas
pembaruan agrarian yang relevan adalah berbagai bentuk
4

pengelolaan dan pengusahaan tanah secara tepat dan efisien,
pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas tanah dengan
penerapan teknologi, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit
usahatani, penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, serta
pengembangan keorganisasian petani.
Strategi dan Kebijakan Pendayagunaan Sumberdaya Lahan
dalam RPPK
Dalam dokumen RPPK terbaca, bahwa secara umum, sektor
pertanian dihadapkan kepada sempitnya penguasaan lahan per petani
dimana banyak petani gurem (