makalah PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN OLE
Tugas MAKALAH
KELOMPOK
PROSES PENGAMBILAN
KEPUTUSAN OLEH PIMPINAN
Mata Kuliah : Etika & Prilaku Organisasi Publik
: MARNI
051 423 067
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
PROGRAM PASCASARJANA
STISIPOL CANDRADIMUKA
PALEMBANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting
dalam sebuah organisasi baik organisasi dalam skala besar maupun
kecil.
Pada organisasi berskala besar, sumber daya manusia dipandang
sebagai unsur yang sangat
usaha,
peran
menentukan
sumber
dalam
proses
pengembangan
daya manusia menjadi semakin penting.
Perkembangan pemerintahan akan terealisasi apabila ditunjang oleh aparatur
negara yang berkualitas.
Kepemimpinan merupakan salah satu isu dalam manajemen yang
masih cukup menarik untuk diperbincangkan hingga dewasa ini. Media
massa, baik elektronik maupun cetak, seringkali menampilkan opini dan
pembicaraan yang membahas seputar kepemimpinan. Peran kepemimpinan
yang sangat strategis dan penting bagi pencapaian misi, visi dan tujuan
suatu organisasi, merupakan salah satu motif yang mendorong manusia untuk
selalu menyelidiki seluk-beluk yang terkait dengan kepemimpinan.
Hal
ini
membawa
konsekuensi
berkewajiban memberikan perhatian
bahwa
yang
membina, menggerakkan, mengarahkan
setiap
pimpinan
sungguh-sungguh untuk
semua
potensi
karyawan
dilingkungannya agar terwujud volume dan beban kerja yang terarah
pada tujuan. Pimpinan perlu melakukan pembinaan yang sungguh-sungguh
terhadap karyawan agar dapat menimbulkan kepuasan dan komitmen
organisasi sehinga pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja yang tinggi.
Setiap
pimpinan
di
lingkungan
organisasi
kerja,
selalu
memerlukan sejumlah pegawai sebagai pembantunya dalam melaksanakan
tugas-tugas yang menjadi volume dan beban kerja unit masing-masing.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap pimpinan berkewajiban
memberikan
perhatian
yang sungguh-sungguh
untuk
membina,
menggerakkan dan mengarahkan semua potensi pegawai di lingkungannya
agar terwujud volume dan beban kerja yang terarah pada tujuan. Pimpinan
perlu melakukan pembinaan yang sungguh-sungguh terhadap pegawai di
lingkungannya agar dapat meningkatkan kepuasan kerja, komitmen
organisasi dan kinerja yang tinggi.
Setiap pimpinan dalam memberikan perhatian untuk membina,
menggerakkan
dan
mengarahkan
semua
potensi
pegawai
di
lingkungannya memiliki pola yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya. Perbedaan itu
berbeda-beda
pula
disebabkan
dari
oleh
setiap pemimpin.
gaya
kepemimpinan
Kesesuaian
antara
yang
gaya
kepemimpinan, norma-norma dan kultur organisasi dipandang sebagai suatu
prasyarat kunci untuk kesuksesan prestasi tujuan organisasi.
Aspek-aspek yang mendukung segala bentuk tugas dan fungsi
Kantor Kecamatan Muara Duaharuslah berkualitas dan profesional salah
satunya adalah sumber daya manusia yang notabene adalah pegawai yang
memiliki kompetensi, kualitas yang baik serta mempunyai integritas dan
dedikasi yang baik terhadap kesejahtraan masyarakat. Oleh karena itu,
menyadari tugas dan fungsi pokok yang dijalankan, Pimpinan berperan
penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya yang dimilikinya melalui
kebijakan-kebijakannya karena pegawai
adalah penggerak utama lajunya
organisasi melalui program-program yang terencana dan berkesinambungan
sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Krisis kepemimpinan disebabkan karena makin langkanya kepedulian
pada kepentingan orang banyak dan lingkungan kerja, masalah mendasar
yang menandai
kekurangan
ini.
karena
adanya
krisis
komitmen.
Kebanyakan pemimpin tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah organisasi bersama,
masalah
harmoni
dalam
kehidupan
dan
masalah
kemajuan
dalam
kebersamaan.
Melihat beberapa pentingnya pengaruh seorang pemimpin didalam
mengoperasikan organisasi dengan individu yang berbeda-beda, maka seorang
pemimpin harus benar–benar berkualitas agar dapat memimpin bawahannya
dengan baik sehingga produktivitas dan tujuan organisasi dapat dicapai secara
efektif dan efisien. Pimpinan yang lebih sering mendorong bawahannya untuk
ikut ambil bagian dalam memberikan saran-saran dan ide-ide, tapi masalahnya
pimpinan lebih sering aktif di luar kantor dari pada di dalam kantor dalam hal ini
pimpinan menggunakan gaya kepemimpinan kendali
bebas (Laissez
Faire).
Dengan demikian penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai Gaya
Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai. Isu tentang etika dalam
pelayanan publik kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di
negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satukelemahan dasar dalam
pelayanan publik adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen
yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur
tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu
elemenyang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus
keberhasilan organisasipelayanan publik itu sendiri.
Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai
dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan,
sampai padamanajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan
tersebut. Dalam konteksini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat
dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah para aktor
telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingankepentingan yang lain. Misalnya, denganmenggunakan nilai-nilai moral yang
berlaku umum (six great ideas) seperti nilai kebenaran(truth), kebaikan
(goodness), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan(justice), kita
dapat
menilai
apakah
para
aktor
tersebut
jujur
atau
tidak
dalam
penyusunankebijakan, adil atau tidak adil dalam menempatkan orang dalam unit
dan jabatan yangtersedia, dan bohong atau tidak dalam melaporkan hasil
manajemen pelayanan.
Dalam pelayanan publik, perbuatan melanggar moral atau etika sulit
ditelusuri dandipersoalkan karena adanya kebiasaan masyarakat kita melarang
orang “membuka rahasia”atau mengancam mereka yang mengadu. Sementara itu,
kita juga menghadapi tantangan kedepan semakin berat karena standard penilaian
etika pelayanan terus berubah sesuaiperkembangan paradigmanya. Dan secara
substantif, kita juga tidak mudah mencapaikedewasaan dan otonomi beretika
karena penuh dengan dilema. Karena itu, dapat dipastikan bahwa pelanggaran
moral atau etika dalam pelayanan publik akan terusmeningkat.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan mendasar yang hendak
ditelaah dalam makalah ini adalah: “Bagaimanakah Gaya Kepemimpinan
dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai
C. Tujuan Makalah
Untuk memberikan tambahan wawasan dan masukan pengetahuan
bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam meningkatkan
kinerja pegawai untuk generasi penerus.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KONSEP ETIKA PELAYANAN PUBLIK
Etika. Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti,
salah satudiantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau
akhlak dan watak. Filsufbesar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata
etika ini dalam menggambarkanfilsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dengan memperhatikan beberapa
sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu
etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yangmenjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, ataudisebut
dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering
dikenaldengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk,
yang acapkali disebut“filsafat moral”. Pendapat seperti ini mirip dengan pendapat
yang ditulis dalam TheEncyclopedia of Philosophy yang menggunakan etika
sebagai (1) way of life; (2) moral codeatau rules of conduct; dan (3) penelitian
tentang unsur pertama dan kedua diatas (lihatDenhardt, 1988: 28).
Etika Pelayanan Publik. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah
suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah
dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung
maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan
intensitas kebutuhan masyarakat,kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini
lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu
delivery system yang sehat. Pelayanan publik inidapat dilihat sehari-hari di bidang
administrasi,
keamanan,
kesehatan,
pendidikan,
perumahan,
air
bersih,
telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.Tujuan pelayanan publik adalah
menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang
terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang
memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan
sebagaifilsafat dan profesional standards (kode etik), atau moral atau right rules
of conduct (aturanberperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi
pelayanan publik atauadministrator publik (lihat Denhardt, 1988).
Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik diatas maka yang
dimaksudkandengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi
publik dan atau pemberianpelayanan publik (delivery system) yang didasarkan
atas serangkaian tuntunan perilaku (rulesof conduct) atau kode etik yang mengatur
hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan atausebaliknya yang “tidak baik” agar
dihindarkan.
Pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam prakteknya dilakukan oleh
lembaga atau organisasi milik pemerintah yang diserahkan kepadanya tanggung
jawab sebagai implementator kebijakan tersebut baik dalam bentuk instruksi,
peraturan pemerintah maupun yang tertuang dalam peraturan daerah. Kebijakan
harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan, daripada
apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Karena itu
definisi mengenai kebijakan lebih tepat bila mencakup pula arah atau tindakan,
tidak hanya semata-mata menyangkut usulan tindakan.
Menurut buku Kamus Administrasi Publik, Chandler dan Plano, 1988: 107
(dalam Keban, 2004: 56), “Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis
terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalahmasalah publik atau pemerintah.”
Suatu kebijakan publik tidak hanya mencakup keputusan untuk
menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan
beserta pelaksanaannya. Kebijakan sangat penting karena kedudukannya sebagai
penentu tentang apa yang hendak dikerjakan berdasarkan atas masalah, kebutuhan
atau aspirasi tertentu.
Kebijakan publik merupakan konsep yang sangat kompleks, hal ini bisa
dilihat dari banyaknya definisi mengenai kebijakan publik. Secara umum
kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah yang nyata dan mempunyai
tujuan tertentu. Dibawah ini merupakan definisi-definisi kebijakan publik yang
mempunyai persamaan.
Menurut Dye (dalam Islamy, 1997: 18) mendefinisikan kebijakan publik
adalah :
Wahetver government Choose to do or not to do” (“ Apapun yang dipilih
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”). Selanjutnya Dye
mengatakan bahwa pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka
harus ada tujuannya (obyektifnya) dan kebijakan negara itu harus meliputi
semua ”tindakan” pemerintah bukan semata-mata merupakan keinginan
pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah saja. Disamping itu sesuatu
yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara.
Hal ini disebabkan karena “ sesuatu yang tidak dilakukan “ oleh
pemerintah akan mempunyai (dampak) yang sama besarnya dengan “
sesuatu yang dilakukan“ oleh pemerintah.
Kemudian Edwards III dan Sharkansy ( dalam Islamy, 1997: 19)
mengartikan definisi Kebijakan publik adalah :
….is Whats Goverments say and do, or not do. It is the goals or puposes of
gevrement programs…” (“adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau
tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan negara itu berupa sasaran atau
tujuan programa-programa pemerintah…”). Edwards dan Sharkansky
kemudian mengatakan itu ditetapkan secara jelas dalam peraturanperaturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat
teras pemerintah atau programa-programa dan tindakan-tindakan yang
dilakukan pemerintah”.
Hal yang sama juga dikemukakan Anderson (dalam Islamy, 1997: 19)
mengatakan kebijakan publik adalah: “ Public policies are thoese policies
developed by govermental bodies and officials” (kebijakan negara adalah
kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan dan pejabat-pejabat
pemerintah). Menurut Anderson implikasi dari pengertian kebijakan negara
tersebut adalah :
1) Bahwa kebijakan negara itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau
tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2) Bahwa kebijkana negara berisi tindakan-tindakan atau pola tindakan
pejabat pemerintah.
3) Bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan
oleh pemerintah, jadi bukan pemerintah apa yang mereka bermaksud akan
melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.
4) Kebijakan negara itu bersifat positif dalam arti merupakan bentuk tindakan
pemerintah mengenai masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti :
merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
5) Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif-di dasarkan
atau selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundangan dan bersifat
memaksa (dalam Islamy, 1997: 19)
Kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah yang mempunyai
tujuan, disamping itu terdapat cara pencapaian dari tujuan tersebut. Hal ini dilihat
dari definisi kebijakan publik menurut Nakamura dan Smallwood (dalam Wahab,
1990: 32) sebagai berikut :
“memandang kebijakan negara dalam tiga aspek, yakni perumusan
kebijaksanaan, pelaksanaan kebijaksanaan, dan evaluasi kebijakan. Dalam
hal ini mereka berpendapat bahwa kebijakan negara adalah serentetan
instruksi/perintah dari para pembuat kebijakan yang ditujukan kepada para
pelaksanaan kebijaksanaan yang menjelaskan tujuan-tujuan serta cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut”.
Menurut Wilson (dalam Keban, 2004: 57) yang dikutip Peterson (2003)
tipe kebijakan terdiri atas :
1) Majoritarian cenderung mendristibusikan biaya dan juga menerima
benefit / keuntungan.
2) Client membebani masyarakat luas melalui subsidi, yang kemudian
dinikmati oleh segelintir orang saja.
3) Entrepreneurial cenderung mengonsentrasikan atau membebani biaya
pada sekelompok orang saja, tetapi kegunaan atau benefit dinikmati secara
luas.
4) Interest group mengupayakan biaya / hasil keuntungan pada kelompok
tertentu saja.
Kebijaksanaan Negara mungkin bentuk positif dapat pula berbentuk
negatif. Selanjutnya menurut Isworo (1996 : 229), bahwa proses kebijakan publik
terdiri dari langkah–langkah sebagai berikut :
a. Identifikasi masalah yang akan mengarah pada permintaan untuk
mengatasai masalah tersebut.
b. Formulasi kebijakan berupa langkah yang dilakukan setelah pemilihan
alternatif.
c. Legitimasi dari kebijakan
d. Implementasi
e. Evaluasi melalui berbagai sumber untuk melihat sejauh mana usaha
pencapaian tujuan.
Beberapa konsep tersebut memberikan gambaran bahwa kebijakan publik
terjadi karena tindakan-tindakan pemerintah dalam mengatasi masalah yang
timbul dalam masyarakat sehingga melahirkan keputusan-keputusan tersebut.
Menyimpulkan beragam pengertian mengenai kebijakan publik tersebut
Islamy (1994) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan
yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang
mepunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh
masyarakat, implikasi pengertian tersebut adalah :
a. Bahwa kebijakan publik itu bentu perdananya adalah penetapan tindakantindakan pemerintah
b. Bahwa Kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tapi juga
dilaksanakan dalam bentuk nyata
c. Setiap kebijakan publik dilandasi denganmaksud dan tujuan tertentu
d. Kebijakan publik pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan seluruh
masyarakat.
B. Konsep Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan dimulainya
sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok
untuk mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau
beberapa orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang lain,
terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut dibentuk. Hal ini
tidak dapat dipungkiri karena manusia selalu mempunyai keterbatasan dan
kelebihan-kelebihan tertentu.
Kepemimpinan sebagai suatu kegiatan untuk mempengaruhi perilaku
orang-orang agar bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan tertentu yang
mereka inginkan bersama. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah kemampuan
mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut. Dari
berbagai pendapat yang dirumuskan para ahli dapat diketahui bahwa konsepsi
kepemimpinan itu sendiri hampir sebanyak dengan jumlah orang yang ingin
mendefinisikannya, sehingga hal itu lebih merupakan konsep berdasarkan
pengalaman.
Hampir sebagian besar pendefinisian kepemimpinan memiliki titik
kesamaan kata kunci yakni “suatu proses mempengaruhi”. Akan tetapi kita
menemukan bahwa konseptualisasi kepemimpinan dalam banyak hal berbeda.
Perbedaan dalam hal “siapa yang mempergunakan pengaruh, tujuan dari upaya
mempengaruhi, cara-cara menggunakan pengaruh tersebut”.
Secara etimologi pemimpin berasal dari kata dasar “pimpin” (lead) berarti
bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalamnya terdapat dua pihak yaitu yang
dipimpin (rakyat) dan yang memimpin (imam). Setelah ditambah awalan
“pe”menjadi “pemimpin” (leader) berarti orang yang mempengaruhi pihak
lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain tersebut
bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Pemimpin adalah seorang
yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi individu dan kelompok
untuk dapat bekerjasama mencapai tujuan yang telah ditentukan. Hendry
Pratt Fairchild dalam Kartini Kartono (2006:38-39) mengemukakan bahwa
pemimpin dalam pengertian yang luas adalah seseorang yang memimpin
dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, menunjukkan,
mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain atau melalui prestise,
kekuasaan atau posisi. Sedangkan dalam pengertian yang terbatas pemimpin
ialah seseorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitaskualitas
persuasifnya dan akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para
pengikutnya.
Hasibuan,
Pemimpin
adalah
seseorang
dengan
wewenang
kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari
pekerjaannya dalam mencapai tujuan.
Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka yang menggunakan
wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para
bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi
demi mencapai tujuan perusahaan.
Seorang
pemimpin
(leader)
dalam
penerapannya
mengandung
konsekuensi terhadap dirinya, antara lain; harus berani mengambil keputusan
sendiri secara tegas dan tepat (decision making), harus berani menerima resiko
sendiri; dan harus berani menerima tanggung jawab sendiri (the principle of
absoluteness of responsibility).
Dari beberapa definisi tersebut diatas, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa pemimpin merupakan pribadi yang spesial, terpilih,
berwibawa dan memiliki kelebihan, sehingga mampu memotivasi serta
mempengaruhi individu atau kelompok untuk hal-hal tertentu.
C. Karakteristik Kepemimpinan
Kepemimpinan mungkin hanya terbentuk dalam suatu lingkungan
yang secara
dinamis
Kongkritnya, seorang
melibatkan
hanya
biasa
hubungan
di
mengklaim
antara
sejumlah
orang.
dirinya
sebagai
seorang
pemimpin jika ia memiliki sejumlah pengikut. Selanjutnya antara para pemimpin
dan pengikutnya terjalin ikatan emosional dan rasional menyangkut kesamaan
nilai yang ingin disebar dan ditanam serta kesamaan tujuan yang ingin dicapai.
Walupun dalam realitasnya sang pemimpinlah yang biasanya memperkenalkan
atau bahkan merumuskan nilai dan tujuan.
Dalam kepemimpinan ada beberapa unsur dan karakter yang sangat
menentukan untuk pencapaian tujuan suatu organisasi. Menurut Gibb dalam
Salusu (2006:203), ada empat elemen utama dalam kepemimpinan yang saling
berkaitan satu sama lain, yaitu Pemimpin yang menampilkan kepribadian
pemimpin, Kelompok, Pengikut yang muncul dengan berbagai kebutuhannya,
sikap serta masalah-masalahnya, dan situasi yang meliputi keadaan fisik dan
tugas kelompok. Selanjutnya Blake dan Mounton dalam Salusu (2006:204-205),
menawarkan enam elemen yang dianggapnya dapat menggambarkan efektifnya
suatu kepemimpinan. Tiga elemen pertama berkaitan dengan bagaimana
seorang pemimpin menggerakkan pengaruhnya terhadap dunia luar, yaitu
Initiative, Inquiry dan Advokasi. Tiga elemen yang lainnya yaitu, Conflict
Solving, Decision making, dan Criticque. Berhubungan dengan bagaimana
memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam organisasi untuk dapat
mencapai hasil yang benar. Adapun penjelasannya yaitu sebagai berikut :
1. Inisiatif. Seorang pemimpin akan mengambil
inisiatif
apabila
ia
melakukan suatu aktivitas tertentu, memulai sesuatu yang baru atau
menghentikan sesuatu yang dikerjakan.
2. Inquiry (menyelidiki). Pemimpin membutuhkan yang komprehensif
mengenai bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu,
ia perlu mempelajari latar belakang dari suatu masalah, prosedur-prosedur
yang harus ditempuh, dan tentang orang-orang yang terlibat dalam
pekerjaan yang dibidanginya.
3. Advocacy (Dukungan atau Dorongan). Aspek memberi dorongan dan
dukungan sangat penting bagi kepemimpinan seseorang karena sering
timbul keraguan atau kesulitan mengambil keputusan di antar para
eksekutif dalam organisasi atau karena adanya ide yang baik tetapi
yang bersangkutan kurang mampu untuk mempertahankannya.
4. Cinflict Solving (memecahkan Masalah). Apabila timbul masalah atu
konflik dalam organisasi, maka sudah menjadi kewajiban pemimpin
untuk menyelesaikannya.
Ia
perlu
mencari
sumber
dari
konflik
tersebut, dan menyelesaikannya dengan musyawarah untuk mufakat.
5. Decision Making (Pengambilan Keputusan). Keputusan yang dibuat
hendaknya keputusan yang baik, tidak mengecewakan, tidak membuat
frustasi, yaitu keputusan yang dapat memberi keuntungan bagi banyak
orang.
6. Critique (Kritik). Kritik disini sebagai proses mengevaluasi, menilai
dan jika sesuatu yang telah diperbuat itu baik adanya maka tindakan
serupa untuk masa-masa mendatang mungkin sebaiknya tetap dijalankan.
Dalam
Ryaas
Rasyid
(2000:37)
dijelaskan
beberapa
karakter
kepemimpinan yang berbeda satu sama lain, yaitu sebagai berikut :
1. Kepemimpinan yang Sensitif
Kepemimpinan ini ditandai dengan adanya kemampuan untuk secara dini
memahami dinamika perkembangan masyarakat, mengenai apa yang
mereka butuhkan, mengusahakan agar ia menjadi pihak pertama yang
memberi perhatian terhadap kebutuhan tersebut. Dalam karakter
kepemimpinan
tersebut,
kemampuan
berkomunikasi
daripada
pemimpin pemerintahan yang disertai pada penerapan transformasi di
dalam
proses pengambilan
keputusan
merupakan
prasyarat
bagi
pemerintah dalam mengemban segala tugas-tugasnya.
2. Kepemimpinan yang Responsif
Dalam konteks ini, pemimpin
lebih aktif mengamati
dinamika
masyarakat dan secara kreatif berupaya memahami kebutuhan mereka,
maka kepemimpinan yang responsif lahir
lebih banyak berperan
menjawab aspirasi dan tuntutan masyarakat yang disalurkan melalui
berbagai media komunikasi, menghayati
suatu
sikap
dasar
untuk
mendengar suara rakyat, mau mengeluarkan energi dan menggunakan
waktunya secara cepat untuk menjawab pertanyaan, menampung setiap
keluhan, memperhatikan setiap tuntutan dan memanfaatkan setiap
dukungan masyarakat tentang suatu kepentingan umum.
3. Kepemimpinan yang Defensif
Karakter kepemimpinan ini ditandai dengan sikap yang egoistik,
merasa paling benar, walaupun pada saat yang sama memiliki
kemampuan argumentasi yang
tinggi dalam berhadapan dengan
masyarakat. Komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat cukup
terpelihara, tetapi pada umumnya pemerintah selalu mengambil posisi
sebagai pihak yang lebih benar, lebih mengerti. Oleh karena itu,
keputusan dan penilaiannya atas sesuatu isu lebih patut diikuti oleh
masyarakat. Posisi masyarakat lemah, sekalipun tetap tersedia ruang
bagi mereka untuk bertanya , menyampaikan keluhan, aspirasi dan lain
sebagainya. Karakter kepemimpinan semacam ini bisa berhasil dalam
jangka waktu tertentu. Tetapi ketika berhadapan dengan masyarakat yang
semakin berkembang, baik secara sosial-ekonomi maupun secara
intelektualitas, karakter defensif ini akan sulit untuk melakukan
manuver.
4. Kepemimpinan yang Represif
Karakter kepemimpinan ini cenderung sama egois dan arogannya
dengan karakter kepemimpinan defensif, tetapi lebih buruk lagi karena
tidak memiliki
kemampuan
mempertahankan keputusan
argumentasi
atau
atau
penilaiannya
justifikasi
terhadap
dalam
suatu
isu
ketika berhadapan dengan masyarakat. Karakter kepemimpinan yang
represif ini secara total selalu merupakan beban yang berat bagi
masyarakat.
menyelesaikan
Ia
bukan saja
berbagai
tidak memiliki kemampuan
masalah
fundamental
dalam
untuk
masyarakat,
tetapi bahkan cenderung merusak moralitas masyarakat. Singkatnya
kepemimpinan yang represif ini lebih mewakili sifat diktatorial.
BAB III
PEMBAHASAN
A. PENTINGNYA ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi
dari politik(dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh-sungguh netral,
bebas dari pengaruhpolitik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi
kritik bermunculan menentangajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun
1930-an,
sehingga
perhatian
mulaiditujukan
kepada
keterlibatan
para
administrator dalam keputusan-keputusan publik ataukebijakan publik. Sejak saat
ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap“permainan etika”
yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilanseorang
administrator
atau
aparat
pemerintah
tidak
semata
didasarkan
pada
pencapaiankriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya,
tetapi juga kriteriamoralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public
interest atau kepentingan umum
(lihat Henry, 1995: 400).
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah
adanya publicinterest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh
pemerintah
karena pemerintahlahyang
memiliki
“tanggung jawab” atau
responsibility. Dalam memberikan pelayanan inipemerintah diharapkan secara
profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusanpolitik secara tepat
mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb.
Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki
tuntunan atau pegangankode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa
semua aparat pemerintah adalah pihakyang telah teruji pasti selalu membela
kepentingan publik atau masyarakatnya, tidakselamanya benar. Banyak kasus
membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga,kelompok, partai dan bahkan
struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorangbirokrat atau aparat
pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi”dalam
bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.
Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan didalam birokrasi yang
memberikanpelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada
aspek
kemanusiaan
dalamorganisasi
(organizational
humanism)
telah
disampaikan oleh Denhardt. Dalam literaturtentang aliran human relations dan
human resources, telah dianjurkan agar manajer harusbersikap etis, yaitu
memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara manusiawi.
Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for
people) danpengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan
produktivitas, kepuasan danpengembangan kelembagaan.
Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang
terkadangbegitu
variatif
sehingga
membutuhkan
perlakuan
khusus.
Mempekerjakan pegawai negeridengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara
orang dengan pekerjaannya” merupakanprinsip yang perlu dipertanyakan secara
etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, dimana calon yang
dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebihmaju. Kebijakan
affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada etikakarena
akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak berdaya,
dsb.,untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan suatu
pilihan moral(moral choice) yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah
berdasarkan prinsip justice –as – fairness sesuai pendapat John Rawls yaitu
bahwa distribusi kekayaan, otoritas, dankesempatan sosial akan terasa adil bila
hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepadasetiap orang, dan khususnya
terhadap
anggota
masyarakat
yang
paling
tidak
beruntung.Kebijakan
mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang populer
saatini.
Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang
bertentangandengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat
besar. Pelayanan publiktidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan
kata lain begitu kompleksitassifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian
pelayanan itu sendiri maupun mengenai caraterbaik pemberian pelayanan publik
itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan inimendorong pemberi pelayanan
publik
mengambil
“keleluasaan
langkah-langkah
bertindak”
(discretion).
profesional
Dan
yangdidasarkan
keleluasaan
inilah
kepada
yang
seringmenjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk
bertindak tidaksesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Palembang, pelanggaran
moral danetika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan
program, proyek, dankegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain
organisasi pelayanan publik(pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas)
yang sangat bias terhadap kepentingantertentu, proses manajemen pelayanan
publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dariperencanaan teknis,
pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itunampak dari
sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb.
Dantidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah
diungkapkan sebagaisalah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita. Alasan
utama yang menimbulkantragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan
aturan hukum dan perundangundangankita, sikap mental manusia, nilai-nilai
sosial budaya yang kurang mendukung,sejarah dan latarbelakang kenegaraan,
globalisasi yang tak terkendali, sistim pemerintahan,kedewasaan dalam berpolitik,
dsb. Bagi Palembang, pembenahan moralitas yang terjadiselama ini masih sebatas
lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahanmoral itu
sendiri.
Karena
itu
pembenahan
moral
merupakan
“beban
besar”
di
masamendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses
“pembusukan” terusterjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
a) Gaya kepemimpinan Otokratis
Dalam tipe kepemimpinan ini, pemimpin menentukan sendiri "policy"
dan dalam rencana untuk kelompoknya, membuat keputusan-keputusan
sendiri, namun mendapatkan tanggung jawab penuh. Bawahan harus patuh dan
mengikuti perintahnya, jadi pemimpin tersebut menentukan atau mendiktekan
aktivitas dari anggotanya. Pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa mereka
mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung mengekspresikan
kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam bentuk perintah-perintah langsung kepada
bawahan. Dalam kepemimpinan otokrasi terjadi adanya keketatan dalam
pengawasan, sehingga sukar bagi bawahan dalam memuaskan kebutuhan
egoistisnya.
b) Gaya Kepemimpinan Pengambil Keputusan sebagai berikut;
“Dalam Menentukan
keputusan–keputusan
tugas
Pemimpin kadang
menentukan sendiri keputusan yang akan di ambil dan
berkonsultasi
dulu
terhadap bawahannya, Sedangkan
terkadang
Dalam
juga
memberikan
perintah Pemimpin juga tidak pernah membentak atau memaksa apalagi
melototkan mata kepada bawahannya dia selalu lembut dan sopan dalam
memberikan sebuah perintah.
“Tentang Tingkat kedisiplinan Pemimpin dalam melakukan pengawasan
terhadap para pegawai sangatlah cukup disiplin terutama dalam hal tata
tertib yang telah di tetapkan, Kalau tentang sikap kepemimpinnan Pemimpin,
cukup koordinatif dan sangat dekat dengan bawahannya.”
“Mengenai penyelesaian masalah dalam organisasi Pemimpin tetap
mengkoordinasikan terlebih dahulu kepada bawahannya barulah Kepala Dinas
mengambil langkah – langkah untuk penyelesaian masalah tersebut.”
Dari beberapa pernyataan diatas menunjukkan bahwa Pemimpin juga
menerapkan Gaya kepemimpinan Otokratis walaupun Itu tidak dominan.
c) Gaya Kepemimpinan Demokratis
Dalam
gaya
ini pemimpin
sering mengadakan
mengikuti bawahannya dan aktif dalam menentukan
konsultasi dengan
rencana kerja yang
berhubungan dengan kelompok. Disini pemimpin seperti moderator atau
koordinator dan tidak memegang peranan seperti pada kepemimpinan
otoriter. Partisipan digunakan dan kondisi yang tepat, akan menjadikan hal
yang efektif. Maksudnya supaya dapat memberikan kesempatan pada bawahannya
untuk mengisi atau memperoleh kebutuhan egoistisnya dan memotivasi bawahan
dalam menyelesaikan tugasnya untuk meningkatkan produktivitasnya pada
pemimpin
demokratis,
sering mendorong bawahan untuk ikut ambil bagian
dalam hal tujuan-tujuan dan metode-metode serta menyokong ide-ide dan
saran-saran. Disini pemimpin mencoba mengutamakan "human relation"
(hubungan antar manusia) yang baik dan mengerjakan secara lancar.
d) Gaya Kepemimpinan Laises Faire.
yaitu gaya kepemimpinan kendali bebas. Pendekatan ini bukan berarti
tidak adanya sama sekali pimpinan. Gaya ini berasumsi bahwa suatu tugas
disajikan kepada kelompok yang biasanya menentukan teknik-teknik mereka
sendiri guna mencapai tujuan tersebut dalam rangka mencapai sasaran-sasaran
dan kebiiakan organisasi. Kepemimpinan pada tipe ini melaksanakan perannya
atas dasar aktivitas kelompok dan pimpinan kurang mengadakan pengontrolan
terhadap bawahannya. Pada tipe ini pemimpin akan meletakkan tanggung
jawab keputusan sepenuhnya kepada para bawahannya, pemimpin akan sedikit
saja atau hampir tidak sama sekali memberikan pengarahan. Pemimpin ini
lebih aktif di luar dari pada di dalam organisasi, Pemimpin pada gaya ini
sifatnya pasif dan seolah-olah tidak mampu memberikan pengaruhnya kepada
bawahannya.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab-bab
sebelumnya, maka penulis akan mengambil beberapa kesimpulan dari hasil
makalah yang dituliskan serta memberikan saran sebagai langkah terakhir dalam
penulisan makalah ini.
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil Penulisan
yang
telah
dibahas
pada
bab
sebelumnya, maka dapat dinyatakan bahwa Pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinannya
menerapkan ketiga
gaya
kepemimpinan yang
dikemukakan oleh White & Lippit, yakni gaya kepemimpinan Otokratis,
gaya kepemimpinan Demokratis, dan gaya kepemimpinan Laizzes Faire.
Namun
intensitas
penerapan
berbeda
karena
disesuaikan
kepemimpinan
otokratis
gaya kepemimpinannya
dengan
situasi dan
hanya sebagian
kecil
masing-masing
kondisi.
Gaya
diterapkan. Pemimpin
Biasanya Menentukan Sendiri keputusan yang akan di ambil dan cukup
disiplin dalam melakukan pengawasan terhadap bawahannya,
B. Saran
Dari hasil Pembahsan dan Kesimpulan, dengan melihat prospek ke
depan, maka penulis dapat mengemukakan beberapa hal yang kemudian
dijadikan sebagai bahan rekomendasi, yaitu sebagai berikut :
1. Pemimpin
Pemerintahan
dapat
mempertahankan
dan
terus
mengembangkan gaya kepemimpinan demokratis yang saat ini masih
diterapkan agar pencapaian visi, misi, dan
dijalankan dengan lebih baik lagi.
tujuan organisasi dapat
2. Hendaknya dalam menjalankan tugasnya setiap pemimpin harus lebih
terbuka dan transparan terhadap seluruh bawahannya. Selain itu,
hendaknya kantor kePemimpinan menambah pegawai yang mempunyai
usia produktif maka pelayanan dapat lebih efektif lagi.
3. Walaupun dengan penerapan gaya kepemimpinan demokratis Insatnsi
Pemerintah saat
ditunjang
dengan
ini berjalan dengan baik, namun kebebasan harus
pengawasan
yang
baik
demi
mengembangkan
kedisiplinan pegawai tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport,
Connecticut:Greenwood Press.
Dale, Robert D. 1992. Pelayanan sebagai Pemimpin. Gandum Mas: Malang.
Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition.
Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International, Inc.
Handoko,
Hani
T, dan
Reksohadiprodjo
Sukanto. 1996. Organisasi
Perusahaan. Edisi kedua Yogyakarta : BPFE.
Harbani, Pasolong. 2008. Kepemimpinan Birokrasi, Bandung : CV.Alfabeta.
Heidjrachman, H. Suad. 2002. Manajemen Personalia. Yogyakarta : BPFE.
Hersey, Paul. 1994. Kunci Sukses Pemimpin Situasional. Jakarta : Delaprasata.
Kartono, Kartini. 2006. Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Kepemimpinan
Abnormal Itu?. PT. RajaGrafindo Persada : Jakarta.
Kristiadi. 1996. Kepemimpinan. Jakarta: LAN RI
Nawawi, Hadari & Hadari, M. Martini. 2004. Kepemimpinan yang Efektif. Gadjah
Mada University Press : Yogyakarta
Mangkunegara, A. A. P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
Mathis, Robert dan John Jackson. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia
Buku 2. Jakarta: PT. Salemba 4.
Pangewa, Maharuddin. 1989. Kepemimpinan Dalam Proses Administrasi.
Ujung Pandang: FPIPS IKIP.
Rasyid M Ryaas. 2000. Makna Pemerintahan. Mutiara Sumber Widya : Jakarta
Rivai, Veithzal. 2006. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Edisi Kedua. PT.
Raja Grafindo Persada : Jakarta
Robbins, Stephen. P. 2002. Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi. Terjemahan
Oleh Halida , Dewi Sartika. Erlangga
Salusu. 2006. Pengambilan Keputusan Stratejik. PT. Grasindo : Jakarta.
Sedarmayanti. 2007. Manajemen SDM cetakan 1. PT. Refika Aditama. Bandung.
Perry, James L. 1989. Handbook of Public Administration. San Fransisca, CA:
Jossey- Bass Limited.
Siagian P. Sondang. 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta:
Rineka Cipta.
Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell. 1997. Introducing Public Administration. New
York, N.Y.: Longman.
KELOMPOK
PROSES PENGAMBILAN
KEPUTUSAN OLEH PIMPINAN
Mata Kuliah : Etika & Prilaku Organisasi Publik
: MARNI
051 423 067
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
PROGRAM PASCASARJANA
STISIPOL CANDRADIMUKA
PALEMBANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting
dalam sebuah organisasi baik organisasi dalam skala besar maupun
kecil.
Pada organisasi berskala besar, sumber daya manusia dipandang
sebagai unsur yang sangat
usaha,
peran
menentukan
sumber
dalam
proses
pengembangan
daya manusia menjadi semakin penting.
Perkembangan pemerintahan akan terealisasi apabila ditunjang oleh aparatur
negara yang berkualitas.
Kepemimpinan merupakan salah satu isu dalam manajemen yang
masih cukup menarik untuk diperbincangkan hingga dewasa ini. Media
massa, baik elektronik maupun cetak, seringkali menampilkan opini dan
pembicaraan yang membahas seputar kepemimpinan. Peran kepemimpinan
yang sangat strategis dan penting bagi pencapaian misi, visi dan tujuan
suatu organisasi, merupakan salah satu motif yang mendorong manusia untuk
selalu menyelidiki seluk-beluk yang terkait dengan kepemimpinan.
Hal
ini
membawa
konsekuensi
berkewajiban memberikan perhatian
bahwa
yang
membina, menggerakkan, mengarahkan
setiap
pimpinan
sungguh-sungguh untuk
semua
potensi
karyawan
dilingkungannya agar terwujud volume dan beban kerja yang terarah
pada tujuan. Pimpinan perlu melakukan pembinaan yang sungguh-sungguh
terhadap karyawan agar dapat menimbulkan kepuasan dan komitmen
organisasi sehinga pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja yang tinggi.
Setiap
pimpinan
di
lingkungan
organisasi
kerja,
selalu
memerlukan sejumlah pegawai sebagai pembantunya dalam melaksanakan
tugas-tugas yang menjadi volume dan beban kerja unit masing-masing.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap pimpinan berkewajiban
memberikan
perhatian
yang sungguh-sungguh
untuk
membina,
menggerakkan dan mengarahkan semua potensi pegawai di lingkungannya
agar terwujud volume dan beban kerja yang terarah pada tujuan. Pimpinan
perlu melakukan pembinaan yang sungguh-sungguh terhadap pegawai di
lingkungannya agar dapat meningkatkan kepuasan kerja, komitmen
organisasi dan kinerja yang tinggi.
Setiap pimpinan dalam memberikan perhatian untuk membina,
menggerakkan
dan
mengarahkan
semua
potensi
pegawai
di
lingkungannya memiliki pola yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya. Perbedaan itu
berbeda-beda
pula
disebabkan
dari
oleh
setiap pemimpin.
gaya
kepemimpinan
Kesesuaian
antara
yang
gaya
kepemimpinan, norma-norma dan kultur organisasi dipandang sebagai suatu
prasyarat kunci untuk kesuksesan prestasi tujuan organisasi.
Aspek-aspek yang mendukung segala bentuk tugas dan fungsi
Kantor Kecamatan Muara Duaharuslah berkualitas dan profesional salah
satunya adalah sumber daya manusia yang notabene adalah pegawai yang
memiliki kompetensi, kualitas yang baik serta mempunyai integritas dan
dedikasi yang baik terhadap kesejahtraan masyarakat. Oleh karena itu,
menyadari tugas dan fungsi pokok yang dijalankan, Pimpinan berperan
penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya yang dimilikinya melalui
kebijakan-kebijakannya karena pegawai
adalah penggerak utama lajunya
organisasi melalui program-program yang terencana dan berkesinambungan
sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Krisis kepemimpinan disebabkan karena makin langkanya kepedulian
pada kepentingan orang banyak dan lingkungan kerja, masalah mendasar
yang menandai
kekurangan
ini.
karena
adanya
krisis
komitmen.
Kebanyakan pemimpin tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah organisasi bersama,
masalah
harmoni
dalam
kehidupan
dan
masalah
kemajuan
dalam
kebersamaan.
Melihat beberapa pentingnya pengaruh seorang pemimpin didalam
mengoperasikan organisasi dengan individu yang berbeda-beda, maka seorang
pemimpin harus benar–benar berkualitas agar dapat memimpin bawahannya
dengan baik sehingga produktivitas dan tujuan organisasi dapat dicapai secara
efektif dan efisien. Pimpinan yang lebih sering mendorong bawahannya untuk
ikut ambil bagian dalam memberikan saran-saran dan ide-ide, tapi masalahnya
pimpinan lebih sering aktif di luar kantor dari pada di dalam kantor dalam hal ini
pimpinan menggunakan gaya kepemimpinan kendali
bebas (Laissez
Faire).
Dengan demikian penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai Gaya
Kepemimpinan dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai. Isu tentang etika dalam
pelayanan publik kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di
negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satukelemahan dasar dalam
pelayanan publik adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen
yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur
tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu
elemenyang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus
keberhasilan organisasipelayanan publik itu sendiri.
Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai
dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan,
sampai padamanajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan
tersebut. Dalam konteksini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat
dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah para aktor
telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingankepentingan yang lain. Misalnya, denganmenggunakan nilai-nilai moral yang
berlaku umum (six great ideas) seperti nilai kebenaran(truth), kebaikan
(goodness), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan(justice), kita
dapat
menilai
apakah
para
aktor
tersebut
jujur
atau
tidak
dalam
penyusunankebijakan, adil atau tidak adil dalam menempatkan orang dalam unit
dan jabatan yangtersedia, dan bohong atau tidak dalam melaporkan hasil
manajemen pelayanan.
Dalam pelayanan publik, perbuatan melanggar moral atau etika sulit
ditelusuri dandipersoalkan karena adanya kebiasaan masyarakat kita melarang
orang “membuka rahasia”atau mengancam mereka yang mengadu. Sementara itu,
kita juga menghadapi tantangan kedepan semakin berat karena standard penilaian
etika pelayanan terus berubah sesuaiperkembangan paradigmanya. Dan secara
substantif, kita juga tidak mudah mencapaikedewasaan dan otonomi beretika
karena penuh dengan dilema. Karena itu, dapat dipastikan bahwa pelanggaran
moral atau etika dalam pelayanan publik akan terusmeningkat.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan mendasar yang hendak
ditelaah dalam makalah ini adalah: “Bagaimanakah Gaya Kepemimpinan
dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai
C. Tujuan Makalah
Untuk memberikan tambahan wawasan dan masukan pengetahuan
bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam meningkatkan
kinerja pegawai untuk generasi penerus.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KONSEP ETIKA PELAYANAN PUBLIK
Etika. Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti,
salah satudiantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau
akhlak dan watak. Filsufbesar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata
etika ini dalam menggambarkanfilsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dengan memperhatikan beberapa
sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu
etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yangmenjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, ataudisebut
dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering
dikenaldengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk,
yang acapkali disebut“filsafat moral”. Pendapat seperti ini mirip dengan pendapat
yang ditulis dalam TheEncyclopedia of Philosophy yang menggunakan etika
sebagai (1) way of life; (2) moral codeatau rules of conduct; dan (3) penelitian
tentang unsur pertama dan kedua diatas (lihatDenhardt, 1988: 28).
Etika Pelayanan Publik. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah
suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah
dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung
maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan
intensitas kebutuhan masyarakat,kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini
lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu
delivery system yang sehat. Pelayanan publik inidapat dilihat sehari-hari di bidang
administrasi,
keamanan,
kesehatan,
pendidikan,
perumahan,
air
bersih,
telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.Tujuan pelayanan publik adalah
menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang
terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang
memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan
sebagaifilsafat dan profesional standards (kode etik), atau moral atau right rules
of conduct (aturanberperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi
pelayanan publik atauadministrator publik (lihat Denhardt, 1988).
Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik diatas maka yang
dimaksudkandengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi
publik dan atau pemberianpelayanan publik (delivery system) yang didasarkan
atas serangkaian tuntunan perilaku (rulesof conduct) atau kode etik yang mengatur
hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan atausebaliknya yang “tidak baik” agar
dihindarkan.
Pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam prakteknya dilakukan oleh
lembaga atau organisasi milik pemerintah yang diserahkan kepadanya tanggung
jawab sebagai implementator kebijakan tersebut baik dalam bentuk instruksi,
peraturan pemerintah maupun yang tertuang dalam peraturan daerah. Kebijakan
harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan, daripada
apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Karena itu
definisi mengenai kebijakan lebih tepat bila mencakup pula arah atau tindakan,
tidak hanya semata-mata menyangkut usulan tindakan.
Menurut buku Kamus Administrasi Publik, Chandler dan Plano, 1988: 107
(dalam Keban, 2004: 56), “Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis
terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalahmasalah publik atau pemerintah.”
Suatu kebijakan publik tidak hanya mencakup keputusan untuk
menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan
beserta pelaksanaannya. Kebijakan sangat penting karena kedudukannya sebagai
penentu tentang apa yang hendak dikerjakan berdasarkan atas masalah, kebutuhan
atau aspirasi tertentu.
Kebijakan publik merupakan konsep yang sangat kompleks, hal ini bisa
dilihat dari banyaknya definisi mengenai kebijakan publik. Secara umum
kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah yang nyata dan mempunyai
tujuan tertentu. Dibawah ini merupakan definisi-definisi kebijakan publik yang
mempunyai persamaan.
Menurut Dye (dalam Islamy, 1997: 18) mendefinisikan kebijakan publik
adalah :
Wahetver government Choose to do or not to do” (“ Apapun yang dipilih
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”). Selanjutnya Dye
mengatakan bahwa pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka
harus ada tujuannya (obyektifnya) dan kebijakan negara itu harus meliputi
semua ”tindakan” pemerintah bukan semata-mata merupakan keinginan
pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah saja. Disamping itu sesuatu
yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara.
Hal ini disebabkan karena “ sesuatu yang tidak dilakukan “ oleh
pemerintah akan mempunyai (dampak) yang sama besarnya dengan “
sesuatu yang dilakukan“ oleh pemerintah.
Kemudian Edwards III dan Sharkansy ( dalam Islamy, 1997: 19)
mengartikan definisi Kebijakan publik adalah :
….is Whats Goverments say and do, or not do. It is the goals or puposes of
gevrement programs…” (“adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau
tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan negara itu berupa sasaran atau
tujuan programa-programa pemerintah…”). Edwards dan Sharkansky
kemudian mengatakan itu ditetapkan secara jelas dalam peraturanperaturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat
teras pemerintah atau programa-programa dan tindakan-tindakan yang
dilakukan pemerintah”.
Hal yang sama juga dikemukakan Anderson (dalam Islamy, 1997: 19)
mengatakan kebijakan publik adalah: “ Public policies are thoese policies
developed by govermental bodies and officials” (kebijakan negara adalah
kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan dan pejabat-pejabat
pemerintah). Menurut Anderson implikasi dari pengertian kebijakan negara
tersebut adalah :
1) Bahwa kebijakan negara itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau
tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2) Bahwa kebijkana negara berisi tindakan-tindakan atau pola tindakan
pejabat pemerintah.
3) Bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan
oleh pemerintah, jadi bukan pemerintah apa yang mereka bermaksud akan
melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.
4) Kebijakan negara itu bersifat positif dalam arti merupakan bentuk tindakan
pemerintah mengenai masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti :
merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
5) Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif-di dasarkan
atau selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundangan dan bersifat
memaksa (dalam Islamy, 1997: 19)
Kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah yang mempunyai
tujuan, disamping itu terdapat cara pencapaian dari tujuan tersebut. Hal ini dilihat
dari definisi kebijakan publik menurut Nakamura dan Smallwood (dalam Wahab,
1990: 32) sebagai berikut :
“memandang kebijakan negara dalam tiga aspek, yakni perumusan
kebijaksanaan, pelaksanaan kebijaksanaan, dan evaluasi kebijakan. Dalam
hal ini mereka berpendapat bahwa kebijakan negara adalah serentetan
instruksi/perintah dari para pembuat kebijakan yang ditujukan kepada para
pelaksanaan kebijaksanaan yang menjelaskan tujuan-tujuan serta cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut”.
Menurut Wilson (dalam Keban, 2004: 57) yang dikutip Peterson (2003)
tipe kebijakan terdiri atas :
1) Majoritarian cenderung mendristibusikan biaya dan juga menerima
benefit / keuntungan.
2) Client membebani masyarakat luas melalui subsidi, yang kemudian
dinikmati oleh segelintir orang saja.
3) Entrepreneurial cenderung mengonsentrasikan atau membebani biaya
pada sekelompok orang saja, tetapi kegunaan atau benefit dinikmati secara
luas.
4) Interest group mengupayakan biaya / hasil keuntungan pada kelompok
tertentu saja.
Kebijaksanaan Negara mungkin bentuk positif dapat pula berbentuk
negatif. Selanjutnya menurut Isworo (1996 : 229), bahwa proses kebijakan publik
terdiri dari langkah–langkah sebagai berikut :
a. Identifikasi masalah yang akan mengarah pada permintaan untuk
mengatasai masalah tersebut.
b. Formulasi kebijakan berupa langkah yang dilakukan setelah pemilihan
alternatif.
c. Legitimasi dari kebijakan
d. Implementasi
e. Evaluasi melalui berbagai sumber untuk melihat sejauh mana usaha
pencapaian tujuan.
Beberapa konsep tersebut memberikan gambaran bahwa kebijakan publik
terjadi karena tindakan-tindakan pemerintah dalam mengatasi masalah yang
timbul dalam masyarakat sehingga melahirkan keputusan-keputusan tersebut.
Menyimpulkan beragam pengertian mengenai kebijakan publik tersebut
Islamy (1994) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan
yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang
mepunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh
masyarakat, implikasi pengertian tersebut adalah :
a. Bahwa kebijakan publik itu bentu perdananya adalah penetapan tindakantindakan pemerintah
b. Bahwa Kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tapi juga
dilaksanakan dalam bentuk nyata
c. Setiap kebijakan publik dilandasi denganmaksud dan tujuan tertentu
d. Kebijakan publik pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan seluruh
masyarakat.
B. Konsep Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan dimulainya
sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok
untuk mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau
beberapa orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang lain,
terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut dibentuk. Hal ini
tidak dapat dipungkiri karena manusia selalu mempunyai keterbatasan dan
kelebihan-kelebihan tertentu.
Kepemimpinan sebagai suatu kegiatan untuk mempengaruhi perilaku
orang-orang agar bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan tertentu yang
mereka inginkan bersama. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah kemampuan
mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut. Dari
berbagai pendapat yang dirumuskan para ahli dapat diketahui bahwa konsepsi
kepemimpinan itu sendiri hampir sebanyak dengan jumlah orang yang ingin
mendefinisikannya, sehingga hal itu lebih merupakan konsep berdasarkan
pengalaman.
Hampir sebagian besar pendefinisian kepemimpinan memiliki titik
kesamaan kata kunci yakni “suatu proses mempengaruhi”. Akan tetapi kita
menemukan bahwa konseptualisasi kepemimpinan dalam banyak hal berbeda.
Perbedaan dalam hal “siapa yang mempergunakan pengaruh, tujuan dari upaya
mempengaruhi, cara-cara menggunakan pengaruh tersebut”.
Secara etimologi pemimpin berasal dari kata dasar “pimpin” (lead) berarti
bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalamnya terdapat dua pihak yaitu yang
dipimpin (rakyat) dan yang memimpin (imam). Setelah ditambah awalan
“pe”menjadi “pemimpin” (leader) berarti orang yang mempengaruhi pihak
lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain tersebut
bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Pemimpin adalah seorang
yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi individu dan kelompok
untuk dapat bekerjasama mencapai tujuan yang telah ditentukan. Hendry
Pratt Fairchild dalam Kartini Kartono (2006:38-39) mengemukakan bahwa
pemimpin dalam pengertian yang luas adalah seseorang yang memimpin
dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, menunjukkan,
mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain atau melalui prestise,
kekuasaan atau posisi. Sedangkan dalam pengertian yang terbatas pemimpin
ialah seseorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitaskualitas
persuasifnya dan akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para
pengikutnya.
Hasibuan,
Pemimpin
adalah
seseorang
dengan
wewenang
kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari
pekerjaannya dalam mencapai tujuan.
Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka yang menggunakan
wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para
bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi
demi mencapai tujuan perusahaan.
Seorang
pemimpin
(leader)
dalam
penerapannya
mengandung
konsekuensi terhadap dirinya, antara lain; harus berani mengambil keputusan
sendiri secara tegas dan tepat (decision making), harus berani menerima resiko
sendiri; dan harus berani menerima tanggung jawab sendiri (the principle of
absoluteness of responsibility).
Dari beberapa definisi tersebut diatas, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa pemimpin merupakan pribadi yang spesial, terpilih,
berwibawa dan memiliki kelebihan, sehingga mampu memotivasi serta
mempengaruhi individu atau kelompok untuk hal-hal tertentu.
C. Karakteristik Kepemimpinan
Kepemimpinan mungkin hanya terbentuk dalam suatu lingkungan
yang secara
dinamis
Kongkritnya, seorang
melibatkan
hanya
biasa
hubungan
di
mengklaim
antara
sejumlah
orang.
dirinya
sebagai
seorang
pemimpin jika ia memiliki sejumlah pengikut. Selanjutnya antara para pemimpin
dan pengikutnya terjalin ikatan emosional dan rasional menyangkut kesamaan
nilai yang ingin disebar dan ditanam serta kesamaan tujuan yang ingin dicapai.
Walupun dalam realitasnya sang pemimpinlah yang biasanya memperkenalkan
atau bahkan merumuskan nilai dan tujuan.
Dalam kepemimpinan ada beberapa unsur dan karakter yang sangat
menentukan untuk pencapaian tujuan suatu organisasi. Menurut Gibb dalam
Salusu (2006:203), ada empat elemen utama dalam kepemimpinan yang saling
berkaitan satu sama lain, yaitu Pemimpin yang menampilkan kepribadian
pemimpin, Kelompok, Pengikut yang muncul dengan berbagai kebutuhannya,
sikap serta masalah-masalahnya, dan situasi yang meliputi keadaan fisik dan
tugas kelompok. Selanjutnya Blake dan Mounton dalam Salusu (2006:204-205),
menawarkan enam elemen yang dianggapnya dapat menggambarkan efektifnya
suatu kepemimpinan. Tiga elemen pertama berkaitan dengan bagaimana
seorang pemimpin menggerakkan pengaruhnya terhadap dunia luar, yaitu
Initiative, Inquiry dan Advokasi. Tiga elemen yang lainnya yaitu, Conflict
Solving, Decision making, dan Criticque. Berhubungan dengan bagaimana
memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam organisasi untuk dapat
mencapai hasil yang benar. Adapun penjelasannya yaitu sebagai berikut :
1. Inisiatif. Seorang pemimpin akan mengambil
inisiatif
apabila
ia
melakukan suatu aktivitas tertentu, memulai sesuatu yang baru atau
menghentikan sesuatu yang dikerjakan.
2. Inquiry (menyelidiki). Pemimpin membutuhkan yang komprehensif
mengenai bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu,
ia perlu mempelajari latar belakang dari suatu masalah, prosedur-prosedur
yang harus ditempuh, dan tentang orang-orang yang terlibat dalam
pekerjaan yang dibidanginya.
3. Advocacy (Dukungan atau Dorongan). Aspek memberi dorongan dan
dukungan sangat penting bagi kepemimpinan seseorang karena sering
timbul keraguan atau kesulitan mengambil keputusan di antar para
eksekutif dalam organisasi atau karena adanya ide yang baik tetapi
yang bersangkutan kurang mampu untuk mempertahankannya.
4. Cinflict Solving (memecahkan Masalah). Apabila timbul masalah atu
konflik dalam organisasi, maka sudah menjadi kewajiban pemimpin
untuk menyelesaikannya.
Ia
perlu
mencari
sumber
dari
konflik
tersebut, dan menyelesaikannya dengan musyawarah untuk mufakat.
5. Decision Making (Pengambilan Keputusan). Keputusan yang dibuat
hendaknya keputusan yang baik, tidak mengecewakan, tidak membuat
frustasi, yaitu keputusan yang dapat memberi keuntungan bagi banyak
orang.
6. Critique (Kritik). Kritik disini sebagai proses mengevaluasi, menilai
dan jika sesuatu yang telah diperbuat itu baik adanya maka tindakan
serupa untuk masa-masa mendatang mungkin sebaiknya tetap dijalankan.
Dalam
Ryaas
Rasyid
(2000:37)
dijelaskan
beberapa
karakter
kepemimpinan yang berbeda satu sama lain, yaitu sebagai berikut :
1. Kepemimpinan yang Sensitif
Kepemimpinan ini ditandai dengan adanya kemampuan untuk secara dini
memahami dinamika perkembangan masyarakat, mengenai apa yang
mereka butuhkan, mengusahakan agar ia menjadi pihak pertama yang
memberi perhatian terhadap kebutuhan tersebut. Dalam karakter
kepemimpinan
tersebut,
kemampuan
berkomunikasi
daripada
pemimpin pemerintahan yang disertai pada penerapan transformasi di
dalam
proses pengambilan
keputusan
merupakan
prasyarat
bagi
pemerintah dalam mengemban segala tugas-tugasnya.
2. Kepemimpinan yang Responsif
Dalam konteks ini, pemimpin
lebih aktif mengamati
dinamika
masyarakat dan secara kreatif berupaya memahami kebutuhan mereka,
maka kepemimpinan yang responsif lahir
lebih banyak berperan
menjawab aspirasi dan tuntutan masyarakat yang disalurkan melalui
berbagai media komunikasi, menghayati
suatu
sikap
dasar
untuk
mendengar suara rakyat, mau mengeluarkan energi dan menggunakan
waktunya secara cepat untuk menjawab pertanyaan, menampung setiap
keluhan, memperhatikan setiap tuntutan dan memanfaatkan setiap
dukungan masyarakat tentang suatu kepentingan umum.
3. Kepemimpinan yang Defensif
Karakter kepemimpinan ini ditandai dengan sikap yang egoistik,
merasa paling benar, walaupun pada saat yang sama memiliki
kemampuan argumentasi yang
tinggi dalam berhadapan dengan
masyarakat. Komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat cukup
terpelihara, tetapi pada umumnya pemerintah selalu mengambil posisi
sebagai pihak yang lebih benar, lebih mengerti. Oleh karena itu,
keputusan dan penilaiannya atas sesuatu isu lebih patut diikuti oleh
masyarakat. Posisi masyarakat lemah, sekalipun tetap tersedia ruang
bagi mereka untuk bertanya , menyampaikan keluhan, aspirasi dan lain
sebagainya. Karakter kepemimpinan semacam ini bisa berhasil dalam
jangka waktu tertentu. Tetapi ketika berhadapan dengan masyarakat yang
semakin berkembang, baik secara sosial-ekonomi maupun secara
intelektualitas, karakter defensif ini akan sulit untuk melakukan
manuver.
4. Kepemimpinan yang Represif
Karakter kepemimpinan ini cenderung sama egois dan arogannya
dengan karakter kepemimpinan defensif, tetapi lebih buruk lagi karena
tidak memiliki
kemampuan
mempertahankan keputusan
argumentasi
atau
atau
penilaiannya
justifikasi
terhadap
dalam
suatu
isu
ketika berhadapan dengan masyarakat. Karakter kepemimpinan yang
represif ini secara total selalu merupakan beban yang berat bagi
masyarakat.
menyelesaikan
Ia
bukan saja
berbagai
tidak memiliki kemampuan
masalah
fundamental
dalam
untuk
masyarakat,
tetapi bahkan cenderung merusak moralitas masyarakat. Singkatnya
kepemimpinan yang represif ini lebih mewakili sifat diktatorial.
BAB III
PEMBAHASAN
A. PENTINGNYA ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi
dari politik(dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh-sungguh netral,
bebas dari pengaruhpolitik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi
kritik bermunculan menentangajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun
1930-an,
sehingga
perhatian
mulaiditujukan
kepada
keterlibatan
para
administrator dalam keputusan-keputusan publik ataukebijakan publik. Sejak saat
ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap“permainan etika”
yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilanseorang
administrator
atau
aparat
pemerintah
tidak
semata
didasarkan
pada
pencapaiankriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya,
tetapi juga kriteriamoralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public
interest atau kepentingan umum
(lihat Henry, 1995: 400).
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah
adanya publicinterest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh
pemerintah
karena pemerintahlahyang
memiliki
“tanggung jawab” atau
responsibility. Dalam memberikan pelayanan inipemerintah diharapkan secara
profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusanpolitik secara tepat
mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb.
Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki
tuntunan atau pegangankode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa
semua aparat pemerintah adalah pihakyang telah teruji pasti selalu membela
kepentingan publik atau masyarakatnya, tidakselamanya benar. Banyak kasus
membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga,kelompok, partai dan bahkan
struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorangbirokrat atau aparat
pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi”dalam
bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.
Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan didalam birokrasi yang
memberikanpelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada
aspek
kemanusiaan
dalamorganisasi
(organizational
humanism)
telah
disampaikan oleh Denhardt. Dalam literaturtentang aliran human relations dan
human resources, telah dianjurkan agar manajer harusbersikap etis, yaitu
memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara manusiawi.
Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for
people) danpengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan
produktivitas, kepuasan danpengembangan kelembagaan.
Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang
terkadangbegitu
variatif
sehingga
membutuhkan
perlakuan
khusus.
Mempekerjakan pegawai negeridengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara
orang dengan pekerjaannya” merupakanprinsip yang perlu dipertanyakan secara
etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, dimana calon yang
dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebihmaju. Kebijakan
affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada etikakarena
akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak berdaya,
dsb.,untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan suatu
pilihan moral(moral choice) yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah
berdasarkan prinsip justice –as – fairness sesuai pendapat John Rawls yaitu
bahwa distribusi kekayaan, otoritas, dankesempatan sosial akan terasa adil bila
hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepadasetiap orang, dan khususnya
terhadap
anggota
masyarakat
yang
paling
tidak
beruntung.Kebijakan
mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang populer
saatini.
Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang
bertentangandengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat
besar. Pelayanan publiktidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan
kata lain begitu kompleksitassifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian
pelayanan itu sendiri maupun mengenai caraterbaik pemberian pelayanan publik
itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan inimendorong pemberi pelayanan
publik
mengambil
“keleluasaan
langkah-langkah
bertindak”
(discretion).
profesional
Dan
yangdidasarkan
keleluasaan
inilah
kepada
yang
seringmenjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk
bertindak tidaksesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Palembang, pelanggaran
moral danetika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan
program, proyek, dankegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain
organisasi pelayanan publik(pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas)
yang sangat bias terhadap kepentingantertentu, proses manajemen pelayanan
publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dariperencanaan teknis,
pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itunampak dari
sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb.
Dantidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah
diungkapkan sebagaisalah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita. Alasan
utama yang menimbulkantragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan
aturan hukum dan perundangundangankita, sikap mental manusia, nilai-nilai
sosial budaya yang kurang mendukung,sejarah dan latarbelakang kenegaraan,
globalisasi yang tak terkendali, sistim pemerintahan,kedewasaan dalam berpolitik,
dsb. Bagi Palembang, pembenahan moralitas yang terjadiselama ini masih sebatas
lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahanmoral itu
sendiri.
Karena
itu
pembenahan
moral
merupakan
“beban
besar”
di
masamendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses
“pembusukan” terusterjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
a) Gaya kepemimpinan Otokratis
Dalam tipe kepemimpinan ini, pemimpin menentukan sendiri "policy"
dan dalam rencana untuk kelompoknya, membuat keputusan-keputusan
sendiri, namun mendapatkan tanggung jawab penuh. Bawahan harus patuh dan
mengikuti perintahnya, jadi pemimpin tersebut menentukan atau mendiktekan
aktivitas dari anggotanya. Pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa mereka
mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung mengekspresikan
kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam bentuk perintah-perintah langsung kepada
bawahan. Dalam kepemimpinan otokrasi terjadi adanya keketatan dalam
pengawasan, sehingga sukar bagi bawahan dalam memuaskan kebutuhan
egoistisnya.
b) Gaya Kepemimpinan Pengambil Keputusan sebagai berikut;
“Dalam Menentukan
keputusan–keputusan
tugas
Pemimpin kadang
menentukan sendiri keputusan yang akan di ambil dan
berkonsultasi
dulu
terhadap bawahannya, Sedangkan
terkadang
Dalam
juga
memberikan
perintah Pemimpin juga tidak pernah membentak atau memaksa apalagi
melototkan mata kepada bawahannya dia selalu lembut dan sopan dalam
memberikan sebuah perintah.
“Tentang Tingkat kedisiplinan Pemimpin dalam melakukan pengawasan
terhadap para pegawai sangatlah cukup disiplin terutama dalam hal tata
tertib yang telah di tetapkan, Kalau tentang sikap kepemimpinnan Pemimpin,
cukup koordinatif dan sangat dekat dengan bawahannya.”
“Mengenai penyelesaian masalah dalam organisasi Pemimpin tetap
mengkoordinasikan terlebih dahulu kepada bawahannya barulah Kepala Dinas
mengambil langkah – langkah untuk penyelesaian masalah tersebut.”
Dari beberapa pernyataan diatas menunjukkan bahwa Pemimpin juga
menerapkan Gaya kepemimpinan Otokratis walaupun Itu tidak dominan.
c) Gaya Kepemimpinan Demokratis
Dalam
gaya
ini pemimpin
sering mengadakan
mengikuti bawahannya dan aktif dalam menentukan
konsultasi dengan
rencana kerja yang
berhubungan dengan kelompok. Disini pemimpin seperti moderator atau
koordinator dan tidak memegang peranan seperti pada kepemimpinan
otoriter. Partisipan digunakan dan kondisi yang tepat, akan menjadikan hal
yang efektif. Maksudnya supaya dapat memberikan kesempatan pada bawahannya
untuk mengisi atau memperoleh kebutuhan egoistisnya dan memotivasi bawahan
dalam menyelesaikan tugasnya untuk meningkatkan produktivitasnya pada
pemimpin
demokratis,
sering mendorong bawahan untuk ikut ambil bagian
dalam hal tujuan-tujuan dan metode-metode serta menyokong ide-ide dan
saran-saran. Disini pemimpin mencoba mengutamakan "human relation"
(hubungan antar manusia) yang baik dan mengerjakan secara lancar.
d) Gaya Kepemimpinan Laises Faire.
yaitu gaya kepemimpinan kendali bebas. Pendekatan ini bukan berarti
tidak adanya sama sekali pimpinan. Gaya ini berasumsi bahwa suatu tugas
disajikan kepada kelompok yang biasanya menentukan teknik-teknik mereka
sendiri guna mencapai tujuan tersebut dalam rangka mencapai sasaran-sasaran
dan kebiiakan organisasi. Kepemimpinan pada tipe ini melaksanakan perannya
atas dasar aktivitas kelompok dan pimpinan kurang mengadakan pengontrolan
terhadap bawahannya. Pada tipe ini pemimpin akan meletakkan tanggung
jawab keputusan sepenuhnya kepada para bawahannya, pemimpin akan sedikit
saja atau hampir tidak sama sekali memberikan pengarahan. Pemimpin ini
lebih aktif di luar dari pada di dalam organisasi, Pemimpin pada gaya ini
sifatnya pasif dan seolah-olah tidak mampu memberikan pengaruhnya kepada
bawahannya.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab-bab
sebelumnya, maka penulis akan mengambil beberapa kesimpulan dari hasil
makalah yang dituliskan serta memberikan saran sebagai langkah terakhir dalam
penulisan makalah ini.
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil Penulisan
yang
telah
dibahas
pada
bab
sebelumnya, maka dapat dinyatakan bahwa Pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinannya
menerapkan ketiga
gaya
kepemimpinan yang
dikemukakan oleh White & Lippit, yakni gaya kepemimpinan Otokratis,
gaya kepemimpinan Demokratis, dan gaya kepemimpinan Laizzes Faire.
Namun
intensitas
penerapan
berbeda
karena
disesuaikan
kepemimpinan
otokratis
gaya kepemimpinannya
dengan
situasi dan
hanya sebagian
kecil
masing-masing
kondisi.
Gaya
diterapkan. Pemimpin
Biasanya Menentukan Sendiri keputusan yang akan di ambil dan cukup
disiplin dalam melakukan pengawasan terhadap bawahannya,
B. Saran
Dari hasil Pembahsan dan Kesimpulan, dengan melihat prospek ke
depan, maka penulis dapat mengemukakan beberapa hal yang kemudian
dijadikan sebagai bahan rekomendasi, yaitu sebagai berikut :
1. Pemimpin
Pemerintahan
dapat
mempertahankan
dan
terus
mengembangkan gaya kepemimpinan demokratis yang saat ini masih
diterapkan agar pencapaian visi, misi, dan
dijalankan dengan lebih baik lagi.
tujuan organisasi dapat
2. Hendaknya dalam menjalankan tugasnya setiap pemimpin harus lebih
terbuka dan transparan terhadap seluruh bawahannya. Selain itu,
hendaknya kantor kePemimpinan menambah pegawai yang mempunyai
usia produktif maka pelayanan dapat lebih efektif lagi.
3. Walaupun dengan penerapan gaya kepemimpinan demokratis Insatnsi
Pemerintah saat
ditunjang
dengan
ini berjalan dengan baik, namun kebebasan harus
pengawasan
yang
baik
demi
mengembangkan
kedisiplinan pegawai tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport,
Connecticut:Greenwood Press.
Dale, Robert D. 1992. Pelayanan sebagai Pemimpin. Gandum Mas: Malang.
Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition.
Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International, Inc.
Handoko,
Hani
T, dan
Reksohadiprodjo
Sukanto. 1996. Organisasi
Perusahaan. Edisi kedua Yogyakarta : BPFE.
Harbani, Pasolong. 2008. Kepemimpinan Birokrasi, Bandung : CV.Alfabeta.
Heidjrachman, H. Suad. 2002. Manajemen Personalia. Yogyakarta : BPFE.
Hersey, Paul. 1994. Kunci Sukses Pemimpin Situasional. Jakarta : Delaprasata.
Kartono, Kartini. 2006. Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Kepemimpinan
Abnormal Itu?. PT. RajaGrafindo Persada : Jakarta.
Kristiadi. 1996. Kepemimpinan. Jakarta: LAN RI
Nawawi, Hadari & Hadari, M. Martini. 2004. Kepemimpinan yang Efektif. Gadjah
Mada University Press : Yogyakarta
Mangkunegara, A. A. P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
Mathis, Robert dan John Jackson. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia
Buku 2. Jakarta: PT. Salemba 4.
Pangewa, Maharuddin. 1989. Kepemimpinan Dalam Proses Administrasi.
Ujung Pandang: FPIPS IKIP.
Rasyid M Ryaas. 2000. Makna Pemerintahan. Mutiara Sumber Widya : Jakarta
Rivai, Veithzal. 2006. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Edisi Kedua. PT.
Raja Grafindo Persada : Jakarta
Robbins, Stephen. P. 2002. Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi. Terjemahan
Oleh Halida , Dewi Sartika. Erlangga
Salusu. 2006. Pengambilan Keputusan Stratejik. PT. Grasindo : Jakarta.
Sedarmayanti. 2007. Manajemen SDM cetakan 1. PT. Refika Aditama. Bandung.
Perry, James L. 1989. Handbook of Public Administration. San Fransisca, CA:
Jossey- Bass Limited.
Siagian P. Sondang. 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta:
Rineka Cipta.
Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell. 1997. Introducing Public Administration. New
York, N.Y.: Longman.