Imlek dan Pemilu 2014 doc
Imlek dan Pemilu 2014
Perayaan imlek di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meriah. Ragam
kemeriahan perayaan imlek kali ini pun menghiasi seluruh penjuru kota. Berbagai
ornamen dan hiasan imlek telah memenuhi ruang-ruang publik, mulai dari
lampion warna merah keemasan, kue keranjang, patung naga, pertunjukkan
barongsai hingga pernak-pernik lainnya sebagai simbol pesta perayaan imlek.
Pasca reformasi 1998, Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) telah
membebaskan masyarakat Tionghoa dan pemeluk agama Konghucu dari
kekangan kebebasan ekspresi budaya dan politik. Sejak dicabutnya larangan
perayaan imlek sebagai produk otoriterianisme, masyarakat Tionghoa bisa dengan
bebas menghirup udara segar. Sejak itu, Gus Dur telah menanamkan nilai-nilai
pluralisme sebagai suatu keniscayaan di tengah-tengah keragaman etnis, ras, suku,
agama dan budaya. Sehingga masyarakat Tionghoa dapat merayakan imlek secara
terbuka di negeri ini. Bahkan berkat kepeloporan Gus Dur tersebut, Indonesia
memperoleh pengakuan masyarakat dunia sebagai negara yang paling toleran
dalam menumbuhkembangkan kerukunan hidup antarumat beragama di tengah
mayoritas penduduk muslim.
Pada era Presiden Megawati Soekarno Putri, gegap gempita kemeriahan
imlek kian mewarnai seluruh pelosok negeri. Pasalnya, peringatan Hari Raya
Imlek diputuskan sebagai hari libur nasional. Hal itu tentu kian mempertegas
komitmen bangsa Indonesia dalam meletakan pondasi kebangsaan yang kokoh di
tengah kemajemukan etnis, ras, suku, agama dan budaya. Sejak itu pula, bukan
saja etnis Tionghoa yang merasakan perayaan imlek, tetapi seluruh warga
masyarakat di luar etnis Tionghoa pun merasakan gairah dan semangat yang sama.
Imlek bagi masyarakat Tionghoa bukan saja sekadar momentum pergantian
tahun berdasarkan kalender masehi, tetapi waktu yang tepat untuk melakukan
instrospeksi diri dalam menanamkan optimisme yang melahirkan semangat baru
untuk menggapai hari esok yang lebih baik. Rasa optimisme ini penting untuk
memupuk kepercayaan diri seluruh warga Tionghoa dalam berinteraksi dengan
warga masyarakat lainnya. Sebab, kepercayaan diri seluruh masyarakat Indonesia
menjadi urgen dalam meningkatkan derajat kebangsaan kita. Sehingga semangat
perayaan imlek lebih dimaknai sebagai refleksi kemajemukan bangsa Indonesia
dalam “Bhineka Tunggal Ika” yang menjadi lambang negara.
Melalui
perayaan
imlek,
bangsa
Indonesia
telah
mampu
menumbuhkembangkan sikap toleransi antarumat beragama dan penganut budaya
yang ada. Hal itu menjadi catatan sejarah bangsa kita dalam membina kerukunan
antarumat dan mengokohkan persatuan dalam kemajemukan. Kita masih ingat,
betapa otoritarianisme telah mengekang kebebasan ekspresi budaya dan aspirasi
politik warga Tionghoa di Indonesia. Kebijakan rejim kala itu seolah menggiring
masyarakat lainnya untuk menanamkan apatisme terhadap etnis Tionghoa. Bahkan
etnis Tionghoa dipandang sebagai etnis kedua setelah warga asli-pribumi. Ironis,
mengingat Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem demokrasi
sebagai pilihan bernegara dan berbangsa serta menjunjung tinggi nilai-nilai
kemajemukan masyarakatnya yang terbentang dari sabang sampai merauke.
Dalam konteks sejarah, etnis Tionghoa telah berperan aktif dalam upaya
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Masyarakat Tionghoa melebur menjadi
satu dengan eksponen masyarakat yang notabene berbeda etnis, ras, suku, agama
maupun budaya yang ada di Indonesia. Mereka bersama dengan lainnya
mengangkat senjata, memberikan sumbangsih pemikiran, tenaga bahkan
berkorban nyawa demi cita-cita bersama menuju Indonesia merdeka. Sebuah
realitas yang harus kita terima sebagai masyarakat bangsa.
Realitas tersebut terus kita jumpai pada era sekarang. Kita dapat
menyaksikan betapa besar sumbangsih masyarakat Tionghoa terhadap kejayaan
bangsa Indonesia. Berbagai medali penghargaan buah prestasi gemilang
dipersembahkan bagi kemajuan bangsa, mulai dari penghargaan di bidang
pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Bahkan hal tersebut diakui oleh
masyarakat dunia sebagai buah goresan prestasi anak bangsa di kancah percaturan
Internasional.
Hari ini, kita menyaksikan kegembiraan masyarakat Tionghoa dalam
merayakan Hari Besar Imlek. Akan tetapi, apakah seluruh warga masyarakat
Tionghoa sudah benar-benar merasakan kebebasan mengekspresikan kebudayaan
dan aspirasi politiknya? Untuk menjawabnya, pertama, kita perlu meletakan
objektifitas sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut cita-cita
kemerdekaan. Kedua, pengakuan masyarakat luas terhadap etnis Tionghoa
Indonesia harus menjadi sebuah keniscayaan konstitusi kita. Ketiga, masyarakat
Tionghoa sendiri harus mampu menjadi bagian integral bangsa Indoneisa.
Kini, kita masih memiliki tanggung jawab besar untuk merubah konstruksi
berfikir masyarakat secara umum dalam memosisikan etnis Tionghoa sejajar
dengan etnis lainnya, dan tidak menganggap warga Tionghoa sebagai kaum
minoritas yang termarginalkan. Hal ini tentu akan berdampak positif terhadap
persatuan dan keutuhan bangsa. Sikap tolerasi terhadap kemajemukan menjadi
modal dasar pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya.
Warga Tionghoa dan Pemilu
Kegembiraan warga Tionghoa dalam merayakan Hari Raya Imlek
merupakan kemerdekaan seluruh masyarakat Indonesia. Kulminasi kemerdekaan
tersebut termanifestasikan melalui persamaan hak dan kewajiban setiap warga
negara, tidak terkecuali bagi warga masyarakat Tionghoa. Dalam konteks
berdemokrasi, partisipasi politik seluruh warga masyarakat pada pesta politik lima
tahunan merupakan sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Dengan kata lain,
setiap warga negara yang sudah berhak memilih dituntut untuk dapat menyalurkan
aspirasinya melalui sistem pemilihan umum (pemilu).
Pemilu merupakan amanah konstitusi kita. Sebagai sebuah sistem saluran
aspirasi, pemilu harus diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Hal tersebut bertujuan untuk menjamin legitimasi peralihan
kedaulatan rakyat. Sehingga melalui sistem tersebut, diharapkan mampu
melahirkan kepemimpinan nasional sesuai harapan dan cita-cita masyarakatnya.
Kesadaran dalam menunaikan hak dan kewajiban tersebut menjadi
tanggungjawab kita semua, termasuk seluruh warga masyarakat Tionghoa di
Indonesia. Oleh karena itu, perayaan imlek kali ini menjadi momentum tepat
untuk meningkatkan kesadaran berpolitik seluruh masyarakat Indonesia, terutama
dalam menyukseskan pemilu 2014 sekarang. Gong Xi Fat Cai.
FIRDAUS SANDATIKA, Pengurus Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendikiawan
Muslim se-Indonesia (Masika ICMI) Orwil Jawa Barat Periode 2014-2017.
(HP. 081213140084)
Perayaan imlek di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meriah. Ragam
kemeriahan perayaan imlek kali ini pun menghiasi seluruh penjuru kota. Berbagai
ornamen dan hiasan imlek telah memenuhi ruang-ruang publik, mulai dari
lampion warna merah keemasan, kue keranjang, patung naga, pertunjukkan
barongsai hingga pernak-pernik lainnya sebagai simbol pesta perayaan imlek.
Pasca reformasi 1998, Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) telah
membebaskan masyarakat Tionghoa dan pemeluk agama Konghucu dari
kekangan kebebasan ekspresi budaya dan politik. Sejak dicabutnya larangan
perayaan imlek sebagai produk otoriterianisme, masyarakat Tionghoa bisa dengan
bebas menghirup udara segar. Sejak itu, Gus Dur telah menanamkan nilai-nilai
pluralisme sebagai suatu keniscayaan di tengah-tengah keragaman etnis, ras, suku,
agama dan budaya. Sehingga masyarakat Tionghoa dapat merayakan imlek secara
terbuka di negeri ini. Bahkan berkat kepeloporan Gus Dur tersebut, Indonesia
memperoleh pengakuan masyarakat dunia sebagai negara yang paling toleran
dalam menumbuhkembangkan kerukunan hidup antarumat beragama di tengah
mayoritas penduduk muslim.
Pada era Presiden Megawati Soekarno Putri, gegap gempita kemeriahan
imlek kian mewarnai seluruh pelosok negeri. Pasalnya, peringatan Hari Raya
Imlek diputuskan sebagai hari libur nasional. Hal itu tentu kian mempertegas
komitmen bangsa Indonesia dalam meletakan pondasi kebangsaan yang kokoh di
tengah kemajemukan etnis, ras, suku, agama dan budaya. Sejak itu pula, bukan
saja etnis Tionghoa yang merasakan perayaan imlek, tetapi seluruh warga
masyarakat di luar etnis Tionghoa pun merasakan gairah dan semangat yang sama.
Imlek bagi masyarakat Tionghoa bukan saja sekadar momentum pergantian
tahun berdasarkan kalender masehi, tetapi waktu yang tepat untuk melakukan
instrospeksi diri dalam menanamkan optimisme yang melahirkan semangat baru
untuk menggapai hari esok yang lebih baik. Rasa optimisme ini penting untuk
memupuk kepercayaan diri seluruh warga Tionghoa dalam berinteraksi dengan
warga masyarakat lainnya. Sebab, kepercayaan diri seluruh masyarakat Indonesia
menjadi urgen dalam meningkatkan derajat kebangsaan kita. Sehingga semangat
perayaan imlek lebih dimaknai sebagai refleksi kemajemukan bangsa Indonesia
dalam “Bhineka Tunggal Ika” yang menjadi lambang negara.
Melalui
perayaan
imlek,
bangsa
Indonesia
telah
mampu
menumbuhkembangkan sikap toleransi antarumat beragama dan penganut budaya
yang ada. Hal itu menjadi catatan sejarah bangsa kita dalam membina kerukunan
antarumat dan mengokohkan persatuan dalam kemajemukan. Kita masih ingat,
betapa otoritarianisme telah mengekang kebebasan ekspresi budaya dan aspirasi
politik warga Tionghoa di Indonesia. Kebijakan rejim kala itu seolah menggiring
masyarakat lainnya untuk menanamkan apatisme terhadap etnis Tionghoa. Bahkan
etnis Tionghoa dipandang sebagai etnis kedua setelah warga asli-pribumi. Ironis,
mengingat Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem demokrasi
sebagai pilihan bernegara dan berbangsa serta menjunjung tinggi nilai-nilai
kemajemukan masyarakatnya yang terbentang dari sabang sampai merauke.
Dalam konteks sejarah, etnis Tionghoa telah berperan aktif dalam upaya
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Masyarakat Tionghoa melebur menjadi
satu dengan eksponen masyarakat yang notabene berbeda etnis, ras, suku, agama
maupun budaya yang ada di Indonesia. Mereka bersama dengan lainnya
mengangkat senjata, memberikan sumbangsih pemikiran, tenaga bahkan
berkorban nyawa demi cita-cita bersama menuju Indonesia merdeka. Sebuah
realitas yang harus kita terima sebagai masyarakat bangsa.
Realitas tersebut terus kita jumpai pada era sekarang. Kita dapat
menyaksikan betapa besar sumbangsih masyarakat Tionghoa terhadap kejayaan
bangsa Indonesia. Berbagai medali penghargaan buah prestasi gemilang
dipersembahkan bagi kemajuan bangsa, mulai dari penghargaan di bidang
pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Bahkan hal tersebut diakui oleh
masyarakat dunia sebagai buah goresan prestasi anak bangsa di kancah percaturan
Internasional.
Hari ini, kita menyaksikan kegembiraan masyarakat Tionghoa dalam
merayakan Hari Besar Imlek. Akan tetapi, apakah seluruh warga masyarakat
Tionghoa sudah benar-benar merasakan kebebasan mengekspresikan kebudayaan
dan aspirasi politiknya? Untuk menjawabnya, pertama, kita perlu meletakan
objektifitas sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut cita-cita
kemerdekaan. Kedua, pengakuan masyarakat luas terhadap etnis Tionghoa
Indonesia harus menjadi sebuah keniscayaan konstitusi kita. Ketiga, masyarakat
Tionghoa sendiri harus mampu menjadi bagian integral bangsa Indoneisa.
Kini, kita masih memiliki tanggung jawab besar untuk merubah konstruksi
berfikir masyarakat secara umum dalam memosisikan etnis Tionghoa sejajar
dengan etnis lainnya, dan tidak menganggap warga Tionghoa sebagai kaum
minoritas yang termarginalkan. Hal ini tentu akan berdampak positif terhadap
persatuan dan keutuhan bangsa. Sikap tolerasi terhadap kemajemukan menjadi
modal dasar pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya.
Warga Tionghoa dan Pemilu
Kegembiraan warga Tionghoa dalam merayakan Hari Raya Imlek
merupakan kemerdekaan seluruh masyarakat Indonesia. Kulminasi kemerdekaan
tersebut termanifestasikan melalui persamaan hak dan kewajiban setiap warga
negara, tidak terkecuali bagi warga masyarakat Tionghoa. Dalam konteks
berdemokrasi, partisipasi politik seluruh warga masyarakat pada pesta politik lima
tahunan merupakan sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Dengan kata lain,
setiap warga negara yang sudah berhak memilih dituntut untuk dapat menyalurkan
aspirasinya melalui sistem pemilihan umum (pemilu).
Pemilu merupakan amanah konstitusi kita. Sebagai sebuah sistem saluran
aspirasi, pemilu harus diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Hal tersebut bertujuan untuk menjamin legitimasi peralihan
kedaulatan rakyat. Sehingga melalui sistem tersebut, diharapkan mampu
melahirkan kepemimpinan nasional sesuai harapan dan cita-cita masyarakatnya.
Kesadaran dalam menunaikan hak dan kewajiban tersebut menjadi
tanggungjawab kita semua, termasuk seluruh warga masyarakat Tionghoa di
Indonesia. Oleh karena itu, perayaan imlek kali ini menjadi momentum tepat
untuk meningkatkan kesadaran berpolitik seluruh masyarakat Indonesia, terutama
dalam menyukseskan pemilu 2014 sekarang. Gong Xi Fat Cai.
FIRDAUS SANDATIKA, Pengurus Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendikiawan
Muslim se-Indonesia (Masika ICMI) Orwil Jawa Barat Periode 2014-2017.
(HP. 081213140084)