Sastra Perempuan Pemberdayaan atau Pelem

SASTRA PEREMPUAN, PEMBERDAYAAN ATAU PELEMAHAN?
ANALISIS RUMPUN ILMU SASTRA PEREMPUAN
MENGGUNAKAN TEORI PEMBERDAYAAN
Dhianita Kusuma Pertiwi
dhiandharti@gmail.com
ABSTRAK
Sebagai ilmu yang bisa dibilang memiliki sejarah panjang, sastra telah melahirkan beberapa
teori analisis, kerangka berpikir, dan cabang rumpun ilmu, salah satunya adalah sastra
perempuan. Walaupun peran dan kontribusi perempuan dalam dunia sastra terutama
pengkaryaan telah melewati periode waktu yang sangat lama, namun munculnya kesadaran
untuk menganalisis hal tersebut secara akademis masih bisa dibilang baru, yakni pada abad ke
18 terutama di Inggris. Seiring perkembangan sastra perempuan sebagai kajian rumpun ilmu
dan juga pergerakan feminisme di dunia, di Indonesia pun kita mengenal istilah ‘sastra wangi’
yang merujuk pada penulis-penulis perempuan yang mengangkat nilai-nilai yang dianggap
tabu dalam karya-karyanya. Pemberian klasifikasi spesifik atas kontribusi penulis perempuan
dalam dunia sastra memunculkan dua kubu respon di masyarakat, menganggapnya sebagai
usaha pemberdayaan perempuan pada satu sisi, namun juga dianggap pelemahan perempuan
pada sisi lain. Karya ilmiah ini akan mengupas sastra perempuan secara substansial, mulai
sejarah sampai respon masyarakat atas pembentukannya. Data diperoleh melalui proses studi
pustaka pada sumber-sumber terkait yang kemudian dianalisis menggunakan kerangka teori
pemberdayaan (theory of empowerment) untuk menengahi kedua kubu pendapat yang

melingkupi sastra perempuan sebagai usaha pemberdayaan atau pelemahan.
Kata kunci: sastra perempuan, sastra wangi, teori pemberdayaan, feminisme, pemberdayaan
perempuan
PENDAHULUAN
Dalam bukunya Sastra, Perempuan, Seks, Katrin Bandel melakukan analisis mendalam
terhadap karya-karya yang dibuat oleh penulis-penulis perempuan ‘baru’ di Indonesia seperti
Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami, dan secara implisit menyatakan bahwa sastra perempuan
harusnya tidak perlu menjadi sesuatu yang terlalu dirayakan dan diagung-agungkan oleh
penikmat sastra Indonesia. Buku yang sempat menjadi pembicaraan hangat di dalam
pergerakan dunia sastra Indonesia itu terbit pada tahun 2006, menunjukkan bahwa Perempuan
dan Sastra -dengan huruf kapital- belum menjadi sebuah diskursus yang dianggap usang dan
lawas. Dan agaknya analisis Katrin Bandel yang menurut beberapa pembacanya tidak kalah
menantang dari karya-karya sastra yang dibahasnya -seperti Nayla, Djenar Maesa Ayu; Cantik
itu Luka, Eka Kurniawan; Incest, Wayan Artika- karena mampu memberikan suatu opini segar
dan membuka sudut pandang baru terutama bagi para penikmat sastra kontemporer. Di saat
yang sama, opini yang tertuang di sana memperpanas perdebatan di jagat dunia sastra Indonesia
tentang eksistensi sebuah rumpun baru sastra wangi yang -seperti telah disebutkan di atas1

2
terdiri dari tokoh-tokoh penulis perempuan penggebrak nilai kemasyarakatan yang

berkembang pada generasi sebelum masa kini.
Namun Bandel tidak memperluas pandangannya pada sampai sejarah perkembangan
sastra perempuan secara umum, tidak merunut kontinuum fenomena pengklasifikasian spesifik
pada karya sastra yang ditulis perempuan yang jauh terjadi sebelum sastra wangi lahir di abad
ke 21. Ia hanya memberikan justifikasi atas eksistensi rumpun tersebut pada perkembangan
sastra kontemporer yang didorong karena munculnya penulis-penulis ‘muda’ Indonesia, tanpa
menganalisis lebih lanjut sejarah dan signifikansi sastra perempuan yang kaitannya dengan
gerakan feminisme dan pemberdayaan perempuan. Tulisan inilah yang akan mencoba
menelisik ke ranah tersebut menggunakan teknik analisis yang lebih bersifat akademis dengan
menggunakan metode penelitian studi pustaka pada beberapa sumber terkait.
Sebagai catatan, sebenarnya istilah ‘sastra perempuan’ belum digunakan secara umum
untuk merujuk karya sastra yang ditulis oleh perempuan dikarenakan ketidakpastian defnisi
istilah ini. Bahkan pada literatur dalam bahasa Inggris, istilah yang sering digunakan adalah
‘women’s writing’ untuk merujuk karya sastra yang ditulis oleh perempuan. Untuk
menghindari kesalahpahaman, istlah ‘sastra perempuan’ yang digunakan dan menjadi bahasan
utama dalam karya tulis ini memiliki makna sebagai ‘semua karya sastra dengan genre, jenis,
dan bentuk apapun yang dibuat oleh penulis perempuan dari seluruh belahan dunia dalam
periode waktu yang tidak terbatas’.
PEMBAHASAN
Sejarah Sastra Perempuan

Jika dilihat dari kacamata sejarah pengkaryaan, kontribusi dan peran perempuan dalam
dunia sastra sebenarnya sudah memiliki tradisi yang kaya dan melewati periode waktu yang
sangat panjang, namun tinjauan akademis pada sastra perempuan sebagai kategori terpisah
secara budang keilmuan bisa dibilang sesuatu yang baru. Menurut Miram Schneir, perempuan
yang pertama kali “mengangkat penanya untuk membela jenis kelaminnya” adalah Christine
de Pizan1, seorang penulis perempuan Perancis-Italia yang bekerja sebagai penulis untuk
bangsawan-bangsawan kerajaan, juga sebagai penyair dan penulis prosa. Beberapa buku yang
berhasil diterbitkan selama karirnya dari 1399 sampai 1429 adalah biografi dan buku petunjuk

1

S. Miram, Feminism: The Essential Historical Writings, Vintage Books, 1994, hlm. xiv.

3
bagi perempuan hingga mencapai empat puluh satu karya 2. Namun pada saat itu tulisan yang
dibuatnya tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang perlu diberi perhatian khusus sebagai
karya penulis perempuan.
Gagasan tentang feminisme sudah muncul di Inggris pada abad 18 terutama pada masa
Pencerahan, dan bisa dikatakan menjadi pendorong utama munculnya anggapan bahwa perlu
untuk mengklasifikasikan karya yang dibuat oleh penulis perempuan sebagai bidang analisis

tertentu. Beberapa karya yang merupakan cikal bakal studi sastra perempuan di Inggris mulai
diterbitkan pada periode tersebut, antara lain Memoirs of Several Ladies of Great Britain Who
Have Been Celebrated for Their Writing of Skill in the Learned Language, Arts, and Sciences
(1752) yang disusun oleh George Ballard, dan katalog penulis perempuan berjudul Feminiad
yang disusun oleh John Duncombe. Kemudian para penulis perempuan pada masa itu yang
mulai menyadari bahwa kontribusi kaum perempuan di dunia sastra mulai diakui, pun bergerak
untuk mencari tahu dan mencoba melestarikan ‘tradisi penulisan perempuan’ yang telah
dilakukan oleh generasi sebelumnya, ditunjukkan dengan karya-karya sastra terbaik abad 18
yang dibuat oleh penulis perempuan seperti Mary Scott, The Female Advocate: A Poem
Occasioned by Reading Mr. Duncombe’s Feminiad (1774) dan enam volume Female
Biography oleh Mary Hays.
Feminisme gelombang pertama (first-wave feminism) merupakan gerakan aktivitas dan
pemikiran feminisme yang terjadi selama abad ke 19 sampai awal abad ke 20, dengan aspirasi
utama menuntut hak keterlibatan dalam pemilu bagi perempuan. Secara umum, feminisme
gelombang pertama menjadikan keseteraan hak antara perempuan dan laki-laki sebagai suatu
cita-cita puncak dari gerakan tersebut. Dan selama masa tersebut, awal abad ke 20 bisa
dikatakan merupakan momentum penting dalam sejarah sastra perempuan karena pada periode
ini peran perempuan semakin berkembang, terutama pada urusan-urusan publik. Perang Dunia
yang mewajibkan para kepala keluarga atau anggota keluarga laki-laki untuk wajib militer
membuat para pelaku industri mulai membuka kesempatan bagi perempuan untuk tergabung

dalam proses produksi, sehingga perlahan-lahan menghancurkan belenggu domestik yang
sebelumnya dipercaya sebagai nilai ideal.
Pada pertengahan abad 20, aktivitas dan perhatian perempuan telah disadari sebagai
elemen signifikan untuk lanskap literasi, sains, dan budaya di beberapa negara, menandai

2

A. A. Lunsford (ed.), Reclaiming Rhetorica: Women and in the Rhetorical Tradition, Pittsburgh: University of
Pittsburgh Press, 1995, hlm. 74

4
perubahan revolusioner pada peran sosial dan domestik perempuan3. Feminisme gelombang
kedua (second-wave feminism) yang diperkirakan mulai tercetus pada 1960an di Amerika
Serikat juga merupakan salah satu momentum di abad 20 yang mengangkat kesadaran publik
tentang peran perempuan di lingkup masyarakat, dengan tuntutan ‘bahwa kehidupan dan
kontribusi perempuan selama ini telah dikesampingkan, terutama dalam kepentingan
akademik’. Rupanya usaha penyadaran publik tersebut bisa dibilang berbuah manis karena
sejak tahun 1970an mulai bermunculan penerbit-penerbit yang mendedikasikan bisnis mereka
untuk mempublikasikan buku sastra perempuan. Disamping itu, usaha untuk mencari tahu
sejarah dan kiprah sastrawan perempuan juga semakin marak dilakukan di bangku universitas,

pun semakin banyak kritik yang diluncurkan oleh akademisi atau pendidik tentang perlunya
pengakuan khusus terhadap sastra perempuan.
Sastra Perempuan di Negara-Negara Dunia Ketiga
Seperti kebanyakan teori dan metodologi penelitian sastra yang lahir dari Barat, seperti
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, sastra perempuan juga bisa dikatakan pertama
kali merupakan sebuah diskursus akademik di Eropa yang kemudian didukung oleh pergerakan
perempuan masif di Amerika untuk menjadikannya lebih praktikal di lingkungan sosial
masyarakat. Namun kita tahu bahwa komunitas perempuan tidak hanya hidup di kedua benua
tersebut, dan sejarah kontribusi perempuan pada sastra juga tidak bisa dikotakkan hanya milik
perempuan-perempuan ras Kaukasia, karena juga ada mereka yang hidup di negara-negara
‘Dunia Ketiga’, sebuah istilah yang pertama kali muncul pada perang dingin untuk merujuk
negara-negara yang tidak menyatakan dukungan terhadap NATO, antara lain negara-negara di
Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Namun seiring berjalannya waktu, konotasi yang
menempel pada istilah Dunia Ketiga lebih berhubungan pada status inferioritas negara-negara
benua Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Inferioritas ini juga berlaku untuk kehidupan sosial
masyarakat, termasuk pergerakan perempuan.
Menurut Sarah Jane Deutsch, perempuan pada Era Progresif di Amerika “merokok,
menari di tempat umum, memiliki pekerjaan, dan secara umum melakukan hal-hal yang
dilarang untuk dilakukan perempuan pada abad ke 19.”4 Namun Deutsch melanjutkan bahwa
gambaran perempuan Era Progresif itu terbatas pada satu porsi populasi, yakni komunitas

perempuan berkulit putih, muda, dan berasal dari kelas sosial menengah ke atas. Sedangkan
J. Bomarito, J. W. Hunter, ‘Women in the Early to Mid-20th Century’, Feminism in Literature: A Gale Critical
Companion, Volume 4: 20 Century, Topics, Detroit: Thomson Gale, 2005, hlm.1
4
Ibid.

3

5
perempuan di tempat lain, terutama yang berasal dari kelompok komunitas lain seperti
keturunan Afrika, Asia, dan Latin masih harus berjuang untuk menjalankan peran baru mereka
sebagai pekerja profesional dan ibu rumah tangga. Sehingga dapat dikatakan bahkan saat para
penulis perempuan yang dianggap keturunan ras asli Kaukasia sudah mulai diakui
kontribusinya di dunia sastra, masih banyak komunitas perempuan dengan latar belakang
budaya lain yang belum tersentuh oleh gerakan feminisme pada saat itu.
Amerika Selatan
Negara-negara di Amerika Selatan dikenal memiliki nilai-nilai dan kebudayaan yang tidak bisa
disamakan dengan yang berkembang di Kanada atau Amerika Serikat. Secara khusus, buktibukti sejarah menyatakan bahwa gerakan feminisme yang ada di negara-negara Amerika
Selatan tidak sama dengan yang ada di Amerika Serikat misalnya pada periode gelombang
pergerakan, dan sumber pemikiran yang menyatakan bahwa feminisme merupakan suatu

idelogi yang berakar dari pemikiran lokal Amerika Selatan dan pergerakannya dimulai sejak
abad ke tujuh belas5. Walaupun merupakan bagian dari benua Amerika, masyarakat Amerika
Selatan sering mendapatkan diskriminasi yang didasarkan pada warna kulit dan kelas ekonomi.
Sejarah sastra perempuan di negara-negara Amerika Selatan telah melahirkan beberapa karya
dan nama yang dikenal secara luas, seperti Gabriela Mistral yang menjadi penulis Amerika
Selatan pertama yang menerima penghargaan Nobel untuk Sastra.
Afrika
Bangsa keturunan ras Afrika diketahui memiliki sejarah konflik sosial dan budaya yang cukup
panjang dan berpengaruh terhadap pergerakan feminisme secara umum dan sastra perempuan
secara khusus, salah satu contohnya adalah perbudakan. Carby (1996) menjelaskan mengapa
feminisme yang ada selama ini, yakni feminisme untuk perempuan kulit putih, menjadi
pengalaman yang bersifat normatif bagi semua perempuan, yakni karena “sejarah telah
mengkonstruksi seksualitas kita dan femininitas kita menggunakan kualitas yang berdasar pada
perempuan kulit putih, sebagai hadiah dari dunia Barat, yang telah diberkahi.” 6 Sehingga
feminisme Afrika mencoba mengenalkan hal-hal baru yang lebih membela perempuan Afrika
sebagai suatu kaum yang asli dan menggunakan nilai-nilai yang terpisah dari supremasi kulit
putih. Kesadaran terhadap perempuan sebagai sebuah bidang ilmu di Afrika bisa dibilang
5

E. O'Conner, Mother's Making Latin America: Genders, Households, and Politics since 1825, US: WileyBlackwell, 2014.

6
H. Carby, "White Women Listen! Black Feminism and the Boundaries of sisterhood", Black British Cultural
Studies: A Reader, Chicago: The University of Chicago Press, 1996, hlm. 61

6
sebagai sesuatu yang baru saja muncul dan berkembang, ditandai dengan dibukanya jurusan
studi perempuan di universitas-universitas, walaupun beberapa perempuan sudah
menunjukkan kontribusinya di berbagai bidang termasuk sastra sejak akhir abad 19. Antara
lain seperti Olive Schreiner yang sudah mencanangkan diri sebagai penulis, feminis, dan
kritikus dan dianggap sebagai pelopor penulis perempuan Afrika. Mariama Bâ juga merupakan
seorang penulis perempuan yang menyatakan dirinya sebagai “Perempuan Muslim Modern”.
Timur Tengah
Gagasan tentang feminisme mulai muncul dan berkembang di masyarakat Timur Tengah pada
akhir abad 197, yang kemudian sebagai konsekuensinya membawa mereka menghadapi dua
realita yang kontradiktif satu sama lain: penerimaan dan penolakan atas budaya Barat yang
dianggap sebagai tanah kelahiran feminisme. Para penulis perempuan di Timur Tengah harus
menghadapi suatu perjuangan kaum untuk mendapatkan penghargaan atas karyanya. Sastra
pun digunakan salah satu bentuk pergolakan melawan sistem patriakal, dengan menjadikan
perjuangan perempuan sebagai tema utama dari sastra perempuan yang lahir dari tanah Timur
Tengah. Sebagai contoh, Layla Baalbaki yang dianggap sebagai pioner dari sastra perempuan

di Timur Tengah, menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan yang mencari tempat
di dunia, dengan berjuang memperoleh kemerdekaan secara sosial, politik, dan ekonomi.
Beberapa penulis lain seperti Assia Djebar, Fatema Mernissi, dan Nawal El-Saadawi juga
melakukan hal yang sama, menggambarkan perjuangan perempuan Timur Tengah untuk
mendapatkan hak dan kemerdekaannya dalam karya sastra.
Asia
Merujuk pada konsep Orientalisme, negara-negara, masyarakat dan kebudayaan yang
berkembang di Asia dianggap memiliki nilai-nilai ‘eksotis’ dari kacamata superioritas bangsa
barat karena “orang-orang yang punya kekuasaan dan pengaruh dari barat seperti ilmuwan
sosial dan artis menganggap “Orient” sebagai other (lain)”. Cara pandang tersebut
mempengaruh perkembangan sosial dan budaya negara-negara di Asia, dalam hal ini sulitnya
menghimpun pergerakan pemberdayaan perempuan yang membebaskan dari nilai-nilai tradisi
yang membatasi, dan juga mendapatkan pengakuan publik atas produk budaya misalnya sastra.
Perempuan India mengenal pergerakan perempuan dalam tiga fase yang dimulai sejak

L. Ahmed, ‘Feminism and Feminist Movements in the Middle East, a Preliminary Exploration: Turkey, Egypt,
Algeria, People's Democratic Republic of Yemen’, Women's Studies International Forum Volume 5 Edisi 2,
Amsterdam: Elsevier, 1982.

7


7
pertengahan abad 18, dengan munculnya perlawanan atas tradisi Sati atau bakar diri bagi
perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya sebagai tanda kesetiaan. Beberapa nama seperti
Arundhati Roy dan Jahnavi Barua merupakan penulis perempuan dari India yang menggunakan
bahasa Inggris dalam menulis dan telah mendapatkan apresiasi global. Sedangkan di Cina,
gerakan feminisme baru dimulai pada awal abad ke 20 yang muncul bersamaan dengan
Revolusi Cina, dan berkaitan erat dengan sosialisme dan isu kelas.
Kartini merupakan salah seorang tokoh yang diakui oleh masyarakat luas sebagai
seorang penggugah emansipasi bagi perempuan Indonesia yang kebanyakan haknya
terbelenggu oleh nilai-nilai adat. Pola pikir seorang Kartini dianggap merupakan cikal bakal
gerakan pemberdayaan perempuan di Indonesia, yang tertuang pada surat-surat yang ditulis
selama hidupnya yakni pada abad ke 19. Pada masa penjajahan dan berdirinya Balai Pustaka
sebagai tonggak perkembangan sastra Indonesia modern, karya-karya yang mendapatkan
apresiasi kebanyakan merupakan karya penulis laki-laki, seperti Marah Rusli, Abdoel Moeis,
dan penulis angkatan Balai Pustaka lain. Di era pasca kolonialisme, nama NH Dini termasuk
sebagai salah satu penulis perempuan yang berhasil menarik perhatian khalayak publik “terus
menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki.”8
Namun secara spesifik, kontribusi penulis perempuan dalam perkembangan sastra di
Indonesia belum pernah mendapatkan suatu perhatian khusus sampai awal tahun 2000an
dengan dikenalkannya ‘sastra wangi’. Sebenarnya, istilah sastrawangi yang kini seringkali
dianggap dibangkitkan oleh Saman, bahkan belum muncul saat novel Ayu Utami tersebut
terbit. Namun label tersebut menguak dengan kemunculan penulis-penulis perempuan muda
lain yang menerbitkan karya-karyanya yang dianggap fenomenal, seperti Supernova oleh Dewi
Lestar dan Menyusu Ayah karya Djenar Maesa Ayu. Para penulis perempuan tersebut dianggap
membawa sesuatu yang baru ke dalam dunia sastra Indonesia, baik menurut tema yang
diangkat, sampai pada struktur penulisan.
Teori Pemberdayaan
Dalam karya ilmiah ini, teori pemberdayaan dipilih sebagai kerangka berpikir analisis
terhadap sastra perempuan dengan mengingat keterkaitan erat antara feminisme dengan sastra
perempuan, dan pemberdayaan perempuan telah menjadi sebuah cita-cita mendasar dari

8

R. S. Afrisia, Tentang Novelis NH Dini, Ibu Sutradara 'Minions' [situs], 2015,
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20150619111756-241-61050/tentang-novelis-nh-dini-ibu-sutradaraminions/ (diakses pada 13 April 2017)

8
gerakan feminisme yang ada di seluruh dunia. Sehingga teori pemberdayaan akan dapat
membantu pencapaian tujuan dari makalah ini, yakni mencari tahu apakah klasifikasi khusus
sastra perempuan dapat dikatakan sebagai proses pemberdayaan atau malah merupakan sebuah
pelemahan, seperti yang akhir-akhir ini sering diperdebatkan. Pemberdayaan secara etimologis
berasal dari kata ‘daya’ yang berarti kekuatan atau kemampuan, sehingga teori pemberdayaan
dapat dimaknai sebagai suatu kerangka berpikir dari proses menuju berdaya, atau proses untuk
memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/kekuasaan/
kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang dan belum berdaya.
‘Pemberdayaan’ merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah bahasa Inggris
empowerment yang pertama kali ditemukan oleh bidang studi psikologi komunitas dan
berhubungan erat dengan ilmuwan sosial Julian Rappaport. Rappaport mengartikan
pemberdayaan sebagai sebuah proses mekanisme di mana orang-orang, organisasi dan
komunitas memperoleh penguasaan atas kehidupannya. Pemberdayaan sosiologis sering
membhas tentang kelompok-kelompok yang selama ini dikecualikan dari lingkungan sosial,
misalnya diskriminasi yang berdasarkan pada disabilitas, ras, etnik, agam atau gender. Dan
dalam perkembangannya, teori pemberdayaan digunakan sebagai sebuah metodologi untuk
menganalisis fenomena dalam lingkup feminisme.
Akar rumput merupakan salah satu model organisasi yang digerakkan oleh mereka yang
percaya bahwa orang-orang perlu dibantu untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orangorang yang kuat9. Model ini sering diterapkan dalam organisasi perempuan yang memiliki
tujuan untuk memberikan kekuatan dan memberdayakan anggotanya. Inti dari pemberdayaan
meliputi tiga hal yaitu pengembangan, memperkuat potensi atau daya, dan terciptanya
kemandirian. Sedangkan pemberdayaan gender secara konvensional terbatas merujuk pada
pemberdayaan perempuan, namun dalam perkembangannya juga membahas pendekatan
terhadap golongan gender lain yang termarginalisasi dalam konteks politik atau sosial.
Pemberdayaan perempuan menekankan pada perbedaan antara jenis kelamin biologis dan
gender sebagai peranan sosial.
ANALISIS
Signifikansi dan Penerimaan Sastra Perempuan

9

J. B. Mondros dan S. M. Wilson, Organizing for Power and Empowerment, New York: Columbia University
Press, 1994, hlm. 229

9
Dengan melihat beberapa data yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya,
keberadaan sastra perempuan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan gerakan
feminisme. Bahkan di beberapa negara yang dianggap menjadi cikal bakal kelahiran sastra
perempuan sebagai rumpun akademis, eksistensi dan perkembangan gerakan feminisme
memainkan peran yang penting untuk pengakuan karya yang dibuat oleh penulis perempuan.
Terutama pada beberapa negara yang termasuk dalam lingkup istilah ‘dunia ketiga’, feminisme
dan sastra perempuan terlihat saling menguntungkan satu sama lain dalam skenario berikut:
penulis perempuan mulai mendapatkan pengakuan atas karyanya dengan semakin kuat dan
luasnya pergerakan feminisme, sedangkan di saat yang sama pengakuan atas sastra perempuan
mendorong semakin kuatnya pergerakan feminisme terutama yang membawa nama lingkup
masyarakat suatu negara.
Kebutuhan akan sastra perempuan adalah didasarkan pada gagasan bahwa dunia ini
merupakan ‘dunia laki-laki’ yakni di mana laki-laki memiliki sebuah kapasitas untuk
menentukan aturan umum atau nilai ideal dengan menempatkan laki-laki di posisi dan
kepentingan yang lebih tinggi daripada perempuan. Terutama negara-negara yang dianggap
berada di bawah definisi istilah ‘dunia ketiga’, penghargaan atas karya perempuan -yang secara
sejarah mengalami diskriminasi dan cenderung menjadi korban dalam pergolakan kelasbukanlah suatu hal yang mudah untuk diperoleh. Dengan adanya sastra perempuan sebagai
suatu rumpun studi tersendiri, klasifikasi yang diikuti dengan perhatian khusus terhadap karya
sastra yang dibuat penulis perempuan terbukti lebih bisa diterima secara umum. Dan di saat
yang sama dengan diberlakukannya sastra perempuan sebagai suatu klasifikasi terpisah, kaum
perempuan yang berjuang di bawah payung feminisme dengan tujuan mendasar untuk
mendapatkan kesetaraan hak akan menemukan kekuatan dan kapasitasnya untuk berbicara di
hadapan publik, salah satunya dengan cara menulis.
Namun yang menarik, fenomena sastra perempuan yang awalnya terlihat dibutuhkan
oleh perempuan untuk mendapatkan pengakuan atas kontribusinya di bidang literasi, semakin
lama semakin sering dikritik oleh para akademisi baik dengan latar belakang sastra maupun
studi perempuan. Seperti yang disampaikan oleh Minda Rae Amiran di Judith Spector (1986)
bahwa “ketertarikan yang ada saat ini pada ‘sastra perempuan’ merupakan hal yang
merendahkan, dan pengajaran sastra perempuan di jurusan Bahasa Inggris merupakan subversi
dari kebebasan perempuan.”10 Secara khusus Amiran tidak menyalahkan mereka yang ingin
10

J. Spector, Gender Studies: New Directions in Feminist Criticism, Ohio: Bowling Green State University
Popular Press, 1986, hlm. 4.

10
memperdalam studi pada penulis perempuan, namun beranggapan bahwa kampus-kampus
yang didominasi oleh laki-laki yang mengelompokkan para profesional perempuan berada di
bawah definisi ‘sastra perempuan’ merupakan suatu tindakan untuk mencegah perempuan
untuk berkembang.
Di saat yang sama, pembentukan golongan sastrawangi dalam pergerakan literasi
Indonesia juga menuai penerimaan yang beragam. Kemunculan dan pencitraan para penulis
perempuan yang dianggap revolusioner seperti Ayu Utami, Dewi Lestari, dan Djenar Maesa
Ayu pada akhir abad 20 sepertinya menginspirasi terbentuknya sastrawangi, yang pada
kelanjutannya ternyata tidak disambut begitu manis oleh semua orang, termasuk para penulis
perempuan yang masuk dalam daftar tersebut. Walaupun sastrawangi memang – paling tidak
untuk saat ini – tidak bisa dianggap sebagai suatu rumpun ilmu atau kajian ilmiah spesifik pada
sastra Indonesia, namun fenomena pengelompokkan karya yang khusus ditulis perempuan baru
terjadi dengan munculnya label yang bahkan tidak jelas siapa pencetusnya itu. Sehingga
menurut hemat saya, sastrawangi perlu dijadikan bahan analisis dalam lingkup fenomena sastra
perempuan di Indonesia. Dalam hal ini, penikmat sastra Indonesia sepertinya terpecah menjadi
dua kubu, yakni pada satu sisi mereka yang menganggap sastrawangi sebagai suatu fitur baru
yang unik dan memiliki pengaruh positif untuk mendukung para penulis perempuan muda, dan
pada sisi lain mereka yang mendapati label ini sebagai ‘pelecehan dan sinisme pada pengarang
dan mereka yang berdiri di belakang mereka’11. Dan serupa dengan pendapat Amiran,
penentang sastrawangi menganggap sebutan tersebut merupakan ‘sebuah strategi yang biasa
dilakukan oleh dunia patriakal untuk menciptakan dikotomi baik dan buruk dalam segala hal,
termasuk dalam hitam-putih karya sastra’12.
Dalam menganalisis perubahan sudut pandang dan sentimen terhadap sastra
perempuan, rasanya perlu melihat bagaimana gerakan feminisme yang bergejolak di
masyarakat, terutama di belahan dunia Barat, sekali lagi sebagai tanah kelahiran gerakan
tersebut secara kontruksional. Seperti hasil yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya,
terdapat hubungan yang erat antara gerakan feminisme dengan kemunculan dan perkembangan
sastra perempuan, tidak hanya di Eropa dan Amerika, namun juga negara-negara Timur Tengah
dan Asia. Diawali dengan feminisme gelombang pertama dengan tuntutan persamaan hak
antara perempuan dan laki-laki di lingkungan sosial dan politik, dan dilanjutkan dengan

Khristianto, ‘Beberapa Aspek Seputar Sastra Wangi’, Leksika Vol. 2 No.2, Jember: Universitas Jember, hlm.
13
12
ibid.
11

11
feminisme gelombang kedua yang terbukti mendorong partisipasi perempuan di ruang-ruang
publik, agaknya gerakan feminisme dan sastra perempuan memang saling mendukung dan
menguatkan satu sama lain. Namun fenomena tersebut sepertinya mengalami pergeseran
dengan munculnya gagasan neofeminisme yang mulai muncul pada awal abad ke 21 yang
secara substansial berusaha meluruhkan kebebasan budaya yang diperoleh perempuan melalui
gerakan feminisme gelombang kedua terutama pada tahun 1960an dan 1970an.
Karena bisa dibilang sebagai suatu hal yang baru, tidak terlalu banyak yang bisa kita
cari tahu dari neofeminisme walaupun gagasan mendasar dari gerakan sudah berusaha
dijelaskan oleh beberapa peneliti:
“Neofeminisme bukan tentang merawat rambut atau berdandan. Namun juga bukan tidak
merawat rambut atau berdandan. Neofeminisme adalah tentang perempuan yang menentukan
pilihannya sendiri yang tidak membatasi pilihan yang dimiliki oleh perempuan lain.
Neofeminisme adalah tentang kesetaraan hak, kesetaraan gaji, kesetaraan respek, dan
keseteraan kesempatan. Neofeminisme adalah tentang menjadi siapa pun yang kau inginkan.”13

Pendapat bahwa feminisme adalah sesuatu yang usang, mungkin menurut pendukung
neofeminisme, cita-cita komunal yang berusaha dicapai dengan feminisme gelombang pertama
dan feminisme gelombang kedua, memang benar-benar hal yang usang dan perlu digantikan
oleh suatu pandangan yang lebih ‘menerima perempuan dengan apa adanya’. Selain itu,
pencetus neofeminisme mengaku bahwa pandangan ini tidak hanya berkutat tentang
kemarahan kaum perempuan kepada laki-laki atau paling tidak sistem patriakal, namun teori
ini bisa dipakai untuk membela semua lapisan masyarakat, baik laki-laki dan perempuan, yang
menjadi korban opresi dalam lingkungan. Bahkan digadang-gadangkan neofeminisme
merupakan sebuah ‘kekuatan yang akan merubah dunia’14 dengan kemampuannya untuk
menutupi lubang-lubang yang ada pada pergerakan feminisme gelombang sebelumnya.
Sehingga neofeminisme pun tidak ingin lagi melihat penulis perempuan sebagai sesuatu
yang perlu diistimewakan karena jenis kelamin mereka. Para penulis perempuan itu adalah para
penulis perempuan, dan tidak ada yang membedakan mereka dengan para penulis laki-laki.
Sehingga sebagai konsekuensinya, sastra perempuan dianggap salah satu kesalahan yang
disebabkan oleh gerakan feminisme sebelumnya dan tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang
bermanfaat atau menguntungkan keberadaannya. Tidak hanya itu, sastra perempuan yang dulu
diharapkan sebagai senjata untuk menyadarkan peranan perempuan dalam dunia literasi, kini
C. Hutchings dan C. Denton, ‘What is Neofeminism?’ Public Women, Public Words: A Documentary History
of American Feminism, Volume 2, Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2005, hlm. 496
14
Ibid.
13

12
dianggap sebagai suatu penghinaan, karena neofeminisme melihat bahwa perempuan tidak
membutuhkan eksklusivitas tertentu untuk menjadi pemenang alias menjadi dirinya sendiri.
Sastra Perempuan, Pemberdayaan atau Pelemahan?
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, pemberdayaan perempuan bisa disimpulkan
sebagai sebuah usaha, proses atau mekanisme untuk memberikan daya kepada perempuan agar
menyadari kekuatan yang ada pada diri mereka. Dengan berkaca dari konsep teori
pemberdayaan, pengelompokkan penulis perempuan sebagai bidang studi dan pengkaryaan
spesifik bisa dianggap sebagai sebuah bagian dari proses pemberdayaan, karena mendorong
kaum perempuan untuk berkarya di bidang literasi. Fenomena tersebut terbukti terjadi di era
pasca feminisme gelombang pertama dan kedua, karena dengan adanya klasifikasi khusus
sastra perempuan, karya-karya yang dibuat oleh penulis perempuan dan eksistensi penulis
perempuan yang sebelumnya dianggap tidak lebih baik atau mungkin tidak disadari
keberadaannya, menjadi naik ke permukaan dan diapresiasi secara global, misalnya dengan
diterbitkannya buku-buku kumpulan sastra perempuan yang kemudian tidak hanya dinikmati
dengan dibaca namun juga mendapatkan apresiasi dalam lingkup akademisi sebagai suatu
rumpun ilmu yang bermanfaat.
Dan jika ditilik dari segi sejarah yang juga telah dijelaskan secara rinci pada bagian
sebelumnya, di seluruh bagian dunia, permepuan yang berada di lingkungan masyarakat dunia
ketiga, sastra perempuan baik dalam lingkup pengkaryaan maupun pengetahuan terbukti
mendorong masyarakat luas untuk belajar dan memahami feminisme di institusi pendidikan
seperi universitas, contohnya seperti yang terjadi di Afrika. Namun agaknya perubahan
sentimen terhadap sastra perempuan tidak bisa semata-mata merupakan salah satu bentuk
perlawanan neofeminisme terhadap sastra cita-cita feminisme gelombang pertama dan kedua
yang baru-baru ini dinilai malah merugikan perempuan dalam pencapaian penerimaan atas
keadaan biologis dan peran gender mereka di masyarakat.
Sehingga yang sekiranya perlu dianggap sebagai bentuk pelemahan perempuan adalah
bukan pembentukan klasifikasi sastra perempuan tersebut, namun labelisasi seksualitas pada
figur penulis perempuan dan karya-karya yang dibuatnya. Label seperti misalnya, sastra
perempuan adalah terbatas pada karya-karya yang ditulis perempuan muda yang cantik dan
berani membahas vagina, penis, masturbasi dan hal-hal serupa dengan vulgar itulah yang perlu
dipertanyakan dan bahkan dikritisi. Labelisasi merupakan salah satu bentuk diskriminasi dan
stigmatisasi sosial yang jelas-jelas perlu ditentang karena memiliki pengaruh negatif terhadap

13
perkembangan, potensi, dan kemandirian individu atau kelompok yang berlawanan secara
substansial dengan tujuan teori pemberdayaan.
KESIMPULAN
Dengan merunut pada sejarah pembentukan dan perkembangn sastra perempuan, relasi
eratnya dengan gerakan feminisme, dan juga signifikansinya di lingkup kehidupan masyarakat,
dapat disimpulkan bahwa tujuan pembentukan sastra permepuan di awal masa pergerakan
feminisme di seluruh bagian dunia – baik di belahan barat maupun Dunia Ketiga – cukup
berhasil untuk menjadi media pemberdayaan perempuan. Namun pelabelan seperti sastra
wangi yang merujuk pada satu golongan sempit perempuan dan berpotensi untuk membatasi
kesempatan dan hak perempuan lain untuk berkarya tidak bisa dianggap sebagai
pemberdayaan.
Sehingga, cukup bijak jika sastra perempuan tetap dikembangkan sebagai pendorong
pengkaryaan dan pembelajaran atas tulisan-tulisan yang dibuat oleh penulis perempuan.
Namun perlu ditekankan kembali bahwa sastra perempuan tersebut harus dipertahankan secara
bebas dari labelisasi dan stigmatisasi yang berkedok feminisme.
DAFTAR RUJUKAN
Afrisia, R. S. Tentang Novelis NH Dini, Ibu Sutradara 'Minions' [situs], 2015,
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20150619111756-241-61050/tentang-novelisnh-dini-ibu-sutradara-minions/ (diakses pada 13 April 2017)
Ahmed L., ‘Feminism and Feminist Movements in the Middle East, a Preliminary Exploration:
Turkey, Egypt, Algeria, People's Democratic Republic of Yemen’, Women's Studies
International Forum Volume 5 Edisi 2, Amsterdam: Elsevier, 1982.
Bomarito, J., dan Hunter J. W., ‘Women in the Early to Mid-20th Century’, Feminism in
Literature: A Gale Critical Companion, Volume 4: 20 Century, Topics, Detroit:
Thomson Gale, 2005.
Carby, H., "White Women Listen! Black Feminism and the Boundaries of Sisterhood", Black
British Cultural Studies: A Reader, Chicago: The University of Chicago Press, 1996.
Hutchings, C. dan Denton, C., ‘What is Neofeminism?’ Public Women, Public Words: A
Documentary History of American Feminism: Volume 2, Rowman & Littlefield
Publishers, Inc., 2005.
Khristianto, ‘Beberapa Aspek Seputar Sastra Wangi’, Jurnal Leksika Vol. 2 No.2, Jember:
Universitas Jember. 2008

14
Lunsford Andrea, A., (ed), Reclaiming Rhetorica: Women and in the Rhetorical Tradition,
Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1995.
Miram, S., Feminism: The Essential Historical Writings, Vintage Books, 1994.
Mondros, J. B. dan Wilson, S. M., Organizing for Power and Empowerment, New York:
Columbia University Press, 1994.
O'Conner E., Mother's Making Latin America: Genders, Households, and Politics since 1825,
US: Wiley-Blackwell, 2014.