Kedudukan Saksi Perempuan Dalam Kasus Perceraian (Analisis Perbandingan pendapat Empat Madzhab dengan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia)

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

NUR ADZIMAH

NIM : 1111044100072

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (A H W A L S Y A K H S I Y Y A H)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

PEREMPUAN DALAM KASUS PERCERAIAN (Analisis Perbandingan pendapat Empat Madzhab dengan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M. x + 71 halaman.

Skripsi ini berjudul Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian Analisis Perbandingan pendapat Empat Madzhab dengan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia hasil penelitian yang menggambarkan tentang Kedudukan saksi perempuan dalam perbandingan empat madzhab dan hukum positif. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (Library Research) yang memusatkan tidak pada hasil penelitian lapangan, karena yang dikaji dalam penelitian ini hanya dokumen-dokumen saja.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang kedudukan saksi perempuan dalam perbandingan empat madzhab dengan hukum positif. Dan untuk mengetahui perbandingan pendapat empat madzhab dan praktek yang ada di pengadilan agama dalam kedudukan saksi perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa kedudukan saksi perempuan pendapat empat madzhab ada perbedaan yaitu menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah perempuan tidak boleh menjadi saksi tanpa adanya laki-laki dalam perceraian sedangkan menurut Hanafiyah perempuan dibolehkan menjadi saksi tanpa adanya laki-laki, namun dalam hukum positif kedudukan saksi perempuan sama dengan kedudukan laki-laki, mereka boleh melakukan apa dilakukan oleh laki-laki. Hal ini mengindikasikan tidak ada perbedaan antara saksi laki-laki dan saksi perempuan.

Kata Kunci : Kedudukan Saksi Perempuan dalam Perbandingan Pendapat Empat madzhab dan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia.

Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, MA. Daftar Pustaka : Tahun 1971 s/d 2012


(6)

v

i

ﺪ ﻤ ﺤ ﻟ ا

ب ر ﺎ ﻌ ﻟ ا

ﻦﯿﻤﻟ , ﺪﮭﺷأ ن أ ﮫﻟا ﻻ ا و ﺪﮭﺷأ ن أ ا ﺪ ﻤ ﺤ ﻣ ه ﺪ ﺒ ﻋ

ﮫﻟﻮﺳرو

,

ﻢﮭﻠﻟا

ﻞ ﺻ ﻢ ﻠ ﺳ و

ﻰ ﻠ ﻋ ﺪ ﻤ ﺤ ﻣ

و

ﻰ ﻠ ﻋ

ﮫﻟأ

ﺎ ﺤ ﺻ أ و

ﮫﺑ ﻦﯿﻌﻤﺟأ

, ﺎ ﻣ ا

ﺪ ﻌ ﺑ .

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah menciptakan alam beserta hukum-hukumnya, melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dengan pertolongan-Nya penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam penyusun sanjungkan untuk junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya serta orang-orang yang mengkuti ajarannya.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H.Jamhari dan Ibunda Hj.Khosyiah yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, serta doa tanpa mengenal lelah sedikitpun. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :


(7)

vii

Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Hj. Azizah. MA, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program studi Ahwalul Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi. 6. Ibu Dra. Hj. Rokhanah, S.H., M.H., selaku Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi. 7. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada adinda Imaduddin dan Nurus

Sa’adah yang senantiasa memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.


(8)

viii

Azizah, Arisa Dykawresa, Putri Rahmawati, Ayu cyntia, Nabila Halabi. 10. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2011 yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Ciputat, 07 Oktober 2015


(9)

ix

LEMBARAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBARAN PERYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian ... 11

E. Studi Review... 13

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II : SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT EMPAT MADZHAB (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali) A. Pengertian Saksi... 16

B. Syarat-Syarat Saksi Dalam Kasus Perceraian... 22

C. Fungsi Saksi dalam Kasus Perceraian... 29

D. Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian ... 30

BAB III : SAKSI DALAM KASUS PERCERAIAN MENURUT HUKUM POSITIF ( UU No.1 Tahun 1974 dan KHI ) A. Pengertian Saksi... 35


(10)

x

BAB IV : ANALISIS PERBANDINGAN TENTANG KEDUDUKAN SAKSI

PEREMPUAN MENURUT EMPAT MADZHAB DAN HUKUM

POSITIF

A. Persamaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Di Indonesia Tentang Kedudukan Saksi Perempuan ... 55 B. Perbedaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang

Kedudukan Saksi Perempuan ... 56 C. Analisis Penulis... 62

BAB V : PENUTUP

A. KESIMPULAN... 65 B. SARAN-SARAN ... 67 DAFTAR PUSTAKA... 68


(11)

1

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, tujuan perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 adalah bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. sehingga dapat membentuk rumah tangga. Sesuai dengan salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan agar kehidupan kita berlanjut. Untuk mencapai ketenangan dan kedamaian dalam hidup maka disamping cinta yang di berikan oleh Allah SWT pada manusia, harus ada prinsip bahwa perkawinan adalah suatu ikatan yang kuat dan selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja, oleh karena itu perkawinan harus dilandasi atas dasar kerelaan dan keikhlasan hati sehingga tujuan perkawinan yang langgeng dapat terwujud. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mempertahankan rumah tangga selamanya sungguh sangat berat dan penuh perjuangan. Pada dasarnya benturan-benturan dalam rumah tangga sangat mudah untuk dihindari dan dapat dengan mudah pula untuk ditangani seandainya terjadi, semua berawal dari prinsip saling mengerti dan memahami satu sama lain kekurangan maupun kelebihan masing-masing. Akan tetapi, apabila dapat diselesaikan maka pasangan suami istri dapat mempertahankan rumah


(12)

tangganya, namun sebaliknya apabila tidak dapat diselesaikan maka yang akan timbul adalah perceraian sebagai jalan keluarnya

Pada saat keretakan sudah terjadi, hubungan suami istri semakin diliputi oleh berbagai hal yang tidak baik, saling mencaci, membenci dan saling menyakiti, baik dengan tindakan ataupun dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas.

Dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 10 tentang Perceraian, dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pengadilan Agama merupakan badan untuk menyelesaikan masalah-masalah keperdataan diantara orang-orang yang beragama Islam, diantaranya masalah talak. Dalam hal ini untuk melakukan perceraian harus mengajukan ke Pengadilan Agama.1

Dalam suatu proses persidangan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata pembuktian merupakan proses terpenting untuk menguji dan memulai sesuatu perkara. Hukum pembuktian diperlukan memperoleh kepastian bahwa peristiwa hukum benar-benar telah terjadi. Pembuktian diperlukan untuk menerapkan hukum secara tepat, benar dan adil bagi pihak-pihak yang berperkara. Oleh karena itu para pihak yang berperkara

1

Raihan Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (jakarta: PT.Raja Grapindo Persada,2000),h.29.


(13)

wajib memberikan keterangan disertai dengan bukti-bukti yang berkaitan dengan peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi.

Menurut ketentuan pasal 163 HIR, pasal 283 R.Bg dan pasal 1865 BW diatur hal-hal yang terkait dengan asas-asas pembuktian. Dalam pasal 1865 BW dijelaskan “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau

mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya dan menyangkal hak orang lain harus membuktikannya”. Adanya hak atau peristiwa ini maka baik penggugat atau tergugat dibebani pembuktian, terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukan.2

Dalam Hukum Acara Perdata mengatur alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan yang berlaku. Setiap alat bukti yang diajukan memiliki nilai yang berbeda antara yang satu dengan yang lain sehingga kekuatan hukum yang melekat pada masing-masing alat bukti menjadi berbeda.

Hakim menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan, menurut ketentuan yang terdapat dalam pasal 164 HIR, 284 R.Bg dan pasal 1866 KUHPerdata. Ada lima jenis alat bukti dalam perkara yang dapat diajukan diantarannya: Alat bukti tulisan (surat), alat bukti saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti pengakuan dan alat bukti sumpah.3

2

Retno Wulan Sutanto danIskandar Oerip Kartawinata, Hukum Acara Dalam Praktek, (Bandung: Mandar Maju,1995), Cet,ke-1,h.28.


(14)

Sesuai dengan ketentuan alat bukti diatas, selain alat bukti berupa surat yang dapat diajukan penggugat atau tergugat, dalam proses persidangan undang-undang memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menguatkan dalil-dalilnya dengan menghadirkan saksi. Menurut ketentuan pasal 1902 KUHPerdata bahwa membuktikan suatu kejadian dengan saksi diperbolehkan setelah pembuktian dengan surat dilakukan.

Saksi yang didatangkan ke muka persidangan adalah seseorang yang melihat dan mendengar sendiri secara langsung kejadian atau peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara.4

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pasal 1895 bahwasanya pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal di mana itu tidak dikecualikan oleh undang-undang.5

Selain itu dalam hukum Islam pun terdapat banyak ayat al-Qur’an

sebagai landasan berpijak tentang pembuktian. Alat bukti yang diajukan kedalam persidangan berdasarkan Hukum Islam, antara lain :

a. Ikrar (pengakuan) b. Syahadah (saksi)

4

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,1977), Cet,ke-1, h.168

5

Subekti dan Tjitrosudibio, kitab undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradya Paramita, 2004) Cet.XXXIV.h.481.


(15)

c. Yamin (sumpah)

d. Maktubah (bukti tertulis)

e. Tabbiyah (pemeriksaan koneksitas)

Dari beberapa alat pembuktian diatas, maka dalam pembahasan ini hanya akan membahas pada alat bukti saksi (syahadah) khususnya pada kedudukan saksi perempuan. saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu.6

Meskipun setelah datang Islam kedudukan perempuan lepas dari praktik budaya Jahiliyah dan hak-haknya disamakan dengan kaum laki-laki, namun masih ada problem yang dihadapi perempuan, yaitu masalah kesaksiannya yang dianggap setengah dari kaum laki-laki. Hal inilah yang mengakibatkan terjadi perdebatan dari dulu dan sekarang, di mana kaum perempuan mulai sejajar dengan laki-laki dalam berbagai bidang.

Pada dasarnya ulama fikih mengakui kedudukan perempuan untuk dapat menjadi saksi. Namun demikian, ulama fikih berbeda pendapat tentang penerimaan kesaksian perempuan baik berdasarkan jumlah saksi maupun masalah yang dimintakan kesaksian.7

Menurut Syaikh Ali Ahmad al Jurjawi dalam Hikmatu al-Tasyri’,

laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu

6

Sualaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h.138-139.

7

Raihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Edisi baru (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.160


(16)

masalah yang dihadapinya, sedang perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu, perempuan lebih rendah iradahnya (kehendaknya), kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah atau ia dalam keadaan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil. Lain halnya dengan laki-laki, ia sanggup, tabah, dan sabar menanggung kesukaran, ia tidak menetapkan sesuatu urusan kecuali setelah memikirkannya dengan matang.8

Adapun dalam masalah kesaksian dua orang perempuan tersebut dapat diterima bersama dengan kesaksian seorang laki-laki ulama fikih berbeda pendapat.

Menurut ulama madzhab Hanafi, kesaksian dua orang perempuan dan satu orang laki-laki dapat diterima dalam masalah yag berkaitan dengan hak sipil, baik berupa harta maupun hak, atau yang berkaitan denganharta seperti nikah, talak, ‘iddah, wakaf, wasiat, ikrar, riba’, nasab.

Adapun penerimaan kesaksian perempuan tersebut didasarkan pada kualifikasi yang dimiliki oleh perempuan tersebut untuk menjadi saksi, yaitu perempuan tersebut memiliki kesaksian atas apa yang dilihat dan didengar, kecermatan dan ingatan, dan kemampuan untuk memberikan kesaksian.9

8

Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi,Hikmatu al-Tasyri wafalsafatuhu(Jeddah: al-Haramain) juz I, h.162-163 dan juz II, h.154

9

Muhammad Jawad, Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab (Ja fari, Maliki, Hanafi, Syafi i, Hanbali), terj. Masykur AB dkk, jild IX (Jakarta: Lentera, 2002) h.58


(17)

Sedangkan menurut ulama madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali, kesaksian perempuan bersama laki-laki hanya dapat diterima dalam masalah harta. Adapun yang terkait dengan harta seperti jual beli, sewa, hibah, wasiat, gadai. Sementara dalam masalah yang tidak memiliki keterkaitan dengan harta dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan harta dan biasanya menjadi urusan kaum laki-laki seperti nikah, rujuk, talak, wakalah, pembunuhan dengan sengaja, dan hudud hanya dapat ditetapkan berdasarkan kesaksian dua orang laki-laki. Adapun sebab tidak diterimanya kesaksian perempuan adalah karena perempuan cenderung merasa belas kasihan, ingatan yang tidak utuh, dan keterbatasan kewenangan dalam berbagai hal.10

Seperti juga yang dikutip dalam bukunya Lia Aliyah al-Himmah bahwa surat al-Baqarah: 282

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.

barulah muncul pandangan dominan bahwa kesaksian perempuan tidak bisa diterima, kecuali bersama dengan laki-laki. Jika hanya perempuan saja tanpa laki-laki, meskipun jumlahnya banyak, tidak bisa diterima kesaksiannya, kecuali berkaitan dengan masalah (rahasia)

10

Abdul Khalik, Fiqh an-Nisai fi Dhou i al- Arba ah,(Damaskus: Daar al-Kitab al-arba ah, (Damaskus: Daar al-Kitab al- Arabi, 1414H), Hlm. 344


(18)

keperempuanan. Atau dalam hal hanya perempuan saja yang bisa dilihat dan mengalaminya.11

Dalam praktik persidangan di Pengadilan umumnya yang dipergunakan untuk memperkuat adanya pembuktian adalah 2 (dua) orang saksi, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Namun dalam sistem Islam, ternyata hal itu berlainan. Prioritas menjadi saksi adalah seorang lelaki. Hal ini seperti dimaktubkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Malik.

Dalam kitabnya, “Al-Muwatta”, Imam Malik menukilkan tentang kualitas saksi menurut aturan hukum Islam, yang menjadi amal Madinah.12

Dalam hal ini ternyata derajat perempuan dan laki-laki dalam memberikan kesaksian di Pengadilan, jauh berbeda. Allah SWT lebih menghendaki lelaki menjadi saksi, jika tidak ada, barulah dua orang perempuan dibolehkan. Bahkan dalam persidangan di Pengadilan Agama kerap kali hanya terdapat saksi perempuan saja tanpa didampingi oleh laki-laki, hal ini tentu saja tidak sesuai sebagaimana yang tertera dalam

al-Qur’an surah Al-Baqarah: 282 yang menjadi sumber hukum materiil Peradilan Agama.

Melihat hal tersebut bahwa antara undang-undang dan pendapat fuqaha berbeda pendapat dalam masalah kesaksian perempuan. Oleh karena itu sangat menarik bagi penulis untuk mengulangi lebih dalam

11

Lia Aliyah al-Himmah,Kesaksian Perempuan: Benarkah separoh Laki-laki?, (Jakarta: Rahima, 2008), hal.24

12

Mahkamah, Bolehkah Perempuan bersaksi di Pengadilan ? ini jawaban Imam Malik . Artikel diakses pada 11 februari 2014.


(19)

perbedaan tersebut dengan melihat persamaan dan perbedaan saksi perempuan dalam pandangan masing-masing pendapat dari empat madzhab dengan hukum positif. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka penelitian ini memfokuskan pada : “ KEDUDUKAN SAKSI PEREMPUAN DALAM KASUS PERCERAIAN PERBANDINGAN

PENDAPAT EMPAT MADZHAB DENGAN HUKUM POSITIF

YANG BERLAKU DI INDONESIA”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini dibatasi pada kedudukan saksi perempuan menurut pendapat empat madzhab dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dengan cara melakukan perbandingan antara persamaan dan perbedaan pendapat empat madzhab dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia tentang kedudukan saksi perempuan dalam perceraian.

2. Rumusan Masalah

Melihat pada latar belakang masalah dan pembatasan masalah diatas tentang kedudukan saksi perempuan menurut UU No.1 tahun 1974 KHI dan KUHPerdata dan dibandingkan dengan perbedaan empat mazhab maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian


(20)

b. Apa persamaan pendapat empat madzhab dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia tentang kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian ?

c. Apa perbedaan pendapat empat madzhab dengan hukum positif tentang kedudukan saksi perempuan dalam perceraian ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skrispi ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian menurut empat madzhab dan hukum positif

b. Untuk mengetahui persamaan kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian pendapat empat madzhab dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

c. Untuk mengetahui alasan perbedaan antara empat madzhab dengan hukum positif dalam kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan dicapai dengan adanya penelitian ini adalah : a. Untuk memberikan pengetahuan yang luas tentang persamaan

kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian pendapat empat madzhab dan Hukum Positif.


(21)

b. Untuk memberikan penjelasan tentang perbedaan kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian pendapat empat madzhab dan hukum positif.

c. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Ahwal Syakhsiyyah, dan khususnya bagi penulis, sebagai acuan mengenai kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama.

d. Menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum untuk mengetahui kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama.

D. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan metode :

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yang memusatkan perhatian tidak pada hasil penilitian lapangan, dikarenakan yang dikaji dalam penelitian ini hanya dokumen-dokumen saja.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research).13


(22)

a. Data primer yaitu data yang diproleh dari pendapat-pendapat Ulama madzhab yang tercantum dalam kitab-kitab fiqih kontemporer dan beberapa peraturan-peraturan yang ada di Indonesia seperti KHI dan UU Perkawinan.

b. Data sekunder yaitu pendukung yang diperoleh dari pengkajian buku-buku, serta pendapat pakar hukum yang di tuangkan dalam artikel, jurnal dan website tentang kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian berkaitan dengan isu yang di hadapi dan telah menjadi putusan hakim Pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.14

3. Teknik Analisa Data

Yaitu menggunakan teknik analisa data deskriptif kualitatif, serta menggunakan teknik perbandingan hukum, yang membandingkan para fuqaha dengan beberapa pasal dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Penelitian tersebut akan memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan mengenai kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian. Dengan penelitian ini penulis berharap dapat lebih mudah untuk mengadakan unifikasi hukum, serta mendapatkan kepastian hukum tentang kedudukan saksi. Hasil-hasil perbandingan hukum akan sangat penting bagi penerapan hukum di suatu masyarakat majemuk seperti Indonesia.


(23)

4. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan pada penelitian ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

E. Studi Review

Setelah melakukan penelitian dari perpustakaan, mengenai masalah kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian, penulis mendapatkan beberapa karya tulis berupa skripsi. Akan tetapi penelitian penulis berbeda dengan penelitian penelitian yang telah ada tersebut pada perbandingan antara pendapat empat mazhab dengan hukum positif.

Adapun karya tulis yang telah ada sebelumnya antara lain :

Wildan Ramadhian, tahun 2008, dengan judul skripsi “Relevansi

Pemikiran Asghar Ali Engineer Tentang Saksi Perempuan dalam Pembuktian Jarimah zina” Skripsi ini menjelaskan dikonstruksi metodologis Asghar Ali Engineer tentang pemahaman al-Qur’an agar

menghasilkan sebuah penafsiran yang berkeadilan gender dalam konteks kesaksian perempuan dalam jarimah zina.

Abdul Aziz, tahun 2007, dengan judul skripsi “Kedudukan Saksi dalam PernikahanTinjauan terhadap Imam Syafi’i dan Hanafi”. Skripsi ini menjelaskan tentang kedudukan saksi dalam pernikahan menurut


(24)

Muhammad Daerobi, tahun 2013, dengan judul skripsi “Kesaksian Perempuan dalam Perkawinan perspektif Hukum Islam”. Skripsi ini menjelaskan tentang kesaksian perempuan dalam sebuah perkawinan yang masih ditangguhkan dalam KHI sehingga mengakibatkan kurang relevan dengan UU No.1 tahun 1974 sehingga penelitiannya hanya difokuskan pada kesaksian perempuan dalam akad pernikahan pada perspektif hukum Islam.

Sainah, tahun 2014, dengan judul skripsi “Kekuatan Saksi

Perempuan dalam Sengketa Hukum Perdata di Pengadilan Agama”.

Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana kekuatan saksi perempuan dalam sengketa yang berada di pengadilan agama Bekasi sehingga penelitiannya hanya memfokuskan pada kekuatan saksi perempuan dalam sengketa hukum perdata, berbeda dengan penelitian penulis yaitu kedudukan saksi perempuan dalam perceraian menuerut pendapat fuqaha dan peraturan perundang-undangan.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab adalah sebagai berikut :

Bab I : Tentang pendahuluan, dalam pendahuluan ini penulis akan mengemukakan latar belakang masalah, menguraikan pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian, kajian terdahulu, dan sistem penulis.


(25)

Bab II : Tentang Saksi dalam kasus perceraian menurut empat madzhab (madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab

Syafi’i, dan madzhab Hanbali) dalam bab ini pengertian saksi , syarat-syarat saksi dalam kasus perceraian, fungsi saksi dalam kasus perceraian, dan kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian, menurut Hanafiyah,

Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.

Bab III : Tentang Saksi dalam kasus perceraian menurut hukum positif (UU No.1 tahun 1974 dan KHI), pengertian saksi, syarat-syarat saksi dalam kasus perceraian, fungsi saksi dalam kasus perceraian, dan kedudukan saksi perempuan dalam kasus perceraian.

Bab IV : Tentang Analisis Perbandingan kedudukan saksi perempuan pendapat empat madzhab dengan hukum positif. Persamaan pendapat empat madzhab dan hukum positif yang berlaku di Indonesia tentang kedudukan saksi perempuan, perbedaan pendapat empat madzhab dan hukum positif tentang kedudukan saksi perempuan.

Bab V : kesimpulan dan saran-saran Daftar Pustaka


(26)

16

A. Pengertian Saksi

Saksi dalam bahasa Arab disebut al-Syahadah, masdar dari

syahada yaitu al-syuhud yang berarti al-hudud (hadir). Secara bahasa berarti pemutus, secara istilah artinya pemberitahuan orang yang jujur

untuk menetapkan kebenaran dengan lafal ‘kesaksian’ di dalam majelis

peradilan.1 Atau pemberitahuan seseorang yang sebenarnya atas selain dirinya dengan lafal/ucapan yang khusus.2

Unsur dasarnya adalah lafal “asyahadu”, aku bersaksi, bukan dengan kata lain. Karena setelah nash telah mensyaratkan lafal ini dan al-Quran memerintahkan dengan lafal ini, dan juga pada kalimat ini lebih tegas tersirat sumpah mengenai pengertian atau pengetahuan terhadap sesuatu. Jika dikatakan “syahadatu”, aku telah bersaksi, tidak boleh karena kata kerja lampau menunjukkan pengabaran sesuatu yang telah berlalu, sementara kesaksian merupakan pengabaran sesuatu yang aktual.

Kata Saksi dalam bahasa arab memakai kata atau yaitu orang yang mengetahui yang menerangkan apa yang diketahuinya. Kata

jama’ ialah dan sedangkan, kata jama’ ialah .

1

-Zuhaili, - - w A tu, j-9, cet 4, (Suariah: Dar al-Fikr:

Damsyiq-Suriah, 2002) h.6028

2

Sayid Abu Bakr al-Dimyati, tu - , j 3-4, cet-4, (Beirut-Libanon: Ihya


(27)

masdarnya adalah yang artinya kabar yang pasti. Pengertian saksi adalah orang yang mempertanggungjawabkan, karena dia menyaksikan sesuatu (peristiwa) yang orang lain tidak menyaksikannya. Disamping itu ada juga istilah yang disebut dengan kesaksian yaitu mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang lain.

Dikatakan pula bahwa kesaksain berasal dari kata I’laam

(pemberitahuan). Firman Allah QS. Al-Imran : 18 yaitu.

,

ٌﺔ َﻜ ِﺌ َﻠ َﻤ ﻟ ا َو

أ ﻮ ُﻟ و ُأ َو

ﻵ ِﻂ ﺴ ِﻘ ﻟ ﺎ ِﺑ َﺎ ﻤ ِﺋ َﺎ ﻗ ِﻢ ﻠ ِﻌ ﻟ ا

ِا

َﻌ

)

ن ا ﺮ ﻤ ﻋ ل ا

:

18

(

Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain

Dia, yang menegakkan keadilan; para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan

Dia, yang Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ali Imran: 3/18).

Disini arti dari kata syahidah adalah alima (mengetahui). Syahid adalah orang yang membawa kesaksian dan menyampaikannya, sebab dia menyaksikan apa yang tidak diketahui oleh orang lain.3

Dalam hadits Nabi disebutkan bahwa:

,

) .

ي ﺪ ﻣ ﺮ ﺘ ﻟ ا ه ا و ر

(

kewajiban adalah kewajiban penggugat sedangkan sumpah adalah

kewajiban tergugat”. (HR. Tirmidzi).

Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa untuk melihat,

3


(28)

menyaksikan atau mengetahuinya, agar suatu ketika bila diperlukan ia dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh terjadi.4

Untuk dapat mendefinisikan saksi maka terlebih dahulu harus mengetahui definisi kesaksian.:

ت ﺎ ﺒ ﺛ ﻻ

Artinya: ”Kesaksian adalah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di pengadilan dengan kesaksian untuk menetapkan suatu hak

terhadap orang lain.”5

Kesaksian dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi laki-laki) atausyahidah(saksi perempuan) yang terambil dari katamusyahadah

artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi yang dimaksud adalah manusia yang hidup. Dalam hal kesaksian para ahli hukum Islam (jumhur fuqaha) menyamakan kesaksian (syahadah) itu dengan bayyinah. Kesaksian diberi nama al-bayyinah karena dengan kesaksian itulah yang hak menjadi jelas.6Pengertian bayyinah dalam

al-Qur’an, as-sunnah dan perkataan para sahabat Nabi saw adalah nama bagi

setiap sesuatu yang dapat menyatakan dan mengungkapkan kebenaran.7

4

H( )*+z D(,-. * / Ensiklopedi Islam, (J(. ( 01 (: 23. I451 * ( 0B( 0 -6 ( 7 H8 9 :9,1999), C91.9-1 5.202

5

A;+-0 <( 5=( 7 >=( 0 / Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam,

(J(.(01(: 2 -,1(. ( A?-H- ,7 (, 1986), C91. K9-1 5.50

6

<8 * 5 ( 7 A.<(,@*+,Hukum Acara Peradilan Agama,(J(.( 01(: 2 3. <(A( G0 ( )* 7+8290,(+(, 2002), C91. K9-9 5.152

7A


(29)

Kesaksian secara syara’ adalah sebuah pemberitahuan yang jujur

untuk menetapkan, membuktikan, dan membenarkan suatu hak dengan menggunakan kata-kata as-syahadah (bersaksi) di majelis persidangan. Kesaksian adalah hujah bagi pihak penggugat, berdasarkan hadits,

Artinya:Mengajukan bayyinah (saksi) adalah tugas penggugat.”

Sesuai dengan firman Allah SWT. Sebagai berikut:

َو

ُﺪ

َد ا و

َو

َﻋ ى

ٍل ﺪ

ِﻣ

ُﻜ ﻨ

...

....

Artinya: “...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu teggakkan kesaksian itu karena Allah...”(Ath-Thalaq [65]: 2)

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa, saksi yang dapat diterima kesaksiannya yaitu orang yang adil dan tidak mengkatagorikan saksi harus dari pihak keluarga sedarah atau diluar dari pihak keluarga, akan tetapi yang ditekankan dari ayat tersebut adalah sifat keadilan seseorang dalam memberikan kesaksiannya.

Kesaksian (syahadah) bisa juga diartikan melihat kepala, karena syahid (orang yang menyaksikan) itu memberitahukan tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentangapa yang diketahui dengan lafaz “aku menyaksikan atau aku telah menyaksikan”.

Menurut Muhammad Salam Madzkur sebagaimana yang dikutip oleh Asadullah al-Faruq, persaksian adalah suatu ungkapan tentang berita yang benar disidang pengadilan dengan menggunakan lafaz syahadah


(30)

(ucapan kesaksian) untuk menetapkan suatu hal atas diri orang lain. Dalam pengertian tersebut dikatakan yang menyangkut atas diri orang lain, sebab bila yang menyangkut diri sendiri bukanlah kesaksian, melainkan ikrar (pengakuan). Ahmad ad Daur yang juga dikutip oleh Assadulloh Al-Faruq mendefinisikan kesaksian sebagai penaymapain perkara yang sebenarnya untuk membuktikan sebuah kebenaran dengan mengucapkan lafal-lafal kesaksian di hadapan sidang pengadilan.8

Hukum Kesaksian

Kesaksian adalah fardhu ain bagi orang yang mengetahuinya selama dia diminta untuk menyampaikan kesaksian dan dikhawatirkan adanya pengabaian terhadap hak, bahkan wajib hukumnya jika dikhawatirkan ada hak yang diabaikan meskipun dia tidak diminta untuk bersaksi. Ini berdasarkan firman Allah swt.,

...

...

“....Dan barang siapa yang menyembunyikan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah [2]: 283)

Dan firman-Nya, “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (Ath-Thalaq [65]: 2)

Dalam hadits shahih,

8

ABC D E F FCGCF-FC H E I,JuKu L AM N ONPQON R S TN UVW TNL,(JC XC H YC : Z [. BEX E K\Y C, 2009), G .45-46.


(31)

ُا

ُﺼ ﻧ

َا ﺮ

َﺧ

َك ﺎ

َظ

ِﻟﺎ

ًﻤ

َﻣ ؤ ا ﺎ

ٌﻠ ﻈ

ًﻣ ﻮ

.

“Bantulah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.”9

Penjelasan hadits diatas yaitu bangsa Arab mendefinisikan kata al-Nashr

dengan makna al-I’anah dan al-Ta’yid, keduanya mempunyai arti yang serupa, yaitu menolong atau membantu. contohnya : ketika seseorang berbuat zalim kepada orang lain lalu kita mencegahnya, maka pada hakikatnya adalah memberikan pertolongan untuknya. dan membantunya untuk menjadi saksi.

Dari Zaid bin Khalid, bahwa Rasullah saw, bersabda.

ﺨ ﺑ ﻢ ﻛ ﺮ ﺒ ﺧ أ ﻻ أ

.

“Maukah kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi? (Yaitu) yang

datang dengan kesaksiannya sebelum diminta untuk bersaksi.”

Kesaksian hanya wajib disampaikan selama mampu untuk menyampaikannya tanpa ada bahaya yang mengacamkan fisiknya, kehormatannya, hartanya, atau keluarganya. Ini berdasarkan firman Allah swt.

..

ْﻦ ِﻣ

ْﻢ ُﻜ ِﻟ ﺎ َﺟ ِر

ْن ِﺈ َﻓ

ْﻢَﻟ

ٌﻞ ُﺟ َﺮ َﻓ

ِن ﺎ َﺗ َأ َﺮ ْﻣ ا َو

ْﻦ ﱠﻤ ِﻣ

َن ْﻮ َﺿ ْﺮ َﺗ

َﻦ ِﻣ

ﱡﺸ ﻟ ا

ْن َأ

ﱠﻞ ِﻀ َﺗ

ﺮ ﱢﻛ َﺬ ُﺘ َﻓ

ى َﺮ ْﺧ ﻷ ا

...

.

“...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya..” (Al-Baqarah [2]: 282)

Begitu jumlah saksi banyak dan tidak dikhawatirkan akan adanya pengabaain terhadap hak, maka kesaksian dalam keadaan ini hukumnya sebagai anjuran. Namun begitu kesaksian menjadi fardhu ain hukumnya,

9H


(32)

maka saksi tidak boleh mengambil imbalan atas kesaksiannya kecuali jika dia mengalami kendala dalam perjalanan, maka dia boleh mengambil imbalan untuk biaya transportasi.

B. Syarat-Syarat Saksi dalam Kasus Perceraian.

Menurut Hukum Islam syarat-syarat saksi yang dapat diterima kesaksiannya adalah sebagai berikut:

1. Berakal dan Baligh. maka tidak boleh menerima kesaksian orang yang tidak berakal, seperti; orang gila, orang mabuk, dan anak kecil. Karena mereka tidak tsiqah (tidak terpercaya) perkataanya, anak kecil yang belum baligh tidak mungkin memberikan kesakian sesuai yang diinginkan (diperlukan) dan bukan merupakan saksi yang diridhai. Sesuai yang disyaratkan dalam firman Allah Swt.: “min rijalikum”, “zu ‘adlin” dan “min-man tardhauna min al-syuhada”.

2. Merdeka. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, syarat

saksi harus merdeka, tidak diterima kesaksian seorang hamba. Dasarnya firman Allah Swt dalam Surat Al-Nahl (16) ayat 75:

...

ﺒ َﻋ ًﻼ ﺜ ﻣ ُﷲ َب َﺮ َﺿ

Allah membuat perumpumaan seorang hamba sahaya saya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun...

Kesaksian bermakna penguasaan, tidak ada kuasa pada seorang hamba. Menurut Ulama Hanabilah dan Zahiri, kesaksian hamba dapat diterima, makna ayat diatas bersifat umum sehingga penghambaan


(33)

tidak berdampak penolakan kesaksiannya. Hanabilah mengaitkannya untuk selain kasus hudud dan qisas.

3. Islam. Ulama fikih sepakat seorang saksi harus muslim. Tidak diterima kesaksian kafir atas orang Islam karena disangsikan kebenarannya. Tetapi ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian orang kafir mengenai perkara wasiat dalam perjalanan.

Menurut Imam Abu Hanifah, Syuraih, Ibrahim an-Nakhaiy, dan Auzai kesaksiannya di bolehkan dalam keadaan ini, berdasarkan firman Allah swt., (Al-Mai’dah [5]: 106-107).

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".

Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk


(34)

menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: "Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri".

Menurut Syafi’i dan Malik, “Kesaksian kafir terhadap muslim tidak dapat di perkenankan, baik dalam perkara wasiat di tengah

perjalanan maupun dalam perkara lainnya.” Karena saksi yang

dikehendaki ayat adalah orang yang merdeka, diridhai dan beragama Islam, orang yang kita ridhai tentulah dari ahli agama kita, bukan orang-orang musyrik, karena Allah Swt. memutus kewenangan (wilayah) antara kita dan mereka dengan agama, tidak pula sahaya yang dikuasai tuannya, orang fasik juga bukan orang yang kita ridhai, kita hanya ridha terhadap orang-orang kita (Islam) yang adil, merdeka, dan baligh“min rijalikum”.10

4. Dapat melihat. Imam Abu Hanifah, Muhammad dan Ulama Syafi’iyah

mensyaratkan saksi dalam melihat, tidak diterima kesaksian orang buta, karena saksi harus tahu apa yang ia saksikan, tahu isyarat padanya ketika menyaksikan, orang buta tidak dapat membedakan orang kecuali dengan bunyi suara, sementara bunyi suara kadang-kadang saling menyerupai. Terlebih lagi Ulama Hanafiyah, menolak kesaksian orang buta meskipun di waktu menyaksikannya ia dapat melihat.

10M


(35)

Ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkan kesaksian orang buta jika ia yakin dengan suara yang ia dengar, karena umumnya makna ayat mengenai saksi. Dan karena orang buta yang adil dapat diterima riwayatnya sebagaimana orang yang dapat menghasilkan yakin, begitu pula kesaksian orang buta yang ditetapkan dengan Istifadah (testimonium de auditu) sebagaimana pula dibolehkan menjadi saksi dalam terjemah, karena apa yang didengarnya akan ditafsirkan oleh keberadaan hakim, pendengarannya sama dengan pendengaran orang yang dapat melihat.

5. Dapat berbicara. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah,

mensyaratkan saksi itu mampu berbicara, tidak diterima kesaksian orang bisu meskipun isyaratnya dapat dipahami, karena isyarat tidak dianggap kesaksian yang syaratnya yakin sehingga dituntut pelafalan/pengucapan kesaksian. Ulama Malikiyah membolehkan kesaksian orang bisu bila dapat dipahami isyaratnya, karena isyarat adalah bahasa tuturannya yang diterima dalam talak, nikah, dan ziharnya sehingga kesaksiaannya juga begitu.

6. Adil. para ulama sepakat mensyaratkan saksi harus adil, tidak diterima kesaksian orang fasik seperti pezina, pemabuk, pencuri dan yang semisal. Tetapi orang fasik jika ia terpandang dalam masyarakat, bermartabat dapat diterima kesaksiannya, karena kehormatan dan martabatnya menghindarkannya dari kecondongan dan berdusta dalam kesaksian. Akan tetapi, menurut ulama Hanafiyah kesaksian orang


(36)

fasik mutlak tidak diterima, hakim yang memutus berdasar kesaksian orang fasik cacatlah putusannya dan jadilah dia hakim durhaka/membangkang.

7. Bukan dugaan/sangkaan. orang yang suka menyangka ditolak kesaksiannya. Suatu kesaksian, untuk dapat dijadikan sebagai dasar dalam memutus perkara tidak boleh berupa dugaan ataupun dengan keterangan yang belum cukup memadai dari yang seharusnya.11

Sumpah Saksi

Integritas saksi-saksi pada masa sekarang ini sudah semakin tidak jelas. Maka dari itu kesaksian harus diperkuat dengan sumpah. Dalam majalahal-Ahkam al-‘Adliyyahdinyatakan,“Jika pihak yang dipersaksikan

menyampaikan tuntutan sebelum ada keputusan hukum agar hakim meminta saksi-saksi untuk bersumpah bahwa mereka tidak berdusta dalam kesaksian mereka, dan ada ketentuan bahwa kesaksian dapat diperkuat dengan sumpah, maka hakim boleh meminta saksi-saksi untuk bersumpah, dan mengatakan kepada mereka, jika kalian bersumpah, maka kesaksian kalian diterima. Pendapat ini dianut oleh Ibnu Nujaim al-Hanafy. Menurut madzhab Hanafi, saksi tidak perlu bersumpah, karena lafal kesaksian sudah mengandung makna sumpah. Menurut Imam Hanbali, saksi yang memungkiri penyampaain kesaksian tidak perlu diminta untuk bersumpah tidak pula hakim yang memungkiri keputusan hukum dan tidak pula orang yang diberi wasiat atas penafian hutang pada pihak yang memberikan

11


(37)

wasiat. Orang yang memungkiri pernikahan juga tidak perlu diminta untuk bersumpah, termasuk dalam perkara cerai, rujuk, ila’, nasab, qishas, dan tuduhan zina, karena itu semua bukan harta, dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan harta tidak pula ditetapkan adanya penolakan padanya.12 Kesaksian Non-Muslim Terhadap Orang Islam

Ada dua pendapat ulama fikih yaitu:

1. Menurut jumhur selain Hanabilah. Tidak diterima kesaksian mereka karena kesaksian adalah kewenangan (wilayah), tidak ada kewenangan orang kafir terhadap orang Islam.

Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ (4) ayat 141 :

ْﻦ َﻟ َو

ُﱠﷲ

ﺎ َﻜ ْﻠ ِﻟ

ﻰ َﻠ َﻋ

...

...dan Allah sekali-kali tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.

2. Ulama Hanabilah membolehkan kesaksian non-Muslim dalam safar (musafir) karena sangat dibutuhkan jika tidak didapati orang muslim selain mereka, karena alasan darurat bahkan bisa saja dalam keadaan

muqimataupunsafar. Al-Qur’an surah Al-Maidah (5) ayat 106:

ا ﻮ ُﻨ َﻣ آ

ا َذ ِإ

َﺮ َﻀ

َﺣ

ُﻢ ُﻛ َﺪ َﺣ َأ

ُت ْﻮ َﻤ ْﻟ ا

ِﺣ

ِن ﺎ َﻨ ْﺛ ا

ا َو َذ

ٍل ْﺪ َﻋ

ْﻢ ُﻜ ْﻨ ِﻣ

ْو َأ

ِن ا َﺮ َﺧ آ

ْﻦ ِﻣ

ْن ِإ

ْﻢ ُﺘ ْﻧ َأ

ْﻢ ُﺘ ْﺑ َﺮ َﺿ

ﻲ ِﻓ

ِض

ْر ﻷ ا

ْﻢ ُﻜ ْﺘ َﺑ ﺎ َﺻ َﺄ َﻓ

ِت ْﻮ َﻤ ْﻟ ا

ْﻦ ِﻣ

ِﺪ ْﻌ َﺑ

ِة ﻼ ﱠﺼ ﻟ ا

ِن ِإ

ْﻢ ُﺘ ْﺒ َﺗ ْر ا

ي ِﺮ َﺘ ْﺸ َﻧ

ًﻨ َﻤ َﺛ

ْﻮ َﻟ َو

َن ﺎ َﻛ

ا َذ

ﻰ َﺑ ْﺮ ُﻗ

ﻻ َو

ُﻢ ُﺘ ْﻜ َﻧ

ِﱠﷲ

ﺎ ﱠﻧ ِإ

ا ًذ ِإ

َﻦ ِﻤ َﻟ

12

A€ ‚ Bƒ „ …ƒ…,†u‡uˆ A‰ Š ‹ŠŒ‹Š Ž  Š ‘ A’Š ˆ ŠŽŠ  Š ˆ“‹Š‘’ ‡Š”  •–Š -Qadha. (J…— … €„ … : ˜™š… › … G€ …œ ƒž˜Ÿ € ‚…  …)


(38)

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".

Ibnu abbas membenarkan, bahwa bagi orang yang akan mati dan ada orang Islam, Allah swt. menyuruh mempersaksikan wasiatnya dengan dua orang muslim yang adil, jika tidak ada seorang pun orang Islam, Allah Swt. menyuruh disaksikan oleh dua orang saksi non-Muslim, bila kesaksian mereka diragukan keduanya diminta bersumpah bahwa: ‘Kami

tidak membeli kesaksian dengan harga yang sedikit. Ibnu Mas’ud pernah

memutuskan dengan kesaksian non-muslim dimasa Khalifah Usman, maka diterima kesaksian sesama mereka sebagaimana antara umat Islam.

C. Fungsi Saksi dalam Kasus Perceraian.

Fungsi saksi dalam hukum Islam adalah bahwa kehadiran seorang saksi dalam pembuktian mempunyai arti yang sangat penting. Betapa pentingnya nilai suatu kesaksian, hukum Islam mewajibkan seorang saksi untuk memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang ia lihat, dengar dan alami, mengungkap segala sesuatu yang berhubungan dengan Pemohon, Terhomon dan perkara yang diajukan dalam sidang pengadilan


(39)

sesuai dengan peran dan fungsinya selama mampu menunaikannya tanpa adanya alasan yang menimpa, baik pada badannya, kehormatan, harta maupun keluarganya. Sebaik-baik saksi adalah orang yang menyampaikan kesaksiannya dimana keterangan kesaksiannya belum dimintakan oleh Hakim. Barangsiapa yang enggan menjadi saksi dalam kesaksiannya, menyembunyikan kebenaran/hak, maka Allah mengecamnya dengan memberikan dosa kepadanya.

Kesaksian merupakan kewajiban peradilan atas hakim untuk mewajibkannya. Hukum mendatangkan kesaksian dengan segala syarat-syaratnya merupakan keharusan, jika kewajiban menghadirkan saksi ditinggalkan semuanya akan berakibat menghilangkan hak atau kebenaran. Memberi kesaksian hukumnya fardhu ‘ain, seorang saksi harus memberikan kesaksiannya dan tidak boleh menyembunyikan jika penggugat memintanya.13

Tujuan utama saksi ialah menjelaskan terungkapnya kejadian atau peristiwa perkara yang terjadi, saksi melihat, mendengar, dan mengalami langsung apa yang terjadi dalam perkara tersebut. Dengan memberikan hak-hak kebenaran apa yang telah terjadi, maka hakim bisa menegakkan keadilan.

13

  ¡ ¢£¡¢ ¡¤-Zuhaili, ¥¦-§ ¨© ª ¥ ¦-«¬ ¦¥­ ¨ w¥ A® ¨ ¦ ¦ ¥tuª, j-9, cet 4, (Suariah: Dar al-Fikr:


(40)

D. Kedudukan Saksi Perempuan dalam Kasus Perceraian

Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah Swt. di Jajirah Arab pada abad ke-VII, termasuk agama-agama semitik (Abrahamic Religions), termasuk agama yahudi, Islam dan Kristen.14Islam merupakan agama pembebas yang agung, ia melawan tradisi-tradisi Jahiliyah yang jauh dari nilai-nilai kemanusian. Melalui ajaran-ajarannya, Islam memberikan harga diri (sense of dignity) bagi umat manusia secara keseluruhan, selain itu Islam pun memperlakukan manusia sebagaimana mestinya dan sekaligus Islam memproklamasikan sebagai sebuah doktrin (agama) yang membawa nilai-nilai pembebasan akan keseteraan bagi seluruh anak cucu Adam.15

Wanita dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti yaitu: 1. Orang (manusia) yang mempunyai puki, menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui; 2. Istri; bini.16

Wanita (dalam bahasa Arab: al-mar’ah, jamaknya an-Nisaa’

wanita). Perempuan dewasa atau putri dewasa, lawan jenis pria. Di dalam ajaran Islam, wanita didudukkan pada posisi dan kedudukan yang sejajar dengan pria. Sebagaimana pria, wanita juga adalah makhluk Allah SWT

yang sempurna yang diciptakan untuk menjadi “khalifah di bumi”. Dalam

14

¯° ±° ²° ³° ²´ µ´¶· ¸, Gender Dalam Islam, ¹´º´ » ¼° » ½¾¿Àº° Á ½² ¯ ÂIN Jakarta, ed,

Pengantar Kajian Gender,(Jakarta: PSW UIN-Jakarta-McGill Project,2003), h.205

15

Asgar Ali Engineer pada Kata Pengantar, dalam Moh. Yasir Alimi,Jenis Kelamin Tuhan:

Lintas Batas Tafsir Agama,(Yogyakarta: Lkis,2002),

16

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta: Balai


(41)

Islam, wanita diibaratkan sebagai tiang negara; apabila ia baik, maka negara akan baik dan jika rusak, maka negara akan rusak. Selanjutnya memiliki seperangkat hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan peranan yang diembannya.17

Wanita secara harfiah disebut kaum perempuan. Kaum yang amat dihormati dalam konsepsi Islam. Sebab, pada telapak kaki wanita terletak surga. Kaum wanita disebut pula dengan kaum hawa. Nama ini diambil dari nama Ibunda manusia (Siti Hawa-Istri Nabi Adam as). Secara fisik (kodrati), wanita lebih lemah dari pada pria. Mereka memiliki perasaan yang sangat lembut dan halus. Wanita juga lebih banyak menggunakan pertimbangan emosi dan perasaan dari pada akal pikirannya. Wanita adalah lambang kesejukan, kelembutan dan cinta kasih. Itulah ciri-ciri umum dari karateristik kaum wanita.18

Agama Islam memperbedakan pria dan wanita dalam beberapa bidang. Namun jelas, bahwa perbedaan ini tidak ada hubungannya dengan kemanusiaan, kemuliaan dan kecakapan, yang telah ditetapkan oleh Islam persamaanya dengan laki-laki. Jadi, perbedaan itu hanyalah karena keperluan masyarakat, masalah ekonomi dan masalah kejiwaan, yang menghendaki suasana demikan.19

17

DÃ ÄÅ Æ ÇÃ ÈÅÉÊË ÌEnsiklopedi Islam 5,(JÅÉÅÍÎÅ: IÏÐÎË ÅÍBÅ Í Ñ ÒÅ Æ HÓ ÃÔÃ, 1994), CÃÎ.III, Ð.186

18

HÅ ÊÕËIÆ È ÍÅ, È É É,Potret Wanita Sholeha,(JÅÉÅÍÎ Å: Öà ÅÆ Å×ÅÈÅ ÆË Ì 2004) CÃÎ,ÉÃ-IÒÐ.1

19A


(42)

Agama Islam menganggap kesaksian perempuan separoh dari laki-laki. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:

1. Kaum laki-laki menganggap ingatan perempuan lebih sering lupa dibandingkan dengan laki-laki, oleh sebab itu kesaksian dua orang perempuan sama dengan satu laki-laki.

2. Saat perempuan melihat suatu kejadian, dia lebih sering menutup matanya karena alasan takut.

3. Perempuan lebih cenderung malu untuk mengatakan sesuatu dibandingkan laki-laki.

Dalam masalah perdata seperti nikah, rujuk, dan sejenisnya terdapat dua pendapat.

-

20

.

ء ﺎ ﻣ

ﺪ ﻟ ا و د و ﺪ ﺤ ﻟ ا و ح ﺎ ﻜ ﻨ ﻟ ا و ق ﻼ ﻄ

:

ل

ﺎ ﻗ ﻲ ﻠ ﻋ ﻦ ﻋ

Dari Ali berkata : tidak bolehkan kesaksian perempuan dalam masalah talak, nikah, hudud serta pembunuhan.

Pendapat pertama menurut Imam Syafi’i dan madzhabnya, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal.21Mensyaratkan pula saksi harus laki-laki. Kesaksian wanita tidak bisa diterima walaupun di dampingi laki-laki. Kesaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan tidak sah sebagaimana hadist riwayat Abdul Razaq dan Zuhri yang

20

HÙ Ú Û ÜÝÞÛ ßÙàÙÜ AáÚ. ÞÙzÙ â, ã äåzul Amali, æ çz 8, No. 15405, h.329

21

Ibrahim Hosein,Fiqh Perbandingan:dalam Masalah Nikah, Talaq, Rujuk, dan Hukum


(43)

menjelaskan bahwa Nabi SAW menyatakan perempuan tidak sah menjadi saksi dalam urusan pidana, nikah dan thalaq.

- Pendapat kedua menurut Hanafiyah menyatakan bahwa dua orang saksi boleh dari perempuan yakni dua orang perempuan dan satu laki-laki karena adanya ayat:22

..

.

)...

ة ﺮ ﻘ ﺒ ﻠ ﻟ ا

:

282

(

....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya... (al-Baqarah :282)

Perkataan Ali di atas secara tekstual terdapat larangan bagi perempuan dalam kesaksian pernikahan, namun demikian ulama terjadi berbeda pendapat mengenai hal ini,

ﺘﻠ ﺧ ا و ء ﻻ ﻮ ﻟ ا و ﺐ ﺴ ﻨ ﻟ ا و ق ﻼ ﻄ ﻟ ا و ح ﺎ ﻜ ﻨ ﻟ ا ﻲ ﻓ ا ﻮ ﻔ ﻠ .

Mereka (ulama) berbeda pendapat dalam kesaksian perempuan terkait masalah nikah, talak, nasab dan wali.

Dalam masalah wasiat, sebagian ulama berpendapat bahwa perempuan tidak mendapat kedudukan sebagai saksi, persoalan wasiat disyaratkan dua orang laki-laki ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad binHanbal, dan Imam Syafi’i, ada juga sebagian ulama

yang berpendapat bahwa perempuan dapat menjadi saksi, karena tidak

22I


(44)

mensyaratkan laki-laki semua, ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah.

Adapun yang menyangkut masalah hak-hak badan biasanya hanya boleh dilihat perempuan saja, seperti masalah kelahiran bayi, bayi yang baru lahir, cacat-cacat yang ada pada perempuan maka dapat diterima kesaksian perempuan secara mutlak, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Dalam masalah teriakan bayi yang baru lahir, Imam Abu Hanifah tidak dapat menerima kesaksian perempuan secara mutlak, dalam arti harus ada laki-laki, karena menurut beliau adalah hal tersebut terjadi setelah kelahiran, jadi laki-laki boleh untuk melihat.23

23

ÿ H , ut uut Jinayah Islam, ( : A


(45)

35

A. Pengertian Saksi

Saksi dalam Kamus Bahasa Indonesia memiliki beberapa pengertian, antara lain : 1. Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian); 2. Orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi; 3. Orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa dan terdakwa.1

kesaksian dalam hukum acara perdata Islam dikenal dengan sebutanAl-Syahadah, menurut bahasa ialah:

a. Pernyataan atau pemberitahuan yang pasti.

b. Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung.

c. Mengetahui suatu secara pasti, mengalami dan melihatnya seperti persaksian saya menyaksikan sesuatu artinya saya dan melihatnya sendiri sesuatu itu maka saya ini sebagai saksi.2

1

! " # ,$% & ' () * +, -% ./% 0% (%1+2 3 +* (4%, (! 5 6 7 8: 9 6" : ;, 1995), <=".;=-1 >..303

2

#> 65 : , ?'-'& @*&A' -B4%+ C* +'D'B ?' -' & EF%D% 2%+ ?' -' & @3( 4B4G,


(46)

Kesaksian merupakan sebuah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menerapkan suatu hak terhadap orang lain. Dengan kata lain saksi merupakan alat bukti yang sah yang bertujuan untuk memberitahukan

peristiwa yang sebenarnya dengan lafaz “aku bersaksi”3

Kesaksian adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafaz-lafaz kesaksian di hadapan sidang pengadilan. Kesaksian merupakan keterangan saksi secara lisan di muka sidang atas apa yang dilihat sendiri oleh saksi tentang duduk perkara yang disengketakan.4

Saksi ialah orang yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.5

Menurut Sudikno Mertokusumo saksi adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.6

3

NO P QR ST UNRVW PX,Y Z[ Z\]^ _`_ab `_ c de _ f]g_\ _ h (iRjR k lR: mn. NR oRpk RqPS XOmrk VR X R, 2002), sr l. tr-9 Q.55

4

NOuRvS NRw xr X RS TUyvjkP TzRqP{ |\}eb \ bf~_d Y Z[ Z\ |e_ \ h (iR jR k lR: m n. mrk€R,

2001), sr l. tr-2 Q.174

5

yvj lP TklO, a`_ [~b [ ab `[ _`_ ab `c _~_ a_c _ ab f_ gc de _ f ]g_\ _h (sr l,6 : OzWR jR k lR:

mvVlRjRmr‚RoR k{2005)

Q. 165.

6

ƒvX P jSOyrklOjvVvwO,Y Z[Z\]^ _`_ab `c _~_|fc „ fbd_, (OzW R jR k lR : … Pxrk lW,1998), Q. 112.


(47)

Dalam hukum acara perdata, pembuktian dengan saksi sangat penting karena jika dalam suatu masyarakat biasanya perbuatan hukum yang dilakukan tidak tertulis, melainkan dengan dihadiri oleh saksi-saksi karena perbuatan hukum yang dilakukan kebanyakan masih menggunakan faham saling mempercayai antara satu sama lain. Dalam perkara bahwa tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta saja. Akan tetapi jalan yang dapat ditempuh untuk membuktikan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan.

Kesaksian menurut hukum acara perdata ialah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan, dengan jalan membuktikan secara lisan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil dipersidangan.7

Dalam pasal 1907 KHUPerdata menjelaskan “Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana di ketahuinya hal-hal yang

diterangkan”. Pendapat-pendapat manapun pemikiran-pemikiran khusus yang diperoleh dengan jalan pikiran atau kesimpulan bukan disebut kesaksian.

Seorang saksi diharuskan benar-benar melihat, mendengar, mengetahui atau mengalami sendiri terhadap apa yang disaksikannya, bukan berdasarkan cerita dari mulut kemulut atau dari pendengaran ke pendengaran, lalu kemudian saksi menyusun atau mengambil suatu

7

†‡ˆ‰ Š ‹ŒŽ ‰  Œ ‘’ “ ”• –— ˜• ˜™• –— š›• œ• š “š žŸ – — • ˜“¡–•¡•“¡ ›• •¢ “ ˜Ÿ ¡Ÿ  ™Ÿ –Ÿ š £¤•¡•¥¦—  —§›• ˜™ Ÿ –Ÿš£¤•¡•¨¦œ• š,(ˆŠ  Š©Š: ª «. ¬Š­ ®‹©Š¯°Š©Œ±‰ ‹ Š, 1986) °.34.


(48)

kesimpulan atau memberi penilaiannya sendiri. Saksi tidak boleh menyimpulkan atas apa yang disaksikannya itu melainkan menerangkan yang bukan aslinya, dan seorang saksi harus menyebutkan sebab ia mengetahui peristiwa tersebut.8

Tata Cara Pemeriksaan Saksi

Tata cara pemeriksaan saksi diatur dalam pasal 139-152 HIR yaitu: 1. Saksi ditunjuk oleh pihak yang berkepentingan atau oleh hakim karena

jabatannya, yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara.

2. Saksi dipanggil untuk menghadap dipersidangan. Panggilan dapat dilakukan langsung oleh pihak yang berkepentingan. Apabila dipandang perlu, pihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan kepada hakim agar saksi yang diperlukan itu dipanggilkan oleh juru sita Pengadilan (pasal 139 HIR).

3. Saksi menghadap ke pengadilan untuk memenuhinya (pasal 144 ayat (2) HIR).

4. Saksi dipanggil keruang sidang seorang demi seorang (pasal 144 ayat (1) HIR).

5. Hakim/ketua menanyakan kepada saksi tentang ; - Namanya,

- Pekerjaannya, - Umurnya,

8

²³ ´µ ¶ ·¸¹ ²¶ º» ´¼, ½¾ ¿¾ À¸Á¶  ¶ÃÄ ¶¼´ Ŷ·¸Æ¶À¶, (à Ç.²¶ È ¶ É ¶ Ê´ · ¼ ³Ã Ä º¶ ¼¶: ˶ ¿¶  ̶, 2002), ÁÄÌ,¿ÄºÄÀʹŶ·.½. 160.


(49)

- Tempat tinggalnya dan,

- Apakah ia berkeluarga sedarah dengan kedua belah pihak atau salah satu daripadanya, atau karena berkeluarga semenda,

- Apakah ia makan gaji atau jadi pembantu dirumah salah satu pihak (pasal 144 ayat (2) HIR).

Pertanyaan-pertanyaan kepada saksi tersebut diatas dimaksudkan untuk mengetahui ;

a. Siapakah identitas saksi yang bersangkutan,

b. Apakah umur telah memenuhi syarat sebagai saksi,

c. Apakah keterangan yang nanti akan diberikan dapat diterima dan masuk akal, umpamanya;

o Pekerjaan, katanya orang tani, jika keterangan yang

diberikan bersifat teknis dapat diragukan.

o Umur, kalau memberikan keterangan soal/hal-hal yang

lama berselang, apakah cocok dengan umurnya pada waktu itu.

o Tempat tinggalnya, kalau orang yang berdiam dipelosok

dapat memberikan keterangan tentang mobil, radio yang begitu teknis dapat diragukan.

d. Apakah keterangan yang akan diberikan data dianggap objektif, karena adanya hubungan keluarga, hubungan kerja dengan menerima upah, atau hubungan semenda membuat orang tidak dapat objektif keterangannya.


(50)

e. Apakah ia memenuhi syarat sebagai saksi, apakah termasuk yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi, atau bahkan apakah ia termasuk yang tidak dapat didengar sebagai saksi yang disumpah. 6. Saksi disumpah menurut agamanya bahwa ia akan menerangkan yang

sebenarnya dan tidak lain pada yang sebenarnya (pasal 147 HIR), kecuali jika menurut hukum tidak boleh disumpah.

7. Atas pertanyaan hakim, saksi memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia lihat, dengar dan dialami sendiri.

8. Para pihak dapat mengajukan pertanyaan pada saksi tentang hal-hal yang mereka anggap penting , melalui hakim.

Para pihak minta kepada hakim agar hal-hal yang dianggap penting itu ditanyakan kepada saksi. Hakim menimbang apakah hal itu relevan dengan perkaranya atau tidak. Jika dinilai relevan maka hakim meneruskan pertanyaan itu kepada saksi, dan jika tidak relevan maka tidak perlu ditanyakan kepada saksi.

Hakim dapat mengajukan segala pertanyaan kepada saksi dengan maunya sendiri yang dipertimbangkannya berguna untuk mendapat kebenaran (pasal 150 HIR). Para pihak berhak mengajukan keberatan/penilaian atas kesaksian tersebut.

9. Saksi yang telah diperiksa, tetap duduk berada dalam ruang sidang agar supaya ;


(51)

- Apabila sewaktu diperlukan keterangan tambahan atau untuk dikonfirmasikan dengan saksi yang lain tidak mengalami kesulitan, 10. Keterangan tentang saksi dan segala keterangan saksi serta jalannya

pemeriksaan saksi tersebut dicatat dalam Berita Acara Persidangan yang dimuat oleh Panitera Sidang (pasal 152 HIR).

Adapun apabila saksi berada diluar daerah hukum pengadilan, maka :9 a. Ia dapat dipanggil untuk menghadiri sidang pengadilan yang

memeriksa perkara itu, tetapi tidak dapat dipaksakan.

b. Jika ia tidak mau hadir, maka hakim dapat meminta bantuan kepada Pengadilan lain yang diwilayah hukumnya meliputi tempat tinggal saksi tersebut supaya pengadilan tersebut :

o Memanggil saksi yang bersangkutan untuk menghadap

sidang di pengadilan setempat,

o Membuka sidang untuk memeriksa saksi tersebut sesuai

dengan permintaan hakim yang memeriksa perkara. (hakim yang memeriksa perkara harus telah, membuat daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada saksi),

o Membuat berita acara persidangan saksi, dan

o Mengirim BAP tersebut kepada hakim yang memberikan

perkara.

c. Berita acara persidangan pemeriksaan tersebut dibacakan dalam sidang. Permintaan bantuan kepada pengadilan lain untuk

9

Î ÏÐ ÑÒÐ ÓÔ Õ Ó Õ,Ö ×Ø ×ÙÚÛ Ü ÝÜÞß ÝÜà á âÜ ãÚäÜ Ù ÜàÜâÜ ãå ß ÝÜãäØ Üæ áç èÚâéQÜàèÜ ê(ë Õì Õ ÏÔ Õ: íîïÕðÕñÏ ÕòÐ ÓóôíõÏ ÑÕóÕ 2012) ö. 60.


(52)

memeriksa saksi yang diluar daerah tersebut dapat pula dilakukan langsung tanpa memanggil saksi tersebut lebih dahulu ke persidangan hakim yang memeriksa perkara.

Adapun apabila terdapat saksi yang beda maka,

o Saksi yang tidak memenuhi kewajibannya diancam dengan

hukuman pidana sesuai dengan pasal 224 KUHP.

o Jika saksi yang telah dipanggil dengan patut kemudian

tidak datang pada hari yang ditentukan itu maka ia dihukum oleh pengadilan untuk membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan ia akan dipanggil sekali lagi dengan ongkos sendiri. Jika ia tidak datang karena sesuatu alasan yang sah, maka pengadilan harus menghapuskan hukuman itu, setelah saksi memberikan keterangannya )pasal 140,142 HIR)

d. Jika saksi tersebut telah dipanggil untuk kedua kalinya dan juga tidak menghadap maka ia dapat dihukum lagi membayar biaya yang dikeluarkan untuk itu dengan sia-sia tersebut (pasal 141 ayat (1) HIR).

e. Jika saksi yang dipanggil itu enggan dipanggil menghadap sidang maka pengadilan dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dipaksa menghadap dengan menggunakan alat negara (polisi) ke persidangan sesuai dengan pasal 141 ayat (2) HIR,


(53)

f. Jika saksi telah menghadap dipersidangan tetapi enggan mengangkat sumpah atau memberikan keterangan atau permintaan pihak yang berkepentingan, ketua dapat memberikan perintah supaya saksi itu disandra sampai saksi memenuhi kewajibannya sesuai dengan pasal 141 HIR.

Mengenai penyanderaan ini, berdasarkan SEMA No.2 tahun 1964, telah dilarang oleh Mahkamah Agung dan hal itu dapat diterapkan pasal 140 dan 141 HIR di atas, yaitu supaya saksi membayar ganti rugi biaya yang telah dikeluarkan untuk itu. Atau jika kesaksian yang dapat diberikan sangat penting bagi menang kalahnya pihak yang bersangkutan, maka pihak yang bersangkutan dapat menuntut ganti rugi. Namun demikian, hakim sebagai orang yang arif dan bijaksana tentunya dapat memberikan nasehat agar saksi yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.

Dalam Praktik persidangan pengadilan umumnya saksi yang dipergunakan untuk memperkuat adanya pembuktian 2 (dua) orang saksi dalam suatu perkara adalah agar hakim dapat mencocokkan keterangan-keterangan antara saksi yang satu dengan saksi lainnya ada kesamaan atau tidak. Kecocokan keterangan-keterangan yang diberikan oleh para saksi tersebut sesuai dengan yang diketahui dan apakah ada hubungannya dengan perkara para pihak yang sedang dipersengketakan tersebut.10

10

÷ø ù úûü û,ýþ ÿþ ÿ ÿ(ø ø ù ø: ÷ üø ùùø ø, 2011),


(54)

B. Syarat-Syarat Saksi dalam Kasus Perceraian

Kesaksian merupakan alat bukti wajar karena berasal dari pihak ketiga yang melihat atau mengetahui sendiri peristiwa terkait, keterangan saksi umumnya lebih objektif ketimbang keterangan pihak berkepentingan sendiri.11 Pentingnya keterangan saksi dikarenakan banyaknya peristiwa/keadaan hukum yang tidak dicatat atau tidak ada bukti tertulisnya sehingga hanya kesaksian yang masih tersedia. Namun ada kemungkinan saksi dengan sengaja dipalsukan oleh pihak yang berperkara, atau karena suatu peristiwa telah lama terjadinya dan utuh, apalagi tidak setiap pengamatan terhadap kejadian dimaksudkan sebagai kesaksian sehingga pengamatan dan pengetahuan saksi yang kurang teliti dan tidak cermat sehingga dapat saja mengaburkan keterangan yang diberikan.

Persoalan pembuktian dengan saksi di pengadilan harus membedakan antara saksi dan pembuktian karena fungsi keduanya sangat berbeda, misalnya sebagai syarat hukum sahnya nikah harus disaksikan minimal dua orang saksi, tetapi untuk membuktikan sahnya perkawinan tidak mesti dua orang saksi, pembuktian bisa dengan pengakuan suami-istri, dengan sumpahnya, dengan akta nikah, dan lain-lain. Status saksi terkadang untuk memenuhi syarat hukum dan adakalanya sebagai alat bukti bahkan bisa juga sekaligus sebagai syarat hukum dan syarat

11

, !"# $ % ,&' ( ' )* + ,-,. /-0 ,1 ,2 30 4 3/5 6 ,7(89 : ;; "#;: < = !"#:,1997), >!#,1, ?. 166


(55)

pembuktian. Syarat hukum merupakan syarat materiil sementara syarat pembuktian merupakan syarat formal.12

Menurut Roihan A. Rasyid, Islam tidak boleh menutup diri dari kemajuan, demikian pula dalam hal kesaksian wanita dan orang yang bukan Islam, ia berpendapat apa gunanya Pengadilan Agama bertahan bahwa saksi harus laki-laki semua dan Islam semua, jika ternyata dengan menolak saksi perempuan atau kesaksian non-Muslim menyebabkan hukum materiil Islam menjadi banyak diperkosa, sementara hukum formal itu mengabdi kepada kepentingan hukum materiil, bukankah orang Islam dapat menerima hadis-hadis yang diriwayatkan Siti Aisyah, sementara hadis-hadis itu sendiri merupakan sumber hukum materiil Islam.13

Aturan perundang-undangan hukum positif di Indonesia tidak mengenal adanya persyaratan mutlak untuk diterimanya seorang menjadi saksi dari segi jenis kelamin, sifat dan berapa jumlah ideal, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk menjadi saksi. Prinsip utama dalam pembuktian adalah terungkapnya kebenaran peristiwa yang menjadi sengketa sehingga keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan, karena hukum acara Peradilan Agama adalah juga hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum, maka tidak menutup kemungkinan hadirnya saksi non-Muslim di Pengadilan Agama.14

12

@ AB C DBE AF GHC I, , JKL KM N O PQP RS QPT UV PW N X PM PY (ZB[B \ ]B: ^ _.AB `B a\ B bC EI F ^ c\ GB IB,2000).

13

UdUTeD.163

14

@fIg h iBEBE. PSWS Q PjPW J KLKM N O PQP PS QTPkP T U lU WXLKWX P W PS Q PTUV P W NXPM P.


(56)

a. Seorang saksi harus dapat bersikap objektif, karena objektifitas merupakan syarat yang harus diberikan oleh seorang saksi dalam persidangan.

Objektifitas kesaksian yang diberikan oleh seorang saksi yaitu : 1) Kesaksiannya dengan keadilan yang relevan.

2) Mampu bertanggung jawab, yakni sudah dewasa sudah berumur 15 tahun keatas, atau sudah pernah kawin dan tidak pernah sakit ingatan.

b. Syarat formal, merupakan syarat yang secara formal harus dipenuhi dan dilakukan oleh seorang saksi yaitu:

1) Harus datang disidang pengadilan 2) Harus menerangkan dibawah sumpah

3) Tidak unus testi nulus testis; artinya satu saksi bukan saksi. Saksi yang hanya seorang diri belum dapat dijadikan dasar pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. Oleh sebab itu harus disempurnakan dengan alat bukti yang lain, seperti sumpah atau lainnya.

c. Syarat objektif/material, merupakan syarat mengenai materi yang harus diterangkan oleh seorang saksi yaitu:

1) Menerangkan tentang apa yang dilihat, yang didengar dan dialami oleh seorang saksi


(57)

2) Dasar-dasar atau alasan seorang saksi mengapa ia dapat melihat, mendengar dan mengalami apa yang diterangkan.

Supaya saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak dapat didengar sebagai alat bukti maka harus memenuhi syarat-syarat formil dan materiil. Syarat formil saksi adalah:

a. Memberi keterangan di depan persidangan, pasal 145 ayat (1) HIR b. Bukan orang-orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi bagi

kelompok yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi menyatakan kesediaannya untuk diperiksa sebagai saksi.

c. Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya (pasal 147 HIR) d. Cakap menjadi saksi

e. Diperiksa satu persatu f. Berumur 15 tahun keatas g. Sehat akalnya

h. Memberikan keterangan secara lisan, sesuai dengan pasal 144 ayat (1) HIR

i. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain, sebagaimana pasal 169 HIR.15

Adapun orang-orang yang dapat mengundurkan diri dari kewajiban menjadi saksi adalah:

15


(58)

a. Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar perempuan dari salah satu pihak.

b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan saudara perempuan dari suami atau istri dari salah satu pihak. c. Semua orang yang karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya

yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya, pasal 146 ayat (1) HIR.

Sumpah Saksi

Apabila orang tidak minta dibebaskan dari memberikan kesaksian atau jika permintaan untuk dibebaskan tidak beralasan, maka sebelum saksi itu memberi keterangan lebih dahulu haruslah ia disumpah menurut agamanya, hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 175 RBg/147 HIR.

Sebagai pengganti sumpah seorang saksi dapat mengucapkan janji apabila agama dan kepercayaan melarang mengangkat sumpah. Keterangan saksi tanpa mengangkat sumpah sebelumnya, bukanlah merupakan alat bukti yang sah.

Bagi saksi yang beragama Islam rumusan atau lafal sumpah itu

berbunyi sebagai berikut: “Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya”.

Bagi saksi yang beragama Kristen, dengan berdiri sambil mengangkat tangan kanannya setinggi telinga serta merentangkan jari telunjuk dan jari


(59)

tengahnya, sesuai pasal 1 S.1920 No.69, mengucapkan sumpah sebagai berikut;

“saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya”.

Bagi saksi ahli rumusan sumpahnya berbunyi sebagai berikut: saya bersumpah bahwa saya akan memberikan pendapat tentang soal-soal yang dikemukakan menurut pengetahuan saya sebaik-baiknya”.16

Adapun kesaksian non-Muslim di Pengadilan Agama, dilihat dari peraturan dan perundang-undangan yang berlaku adalah merupakan bukti yang sah dan dapat diterima oleh hakim dilingkungan Peradilan Agama. Hanya saja, yang harus dipenuhi oleh hakim Pengadilan Agama adalah syarat ketelitian dan seksama menilai segala hal-hal dan keadaan saksi-saksi non-Muslim maupun keterangan yang diberikannya apakah dapat dipercaya atau tidak guna mendukung fakta yang diajukan para pihak yang bersengketa, sebagaimana juga harus dilakukan terhadap saksi-saksi yang beragama Islam.

C. Fungsi Saksi dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Saksi dalam Kasus Perceraian

Apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka ia mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim bebas untuk menilai kesaksian

16

‹.ŒŽ ‘ ‹ ‘ ’“, ” •– •– —˜•–•– ™ š– š› œ  žŸž ”  Ÿ¡ ž¢ ž£ (¤¥ ¦¥ § ¨¥ © ª« ¬­ ® ¯¦¥ °­ ±¨¥,


(60)

itu sesuai dengan nuraninya. Hakim tidak terikat dengan keterangan saksi. Hakim dapat menyingkirkannya asal dipertimbangan dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat.

Jika kesaksian itu berasing-asing dan tersendiri dari beberapa orang, tentang beberapa kejadian dapat menguatkan satu perkara yang tertentu oleh karena kesaksian itu bersesuaian dan berhubung-hubungan, maka diserahkanlah pada pertimbangan hakim buat menghargai kesaksian yang berasing-asing itu sedemikian kuat, sehingga menurut keadaan (pasal 170 HIR).

Dalam hal menimbang harga kesaksian hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi, contohnya kesaksian-kesaksian yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan, tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan dengan cara begini atau begitu, tentang perlakuan atau adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau tidak (pasal 172 HIR). Unus testis nulus testis (Pasal 169 HIR/306 RBg). Artinya satu saksi bukan saksi. Saksi yang hanya seorang diri belum dapat dijadikan dasar pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. Oleh sebab itu harus disempurnakan dengan alat bukti lain, seperti sumpah atau lainnya.


(61)

Hakim dilarang menetapkan suatu peristiwa sebagai bukti hanya berdasarkan keterangan seorang saksi yang berdiri sendiri tanpa didukung alat bukti lain.

Begitu pula ada istilah testimonium de auditu (pasal 171 HIR), yang berarti kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan melihat, mendengar dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain. Dalam bahasa fiqh disebut Istifadhoh. Pada dasarnya tidak ada larangan mendengarkan kesaksian mereka.

Nilai pembuktiannya tidak perlu dipertimbangkan. Menurut Wirjono, dapat dipergunakan untuk menyusun bukti persangkaan. Begitu pula keluarga, sedarah atau semenda, buruh/karyawan dan pembantu rumah tangga dapat didengar sebagai saksi dibawah sumpah dalam perkara tentang perselisihan keadaan menurut hukum perdata lain, dan tentang perjanjian pekerjaan, serta tentang perkara perceraian, karena alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus (pasal 145 ayat (2) HIR, pasal 76 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 dan pasal 22 PP No.9/1975).

Alat bukti saksi dalam praktik hukum acara perdata di persidangan pengadilan sangatlah penting karena berfungsi untuk menguatkan tentang kejadian atau peristiwa terhadap adanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak yang sedang berperkara, khususnya kejadian atau peristiwa perbuatan hukum para pihak yang pembuatannya dilakukan dibawah tangan, keberadaan saksi sangatlah penting karena apabila ada


(1)

merupakan alat bukti yang sangat penting. Memberikan keterangan secara lisan di muka sidang atas apa yang dilihat, didengar dan diketahui secara langsung oleh saksi tersebut tentang duduk perkara yang disengketakan”. Karena sesungguhnya fungsi kesaksian itu sendiri tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan keterlibatan yang bersangkutan dengan peristiwa tersebut.

Persamaan yang kedua memiliki syarat-syarat yang sama yaitu: Berakal sehat tidak gila, Adil, Dapat melihat, Dapat berbicara, Berumur 15 tahun keatas, Cakap hukum.

3. Perbedaan Pendapat Empat Madzhab dan Hukum Positif Tentang Kedudukan Saksi Perempuan. Agama Islam menganggap kesaksian perempuan separoh dari laki-laki. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:

- Kaum laki-laki menganggap ingatan perempuan lebih sering lupa dibandingkan dengan laki-laki, oleh sebab itu kesaksian dua orang perempuan sama dengan satu orang laki-laki.

- Saat perempuan melihat suatu kejadian, dia lebih sering menutup matanya karena alasan takut.

- Perempuan lebih cenderung malu untuk mengatakan sesuatu dibandingkan laki-laki.

Adapun kedudukan saksi perempuan dalam hukum positif di Indonesia sama dengan laki-laki.


(2)

67

B. Saran-saran

1. Disarankan adanya penelitian lanjutan terkait dengan kekuatan saksi perempuan dalam menyelesaikan suatu perkara di pengadilan agama. 2. Disarankan kepada hakim untuk lebih tegas dan lebih teliti dalam


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Khalik, Fiqh an-Nisai fi Dhou’i al-‘Arba’ah, (Damaskus: Daar al-Kitab al-arba’ah, (Damaskus: Daar al-al-Kitab al-‘Arabi, 1414H.

Al-jaziri, Abdurrahman, Hukum Acara Perdata. Jakarta: Universitas Tri Sakti,2001.

Ali Engineer,Asgar. Jenis Kelamin Tuhan: Lintas Batas Tafsir Agama. Yogyakarta: Lkis,2002.

Ali, Zainuddin,Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,2009. Aliyah,Lia al-Himmah,Kesaksian Perempuan: Benarkah separoh

Laki-laki?.Jakarta: Rahima, 2008.

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara dan Hukum Positif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004.

Arto,Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Penagdilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005.

Aris Bintana, Hukum Acara Peradilan Agama dalan Kerangka Fiqh Al-Qadha.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2012.

Dasuki,Hafidz. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1999.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Faruq,Assadulloh. Hukukm Acara Peradilan Islam. Jakarta : PT. Buku Kita, 2009.


(4)

69

Hasyim,Utsman. Teori Pembuktian Menurut Fiqh Jinayah Islam. Yogyakarta: Andi Offset, 1984.

Het Herziene Indlandsche Reglement/Reglement Indonesia yang dibaharui (HIR/RIB).

Hosein,Ibrahim. Fiqh Perbandingan:dalam Masalah Nikah, Talaq, Rujuk, dan Hukum Kewarisan. Jakarta: Balai Pustaka Islam Yayasan Ihya Ulumuddin, 1971.

Indra,Hasbi dkk. ,Potret Wanita Sholeha.Jakarta: Peanamadani, 2004.

KUH Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pustaka Mahardika.

Makaro,Taufik,M. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta; PT Rineka Cipta, 2004.

Manan,Abdul,Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.Jakarta: yayasan Al-Hikmah, 2000.

Mertokusumo,Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet-1, Yogyakarta: Liberty,2002.

Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Al-umm, j-3, Beirut-Libanon: Dar al-Ma’rifah.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab (Ja’fari, Maliki, Hanafi, syafi’i, Hanbali), terj. Masykur AB dkk, Jakarta: Lentera,2002.

Moeloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya 2004.


(5)

Rambe,Ropaun, dan A.Mukri Agafi, Implementasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Perca, 2001.

Rosyid, Raihan, Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada,2000.

Rusd Ibn,Bidayah al-Mujtahid. Beirut: Daar Ahya al-Kitab al-‘Arabiyah.

Sabiq,Sayyid, Fiqh Sunnah, Dar Fath Lili’lami al-Arabiy, cet-1. Jakarta: Cakrawala Publishing,2009.

Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’am membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press, 2002

Santoso,Anando. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika, 1995.

Sarwono, Hukum Acara Perdata: Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Sayid Abu Bakr al-Dimyati,I’anatu al-Thalibin,Beirut-Libanon: Ihya’ al-Turas al-‘Araby,

Subekti,Hukum Acara Perdata, Bandung: Binacipta, 1989.

Supramono, Gatot, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama. Ujung Pnadang: Alumni 1993.

Syukri.Juani,A. Keyakinan Hakim dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut Hukum Acara Positif dan Hukum Acara Islam. Jakarta: PT. Magenta Bhakti Guna, 1986.


(6)

Umar,Abdur rahman.Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Siti Sajaroh,Wiwi. Gender Dalam Islam. Jakarta: PSW UIN-Jakarta-McGill Project,2003.

Zuhaili,Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatu. Suariah: Dar al-Fikr: Damsyiq-Suriah, 2002.