BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KANKER SERVIKS - Hubungan tingkat Pengetahuantentang Kanker Serviks Dan Tindakan Pap Smear berdasarkan Teori Health Belief Modelpada Ibu Di Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Medan Belawan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KANKER SERVIKS Kanker serviks adalah penyakit keganasan primer pada serviks uterus.

  Dimana serviks adalah bagian dari uterus yang bentuknya silindris, diproyeksikan ke dinding vagina anterior bagian atas dan berhubungan dengan vagina melalui sebuah saluran yang dibatasi ostium uterus

  12,13 eksternum dan internum.

  Di seluruh dunia, kanker serviks merupakan penyakit keganasan ketiga yang paling sering terjadi setelah kanker payudara dan kolorektal, dan merupakan penyebab kematian keempat setelah kanker payudara, kanker paru-paru,

  14 dan kanker kolorektal.

  Dari penelitian yang dilakukan oleh Arbyn M, dkk pada tahun 2008 dimana sumber data penelitian tersebut diperoleh dari GLOBOCAN; World Health Organization (WHO), dari penelitian tersebut disebutkan bahwa di seluruh dunia diperkirakan 530 ribu wanita menderita kanker serviks dan 275.000 wanita meninggal karena penyakit tersebut, insidensi kanker serviks adalah 15 dari 100.000 penduduk dan kematian yang disebabkannya adalah 8 dari 100.000 penduduk. Delapan puluh enam persen dari seluruh kanker serviks dan 88% dari seluruh kematian yang disebabkan kanker serviks terjadi di negara berkembang. Di negara berkembang, 1,9 % dari penduduk wanita menderita kanker serviks dan sebanyak 1,1 % meninggal karena penyakit

  14 tersebut, sebelum usia 75 tahun.

  Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker serviks setiap tahunnya.Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36%.

  Dari data 17 rumah sakit di Jakarta pada tahun1977, kanker serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker

  15,16 serviks sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi.

  Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, insidensi kanker serviks paling banyak dijumpai pada wanita Amerika latin, Amerika Afrika, dan penduduk asli dan prevalensi kanker serviks lebih tinggi pada wanita dengan sosio-ekonomi rendah, dimanakanker serviks lebih

  

12,17

banyak dijumpai pada wanita usia tua.

  Ada beberapa faktor kebiasan yang meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks yaitu, koitus usia dini, berganti-ganti pasangan seksual, merokok dan malnutrisi. Risiko relatif seorang wanita menderita kanker serviks adalah 1,6 kali lebih tinggi jika koitus pertamadilakukan sebelum usia 18 tahun.

  Sementara itu, wanita dengan riwayat memiliki lebih dari enam pasangan seksual memiliki risiko relatif menderita kanker serviks sebanyak 2,2 kali.

  Selainitu merokok juga meningkatkan risiko relatif menjadi kanker serviks

  13,17 sebesar 1,7 kali. Faktor medis juga mempengaruhirisiko terjadinya kanker serviks, yaitu multiparitas dan adanya keadaan imunosupresi. Dimana insidensi kanker serviks lebih banyak dijumpai pada wanita multipara denga risiko relatif

  13,17 sebesar 1,5-5,0 kali.

  Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi virus HPV (human Papillomavirus). Lebih dari 90% kanker serviks jenis skuamosa mengandung DNA virus HPV dan 50% kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16.

  13,18 Penyebaran virus ini terutama melalui hubungan seksual.

  Penderita kanker serviks dapat mengeluhkan adanya keputihan, perdarahan kontak, perdarahan spontan, rasa nyeri, gangguan buang air kecil dan buang

  13,18 air besar.

  Dengan semakin berlanjutnya penyakit, tanda-tanda klinis akan terlihat jelas, berupa serviks yang membesar, iregular dan padat. Pertumbuhan serviks dapat berupa endofitik, eksofitik maupun ulseratif.Dapat melibatkan vagina,

  

13,18

parametrium maupun dinding panggul.

  Diagnosis kanker serviks diperoleh melalui pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi.Pada dasarnya bila dijumpai lesi seperti kanker yang jelas terlihat harus dilakukan biopsi walau hasil pemeriksaan Pap smear masih dalam batas normal. Sementara itu, biopsi lesi yang tidak jelas terlihat

  13,18,19 dilakukan dengan bantuan kolposkopi.

  Setelah diagnosis kanker serviks ditegakkan, harus ditentukan terapi apa yang tepat untuk setiap kasus. Secara umum jenis terapi yang dapat diberikan bergantung pada usia dan keadaan umum penderita, luasnya penyebaran, dan komplikasi lain yang menyertai. Pada stadium dini (stadium I sampai stadium II A), operasi masih merupakan pilihan. Pada dasarnya untuk stadium lanjut (IIB, III, dan IV) diobati dengan kombinasi radiasi

  12,13,19 eksterna dan intrakaviter (brakhiterapi).

  Pencegahan terhadap kanker serviks berupa upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan dan angka kematian akibat kanker serviks. Pencegahan terdiri dari pencegahan primer, pencegahan sekunder,

  20 dan tersier.

  Pencegahan primer adalah mencegah masuknya karsinogenesis ke dalam tubuh atau sel tubuh. Pencegahan primer kanker serviks adalah mencegah terjadinya infeksi HPV onkogenik, karena infeksi HPV onkogenik berpotensi menjadi infeksi HPV persisten yang merupakan salah satu faktor terjadinya karsinogenesis kanker serviks. Pencegahan primer meliputi pendidikan kehidupan yang higienis, asupan gizi yang baik untuk meningkatkan daya imun, pola kehidupan seksual yang normal, menghindari faktor-faktor yang meningkatkan risiko infeksi HPV onkogenik (infeksi HPV non-onkogenik), pemilihan kontrasepsi yang meningkatkan daya proteksi serviks terhadap infeksi HPV onkogenik ataupun meningkatkan regresi spontan infeksi HPV.

  Upaya yang sangat efektif dan efisien sebagai pencegahan primer kanker serviks adalah vaksinasi, dan vaksinasi ini juga ditengarahi merupakan bagian pencegahan primer semua kanker yang disebabkan karena infeksi

20 HPV.

  Pencegahan sekunder adalah menemukan kelainan sel dalam tahap infeksi HPV ataupun lesi prakanker. Penemuan infeksi HPV merupakan salah satu pencegahan sekunder yang penting, karene infeksi HPV persisten merupakan faktor infeksi yang dapat berkembang menjadi lesi prakanker. Upaya pengamatan yang terencana dan terlaksana dengan baik akan mengidentifikasi infeksi HPV yang berpotensi menjadi infeksi HPV persisten serta selanjutnya berpotensi berkembang menjadi lesi prakanker. Penemuan lesi prakanker merupakan pencegahan sekunder yang sudah dikenal dengan baik. Penemuan lesi prakanker harus dilanjutkan dengan tatalaksana yang tepat dan baik sehingga lesi prakanker tidak berkembang menjadi kanker

  20 serviks.

  Pencegahan tersier adalah bagian pencegahan yang bertujuan untuk atau stadium yang lanjut. Down staging merupakan bagian dari pencegahan tersier, dengan down staging kita akan menemukan penyakit pada stadium

  20 dini yang sifatnya masih menjangkau terapi kuratif.

  Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5-

  years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%, 12,13 stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30%.

2.2 PAP SMEAR

  Sejak diperkenalkan pada tahun 1940 oleh Papanicolaou, Pap smear telah menjadi pemeriksaan yang penting untuk deteksi dini kanker serviks. Pap

  

smear dapat mendeteksi adanya sel yang abnormal sebelum berkembang

4,19 menjadi lesi prakanker atau kanker serviks sedini mungkin.

  Pada dasarnya prinsip pemeriksaan Pap smear adalah mengambil epitel permukaan serviks yang mengelupas/eksfoliasi pada zona transformasi, kemudian epitel tersebut diwarnai secara khusus dan dilihat di bawah

  4,19 mikroskop untuk diinterpretasi lebih lanjut.

  Akurasi Pap smear tergantung dari kualitas pelayanan, termasuk pengambilan, persiapan, dan interpretasi hasil. Spesifisitas Pap smear biasanya lebih dari 90%.Sensitivitas Pap smear bila dikerjakan setiap tahun

  4,19 tahun mencapai 68%.

  Rekomendasi skrining terbaru untuk kelompok usia tertentu, berdasarkan acuandari American Cancer Society, the American Society for Clinical Pathology (ASCP), the US Preventive Services Task Force (USPSTF), and the American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) (ASCCP),

  1,4,19

  adalah sebagai berikut :

  • < 21 tahun : tidak ada skrining yang direkomendasikan
  • 21-29 tahun : sitologi (Pap smear) saja setiap 3 tahun

  • 30-65 tahun : Human Papilloma Virus (HPV) dan tes pendamping sitologi setiap 5 tahun (disukai) atau sitologi saja setiap 3 tahun (diterima)
  • >65 tahun : tidak ada skrining yang direkomendasikan jika skrining yang adekuat sebelumnya negatif dan risiko tinggi tidak ada.
  • Skrining setelah histerektomi : tidak diindikasikan pada wanita tanpa serviks dan tanpa adanya riwayat dari lesi prakanker high grade (CIN 2 atau CIN 3) pada 20 tahun terakhir atau dari mulai didiagnosa kanker serviks.

  Ada beberapa persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan Pap

  

smear, yaitu Pap smear sebaiknya tidak dilaksanakan pada saat wanita

  menstruasi (haid). Dua hari sebelum pemeriksaan Pap smear dilakukan, pasien dilarang bersenggama dan mencuci atau menggunakan pengobatan melalui melalui vagina, dan idealnya, jika dijumpai servisitis (radang serviks)

  4,8,19 sebaiknya diterapi terlebih dahulu sebelum dilakukan Pap smear.

  Alat-alat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Pap smear adalah meja ginekologi, lampu untuk pemeriksaan, spekulum vagina, sarung tangan steril,

  

object glass, spatula Ayre atau cytobrush, serta larutan fiksasi alkohol

4,8,19 96%.

  Pada saat pemeriksaan, pasien diminta untuk berbaring dalam posisi litotomi. Lubrikan tidak direkomendasikan karena dapat mengkontaminasi atau mengganggu sampel sitologi. Jika diperlukan air yang hangat dapat digunakan untuk melubrikasi dan menghangatkan spekulum sebelum dimasukkan ke dalam vagina untuk kenyamanan pasien. Kemudian spekulum dimasukkan ke dalam vagina sampai serviks tervisualisasi dengan baik, terutama zona transisionaluntuk hasil yang adekuat.Lalu spatula ayre/cytobrush dimasukkan ke dalam kanalis servikalis dan diletakkan di

  

o

  serviks kemudian diputar sejauh 360 untuk spatula ayre dan 5 kali rotasi untuk cytobrush.Sampel yang diperoleh dipulaskan pada gelas objek. Lalu difiksasi dengan larutan alkohol 96%.Pulasan-pulasan tersebut kemudian

  4,8,19 dikirimkan ke laboratorium sitologi untuk pemeriksaan.

  Dikenal beberapa sistem pelaporan hasil pemeriksaan Pap smear, yaitu sistem Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN), dan sistem Bethesda. Sistem pelaporan yang berkembang adalah sistem Bethesda, Bethesda 1988 direvisi menjadi Bethesda 2001. Klasifikasi Bethesda memperkenalkan dua kategori untuk derajat lesi prakanker, lesi dan lesi derajat tinggi (high grade squamous epithelial lesion) setara dengan

  4,8,19 CIN II dan CIN III.

  8 Tabel 2.1 : Interpretasi Hasil Pemeriksaan Pap Smear

2.3 PENGETAHUAN

2.3.1 Definisi Pengetahuan

  Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “Tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran,

  21 penciuman, rasa dan raba.

  Pengetahuan atau kognitif yang merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dorongan fisik dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun dengan dorongan sikap perilaku setiap orang sehingga dapat dikatakan bahwa

  21 pengetahuan merupakan stimulasi terhadap tindakan seseorang.

  21 Menurut Notoatmodjo tingkat pengetahuan terdiri dari 6 tingkatan, yakni :

  a. Tahu (Know) Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

  Yang termasuk mengingat kembali tahap suatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan. Jadi, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

  b. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai sutau kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh : menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari.

  c. Aplikasi (Aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan suatu materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

  d. Analisa (Analysis) Analisa adalah kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek didalam struktur organisasi tersebut dnm masih ada kaitannya satu sama lain.

  Kemampuankemampuan analisis dapat dikaitkan dari penggunaan- penggunaan kata kerja seperti kata kerja seperti menggambarkan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

  e. Sintesis (Shintesis) menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun suatu formulasi baru dari formulasi yang ada.

  f. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan pengetahuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang materi yang ingin diukur dari suatu objek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur.

  2.4 TINDAKAN Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour).

  Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor- faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support)

  21 dari pihak lain.

  21 Tindakan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:

  a. Persepsi (Perception) Mengenal dan melilih berbagai objek

  b. Respon terpimpin (Guided Response) Dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai

  c. Mekanisme (Mechanism) Dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan d. Adopsi (Adoption) Suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

  Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

  2.5 TEORI

HEALTH BELIEF MODEL

  

Health Belief Model (HBM) pada awalnya dikembangkan pada tahun 1950an

  oleh sekelompok psikolog sosial di Pelayanan Kesehatan Masyarakat

  AmerikaSerikat, dalam usaha untuk menjelaskankegagalan secara luas partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit. Kemudian, model diperluas untuk melihat respon masyarakat terhadap gejala-gejala penyakit dan bagaimana perilaku mereka terhadap penyakit yang didiagnosa, terutama berhubungan dengan pemenuhan penanganan medis. Oleh karena itu, lebih dari tiga dekade, model ini telah menjadi salah satu model yang paling berpengaruh dan secara luas menggunakan pendekatan psikososial untuk menjelaskan hubungan antara perilaku dengan

  9 kesehatan.

  Perkembangan dari HBM tumbuh pesat dengan sukses yang terbatas pada berbagai program Pelayanan Kesehatan Masyarakat di tahun 1950-an.

  Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada 4 variabel kunci yang terlibat didalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang yang diterima dan rintangan yang dialami dalam tindakan melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut. Di mana

  9 komponen-komponennya disebutkan di bawah ini.

1. Kerentanan yang dirasakan (Perceived Susceptibility).

  Hal ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko dari kondisi kesehatannya. Di dalam kasus penyakit secara medis, dimensi tersebut meliputi penerimaan terhadap hasil diagnosa, perkiraan pribadi terhadap adanya resusceptibilily (timbul kepekaan kembali), dan

  susceptibilily (kepekaan) terhadap penyakit secara umum.

  2. Keseriusan yang dirasa (Perceived Severity/Seriousness)

  Perasaan mengenai keseriusan terhadap suatu penyakit, meliputi kegiatan evaluasi terhadap konsekuensi klinis dan medis (sebagai contoh, kematian, cacat, dan sakit) dan konsekuensi sosial yang mungkin terjadi (seperti efek pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial). Banyak ahli yang menggabungkan kedua komponen diatas sebagai ancaman yangdirasakan (perceived threat).

  3. Manfaat yang dirasa (Perceived Benefits)

  Penerimaan susceptibility sesorang terhadap suatu kondisi yang dipercaya dapat menimbulkan keseriusan (perceived threat) adalah mendorong untuk menghasilkan suatu kekuatan yang mendukung kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada kepercayaan seseorang mengurangi ancaman penyakit, atau keuntungan-keuntungan yang dirasakan (perceived benefit) dalam mengambil upaya-upaya kesehatan tersebut. Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya kepekaan (susceptibility) dan keseriusan (seriousness), sering tidak diharapkan untuk menerima apapun upaya kesehatan yang direkomendasikan kecuali jika upaya tersebut dirasa manjur dan cocok.

  4. Penghalang yang dirasa

(Perceived Barriers)

  Aspek-aspek negatif yang potensial dalam suatu upaya kesehatan (seperti: ketidakpastian, efek samping), atau penghalang yang dirasakan (seperti: khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup), yang mungkin berperan sebagai halangan untuk merekomendasikan suatu perilaku. Sejak tahun 1974, teori Health Belief Model telah menjadi perhatian para peneliti.Model teori ini merupakan formulasi konseptual untuk mengetahui persepsi individu apakah mereka menerima atau tidak tentang kesehatan mereka.Variabel yang dinilai meliputi keinginan individu untuk menghindari kesakitan, kepercayaan mereka bahwa terdapat usaha agar menghindari penyakit tersebut. Hal ini dilihat dari keempat dimensi yang telah dibahas

  22 diatas.

  Teori Health Belief Model menghipotesiskan terdapat hubungan aksi dengan

  23

  faktor berikut: 1. Motivasi yang cukup kuat untuk mencapai kondisi yang sehat.

  2. Kepercayaan bahwa seseorang dapat menderita penyakit serius dan dapat menimbulkan sekuele. walaupun hal tersebut berhubungan dengan finansial.

  

Health Belief Model dapat menjelaskan tentang perilaku pencegahan pada

  individual. Hal ini menjelaskan mengapa terdapat individu yang mau mengambil tindakan pencegahan, mengikuti skrining, dan mengontrol

  24 penyakit yang ada.

Gambar 2.1 Persepsi individual mengenai penyakit berdasarkan

  25 Health Belief Model

  Pada tahun 2006Leyva et al melakukan penelitian pada 150 wanita di Meksiko mengenai kepercayaan mereka terhadap kanker serviks dan Pap

  smear. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa 85% dari responden

  telah menjalani Pap smear. Para responden yang tidak melakukan Pap

  

smear disebabkan karena responden yakin bahwa kanker serviks tidak

  mudah terjadi pada dirinya dan adanya penghalang untuk melakukan Pap

  26 smear.

  Penelitian Abotchie PN pada tahun 2009 tentang skrining kanker serviks menurut Health Belief Modelmasih rendahnya skrining kanker serviks disebabkan oleh tiga faktor yaitu kurangnya kepercayaan bahwa skrining dapat mendeteksi kanker serviks, dan kepercayaan bahwa Pap smear

  27 bersifat nyeri, serta dapat merusak keperawanan. Ibekwe CM pada tahun 2009, melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi skrining kanker serviks terhadap 300 orang wanita di Rumah Sakit Mahalapye Botswana dengan menggunakan teori Health Belief

  

Model.Didapatkan hasil bahwa prediktor tertinggi skrining kanker serviks

adalah kerentanan yang dirasakan responden terhadap kanker serviks.

  Responden dengan kerentanan yang tinggi, lebih mungkin untuk melakukan skrining kanker serviks 3,2 kali lebih besar dibandingkan dengan responden dengan kerentanan yang rendah. Faktor karakteristik sosio-demografis yang mempengaruhinya adalah pekerjaan, pendapatan bulanan dan daerah

  10 tempat tinggal responden.

  Penelitian lainnya dilakukan oleh Abdullah di Malaysia pada tahun 2011, didapatkan hasilkurangnya tindakan skrining terhadap kanker serviks, akibat beredukasi tinggi. Diperlukan adanya promosi kesehatan dan edukasi pada

  28 segala tingkat pendidikan.

  Penelitian Reis et al di Turki pada tahun 2012 meneliti tentang pengetahuan dan sikap wanita Turki terhadap skrining kanker serviks berdasarkan teori

  

Health Belief Model. Total sampel penelitian ini adalah 387 wanita dan dinilai

  dengan kuesioner kanker serviks dan Pap smear sesuai skala Health Belief

  Model. Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan antara Health

Belief Model dengan karakteristik responden terutama pendidikan

  responden.Pada penelitian ini juga dijumpai bahwa halangan untuk melakukan Pap smear dipengaruhi oleh karakteristik demografi.

  Dimana,pada wanita dengan tingkat pendidikan rendah, wanita yang bercerai, wanita yang berpenghasilan rendah, dan wanita yang melahirkan pertama mereka ketika mereka berusia 18 tahun atau lebih muda serta wanita yang tidak menerapkan metode kontrasepsi sama sekali merasa

  29 bahwa halangan untuk melakukan Pap smear lebih besar.

  Penelitian Hajializadeh et al pada tahun 2013 tentang sikap wanita di Bandar Abbas terhadap program skrining kanker serviks sesuai dengan teori Health

  

Belief Model yang melibatkan 727 wanita dengan menggunakan kuesioner

Health Belief Model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kerentanan

  dan keparahan terhadap kanker serviks dan manfaat terhadap skrining kanker serviks lebih tinggi pada kelompok yang telah melakukan Pap

  30 smeardibandingkan kelompok yang tidak melakukannya.

  Pada tahun yang sama, Julinawati S memfokuskan penelitian mengenai menunjukkan pengertian dan informasi yang kurang dari tenaga kesehatan menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan skrining

  31 kanker serviks.