BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Aktif Kala Tiga 1. Defenisi Manajemen Aktif Kala Tiga - Kepatuhan Pelaksanaan Manajemen Aktif Kala Tiga Oleh Bidan Dalam Upaya Mencegah Atonia Uteri Berdasarkan Catatan Medik di Klinik Bersalin Desa Bandar Khalipah Kec

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Aktif Kala Tiga

1. Defenisi Manajemen Aktif Kala Tiga

  Manajemen Aktif Kala Tiga adalah mengupayakan kontraksi yang adekuat dari uterus dan mempersingkat waktu kala tiga, mengurangi jumlah kehilangan darah, menurunkan angka kejadian retensio plasenta (Susilawati, 2009, hal. 140).

  Cara penatalaksanaan kala persalinanan plasenta dapat menyebabkan variasi jumlah perdarahan yang dialami ibu. Percobaan kala tiga Bristol di Ingris, yang umumnya memberikan obat oksitosin pada ibu setelah bayi baru lahir (untuk memastikan distosia bahu tidak terjadi), menunjukkan bahwa lebih sedikit darah yang hilang pada penatalaksanaan aktif kala tiga persalinan dibandingkan pada penatalaksanaan fisiologis kala tiga. Penatalaksanaan Aktif Kala Tiga adalah pemberian oksitosin segera setelah perlahiran bayi, dan menggunakan traksi tali pusat terkendali untuk pelahiran plasenta. Penelitian selanjutnya menginformasikan kehilangan darah yang jauh lebih sedikit pada penatalaksanaan aktif kala tiga, bahkan pada populasi yang beresiko rendah mengalami perdarahan post-partum. Bidan harus yakin bahwa hanya ada satu bayi yang akan dilahirkan sebelum memberikan oksitosin setelah pelahiran (Varney, 2008, hal. 827).

  Penatalaksanaan Aktif Kala tiga merupakan kebijakan yang mengharuskan dilakukan nya pemberian uterotonik profilaktik sebagai tindakan pencegahan untuk menurunkan risiko perdarahan postpartum tanpa memedulikan status resiko obstetric ibu. Kebijakan penatalaksanaan aktif kala tiga biasanya meliputi pemberian rutin agens uterotonik, baik secara intravena, intramuscular maupun secara oral. Pemberian ini dilakukan bersamaan dengan pengkleman tali pusat segera setelah kelahiran bayi dan pelahiran plasenta dengan menggunakan traksi tali pusat terkontrol. Jika setelah dikaji ternyata ibu juga beresiko tinggi mengalami perdarahan postpartum (misalnya, kelahiran kembar, grand multipara), infus profillaktik dosis uteronika yang lebih besar yang dilarutkan dalam cairan intravena dapat diberikan selama beberapa jam setelah kelahiran. Hal ini juga dianggap sebagai bagian dari kebijakan penatalaksanaan aktif. Penatalaksanaan aktif kala tiga merupakan kebijakan penatalaksanaan persalinan kala tiga yang paling banyak dilakukan di dunia (Myles, 2011, hal. 499).

  Pemijatan uterus setelah pelahiran plasenta direkomendasikan oleh banyak orang untuk mencegah perdarahan postpartum.Oksitosin, ergonovin, dan multilergenovin digunakan digunakan secara luas pada persalinan normal kala III, tetapi waktu pemberian berbeda pada berbagai institusi. Oksitosin yang diberikan sebelum pelahiran plasenta akan mengurangi perdarahan. Namun, jika obat ini diberikan sebelum pelahiran plasenta, dapat memerangkap neonatus kembar yang kedua, yang belum terlahir dan yang tidak terdiagnosis (Williams, 2013, hal. 417).

  Manajemen Aktif Kala Tiga telah dianggap sebagai cara menurunkan hemoragi postpartum pada ibu dengan factor resiko peningkatan kehilangan darah dan manajemen ini telah didukung oleh World Health Organization sebagai suatu cara menurunkan perdarahan postpartum ketika ada keterbatasan akses mendapatkan produk darah atau sumber lain. Manajemen aktif meliputi penggunaan oksitosin atau ergotamin baik pada kelahiran bahu anterior bayi atau segera setelah kelahiran bayi, pengkleman awal tali pusat, dan penarikan terkontrol terhadap tali pusat untuk memudahkan kelahiran plasenta.

  Dalam hal penatalaksanaan kala tiga, contoh hal tersebut pada situasi ketika ibu meminta secara spesifik agar obat uteronika tidak diberikan dalam asuhan kala tiganya. Dalam hal ini, bidan harus menjelaskan berbagai situasi yang memungkinkan keputusan tersebut harus dibalik. Jika obat uteronika tidak digunakan, keinginan ibu tersebut harus dicatat dalam catatan klien pada masa antenatal (Myles, 2011, hal. 499).

  2. Tujuan Manajemen Aktif Kala Tiga

  Manajemen Aktif Kala Tiga bertujuan untuk menghasilkan kontraksi uterus yang lebih efektif dan efisien sehingga dapat memperpendek waktu kala Tiga persalinan dan mengurangi kehilangan darah dibandingkan dengan penatalaksanaan fisiologis. Hati – hati : a.

  Dugaan kehamilan ganda b. Riwayat retensi plasenta c. Inversi Uteri ( Yanti, 2010, hal .199 )

  Tujuan manajemen aktif kala Tiga adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang lebih efektif sehingga dapat mempersingkat waktu keluarnya plasenta, mencegah perdarahan dan mengurangi kehilangan darah kala tiga persalinan jika dibandingkan dengan penatalaksanaan fisiologis (Sondakh, 2013, hal .136).

  3. Keuntungan Manajemen aktif kala Tiga a.

  Mengurangi kejadian perdarahan postpartum b.

  Mengurangi lamanya kala tiga c.

  Mengurangi penggunaan tranfusi darah d.

  Mengurangi penggunaan terapi oksitosin (Sulistyawati, 2010, hal.160).

  Selama dekade terakhir, penilitian klinis telah menunjukkan bahwa manajemen aktif kala Tiga dapat menurunkan kejadian perdarahan postpartum, memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk kelahiran plasenta, mengurangi kemungkinan, terjadinya retensio plasenta dan mengurangi penggunaan transfusi darah dan terapi oksitosin. Berdasarkan penelitian ini, WHO telah merekomendasikan agar semua dokter dan bidan melaksanakan manajemen aktif kala Tiga. Hal ini membedakan dari asuhan kebidanan kala tiga hanya satu cara : pemberian oksitosin segera setelah bayi baru lahir untuk merangsang kontraksi uterus dan mempercepat pelepasan plasenta. Dalam semua hal lainnya, langkah-langkah manajemen aktif adalah sama dengan langkah – langkah yang selam ini ditempuh oleh para bidan. Keuntungan manajemen aktif kala tiga, antara lain : a.

  Lama kala III lebih singkat b.

  Jumlah perdarahan berkurang sehingga dapat mencegah perdarahan postpartum.

  c.

  Menurunkan kejadian retensio plasenta (Djami, 2013, hal .257).

4. Uteronika a.

  Ergometrin 0,25 mg intravena Obat ini bekerja dalam 45 detik, oleh karena itu, sangat berguna dalam mempertahankan kontraksi cepat jika jika kerja uterus hipotonik menimbulkan perdarahan. Jika dokter tidak ada dalam situasi darurat tersebut, bidan dapat memberikan injeksi. b.

  Kombinasi ergometrin dan oksitosin (merek yang paling banyak digunakan adalah Syntometrine).

  Prepaparat yang umumnya diberikan adalah 1 ml Syntometrine, yang mengandung oksitosin 5 International Units (UI) dan 0,5 mg ergometrin maleat, keduanya termasuk dalam kelompok obat yang dikenal sebagai oksitosin yang menyebabkan kontraksi uterus. Rute pemberian terpilih adalah secara intarmuskular, dan lokasi pemberian adalah bagian lateral paha yang mudah dijangkau. Komponen syntocinon dari syntometrine bekerja dalam waktu 2 hingga 3 menit dan bertahan hanya selama 5 hingga 15 menit, sementara ergometrin membutuhkan waktu 6 sampai 7 menit untuk bekerja tetapi dapat bertahan hingga 2 jam (Hall, 2013, hal. 138).

  Kerja gabungan ini menghasilkan kontraksi uterus yang cepat, kuat dan tahan lama hingga beberapa jam. Obat ini biasanya diberikan pada saat bayi lahir, sehingga menstimulasi kerja uterus yang baik pada awal kala tiga (Myles, 2011, hal. 500).

  Ergometrin dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan seperti mual, muntah, sakit kepala, dan meningkatnya tekanan darah, jika penggunaan Ergometrin dikontraindikasikan, Ergometrin 0,5 mg tidak boleh diberikan lebih dari dua dosis karena dapat menyebabkan sakit kepala, mual, dan peningkatan tekanan darah, contohnya jika sang ibu menderita hipertensi, maka yang diberikan adalah oksitosin. Jika oksitosin intravena dibutuhkan, dosis sebesar 5 IU harus diberikan secara perlahan oleh praktisi yang berpengalaman(Hall, 2013, hal. 139).

  Browning (1974, dalam Williams, 2013, hal .418) memaparkan efek samping yang serius akibat pemberian 0,5 mg ergomertin secara intramuscular pada empat perempuan pascapersalinan. Dua perempuan tersebut mengalami hipertensi berat, perempuan ketiga mengalami hipertensi dan kejang dan yang ke empat mengalami henti jantung. Kami juga telah melihat kejadian vasokontriksi berat dari dua zat tersebut kandungan yang diberikan secara intravena, yaitu semua denyut perifer hilang, dan diperlukan natrium nitroprusida untuk memulihkan perfusi.

  Sayangnya, ibu tetap mengalami cedera iskemik hipoksik serebri.

  c.

  Oksitosin (merek yang paling banyak digunakan adalah Syntocinon) Oksitosin adalah bentuk sintesis oksitosin alami yang diproduksi dalam pituitary posterior, dan aman digunakan dalam konteks yang lebih luas dibandingkan kombinasi agens ergometrin. Obat ini dapat diberikan, baik secara injeksi intravena maupun intra muscular. Namun demikian, pemberian oksitosin melalui bolus intravena dapat menyebabkan hipotensi yang berat dan fatal, terutama jika terdapat perburukan kardiovaskular.

  (Myles, 2011, hal. 500).

  Penggunaan 10 IU Syntocinin melalui injeksi intramuscular, suatu kejadian yang sistematik yang memeriksa kegunaan oksitosin sebagai profilaktik selama persalinan kala tiga menyimpulkan bahwa oksitosin bermanfaat dalam pencegahan perdarahan postpartum. Hanya ada sedikit bukti yang mendukung penggunaan ergometrin secara tersendiri versus Syntocinon atau produk gabungan untuk mencegah perdarahan postpartum lebih dari 1000 ml dan para peneliti merekomendasi penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi penggunaan obat-obatan tersebut.

  Kajian selanjutnya menemukan sedikit penurun PPH sebesar 500 ml pada penggunaan kombinasi ergometrin Syntocinon, tetapi tidak ditemukan perbedaan antara kelompok yang kehilangan darah lebih dari 1000 ml. Para peneliti menyimpulkan efek yang tidak diinginkan seperti mual, muntah dan meningkatkannya tekanan darah diastolic harus dipertimbangkan terhadap berkurangnya kehilangan darah (Hall, 2013, hal . 139).

  d.

  Prostaglandin Penggunaan Prostaglandin untuk penatalaksanaan kala tiga sampai saat ini lebih sering berkaitan dengan pengobatan perdarahan pascapartum daripada profilaksis. Hal ini kemungkinan terjadi akibat lebih mahalnya obat ini dibandingkan dengan uteronika yang telas dibahas sebelumnya.

  Agens prostaglandin juga berkaitan dengan efek samping diare dan komplikasi kardiovaskular menigkatnya isi sekuncup dan frekuensi jantung.

  Pemberian prostaglandin paling efektif jika diberikan secara intramular (injeksi secara langsung ke dalam dinding uterus).

  Misoprostol oral juga telah digunakan sebagai obat dalam penatalaksanaan aktif persalinan kala tiga. Suatu uji coba terkendali secara acak membandingkan misoprostol oral dengan oksitosin intramuscular setelah pelahiran, dan tidak menemukan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok yang diteliti dalam perdarahan pascapersalinan, durasi kala tiga, banyak wanita yang menggigil dalam kelompok misoprostol dan penelitian lain menemukan bahwa misoprostol dapat menyebabkan diare pascapersalinan (Hall, 2013, hal. 139).

5. Langkah – Langkah Manajemen Aktif Kala Tiga

  Manajemen Aktif Kala III Terdiri dari 3 Langkah Utama yaitu :

a. Pemberian suntikan Oksitosin dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir.

  1) Letakkan bayi baru lahir diatas kain bersih yang telah disiapkan di perut bawah ibu dan minta ibu atau pendampingnya untuk membantu memegang bayi tersebut.

  2) Melakukan pemeriksaan :

  (a) Uterus untuk memastikan tidak ada bayi lain (Undiagnosed twin ) didalam uterus.

  Alasan : Oksitosin menyebabkan uterus berkontraksi kuat dan dapat menyebabkan hipoksia berat yang akan sangat menurunkan pasokan oksigen kepada bayi kedua.

  (b) Hati-hati jangan menekan kuat (ekspresi) dinding pada korpus uteri karena dapat meyebabkan kontraksi tetanik atau spasme serviks.

  (c) Identifikasi dan antisipasi kelainan perlekatan plasenta. 3)

  Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik Alasan : Hali ini merupakan bagian dari asuhan sayang ibu, yaitu

  dengan memberikan penjelasan setiap akan melakukan prosedur kepada pasien.

  4) Segera ( dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir ) suntikan oksitosin 10 I.U IM pada 1/3 bagian atas paha bagian luar (aspektus lateralis).

  Alasan : Paha akan lebih mudah untuk dilihat dibandigkan bokong ketika ibu pasien sedang terlentang. Serta Oksitosin merangsang fundus uteri untuk berkontraksi dengan kuat dan efektif sehingga akan

  mempercepat pelepasan plasenta dan mengurangi kehilangan darah. Lakukan aspirasi sebelum penyuntikan unutk mencegah oksitosin masuk langsung ke pembuluh darah.

  5) Letakkan kembali alat suntik pada tempatnya, ganti kain alas dan penutup tubuh bayi dengan kain bersih dan kering yang baru kemudian lakukan penjepitan (2-3 menit setelah bayi lahir) dan pemotongan tali pusat sehingga dari langkah 4 dan 5 ini akan tersedia cukup waktu bagi bayi untuk memperoleh sejumlah darah kaya zat besi dari ibunya.

  Alasan : Penjepitan tali pusat sedini mungkin akan mempercepat proses perubahan sirkulasi darah pada bayi.

  6) Serahkan bayi yang telah terbungkus kain pada ibu untuk Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan kontak kulit dengan ibu.

  7) Tutup kembali perut bawah ibu dengan kain bersih

  Alasan : Kain akan mencegah kontaminasi tangan penolong persalinan yang sudah memakai sarung tangan dan mencegah kontaminasi oleh darah pada perut ibu.

b. Melakukan Penegangan Tali pusat Terkendali

  Penegangan tali pusat terkendali adalah melakukan tarikan kearah sejajar dengan sumbu rahim saat uterus berkontraksi, dan secara stimulant dan melakukan tahanan pada daerah supra pubik. Tujuan melakukan ini adalah melepaskan plasenta dan melahirkan plasenta. Penanganan ini memberikan dampak lepas dan turunnya plasenta. Penegangan tali pusat ini harus dihentikan segera bila dalam 30-40 detik tidak terdapat penurunan plasenta, dan dapat diteruskan lagi pada kontraksi uterus selanjutnya. Potensi komplikasi yang terjadi adalah inverse uterus, dan retensi sebagian dari plasenta, Namun kunci utama untuk melakukan penegangan tali pusat terkendali dengan aman adalah prosedur pelaksanaan dan petugas kesehatan yang sudah terlatih dengan baik ( Hall, 2013 ). Langkah-langkah dalam Penegangan tali pusat terkendali :

1) Berdiri disamping ibu.

  2) Pindahkan klem (penjepit untuk memotong tali pusat saat kala dua) pada tali pusat sekitar 5- 10 cm dari vulva.

  Alasan : Memegang tali pusat lebih dekat ke vulva akan mencegah avulsi.

  3) Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (beralaskan kain) tepat di atas simfisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus dan menahan uterus pada saat melakukan penegangan pada tali pusat.

  Setelah terjadi kontraksi yang kuat, tegangkan tali pusat dengan satu tangan dan tangan yang lain (pada dinding abdomen) menekan uterus kearah lumbal dan kepala ibu (dorso – kranial). Lakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya inversion uteri (Gambar 2-1).

  4) Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali

  (sekitar dua atau tiga menit berselang) untuk mengulangi kembali penegangan tali pusat terkendali.

  5) Saat mulai kontraksi (uterus menjadi bulat atau tali pusat menjulur) tegangkan tali pusat kea rah bawah. Lakukan tekanan dorso – kranial hingga tali pusat makin menjulur dan korpus uteri bergerak ke atas yang menandakan plasenta telah lepas dan dapat dilahirkan.

  Jangan melakukan penegangan tali pusat tanpa diikuti dengan

tekanan dorso-kranial secara serentak pada bagian bawah uterus

(diatas simfisis pubis). arah dorso- kranial Tegangkan tali pusat dengan klem

Gambar 2.1 : Melahirkan plasenta dengan melakukan penegangan tali pusat

  6) Tetapi Jika langkah 5 di atas tidak berjalan sebagaimana mestinya dan

  plasenta tidak turun setelah 30 – 40 detik dimulainya penegangan tali pusat dan tidak ada tanda – tanda yang menunjukkan lepasnya plasenta.

  Jangan teruskan penegangan tali pusat.

  7) Pegang klem dan tali pusat dengan lembut dan tunggu sampai kontraksi berikutnya. Jika perlu, pindahkan klem lebih dekat ke perineum pada saat tali pusat memanjang. Pertahankan kesabaran pada saat melahirkan plasenta.

  8) Pada saat kontraksi berikutnya terjadi, ulangi penegangan tali pusat terkendali dan tekanan dorso – kranial pada korpus uteri secara serentak. Ikuti langkah-langkah tersebut pada setiap kontraksi sehingga terasa plasenta terlepas dari dinding uterus.

  9) Jika setelah 15 menit melakukan PTT dan dorongan dorso-kranial, plasenta belum juga lahir maka ulangi pemberian oksitosin 10 I.U IM, tunggu kontraksi yang kuat kemudian ulangi PTT dan dorongan dorso kranial hingga plasenta dapat dilahirkan.

  10) Setelah plasenta terlepas dari dinding uterus (bentuk uterus menjadi globuler dan tali pusat menjulur ke luar), maka anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta terdorong keluar melalui introitus vagina, Bantu kelahiran plasenta dengan cara menegangkan dan mengarahkan tali pusat sejajar dengan lantai ( mengikuti poros jalan lahir ).

  

Alasan : segera melepaskan plasenta yang telah terpisah dari dinding

uterus akan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu.

  11) Pada saat plasenta pada introitus vagina, lahirkan plasenta dengan mengangkat tali pusat ke atas dan menopang plasenta dengan tangan lainnya untuk meletakkan dalam wadah penampung. Karena selaput ketuban mudah robek, pegang plasenta dengan kedua tangan dan secara lembut putar plasenta hingga selaput ketuban terpelin menjadi satu.

  12) Lakukan penarikan dengan lembut dan perlahan-lahan untuk melahirkan selaput ketuban.

  

Alasan : Melahirkan plasenta dan selaputnya dengan hati – hati akan

membantu mencegah tertinggalnya selaput ketuban di jalan lahir.

  13) Jika selaput ketuban robek dan tertinggal di jalan lahir saat melahirkan plasenta, dengan hati-hati periksa vagina dan serviks dengan seksama. Gunakan jari-jari tangan anda atau klem DTT atau steril atau forsep untuk keluarkan selaput ketuban tersebut.

  Catatan : Jika plasenta belum lahir setelah 30 menit sejak bayi

  dilahirkan maka lakukan konseling pada suami/keluarganya bahwa mungkin ibu perlu dirujuk karena waktu normal untuk melahirkan plasenta sudah terlampaui dan kemungkinan ada penyulit lain yang memerlukan penanganan di rumah sakit rujukan.

  Jika akibat kondisi tertentu maka fasilitas kesehatan rujukan sulit

  dijangkau dan kemudian timbul perdarahan maka sebaiknya dilakukan tindakan plasenta manual. Untuk melaksanakan hal tersebut, pastikan bahwa petugas kesehatan telah terlatih dan kompeten untuk melaksanakan tindakan atau prosedur yang diperlukan.

  perhatikan : Jika sebelum plasenta lahir dan mendadak terjadi perdarahan maka segera lakukan tindakan plasenta manual untuk segera mengosongkan kavum uteri,sehingga uterus segera berkontraksi secara efektif dan perdarahan dapat dihentikan. Jika pasca tindakan tersebut, masih terjadi perdarahan maka lakukan kompresi bimanual internal/eksternal atau kompresi aorta, atau pasang tampon kondom katete. Beri oksigen 10 IU dosis tambahan atau misoprostol 600 – 1000 mcg per rektal. Tunggu hingga uterus dapat berkontraksi kuat dan perdarahan berhenti, baru hentikan tindakan kompresi atau keluarkan tampon (JNPKR, APN, 2012, hal. 92).

c. Masase Fundus Uteri

  Segera setelah plasenta lahir, lakukanlah masase fundus uterus 1)

  Telapak tangan diletakkan pada fundus uteri

  2) Memberi penjelas tindakan kepada ibu, dengan mengatakan bahwa ibu mungkin terasa agak tidak nyaman karena tindakkan yang diberikan.

  Anjurkan ibu untuk menarik napas dalam dan perlahan serta rileks. 3)

  Segera setelah plasenta dan membran lahir, dengan penahan yang kokoh lakukanlah masase fundus uterus dengan lembut tetapi mantap, tangan digerakkan dengan arah memutar pada fundus uteri agar uterus berkontraksi. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 15 detik, maka dilakukan penatalaksanaan atonia uteri.

  Alasan : Mencegah perdarahan yang berlebihan, dan merupakan diagnosis cepat dari atonia uteri.

  4) Melakukan pemeriksaan plasenta dan selaputnya untuk memastikan keduanya lengkap dan utuh : a)

  Memeriksa plasenta sisi maternal (yang melekat pada dinding uterus) untuk memastikan keduanya lengkap dan utuh.

  b) Memasangkan bagian-bagian plasenta yang robek atau terpisah untuk memastikan tidak ada bagian yang hilang.

  c) Memeriksa plasenta sisi fetal (yang menghadap ke bayi)

d) Mengevaluasi selaput untuk memastikan kelengkapannya.

  5) Memeriksa kembali uterus setelah 1-2 menit untuk memastikan uterus berkontraksi.Jika uterus masih belum berkontraksi baik, ulangi masase fundus uteri. Ibu dan keluarganya diajarkan bagaimana cara melakukan masase uterus sehingga mampu untuk segera mengetahui jika uterus tidak berkontraksi baik.

  6) Memeriksa kontraksi uterus setiap 15 menit selama 1 jam pertama pascapersalinan dan setiap 30 menit selama 1 jam kedua pascapersalinan

  (Sondakh, 2013, hal. 137).

B. Upaya Mencegah Atonia uteri.

  Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah atonia uteri adalah Pemberian oksitosin rutin pada kala tiga dapat mengurangi risiko perdarahan postpartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala tiga dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.

  Manajemen aktif kala tiga terdiri atas intervensi yang direncanakan untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi uterus dan untuk mencegah perdarahan postpartum dengan menghindari atonia uteri. Atonia uteri dapat dicegah dengan Manajemen aktif kala tiga, yaitu:

  1. Memberikan obat oksitosin 10 IU segera setelah bahu bayi lahir.

  2. Melakukan penegangan tali pusat terkendali

  

3. Masase uterus segera setelah plasenta dilahirkan agar uterus tetap berkontraksi

(Gondo, 2011, hal 3).

  Atonia uterus merupakan kegagalan myometrium pada sisa plasenta untuk berkontraksi dan beretraksi serta mengompresi pembuluh darah yang robek dan mengendalikan kehilangan darah dengan kerja ligature. Ketika plasenta masih melekat, volume darah yang mengalir ke plasenta adalah sekitar 500-800 ml per menit. Setelah terjadi pemisahan, kontraksi dan retraksi yang efisien oleh otot uterus menyumbat aliran tersebut dan mencegah perdarahan, yang seandainya terjadi, akan terjadi dengan kecepatan aliran yang sangat menakutkan. Penyebab atonia uterus yang mengakibatkan perdarahan postpartum adalah : a.

  Pemisahan plasenta inkomplet Jika plasenta tetap melekat secara utuh pada dinding uterus, hal ini cenderung tidak menyebabkan perdarahan. Namun demikian, jika pemisahan telah terjadi, pembuluh darah maternal akan robek. Jika jaringan plasenta sebagian tetap tertanam dalam desidua yang menyerupai spons, kontraksi dan retraksi yang efisien akan terganggu.

  b.

  Kesalahan dalam penatalaksanaan kala tiga persalinan.

  Dikatakan bahwa faktor ini tetap menjadi penyebab perdarahan postpartum yang paling sering. Gesekan fundus atau manipulasi uterus dapat mencetuskan terjadinya kontraksi arimik sehingga plasenta hanya sebagian terpisah dan kehilangan retraksi.

  c.

  Kandung kemih penuh Jika kandung kemih penuh, kedekatannya dengan uterus di dalam abdomen setelah kala dua persalinan dapat menganggu kerja uterus. Hal ini juga merupakan kesalahan dalam penatalaksanaan.

  d.

  Persalinan lama Dalam persalinan yang fase aktifnya berlangsung lebih dari 12 jam, inersia uterus dapat terjadi akibat kelelahan otot.

  e.

  Polihidramnion atau kehamilan kembar Miometrium menjadi sangat teregang sehingga menjadi kurang efisien (Myles, 2011, hal. 509).

C. Kepatuhan

  1. Defenisi Kepatuhan

  Culsum (2006, dalam Suwarnisih, 2011, hal. 2) mengatakan kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti disiplin dan taat. Patuh adalah sikap positif individu yang ditunjukkan dengan adanya perubahan secara berarti sesuai dengan tujuan yang ditetapkan atau patuh dalam kamus ilmiah populer diartikan sebagai tindakan taat, turut perintah, setia dan loyal akibat motif- motif internal individu.

  2. Tingkat Kepatuhan

  Nurbaiti (2004, dalam Suwarnisih, 2011, hal. 2) mengatakan besar kecilnya penyimpangan pelaksanaan pelayanan dibandingkan dengan standart pelayanan yang ditetapkan anjuran.

  3. Tingkat Ketidakpatuhan

  Suatu kondisi pada individu atau kelompok yang sebenarnya mau melakukan tetapi dapat dicegah untuk melakukannya oleh faktor-faktor yang menghalangi ketaatan terhadap suatu anjuran.

  4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Tingkat Kepatuhan

  Tingkat kepatuhan dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, seperti usia, pendidikan, pengetahuan, masa kerja, dan motivasi. Kurang patuhnya terhadap sesuatu akan berakibat rendahnya mutu itu sendiri.

  5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Tingkat Ketidakpatuhan

  Pemahaman tentang instruksi yang kurang lengkap. Akibat kegagalan dalam memberikan informasi. Tidak seorangpun dapat mematuhi instruksi, jika ia salah paham tentang instruksi yang diterima. Kualitas interaksi yang kurang diminati, kurang empati, kurang kejelasan, kurang pentingnya ketrampilan interpersonal dalam memacu kepatuhan.

D. Bidan

1. Defenisi Bidan

  Bidan adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan bidan yang telah diakui oelh pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku, jika melakukan praktik yang bersangkutan harus mendaftar untuk mendapatkan ijin praktik dari lembaga yang berwenang dalam melaksanakan praktik bidan harus mampu memberikan asuhan sesuai dengan kebutuhan pada : wanita hamil, bersalin, nifas, BBL, bayi dan balita.