BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Tradisi Kelisanan Baralek Gadang Pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Kota Sibolga merupakan salah satu daerah yang terletak di Provinsi Sumatera Utara. Masyarakatnya yang multietnik menjadikan daerah ini terkenal dengan semboyan

  “Negeri berbilang kaum”. Berdasarkan administratif pemerintahan, Kota Sibolga terdiri dari empat kecamatan, yakni: (a) Kecamatan Sibolga Kota, (b) Kecamatan Sibolga Utara, (c) Kecamatan Sambas, dan (d) Kecamatan Sibolga Selatan. Ke empat Kecamatan ini dihuni oleh berbagai etnik, seperti etnik Melayu 2.382 jiwa, Karo 425 jiwa, Simalungun 295 jiwa, Tapanuli/Toba 45.695 jiwa, Mandailing 4.612 jiwa, Pakpak 164 jiwa, Nias 6.293 jiwa, Jawa 5.283, Minang 8.793 jiwa, Cina 3.496 jiwa, Aceh 2.613, suku lainnya 1.690 jiwa. Total keseluruhan berjumlah 81.699 jiwa (Hasil Sensus Dinas Kependudukan kota

  Sibolga Thn 2000) Masyarakat Pesisir Sibolga hidup dalam sebuah kebudayaan. Menurut Ki.

  Hajar Dewantara yang dikutip oleh Supartono (2009:31) kebudayaan berarti buah budi manusia dan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman. Kebudayaan merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya.

  Semua ini dilakukan untuk mencapai keselamatan dan kebahagian yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

  Kebudayaan yang berkembang di Sibolga disesuaikan dengan masyarakatnya yaitu masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang terbentuk adalah

  1 kebudayaan pesisir. Takari, dkk (2008:124) menyatakan bahwa kebudayaan masyarakat pesisir adalah merupakan melting pot (creole) antara keturunan beberapa kelopok etnik, seperti: Minangkabau, Batak Toba, Mandailing-Angkola, dan Melayu. Dalam masa yang panjang terus berinteraksi dan membentuk sebuah kebudayaan, yang kemudian mengidentitaskan kebudayaannya sendiri sebagi kebudayaan etnik Pesisir. Pada masa kini, dalam konteks pembangunan di Indonesia, masyarakat Pesisir ini, biasanya dikategorikan pula sebagai sebuah kelompok etnik.

  Kebudayaan pesisir meliputi; (1) kesenian pesisir terdiri dari kesenian

  sikambang , tari-tarian, alat musik, tatarias pengantin, nama pelaminan, pernak

  pernik pelaminan, irama vokal; (2) adat istiadat pesisir terkenal dengan adat

  

sumando ; (3) masakan khas pesisir seperti kue dan gulei (Pasaribu, 2008:54,

81,273).

  Adat istiadat adalah merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Menurut Soedarsono (dalam Pasaribu, 2008:54) menyatakan bahwa adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia, baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, dalam menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa adat merupakan kebiasaan dari satu masyarakat dalam mengatur dan memberi buah pikirannya untuk menghasilkan karya dan dijadikan sebagai sarana pendukung pada masyarakat itu sendiri.

  Masyarakat yang beradat akan lebih tertib dalam menjalankan berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat. Begitu pula halnya dengan adat istiadat perkawinan, memiliki fungsi sebagai pedoman tingkah laku manusia dalam melaksanakan upacara perkawinan. Masyarakat Pesisir Sibolga memiliki adat istiadat yang disebut dengan adat sumando. Menurut Panggabean, dkk.

  (1995:191) sumando adalah satu kesatuan ruang lingkup kebudayaan suku Pesisir, yang meliputi adat istiadat, kesenian, bahasa, makanan dan lain-lain. Dari kutipan di atas maka dapat dikatakan bahwa masyarakat pesisir Sibolga memiliki adat istiadat perkawinan yang khas, disebut dengan nama perkawinan adat sumando.

  Adat sumando secara umum berdasar kepada ajaran-ajaran agama Islam. Konsepnya tercermin dalam adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Artinya adat sumando pada suku Pesisir mendasarkan ide, pelaksanaan, dan penghayatannya pada ajaran-ajaran Islam.

  Dalam Islam dan kebudayaan Pesisir, manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia sebagai makhluk individu memiliki berbagai kelebihan alamiah yang dianugerahi oleh Allah. Selain itu, manusia biasanya membentuk kelompok sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja berbentuk keluarga inti, keluarga luas (batih), etnik, kelompok profesi, ras, bangsa dan seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan generasi keturunannya.

  Kesinambungan generasi ini penting agar manusia tidak musnah di muka bumi. Oleh sebab itu, manusia dianugerahi Tuhan untuk meneruskan keturunan ini melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh norma-norma agama dan adat.

  Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat.

  Dalam Al- Qur‟an dijelaskan bahwa di antara kumpulan manusuia di dunia ini pernah eksis dan akhirnya dimusnahkan oleh Allah, karena berbagai sebab terutama moralitas. Di antara kelompok manusia yang pernah ada dan kemudian dimusnahkan Allah adalah suku Ad, Tsamud, Madyan, kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh, dan lain-lainnya. Kaum Nabi Luth misalnya, dimusnahkan Allah karena para kaum lelakinya menyukai sesama lelaki. Kalau praktik sebegini dibiarkan, tentu saja generasi manusia akan musnah, karena hubungan seksual antara lelaki dengan lelaki atau antara perempuan dengan perempuan dapat dipastikan tak akan dapat menghasilkan generasi manusia baru. Yang benar adalah hubungan antara lelaki dan perempuan yang sihat roh dan fisiknya, disahkan agama, berhubungan suami-isteri, insya Allah akan menghasilkan generasi manusia. Agar generasi yang baru ini menjadi pintar, sehat, saleh, dan menjadi rahmat kepada orang lain dan lingkungan sekitar, maka diperlukan pendidikan, baik pendidikan agama atau ilmu lainnya.

  Seorang pakar antropologi Eropah, Gough (1959) melihat perkawinan, di sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat- istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang bisa diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas wanita yang diperoleh berdasarkan kotrak sosial.

  Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak, yaitu seorang (lelaki atau perempuan, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang perempuan secara seksual. Hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13).

  Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan pada perkawinan monogami, adapula yang membolehkan poligami, namun ada pula yang membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial dan moralitas umum, yaitu perkawinan poliandri, yaitu satu perempuan kawin dengan dua atau lebih suami. Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang lelaki atau lebih bisa bersama-sama menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dihubungkan dengan ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi perempuan. Sebagai contoh, di Himalaya, poliandri dilakukan karena tujuannya mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan pertanian terbatas luasnya. Dalam Islam praktik demikian amatlah dilarang.

  Begitu juga hubungan incest. Semua ini adalah aturan Allah bagi makhluk manusia ciptaan-Nya, agar manusia menjadi rahmat kepada alam, bukan merusak alam atau generasi keturunannya.

  Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan. Agama Kristen (Protestan dan Katholik) secara umum hanya membenarkan satu laki-laki kawin dengan satu perempuan. Namun demikian, beberapa sekte agama ini (misalnya Mormon di Amerika Serikat) membenarkan perkawinan poligami. Dalam Islam pula, sesuai dengan panduan Al-

  Qur‟an satu laki-laki Islam bisa kawin dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu

  adil. Allah mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku adil kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi pembelajaran ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan dibandingkan lelaki. Agar perempuan-perempuan dapat suami, maka tentu saja secara umum harus ada laki-laki yang beristeri lebih dari satu untuk melakukan respons terhadap eksistensi jenis kelamin yang penuh dengan rahasia Ilahi. Dalam realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara monogami.

  Selengkapnya tentang aturan poligami dalam Islam lihat Al- Qur‟an surat Annisa ayat 3 berikut ini.

  A rtinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku

  1

  2

  adil , maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara pusingan (siklus) hidup manusia. Siklus hidup manusia biasanya dimulai dari

  1 Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam memenuhi keperluan isteri seperti pakaian, makanan, perhiasan, kesehatan, hiburan, tempat tinggal, giliran kunjungan, rasa aman, dan lain- lain yang bersifat lahiriah. 2 Islam memperkenankan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini

poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad S.A.W.

  Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. Bagi Allah sebagai pencipta manusia, pastilah tahu dan paham betul, bahwa kemampuan maksimum manusia untuk berkawin adalah satu lelaki dengan empat wanita, kalau lebih pasti tidak mampu, terutama untuk berlaku adil terhadap para isterinya. Selain itu pasti ada unsur pembelajaran lain daripada Allah atas turunnya ayat ini. sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki anak, memasuki keorganisasian, kematin, pascakematian, dan seterusnya.

  Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan manjaga peradaban manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan hidup, membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, dan sebagainya. Dalam hal ini agama dan adat memegang peran utama dalam upacara perkawinan. Pengabsahan perkawinan selalu melibatkan para pemuka agama pada semua agama di dunia. Ritual perkawinan melibatkan aspek adat dan agama sekali gus.

  Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Pesisir, yang wilayah budayanya mencakup Tapanuli Tengah dan Sibolga di pantai barat Provinsi Sumatera Utara.

  Menurut Pasaribu (2011: 2) kata sumando dalam bahasa Batak artinya cantik dan sesuai, yang artinya secara mendalam adalah besan berbesan.

  Sementara Pengertian adat sumando adalah mencakup tatacara adat pernikahan daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga antara lain: sejak mulai dari marisik sampai kepada acara saling kunjung kepada keluarga kedua belah pihak atau sering disebut tapanggi.

  Menurut Panggabean dkk. (1995:193) mengenai asal mulanya, adat

  

sumando berasal dari pulau Poncan, diawali dengan perpindahan penduduk dari

  Poncan ke Sibolga, dan kemudian berkembang ke seluruh daerah Tapanuli Tengah. Istilah sumando berasal dari kata suman dalam bahasa Batak berarti serupa, atau terjemahan bebasnya dipasuman-suman. Kemudian kata suman itu berobah menjadi sumando artinya hampir serupa tetapi tidak sama dengan adat

  

sumando yang ada pada suku Minangkabau yang ada di Sumatera Barat dan

  sekitarnya. Pasaribu (2008:5) mengatakan bahwa pengukuhan adat tersebut dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1851 dihadapan Residen Conprus (Belanda) dan selanjutnya dapat dipergunakan sebagai pedoman.

  Pada mulanya adat yang tertinggi berada pada Raja atau Kuria. Seterusnya tingkat pelaksanaan adat berada pada empat lapisan, yaitu: fakir miskin dada, orang miskin lamukku, Ata orang kayo dan keturunan raja Bare (hasil wawancara 10 Desember 2012 dengan Bapak Fahrudin Sinaga).

  Menurut Panggabean, dkk. (1995:193) bahwa ketentuan-ketentuan perkawinan dalam adat sumando tersebut adalah sebagai berikut.

  a.

  Pernikahan dapat terjadi apabila pria meminang wanita terlebih dahulu dengan menyerahkan sejumlah uang atau barang. Uang atau barang disebut mahar, sebagai tanda pengikat, bahwa pada waktu tertentu akan dilangsungkan pernikahan nantinya dilaksanakan ijab qabul di hadapan wali dan saksi. Adat sumando tidak mengenal tuhor atau jujuran seperti dalam pernikahan adat Batak.

  b.

  Tanggung jawab rumah tangga dan keluarga berada pada pihak pria. Anak yang dilahirkan memakai marga dari suku orang tua laki-laki.

  c.

  Mengenai pembagian harta pusaka berlaku berjenjang naik, berjenjang turun. Jumlah harta pusaka diterima seseorang bergantung pada jauh dekatnya hubungan kekeluargaan,namun demikian harta pusaka tempat tinggal tinggal (r4umah) diprioritaskan menjadi bagian hak wanita.

  Pembagian harta warisan di antara yang bersaudara pria dan wanita menjadi 1:1, dengan demikian bukan menurut hukum faraid dan bukan pula adat Batak.

  d.

  Apabila terjadi perceraian diantara suami istri maka suami meninggalkan rumah kediaman sedangkan istri tetap tinggal menempati rumah itu.

  Mengenai harta pembawaan dan yang diperoleh selama pernikahan (harta gonogini ) ditentukan kemudian.

  Adat Sumando merupakan “campuran” dari hukum Islam, adat Minangkabau, dan adat Batak. Artinya semua hal-hal yang baik diterima dan yang tidak sesuai dengan tatakrama dan sikap hidup sehari-hari masyarakat Pesisir diabaikan. Itulah disebut dengan adat bersandi sarak dan sarak bersandi kitabullah artinya adat berdampingan dengan kebiasaan atau perilaku dan perilaku berlandaskan kepada kitab Allah (wawancara dengan Bapak Fahrudin Sinaga)

  Orang sumando mempunyai motto yakni Bulek ai dek dipambulu, bulek kato

  dek mufakat, dek saiyo mangko sakato, dek sakato mangko sapakat. Artinya

  semua permasalahan pada akhirnya diputuskan lewat musyawarah, dan dalam musyawarah itu akan disatukan pendapat dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang terbaik (wawancara dengan bapak Fahrudin Sinaga).

  Adat istiadat dan budaya masyarakat Sibolga pada khususnya dan budaya Melayu pada umumnya, selalu melakukan prosesi upacara adat perkawinan dengan tradisi kelisanan. Tradisi kelisanan pada masyarakat pesisir Sibolga dilakukan untuk menyampaikan maksud dan tujuan dilakukannya suatu upacara. Upacara perkawinan adat sumando pada masyarakat Pesisir Sibolga meliputi:

  risik-risik , sirih tanyo, maminang, manganta kepeng, mata karajo (akad nikah), dan balik ari.

  Proses pelaksanana upacara pernikahan adat sumando pada masyarakat pesisir Sibolga, tidak terlepas dengan budaya tradisi lisan. Tradisi lisan selalu digunakan sebagai media untuk menunjang terlaksananya acara dengan baik dan sempurna. Selain dari pada itu, tradisi lisan juga mencakup pelbagi pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan.

  Dalam pelaksanaan upacara pernikahan ini, selalu digunakan kalimat- kalimat, pantun, pribahasa, talibun, dan lkain-lainnya yang diucapkan oleh

  telangke baik dari pihak perempuan maupun laki-laki calon mempelai. Tradisi

  lisan ini merupakan ekspresi dari filsafat hidup etnik Pesisir di Sibolga dan Tapanuli Tengah. Contoh pantun, kalimat, talibun, dan sejenisnya itu dapat dilihat pada contoh cuplikan konteks berikut ini.

  (a) Pantun Bahasa Pesisir Arti dalam Bahasa Indonesia

  Anak Cino babaju sitin Anak Cina berbaju satin Ala sitin cukolat pulo Berbaju satin cokelat pula

  Hamba hina lagi pun miskin

  Ambo hino lagipun miskin Ala miskin mularat pulo Sudah miskin melarat pula

  (b) Talibun

  Bahasa Pesisir Arti dalam Bahasa Indonesia

  Ala gaharu cindano pulo Sudah gaharu cendana pula

Kok ala tau mangapo batanyo Sudah tahu mengapa bertanya pula

pulo

  (c) Kalimat-kalimat adat sumando saat marisik: Bahasa Pesisir Arti dalam Bahasa Indonesia

  Assalamu‟alaikum

  Assalamu‟alalikum warahmatullahi

  warahmatullahi wabarakatuh, wabarakatuh, Syukur alhamdulillah marilah Syukur alhamdulillah marilah sama-sama kita haturkan sama-sama kita ucapkan ke

  keharibaan Allah SWT, karena atas rahmatnya berupa kesehatan dan kelapangan langkah, sehingga kito dapek bakumpu di rumah kami ko.Seiring salam dan salawat kito kapado Rasulullah Muhammad SAW nan ala mambaok kito dari alam nan kalam kapado alam nan panuh kebahagian sampei saat kiniko. Sadang mato hari basinar tarang, angin bahambus manyapu alam, sadang ambun bararak tenggi, ruponyo manjadi tando tamu datang karumah kamiko. Duduk di pondok dagang sangsei, na mambuek hati raso kasanang. Kadatangan dusanak ka rumah kamiko, harapan kami manjadi sabuah kahormatan bagi kami urang nan kurang budi, miskin pulo bahaso.

  haribaan Allah SWT, karena atas rahmat-Nya berupa kesehatan dan kelapangan langka, sehingga kita dapat berkumpul di rumah kami ini. Seiring salamn dan salawat kita kepada Rasulullah Muhammad SAW yang membawa kita dari alam yang kelam kepada alam yang penuh kebahagiaan sampai saat kini. Sedang matahari bersinar terang, angin berhembus menyapu alam, sedang awan berarak tinggi, rupanya menjadi tanda tamu datang ke rumah kami ini. Duduk di rumah kami apa adanya, membuat hati merasa senang. Kedatangan para tamu ke rumah kami ini, harapan kami menjadi kehormatan bagi kami sebagai orang yang kuyrang budi, serta miskin pula bahasa kami.

  Sebait pantun di atas mencerminkan diri bahwa hamba (yang merujuk kepada pengantin pria) adalah seorang yang miskin dan melarat. Artinya sang hamba tersebut tidak memiliki harta dunia sebagaimana yang selalu disyaratkan dalam semua perkawinan di dunia ini. Ini adalah bentuk dari ekspresi diri yang merendah-rendahkan kedudukan, yang lazim dilakukan dalam budaya Pesisir. Orang yang merendah-rendah seperti itu dipandang sebagai ekspresi rendah hati dan tidak sombong. Pantun ini terdiri dari empat baris dalam sebait. Baris pertama dan kedua adalah sampiran, sementara baris ketiga dan keempat adalah isi. Antara sampiran dan isi biasanya memiliki kaitan yang erat pula secara kebahasaan.

  Contoh kedua adalah talibun atau karmina yaitu pantun yang terdiri dari dua rangkap atau baris. Talibun ini adalah menggunakan kata-kata yang umum dijumpai di dalam budaya Pesisir. Ala gaharu cindano pulo/ Kok ala tau mangapo

  batanyo pula. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula, atau pura-pura saja tidak tahu sebenarnya sangat tahu.

  Pada contoh ketiga terdapat kalimat-kalimat dalam bahasa Pesisir, yang mengekspresikan ajaran-ajaran Islam, seperti ucapan salam, syukur kepada Allah sebagai Tuhan, salam dan salawat kepada nabi Muhammad, dan lain-lain. Inti dari

  paragraf ini adalah mengucapkan selammat datang kepada tetamu (dari pihak pengantin laki-laki) yang datang ke pihak rumah pengantin wanita. Dalam wacana ini terdapat makna-makna budaya dan kearifan lokal. Misalnya bahwa sebagai tuan rumah biasanya pihak perempuan selalu merendahkan keadaan. Demikian juga pihak tetamu selalu merendah-rendahkan keadaannya, tidak meninggi apalagi menyombongkan diri.

  Menurut Endaswara (2008:151) tradisi lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut kemulut secara turun temurun. Adapun ciri tradisi lisan yaitu: (1) lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional; (2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu yang tidak jelas siapa penciptanya; (3) lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik; (4) sering melukiskan tradisi kolektif tertentu; (5) tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise, dan (6) tradisi lisan sering bersifat menggurui.

  Tradisi lisan yang paling sering atau populer dalam kehidupan masyarakat pesisir Sibolga adalah baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando. merupakan salah satu tradisi lisan pada masyarakat Pesisir

  baralek gadang

  Sibolga, yang dimulai dari marisik sampai balik ari. Baralek gadang berasal dari dua kata, yaitu baralek dan gadang. Baralek artinya perhelatan, sementara gadang artinya besar (wawancara dengan bapak Fahrudin Sinaga.

  Kata kelisanan dalam penelitian ini hanya merupakan suatu istilah yang dipakai dalam menjelaskan BG pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga yang menggambarkan situasi komunikasi lisan. Tradisi kelisanan dengan tradisi lisan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Dalam KBBI (1984:603) didefinisikan arti dari lisan dan kelisanan itu adalah perkataan yang diucapkan dengan mulut bukan dengan tulisan.

  Dalam upacara baralek gadang, yang memegang peranan penting dalam upacara adalah talangkai. Menurut Nainggolan (2005:1) talangkai merupakan orang yang memilik peranan penting dalam mengatur prosesi atau tata cara upacara sehingga nantinya dapat terlaksana dengan sempurna. Tradisi kelisanan

  

baralek gadang mengandung makna makna semiotik sosial, dan nilai-nilai

  kearifan lokal, selain itu tradisi lisan berfungsi sebagai sistem nilai, pengetahuan tradisional, hukum, sistem kepercayaan, dan agama.

  Menurut Sibarani (2012:112) kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Jika kearifan lokal itu difokuskan pada nilai budaya, maka dapat juga didefinisi dengan cara lain yakni kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.

  Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas, maka kajian ini difokuskan untuk menganalisis tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga, serta untuk memperlihatkan bagaimana praktik-praktik tradisi lisan pada upacara baralek

  gadang, terkait dengan sistem kehidupan masyarakat pesisir Sibolga. Untuk

  menganalisis data penelitian, peneliti menggunakan teori semiotik sosial yang dikembangkan oleh Halliday (1978). Alasan menggunakan teori semiotik sosial dalam menganalisis tradisi kelisanan baralek gadang adalah untuk memberi penjelasan bahwa kegiatan berbahasa pada tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga memiliki simbol- simbol dan makna yang saling berhubungan antara Penguasa (Tuhan) dengan alam, serta menjelaskan makna yang terkandung pada tradisi kelisanan tersebut.

  Menurut Halliday (1978:108) bahasa merupakan semiotik sosial. Sistem semiotik bahasa meliputi unsur-unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur- unsur konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial adalah merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan semiotik. Konsep umum yang terpenting dalam teori semiotik sosial bahasa menurut Halliday (1978:108) adalah teks, situasi, register, kode, sistem linguistik (meliputi sistem semantik), dan struktur sosial.

  Selanjutnya semiotik sosial menurut Halliday (dalam Sinar, 2010:21) adalah sistem makna dan simbol yang direalisasikan melalui sistem linguistik, dalam hal ini sistem linguistik terwujud dengan penggunaan bahasa pada upacara adat berbentuk tradisi lisan. Dengan menggunakan teori semiotik sosial, peneliti mencoba untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat baik dari segi media yang digunakan selama prosesi dan mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks tradisi kelisanan Baralek gadang pada upacara perkawinan masyarakat pesisir Sibolga.

  Pada masa sekarang pengetahuan masyarakat tentang tradisi kelisanan

  baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando, belum dikembangkan

  baik melalui jalur pendidikan ataupun jalur lain, sehingga tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando pesisir Sibolga semaki hari kian terabaikan. Padahal bila dikaji dan dianalisis, makna semiotik sosial yang ada dalam tradisi lisan tersebut mengandung nilai kearifan lokal dan mengandung nilai-nilai filosofi adat dan tradisi yang terpatri pada komunitas adat tersebut.

  Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa pertimbangan peneliti dalam menyikapi masalah ini, di antaranya.

  (1) Masyarakat Sibolga merupakan masyarakat yang multietnik yang membentuk satu kesatuan budaya masyarakat Pesisir dengan motto

  negeri berbilang kaum, namun etnik setempat adalah etnik Pesisir, sebagai tuan rumah.

  (2) Perkawinan bagi masyarakat pesisir Sibolga dikenal dengan adat sumando . (3) Proses pernikahan adat sumando dimulai dari marisik sampai dengan tapanggi dipandu oleh seorang talangkai.

  (4) Talangkai mempunyai peranan yang sangat penting dalam tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan masyarakat pesisir Sibolga. Di mana saat talangke menggunakan kata-kata dalam menyampaikan maksud dan tujuan memiliki makna kearifan lokal. (5) Perkembangan budaya yang begitu cepat, tradisi kelisanan baralek

  gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga masih tetap hidup berdampingan dengan budaya modern.

1.2 Rumusan Masalah

  Menurut pendapat Subyantoro, dkk (2006:30) mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah: yaitu menetapkan masalah penelitian, apa yang dijadikan masalah penelitian dan apa objeknya. Untuk mengidentifikasi atau menyatakan masalah yang spesifik dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan penelitian (research question) kepada informan, namun pertanyaan tersebut belum dapat memberikan penjelasan (explanation) yang memuaskan berdasarkan teori (hukum/dalil) yang ada. Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah makna-makna semiotik sosial pada tradisi kelisanan

  baralek gadang pada upacara adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga? 2.

  Nilai-nilai kearifan lokal apakah yang terdapat pada tradisi kelisanan

  baralek gadang pada upacara adat Sumando masyarakat Pesisir Sibolga?

1.3 Tujuan Penelitian

  Merujuk pada masalah maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

  Mendeskripsikan makna semiotik sosial tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga.

2. Menjelaskan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada tradisi kelisanan

  baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando masyarakat pesisir Sibolga.

1.4 Manfaan Penelitian

  Temuan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis. Adapun manfaat teoretis dan praktis dari penelitian ini dapat diuraikan seagai berikut.

  1.4.1 Manfaat Teoretis

  Secara teoretis kiranya penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a.

  Memperkaya kajian linguistik pada umumnya dan makna semiotik sosial secara spesifik.

  b.

  Memperkaya kajian tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga sebagai kajian yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal.

  c.

  Menjadi bahan acuan bagi para peneliti yang memfokuskan pada bidang budaya dan bahasa, terutama kajian adat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah

  1.4.2. Manfaat Praktis

  Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a.

  Mengetahui tradisi kelisanan Baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando masyarakat Pesisir Sibolga. b.

  Mengetahui makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi kelisanan Baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando Pesisir Sibolga serta nilai kearifan lokal.

  c.

  Memberikan pengetahuan tentang bagaimana upacara baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando Pesisir Sibolga.

  d.

  Sebagai upacara lanjutan guna melestarikan adat istiadat, budaya yang mulai ditinggalkan komunitas pemakainya, sehingga dapat terjaga nilai- nilai adat dan budaya sebagai kearifan lokal untuk mempersatukan masyarakat pemakainya.

  e.

  Dapat memberikan masukan pemikiran kepada pemerintah kota Sibolga dan semua pihak yang terkait untuk dapat melestarikan tradisi lisan

  baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando masyarakat Pesisir Sibolga.

1.5 Penjelasan Istilah

  Pada tulisan ini digunakan beberapa istilah yang memiliki makna berbeda dengan ilmu diluar ilmu linguistik, oleh karena itu penjelasan istilah pada penelitian ini dimaksudkan agar ada persamaan persepsi mengenai istilah yang digunakan. Penggunaan istilah tersebut sesuai dengan konsep istilah pada bidang linguistik, istilah tersebut yaitu: 1.

  Menurut Pudentia (2008:184) tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi serta berbagai hasil seni.

  2. Nilai adalah sesuatu yang sesuai dengan norma ideal menurut masyarakat pada masa tertentu. Selanjutnya Barthes (1957:140-142) mengatakan ada tiga ciri - ciri nilai, yaitu : (1) nilai yang berkaitan dengan subjek; (2) nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subjek ingin membuat sesuatu; (3) nilai menyangkut sifat yang „ditambah‟ oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh objek, nilai tidak dimiliki oleh objek pada dirinya.

3. Menurut Pateda (2001:28) mengatakan semiotik adalah kajian tentang sistem tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda.

  4. Sumando menurut Panggabean, dkk (1995:191) adalah satu kesatuan ruang lingkup kebudayaan suku pesisir; terdiri dari adat istiadat pesisir, kesenian pesisir, bahasa pesisir dan makanan pesisir.

  5. Sinar (2011:167) mengatakan bahwa kearifan lokal adalah merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki sekelompok (etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalamannya hidup secara terwujud dalam ciri budaya yang dimilikinya.

  6. Soedarsono (dalam Pasaribu, 2008:65) mengatakan perkawinan adalah suatu ikatan batin antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri, dengan tujuan membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.

  7. Upacara menurut Harsojo (dalam Pasaribu, 2011:35) adalah sistem keyakinan atau rangkaian yang diatur oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa, yang biasa terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan, satu kegiatan pesta tradisional yang di atur menurut tata dan adab atau hukum di masyarakat dalam rangka memperingati peristiwa-peristiwa, dengan ketentuan adat yang bersangkutan

  8. Risik-risik adalah suatu kegiatan pihak keluarga lelaki untuk menyelidiki anak wanita yang bakal menjadi calon istri (Pasaribu, 2011:8)

  9. Maminang adalah meminta seorang perempuan untuk dijadikan istri untuk anak laki-laki (Pasaribu, 2011:9)

  10. Sirih tanyo adalah sirih selengkapnya yang merupakan syarat yang diberikan oleh calon marapule kepada orang tua anak perempuan yang dipinang (hasil wawancara dengan bapak Fahrudin Sinaga) 11. Manganta kepeng artinya mengantar uang mahar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. (hasil wawancara dengan bapak Rajoki

  nainggolan dan bapak Fahrudin Sinaga) 12.

  Mata karajo adalah hari dilaksanakannya akad nikah (Pasaribu, 2011:36) 13. Manjalang-jalang menurut Pasaribu (2011:26) adalah mohon doa restu kepada orang tua sebelum akad nikah dilaksanakan.

  14. Baralek gadang adalah perhelatan besar, umumnya diadakan untuk menyambut atau merayakan suatu moment penting dalam kehidupan masyarakat (hasil wawancara dengan Bapak Fahrudin Sinaga).