Tradisi Kelisanan Baralek Gadang Pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA Pada Bab sebelumnya telah dijelaskan latar belakang mengapa penelitian
ini dilakukan, kemudian yang menjadi pembahasan dari penelitian ini dan tujuan serta manfaat dari penelitian. Pada bagian ini dibagi menjadi tiga yakni konsep, landasan teori, dan kajian pustaka. Konsep yakni meliputi tradisi lisan BG, kearifan lokal BG, dan baralek Gadang pada pernikahan adat Somando masyarakat pesisir Sibolga. Landasan teori yang digunakan pada penelitian ini adalah LFS (Linguistik Sistemik Fungsional) yang dikemukakan oleh Halliday, alasan peneliti memilih teori LFS adalah untuk melihat dan menemukan perbedaan makna semiotik dan makna interpersonal antara tatabahasa formal dengan tatabahasa fungsional yang terdapat pada teks. Selanjutnya pada bagian ini juga dijelaskan mengenai kajian pustaka yang memiliki hubungan atau kontribusi terhadap penelitian ini.
2.1 Konsep
Pada bagian ini peneliti berusaha untuk menganalisis beberapa pengertian- pengertian yang ada kaitannya dengan pembahasan masalah dalam penelitian ini, dan bagian
- – bagian itu perlu diuraikan untuk memberikan kejelasan yang benar terhadap permasalahan sebagai berikut: pengertian dari tradisi lisan, kearifan lokal, dan baralek gadang, berdasarkan pada konsep teori. Selanjutnya penjabarannya untuk lebih detilnya adalah seperti berikut.
21
2.1.1 Konsep Tradisi Lisan
Tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan pada masyarakat tertentu. Menurut Pudentia (2008:184). Tradisi lisan bukan hanya mengandung cerita mitos dan dongeng, akan tetapi juga mengandung berbagai hal-hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum, pengobatan, sistem kepercayaan (religi), hasil seni dan upacara adat, seperti adat perkawinan yang dimiliki komunitas adat sebagai pemilik tradisi lisan tersebut adalah bagian dari tradisi lisan.
Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk kebudayaan, oleh karena itu perlu dijaga agar tetap lestari. Salah satu usaha untuk menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan kekayaan intelektual budaya Indonesia, yakni melalui penelitian yang terstruktur dan berkelanjutan.
Sumber utama kajiannya adalah penutur, nara sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti yang meliputi masyarakat pemilik atau pendukung yang berkaitan. Di samping tradisi dan narasumber utamanya yang masih hidup atau merupakan
living traditions , ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi
tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori tradisi lisan (Pudentia, 2008:259).
Sementara menurut Sibarani (2012:47) Tradisi lisan adalah kegiatan budaya
tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun temurun dengan media
lisan dari satu generasi kegenerasi lain baik tradisi lisan itu berupa susunan kata- kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan (non verbal). Oral
traditions are the Community‟s traditionally cultural activities inheritied orally from one generation to the other generations either the tradition is verbal or non- verbal.
Lebih lanjut Sibarani (2012:43-46) mengemukakan ada beberapa ciri Tradisi lisan yaitu:
1. Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
2. Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaanya.
3. Dapat diamati dan ditonton.
4. Bersifat tradisional. Ciri tradisi lisan ini harus mengandung unsur warisan etnik baik murni bersifat etnik maupun kreasi baru yang ada unsur etnik.
5. Diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan itu diwariskan dari satu generasi kegenerasi lain.
6. Proses penyampain dari mulut ke telinga. Ciri inilah yang menjadikan kebiasaan atau budaya bukan lisan (non-verbal
culture) tergolong tradisi lisan karena budaya bukan lisan itu,
seperti adat istiadat, disampaikan orang tua dari mulut melalui berbicara sampai ketelinga anak-anaknya melalui mendengar.
7. Mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya.
8. Memiliki versi-versi.
9. Milik bersama komunitas tertentu atau milik semua masyarakat secara kolektif.
10. Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya.
Dari penjelasan di atas maka perlu sekali membangun sebuah paradigma yang melihat tradisi lisan sebagai sebuah kekuatan, dapat dibuktikan di mana sebagian masyarakat kita mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain termasuk kekuatan hegemoni dan kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi lisan merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah komunitas masyarakat pemakainya.
Pada tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan masyarakat penghasilnya. Keduanya sangat tergantung satu sama lain. Tanpa masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi diteruskan. Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting, khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah hidup dan sudah menyatu pada komunitas tersebut.
Memahami nilai-nilai dengan baik, maka perlu dilakukan perbandingan dengan fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap orang, walaupun menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut dapat berbeda-beda.
Pengetahuan tradisional memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung tradisi mengatasi tantangan alam dan lingkungan sekitarnya dengan menghasilkan teknologi untuk menguasinya. Sedangkan kearifan lokal memungkinkan masyarakat yang bersangkutan memahami alam dan lingkungannya. Begitu pula halnya dengan tradisi kelisanan pada masyarakat pesisir Sibolga, walaupun sudah mengalami perkembangan, tetapi tetap tidak melepaskan diri dari norma-norma tradisi yang telah berlaku turun temurun.
Tradisi kelisanan pada masyarakat Sibolga memiliki tatanan atau aturan yang tertib dipimpin oleh seseorang yang disebut talangke. Talangke berfungsi sebagai pemandu jalannya upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga. Keputusan akhir upacara adat yang berwujud tradisi lisan diputuskan oleh tokoh adat dan diketahui kepala desa.
Upacara perkawinan khususnya dan pada upacara adat pada umumnya, setiap keputusan yang diambil oleh tokoh adat bersama dengan kepala desa melalui proses upacara adat istiadat yang panjang dan bertele-tele, tetapi tetap dengan jalan musyawarah dan merupakan keputusan bersama. Pada upacara adat istiadat ini juga setiap orang diposisikan sesuai dengan hubungan kekerabatanya. Sehingga tidak jarang sesorang yang tidak diberi kesempatan untuk menempati posisi yang selayaknya dia peroleh pada acara adat istiadat tersebut, dia merasa kurang dihargai (Pasaribu, 2011:5)
Tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga yang dianalisis dalam wujud teks lisan, teks lisan tersebut dituliskan, kemudian yang dianalisis adalah makna semiotik dan nilai- nilai kearifan lokal yang terdapat pada upacara perkawinan adat masyarakat pesisir Sibolga, dengan pendekatan semiotik sosial.
Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya. Sistem pewarisan pembentukan identitas, perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: perlindungan, preservasi, dan revitalisasi tradisi lisan, yaitu tradisi lisan pada pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga.
Hal ini menurut Fortes (dalam Tilaar, 2000: 54-55) dari pewarisan budaya ada variabel-variabel yang perlu dicermati yakni; unsur-unsur yang ditransmisikan/diwariskan, proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Dalam hal ini unsur-unsur yang diwariskan adalah nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi masyarakat, dan pandangan-pandangan hidup masyarakat yang mengandung kearifan, kebenaran esensial, dan ide.
2.1.2 Konsep Kearifan lokal
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang sepatutnya secara terus-menerus harus tetap dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal atau berhubungan dengan khalayak umum.
Selanjutnya Sibarani (2012:1) mengemukakan bahwa kearifan lokal adalah
remembering the past, understanding the present, and preparing the future “mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan masa depan”.
Maksudnya adalah mengingat masa lalu berarti berusaha untuk menggali tradisi masa lalu, mengindentifikasi masa lalu berarti menggali tardisi masa lalu itu, memilah-milah nilai tradisi masa lalu itu, dan kemudian memetik hal-hal yang bernilai dalam tradisi masa lalu itu. Memahami masa kini berarti mengetahui permasalahan kehidupan masa kini dengan segala kelebihan dan kekurangannya serta memberikan solusi pada permasalahan itu dengan mengimplementasikan nilai-nilai tradisi masa lalu.
Sementara Haba (2007:11) menjelaskan kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercaya dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi masyarakat. Lebih lanjut (Haba 2007:4) menjelaskan bahwa ada beberapa fungsi dari kearifan lokal yakni: (1) sebagai penanda sebuah komunitas; (2) elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan; (3) kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top done), tetapi sebuah unsur kultural yang ada dalam masyarakat, karena itu daya ikatnya lebih mengena dan bertahan; (4) kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas; (5) lokal wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common
ground atau kebudayaan yang dimiliki, dan (6) kearifan lokal dapat berfungsi
mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir bahkan merusak, solidaritas komunal yang dipercaya dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah kominitas terintegrasi.
Sementara Rahyono (dalam Sinar, 2011:4)) mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki sekelompok (etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya secara terwujud dalam ciri-ciri budaya yang dimilikinya, dengan kata lain seorang anggota masyarakat budaya memililiki kecerdasan karena proses pembelajaran dari rumah yang dilakukan dalam kehidupannya. Selanjutnya Rahyono (dalam Sinar, 2011:4) mengemukakan jika lokal genius hilang atau musnah, kepribadian bangsa memudar, karena hal-hal sebagai berikut.
1. Kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang inheran sejak lahir.
2. Kearifan lokal bukan sebuah keasingan bagi pemiliknya.
3. Keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal kuat.
4. Pembelajaran kearifan lokal tidak memerlukan pemaksaan.
5. Kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri dan percaya diri.
6. Kearifan lokal mampu meningkatkan martabat bangsa dan Negara.
Sementara Sibarani (2012:5) mengatakan bahwa ada nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal tersebut, antara lain:
1. Kerja keras (seperti: etos kerja, keuletan, inovasi, visi dan misi kerja, dan disiplin kerja)
2. Gotong royong (melakukan dan menyelesaikan pekerjaan secara bersama)
3. Kerukanan (sikap toleransi antar umat beragama, etnik, budaya) 4.
Penyelesaian konflik (sikap dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan hukum adat)
5. Kesehatan (Menjaga hidup baik secara pribadi maupun masyarakat)
6. Pendidikan (peningkatan pengetahuan tentang suatu hal)
7. Menjaga lingkungan (penjagaan lingkungan untuk tetap menjaga rantai kehidupan)
8. Pelestarian dan inovasi budaya (pemeliharaan dan pengembangan warisan budaya)
9. Penguatan identitas (tetap menjaga keaslian budaya) 10.
Peningkatan kesejahteraan (menambah pendapatan masyarakat) 11. Hukum (norma-norma dan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan dan harus dipatuhi)
Menurut Sayuti (2005:12) usaha untuk menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah nusantara. Dari pernyataan di atas maka jelas bahwa kearifan lokal yang terdapat pada budaya daerah sudah sejak lama hidup dan berkembang. Maka dari itu perlu diadakan pemeliharaan dan pelestarian budaya daerah tersebut demi membangun kerinduan pada kehidupan masyarakat terdahulu, dimana hal itu merupakan tolak ukur kehidupan masa sekarang.
2.1.3 Konsep Baralek Gadang
Baralek gadang adalah merupakan salah satu kegiatan yang sifatnya
berbentuk tradisi kelisanan khususnya penyambutan momen-momen penting seperti pernikahan. Pada masyarakat pesisir Sibolga kegiatan seperti ini masih tetap dilaksanakan sampai saat sekarang ini. Baralek gadang pada hakikatnya memiliki prosesi atau tahapan-tahapan acara kegiatan yang dimulai dari tahap
marisik (memastikan seorang calon) sampai kepada tahap tapanggi (saling
berkunjung kedua belah pihak) dan biasanya kegiatan ini dilaksanakan sesuai dengan adat yang berlaku. Namun sesuai dengan perkembangan zaman, maka ada sebagian rangkaian acara yang mengalami pergeseran yakni tergantung dengan situasi dan kondisi.
Baralek gadang berasal dari dua kata, yaitu baralek dan gadang. Baralek
artinya perhelatan, sementara gadang artinya besar. Jadi baralek gadang itu memiliki pengertian secara umum yakni perhelatan besar salah satunya adalah perkawinan yang memiliki prosesi rangkaian kegiatan dari awal sampai selesainya acara semuanya diatur oleh adat yang berlaku pada masyarakat etnis pesisir Sibolga. (Hasil wawancara 10 Desember 2012 dengan bapak fahrudin Sinaga)
Istilah Baralek gadang selain ada di daerah Sibolga, di daerah Sumatera Barat juga dipergunakan istilah ini dalam acara-acara besar. Baralek gadang di daerah Sumatera Barat adalah ungkapan bahasa Minang yang berarti perhelatan besar. Baralek gadang umumnya diadakan untuk menyambut atau merayakan suatu momentum penting dalam kehidupan masyarakat Minang, bisa pernikahan atau hal lainnya. Hajatan ini juga sekaligus untuk berbagi kegembiraan dan perwujudan rasa syukur atas karunia yang diberikan sang maha pencipta diunduh 25 April 2013)
2.1.3.1 Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Sebelum Baralek Gadang
Kehidupan orang pesisir Sibolga yang relegius dan masih sangat peka terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, baik itu berupa peruntungan maupun musibah. Peristiwa-peristiwa itu ditandai dengan upacara, seperti upacara adat, upacara khitanan, upacara melek-melekan, upacara turun ke laut, upacara lolos dari marabahaya, upacara sembuh dari sakit, mendapat gelar akademis, upacara naik haji, upacara mendirikan dan memasuki rumah baru, upacara anak lahir, upacara kelahiran, dan upacara perkawinan.
Upacara dalam KBBI (2001:1250) meliputi: (1) Tanda-tanda kebesaran; (2) peralatan (menurut adat istiadat) rangkaian tindakan atau pebuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama; (3) perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting.
Adat dalam KBBI (2001:7) sebagai berikut: (1) aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; (2) cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan; (3) Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dan lainnya berkaitan dengan suatu sistem. Upacara adat yaitu: upacara yang berhubungan dengan adat sesuatau masyarakat. (KBBI, 2001: 1250)
Upacara perkawinan adat atau rangkaian upacara perkawinan (seremonial) mempelai yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala yang dipimpin oleh pengetua adat atau pemuka agama. Dalam kamus bahasa Indonesia (2001:1250) adat merupakan kebiasaan, sementara kebiasaan itu merupakan bagian dari kebudayaan.
Sementara Sibarani (2004:5) mengemukakan ada enam hal mendefinisikan kebudayaan yakni: (1) segala kebiasaan yang dimiliki kelompok masyarakat; (2) pengetahuan yang ditransmisi dan dikomunikasikan secara social; (3) tercermin dan terwujud dalam ide, tindakan, dan hasil karya manusia; (4) pedoman untuk memahami lingkungan manusia dan untuk berinteraksi dalam kehidupan masyarakat; (5) harus dipelajari dan (6) mensejahterakan dan membahagiakan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan kelompok masyarakat tercermin dalam pengetahuan, tindakan, dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan/atau kesejahteraan hidupnya.
Sementara Supartono (2004:30) memberikan penjelasan tentang kebudayaan yakni kebudayaan berasal dari kata budh artinya akal dalam bahasa sansakerta, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Sementara dalam bahasa Inggris, kebudayaan adalah culture, berasal dari kata culere (bahasa Yunani) yang berarti mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah, manusia mulai hidup sebagai penghasil makanan (food producing). Hal ini berarti, manusia telah berbudi daya mengerjakan tanah karena telah meninggalkan kehidupan yang hanya memungut hasil alam saja (food gathering)
Menurut Pasaribu (2011:5) pelaksanaan upacara perkawinan adat pesisir Sibolga yang biasa disebut dengan istilah adat Sumando, ini ditetapkan pada tanggai 1 Maret 1851 oleh residen Conprus (Belanda) untuk seterusnya dapat dipergunakan sebagai pedoman. Pada mulanya adat yang tertinggi berada pada Raja atau Kuria, Pengertian Sumando dalam bahasa Batak adalah cantik, dan secara lebih khusus lagi artinya adalah besan berbesan. Pengertian adat sumando mencakup tatacara adat pernikahan di daerah pesisir Sibolga Tapanuli Tengah antara lain; mulai dari marisik sampai kepada acara saling kunjung mengunjungi antara kedua belah pihak atau sering disebut dengan istilah tapanggi.
Selanjutnya Pasaribu (2011:6) mengatakan ada beberapa hal yang harus dipersiapkan pada saat pelaksanaan upacara pernikahan adat sumando tersebut yaitu:
1. Sistem pernikahan/perkawinan meliputi proses sebagai berikut: usaha memperoleh pasangan, tatacara melamar/meminang, kewajiban dan sangsi perjanjian, pelaksanaan aqad nikah, tempat aqad nikah, waktu aqad nikah, acara sesudah nikah, peresmian pernikahan.
2. Penataan tempat acara pernikahan yakni: hiasan rumah, hiasan pelaminan, hiasan kamar pengantin, hiasan lokasi pesta.
3. Kesenian sebagai berikut: kesenian menjelang pernikahan (malam
baine dan malam Basikambang), kesenian pada hari peresmian
(mangarak Marapule, masuk rumah, basanding - hiburan umum)
4. Prosesi mengatur kehadiran mempelai laki-laki menghadiri aqad nikah, mengatur acara mengarak Marapule (pengantin laki-laki) serta prosesi mempelai laki-laki memasuki kamar.
5. Pakaian adat meliputi: pakaian kebesaran yang dipergunakan oleh mempelai laki laki (Marapule), pakaian yang dikenakan oleh pihak perempuan (Adak daro), waktu yang tepat untuk mengenakan baju kebesaran adat.
6. Perlengkapan sebagai berikut: tempat sirih yang digunakan saat meminang, tempat mahar pernikahan, tempat upah-upah dan
tepung tawar .
7. Malam barinai meliputi: sunting gadang, sunting ketek, payung kebesaran (payung kuning dan payung tabukka), bendera, kain sampe, tombak baurai, pedang, musik sikambang.
Pada upacara perkawinan adat biasanya menggunakan tanda-tanda kebesaran adat (menurut adat istiadat tersebut), sehingga serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat, sehingga upacara perkawinan adat dapat diselenggarakan sebagai suatu perayaan atau upacara adat.
Begitu halnya dengan masyarakat etnis Sibolga yang memiliki adat perkawinan yang khas yang disebut dengan adat sumando merupakan aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim menurut keputusan adat pada masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah.
2.1.3.2 Fase Baralek Gadang Pada Pernikahan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga
Pasaribu (2011:7-9) mengatakan bahwa dalam setiap adat pernikahan pasti ada beberapa rangkaian acara adat yang harus dilewati. Begitu halnya dengan adat Pernikahan etnis masyarakat pesisir Sibolga memiliki berbagai tatacara yang meliputi rangkaian prosesi kegiatan sebagai berikut:
1. Marisik.
Marisik adalah satu kegiatan pihak keluarga laki-laki untuk
menyelidiki anak wanita yang bakal menjadi calon istri anak laki- lakinya. Marisik ini biasanya dilakukan dengan santai, biasanya dilakukan pihak laki-laki yang diperantarai oleh seorang yang disebut dengan Talangke
2. Maminang.
Maminang adalah merupakan rangkaian dimana pihak laki-laki akan
menayakan berapa mahar atau bantuan yang akan diserahkan kepada calon istri dan sekaligus menentukan kapan akan diantarkan.
3. Batunangan/Manganta kepeng (mengantar uang mahar atau bantuan
kepada pihak perempuan)
- - dilaksanakannya akad nikah)
Menentukan hari (proses menentukan waktu akan
- - bergerak menuju rumah pihak perempuan dengan membawa uang mahar yang dimasukkan ke dalam kampi. Uang mahar tersebut dibawa oleh seorang ibu-ibu dengan cara menggendong.
Acara keberangkatan (proses dimana pihak laki-laki akan
- - akan menyambut pihak laki-laki dengan menaburkan beras kunyit kepada semua rombongan
Acara penyambutan di rumah Perempuan. (pihak perempuan
- - pihak duduk bersama, maka pihak kepala desa yang selanjutnya akan memandu acara didampingi oleh kepala adat)
Acara kepala desa dan tokoh adat. (kegiatan setelah kedua belah
- - sangsi kepada kedua belah pihak yang ingkar setelah ada kesepakatan bersama)
Penetapan sangsi (kepala desa dan tokoh adat akan menetapkan
- - memotong kambing serta diadakan kenduri dengan mengundang kaum kerabat terdekat, tokoh masyarakat dan kepala desa) 4.
Acara pengambilan hari (prosisi ini dilakukan dengan cara
Acara pernikahan. (setelah semua rampung maka selanjutnya akan
diadakan acara pernikahan yang memiliki rangkaian yakni persiapan di tempat kedua belah pihak)
- - terlebih dahulu semua rombongan diberi maka nasi tuei. Pada saat keberangkatan rombongan akan diiringi atau diarak oleh pasukan gelombang XII. Rombongan juga akan dihibur dengan kesenian sikambang yang dipandu oleh seorang anak alek)
Pemberangkatan marapule (sebelum keberangkatan maka
- - rumah pihak perempuan maka selanjutnya akan diadakan acara akad nikah yang dipimpin oleh tuan kadi, dan disaksikan oleh dua orang saksi)
Upacara akad nikah (setelah pihak pengantin laki-laki sampai di
- - nikah)
Jamuan makan bersama (dilaksanakan setelah selesai akad
- - ikut diutamakan orang yang sudah berkeluarga. Orang yang biasanya jadi penghidang atau sering disebut janang harus mengerti tatacara menghidang, serta tempat duduk harus disesuaikan dengan adat yang berlaku)
Tata cara makan beradat (pada prosesi ini yang berhak untuk
- - diiringi kesenian sikambang, dan dilanjutkan sampai malam dimulai setelah shalat Isya dengan tujuan agar seluruh warga dapat menikmatinya) 5.
Resepsi pernikahan (dilaksanakan di rumah perempuan dengan
Acara balik hari (kegiatan ini dilaksanakan setelah selesai seluruh
rangkaian upacara adat, atau bisa dikatakan keesokan harinya dengan membawa makanan ke rumah orang tua laki-laki)
2.1.4 Falsafah Masyarakat Pesisir Sibolga
Setiap masyarakat adat memiliki keyakinan nilai-nilai luhur yang kuat sehingga dijadikan pedoman dalam mengatur berjalannya tatanan adat istiadat.
Masyarakat etnis Sibolga memiliki falsafah hidup “adat basandi sarak dan sarak
basandi kitabullah artinya bahwa penduduk masyarakat Sibolga sangat
menghargai adat sebagai bahagian dari kehidupan masyarakat kota Sibolga dan semua itu diatur oleh norma- norma agama “Kitab Suci Al-qur‟an”. (Hasil
wawancara dengan Bapak Fahrudin Sinaga)
Hal tersebut menjadi falsafah hidup masyarakat kota Sibolga. Dimana falsafah tersebut meliputi (langkah, rejeki, pertemuan, maut) (silap, salah, lupo,
lale) (angin, tanah, air, api) kesemuanya ini telah menjadi bahagian dalam hidup
masyarakat pesisir Sibolga yang tidak bisa dilanggar. Suatu aturan-aturan yang dipatuhi dan dianggap memiliki kekuatan batin yang merupakan jiwa yang sudah mendarah daging bagi masyarakat adat.
Nilai-nilai luhur masyarakat adat tersebut tidak tertulis tetapi sudah menyatu dan menjadi ketentuan yang mengikat batin diantara masyarakat. Makna yang terkandung pada falsafah itu yaitu setiap masyarakat lahir telah memiliki nilai- nilai luhur sebagai pandangan hidup dalam dirinya (wawancara dengan bapak
Fahrudin Sinaga bulan Desember 2012 )
2.2 Landasan Teori
Bagian ini menjelaskan secara detail kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Pada penelitian ini peneliti menggunakan kerangka teori linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang di populerkan oleh Halliday, meliputi fungsi dan penggunaan bahasa. Fungsi dan penggunaan bahasa itu meliputi bahasa sebagai sistem, bahasa adalah fungsional, fungsi bahasa adalah membuat makna, bahasa adalah sistem semiotik sosial dan penggunaan bahasa adalah kontekstual. Namun pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada bahasa sebagai sistem semiotik sosial, yang meliputi makna ideasional, interpersonal dan tekstual. Ketiga jenis makna ini dikenal sebagai metafungsi bahasa (Sinar, 2010:21)
2.2.1 Pendekatan Semiotik Sosial
Landasan berpijak teori yang digunakan pada penelitian ini adalah LSF yang dikemukakan oleh Halliday. Menurut teori LSF, linguistik berperan dalam menganalisis teks dengan tujuan untuk membedakan makna dalam konteks paradigma dan makna dalam konteks sistemika (Halliday, 1985:xxviii). Konteks paradigm berfungsi sebagai system, sementara konteks sistematika dikenal dengan struktur bahasa. Manusia dapat mengenterpretasikan hubungan secara paradigma dengan sistem.
Teori pendekatan semiotik sosial (social semiotics) yang perkenalkan oleh Halliday tahun 70-an dikenal dengan teori LSF (Linguistik Sistemik Fungsional).
Teori LSF oleh M.A.K. Halliday memandang bahasa adalah sistem arti dan sistem lain (yaitu sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut.
Sistem semiotik sosial adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sitem linguistik. Sementara sistem semiotik linguistik adalah semantik, yaitu sebagai suatu bentuk realisasi dari semiotik sosial oleh (Sinar, 2010:28)
Selanjutnya menurut Sinar (2010:17) TLFS juga menjelaskan bahasa terdiri atas tiga strata yakni, strata fonologi yang membicarakan bunyi bahasa,
leksikogramatika yang membicarakan konstruksi pembentukan klausa, dan semantik yang menyangkut penyatuan klausa menjadi wacana yang bermakna.
Pada penelitian ini peneliti menfokuskan pada kontekstual pendekatan LSF menganut pandangan bahwa bahasa adalah sistem semiotik sosial, dimana keberhasilan menganalisis wacana atau teks tergantung kepada konteks sosial yang dihubungkan dengan konteks situasi, konteks budaya dan ideologi. Sistem semiotik sosial adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sistem linguistik. Sistem semiotik linguistik adalah semantik, yaitu sebagai suatu bentuk realisasi dari semiotik sosial.
Konsep semiotik sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti tersebut dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti tersebut (Sinar, 2011:21). Dari keterangan di atas maka setiap manusia atau individu selalu melakukan interaksi satu sama dalam kehidupannya lain, dan apa yang dihasilkan itu akan memberikan makna tersendiri.
Menurut Sinar (2010:83-84) konteks ideologi adalah pemahaman atau kepercayaan, nilai yang dianut atau dipakai bersama oleh masyarakat. Ideologi juga menjadi konsep sosial yang menentukan nilai yang terdapat dalam masyarakat. Ideologi muncul karena ada masyarakat yang mendominasi dalam arti positif. Kemudian terjalin hubungan bahasa dengan masyarakat dan penguasa. Kekuasaan dapat membentuk pandangan masyarakat terhadap sesuatu objek sehingga masyarakat meyakini pandangan tersebut menjadi suatu kebenaran.
Konteks situasi menurut Sinar (2010:56) yaitu dimensi berkaitan dengan hubungan antara orang yang berinteraksi tersebut dengan pelibat (tenor), yang terkait dengan aktivitas sosial mereka disebut dengan medan (field) dan yang berhubungan dengan peran dan fungsi bahasa dikenal dengan sarana (mode).
Untuk membangun pemahaman yang kongkrit dari sebuah teks maka harus melibatkan banyak komponen yaitu apa yang sedang dibicarakan atau sering disebut medan. Kemudian siapa yang menyampaikan teks tersebut atau sering disebut dengan pelibat, dan bagaimana teks itu dilakukan atau sering kita sebut dengan istilah sarana.
Konteks budaya yaitu suatu proses sosial yang bertahap dan beriorentasi pada tujuan, dan dalam masyarakat sering dijumpai interaksi sosial berbahasa. konteks budaya menjadi ragam yang merujuk kepada proses sosial karena anggota dalam suatu budaya melalui tahapan-tahapan perlu mencapai tujuan agar teks yang disampaikan dapat dimengerti. Selanjunya dikatakan bahwa genre adalah budaya di dalam tahapan berbahasa, yang digunakan oleh sekelompok masyarakat (Sinar, 2010:65))
Konsep bahasa sebagai semiotik sosial merupakan wujud dalam masyarakat itu sendiri sebagai hasil interaksi antara manusia dengan alam semesta. Maka dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak langsung berhubungan dengan alam melainkan bahasa dikelola dengan akal budinya manusia sebagai perantara sebelum masuk ke dalam bahasa.
Halliday (1978:108) mengatakan bahasa adalah semiotik sosial dengan pengertian bahwa petanda dan penanda dalam bahasa ditentukan oleh masyarakat pemakai bahasa. Makna atau arti yang dibuat dalam bahasa merupakan kesepakatan atau konvensi antar manusia sebagai anggota masyarakat. Demikian juga realisasi
„arti‟ ke dalam penanda ditentukan oleh aturan masyarakat. Dengan
kata lain petanda dan penanda dalam bahasa ditentukan oleh masyarakat pemakai bahasa melalui evolusi bahasa, budaya dan peradaban manusia. Nilai atau hikmah dalam budaya manusia telah menyatu dengan bahasa. Hal ini menegaskan dan menguatkan bahwa bahasa adalah semiotik sosial.
Pada prinsipnya masyarakat diatur oleh berbagai sistem, salah satunya semiotik sebagai teori tentang tanda, maka masyarakat dapat dikatakan berdimesi semiotik. Masyarakat yang berwujud manusia dikelilingi oleh tanda, diatur oleh tanda, ditentukan oleh tanda, bahkan dipengaruhi oleh tanda sehingga dengan demikian terdapat kelompok semiotik (semiotik group) dalam masyarakat, misalnya kelompok pedagang yang diatur oleh tanda-tanda tertentu yang berlaku dalam kelompok mereka sendiri dan secara bersama-sama dengan kelompok lain membentuk sosial semiotik. Greimas (dalam Pateda, 2001:31)
2.2.1.1 Semiotik Sosial Menurut Halliday (1978:108) bahasa adalah suatu sistem semiotik sosial.
Sistem semiotik bahasa tersebut meliputi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks yang berada diluar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk juga merupakan semiotik.
Kress dan Van Leeuwen (1996:5) menyatakan bahwa ada tiga aliran besar semiotik yang menerapkan konsep teori berasal dari domain linguistik dan domain nonlinguistik sebagai sarana komunikasi. Salah satu diantara teori itu adalah semiotik sosial (social semiotics) yang diperkenalkan oleh Halliday (1978).
Secara umum bahasa sebagai semiotik sosial menurut Halliday (1978:108) terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu: teks, situasi, register, kode, sistem linguistik (meliputi sistem semantik, dan struktur sosial). Namun pada penelitian ini peneliti hanya mengambil beberapa elemen penting yang dianggap berhubungan dalam menganalisis bahasa sebagai semiotik sosial. Dibawah ini dapat kita lihat gambar struktur bahasa sebagai semiotik sosial yang digunakan oleh peneliti dalam menganalisis bahasa sebagai semiotik sosial setelah disederhanakan dari skematik yang dibuat oleh Halliday (1978:108), dan disesuaikan dengan kerangka berpikir peneliti dalam meneliti bahasa sebagai semitoik sosial.
Bahasa Sebagai Sistem Semiotik Sosial T E K S BG
Konteks Bahasa Konteks Sosial
Makna Interpersonal
Konteks Situasi Konteks Budaya
Subjek/Predikator/ Keterangan
Sarana Medan Pelibat
Kearifan Lokal
Figura2: Representasi skematis bahasa sebagai semiotik sosial dalam Baralek gadang
Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan masing-masing elemen sesuai dengan peran masing-masing sebagai berikut: konsep teks adalah semua kegiatan yang sifatnya linguistik atau kebahasaan baik bentuk ujaran maupun tulisan, dalam konteks operasional dapat dibedakan berdasarkan konteks situasi seperti yang terdapat dalam kamus. Teks merupakan bagian paling penting dari proses semantik. Itu berarti dapat dikatakan bahwa teks dapat merupakan pilihan pada waktu yang bersamaan, dengan kata lain teks dapat didefinisikan sebagai perwujudan dari maksud atau arti apa yang dimaksud.
Konteks sosial merupakan peran masyarakat dalam melakukan interaksi
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini akan dijelaskan keterkaitan konteks sosial dengan konteks situasi. Di mana konsep teks yang disampaikan itu berupa teks lisan yang mana setiap kata atau kalimat yang disampaikan mengandung makna tersendiri. Dari konteks sosial maka akan muncul pemaknaan terhadap teks berdasarkan kepada konteks situasi dan konteks budaya.
Konteks Situasi adalah lingkungan yang mana di dalamnya ada teks yang
berperan terhadap hidup. Ini merupakan konsep yang telah ditetapkan dalam linguistik. Konteks situasi tidak hanya diinterpretasikan dalam istilah kongkrit sebagai sebuah laporan singkat tentang audiovisual melainkan lebih jauh lagi, sebuah representasi dari lingkungan tertentu memiliki hubungan yang relevan dengan teks. Konteks sosial merupakan salah satu jenis situasi (situation type). Struktur semiotik yang merupakan sebuah jenis situasi mempunyau tiga dimensi, yaitu aktivitas sosial yang sedang berlangsung (on going social activity, peran hubungan (the role relationship involved), dan sarana simbolik atau retorik (the symbolic) yang merujuk pada medan (Field), sarana (mode), dan pelibat (tenor).
Sementara Sinar (2010:24) mengatakan dalam kontek situasi terdapat tiga variable sebagai penentu faktor siatuasi yakni; 1) Medan, 2) sarana dan 3) pelibat. yakni membicarakan kegiatan berinteraksi yang mempunyai dua dimensi
Medan
yakni apa yang dibicarakan dan untuk apa dibicarakan, pelibat merujuk kepada siapa yang dibicarakan atau siapa yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, dan
sarana adalah bagaimana pembicaraan itu dilakukan.
Konteks budaya merupakan bagian penting dari setiap interaksi, di mana konteks budaya akan memberikan pemahaman yang kongkrit kepada masing- masing individu terhadap apa yang sedang dilakukan mulai dari awal sampai kepada akhir kegiatan. Konteks budaya merupakan rangkaian kegiatan yang harus dilalui karena dianggap merupakan syarat untuk mencapai kesempurnaan acara. Dari kedua konteks di atas maka akan memunculkan nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan kekayaan budaya lokal.
Kearifan lokal Sibarani (2012:1) mengemukakan bahwa kearifan lokal
adalah remembering the past, understanding the present, and preparing the future “mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan masa depan”.
Dengan kata lain kearifan lokal adalah merupakan nilai-nilai budaya yang terkandung pada suatu situasi baik itu konteks sosial, konteks situasi dan konteks budaya.
Sementara Halliday (dalam Handayani, 2012:35) mengatakan bahwa terdapat tiga hal penting sistem komunikasi bahasa yaitu ideasional merepresentasikan aspek pengalaman manusia di dalam dan diluar khususnya sebagai sistem tanda. Dengan kata lain harus mampu mempresentasikan objek dan hubungannya dengan dunia di luar bahasa sebagai sistem representasi. Metafungsi
interpersonal menawarkan hubungan antara pencipta tanda dengan penerima
tanda. Metafungsi tekstual menjelaskan pembentukan teks, kerumitan tanda-tanda yang dihubungkan baik secara internal maupun eksternal.
Struktur sosial (social structure) terdiri dari tiga tingakatan, yang pertama yaitu menggambarkan dan memberi arti terhadap berbagai jenis dari kontek sosial, dimana arti senantiasa dapat berubah. Perbedaan kelompok sosial dan jejaring komunikasi juga sangat menentukan, atau sering disebut dengan Tenor (pelibat) dimana pelibat adalah realisasi fungsi antarpersona. Kedua, status dan peran hubungan dalam sebuah situasi adalah jelas merupakan hasil dari struktur sosial.
Menurut Halliday (1978:108) yang pertama adalah bahasa sebagai semiotik sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial. Dalam pandangannya Halliday berpendapat bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Dalam komunikasi berdasarkan pengalaman yang dimilikinya yang bersifat intersubjektif itu masing-masing partisipan akan menafsirkan teks yang ada. Dengan demikian, makna akan selalu bersifat ganda. Teks tertanam dalam konteks situasi, sebuah contoh dari jenis konteks atau situasi umum sosial, struktur semiotik. Hal ini mengandaikan interpretasi dari sistem sosial sebagai semiotik sosial, dimana sistem makna mendapat tempatnya dalam realitas budaya.
Formulasi “bahasa sebagai semiotik sosial” berarti menafsirkan bahasa dalam kontes sosiokultural tempat kebudayaan itu sendiri ditafsirkan dalam terminologi semiotik sebagai sebuah sistem informasi. Dengan kata lain bahasa sebagi semiotik sosial berkembang dalam akar kebudayaan atau penafsiran budaya setempat. Inkulturasi penafsiran semiotik berperan penting dalam hal ini sesuai dengan kebudayaan tempat bahasa itu berkembang sebagai semiotik sosial.
Dalam level yang amat konkret, bahasa itu berisi teks atau wacana, yakni pertukaran makna (exchang of meaning) dalam konteks interpersonal. Bahasa pada hakitanya mengkaji teks atau wacana.
Menurut Halliday (1978:108) bahasa sebaga semiotik sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan representasi dunia yang dikontruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa yakni fungsi sosial yang menentukan bahasa dan bagaimana perkembangannya. Selanjutnya Halliday (1978) berpendapat bahwa sebagai semiotik sosial berarti menafsirkan bahasa dalam konteks sosiokultural tempat kebudayaan itu sendiri di tafsirkan dalam terminologi semiotik sebagai sebuah sistem informasi.
Menurut Lecouven yang dikutip oleh Awang Dharmawan, (dalam forum nadzhab Djaung, 27 Januari 2011) menjelaskan ada empat demensi utama dalam mengembangkan semiotika sosial yaitu: 1.
Discurse merupakan bagian semiotika sosial yang memfokuskan bagaimana sumber-sumber semantik digunakan untuk membangun representasi dan kehadiran.
2. Genre yaitu berhubungan dengan penggunaan sumber semiotik untuk menetapkan interaksi komunikatif yang berhubungan dengan representasi, baik dalam percakapan ataupun unsur komunikasi lain yang memisahkan waktu dan jarak.
3. Style, bersangkaut paut dan berhubungan secara langsung dengan gaya hidup individu yang dipertontonkan dalam aktivitas komunikasi, yang secara tersirat ataupun tersurat, menyatakan identitas dan nilai-nilai yang dianutnya.
4. Modality yaitu bagian yang mempelajari penggunaan- penggunaan semiotik untuk menciptakan atau mengkomunikasikan kebenaran atau nilai-nilai relitas dari represntasi-representasi mereka, baik itu sebagai fakta atau fiksi, membuktikan kebenaran atau dugaan, dll.
2.2.2 Metafungsi Bahasa
Makna metafungsi adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan interpretasi dan representasi pengalaman. Fungsi interpersonal mengungkapkan realitas sosial dan berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dengan pendengar/pembaca. Sementara itu, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotik dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks (Matthiessen, 1992:6; Halliday dan Martin, 1993:29).
Pada setiap interaksi Halliday dan Martin (1993:30) menjelaskan bahwa antara pemakai bahasa, penutur menggunakan bahasa untuk memapar, mempertukarkan dan merangkai atau mengorganisasikan pengalaman. Ketiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia menurut Eggins (1994:3) sekaligus disebut berfungsi tiga dalam komunikasi yaitu memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman yang secara teknis masing-masing disebut ideasional, antarpersona, dan tekstual.
Metafungsi bahasa diartikan sebagai fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa oleh penutur bahasa. Setiap interaksi antara pemakai bahasa penutur
menggunakan bahasa untuk memapar, mempertukarkan, dan merangkai atau
mengorganisasikan pengalaman, direalisasikankan dalam satu klausa yang memiliki
tiga unsur yaitu proses, partisipan, dan sirkumstan. Dengan ketiga fungsi bahasa
dalam kehidupan manusia, bahasa sekaligus disebut berfungsi tiga dalam komunikasi
yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual (Halliday, 1994: xiii,
Eggins, 1994:3 dalam Saragih, 2006: 3-4, Sinar, 2002). Di samping itu bahasa