Tradisi Kelisanan Baralek Gadang Pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial

(1)

SIBOLGA: PENDEKATAN SEMIOTIK SOSIAL

T E S I S

Oleh:

RISMAN ARBI SITOMPUL 117009029/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI LINGUISTIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister of Saint Pada Program Studi Ilmu Linguistik Sekolah Pascarsarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

RISMAN ARBI SITOMPUL 117009029/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI LINGUISTIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

SEMIOTIK SOSIAL

Nama Mahsiswa : RISMAN ARBI SITOMPUL Nomor Induk Mahasisi : 117009029

Program Studi : Linguistik

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof.T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D) (Drs.Muhammad Takari,M.Hum, Ph.D) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Prof.Dr.Erman Munir, M.Sc)


(4)

Judul Tesis

TRADISI KELISANAN BARALEK GADANG PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT SUMANDO MASYARAKAT PESISIR

SIBOLGA: PENDEKATAN SEMIOTIK SOSIAL

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister of Saint pada program studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan sebagian atau seluruh Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi-sanksi lainya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 27 Agustus 2013 Penulis


(5)

PANITIA PENGUJI TESISI

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, MA., Ph.D

Anggota : 1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D 2. Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D 3. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si 4. Dr.Nurlela, M.Hum


(6)

TRADISI KELISANAN BARALEK GADANG PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT SUMANDO MASYARAKAT PESISIR

SIBOLGA: PENDEKATAN SEMIOTIK SOSIAL

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial. Tujuan penilitian ini adalah pertama, untuk mendeskripsikan dan mencari makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga; kedua, untuk menemukan kearifan lokal yang terkandung pada proses baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) oleh Halliday (1978), yang menekankan pada pembahasan konteks budaya dan konteks sosial. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif yang dilakukan dengan cara merekam dan mewawancarai narasumber secara langsung. Hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando masyarakat Pesisir Sibolga bergeser karena dipengerahui oleh konteks sosial meliputi konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi dipengaruhi oleh medan (field), pelibat (tenor), sarana (mode). Tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga mengandung 9 nilai kearifan lokal yang merupakan pedoman hidup masyarakat Pesisir Sibolga, yaitu: (1) kearifan berhubungan dengan Allah SWT; (2) kearifan menjaga budaya; (3) kearifan menjaga kesopansantunan; (4) kearifan menjaga nilai kejujuran; (5) kearifan mendidik; (6) kearifan membentuk kesejahteraan; (7) kearifan mempertahankan komitmen; (8) kearifan bergotong royong; dan (9) kearifan menghormati tamu.


(7)

TRADISI KELISANAN BARALEK GADANG PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT SUMANDO MASYARAKAT PESISIR

SIBOLGA: PENDEKATAN SEMIOTIK SOSIAL

ABSTRACT

This research is entitled Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial. This research aims to: (1) describe and find the meaning of social semiotic of the oral tradition of baralek gadang of sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community, and (2) find out the local wisdom of baralek gadang process of Sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community. The theory applied is Semiotic Functional Linguistic (SFL) theory proposed by Halliday (1978), to analyze social and cultural contexts. This research uses qualitative method by interviewing and recording. The results are (1) the meaning of social semiotic of the oral tradition of baralek gadang of Sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community changes because of social context; situational and cultural contexts. Situational context is influenced by field, tenor and mode. (2) the oral tradition of baralek gadang of Sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community contains 9 local wisdom meaning as life guidance of Sibolga coastal community, namely (1) wisdom relating to Allah SWT; (2) wisdom to rehabilitate culture; (3) wisdom to rehabilitate politeness; (4) wisdom to rehabilitate honesty value; (5) wisdom to educate; (6) wisdom to produce prosperity; (7) wisdom to keep commitment; (8) wisdom to cooperate; and (9) wisdom to respect guests.


(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan Tesisi ini.

Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister of Saint pada Sekolah Pascasarjana, Program Studi Linguistik (kajian Tradisi Lisan) Universitas Sumatera Utara.

Selama melukukan penelitian dan penulisan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM)., Sp.A(K),

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, MA.,Ph.D, selaku pembimbing I dan sekaligus Ketua Prodi. Linguistik USU, yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan hingga selesai.

4. Ibu Dr.Nurlela, M.Hum, selaku sekretaris Program Studi Linguistik Pascasarjan Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum.,Ph.D selaku pembimbing II yang telah memotivasi dan memberikan arahan dari awal sampai selesanya penulisan Tesis ini.


(9)

6. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si dan Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D selakuku penguji yang telah memberikan saran dan kritikan yang membangun guna kesempurnaan Tesis ini.

7. Para dosen yang mengajar di Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

8. Ibunda tercinta Nurmaya Hutabarat dan seluruh keluarga (Alm) H. M. Ridwan Sitompul, serta istri Masbulan Harahap, S.Pd.,M.Pd dan anak tercinta Raisah Munira Sitompul, yang senantiasa ikut memberikan dukungan moral dan spiritual selama penulis melukukan penelitian sampai selesainya Tesis ini.

9. Terima kasih penulis ucapkan kepada Kepala SMA Negeri 1 Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah Drs. Jhonni Hermanto yang telah memberi ijin untuk melanjutkan pendidikan S2.

10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang juga turut memberikan dukungan semangat dan saran kepada penulis selama penyelesaian Tesis ini.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa Tesis ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk penyempurnaan Tesis ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca.

Medan, 27 Agustus 2013


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : RISMAN ARBI SITOMPUL

Tempat/Tanggal lahir : Tapanuli Tengah, 10 Desember 1977 Jenis Kelamin : laki-laki

Agama : Islam

Status : Sudah menikah

Alamat : JL.Humala Tambunan No.29 Kecamatan Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah

E-mail : risman.arbi@yahoo.com

II. PENDIDIKAN FORMAL 1. SD Negeri 085121 Sibolga 2. SMP Negeri 1 Sibolga

3. SMA Negeri 2 Matauli Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah 4. S1 Universitas Islam Sumatera Utara

5. Akta IV Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

III. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Pernah bekerja di PT. Infomedia Nusantara Medan 2. Staf Pengajar di SMP Muhammadiyah 50 Medan 3. Staf pengajar di STM Muhammadiyah 09 Medan

4. Ketua Dikdasmen Muhammadiyah Kabupaten Tapanuli Tengah


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………. i

KATA PENGANTAR……….. iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 16

1.3 Tujuan Penelitian ... 16

1.4 Manfaat Penelitian ... 17

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 17

1.4.2 Manfaat praktis ... 17

1.5 Penjelasan Istilah ... 18

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA ... 21

2.1 Konsep ... 22

2.1.1 Konsep Tradisi lisan ... 21

2.1.2 Konsep Kearifan Lokal ... 26

2.1.3 Konsep Baralek Gadang ... 29

2.1.3.1 Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Sebelum Baralek Gadang ... 30

2.1.3.2 Fase Baralek Gadang PadaPernikahan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga ... 34

2.1.4 Falsafah Masyarakat Pesisir Sibolga ... 36

2.2 Landasan Teori ... 37

2.2.1 Pendekatan Semiotik Sosial ... 37

2.2.1.1 Semiotik Sosial ... 41

2.2.2 Metafungsi Bahasa ... 46

2.2.3 Konteks Situasi ... 54

2.3 Kajian hasil penelitian yang relavan ... 58

BAB III METODE PENELITIAN ... 62

3.1 Metode Penelitian Kualitatif ... 62

3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 63

3.3 Data dan Sumber Data ... 66

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 67

3.5 Teknis Analisis Data ... 69

BAB IV KONTEKS SOSIAL BARALEKGADANG ... 73

4.1 Konteks Sosial ... 73

4.1.1. Konteks budaya Baralek Gadang Pada Pernikahan Adat Sumando ... 74


(12)

4.1.1.1 Fase Risik-Risik ... 78

4.1.1.2 Fase Sirih Tanyo ... 79

4.1.1.3 Fase Marisik ... 80

4.1.1.3.1 Sub fase Talangke berbalas Pantun ... 80

4.1.1.4 Fase Maminang ... 81

4.1.1.5 Fase Manganta Kepeng ... 82

4.1.1.5.1 Sub-Fase Upacara Keberangkatan ke Rumah Anak Daro ... 83

4.1.1.5.2 Sub-Fase Upacara Penyambutan di Rumah Anak Daro ... 84

4.1.1.5.3 Sub-Fase Upacara Prakata Kepala Desa dan Tokoh Adat ... 84

4.1.1.5.4 Sub-Fase Penetapan Sangsi ... 85

4.1.1.5.5 Sub-Fase Pengambilan Hari Barinai ... 86

4.1.1.6 Fase Mato Karajo ... 86

4.1.1.6.1 Sub-Fase Tepung tawar, Bakonde, dan Mandi limo ... 87

4.1.1.6.2 Sub fase pemberangkatan marapule dan penyambutan di rumah anak daro ... 88

4.1.1.6.3 Sub-Fase Upacara Akad Nikah ... 89

4.1.1.6.4 Sub-fase Upacara Makan Beradat ... 90

4.1.1.6.5 Sub-Fase-penyerahan dan penerimaan Marapule ... 93

4.1.1.6.6. Sub-Fase Resepsi Pernikahan ... 94

4.1.1.7 Acara Balik Ari ... 94

4.1.2 Konteks situasi Baralek Gadang ... 95

4.1.2.1 Konteks situasi Risik-risik atau Sirih tanyo ... 97

4.1.2.2 Konteks situasi Marisik ... 99

4.1.2.3 Konteks Situasi Maminang ... 113

4.1.2.4 Konteks Situasi Manganta Kepeng ... 115

4.1.2.5 Konteks Situasi Mata Karajo…………. ... 118

4.1.2.5.1 Konteks Situasi Penyambutan Marapule ………… ... 119

4.1.2.5.2 Konteks Situasi Penyerahan dan Penerimaan Marapule ... 120


(13)

BAB V MAKNA INTERPERSONAL BARALEK GADANG

DAN KONTEKS SOSIAL ... 128

5.1 Makna Teks BG Pada Upacara Perkawinan Adat Sumando ... 128

5.1.1 Makna Teks Risik-risik Baralek Gadang ... 129

5.1.2 Makna teks Marisik ... 133

5.1.3 Makna teks Maminang BG ... 158

5.1.4 Makna teks Manganta Kepeng/Batunangan ... 163

5.1.5 Makna Teks Mata Karajo BG ... 168

5.1.5.1 Teks mangarak Marpule ... 168

5.1.5.2 Makna Teks Penyerahan dan Penerimaan Marapule ... 171

5.2 Makna Konteks Sosial BG pada Upacara Perkawinan Adat Sumando ... 184

5.2.1 Makna Sosial budaya Marisik ... 184

5.2.2 Makna Sosial budaya Makan Sirih ... 185

5.2.3 Makna Sosial budaya Musyawarah ... 186

5.2.4 Makna Sosial Budaya Meminang Dan Mengantar Uang ... 187

5.2.5 Makna Sosial Budaya Menentukan Hari Pernikahan ... 189

5.2.6 Makna Sosial Budaya Mengundang Famili Dan Keluarga ... 189

5.2.7 Makna Sosial Budaya Memakai Inai ... 190

5.2.8 Makna Sosial Budaya Tepung Tawar, Bakonde dan Mandi Limo ... 191

5.2.9 Makna Sosial Budaya Mengantar Dan Menyambut Marapule ... 192

5.2.10 Makna Sosial Budaya Akad Nikah ... 193

5.2.11 Makna Sosial Budaya Pembacaan Ta‟liq ... 196

5.2.12 Makna Sosial Budaya Makan Beradat ... 198

5.2.13 Makna Sosial Budaya Penyerahan dan Penerimaan Marapule ... 199

5.2.14 Makna Sosial Budaya Mengarak Kedua Mempelai dengan Sikambang ... 200

5.2.15 Makna Sosial Budaya Basikambang ... 202

5.2.16 Makna Sosial Budaya Basanding ... 202

5.2.17 Makna Sosial Budaya Pakaian Pengantin ... 204

5.2.18 Makna Sosial Budaya Menghias Rumah ... 206

5.2.19 Makna Sosial Budaya Resepsi Pernikahan ... 207

5.2.20 Makna Sosial Budaya Mengantar Mempelai Perempuan ke Rumah Suaminya ... 209

BAB VI KEARIFAN LOKAL PADA TRADISI LISAN BARALEK GADANG ... 211

6.1. Agama Islam sebagai dasar Sosial Baralek Gadang ... 211

6.2. Kearifan Lokal Dalam Tradisi Lisan “Baralek Gadang” ... 216


(14)

6.2.2 Kearifan Menjaga Budaya ... 219

6.2.3 Kearifan Menjaga Kesopansantunan ... 221

6.2.4 Kearifan Menjaga Nilai Kejujuran ... 222

6.2.5 Kearifan Mendidik ... 223

6.2.6 Kearifan Membentuk Kesejahteraan ... 225

6.2.7 Kearifan Bermusyawarah ... 226

6.2.8 Kearifan Bergotong-Royong ... 227

6.2.9 Kearifan Menghormati Tamu ... 228

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 230

7.1 Simpulan ... 230

7.2 Saran ... 231

DAFTAR PUSTAKA ... 232

Lampiran 1 DAFTAR PERTANYAAN ... 236

Lampiran 2 BIODATA INFORMAN ... 237

Lampiran 3 TEKS ... 238


(15)

TRADISI KELISANAN BARALEK GADANG PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT SUMANDO MASYARAKAT PESISIR

SIBOLGA: PENDEKATAN SEMIOTIK SOSIAL

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial. Tujuan penilitian ini adalah pertama, untuk mendeskripsikan dan mencari makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga; kedua, untuk menemukan kearifan lokal yang terkandung pada proses baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) oleh Halliday (1978), yang menekankan pada pembahasan konteks budaya dan konteks sosial. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif yang dilakukan dengan cara merekam dan mewawancarai narasumber secara langsung. Hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando masyarakat Pesisir Sibolga bergeser karena dipengerahui oleh konteks sosial meliputi konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi dipengaruhi oleh medan (field), pelibat (tenor), sarana (mode). Tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga mengandung 9 nilai kearifan lokal yang merupakan pedoman hidup masyarakat Pesisir Sibolga, yaitu: (1) kearifan berhubungan dengan Allah SWT; (2) kearifan menjaga budaya; (3) kearifan menjaga kesopansantunan; (4) kearifan menjaga nilai kejujuran; (5) kearifan mendidik; (6) kearifan membentuk kesejahteraan; (7) kearifan mempertahankan komitmen; (8) kearifan bergotong royong; dan (9) kearifan menghormati tamu.


(16)

TRADISI KELISANAN BARALEK GADANG PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT SUMANDO MASYARAKAT PESISIR

SIBOLGA: PENDEKATAN SEMIOTIK SOSIAL

ABSTRACT

This research is entitled Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial. This research aims to: (1) describe and find the meaning of social semiotic of the oral tradition of baralek gadang of sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community, and (2) find out the local wisdom of baralek gadang process of Sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community. The theory applied is Semiotic Functional Linguistic (SFL) theory proposed by Halliday (1978), to analyze social and cultural contexts. This research uses qualitative method by interviewing and recording. The results are (1) the meaning of social semiotic of the oral tradition of baralek gadang of Sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community changes because of social context; situational and cultural contexts. Situational context is influenced by field, tenor and mode. (2) the oral tradition of baralek gadang of Sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community contains 9 local wisdom meaning as life guidance of Sibolga coastal community, namely (1) wisdom relating to Allah SWT; (2) wisdom to rehabilitate culture; (3) wisdom to rehabilitate politeness; (4) wisdom to rehabilitate honesty value; (5) wisdom to educate; (6) wisdom to produce prosperity; (7) wisdom to keep commitment; (8) wisdom to cooperate; and (9) wisdom to respect guests.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kota Sibolga merupakan salah satu daerah yang terletak di Provinsi Sumatera Utara. Masyarakatnya yang multietnik menjadikan daerah ini terkenal dengan semboyan “Negeri berbilang kaum”. Berdasarkan administratif pemerintahan, Kota Sibolga terdiri dari empat kecamatan, yakni: (a) Kecamatan Sibolga Kota, (b) Kecamatan Sibolga Utara, (c) Kecamatan Sambas, dan (d) Kecamatan Sibolga Selatan. Ke empat Kecamatan ini dihuni oleh berbagai etnik, seperti etnik Melayu 2.382 jiwa, Karo 425 jiwa, Simalungun 295 jiwa, Tapanuli/Toba 45.695 jiwa, Mandailing 4.612 jiwa, Pakpak 164 jiwa, Nias 6.293 jiwa, Jawa 5.283, Minang 8.793 jiwa, Cina 3.496 jiwa, Aceh 2.613, suku lainnya 1.690 jiwa. Total keseluruhan berjumlah 81.699 jiwa (Hasil Sensus Dinas Kependudukan kota Sibolga Thn 2000)

Masyarakat Pesisir Sibolga hidup dalam sebuah kebudayaan. Menurut Ki. Hajar Dewantara yang dikutip oleh Supartono (2009:31) kebudayaan berarti buah budi manusia dan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman. Kebudayaan merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya. Semua ini dilakukan untuk mencapai keselamatan dan kebahagian yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Kebudayaan yang berkembang di Sibolga disesuaikan dengan masyarakatnya yaitu masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang terbentuk adalah


(18)

kebudayaan pesisir. Takari, dkk (2008:124) menyatakan bahwa kebudayaan masyarakat pesisir adalah merupakan melting pot (creole) antara keturunan beberapa kelopok etnik, seperti: Minangkabau, Batak Toba, Mandailing-Angkola, dan Melayu. Dalam masa yang panjang terus berinteraksi dan membentuk sebuah kebudayaan, yang kemudian mengidentitaskan kebudayaannya sendiri sebagi kebudayaan etnik Pesisir. Pada masa kini, dalam konteks pembangunan di Indonesia, masyarakat Pesisir ini, biasanya dikategorikan pula sebagai sebuah kelompok etnik.

Kebudayaan pesisir meliputi; (1) kesenian pesisir terdiri dari kesenian sikambang, tari-tarian, alat musik, tatarias pengantin, nama pelaminan, pernak pernik pelaminan, irama vokal; (2) adat istiadat pesisir terkenal dengan adat sumando; (3) masakan khas pesisir seperti kue dan gulei (Pasaribu, 2008:54, 81,273).

Adat istiadat adalah merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Menurut Soedarsono (dalam Pasaribu, 2008:54) menyatakan bahwa adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia, baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, dalam menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa adat merupakan kebiasaan dari satu masyarakat dalam mengatur dan memberi buah pikirannya untuk menghasilkan karya dan dijadikan sebagai sarana pendukung pada masyarakat itu sendiri.

Masyarakat yang beradat akan lebih tertib dalam menjalankan berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat. Begitu pula halnya dengan adat istiadat perkawinan, memiliki fungsi sebagai pedoman tingkah laku manusia dalam


(19)

melaksanakan upacara perkawinan. Masyarakat Pesisir Sibolga memiliki adat istiadat yang disebut dengan adat sumando. Menurut Panggabean, dkk. (1995:191) sumando adalah satu kesatuan ruang lingkup kebudayaan suku Pesisir, yang meliputi adat istiadat, kesenian, bahasa, makanan dan lain-lain. Dari kutipan di atas maka dapat dikatakan bahwa masyarakat pesisir Sibolga memiliki adat istiadat perkawinan yang khas, disebut dengan nama perkawinan adat sumando.

Adat sumando secara umum berdasar kepada ajaran-ajaran agama Islam. Konsepnya tercermin dalam adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Artinya adat sumando pada suku Pesisir mendasarkan ide, pelaksanaan, dan penghayatannya pada ajaran-ajaran Islam.

Dalam Islam dan kebudayaan Pesisir, manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia sebagai makhluk individu memiliki berbagai kelebihan alamiah yang dianugerahi oleh Allah. Selain itu, manusia biasanya membentuk kelompok sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja berbentuk keluarga inti, keluarga luas (batih), etnik, kelompok profesi, ras, bangsa dan seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting agar manusia tidak musnah di muka bumi. Oleh sebab itu, manusia dianugerahi Tuhan untuk meneruskan keturunan ini melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh norma-norma agama dan adat. Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat.

Dalam Al-Qur‟an dijelaskan bahwa di antara kumpulan manusuia di dunia ini pernah eksis dan akhirnya dimusnahkan oleh Allah, karena berbagai sebab


(20)

terutama moralitas. Di antara kelompok manusia yang pernah ada dan kemudian dimusnahkan Allah adalah suku Ad, Tsamud, Madyan, kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh, dan lain-lainnya. Kaum Nabi Luth misalnya, dimusnahkan Allah karena para kaum lelakinya menyukai sesama lelaki. Kalau praktik sebegini dibiarkan, tentu saja generasi manusia akan musnah, karena hubungan seksual antara lelaki dengan lelaki atau antara perempuan dengan perempuan dapat dipastikan tak akan dapat menghasilkan generasi manusia baru. Yang benar adalah hubungan antara lelaki dan perempuan yang sihat roh dan fisiknya, disahkan agama, berhubungan suami-isteri, insya Allah akan menghasilkan generasi manusia. Agar generasi yang baru ini menjadi pintar, sehat, saleh, dan menjadi rahmat kepada orang lain dan lingkungan sekitar, maka diperlukan pendidikan, baik pendidikan agama atau ilmu lainnya.

Seorang pakar antropologi Eropah, Gough (1959) melihat perkawinan, di sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat-istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang bisa diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas wanita yang diperoleh berdasarkan kotrak sosial.

Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak, yaitu seorang (lelaki atau perempuan, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang perempuan secara seksual. Hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan


(21)

yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13).

Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan pada perkawinan monogami, adapula yang membolehkan poligami, namun ada pula yang membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial dan moralitas umum, yaitu perkawinan poliandri, yaitu satu perempuan kawin dengan dua atau lebih suami. Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang lelaki atau lebih bisa bersama-sama menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dihubungkan dengan ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi perempuan. Sebagai contoh, di Himalaya, poliandri dilakukan karena tujuannya mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan pertanian terbatas luasnya. Dalam Islam praktik demikian amatlah dilarang. Begitu juga hubungan incest. Semua ini adalah aturan Allah bagi makhluk manusia ciptaan-Nya, agar manusia menjadi rahmat kepada alam, bukan merusak alam atau generasi keturunannya.

Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan. Agama Kristen (Protestan dan Katholik) secara umum hanya membenarkan satu laki-laki kawin dengan satu perempuan. Namun demikian, beberapa sekte agama ini (misalnya Mormon di Amerika Serikat) membenarkan perkawinan poligami. Dalam Islam pula, sesuai dengan panduan Al-Qur‟an satu laki-laki Islam bisa kawin dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu adil. Allah mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku


(22)

adil kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi pembelajaran ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan dibandingkan lelaki. Agar perempuan-perempuan dapat suami, maka tentu saja secara umum harus ada laki-laki yang beristeri lebih dari satu untuk melakukan respons terhadap eksistensi jenis kelamin yang penuh dengan rahasia Ilahi. Dalam realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara monogami. Selengkapnya tentang aturan poligami dalam Islam lihat Al-Qur‟an surat Annisa ayat 3 berikut ini.

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil1, maka (kawinilah) seorang saja,2 atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara pusingan (siklus) hidup manusia. Siklus hidup manusia biasanya dimulai dari

1

Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam memenuhi keperluan isteri seperti pakaian, makanan, perhiasan, kesehatan, hiburan, tempat tinggal, giliran kunjungan, rasa aman, dan lain-lain yang bersifat lahiriah.

2

Islam memperkenankan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad S.A.W. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. Bagi Allah sebagai pencipta manusia, pastilah tahu dan paham betul, bahwa kemampuan maksimum manusia untuk berkawin adalah satu lelaki dengan empat wanita, kalau lebih pasti tidak mampu, terutama untuk berlaku adil terhadap


(23)

sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki anak, memasuki keorganisasian, kematin, pascakematian, dan seterusnya.

Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan manjaga peradaban manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan hidup, membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, dan sebagainya. Dalam hal ini agama dan adat memegang peran utama dalam upacara perkawinan. Pengabsahan perkawinan selalu melibatkan para pemuka agama pada semua agama di dunia. Ritual perkawinan melibatkan aspek adat dan agama sekali gus. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Pesisir, yang wilayah budayanya mencakup Tapanuli Tengah dan Sibolga di pantai barat Provinsi Sumatera Utara.

Menurut Pasaribu (2011: 2) kata sumando dalam bahasa Batak artinya cantik dan sesuai, yang artinya secara mendalam adalah besan berbesan. Sementara Pengertian adat sumando adalah mencakup tatacara adat pernikahan daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga antara lain: sejak mulai dari marisik sampai kepada acara saling kunjung kepada keluarga kedua belah pihak atau sering disebut tapanggi.

Menurut Panggabean dkk. (1995:193) mengenai asal mulanya, adat sumando berasal dari pulau Poncan, diawali dengan perpindahan penduduk dari Poncan ke Sibolga, dan kemudian berkembang ke seluruh daerah Tapanuli Tengah. Istilah sumando berasal dari kata suman dalam bahasa Batak berarti serupa, atau terjemahan bebasnya dipasuman-suman. Kemudian kata suman itu berobah menjadi sumando artinya hampir serupa tetapi tidak sama dengan adat


(24)

sumando yang ada pada suku Minangkabau yang ada di Sumatera Barat dan sekitarnya. Pasaribu (2008:5) mengatakan bahwa pengukuhan adat tersebut dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1851 dihadapan Residen Conprus (Belanda) dan selanjutnya dapat dipergunakan sebagai pedoman.

Pada mulanya adat yang tertinggi berada pada Raja atau Kuria. Seterusnya tingkat pelaksanaan adat berada pada empat lapisan, yaitu: fakir miskin dada, orang miskin lamukku,Ata orang kayo dan keturunan raja Bare(hasil wawancara 10 Desember 2012 dengan Bapak Fahrudin Sinaga).

Menurut Panggabean, dkk. (1995:193) bahwa ketentuan-ketentuan perkawinan dalam adat sumando tersebut adalah sebagai berikut.

a. Pernikahan dapat terjadi apabila pria meminang wanita terlebih dahulu dengan menyerahkan sejumlah uang atau barang. Uang atau barang disebut mahar, sebagai tanda pengikat, bahwa pada waktu tertentu akan dilangsungkan pernikahan nantinya dilaksanakan ijab qabul di hadapan wali dan saksi. Adat sumando tidak mengenal tuhor atau jujuran seperti dalam pernikahan adat Batak.

b. Tanggung jawab rumah tangga dan keluarga berada pada pihak pria. Anak yang dilahirkan memakai marga dari suku orang tua laki-laki.

c. Mengenai pembagian harta pusaka berlaku berjenjang naik, berjenjang turun. Jumlah harta pusaka diterima seseorang bergantung pada jauh dekatnya hubungan kekeluargaan,namun demikian harta pusaka tempat tinggal tinggal (r4umah) diprioritaskan menjadi bagian hak wanita. Pembagian harta warisan di antara yang bersaudara pria dan wanita


(25)

menjadi 1:1, dengan demikian bukan menurut hukum faraid dan bukan pula adat Batak.

d. Apabila terjadi perceraian diantara suami istri maka suami meninggalkan rumah kediaman sedangkan istri tetap tinggal menempati rumah itu. Mengenai harta pembawaan dan yang diperoleh selama pernikahan (harta gonogini) ditentukan kemudian.

Adat Sumando merupakan “campuran” dari hukum Islam, adat Minangkabau, dan adat Batak. Artinya semua hal-hal yang baik diterima dan yang tidak sesuai dengan tatakrama dan sikap hidup sehari-hari masyarakat Pesisir diabaikan. Itulah disebut dengan adat bersandi sarak dan sarak bersandi kitabullah artinya adat berdampingan dengan kebiasaan atau perilaku dan perilaku berlandaskan kepada kitab Allah (wawancara dengan Bapak Fahrudin Sinaga)

Orang sumando mempunyai motto yakni Bulek ai dek dipambulu, bulek kato dek mufakat, dek saiyo mangko sakato, dek sakato mangko sapakat. Artinya semua permasalahan pada akhirnya diputuskan lewat musyawarah, dan dalam musyawarah itu akan disatukan pendapat dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang terbaik (wawancara dengan bapak Fahrudin Sinaga).

Adat istiadat dan budaya masyarakat Sibolga pada khususnya dan budaya Melayu pada umumnya, selalu melakukan prosesi upacara adat perkawinan dengan tradisi kelisanan. Tradisi kelisanan pada masyarakat pesisir Sibolga dilakukan untuk menyampaikan maksud dan tujuan dilakukannya suatu upacara. Upacara perkawinan adat sumando pada masyarakat Pesisir Sibolga meliputi: risik-risik, sirih tanyo, maminang, manganta kepeng, mata karajo (akad nikah), dan balik ari.


(26)

Proses pelaksanana upacara pernikahan adat sumando pada masyarakat pesisir Sibolga, tidak terlepas dengan budaya tradisi lisan. Tradisi lisan selalu digunakan sebagai media untuk menunjang terlaksananya acara dengan baik dan sempurna. Selain dari pada itu, tradisi lisan juga mencakup pelbagi pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan.

Dalam pelaksanaan upacara pernikahan ini, selalu digunakan kalimat-kalimat, pantun, pribahasa, talibun, dan lkain-lainnya yang diucapkan oleh telangke baik dari pihak perempuan maupun laki-laki calon mempelai. Tradisi lisan ini merupakan ekspresi dari filsafat hidup etnik Pesisir di Sibolga dan Tapanuli Tengah. Contoh pantun, kalimat, talibun, dan sejenisnya itu dapat dilihat pada contoh cuplikan konteks berikut ini.

(a) Pantun

Bahasa Pesisir Arti dalam Bahasa Indonesia Anak Cino babaju sitin

Ala sitin cukolat pulo Ambo hino lagipun miskin Ala miskin mularat pulo

Anak Cina berbaju satin Berbaju satin cokelat pula Hamba hina lagi pun miskin Sudah miskin melarat pula (b) Talibun

Bahasa Pesisir Arti dalam Bahasa Indonesia Ala gaharu cindano pulo

Kok ala tau mangapo batanyo pulo

Sudah gaharu cendana pula Sudah tahu mengapa bertanya pula

(c) Kalimat-kalimat adat sumando saat marisik:

Bahasa Pesisir Arti dalam Bahasa Indonesia

Assalamu‟alaikum

warahmatullahi wabarakatuh, Syukur alhamdulillah marilah sama-sama kita haturkan

Assalamu‟alalikum warahmatullahi wabarakatuh,

Syukur alhamdulillah marilah sama-sama kita ucapkan ke


(27)

keharibaan Allah SWT, karena atas rahmatnya berupa kesehatan dan kelapangan langkah, sehingga kito dapek bakumpu di rumah kami ko.Seiring salam dan salawat kito kapado Rasulullah Muhammad SAW nan ala mambaok kito dari alam nan kalam kapado alam nan panuh kebahagian sampei saat kiniko. Sadang mato hari basinar tarang, angin bahambus manyapu alam, sadang ambun bararak tenggi, ruponyo manjadi tando tamu datang karumah kamiko. Duduk di pondok dagang sangsei, na mambuek hati raso kasanang. Kadatangan dusanak ka rumah kamiko, harapan kami manjadi sabuah kahormatan bagi kami urang nan kurang budi, miskin pulo bahaso.

haribaan Allah SWT, karena atas rahmat-Nya berupa kesehatan dan kelapangan langka, sehingga kita dapat berkumpul di rumah kami ini. Seiring salamn dan salawat kita kepada Rasulullah Muhammad SAW yang membawa kita dari alam yang kelam kepada alam yang penuh kebahagiaan sampai saat kini. Sedang matahari bersinar terang, angin berhembus menyapu alam, sedang awan berarak tinggi, rupanya menjadi tanda tamu datang ke rumah kami ini. Duduk di rumah kami apa adanya, membuat hati merasa senang. Kedatangan para tamu ke rumah kami ini, harapan kami menjadi kehormatan bagi kami sebagai orang yang kuyrang budi, serta miskin pula bahasa kami.

Sebait pantun di atas mencerminkan diri bahwa hamba (yang merujuk kepada pengantin pria) adalah seorang yang miskin dan melarat. Artinya sang hamba tersebut tidak memiliki harta dunia sebagaimana yang selalu disyaratkan dalam semua perkawinan di dunia ini. Ini adalah bentuk dari ekspresi diri yang merendah-rendahkan kedudukan, yang lazim dilakukan dalam budaya Pesisir. Orang yang merendah-rendah seperti itu dipandang sebagai ekspresi rendah hati dan tidak sombong. Pantun ini terdiri dari empat baris dalam sebait. Baris pertama dan kedua adalah sampiran, sementara baris ketiga dan keempat adalah isi. Antara sampiran dan isi biasanya memiliki kaitan yang erat pula secara kebahasaan.

Contoh kedua adalah talibun atau karmina yaitu pantun yang terdiri dari dua rangkap atau baris. Talibun ini adalah menggunakan kata-kata yang umum dijumpai di dalam budaya Pesisir. Ala gaharu cindano pulo/ Kok ala tau mangapo


(28)

batanyo pula. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula, atau pura-pura saja tidak tahu sebenarnya sangat tahu.

Pada contoh ketiga terdapat kalimat-kalimat dalam bahasa Pesisir, yang mengekspresikan ajaran-ajaran Islam, seperti ucapan salam, syukur kepada Allah sebagai Tuhan, salam dan salawat kepada nabi Muhammad, dan lain-lain. Inti dari paragraf ini adalah mengucapkan selammat datang kepada tetamu (dari pihak pengantin laki-laki) yang datang ke pihak rumah pengantin wanita. Dalam wacana ini terdapat makna-makna budaya dan kearifan lokal. Misalnya bahwa sebagai tuan rumah biasanya pihak perempuan selalu merendahkan keadaan. Demikian juga pihak tetamu selalu merendah-rendahkan keadaannya, tidak meninggi apalagi menyombongkan diri.

Menurut Endaswara (2008:151) tradisi lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut kemulut secara turun temurun. Adapun ciri tradisi lisan yaitu: (1) lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional; (2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu yang tidak jelas siapa penciptanya; (3) lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik; (4) sering melukiskan tradisi kolektif tertentu; (5) tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise, dan (6) tradisi lisan sering bersifat menggurui.

Tradisi lisan yang paling sering atau populer dalam kehidupan masyarakat pesisir Sibolga adalah baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando. baralek gadang merupakan salah satu tradisi lisan pada masyarakat Pesisir Sibolga, yang dimulai dari marisik sampai balik ari. Baralek gadang berasal dari


(29)

dua kata, yaitu baralek dan gadang. Baralek artinya perhelatan, sementara gadang artinya besar (wawancara dengan bapak Fahrudin Sinaga.

Kata kelisanan dalam penelitian ini hanya merupakan suatu istilah yang dipakai dalam menjelaskan BG pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga yang menggambarkan situasi komunikasi lisan. Tradisi kelisanan dengan tradisi lisan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Dalam KBBI (1984:603) didefinisikan arti dari lisan dan kelisanan itu adalah perkataan yang diucapkan dengan mulut bukan dengan tulisan.

Dalam upacara baralek gadang, yang memegang peranan penting dalam upacara adalah talangkai. Menurut Nainggolan (2005:1) talangkai merupakan orang yang memilik peranan penting dalam mengatur prosesi atau tata cara upacara sehingga nantinya dapat terlaksana dengan sempurna. Tradisi kelisanan baralek gadang mengandung makna makna semiotik sosial, dan nilai-nilai kearifan lokal, selain itu tradisi lisan berfungsi sebagai sistem nilai, pengetahuan tradisional, hukum, sistem kepercayaan, dan agama.

Menurut Sibarani (2012:112) kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Jika kearifan lokal itu difokuskan pada nilai budaya, maka dapat juga didefinisi dengan cara lain yakni kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.

Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas, maka kajian ini difokuskan untuk menganalisis tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga, serta untuk


(30)

memperlihatkan bagaimana praktik-praktik tradisi lisan pada upacara baralek gadang, terkait dengan sistem kehidupan masyarakat pesisir Sibolga. Untuk menganalisis data penelitian, peneliti menggunakan teori semiotik sosial yang dikembangkan oleh Halliday (1978). Alasan menggunakan teori semiotik sosial dalam menganalisis tradisi kelisanan baralek gadang adalah untuk memberi penjelasan bahwa kegiatan berbahasa pada tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga memiliki simbol-simbol dan makna yang saling berhubungan antara Penguasa (Tuhan) dengan alam, serta menjelaskan makna yang terkandung pada tradisi kelisanan tersebut.

Menurut Halliday (1978:108) bahasa merupakan semiotik sosial. Sistem semiotik bahasa meliputi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur-unsur konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial adalah merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan semiotik. Konsep umum yang terpenting dalam teori semiotik sosial bahasa menurut Halliday (1978:108) adalah teks, situasi, register, kode, sistem linguistik (meliputi sistem semantik), dan struktur sosial.

Selanjutnya semiotik sosial menurut Halliday (dalam Sinar, 2010:21) adalah sistem makna dan simbol yang direalisasikan melalui sistem linguistik, dalam hal ini sistem linguistik terwujud dengan penggunaan bahasa pada upacara adat berbentuk tradisi lisan. Dengan menggunakan teori semiotik sosial, peneliti mencoba untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat baik dari segi media yang digunakan selama prosesi dan mengungkapkan makna yang


(31)

terkandung dalam teks tradisi kelisanan Baralek gadang pada upacara perkawinan masyarakat pesisir Sibolga.

Pada masa sekarang pengetahuan masyarakat tentang tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando, belum dikembangkan baik melalui jalur pendidikan ataupun jalur lain, sehingga tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando pesisir Sibolga semaki hari kian terabaikan. Padahal bila dikaji dan dianalisis, makna semiotik sosial yang ada dalam tradisi lisan tersebut mengandung nilai kearifan lokal dan mengandung nilai-nilai filosofi adat dan tradisi yang terpatri pada komunitas adat tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa pertimbangan peneliti dalam menyikapi masalah ini, di antaranya.

(1) Masyarakat Sibolga merupakan masyarakat yang multietnik yang membentuk satu kesatuan budaya masyarakat Pesisir dengan motto negeri berbilang kaum, namun etnik setempat adalah etnik Pesisir, sebagai tuan rumah.

(2) Perkawinan bagi masyarakat pesisir Sibolga dikenal dengan adat sumando.

(3) Proses pernikahan adat sumando dimulai dari marisik sampai dengan tapanggi dipandu oleh seorang talangkai.

(4) Talangkai mempunyai peranan yang sangat penting dalam tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan masyarakat pesisir Sibolga. Di mana saat talangke menggunakan kata-kata dalam menyampaikan maksud dan tujuan memiliki makna kearifan lokal.

(5) Perkembangan budaya yang begitu cepat, tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga masih tetap hidup berdampingan dengan budaya modern.


(32)

1.2Rumusan Masalah

Menurut pendapat Subyantoro, dkk (2006:30) mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah: yaitu menetapkan masalah penelitian, apa yang dijadikan masalah penelitian dan apa objeknya. Untuk mengidentifikasi atau menyatakan masalah yang spesifik dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan penelitian (research question) kepada informan, namun pertanyaan tersebut belum dapat memberikan penjelasan (explanation) yang memuaskan berdasarkan teori (hukum/dalil) yang ada.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah makna-makna semiotik sosial pada tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga? 2. Nilai-nilai kearifan lokal apakah yang terdapat pada tradisi kelisanan

baralek gadang pada upacara adat Sumando masyarakat Pesisir Sibolga?

1.3 Tujuan Penelitian

Merujuk pada masalah maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan makna semiotik sosial tradisi kelisanan baralek gadang

pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga.

2. Menjelaskan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando masyarakat pesisir Sibolga.


(33)

1.4Manfaan Penelitian

Temuan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis. Adapun manfaat teoretis dan praktis dari penelitian ini dapat diuraikan seagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis kiranya penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Memperkaya kajian linguistik pada umumnya dan makna semiotik sosial secara spesifik.

b. Memperkaya kajian tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga sebagai kajian yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal.

c. Menjadi bahan acuan bagi para peneliti yang memfokuskan pada bidang budaya dan bahasa, terutama kajian adat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Mengetahui tradisi kelisanan Baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando masyarakat Pesisir Sibolga.


(34)

b. Mengetahui makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi kelisanan Baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando Pesisir Sibolga serta nilai kearifan lokal.

c. Memberikan pengetahuan tentang bagaimana upacara baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando Pesisir Sibolga.

d. Sebagai upacara lanjutan guna melestarikan adat istiadat, budaya yang mulai ditinggalkan komunitas pemakainya, sehingga dapat terjaga nilai-nilai adat dan budaya sebagai kearifan lokal untuk mempersatukan masyarakat pemakainya.

e. Dapat memberikan masukan pemikiran kepada pemerintah kota Sibolga dan semua pihak yang terkait untuk dapat melestarikan tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando masyarakat Pesisir Sibolga.

1.5 Penjelasan Istilah

Pada tulisan ini digunakan beberapa istilah yang memiliki makna berbeda dengan ilmu diluar ilmu linguistik, oleh karena itu penjelasan istilah pada penelitian ini dimaksudkan agar ada persamaan persepsi mengenai istilah yang digunakan. Penggunaan istilah tersebut sesuai dengan konsep istilah pada bidang linguistik, istilah tersebut yaitu:

1. Menurut Pudentia (2008:184) tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti


(35)

kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi serta berbagai hasil seni.

2. Nilai adalah sesuatu yang sesuai dengan norma ideal menurut masyarakat pada masa tertentu. Selanjutnya Barthes (1957:140-142) mengatakan ada tiga ciri - ciri nilai, yaitu : (1) nilai yang berkaitan dengan subjek; (2) nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subjek ingin membuat sesuatu; (3) nilai menyangkut sifat yang „ditambah‟ oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh objek, nilai tidak dimiliki oleh objekpada dirinya.

3. Menurut Pateda (2001:28) mengatakan semiotik adalah kajian tentang sistem tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda.

4. Sumando menurut Panggabean, dkk (1995:191) adalah satu kesatuan ruang lingkup kebudayaan suku pesisir; terdiri dari adat istiadat pesisir, kesenian pesisir, bahasa pesisir dan makanan pesisir.

5. Sinar (2011:167) mengatakan bahwa kearifan lokal adalah merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki sekelompok (etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalamannya hidup secara terwujud dalam ciri budaya yang dimilikinya.

6. Soedarsono (dalam Pasaribu, 2008:65) mengatakan perkawinan adalah suatu ikatan batin antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri, dengan tujuan membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.

7. Upacara menurut Harsojo (dalam Pasaribu, 2011:35) adalah sistem keyakinan atau rangkaian yang diatur oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa,


(36)

yang biasa terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan, satu kegiatan pesta tradisional yang di atur menurut tata dan adab atau hukum di masyarakat dalam rangka memperingati peristiwa-peristiwa, dengan ketentuan adat yang bersangkutan

8. Risik-risik adalah suatu kegiatan pihak keluarga lelaki untuk menyelidiki anak wanita yang bakal menjadi calon istri (Pasaribu, 2011:8)

9. Maminang adalah meminta seorang perempuan untuk dijadikan istri untuk anak laki-laki (Pasaribu, 2011:9)

10.Sirih tanyo adalah sirih selengkapnya yang merupakan syarat yang diberikan oleh calon marapule kepada orang tua anak perempuan yang dipinang (hasil wawancara dengan bapak Fahrudin Sinaga)

11.Manganta kepeng artinya mengantar uang mahar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. (hasil wawancara dengan bapak Rajoki nainggolan dan bapak Fahrudin Sinaga)

12.Mata karajo adalah hari dilaksanakannya akad nikah (Pasaribu, 2011:36) 13.Manjalang-jalang menurut Pasaribu (2011:26) adalah mohon doa restu

kepada orang tua sebelum akad nikah dilaksanakan.

14.Baralek gadang adalah perhelatan besar, umumnya diadakan untuk menyambut atau merayakan suatu moment penting dalam kehidupan masyarakat(hasil wawancara dengan Bapak Fahrudin Sinaga).


(37)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

Pada Bab sebelumnya telah dijelaskan latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan, kemudian yang menjadi pembahasan dari penelitian ini dan tujuan serta manfaat dari penelitian. Pada bagian ini dibagi menjadi tiga yakni konsep, landasan teori, dan kajian pustaka. Konsep yakni meliputi tradisi lisan BG, kearifan lokal BG, dan baralek Gadang pada pernikahan adat Somando masyarakat pesisir Sibolga. Landasan teori yang digunakan pada penelitian ini adalah LFS (Linguistik Sistemik Fungsional) yang dikemukakan oleh Halliday, alasan peneliti memilih teori LFS adalah untuk melihat dan menemukan perbedaan makna semiotik dan makna interpersonal antara tatabahasa formal dengan tatabahasa fungsional yang terdapat pada teks. Selanjutnya pada bagian ini juga dijelaskan mengenai kajian pustaka yang memiliki hubungan atau kontribusi terhadap penelitian ini.

2.1 Konsep

Pada bagian ini peneliti berusaha untuk menganalisis beberapa pengertian-pengertian yang ada kaitannya dengan pembahasan masalah dalam penelitian ini, dan bagian – bagian itu perlu diuraikan untuk memberikan kejelasan yang benar terhadap permasalahan sebagai berikut: pengertian dari tradisi lisan, kearifan lokal, dan baralek gadang, berdasarkan pada konsep teori. Selanjutnya penjabarannya untuk lebih detilnya adalah seperti berikut.


(38)

2.1.1 Konsep Tradisi Lisan

Tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan pada masyarakat tertentu. Menurut Pudentia (2008:184). Tradisi lisan bukan hanya mengandung cerita mitos dan dongeng, akan tetapi juga mengandung berbagai hal-hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum, pengobatan, sistem kepercayaan (religi), hasil seni dan upacara adat, seperti adat perkawinan yang dimiliki komunitas adat sebagai pemilik tradisi lisan tersebut adalah bagian dari tradisi lisan.

Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk kebudayaan, oleh karena itu perlu dijaga agar tetap lestari. Salah satu usaha untuk menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan kekayaan intelektual budaya Indonesia, yakni melalui penelitian yang terstruktur dan berkelanjutan. Sumber utama kajiannya adalah penutur, nara sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti yang meliputi masyarakat pemilik atau pendukung yang berkaitan. Di samping tradisi dan narasumber utamanya yang masih hidup atau merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori tradisi lisan (Pudentia, 2008:259).

Sementara menurut Sibarani (2012:47) Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi kegenerasi lain baik tradisi lisan itu berupa susunan


(39)

kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan (non verbal). Oral traditions are the Community‟s traditionally cultural activities inheritied orally from one generation to the other generations either the tradition is verbal or non-verbal.

Lebih lanjut Sibarani (2012:43-46) mengemukakan ada beberapa ciri Tradisi lisan yaitu:

1. Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.

2. Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaanya. 3. Dapat diamati dan ditonton.

4. Bersifat tradisional. Ciri tradisi lisan ini harus mengandung unsur warisan etnik baik murni bersifat etnik maupun kreasi baru yang ada unsur etnik.

5. Diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan itu diwariskan dari satu generasi kegenerasi lain.

6. Proses penyampain dari mulut ke telinga. Ciri inilah yang menjadikan kebiasaan atau budaya bukan lisan (non-verbal culture) tergolong tradisi lisan karena budaya bukan lisan itu, seperti adat istiadat, disampaikan orang tua dari mulut melalui berbicara sampai ketelinga anak-anaknya melalui mendengar. 7. Mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya.

8. Memiliki versi-versi.

9. Milik bersama komunitas tertentu atau milik semua masyarakat secara kolektif.


(40)

10. Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya.

Dari penjelasan di atas maka perlu sekali membangun sebuah paradigma yang melihat tradisi lisan sebagai sebuah kekuatan, dapat dibuktikan di mana sebagian masyarakat kita mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain termasuk kekuatan hegemoni dan kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi lisan merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah komunitas masyarakat pemakainya.

Pada tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan masyarakat penghasilnya. Keduanya sangat tergantung satu sama lain. Tanpa masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi diteruskan. Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting, khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah hidup dan sudah menyatu pada komunitas tersebut.

Memahami nilai-nilai dengan baik, maka perlu dilakukan perbandingan dengan fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap orang, walaupun menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut dapat berbeda-beda. Pengetahuan tradisional memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung tradisi mengatasi tantangan alam dan lingkungan sekitarnya dengan menghasilkan teknologi untuk menguasinya. Sedangkan kearifan lokal memungkinkan masyarakat yang bersangkutan memahami alam dan lingkungannya. Begitu pula halnya dengan tradisi kelisanan pada masyarakat


(41)

pesisir Sibolga, walaupun sudah mengalami perkembangan, tetapi tetap tidak melepaskan diri dari norma-norma tradisi yang telah berlaku turun temurun.

Tradisi kelisanan pada masyarakat Sibolga memiliki tatanan atau aturan yang tertib dipimpin oleh seseorang yang disebut talangke. Talangke berfungsi sebagai pemandu jalannya upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga. Keputusan akhir upacara adat yang berwujud tradisi lisan diputuskan oleh tokoh adat dan diketahui kepala desa.

Upacara perkawinan khususnya dan pada upacara adat pada umumnya, setiap keputusan yang diambil oleh tokoh adat bersama dengan kepala desa melalui proses upacara adat istiadat yang panjang dan bertele-tele, tetapi tetap dengan jalan musyawarah dan merupakan keputusan bersama. Pada upacara adat istiadat ini juga setiap orang diposisikan sesuai dengan hubungan kekerabatanya. Sehingga tidak jarang sesorang yang tidak diberi kesempatan untuk menempati posisi yang selayaknya dia peroleh pada acara adat istiadat tersebut, dia merasa kurang dihargai (Pasaribu, 2011:5)

Tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga yang dianalisis dalam wujud teks lisan, teks lisan tersebut dituliskan, kemudian yang dianalisis adalah makna semiotik dan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada upacara perkawinan adat masyarakat pesisir Sibolga, dengan pendekatan semiotik sosial.

Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya. Sistem pewarisan pembentukan identitas, perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: perlindungan,


(42)

preservasi, dan revitalisasi tradisi lisan, yaitu tradisi lisan pada pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga.

Hal ini menurut Fortes (dalam Tilaar, 2000: 54-55) dari pewarisan budaya ada variabel-variabel yang perlu dicermati yakni; unsur-unsur yang ditransmisikan/diwariskan, proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Dalam hal ini unsur-unsur yang diwariskan adalah nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi masyarakat, dan pandangan-pandangan hidup masyarakat yang mengandung kearifan, kebenaran esensial, dan ide.

2.1.2 Konsep Kearifan lokal

Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang sepatutnya secara terus-menerus harus tetap dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal atau berhubungan dengan khalayak umum.

Selanjutnya Sibarani (2012:1) mengemukakan bahwa kearifan lokal adalah remembering the past, understanding the present, and preparing the future “mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan masa depan”. Maksudnya adalah mengingat masa lalu berarti berusaha untuk menggali tradisi masa lalu, mengindentifikasi masa lalu berarti menggali tardisi masa lalu itu, memilah-milah nilai tradisi masa lalu itu, dan kemudian memetik hal-hal yang bernilai dalam tradisi masa lalu itu. Memahami masa kini berarti mengetahui permasalahan kehidupan masa kini dengan segala kelebihan dan kekurangannya


(43)

serta memberikan solusi pada permasalahan itu dengan mengimplementasikan nilai-nilai tradisi masa lalu.

Sementara Haba (2007:11) menjelaskan kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercaya dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi masyarakat. Lebih lanjut (Haba 2007:4) menjelaskan bahwa ada beberapa fungsi dari kearifan lokal yakni: (1) sebagai penanda sebuah komunitas; (2) elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan; (3) kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top done), tetapi sebuah unsur kultural yang ada dalam masyarakat, karena itu daya ikatnya lebih mengena dan bertahan; (4) kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas; (5) lokal wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground atau kebudayaan yang dimiliki, dan (6) kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir bahkan merusak, solidaritas komunal yang dipercaya dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah kominitas terintegrasi.

Sementara Rahyono (dalam Sinar, 2011:4)) mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki sekelompok (etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya secara terwujud dalam ciri-ciri budaya yang dimilikinya, dengan kata lain seorang anggota masyarakat budaya memililiki kecerdasan karena proses pembelajaran dari rumah yang dilakukan dalam kehidupannya. Selanjutnya Rahyono (dalam Sinar, 2011:4) mengemukakan jika


(44)

lokal genius hilang atau musnah, kepribadian bangsa memudar, karena hal-hal sebagai berikut.

1. Kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang inheran sejak lahir.

2. Kearifan lokal bukan sebuah keasingan bagi pemiliknya.

3. Keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal kuat.

4. Pembelajaran kearifan lokal tidak memerlukan pemaksaan. 5. Kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri dan percaya

diri.

6. Kearifan lokal mampu meningkatkan martabat bangsa dan Negara.

Sementara Sibarani (2012:5) mengatakan bahwa ada nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal tersebut, antara lain:

1. Kerja keras (seperti: etos kerja, keuletan, inovasi, visi dan misi kerja, dan disiplin kerja)

2. Gotong royong (melakukan dan menyelesaikan pekerjaan secara bersama)

3. Kerukanan (sikap toleransi antar umat beragama, etnik, budaya) 4. Penyelesaian konflik (sikap dalam menyelesaikan masalah sesuai

dengan hukum adat)

5. Kesehatan (Menjaga hidup baik secara pribadi maupun masyarakat)


(45)

7. Menjaga lingkungan (penjagaan lingkungan untuk tetap menjaga rantai kehidupan)

8. Pelestarian dan inovasi budaya (pemeliharaan dan pengembangan warisan budaya)

9. Penguatan identitas (tetap menjaga keaslian budaya)

10.Peningkatan kesejahteraan (menambah pendapatan masyarakat) 11.Hukum (norma-norma dan aturan-aturan adat yang telah

ditetapkan dan harus dipatuhi)

Menurut Sayuti (2005:12) usaha untuk menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah nusantara. Dari pernyataan di atas maka jelas bahwa kearifan lokal yang terdapat pada budaya daerah sudah sejak lama hidup dan berkembang. Maka dari itu perlu diadakan pemeliharaan dan pelestarian budaya daerah tersebut demi membangun kerinduan pada kehidupan masyarakat terdahulu, dimana hal itu merupakan tolak ukur kehidupan masa sekarang.

2.1.3 Konsep Baralek Gadang

Baralek gadang adalah merupakan salah satu kegiatan yang sifatnya berbentuk tradisi kelisanan khususnya penyambutan momen-momen penting seperti pernikahan. Pada masyarakat pesisir Sibolga kegiatan seperti ini masih tetap dilaksanakan sampai saat sekarang ini. Baralek gadang pada hakikatnya memiliki prosesi atau tahapan-tahapan acara kegiatan yang dimulai dari tahap marisik (memastikan seorang calon) sampai kepada tahap tapanggi (saling berkunjung kedua belah pihak) dan biasanya kegiatan ini dilaksanakan sesuai


(46)

dengan adat yang berlaku. Namun sesuai dengan perkembangan zaman, maka ada sebagian rangkaian acara yang mengalami pergeseran yakni tergantung dengan situasi dan kondisi.

Baralek gadang berasal dari dua kata, yaitu baralek dan gadang. Baralek artinya perhelatan, sementara gadang artinya besar. Jadi baralek gadang itu memiliki pengertian secara umum yakni perhelatan besar salah satunya adalah perkawinan yang memiliki prosesi rangkaian kegiatan dari awal sampai selesainya acara semuanya diatur oleh adat yang berlaku pada masyarakat etnis pesisir Sibolga. (Hasil wawancara 10 Desember 2012 dengan bapak fahrudin Sinaga) Istilah Baralek gadang selain ada di daerah Sibolga, di daerah Sumatera Barat juga dipergunakan istilah ini dalam acara-acara besar. Baralek gadang di daerah Sumatera Barat adalah ungkapan bahasa Minang yang berarti perhelatan besar. Baralek gadang umumnya diadakan untuk menyambut atau merayakan suatu momentum penting dalam kehidupan masyarakat Minang, bisa pernikahan atau hal lainnya. Hajatan ini juga sekaligus untuk berbagi kegembiraan dan perwujudan rasa syukur atas karunia yang diberikan sang maha pencipta (http://theordinarytrainer.wordpress.com/2011/06/20/baralek gadang/, diunduh 25 April 2013)

2.1.3.1 Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Sebelum Baralek Gadang

Kehidupan orang pesisir Sibolga yang relegius dan masih sangat peka terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, baik itu berupa peruntungan maupun musibah. Peristiwa-peristiwa itu ditandai dengan upacara, seperti upacara adat, upacara khitanan, upacara melek-melekan, upacara turun ke laut, upacara lolos dari marabahaya, upacara sembuh dari sakit, mendapat gelar


(47)

akademis, upacara naik haji, upacara mendirikan dan memasuki rumah baru, upacara anak lahir, upacara kelahiran, dan upacara perkawinan.

Upacara dalam KBBI (2001:1250) meliputi: (1) Tanda-tanda kebesaran; (2) peralatan (menurut adat istiadat) rangkaian tindakan atau pebuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama; (3) perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting.

Adat dalam KBBI (2001:7) sebagai berikut: (1) aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; (2) cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan; (3) Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dan lainnya berkaitan dengan suatu sistem.

Upacara adat yaitu: upacara yang berhubungan dengan adat sesuatau masyarakat. (KBBI, 2001: 1250)

Upacara perkawinan adat atau rangkaian upacara perkawinan (seremonial) mempelai yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala yang dipimpin oleh pengetua adat atau pemuka agama. Dalam kamus bahasa Indonesia (2001:1250) adat merupakan kebiasaan, sementara kebiasaan itu merupakan bagian dari kebudayaan.

Sementara Sibarani (2004:5) mengemukakan ada enam hal mendefinisikan kebudayaan yakni: (1) segala kebiasaan yang dimiliki kelompok masyarakat; (2) pengetahuan yang ditransmisi dan dikomunikasikan secara social; (3) tercermin dan terwujud dalam ide, tindakan, dan hasil karya manusia; (4) pedoman untuk memahami lingkungan manusia dan untuk berinteraksi dalam kehidupan masyarakat; (5) harus dipelajari dan (6) mensejahterakan dan membahagiakan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan kelompok masyarakat tercermin dalam pengetahuan, tindakan, dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami


(48)

lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan/atau kesejahteraan hidupnya.

Sementara Supartono (2004:30) memberikan penjelasan tentang kebudayaan yakni kebudayaan berasal dari kata budh artinya akal dalam bahasa sansakerta, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Sementara dalam bahasa Inggris, kebudayaan adalah culture, berasal dari kata culere (bahasa Yunani) yang berarti mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah, manusia mulai hidup sebagai penghasil makanan (food producing). Hal ini berarti, manusia telah berbudi daya mengerjakan tanah karena telah meninggalkan kehidupan yang hanya memungut hasil alam saja (food gathering)

Menurut Pasaribu (2011:5) pelaksanaan upacara perkawinan adat pesisir Sibolga yang biasa disebut dengan istilah adat Sumando, ini ditetapkan pada tanggai 1 Maret 1851 oleh residen Conprus (Belanda) untuk seterusnya dapat dipergunakan sebagai pedoman. Pada mulanya adat yang tertinggi berada pada Raja atau Kuria, Pengertian Sumando dalam bahasa Batak adalah cantik, dan secara lebih khusus lagi artinya adalah besan berbesan. Pengertian adat sumando mencakup tatacara adat pernikahan di daerah pesisir Sibolga Tapanuli Tengah antara lain; mulai dari marisik sampai kepada acara saling kunjung mengunjungi antara kedua belah pihak atau sering disebut dengan istilah tapanggi.

Selanjutnya Pasaribu (2011:6) mengatakan ada beberapa hal yang harus dipersiapkan pada saat pelaksanaan upacara pernikahan adat sumando tersebut yaitu:


(49)

1. Sistem pernikahan/perkawinan meliputi proses sebagai berikut: usaha memperoleh pasangan, tatacara melamar/meminang, kewajiban dan sangsi perjanjian, pelaksanaan aqad nikah, tempat aqad nikah, waktu aqad nikah, acara sesudah nikah, peresmian pernikahan.

2. Penataan tempat acara pernikahan yakni: hiasan rumah, hiasan pelaminan, hiasan kamar pengantin, hiasan lokasi pesta.

3. Kesenian sebagai berikut: kesenian menjelang pernikahan (malam baine dan malam Basikambang), kesenian pada hari peresmian (mangarak Marapule, masuk rumah, basanding - hiburan umum) 4. Prosesi mengatur kehadiran mempelai laki-laki menghadiri aqad

nikah, mengatur acara mengarak Marapule (pengantin laki-laki) serta prosesi mempelai laki-laki memasuki kamar.

5. Pakaian adat meliputi: pakaian kebesaran yang dipergunakan oleh mempelai laki laki (Marapule), pakaian yang dikenakan oleh pihak perempuan (Adak daro), waktu yang tepat untuk mengenakan baju kebesaran adat.

6. Perlengkapan sebagai berikut: tempat sirih yang digunakan saat meminang, tempat mahar pernikahan, tempat upah-upah dan tepung tawar.

7. Malam barinai meliputi: sunting gadang, sunting ketek, payung kebesaran (payung kuning dan payung tabukka), bendera, kain sampe, tombak baurai, pedang, musik sikambang.


(1)

Acara adat salesailah sudah Tarimokasih kami ucapkan

Ala tibo pulau saatnya kami nandak pulang dari rumah nan batuahko untuk mahelak silo pulang karumah, tapi rupanyo ado sebuah lai acara yaitu acara penyerahan anak kami marapulei ka sumando kami di rumahko, mako tarimolah wahai sumando kami dengan segalo hati sanang dengan berpantun:

Hujan labek di pulau panei Timbul tabanam biduk nan tujuh Adopan hajat balun salesai

Sarupo tanaman nan balun tumbuh

Tarimolah wahai sumando kami dengan harapan kami pihak sumando kami dapek menunjuk ajari anak kami mak pandei bamintuo dan pandei pulo babini, maklumlah anak kami ko umunyo baru setahun jagung darahnyo baru satampuk pinang, memang badan tenggi tapi bukan tenggi bapangalaman tapi dek karano panjang tulang penyangga dibadannyo, awaknyo balun tau mano kambang mano kiambang walau awaknyo ala bataji ataupun batulang.

Antaro sokkam ka pulau panei Pulau karang ditanga-tanga Karano ulah dek parangei Hancurlah badan karano fitnah

Walaupun baitu kok kito malapeh anak ka tapian mandi saeloknyo kito bari nasehat samo pasan untuk jadi pedoman mak jangan pai kasumu urang. Nantuo manabur budi, nan mudo tampek mananam kasih, jangan congkak kok bajalan dan jangan sombong dalam pergaulan. Seperti pantun urang pasisi:

Anak cino mambaok madat

Dari kadei gadang ka karambi tenggi Hidup didunia kito baradat

Bahaso nantidak dijua bali

Sakajak lai kami nandak pulang ka rumah, tatokkanlah hati anak kami tingga di rumahko, janganlah ado hati bacewang karano awak ang ala manjadi bagian anak di rumahko.

Antah barisuik tau jamisuk antah pulo samusim Atau duo musim baru kito basuo

Oleh karano itu sapaningga kami Elok-eloklah mambaok diri

Jangan ceroboh, jangan pamberang, jangan pulo tinggi sabanang, piccayolah urang pastikan sanang. Jangan pulo sarupo balagak ayam


(2)

jantan pasti akan dapek tantangan, jangan pulo sarupo burung merak kayangan nan pandei basolek mahias diri, kaili kamudik ikkunyo dikambang nandak mancari pujian urang. Adopun pantun urang pasisi.

Kain batik kain tulisan Indak sarupo batik si Podang Ruponan cantik indak jadi pujian Budi nan baik dipandang urang

Lieklah baapo megahnyo pelaminan nan awak ang duduki, ala sarupo rajo sahari, ikko sadonyo berkat doa sanak family sahinggo awak ang sarupo rajo nan sadang batahta, walaupun baitu antah barisuk nasip.

Baitu pulo kok baringgik sakapung banyak, ala sarupa ulek nan indak manando daun. Jangan pulo bakutu saekku di kapalo ala manggaruk kasinin kasikko sarupo urang nan tidak tau malu. Haruslah kokoh pendirian.

Jangan pulo sarupo kiambang, ureknyo indak jajak kabumi dan puccuknyo indak manjulang tenggi, kok ai pasang awaknyo marangkak kaulu di baok ai, katiko surut marangkak kaili, akirnyo lisud dek mato ari

Nandaknyo sarupo gunung batu, kakkinyo jauh tatanam kabumi dan puncaknya manjulang tenggi, kok datang topan mandaru kayu nan tumbuh patah sadonyo tapi awaknyo tatap tagak di bumi.

Ado kulik ado dakki

Diateh batang candawan tumbuh Salagi hidup banyak razakki Asal usaho basungguh-sungguh Ba apo puteri runduk indak baparang Si Janggi datang manyombong diri Ba apo hati kami indak kariang Hajat salesai maksud pun sampei

Hanya demikian daulu nan dapek kami sampaikan kato nan salah mintak dimaafkan. Semoga harapan sapaningga kami, keluarga sumando kami tetaplah dalam lindungan Ilahi Rabbi, dan sarupo itu pulo harapan kami selamat sampei karumah kami masing-masing. Wabillahi Taufiq wal hidayah wassalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dilanjutkan dengan kata sambutan penerimaan marapule oleh pihak perempuan

Assalamu‟alikum Warahmatullahi Wabarakatu

Syukur Alhamdulillah, marilah samo kita panjatkan keharibaan Allah subhana wata‟ala, Tuhan maha pancipta sekalian alam. Beriring pulo marilah kito haturkan salawat beriring salam kepada junjung Nabi besar kito Muhammad sallallahu„alaihi wassallam, nabi


(3)

yang menjadi tuntunan kita yang telah bersusuh payoh mangangke harkat dan martabat ummat dari lembah yang hino ka alam yang terang seperti sekarang ini, hanya syafaadnya jualah yang kito harokkan kelak dihari berbangkit nanti.

Sungguh lamak gulei tanggiri Dirancah samo lauk gurapu Rancak sungguh umpamo Pasisi Berangi anak sindir manantu.

Hadirin yang kami hormati, tadi kito ala samo mandanga kata sambutan penyerahan marapulei kadi kami, kini tibo pulolah saatnya giliran kami untuk menyambut penyerahan anak nan ala manjadi minantu kami di rumahko. Dek karano ahlil bait dan sanak handai tolan ala manugaskan ambo untuk manarimo penyerahan tadi. Nandak hati manyambut gayung dan manjawab kato penyerahan tadi.umpama pantun urang pasisi;

Ala ambo tilik, ala pulo diranung Bareknyo bukan alang kapalang

Karano biduk kami sagadang palapah jantung Pandayungnyopun dibuek dari tampurung Manolah dapek kami badayung

Apo lai mambalah ombak bagulung Ala pulo dipikki di lubuk hakikat Nandak mancari mutiara ma‟rifat

Moko dapeklah satu tamsilan samo ibarat Kok kai panjang sajangka

Janganlah lautan nandak dirangkuh

Walaupun adokato kiasan urang pasisi mangatokan Kalaupun ala tapakso pulang balai malam hari walu biduk boccor, pandayung patah sosonglah bakat arus nan dalam walo hari kalam, tapi jangan lupo tawakkal kapado tuhan, Insya Allah akan sampei juo kapantai daratan, tapi untuk indak mahampokan harapan, kapado dasanak handai dan tolan, ambu cubo juo badayung manapi pantei ambo maharok kasih dari tuhan dengan harapan badei jo laut akan taduh sasampei ambo katanah tapian, tapi oleh karano ambo indak tau adat budayo, tapi ambo cubo juo manyapuh loyang perak tumbago, karano itu pulo kok ado keccek nan salah sabalumnyo ambo maminta maaf.

Sumando kami yang terhormat; Penyerahan anak minantu kami tarimo, baitu gadangnyo hati kami, kami lukiskan samo tangan dan dulang kami tampungkan. Kalau dalam penyerahan tadi sumando ado mangatokan bahaso anak kitoko, umur baru setahun jagung, darah pun baru setampuk Pinang dan tenggi badannyo bukan karano pengalaman, tapi karano tulang badan nan panjang. Itu sadonyo ala


(4)

kami dangakan, tapi bukanlah mambuei kami heran karano bungo indak panah mangatokan awaknyo harum melainkan pangalimo songsanglah nan tau silek gurindam.

Baitu juo bunga cimpago, nan indak panah mangatokan awaknyo semebak harum, indah ubahnyo sarupo sifat padi disawah mangkin barisi mangkin runduk. Kami juo memaklumi, bahaso sumando indak akan malapeh ayam nan nandak dilago sabalum bataji panjang. Lagi pula, menurut pandape kami;

Bukan cubadak masak diparam Tapi harumnyo masak didahan Bukan anak kurang bapaham Tapi ala cukup asuhan. Oleh sebab itu kato nan tuo Lebih pandei limou baduri Ajari anak bamintuo Pandei pulo manjago diri Tapi namonyo pangantin baru

Baru nandak manempuh hidup nan baru Ajari sidak nan balum tau

Mak salamat ka anak cuccu

Oleh karano itu indak salahnya sumando mamintak kami manujuk ajarai amanah sumando insyah Allah kami junjung tenggi.

Mak supayo coccok gandang ka tari Sairama pulo samo lagunyo

Perkenankan pulo kami untuk manyampaikan sipat tabiat anak kami ko ka sumando urang jauh hari. Anak kami ko masih mudo belia, balum pandei mamilih atah diantaro bareh. Ibarat bungo nandak kambang, awaknyo balum biso mambedakan mano lumbang mano pianggang, karano balun barilmu pengalaman kurang, balun paham arti kato nan sumbang. Awaknyo hanyo sakaping tumbago na nandak dituang, harapan kami;

Berkat Sumado urang batuah Jadilah sidak kelak manjadi labah Mangagi madu nan bapaedah Berkat sumando urang jauhari Jadilah sidak sarupo kasturi Manabur harum semerbah wangi


(5)

Baitulah harapan kami, sasunggugnyo nasehat nan sumando sampaikan ala panuh sasukkatan, sahinggo indak ado lai lubang celah untuk kami, kok kami tambah bak umpamo kata urang pasisi, Sarupo lamukkui ditapi niru, masuk indak cukkup, kalua pun indak mangurangi, sakali nandak kamukko, alhasil jatuh kabawah dimakkan ayam nan sadang lapa. Sarupo gulei nan ala asin ditambah garam, siapo nan mamakkannya, mukko nan rancak manjadi masam.

Tapi mengingat kata gurindam Kutitip jualah pusaka usang Bukan galang bukanlah subang Hanyolah kias umpamo urang

Makonyo maso sahari duo hari nanti, kami nandak malapehkan sidak ka gelanggang. Maniti buih mambalah ombak mamaccah galombang. Balayar manuju ka tanah subarang. Sakalipun ala bataji, ala pulo babulang-bulang. Jangan nandaknyo sidak mambangkang. walo datangyo dari adik ataupun abang, karano satenggi-tenggi ilmu baru sipatnyo dan kurang. Nah ado panangkal fitnah ambo katokan; jangan balagak sarupo ayam jantan. Pasti akan mandapek tatangan.

Indak pulo sarupo kiambang, nan ureknyo indak jajak ka bumi, puccuknyopun indak sampei tenggi, kok naik pasang hanyut ka ulu, kok surut pasang hanyut ka ili, itulah urang nan indak bapendirian. Jangan pulo sarupo burung merak dikayangan, ikku dikambang ka hili, ka mudik, nandak mamintak di sanjung urang. Ada pantun Pesisir mengatakan:

Kain batik kain dipasan Indak sarupo batik di kolang Rupo nan cantik indak ukuran Budi baik nan diingek urang Entah besok entah nanti

Nasipmu baik harta bertumpuk, berpangkat tingi Janganlah kau membusung dada dan menakbur diri. Tapi ingatlah itu semua rahmad Ilahi

Apa lagi baru beringgit sekupang. Ala lupo kanccang dilanjarannyo. Jadilah kau seperti sebuah gunung batu

Puccuk menjulang tinggi kalau datang topan menderu Pohon-pohon bertumbangan namun dia tetap tegak terpaku. Kincinyo;

Tabang sakawan si burung anggang Hinggok didahan batang maranti


(6)

Barumah tango tenggang-manenggang Cakkak jangan dicari cari

Kapa balai di laut tanang Bintang dilangik panunjuk arah Walupun topan datang manyarang Niat balai janganlah patah.

Cukup sakianlah kato penerimaanko dari kami, samoga nandaknyo sumando kami biso memakluminyo. Akhirul kalam wabillahi taufiq walhidayah,