Televisi dan Tayangan Pembodohan docx

Televisi dan Tayangan Pembodohan
FAJAR KURNIANTO
Kian banyak dan beragamnya berbagai tayangan televisi kita di satu sisi menggambarkan
kemajuan luar biasa industri pertelevisian nasional saat ini, tetapi pada sisi lain berpotensi
kebablasan sehingga nilai-nilai dan isi yang terkandung di dalamnya tidak terkontrol secara baik.
Akibat berikutnya, dan mungkin ini yang lebih parah, terjadi “pembodohan” publik secara masif
tanpa disadari.
Infotainment dan film/sinetron
Di antara tayangan-tayangan yang disinyalir “membodohi” masyarakat adalah
infotainment gosip. Entah gosip itu seputar pribadi, keluarga, maupun kehidupan para selebritis
di luar rumah. Apa aspek “pembodohan” pada tayangan-tayangan ini?
Pertama, namanya juga gosip, tingkat kebenarannya rendah. Betul, di sana sini
disebutkan ada klarifikasi dari pihak-pihak yang bersangkutan sehingga bobot infotainmentnya
sesuai dengan asas pemberitaan pers standar. Nyatanya, klarifikasi yang dilakukan kerap kali
bukan untuk tujuan verifikasi, tetapi makin menambah daftar gosip-gosip berikutnya yang kian
memanas. Artinya, sama halnya masyarakat tengah “dibodohi” dengan visualisasi kebenaran
yang tingkatannya rendah.
Kedua, infotainment adalah berita seputar selebritis dan kehidupannya yang “tampil
beda.” Maksudnya, tidak banyak nilai-nilai positif yang diangkat dan diperoleh dari tayangan itu
selain kehidupan hedonis dan glamour para selebritis di tengah kehidupan masyarakat yang
penat, sulit dan terpuruk, hancur lantaknya tatanan keluarga selebritis di tengah kehidupan

masyarakat yang mendambakan solusi atas hancurnya kehidupan mereka, dan gambaran
kehidupan para selebritis yang berkultur transparan dan terbuka (terutama dalam hal
berpenampilan) di tengah masyarakat yang berkultur sopan-santun, menghargai, dan
menghormati orang lain. Artinya, di kotak ajaib bernama televisi, masyarakat disuguhi suatu
visualisasi yang paradoks, bahkan bertolakbelakang dengan kondisi yang dihadapi oleh
masyarakat. Keadaan ini menyemburatkan suatu gambaran keangkuhan, kepongahan, dan
kesombongan, yang dipublikasikan secara sadar maupun tidak, pada masyarakat.

Ketiga, intensitas tayangan infotainment yang begitu tinggi membuat masyarakat, mau
tidak mau, harus menyantapnya mentah-mentah setiap saat. Simak, setiap hari dari pagi hingga
malam, bahkan larut malam dan dini hari, tayangan infotainment terus-menerus bergulir, meski
itu di stasiun-stasiun televisi yang berbeda-beda. Tayangan-tayangan yang kebenarannya
tergambarkan sebagai bertingkatan rendah, ditambah lagi dengan visualiasi kehidupan para
selebritis yang paradoks dengan masyarakat pemirsa pada umumnya, ditambah lagi dengan
intensitasnya yang tinggi, nyaris tidak menyisakan sisi edukatif sedikit pun selain
“pembodohan.” Apakah hidup kita ingin terefleksikan dari visualisasi “pembodohan” semacam
itu?
Tayangan-tayangan yang juga disinyalir “membodohi” adalah film/sinetron yang
wajahnya tidak jauh berbeda dengan infotainment. Hanya saja, untuk mempersantun, kerap kali
film/sinetron itu dibungkus dengan tema religius, bahasa religius, penampilan religius, dan

ending yang juga religius (ceramah dari para ustaz pengkhotbah), namun sejatinya tampak
sebagai kamuflase untuk menutupi naluri sesungguhnya di balik semua itu, yakni: menyuguhi
masyarakat dengan tayangan-tayangan yang kualitasnya hanya demikian.
Aspek religiusitas sering kali identik dengan mistis, horor, yang ujung-ujungnya
kemenangan tokoh bersorban, berpeci haji, bertasbih, bersarung, yang melantunkan ayat-ayat
suci (meski dengan pelafalan lidah yang tidak tepat alias ‘belepotan’), guna mengatasi makhlukmakhluk gaib yang entah sejak kapan muncul di televisi sebagai trend yang – menurut rating –
adalah tayangan yang paling disukai oleh para pemirsa.
Itu dari sisi tema, dari sisi jalan cerita, hampir tidak ada hal baru berkreasi cerdas (bahkan
mencerdaskan), selain lingkaran memutar ayah, ibu, anak kandung, menantu, ayah tiri, ibu tiri,
dan anak tiri, yang terzalimi di awal cerita namun menemukan “pencerahan” ketika yang
menzaliminya terkena “kutukan” Tuhan atau sadar di penghujung. Atau, film/sinetron berlatar
sekolah, dengan tokoh-tokohnya anak-anak sekolah, tetapi yang ditampilkan lebih pada gaya
hidup para siswa yang hedonis, glamour, dan pergaulan tanpa kontrol, yang menyisihkan nilainilai sopan-santun dan keadaban kultur kita, di tempat yang sebetulnya menjadi sarana belajar
bersopan-santun dan berkeadaban.
Tayangan-tayangan yang demikian, parahnya diletakkan pada primetime ketika
masyarakat yang letih sudah berkumpul kembali bersama keluarga setelah siang hari berpenatpenat bekerja mencari penghidupan. Dengan kata lain, masyarakat kita yang demikian, oleh

industri televisi, dianggap layak mendapat jamuan tayangan-tayangan yang begitu. Demikianlah
kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Nyaris, tidak ada ruang maupun waktu kosong yang terisi
dengan hal-hal positif dari tayangan-tayangan televisi itu Singkat kata, secara tidak sadar,

pikiran-pikiran kita terus-menerus diisi dengan imajinasi-imajinasi “pembodohan” yang betulbetul membuat kita kian “bodoh.”
Perlu introspeksi
Beruntung, masih ada (meski sedikit) tayangan-tayangan televisi yang kreatif
menayangkan acara-acara yang edukatif dan menambah wawasan baru dan positif, membawa
alam pikiran kita merenungkan hidup dan kehidupan secara lebih optimis dan positif. Namun,
tetap saja tayangan-tayangan kekerasan, berdarah-darah, caci-maki, ungkapan-ungkapan tidak
senonoh, masih terlalu banyak. Apresiasi positif layak diberikan untuk stasiun-stasiun televisi
yang memang brand-nya dibangun tidak untuk itu, tetapi untuk menampilkan sekaligus
memberikan nuansa yang edukatif-berkualitas.
Butuh waktu dan kerja keras untuk menjadikan industri televisi tidak hanya murni
kepentingan bisnis, tetapi mampu memberikan hal terbaik buat masyarakat. Terbaik, tentunya
dalam pengertian bahwa itu bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik ke depan.
Tayangan-tayangan yang minim sisi edukasinya tentu bukan yang dimaksud di sini. Sudah
waktunya, stasiun-stasiun televisi mengintrospeksi diri lagi, apa hal positif yang telah diberikan
buat para pemirsa/masyarakat. Jika ternyata semua industri televisi sepakat bahwa
pemirsa/masyarakat belum sepenuhnya diberikan hal terbaik, namun masih tetap menyuguhkan
tayangan-tayangan yang tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya, tanya kenapa?!
*Artikel ini dimuat di koran Pelita, Selasa 22 Mei 2007


Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2