GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING (1)

GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING
Dr. Rully Satriawan
RSUD Ahmad Yani, Metro, Lampung

PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran adalah hal yang lazim kita temui saat ini. Salah
satunya adalah gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) atau dalam
istilah asing disebut Noise Induce Hearing Lost (NIHL). Dengan semakin
bertambah majunya teknologi, maka semakin mudah dan nyaman hidup
manusia. Tetapi dibalik itu tersimpan ancaman yang sering tersamar dan
tidak kita sadari. GPAB ini merupakan salah satu ancaman kemajuan
tersebut.
Bising dan penuaan merupakan dua hal utama penyebab hilangnya
pendengaran permanen. Sayangnya kelainan ini tidak dapat dikoreksi baik
menggunakan obat-obatan maupun tindakan operatif, tetapi GPAB dapat
dicegah (Dobie, 2001).
Bising dapat kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak
hanya bising di tempat kerja, tetapi dapat juga bersumber dari alat rumah
tangga, alat elektronik, pemutar musik, pusat perbelanjaan sampai tempat
bermain anak-anak. Secara umum bising adalah bunyi yang tidak
diinginkan. Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat

menyebabkan rusaknya reseptor pendengaran pada telinga dalam
(Soetirto, 2006). Bising secara kesehatan masyarakat adalah suara yang
tidak diharapkan dan tidak menyenangkan yang menggangu masuknya
suara yang diinginkan, atau suara yang diinginkan namun berpotensi
menyebabkan gangguan kesehatan. Bahkan menurut WHO, bising
dikategorikan sebagai salah satu jenis polutan (Bunde, 2011).
Pada tahun 1900, angka rata-rata harapan hidup di dunia hanya
sebesar 47 tahun. Pada saat itu, kehilangan pendengaran karena
penuaan bukan suatu masalah yang banyak ditemukan. Bandingkan

dengan saat ini, rata-rata usia harapan hidup sudah meningkat tajam
(Burkey, 2006). Usia harapan hidup di Jepang adalah yang tertinggi,
mencapai usia 80 tahun. Negara maju seperti Australia, Kanada, Swiss
dan lainnya, angka rata-rata harapan hidupnya telah mencapai angka 79
tahun (Kinsela, 2000). Saat usia rata-rata semakin tua, maka mulai
muncullah akumulasi masalah kesehatan. Tidaklah mengherankan jika
pada saat ini kejadian kehilangan pendengaran semakin sering terjadi.
Gangguan pendengaran akibat bising adalah tuli akibat terpapar
bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama. Tuli ini
merupakan jenis ketulian sensorineural yang paling banyak ditemui

setelah presbiakusis. Sejalan dengan berkembangnya gaya hidup
masyarakat,

kejadian

kehilangan

pendengaran

semakin

banyak

ditemukan. Selain paparan suara bising, ada banyak faktor lain yang
menyebankan gangguan pendengaran seperti hipertensi, diabetes, obatobatan, dan paparan substansi yang dapat merusak telinga merupakan
penyebab dari berkurangnya pendengaran (Burkey, 2006). Lagi-lagi gaya
hidup mempengaruhi berkembangnya keadaan-keadaan tersebut.
Bising

lingkungan


kerja

merupakan

masalah

utama

pada

kesehatan kerja di berbagai negara. Sedikitnya 7 juta orang (35% dari
populasi industri di Amerika dan Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih
(Soetjipto, 2007). Di indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran
akibat bising telah banyak dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Sundari (1994) yang menemukan 31,55% pekerja pabrik peleburan
besi di Jakarta menderita tuli akibat bising dengan intensitas bising antara
85-105 db, dengan masa kerja rata-rata 8,99 tahun (Soetjipto, 2007).
Penelitian lain dilakukan oleh Lusianawaty (1998) yang menemukan
bahwa 7 dari 22 pekerja (31,8%) di perusahaan kayu lapis Jawa Barat

mengalami tuli akibat bising dengan intensitas bising lingkungan antara
84,9-108,2

dB

(Soetjipto,

2007).

Penelitian

tentang

gangguan

pendengaran akibat bising ini tidak hanya dilakukan di tempat kerja, tetapi
juga di lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Hendarmin dan Hadjar

2


tahun 1971, mendapatkan bising jalan raya (jl. M.H Thamrin, Jakarta)
sebesar 95 dB lebih pada jam sibuk (Soetjipto, 2007).
Fakta bahwa paparan bising yang berlebihan dapat menyebabkan
gangguan pendengaran mulai dikenali sejak abad kedelapan belas. Pada
awal abad keduapuluh, gangguan pendengaran akibat bising ini dikenal
dengan nama Boilermaker’s Deafness (Arts, 1999).

Istilah

ini

muncul

mungkin karena pada saat itu ketulian ini ditemukan pada para pekerja
pabrik yang bising.
Jika kita tetap menginginkan untuk terus menikmati kualitas hidup
sehat, maka menjaga alat indera terutama pendengaran adalah kuncinya.
Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan apa itu gangguan pendengaran
akibat


bising,

patofisiologi,

menegakkan

diagnosis

dan

cara

pencegahannya.

PATOFISIOLOGI
Sistem pendengaran adalah sebuah sistem yang kompleks. Sistem ini
bergantung pada beberapa sistem lain untuk menjalankan fungsinya
dengan baik. Fungsi pendengaran normal bergantung pada mekanisme
mekanik pada telinga tengah dan koklea, mikromekanik dan seluler dari
organo corti, keseimbangan kimiawi dan lingkungan bioelektris telinga

dalam, dan sistem saraf pusat beserta saraf penghubungnya yang bekerja
dengan baik (Arts, 1999).
Sebagian besar paparan bising akan menyebabkan gangguan
pendengaran sensorineural sementara yang dapat pulih dalam 24 sampai
48 jam. Keadaan reversibel ini disebut sebagai kenaikan ambang dengar
sementara atau Temporary Threshold Shift (TTS) (Arts, 1999). Apabila
bising tersebut memiliki intensitas yang cukup tinggi atau waktu paparan
yang cukup lama bahkan keduanya, maka akan terjadi kenaikan ambang
dengar permanen, Permanent Threshold Shift (PTS) (Arts, 1999).

3

Sedangkan trauma akustik adalah suatu paparan bising dalam tingkat
yang berbahaya dimana akan mengakibatkan keadaan PTS tanpa melalui
proses TTS dalam satu kali paparan (Arts, 1999).
Stadium dini dari tuli akibat paparan bising ditandai dengan kurva
ambang pendengaran yang curam pada frekuensi diantara 3000 dan 6000
Hz, biasanya pertama kali muncul pada 4000 Hz. Pada fase dini ini
penderita mungkin hanya mengeluh tinitus, suara yang teredam, rasa
tidak nyaman di telinga, atau penurunan pendengaran yang temporer.

Keluhan-keluhan ini dirasakan pada saat berada ditempat bising, atau
sesaat setelah meninggalkan tempat bising. Keluhan kemudian akan
berangsur menghilang setelah beberapa jam jauh dari lingkungan bising.
Gangguan

pendengaran

biasanya

tidak

disadari

sampai

ambang

pendengaran bunyi nada percakapan yaitu 500, 1000, 2000 dan 3000 Hz
lebih dari 25 dB. Awal dan perkembangan tuli syaraf akibat bising lambat
dan tidak jelas. Ketulian selalu bertipe sensorineural dan serupa baik

kualitas maupun kuantitasnya pada kedua telinga. Secara otoskopik,
membran timpani tampak normal (fox, 1997).
Dobie, R.A (2001) dalam Head and Neck Surgery- Otolaryngology,
menjelaskan bahwa GPAB mengakibatkan kerusakan pada organon corti.
Didapatkan kesulitan dalam menemukan kelainan anatomis sehubungan
dengan TTS, tetapi diyakini bahwa kelainan ini disebabkan oleh stereocilia
dari sel rambut yang berkurang ketegangannya yang mengakibatkan
turunnya respon terhadap rangsangan. Ketidakteraturan stereocilia ini
dapat kembali normal dalam jangka waktu tertentu. Sejalan dengan
meningkatnya intensitas dan durasi papaan bising, maka kerusakan akan
semakin berat sampai akhirnya terjadi hilangnya stereosilia tersebut.
Ketika stereocilia telah hilang, maka sel rambut sendiri akan mengalami
kerusakan. Dengan bertambahnya paparan, maka sel rambut dan sel-sel
pendukung dalam organon corti akan turut rusak. Selain itu juga
dilaporkan

adanya

degenerasi


syaraf

pendengaran

dan

nukleus

pendengaran.

4

Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa nada murni dengan
frekuensi dan intensitas tinggi akan merusak struktur di ujung tengah
basal (mid basal end) koklea dan frekuensi rendah akan merusak struktur
dekat apeks koklea. Bising dengan spektrum lebar dan intensitas tinggi
akan menyebabkan perubahan struktur di putaran basal pada daerah
yang melayani nada 4000 Hz. Kerusakan ringan terdiri dari terputusnya
dan degenerasi sel-sel rambut luar dan sel-sel penunjangnya. Kerusakan
yang lebih berat menunjukkan adanya degenerasi, baik sel rambut luar

maupun sel rambut dalam dan atau hilangnya seluruh organo corti (fox,
1997).
Beberapa teori telah diajukan mengenai mengapa daerah yang
melayani frekuensi 4000 Hz lebih rentan terhadap pemaparan bising. Teori
yang paling populer adalah bahwa struktur anatomi di daerah tersebut
lebih lemah. Kelemahan struktur anatomi tersebut adalah sebagai akibat
ketajaman pendengaran dan spektrum dari stimulus suara. Didapatkan
bahwa ketulian yang paling dini terjadi pada sekitar satu sampai satu
setengah oktaf diatas skala frekuensi nada stimulator. Karena ambang
pendengaran lebih peka pada nada diantara 1000 dan 3000 Hz, beralasan
untuk menduga bahwa bising industri, karena spektrumnya, akan
menyebabkan kerusakan paling dini pada frekuensi antara 3000 sampai
4000 Hz (fox, 1997).
Besarnya gangguan pendengaran yang didapat tidak hanya
dipengaruhi oleh intensitas bising dan durasi paparan tetapi juga karakter
dari bising tersebut (spektrum frekuensi dan pola waktu). Paparan
terhadap nada murni atau bising dengan spektrum frekuensi yang sempit
menyebabkan gangguan pendengaran terbesar. Gangguan pendengaran
tersebut terjadi pada kira-kira satu setengah oktaf diatas frekuensi suara
dengan energi terbesar. Alasan dibalik pergeseran satu setengah oktaf ini
paling mungkin adalah dari jarak pergeseran maksimal membran basilar
terhadap dasar koklea saat adanya peningkatan intensitas suara (Moller,
2006).

5

Selain bervariasinya kondisi paparan, ada beberapa hal yang
menyebabkan bervariasinya kejadian GPAB pada paparan bising yang
sama. Selain oleh paparan bising, GPAB juga dipengaruhi oleh beberapa
variabilitas meliputi perbedaan genetis, usia, jenis kelamin, warna kulit,
perbedaan jalur konduksi suara (telinga luar dan telinga tengah), suplai
darah, dan inervasi koklea.

DIAGNOSIS
Diagnosis

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik

termasuk otoskopi, dan pemeriksaan penunjang seperti audiometri.
Pada anamnesis ditemukan adanya tanda pernah berada di tempat
dengan bising tinggi dalam jangka waktu lama atau intensitas tinggi.
Bising intensitas tinggi tidak hanya didapat dari tempat bekerja, tetapi
dapat juga didapat di lingkungan tempat tinggal sehari-hari, contohnya
riwayat penggunaan pemutar musik yang berlebihan, aktifitas ke pusat
hiburan yang terlalu sering, berada di lalu lintas padat dalam jangka waktu
lama dan lain-lain.
Pada pemeriksaan otoskopi biasanya tidak ditemukan adanya
kelainan. Pemeriksaan audiologi didapatkan tanda-tanda tuli sensori
neural pada tes penala. Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan
tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi
4000 Hz sering didapatkan takik (notch) yang patognomonik untuk jenis
ketulian ini (Soetirto, 2006).
Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (Short Increment
Sensitivity Index), ABLB (Alternate Binaural loudness balance), MLB
(monoaural Loudness Balance), audiometri tutur, hasil menunjukkan
adalnya fenomena rekruitmen yang patognomonik untuk tuli saraf koklea.
Rekrutmen adalah suatu fenomena dimana telinga yang tuli menjadi lebih
sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi yang kecil pada frekuensi

6

tertentu setelah melewati ambang dengarnya (Soetirto, 2006). Sebagai
contoh, orang yang pendengarannya normal tidak dapat mendeteksi
kenaikan intensitas bunyi sebesar 1 dB bila sedang mendengarkan bunyi
nada murni yang kontinyu, sedangkan bila ada rekrutmen maka akan
dapat mendeteksi kenaikan bunyi tersebut.

PENCEGAHAN GPAB
Untuk mengurangi angka terjadinya GPAB, diperlukan usaha-usaha baik
secara promotif preventif dan rehabilitatif. Dalam mengupayakan usaha
tersebut diperlukan kerjasama yang baik dari masyarakat dan pemerintah
melalui tenaga kesehatan.
Tindakan pencegahan merupakan hal paling bijak yang dapat kita
lakukan dalam menghadapi masalah GPAB ini. Sejalan dengan ini,
Departemen Tenaga Kerja berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
nomor: KEP-51/MEN/1999 telah menentukan batas paparan suara bising
yang diperkenankan.
Waktu Pemajanan per hari
8

jam

4
2
1

Intensitas Kebisingan
Dalam dBA
85
88
91
94

30
15
7,5
3,75
1,88
0,94

Menit

97
100
103
106
109
112

28,12
14,06
7,03
3,52
1,76
0,88
0,44

detik

115
118
121
124
127
130
133

7

0,22
136
0,11
139
Catatan: Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat
Sumber: Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-51/MEN/1999

Dengan

dikeluarkannya

peraturan,

pemerintah

berusaha

melindungi masyarakatnya yang bekerja ditempat bising. Perlindungan
tersebut diwujudkan dengan pengaturan jam kerja sesuai dengan paparan
bising yang didapat oleh pekerja.
Pembatasan pemaparan bising dapat dilakukan dengan mengontrol
lingkungan mesin atau perlindungan diri pekerja yang terpapar. Program
konservasi pendengaran yang ideal adalah dapat mengurangi atau
menghilangkan bising yang berbahaya tepat pada sumbernya (fox, 1997).
Sayangnya kondisi ideal ini sukar dicapai ditinjau dari pengaturan teknis
dan ekonomi. Apabila pengontrolan sumber bising tersebut masih tetap
mebahayakan, maka dapat diberikan Alat Pelindung Diri (APD) pekerja
berupa sumbat telinga (fox, 1997).
Usaha-usaha diatas merupakan pencegahan terjadinya GPAB di
tempat kerja, yang disebut dengan Occupational Hearing Loss. Tetapi ada
yang tidak kalah pentingnya yaitu tindakan pencegahan GPAB diluar
lingkungan kerja, yang disebut dengan non-Occupational Hearing Loss.
Komnas PGPKT (Komite Nasional Penanggulangan Gangguan
Pendengaran dan Ketulian) telah melakukan penelitian menggunakan
sound level meter di 10 kota besar Indonesia pada tempat bermain anak,
balita dan remaja. Hasilnya sangat mengejutkan dimana tingkat
kebisingan di area tersebut mencapai 90-97,9 dB. Komisi ini juga
mengukur bahwa pemutar musik portabel. Didapatkan angka 80 dB pada
pemutar musik dengan volume suara 50-60% volume maksimal (Husni,
2001). Sumber-sumber bising ini rupanya belum mendapat perhatian lebih
sehingga belum ada peraturan yang mengikatnya. Padahal sumber bising
ini tidak kalah berbahaya dibanding dengan kebisingan di tempat kerja,
baik dari segi intensitas bising dan durasi paparan yang sulit terkontrol.

8

Untuk dapat menghindari terjadinya ketulian akibat bising terutama
diluar lingkungan kerja ini perlu kiranya kita mendorong pemerintah
melalui dinas terkait untuk membuat peraturan tentang ‘Intensitas Bising’
yang diijinkan di tempat hiburan, arena bermain anak, dan pengontrolan
penggunaan alat musik digital dan lain-lain (Husni, 2001).
Selain itu kontrol orang tua terhadap anaknya juga tidak kalah
pentingnya. Kontrol ini diperlukan sebagai tameng keluarga sementara
pemerintah membuat peraturan yang melindungi masyarakat dari paparan
bising diluar tempat kerja. Orangtua hendaknya memberikan arahan
tentang penggunaan alat pemutar musik kepada anaknya, dengan tidak
memutar volume melebihi 50%. Proteksi juga dilakukan dengan
membatasi waktu kunjungan anak ke pusat perbelanjaan dan arena
bermain anak. Karena tempat-tempat tersebut berdasarkan penelitian
memiliki intensitas bunyi sebesar 90-97 dB, sehingga kita tidak boleh lebih
dari satu jam disana.

DAFTAR PUSTAKA
Arts, A. H., 1999. Differential Diagnosis of Sensorineural Hearing Loss.
Dalam: Cummings, C. W., Otolaryngology Head and Neck
Surgery. Edisi ke-3. Mosby-Year Book, St Louis-Toronto.
Bunde,

Y.
E.,
2012.
Bising
Mengepung.
http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=36.
Diakses
pada tanggal 12 Oktober 2012.

Burkey, J. M., 2006. Baby Boomers and Hearing Loss: A Guide to
Prevention and Care. Rutgers University Press, New BrunswickLondon.
Fox, M. S., 1997. Pemaparan Bising Industri dan Kurang Pendengaran.
Dalam: Ballenger, J. J., Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. Jilid dua. Alih bahasa: Staf pengajar Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Binarupa Aksara, Jakarta.
Dobie, A. R., 2001. Noice-Induce Hearing Loss. Dalam: Byron, J. B.,
Healy, G. B., Johnson, J. T., Jackler, R. K., Calhoun, K. H.,
9

Pillsbury III, H. C., Tardy Jr, M. E., Head an Neck Surgery –
Otolaryngology. Edisi ke-3. Lippincott Milliams & Wilkins,
Milwaukee.
Husni, T., 2011. Waspadai bising. http://www.ccde.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=458:waspadaibising&catid=21:sehati&Itemid=28. Diakses pada tanggal 12
Oktober 2012
Keputusan Menteri Tenaga Kerja., 1999. Nomor: KEP-51/MEN/1999.
Tentang. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.
Kinsela, K., Suzman, R., Robine, J. M., Myers, G., 2000. Demography of
Older Population in Developed Countries. Dalam: Evans, J. G.,
Williams, T. F., Oxford Textbook of Geriatric Medicine. Edisi ke-2.
Oxford University Press, Boston.
Moller, A. R., 2006. Hearing: Anatomy, Phisiology and Disorders of
Auditory System. Edisi ke-2. Elsevier, Amsterdam-Tokyo, 219-226
Soetirto, I., Bashirudin, J., 2006. Tuli Akibat Bising (Noise Induced Hearing
Loss). Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke
Lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Soetjipto, D., 2007. Gangguan Pendengaran Akibat Bising/ GPAB.
http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=15.
Diakses
pada tanggal 12 Oktober 2012.

10