PERJALANAN INI BELUM BERAKHIR docx

PERJALANAN INI BELUM BERAKHIR
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim hafizhahullah
Suatu ketika Rasul yang mulia Shallallahu `alaihi wa sallam memegang pundak Abdullah bin
‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma seraya beliau berpesan dengan pesannya yang agung:
“Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang sekedar melewati jalan
(musafir).”
Mendapat titah yang mulia seperti ini, Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun
menasehatkan saudaranya seagama:
“Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah engkau menanti datangnya pagi.
Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menanti datangnya sore. Ambillah
(manfaatkanlah) waktu sehatmu sebelum engkau terbaring sakit, dan gunakanlah masa hidupmu
untuk beramal sebelum datang kematianmu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullah dalam Shahih-nya (no. 6416) dari
guru besar beliau ‘Ali ibnul Madini dari Muhammad bin ‘Abdurrahman dari Al-A’masy dari Mujahid
dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam.
Kedudukan Hadits
Hadits ini merupakan landasan pokok untuk membatasi angan-angan terhadap kehidupan dunia.
Sehingga tidak pantas bagi seorang mukmin untuk menjadikan dunia ini sebagai negeri dan
tempat tinggalnya yang abadi, yang dengannya ia merasa tenang. Justru sebaliknya, ia harus
memposisikan diri terhadap kehidupan dunia ini sebagai seorang yang berjalan (musafir) yang
dia hanya sekedar mempersiapkan perbekalannya guna melanjutkan perjalanan. (Jami‘ul ‘Ulum,

2/377)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan asas yang
menekankan kepada seorang hamba untuk mengosongkan hatinya terhadap dunia, zuhud
terhadapnya, menghinakannya, merendahkannya, dan qana`ah (merasa cukup) dari dunia
dengan bekal yang sekedarnya dalam menjalani hidupnya.” (Fathul Bari, 11/238)
Hadits ini juga merupakan kehidupan bagi hati para hamba karena bila diamalkan
kandungannya, akan menjauhkan hati dari tipuan dunia baik dengan masa mudanya,
kesehatannya, umurnya, atau dengan apa yang ada di sekelilingnya. (kaset Durus Al-Arba‘in,
Asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh)
Hakikat Dunia dan Gemerlapnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam banyak ayat dari kitab-Nya yang mulia menyebutkan
permisalan dunia yang semuanya menunjukkan bahwa dunia itu nilainya sangat rendah dan hina,
sementara kehidupan dan kesenangannya hanya bersifat fana. Allah Yang Maha Suci berfirman:
“Ketahuilah oleh kalian, kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan,
perhiasan dan tempat kalian bermegah-megah dan berbangga-bangga akan banyaknya harta
dan anak. Permisalannya seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani,
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menguning kemudian hancur.
Dan di akhirat kelak ada adzab yang pedih dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan
kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 20)
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan berikanlah kepada mereka permisalan tentang kehidupan dunia, yaitu seperti air yang Kami
turunkan dari langit. Maka karenanya menjadi subur tumbuhan-tumbuhan di muka bumi.

Kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.” (Al Kahfi: 45)
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya janji Allah itu benar. Maka sekali-kali janganlah
kehidupan dunia itu memperdaya kalian dan janganlah sekali-kali orang yang pandai menipu
memperdayakan kalian tentang Allah.” (Fathir: 5)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Dunia adalah perhiasan yang akan binasa dan merupakan
tipuan bagi orang yang cenderung padanya. Dia tertipu dengan dunia dan menjadi terlena
karenanya, sehingga meyakini bahwa dunia adalah negeri yang tidak ada negeri selainnya dan
kehidupan yang tidak ada lagi kehidupan setelahnya. Padahal dunia ini sangat rendah dan hina,
teramat kecil bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/335)
Demikianlah hakikat dunia, ia adalah permainan, sesuatu yang melalaikan diri dan hati. Ini terlihat
pada orang-orang yang menghamba dunia yang cenderung menghabiskan umurnya dengan
segala hal yang melalaikan hati dan melupakan dari berdzikir kepada Allah, lalai akan janji dan
ancaman-Nya. Malah, mereka menjadikan agama sebagai ajang olok-olokan dan gurauan.
Berbeda keadaannya dengan orang-orang yang hidup hatinya dengan dzikir kepada Allah,
mengenal dan mencintai-Nya, sehingga mereka pun memburu akhirat sebagai negeri yang kekal
nan abadi. (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 840-841)

Shahabat yang mulia, Jabir Radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu
`alaihi wa sallam pernah lewat di sebuah pasar sedangkan manusia mengelilingi beliau. Lalu
beliau melewati bangkai anak kambing yang cacat telinganya. Beliau mengambilnya dan
memegang telinganya, seraya bersabda: “Siapa di antara kalian yang mau memiliki anak
kambing ini dengan harga satu dirham?” Para shahabat menjawab: “Kami tidak mau anak
kambing itu menjadi milik kami walau dengan harga sedikit, lagi pula apa yang dapat kami
perbuat dengan bangkai ini?” Kemudian beliau berkata lagi: “Apakah kalian suka anak kambing
ini menjadi milik kalian?”. Mereka menjawab: “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini
hidup maka dia cacat telinganya, apalagi dia dalam keadaan mati?” Mendengar pernyataan
mereka, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing
ini bagi kalian (dalam penilaian kalian).” (HR. Muslim no. 2957)
Bila hakikat dunia adalah sebagaimana digambarkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah di atas, lalu
masih tersisakah cinta yang berlebihan kepadanya?
Dunia itu Fana
Dunia dengan sifat yang telah disebutkan adalah fana, demikian yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebutkan dalam banyak ayat Al Qur’an, di antaranya:
“Setiap yang ada di atas bumi ini fana (tidak kekal).” (Ar-Rahman: 26)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menghikayatkan ucapan seseorang yang beriman dari
kalangan keluarga Fir‘aun:

“Wahai kaumku, kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara, dan sesungguhnya
negeri akhirat itulah negeri yang kekal.” (Ghafir: 39)
Di sisi lain, kematian adalah suatu kepastian, dan setiap yang hidup pasti akan mengalaminya.
“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.” (Ali Imran: 185)
Dengan demikian perpisahan dengan dunia adalah suatu kemestian, lalu apa yang sepantasnya
dilakukan seorang hamba dengan sepenggal kisah hidupnya di dunia yang fana ini? Pikirkan dan
renungkanlah wahai saudaraku!

Hamba yang Cerdas dengan Kehidupan Dunianya
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam menasehatkan:
“Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang sekedar melewati jalan
(musafir).”
Ath-Thibi Rahimahullah berkata: “Kata (atau) dalam hadits ini bukan menunjukkan keraguan
(mana yang benar di antara keduanya). Bahkan kata ini menunjukkan pilihan dan kebolehan
(yakni apakah seseorang itu memilih untuk menjadi orang asing atau musafir, keduanya
dibolehkan), akan tetapi yang paling baik bila kata ini dimaknakan dengan ‘bahkan’1.” (Fathul
Bari, 11/238)
Para ulama ketika menjelaskan hadits ini, mereka berkata: “Makna ucapan Nabi Shallallahu
`alaihi wa sallam di atas adalah janganlah engkau condong kepada dunia dan janganlah engkau
menjadikannya sebagai negeri tempat tinggal. Jangan terbetik di hatimu untuk bermukim lama di

dalamnya dan jangan terlalu bergelut dengannya. Jangan terikat dengannya kecuali sekedar
terikatnya orang yang asing di negeri yang asing (persinggahannya). Dan jangan menyibukkan
diri dengannya sebagaimana orang asing yang tidak menyibukkan dirinya ketika dia ingin pulang
untuk menjumpai keluarganya.” (Riyadhus Shalihin, Al-Imam Nawawi, hal. 187, Fathul Bari,
11/238)
Orang asing dan musafir tidak menjadikan negeri yang asing atau negeri persinggahannya
sebagai tempat menetap. (At-Ta‘liqat ‘ala Al-Arba‘in An-Nawawiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,
hal. 107)
Apabila dunia bagi seorang mukmin bukan negeri tempat menetap dan bukan pula tanah airnya,
maka sepantasnya seorang mukmin di dunia ini berada di atas salah satu dari dua keadaan yang
ada, sebagaimana wasiat Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Umar agar ia berada di
dunia di atas salah satu dari dua keadaan tersebut.
Pertama: Seorang mukmin menempatkan dirinya seakan-akan ia orang asing di dunia, ia
menetap di dunia namun dunia sebagai negeri yang asing baginya. Maka hatinya tidak terpaut
dengan negeri yang asing ini namun hatinya hanya terpaut dengan tanah airnya yang ia akan
kembali padanya. Dia berdiam di dunia sekedar mengumpulkan bekal untuk kembali ke negeri
asalnya. Berkata Al-Fudhail bin ‘Iyadh: “Seorang mukmin di dunia ini merasa sedih (dengan
keberadaannya yang belum sampai ke negeri asalnya), keinginannya hanyalah mempersiapkan
bekalnya menuju negeri tersebut.”
Kedua: Seorang mukmin menempatkan dirinya seakan-akan sebagai musafir yang tidak pernah

bermukim sama sekali, namun ia terus menerus berjalan sampai akhir hidupnya yakni saat
kematian menjemput. (Dinukil secara ringkas dari Jami‘ul Ulum, 2/378-382)
“Ukurlah dan dudukkan dirimu sebagaimana orang asing atau seorang musafir. Bahkan jadilah
engkau di dunia ini sebagai seorang musafir karena orang asing terkadang menjadikan negeri
tersebut sebagai tempat kediamannya. Berbeda halnya dengan musafir, ia akan terus berjalan
menempuh jarak yang ada sampai ke tujuannya, dan tujuannya adalah kembali kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman Allah:
“Dan sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah akhir/kesudahan segala sesuatu”. (An-Najm: 42)
Demikian secara makna dari ucapan Al-Imam Ash-Shan‘ani dalam Subulus Salam (2/266).
Wasiat Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Umar ini merupakan wasiat agung yang
sesuai dengan kenyataan seandainya manusia memahaminya. Karena manusia mengawali
kehidupannya di jannah (surga) dan ia turun ke bumi sebagai ujian sehingga dia adalah orang

asing di muka bumi ini atau musafir. Karena tempatnya yang hakiki, bila ia seorang yang memiliki
iman, ketakwaan, dan mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta ikhlas padanya, adalah
jannah. Dan hal ini harus ditanamkan oleh seorang muslim dalam hatinya karena ia tidak
menjadikan dunia sebagai negerinya, adapun ia bermukim di dunia hanyalah menjalani ujian.
(kaset Durus Al-Arba’in)
Nasehat Ibnu ‘Umar
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma menasehatkan: “Apabila engkau berada di sore hari, maka

janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah
engkau menanti datangnya sore. Ambillah (manfaatkanlah) waktu sehatmu sebelum engkau
terbaring sakit, dan gunakanlah masa hidupmu untuk beramal sebelum datang kematianmu.”
Dari nasehat yang sangat berharga di atas dipahami bahwa seseorang itu hendaknya bersegera
mengambil kesempatan yang ada untuk beramal shalih hingga tiada lagi kesempatan.
Sementara umur yang ada tidak lepas dari masa sehat dan masa sakit. Dengan demikian,
bersegeralah beramal ketika sehat sebelum datang sakit, karena ketika sehat mudah baginya
untuk beramal dan lapang jiwanya, sementara orang yang sakit, sempit dadanya, lemah dan
tidak mudah untuk beramal.
Kesehatan ini merupakan nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang banyak dilupakan oleh
manusia sebagaimana Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Ada dua kenikmatan yang manusia banyak tertipu padanya yaitu kesehatan dan waktu luang.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6412)
Bersegeralah pula beramal ketika masih hidup, mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya
sebelum kematian menjemput.
“Hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat).” (Al-Hasyr: 18)
Karena bila telah datang kematian, terputuslah amalan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
`alaihi wa sallam:
“Apabila seseorang meninggal, terputuslah amalannya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang

bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (Shahih, HR. Muslim no. 1631)
Ketika kematian datang menjemput, ia tidak dapat kembali ke dunia untuk beramal, sebagaimana
penyesalan orang yang berkata:
“Hingga tatkala kematian telah menghampiri salah seorang dari mereka, ia pun berkata: ‘Wahai
Tuhanku, kembalikanlah aku ke dunia agar aku dapat beramal shalih yang dulunya aku
tinggalkan’.” (Al-Mu’minun: 99-100)
Dengan demikian, seorang mukmin harus selalu bersiap menjemput kematian yang mungkin
datang secara tiba-tiba dan kematian itu dipersiapkan dengan amalan shalih. Ulama kita yang
terdahulu selalu bersiap untuk menjemput kematian dengan memperbanyak amalan sampaisampai bila dikatakan kepadanya: “Engkau akan meninggal malam ini”, niscaya ia tidak sanggup
lagi menambah amalannya karena ia senantiasa menghadirkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(At-Ta’liqat ‘ala Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hal. 107-108, Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, hal.
106, Syarhul Arba’in Haditsan An-Nawawiyyah, hal. 106, Fathul Bari, 11/238, kaset Durus AlArba’in)
Selamat tinggal duniaku, selamat datang akhiratku
‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah berlalu jauh ke
belakang sementara akhirat datang menjelang. Dan masing-masing memiliki anak (yakni hamba

dunia dan hamba akhirat). Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan jangan menjadi anak-anak
dunia. Karena hari ini yang ada hanyalah amal dan belum ada hisab (perhitungan amal),
sementara esok (hari akhir) yang ada hanyalah hisab dan bukan lagi saat beramal.” (Jami`ul
`Ulum wal Hikam, 2/378, Fathul Bari, 11/ 239)

Di mana penduduk negeri kaum Nuh? Kemudian di mana kaum ‘Ad dan kaum Tsamud
setelahnya? Tatkala sedang bersenang-senang di atas bantal-bantal dan sutera
Tiba-tiba mereka diantarkan ke dalam tanah
Berapa banyak orang yang sehat menjenguk orang yang sakit, Ternyata orang yang sehat itu
lebih dekat kepada kematian daripada orang yang dijenguknya
Al-Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah pernah berkata kepada seseorang: “Berapa usia yang telah
mendatangimu?” Orang itu menjawab: “60 tahun.” Al-Fudhail berkata: “Berarti sejak 60 tahun
engkau berjalan menuju Tuhanmu dan hampir-hampir engkau akan sampai pada-Nya”.
Mendengar hal itu, orang tersebut berkata: “Innalillahi wa inna ilaihi raji`un.” Al-Fudhail berkata
lagi: “Tahukah engkau tafsir dari kalimat yang engkau ucapkan? Engkau katakan bahwa aku
adalah hamba Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka siapa yang mengetahui bahwa dia
adalah hamba Allah dan dia akan kembali kepada-Nya, hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan
dibangkitkan di hadapan Allah kelak. Dan siapa yang tahu bahwa ia akan dibangkitkan, maka
hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan ditanya, dan siapa yang tahu ia akan ditanya maka
hendaklah ia mempersiapkan jawaban.” Orang itu bertanya: “Lalu apa jalan keluarnya?” AlFudhail menjawab: “Mudah.” “Apa itu?” tanya laki-laki tersebut. Al-Fudhail berkata: “Engkau
berbuat baik pada umurmu yang tersisa, niscaya akan diampuni bagimu apa yang telah lewat,
karena bila engkau berbuat jelek dengan umurmu yang tersisa engkau akan disiksa karena
kejelekan yang telah lalu dan yang akan engkau perbuat dalam sisa umurmu.” (Jami`ul Ulum,
2/383)
Ketika kusadari dunia itu fana sementara negeri akhirat itu kekal, maka segera ku berucap

selamat tinggal kefanaan dan selamat datang negeri keabadian
Teladan kita yang mulia, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam sangat mengutamakan
kehidupan akhirat sehingga bersahaja kehidupannya di dunia, sementara beliau adalah kekasih
Allah, makhluk-Nya yang paling mulia dan pemimpin anak Adam. Shahabat yang mulia
‘Umar Radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan: “Aku pernah masuk ke rumah Nabi Shallallahu
`alaihi wa sallam, aku dapati beliau sedang berbaring di atas tikar tipis yang dianyam tanpa
beralaskan kasur, hingga tampak berbekas pada punggung beliau yang mulia. Beliau bertelekan
pada bantal kulit yang diisi dengan sabut. Melihat hal itu, aku pun menangis. Nabi Shallallahu
`alaihi wa sallam bertanya: ‘Apa yangmembuatmu menangis, wahai ‘Umar?’. ‘Umar menjawab:
“Demi Allah, wahai Rasulullah, tidak ada yang membuatku menangis, melainkan karena aku
mengetahui bahwa engkau lebih mulia di sisi Allah daripada raja Kisra (penguasa Persia) dan
Qaisar (penguasa Romawi). Keduanya hidup bergelimang dengan kemewahan dan gemerlapnya
dunia, sementara engkau wahai Rasulullah berada pada tempat yang seperti aku lihat saat ini!’
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: ‘Tidakkah engkau ridha wahai ‘Umar, mereka
mendapatkan dunia sementara kita mendapatkan negeri akhirat?’. Aku menjawab: ‘Tentu, wahai
Rasulullah.’ Beliau mengatakan: ‘Demikianlah keadaannya wahai ‘Umar’.” (Shahih, HR. AlBukhari dalam Al-Adabul Mufrad. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad,
no. 1163: “Hasan shahih”).

Ibnu Rajab Rahimahullah berkata: “Apabila demikian halnya, maka menjadi jelaslah bagi seorang
mukmin untuk menggunakan sisa umurnya guna mengumpulkan amalan kebajikan. Benarlah

orang yang berkata: ‘Sisa umur seorang mukmin tidaklah ternilai harganya’.” (Jami’ul Ulum,
2/391)
Hamba-hamba Allah yang cendekia, Mereka menceraikan dunia dan takut akan fitnahnya
Ketika dunia mereka amati, Ternyata dunia bukanlah tempat tinggal untuk orang yang hidup
Jadilah dunia sebagai samudera mereka, Dan amal shalih sebagai bahteranya
Faidah Hadits
1.
1. Bolehnya seorang guru menyentuh orang yang diajarinya (tentunya yang sesama
jenis, red) ketika menyampaikan ilmu dan nasehat untuk menunjukkan kasih sayang
terhadapnya serta mengharapkan perhatiannya terhadap apa yang akan disampaikan.
Demikianlah sepantasnya seorang guru melakukan sebab-sebab yang dapat membangkitkan
perhatian muridnya.
2.

Keutamaan Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma di mana Rasulullah Shallallahu
`alaihi wa sallam menyempatkan untuk memberikan nasehat ini kepadanya.
3.
Semangat dan kesungguhan Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam dalam menyampaikan
kebaikan kepada umatnya.
4.
Penekanan untuk zuhud terhadap dunia dan mencukupkan dengan apa yang ada tanpa
berlebihan, sebagaimana musafir yang hanya membawa bekal seperlunya, serta
meninggalkan bawaan maupun beban yang akan memberatkan dan menyulitkan
perjalanannya untuk sampai ke tujuan.
5.

Seorang mukmin adalah orang asing di dunia karena surga adalah negeri asalnya,
sementara Adam, bapak manusia keluar darinya karena makar setan musuhnya.

6.

Bersegera dalam beramal tanpa menundanya.

7.

Anjuran untuk menggunakan kesempatan yang ada guna menambah amalan ketaatan.

8.

Kesehatan dan kehidupan adalah kesempatan bagi seorang mukmin sehingga ia harus
memanfaatkannya untuk amalan kebajikan dan tidak sepantasnya ia sia-siakan untuk perkara
yang tidak memberi manfaat bagi akhiratnya.

9.

Dalam hadits ini ada dalil untuk membatasi angan-angan, bersegera untuk bertaubat dan
bersiap untuk menjemput kematian. Seandainya pun ia berangan-angan hendaknya, ia
mengatakan ‘insya Allah’, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Janganlah sekali-kali
engkau mengatakan terhadap sesuatu, aku akan melakukannya besok, kecuali engkau
katakan: ‘insya Allah’ (Bila Allah menghendaki).” (Al-Kahfi: 23-24)
10.
Penekanan untuk mempersedikit bergaul dengan manusia kecuali dalam perkara yang
mendatangkan kebaikan dan tidak menyibukkan diri dengan mengumpulkan harta.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.