BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG - Identifikasi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak Di Kota Tanjungbalai

BAB I PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

  Persoalan pekerja anak semakin menjadi perhatian berbagai pihak di tingkat internasional hingga daerah. Ini mengindikasikan bahwa persoalan pekerja anak merupakan masalah serius dan membutuhkan penanganan yang komprehensif. Terutama sejak dikeluarkannya Konvensi Hak Anak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada pasal

  32 Konvensi Hak Anak (KHA) menyebutkan bahwa pekerja anak berhak dilindungi dari pekerjaan yang membahayakan kesehatan fisik, mental, spritual, moral maupun perkembangan sosial atau mengganggu pendidikan mereka. Dari pasal tersebut tampak ada pengakuan bahwa persoalan pekerja anak harus didekati sebagai persoalan kesejahteraan dan perkembangan anak. Suatu cara pandang yang mendukung gerakan pro pekerja anak disertai pemenuhan hak mereka atas pendidikan dan pelayanan kesehatan untuk menjamin kesejahteraannya.

  Prinsip dasar KHA yang mengakui hak anak merupakan sebuah terobosan untuk mengevaluasi pandangan selama ini mengenai anak-anak. Dari anggapan dominan bahwa anak merupakan objek yang bersifat pasif dan segala tingkah laku serta aktivitasnya ditentukan oleh orang dewasa, KHA menawarkan sosok anak sebagai subjek aktif yang memiliki pandangan sendiri terhadap hal-hal yang menyangkut dirinya serta orang lain. Dengan gambaran seperti itu maka anak-anak memiliki hak untuk menyampaikan pandangan dan pendapat mengenai segala hal yang menyangkut dirinya. Kemampuan anak itu memberikan pdanangannya tersebut sejalan dengan KHA yang mengutamakan hal terbaik bagi dirinya. Dalam hal ini diputuskan apa yang terbaik untuk anak harus dipertimbangkan suara anak-anak sendiri. Hal ini juga memandang pekerja anak dalam kerangka peran dan hak anak dalam masyarakat mengisyaratkan pemahaman kontekstual terhadap situasi kondisi suatu masyarakat karena perbedaan karakteristiknya. Pemahaman kontekstual terhadap situasi pekerjaan anak juga akan membantu mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang mengancam kesehatan dan keselamatan anak serta merenggut kesempatan bermain dan belajar mereka. Selain itu dapat juga diperoleh penjelasan bentuk bahaya apa yang dihadapi anak-anak dalam pekerjaannya, sehingga dapat dijadikan pertimbangan untuk menetapkan jenis intervensinya.

  Cara pandang demikian menurut Tjandraningsih (2002) telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam menyikapi keberadaan dan persoalan pekerja anak. Dimana sebelumnya, paradigma persoalan pekerja anak berada dalam kerangka pasar tenaga kerja yang memandang eksistensi pekerja anak sebagai ancaman terhadap kesempatan kerja kaum dewasa. Oleh karena itu, upaya-upaya mengatasinya bersifat anti pekerja anak yang terwujud dalam gerakan penghapusan pekerja anak. Paradigma yang sejalan dengan idealisasi masa anak-anak dalam kehidupan anak-anak Barat yang diterapkan secara universal. Orang Barat menganggap masa kanak-kanak sebagai masa bermain dan belajar, sehingga anak yang bekerja sebagai penyimpangan. Dalam kerangka ini muncul gerakan yang bermaksud melindungi anak dari kerja karena bekerja akan mengganggu masa belajar dan bermain anak-anak.

  Sejalan dengan perkembangan KHA, penelitian tentang pekerja menjadi tema penting di tengah kecenderungan ekonomi global yang mendorong ketimpangan antarnergara. Sehingga negara-negara miskin sangat potensial menambah jumlah pekerja anak. Berbagai studi yang dilakukan di Asia Pasifik menunjukkan bahwa sektor kerja yang dimasuki anak-anak makin luas. Juga terjadi peningkatan jumlah pekerja anak dan masuknya pekerja anak pada sektor-sektor pekerjaan yang tidak aman. Ini mengambarkan bahwa persoalan pekerja anak berada dalam kerangka lebih luas yang menyangkut kepentingan ekonomi. Faktor lain yang melekat pada persoalan pekerja anak adalah kondisi sektor dan lingkungan setempat yang bersifat spesifik, yang mempengaruhi situasi pekerja anak.

  Di Indonesia juga telah dilakukan beberapa kajian mengenai pekerja anak. Diantaranya untuk memahami alasan anak bekerja dan bagaimana kekerasan yang mereka alami semasa bekerja. Di antaranya Irwanto dkk (1995) yang menemukan bahwa banyak anak bekerja karena alasan ekonomi. Penelitian yang dilakukan di kota besar yakni Medan, Jakarta dan Surabaya menunjukkan kebutuhan ekonomi merupakan faktor pendorong utama anak bekerja. Namun penelitian Irwanto juga menunjukkan faktor pendorong lain anak-anak bekerja yaitu; (1) wanita sebagai kepala rumah tangga, (2) Situasi keluarga bermasalah, (3) Jumlah anggota keluarga yang besar, dan (4) Pandangan masyarakat mengenai kesiapan anak kerja anak.

  Argumen lain disampaikan Tjdanraningsih & White (1992) bahwa faktor budaya juga menjadi faktor dominan yang mendorong anak bekerja. Mereka menunjukkan bahwa di daerah pedesaan di Indonesia, anak-anak yang bekerja merupakan peristiwa biasa. Bagi masyarakat desa, bekerja bagi anak-anak adalah kegiatan lumrah dan biasa dilakukan sehari-hari. Proses industrialisasi yang sedang berlangsung saat ini, telah menyebabkan terjadi pergeseran bentuk keterlibatan anak dari tenaga keluarga yang tidak dibayar menjadi tenaga upahan. Sementara penelitian yang dilakukan Putranto (1994) adapun faktor-faktor yang turut mendorong munculnya pekerja anak adalah faktor budaya, sosial-ekonomi keluarga, lemahnya perangkat hukum, pengawasan dan pelaksanaannya, permintaan, menurunnya tingkat pendapatan di sector ekonomi wilayah tertentu, serta relokasi industri. Gejala konsumerisme akibat gencarnya promosi produksi industri sebagai akibat perkembangan teknologi dan teknologi informasi (IT), juga harus disebut sebagai faktor penyebab terjadinya atau bertambahnya pekerja anak.

  Faktor lainnya yang cukup menonjol adalah, buruknya system pendidikan menjadi salah satu faktor penyebab masuknya anak-anak dalam dunia kerja. Hal ini dikemukakan oleh Ebdon (1999), meskipun mengakui bahwa faktor kemiskinan juga sangat mempengaruhi mengapa anak-anak bekerja. Tetapi yang tidak kalah penting penelitian yang dilakukan Tjandraningsih dan Popon (2002), yang menemukan bahwa latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya suatu masyarakat sangat mempengaruhi keberadaan pekerja anak.

  Kompleksnya penyebab anak bekerja dan ruang lingkup pekerjaannya, maka sesuai dengan paradigma baru memandang pekerja anak sesuai KHA, maka kemudian dilakukanlah identifikasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Suatu pekerjaan yang dianggap berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan anak yang mengancam kesejahteran dan kehidupan anak. Kondisi seperti inilah yang menjadi acuan diterbitkannya Konvensi ILO No. 182 mengenai bentuk-bentuk terburuk pekerjaan anak

  (the worst form of child labour). Menurut pasal 3 konvensi tersebut, bentuk-bentuk

  pekerjaan terburuk bagi anak mengandung pengertian segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan seperti perdagangan anak, kerja ijon, kerja paksa termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib dalam konflik bersenjata, pelibatan anak-anak dalam segala bentuk pornografi, pelibatan anak-anak dalam perdagangan narkoba, dan pekerjanaan yang sifatnya atau lingkungan tempat kerjanya dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.

  Terkait dengan konvesi ILO tersebut, di Indonesia Kantor Perburuhan Internasional telah mengidentifikasi beberapa sektor sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Sektor tersebut antara lain yakni : pertama pelacuran anak yang disimpulkan banyak terjadi di kota-kota besar, seperti di Medan, Surabaya dan Jakarta. Mereka banyak mengalami kekerasan fisik dan beresiko tinggi terkena penyakit menular seksual; kedua anak yang bekerja di pertambangan antara lain emas, batu bara, pasir batu apung dll yang banyak terjadi di Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Mereka memisahkan endapan emas dari kotoran dan materi lain yang terbawa menggunakan zat kimia berupa merkuri dengan tangan telanjang yang bisa menyebabkan kerusakan pada kulit dan otak.

  Ketiga , anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga disemua daerah di Indonesia.

  Meskipun kerjanya menjaga bayi, memasak, membersihkan rumah dan mencuci, namun tidak terlepas dari resiko mengalami kekerasan fisik dan seksual dari majikan. Keempat, anak yang bekerja di pabrik sepatu di tempat-tempat seperti di Bogor dan Bandung, dimana tugas rutin mereka adalah memotong kulit atau plastik dengan benda tajam atau mesin, mengelem sol sepatu yang mempunyai resiko terkena mesin dan menghirup bahan kimia lem yang mudah terbakar yang dapat mengakibatkan gangguan pernapasan, seperti penyakit asma dan TBC. Kelima, anak yang menjadi pemulung dan tukang sampah terutama di kota-kota besar yang beresiko terkena percikan sampah yang terbakar, teriris kaca dan barang-barang yang mengandung bahan beracun yang boleh menyebabkan kematian Titanus dan malahan tertabrak buldoser. Keenam, anak bekerja dijalanan yang terjadi di kota-kota besar, mereka menjaja koran, mengemis dan ngamen di pinggir jalan yang boleh mengakibatkan tertabrak kendaraan atau terancam debu-debu jalanan yang boleh menyebabkan menghidap penyakit TBC. Keenam pekerjaan yang dipaparkan diatas merupakan pekerjaan yang beresiko di daratan. Disamping itu mereka juga bekerja di lautan, baik itu dipinggir pantai maupun di lepas pantai. Seperti yang dijumpai di Sumatera Utara. Anak-anak bekerja di jermal yang beresiko jatuh ke laut, juga anak-anak yang bekerja dilepas pantai seperti di pulau-pulau kecil di bagian Indonesia Timur.

  Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No.138 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja pada Juni 1999 dengan UU No. 20/1999 dan Konvensi No. 182 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak pada Maret 2000 dengan UU No. 1/2000. Implementasi dari Konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk- bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak merupakan prioritas utama di Indonesia.

  Mereka menyelam dan menjaring ikan mempergunakan alat selam dan keselamatan yang sangat minim dan sederhana.

  Sebagai tindak lanjut dari peratifikasian Konvensi tersebut, telah pula disusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak yang telah diberlakukan melalui Keputusan Presiden R.I. No. 59/2002 pada tanggal 13 Agustus 2002. Melalui Keppres tersebut pemerintah juga telah mengidentifikasi 13 jenis pekerjaan terburuk yang melibatkan pekerja anak yang harus ditangani melalui program terikat waktu (time bound programme/TBP). Jenis-jenis pekerjaan terburuk tersebut adalah:

  • Anak yang terlibat dalam kegiatan prostitusi
  • Anak yang bekerja di pertambangan
  • Anak sebagai penyelam mutiara/ aktivitas lepas pantai
  • Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi
  • Anak-anak yang bekerja di jermal
  • Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah
  • Anak-anak dalam aktifitas yang memproduksi atau menggunakan bahan peledak
  • Anak-anak yang bekerja di jalan
  • Anak sebagai pembantu rumah tangga
  • Anak yang bekerja di industri rumah tangga
  • Anak yang bekerja di perkebunan
  • Anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu
  • Anak yang bekerja pada industri yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya. Tindak lanjut dari Keppres ini, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara mengeluarkan kebijakan. Sementara di Kota Tanjungbalai sudah disusun Komite Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerja Terburuk Bagi Anak. Untuk lebih mengefektifkan
komite aksi tersebut, maka perlu dilakukan survey tentang jenis dan bentuk pekerjaan terburuk pada anak yang ada Kota Tanjung Balai.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan latarbelakang yang telah dikemukakan diawal tulisan ini, dapatlah disimpulkan permasalah kajian ini sebagai berikut; bagaimana gambaran bentuk-bentuk

  pekerjaan terburuk bagi anak di Kota Tanjungbalai. Lebih jelasnya perumusan masalah

  ini dapat dipaparkan dibawah ini; 1.

  Apakah yang melatarbelakangi anak bekerja termasuk motivasi, penyebab dan konsekuensinya.

2. Apa rekomendasi dan solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah pekerja anak

  1.3.TUJUAN KAJIAN

  Tujuan utama studi ini adalah:

  • Menghasilkan data kuantitatif dan kualitatif yang berkaitan dengan anak-anak yang bekerja
  • Mengusulkan rekomendasi dan solusi;

  1.4. KELOMPOK TARGET

  Target utama kajian ini adalah pekerja anak. Sesuai dengan Konvensi ILO No.182 maka pekerja anak yang dimaksud adalah pekerja anak yang berusia di bawah 18 tahun pada sektor-sektor atau bentuk pekerjaan terburuk bagi anak sesuai dengan Keppres 59 Tahun 2002.

  Survey awal yang dilakukan untuk menjajaki bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak di Kota Tanjungbalai dengan mengacu ke Keppres 59 Tahun 2002 , maka kemudian ditentukan 7 sektor utama yang dijadikan fokus penelitian yakni : 1.

  Anak yang bekerja pada sektor perikanan lepas pantai 2. Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga 3. Anak yang bekerja di sektor konstruksi 4. Anak yang bekerja di sektor prostitusi 5. Anak yang bekerja pada industri rumah tangga 6. Anak yang bekerja sebagai pemulung 7. Anak yang bekerja di jalanan (tukang semir sepatu)

  Selain ke tujuh sektot tersebut, juga dimasukkan anak yang bekerja di gudang, khususnya pencatuk jadi fokus penelitian ini. Hal ini terkait dengan bahaya dan resiko yang dialami oleh anak di sektor tersebut. Sementara anak yang bekerja di jermal, tidak menjadi fokus penelitian karena dalam survey awal diperoleh informasi bahwa pekerja anak di sektor tersebut sudah tidak ada lagi.

  1.5. ISU-ISU YANG DICAKUP DALAM KAJIAN

  Kajian cepat akan mencakup tiga isu yang berkaitan dengan pekerjaan anak di Kota Tanjungbalai yakni :

  Pekerja Anak dan Keluarganya

  • keluarga

  Karakteristik pekerja anak berkenaan dengan sekolah dan kontribusinya terhadap

  • target(seluruh aspek termasuk pendidikan, pendapatan, kesempatan kerja, ukuran, usia, informasi saudara sekandung dan alternatif pekerjaan untuk anak-anak dan lain- lain);

  Identifikasi latar belakang sosial ekonomi, budaya, dan keluarga pada kelompok

  • keluarganya;

  Mengkaji tingkat informasi dan kewaspadaan tentang bahaya pada anak dan

  • terhadap anak-anak bekerja dan;

  Mempelajari sikap anak-anak yang bekerja, orangtuanya dan teman sekelompok

  • pekerja anak.

  Mengkaji persepsi bekerja, kehidupan dan harapan/keinginan di masa depan para

  Karakteristik Lingkunga Pekerjaan Anak

  • anak di lokasi penelitian,

  Mengidentifikasi dan menjelaskan bentuk pekerjaan terburuk yang melibatkan anak-

  Mengidentifikasi dan menjelaskan proses pekerjaan sesuai dengan sektor

  • Mengidentifikasi karakteristik resiko/bahaya dan kondisi kerja
  • Mengkaji dampak dan konsekuensi pekerjaan para pekerja anak;
  • Mengkaji level informasi dan kewaspadaan pada bahaya;
  • Mempelajari sikap orang tua dan pihak lainnya terhadap pekerja anak pada
  • Mengidentifikasi alasan-alasan mencari anak-anak bekerja di sektor ini ;
  • >Mendeskripsikan variasi proses rekrutmen pekerja anak

  • belakang sejarah, dan dinamika sosial termasuk dampak otonomi daerah.

  Mengkaji akar penyebab dari anak bekerja, termasuk mekanisme budaya latar

1.6. METODOLOGI KAJIAN

  1.6.1. Jenis Penelitian

  Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang ditujukan untuk memperoleh gambaran yang luas mengenai karakteristik, potensi pekerja anak di Kota Tanjungbalai. Selanjutnya focus perhatian ada pada aspek kesejahteraan yang meliputi pandangan dan aspirasi mereka terhadap ekonomi, pendidikan dan kesehatan dari sudut pdanang mereka sendiri. Dalam hal ini pekerja anak dilihat sebagai actor social dan memiliki hak-hak penuh. Namun bukan berarti pendekatan melulu pada anak sebagai anggota pekerja anak. Untuk mendapatkan data yang variatif dan mendalam, maka pendekatan dilakukan pula pada berbagai pihak yang terkait, yakni orang tua mereka, dan pemilik usaha, dan lembaga swdaya masyarakat (LSM) yang memiliki program di Kota Tanjungbalai.

  1.6.2. Lokasi Geografis dan Pemetaan

  Lokasi penelitian berada di wilayah administratif Kota Tanjungbalai. Hanya saja, pekerja anak umumnya terlibat di dalam perikanan tangkap sebagai nelayan maupun pada industri rumah tangga pengolahan hasil perikanan yang umumnya berada di Kecamatan Teluk Nibung maka lokasi utama penelitian berada di Teluk Nibung. Lokasi lainnya tersebar di kecamatan lainnya terkait dengan keberadaan pekerja anak lainnya.

  1.6.3. Metode Pengumpulan Data

  Dalam penelitian ini, peneliti membagi dua sumber data dan kategorinya. Pertama pengumpulan data sekunder. Data ini dikumpulkan dengan cara melakukan studi kepustakaan berupa tulisan-tulisan yang telah diterbitkan dalam kaitan dengan kajian yang akan diteliti. Kedua pengumpulan data primer. Pengumpulan data primer dilakukan

  Sebelum pengumpulan data dilakukan, dilaksanakan studi awal untuk memperoleh gambaran umum wilayah penelitian dan kondisi keterlibatan pekerja anak serta melakukan uji coba kuesioner dan pedoman wawancara. Hasil ini kemudian digunakan untuk menyempurnakan instrument penelitian dan menyususn strategi pengumpulan data di lapangan. Dengan menggunakan alat pengumpul data ini, diharapkan data akan diperoleh semaksimal mungkin.

  dengan observasi langsung, wawancara langsung dengan kuesioner dan wawancara mendalam yang menggunakan panduan wawancara.

  • Observasi langsung: Tim peneliti akan melakukan observasi sistematis pada lokasi riset untuk mendapatkan informasi nyata kegiatan dan kondisi kerja. Observasi akan dikumpulkan dengan pandangan untuk memahami sebab dan peningkatan pekerjaan, diidentifikasi perbedaan diantara apa yang pekerja anak katakan, dan apa yang mereka kerjakan dan apa sebenarnya yang terjadi. Observasi langsung juga akan merupakan cara yang efektif untuk memprediksi jumlah anak-anak yang bekerja di sektor dan lokasi khusus dan secara sederahana untuk cara menghitung pekerja anak yang kelihatan di tempat kerja.
  • Wawancara langsung: Tim peneliti akan melaksanakan wawancara pada pekerja anak dengan menggunakan wawancara terstruktur untuk memperoleh respon pada kuesioner yang telah disiapkan. Sementara wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh yang lebih terinci tentang informasi tertentu. Wawancara mendalam juga dilakukan pada keluarga PA, pengusaha dan aktifis LSM.

1.6.4. Data review dan analysis

  Analisis data dilakukan terhadap dua jenis data, yaitu; pertama, analisis data kualitatif yang telah dilakukan sejak di lapangan dengan cara menguji data dan informasi yang terkumpul melalui metode cross-check pada tingkat informan dan tingkat tehnik pengumpulan data. Selanjutnya dilakukan klasifikasi data berdasarkan pola-pola yang sesuai dengan pedoman pengumpulan data yang diturunkan dari pertanyaan penelitian. Kedua, analisis data kuantitatif dengan melakukan analisis table frekuensi dari setiap variable. Analisis table dilakukan dengan menggunakan metode statistic computer atau lebih dikenal dengan SPSS.

  Langkah permulaan penelitian, analisis koding data akan dilakukan. Setiap observasi, wawancara dan kelompok wawancara akan ditabulasi dan koding untuk review dan analisis data, lembaran observasi baku harus diiringi setiap pengumpulan data. Pengecekan ulang diantara dengan metode riset yang berbeda akan menghasilkan data yang lebih valid.

1.6.5. Tim Riset

  Kordinator peneliti akan mengidentifikasi, merekrut dan memimpin tim enumerator seoptimalnya. Enumerator haruslah memiliki kepribadian yang baik, pengetahuan mengenai masalah lokaldan memiliki pengalaman baik dalam pengumpulan data dengan berbagai metode termasuk pengamatan, wawancara, diskusi dengan kelompok terfokus.

  Dalam menyeleksi anggota tim sangat penting untuk memasukkan enumerator yang memiliki pengalaman dengan pekerja anak. Budaya dan pengalaman terhadap sensitifnya pekerja anak harus dimiliki enumerator sebelum melakukan wawancara.

  Adapun Tim peneliti adalah sebagai berikut : 1.

  Penanggung Jawab 2. Koordinator 3. Asisten peneliti 4. Enumerator sebanyak 8 orang