Identifikasi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak Di Kota Tanjungbalai

(1)

LAPORAN PENELITIAN

IDENTIFIKASI BENTUK-BENTUK PEKERJAAN

TERBURUK BAGI ANAK

DI KOTA TANJUNGBALAI

Kerjasama

Departemen Antropologi FISIP USU

Dengan

Dinas Tenaga Kerja Pemko Tanjungbalai


(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………i

DAFTAR ISI ……… ii

DAFTAR TABEL ……… iii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1.Latar Belakang ……….. ……… 2

1.2.Perumusan Masalah ……….. 6

1.3.Tujuan Kajian ……….. 7

1.4.Kelompok Target ………. 7

1.5.Isu-Isu Yang Dicakup dalam kajian ……… 8

1.6.Metodologi Kajian ……….10

BAB II GAMBARAN UMUM PEKERJA ANAK ……… ……….. 14

BAB III PEMBAHASAN ……… 17

3.1. Lingkungan Kerja Pekerja Anak ………... 17

3.2. Profil Pekerja Anak……….. 20

3.3. Profil Pendidikan Pekerja Anak……… 24

3.4. Profil Keluarga Pekerja Anak ……….. 28

3.5. Informasi Tentang Pekerja Anak ………. 30

3.6. Upah dan Periodesasi Kerja Pekerja Anak………. 34

3.7. Penyebab Anak Bekerja ……… 41

3.8. Sikap Orang Tua ……… 43

3.9. Resiko dan Bahaya Kerja ………. 44

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN..………... 60

DAFTAR BACAAN …...61 LAMPIRAN


(3)

Daftar Tabel

Tabel 1. Responden Berdasarkan Bentuk Pekerjaan ...15

Tabel 2. Usia Responden ...21

Tabel 3. Jenis Kelamin Responden ...22

Tabel 4. Suku Bangsa Responden ...23

Tabel 5. PA Berdasarkan Status Masih dan Tidak Bersekolah ... 24

Tabel 6. Pendidikan Terakhir Responden Yang Putus Sekolah ...25

Tabel 7. Alasan Responden Tidak Menamatkan Sekolah ...26

Tabel 8. Adakah Keinginan Responden Untuk Sekolah Kembali ...26

Tabel 9. Apakah Responden Memiliki Keterampilan Yang Dikuasai ...27

Tabel 10. Cita-Cita Responden ...28

Tabel 11. Pekerjaan Ayah Responden ……….29

Tabel 12. Lama Responden Bekerja ……….30

Tabel 13. Sumber Responden Mendapatkan Informasi Pekerjaan ………..31

Tabel 14. Berapakali Responden Berpindah Pekerjaan ………33

Tabel 15. Alasan Responden Pindah Pekerjaan ………33

Tabel 16. Apakah Responden Sebelumnya Mengetahui Besarnya Upah Bekerja ……...35

Tabel 17. Periode Pembayaran Upah Yang Diterima Responden ………36

Tabel 18. Rata-Rata Upah Responden Perbulan ………...37

Tabel 19. Siapa Yang Memberikan Upah Kepada Responden ……… 37

Tabel 20. Perbedaan Upah Dengan Pekerja Dewasa ………38

Tabel 21. Bentuk Alokasi Pengeluaran PA ………..39

Tabel 22. Apakah Responden Pernah Sakit Selama Bekerja ………...39

Tabel 23. Jenis Penyakit Yang Diderita Oleh Pekerja Anak Selama Bekerja …………..40

Tabel 24. Pengetahuan Responden Tentang Hak Anak ………40

Tabel 25. Apakah Orang Tua Mengetahui Responden Bekerja ………...43

Tabel 26. Jam Kerja PA dan Aktivitas PA Menurut Bentuk Pekerjaan ………...51

Tabel 27. Apakah Pekerja Anak Pernah Mengalami Kecelakaan Kerja ………..52

Tabel 28. Bentuk Kecelakaan Yang Dialami PA Berdasarkan Bentuk Pekerjaan …… 52


(4)

Tabel 30. Apakah Ada Perlengkapan Kerja Untuk Keamanan dan Keselamatan Kerja ..54 Tabel 31. Bentuk Peralatan Penting Bagi Keamanan dan Keselamatan Kerja …………54 Tabel 32. Kekerasan Fisik dan Non Fisik Dalam Bekerja ………55 Tabel 33. Bentuk Kekerasan Yang Dialami Oleh PA ……….. 56 Tabel 34. Bentuk Kekerasan Yang Dialami PA Berdasarkan Bentuk Pekerjaan ……….57 Tabel 35. Frekuensi Responden Mengalami Perlakuan Buruk Dalam 3 Bulan Terakhir 58 Tabel 36. Sikap Responden Terhadap Perlakuan Buruk Yang Dialami ………...58


(5)

KATA PENGANTAR

Dalam beberapa tahun terakhir, upaya penghapusan bentuk-bentuk terburuk bagi Pekerja Anak (PA) di Indonesia semakin gencar dilakukan. Inisiatif awal yang dilakukan oleh organisasi perburuhan internasional (ILO) telah ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan yang diantaranya dengan mengeluarkan kerangka regulasi dan kelompok aksi untuk upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi pekerja anak tersebut. Berbagai upaya yang dilakukan dengan dukungan yang begitu kuat dari pemerintah dan instansi terkait lainnya, telah memberikan dampak yang positif dengan terhapusnya pekerja anak pada sektor-sektor tertentu seperti anak yang bekerja di jermal. Hanya saja, pada bentuk-bentuk pekerjan terburuk lainnya, masih banyak pekerja anak yang terlibat dalam bekerja.

Sehubungan dengan itu, upaya yang sistematis dan terencana dengan melibatkan semua stakeholder masih harus tetap dilakukan. Pemko Tanjungbalai memiliki komitmen yang besar untuk mendukung upaya-upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerja terburuk bagi pekerja anak di Kota Tanjungbalai. Berbagai upaya dilakukan diantaranya melalui komite aksi dan berbagai programnya. Untuk mendukung kinerja komite aksi tersebut, disadari bahwa ada kebutuhan untuk memiliki data yang komprehensif mengenai bentuk-bentuk pekerja anak yang ada di Kota Tanjungbalai.

Berkenaan dengan hal tersebut, maka Dinas Tenaga Kerja Kota Tanjungbalai bekerjasama dengan Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-Universitas Sumatera Utara melakukan kajian untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak di Kota Tanjungbalai.

Pada kesempatan ini diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya kajian ini terutama kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Tanjungbalai yang telah memberi kepercayaan untuk melaksanakan studi ini. Ucapan terima kaih juga disampaikan kepada seluruh responden dan informan serta pihak-pihak yang turut mendukung terlaksananya penelitian ini. Kami menyadari bahwa masih ada kekurangan dan kelemahan dalam penyelesaian kajian ini.

Akhirnya semoga hasil temuan dari kajian ini memberi manfaat bagi kita semua untuk bisa memahami pekerja anak di Kota Tanjungbalai dan upaya penanggulangan bisa dilakukan dengan strategi yang tepat dan efektif.

Medan,

Koordinator Penelitian


(6)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG

Persoalan pekerja anak semakin menjadi perhatian berbagai pihak di tingkat internasional hingga daerah. Ini mengindikasikan bahwa persoalan pekerja anak merupakan masalah serius dan membutuhkan penanganan yang komprehensif. Terutama sejak dikeluarkannya Konvensi Hak Anak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada pasal 32 Konvensi Hak Anak (KHA) menyebutkan bahwa pekerja anak berhak dilindungi dari pekerjaan yang membahayakan kesehatan fisik, mental, spritual, moral maupun perkembangan sosial atau mengganggu pendidikan mereka. Dari pasal tersebut tampak ada pengakuan bahwa persoalan pekerja anak harus didekati sebagai persoalan kesejahteraan dan perkembangan anak. Suatu cara pandang yang mendukung gerakan pro pekerja anak disertai pemenuhan hak mereka atas pendidikan dan pelayanan kesehatan untuk menjamin kesejahteraannya.

Prinsip dasar KHA yang mengakui hak anak merupakan sebuah terobosan untuk mengevaluasi pandangan selama ini mengenai anak-anak. Dari anggapan dominan bahwa anak merupakan objek yang bersifat pasif dan segala tingkah laku serta aktivitasnya ditentukan oleh orang dewasa, KHA menawarkan sosok anak sebagai subjek aktif yang memiliki pandangan sendiri terhadap hal-hal yang menyangkut dirinya serta orang lain. Dengan gambaran seperti itu maka anak-anak memiliki hak untuk menyampaikan pandangan dan pendapat mengenai segala hal yang menyangkut dirinya. Kemampuan anak itu memberikan pdanangannya tersebut sejalan dengan KHA yang mengutamakan hal terbaik bagi dirinya. Dalam hal ini diputuskan apa yang terbaik untuk anak harus dipertimbangkan suara anak-anak sendiri. Hal ini juga memandang pekerja anak dalam kerangka peran dan hak anak dalam masyarakat mengisyaratkan pemahaman kontekstual terhadap situasi kondisi suatu masyarakat karena perbedaan karakteristiknya. Pemahaman kontekstual terhadap situasi pekerjaan anak juga akan membantu mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang mengancam kesehatan dan keselamatan anak serta merenggut kesempatan bermain dan belajar mereka. Selain itu dapat juga diperoleh


(7)

penjelasan bentuk bahaya apa yang dihadapi anak-anak dalam pekerjaannya, sehingga dapat dijadikan pertimbangan untuk menetapkan jenis intervensinya.

Cara pandang demikian menurut Tjandraningsih (2002) telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam menyikapi keberadaan dan persoalan pekerja anak. Dimana sebelumnya, paradigma persoalan pekerja anak berada dalam kerangka pasar tenaga kerja yang memandang eksistensi pekerja anak sebagai ancaman terhadap kesempatan kerja kaum dewasa. Oleh karena itu, upaya-upaya mengatasinya bersifat anti pekerja anak yang terwujud dalam gerakan penghapusan pekerja anak. Paradigma yang sejalan dengan idealisasi masa anak-anak dalam kehidupan anak-anak Barat yang diterapkan secara universal. Orang Barat menganggap masa kanak-kanak sebagai masa bermain dan belajar, sehingga anak yang bekerja sebagai penyimpangan. Dalam kerangka ini muncul gerakan yang bermaksud melindungi anak dari kerja karena bekerja akan mengganggu masa belajar dan bermain anak-anak.

Sejalan dengan perkembangan KHA, penelitian tentang pekerja menjadi tema penting di tengah kecenderungan ekonomi global yang mendorong ketimpangan antarnergara. Sehingga negara-negara miskin sangat potensial menambah jumlah pekerja anak. Berbagai studi yang dilakukan di Asia Pasifik menunjukkan bahwa sektor kerja yang dimasuki anak-anak makin luas. Juga terjadi peningkatan jumlah pekerja anak dan masuknya pekerja anak pada sektor-sektor pekerjaan yang tidak aman. Ini mengambarkan bahwa persoalan pekerja anak berada dalam kerangka lebih luas yang menyangkut kepentingan ekonomi. Faktor lain yang melekat pada persoalan pekerja anak adalah kondisi sektor dan lingkungan setempat yang bersifat spesifik, yang mempengaruhi situasi pekerja anak.

Di Indonesia juga telah dilakukan beberapa kajian mengenai pekerja anak. Diantaranya untuk memahami alasan anak bekerja dan bagaimana kekerasan yang mereka alami semasa bekerja. Di antaranya Irwanto dkk (1995) yang menemukan bahwa banyak anak bekerja karena alasan ekonomi. Penelitian yang dilakukan di kota besar yakni Medan, Jakarta dan Surabaya menunjukkan kebutuhan ekonomi merupakan faktor pendorong utama anak bekerja. Namun penelitian Irwanto juga menunjukkan faktor pendorong lain anak-anak bekerja yaitu; (1) wanita sebagai kepala rumah tangga, (2)


(8)

Situasi keluarga bermasalah, (3) Jumlah anggota keluarga yang besar, dan (4) Pandangan masyarakat mengenai kesiapan anak kerja anak.

Argumen lain disampaikan Tjdanraningsih & White (1992) bahwa faktor budaya juga menjadi faktor dominan yang mendorong anak bekerja. Mereka menunjukkan bahwa di daerah pedesaan di Indonesia, anak-anak yang bekerja merupakan peristiwa biasa. Bagi masyarakat desa, bekerja bagi anak-anak adalah kegiatan lumrah dan biasa dilakukan sehari-hari. Proses industrialisasi yang sedang berlangsung saat ini, telah menyebabkan terjadi pergeseran bentuk keterlibatan anak dari tenaga keluarga yang tidak dibayar menjadi tenaga upahan. Sementara penelitian yang dilakukan Putranto (1994) adapun faktor-faktor yang turut mendorong munculnya pekerja anak adalah faktor budaya, sosial-ekonomi keluarga, lemahnya perangkat hukum, pengawasan dan pelaksanaannya, permintaan, menurunnya tingkat pendapatan di sector ekonomi wilayah tertentu, serta relokasi industri. Gejala konsumerisme akibat gencarnya promosi produksi industri sebagai akibat perkembangan teknologi dan teknologi informasi (IT), juga harus disebut sebagai faktor penyebab terjadinya atau bertambahnya pekerja anak.

Faktor lainnya yang cukup menonjol adalah, buruknya system pendidikan menjadi salah satu faktor penyebab masuknya anak-anak dalam dunia kerja. Hal ini dikemukakan oleh Ebdon (1999), meskipun mengakui bahwa faktor kemiskinan juga sangat mempengaruhi mengapa anak-anak bekerja. Tetapi yang tidak kalah penting penelitian yang dilakukan Tjandraningsih dan Popon (2002), yang menemukan bahwa latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya suatu masyarakat sangat mempengaruhi keberadaan pekerja anak.

Kompleksnya penyebab anak bekerja dan ruang lingkup pekerjaannya, maka sesuai dengan paradigma baru memandang pekerja anak sesuai KHA, maka kemudian dilakukanlah identifikasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Suatu pekerjaan yang dianggap berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan anak yang mengancam kesejahteran dan kehidupan anak. Kondisi seperti inilah yang menjadi acuan diterbitkannya Konvensi ILO No. 182 mengenai bentuk-bentuk terburuk pekerjaan anak

(the worst form of child labour). Menurut pasal 3 konvensi tersebut, bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak mengandung pengertian segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan seperti perdagangan anak, kerja ijon,


(9)

kerja paksa termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib dalam konflik bersenjata, pelibatan anak-anak dalam segala bentuk pornografi, pelibatan anak-anak dalam perdagangan narkoba, dan pekerjanaan yang sifatnya atau lingkungan tempat kerjanya dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.

Terkait dengan konvesi ILO tersebut, di Indonesia Kantor Perburuhan Internasional telah mengidentifikasi beberapa sektor sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Sektor tersebut antara lain yakni : pertama pelacuran anak yang disimpulkan banyak terjadi di kota-kota besar, seperti di Medan, Surabaya dan Jakarta. Mereka banyak mengalami kekerasan fisik dan beresiko tinggi terkena penyakit menular seksual; kedua anak yang bekerja di pertambangan antara lain emas, batu bara, pasir batu apung dll yang banyak terjadi di Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Mereka memisahkan endapan emas dari kotoran dan materi lain yang terbawa menggunakan zat kimia berupa merkuri dengan tangan telanjang yang bisa menyebabkan kerusakan pada kulit dan otak.

Ketiga, anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga disemua daerah di Indonesia. Meskipun kerjanya menjaga bayi, memasak, membersihkan rumah dan mencuci, namun tidak terlepas dari resiko mengalami kekerasan fisik dan seksual dari majikan. Keempat, anak yang bekerja di pabrik sepatu di tempat-tempat seperti di Bogor dan Bandung, dimana tugas rutin mereka adalah memotong kulit atau plastik dengan benda tajam atau mesin, mengelem sol sepatu yang mempunyai resiko terkena mesin dan menghirup bahan kimia lem yang mudah terbakar yang dapat mengakibatkan gangguan pernapasan, seperti penyakit asma dan TBC. Kelima, anak yang menjadi pemulung dan tukang sampah terutama di kota-kota besar yang beresiko terkena percikan sampah yang terbakar, teriris kaca dan barang-barang yang mengandung bahan beracun yang boleh menyebabkan kematian Titanus dan malahan tertabrak buldoser. Keenam, anak bekerja dijalanan yang terjadi di kota-kota besar, mereka menjaja koran, mengemis dan ngamen di pinggir jalan yang boleh mengakibatkan tertabrak kendaraan atau terancam debu-debu jalanan yang boleh menyebabkan menghidap penyakit TBC. Keenam pekerjaan yang dipaparkan diatas merupakan pekerjaan yang beresiko di daratan. Disamping itu mereka juga bekerja di lautan, baik itu dipinggir pantai maupun di lepas pantai. Seperti yang dijumpai di Sumatera Utara. Anak-anak bekerja di jermal yang beresiko jatuh ke laut, juga anak-anak yang bekerja dilepas pantai seperti di pulau-pulau kecil di bagian Indonesia Timur.


(10)

Mereka menyelam dan menjaring ikan mempergunakan alat selam dan keselamatan yang sangat minim dan sederhana.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No.138 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja pada Juni 1999 dengan UU No. 20/1999 dan Konvensi No. 182 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak pada Maret 2000 dengan UU No. 1/2000. Implementasi dari Konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak merupakan prioritas utama di Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari peratifikasian Konvensi tersebut, telah pula disusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak yang telah diberlakukan melalui Keputusan Presiden R.I. No. 59/2002 pada tanggal 13 Agustus 2002. Melalui Keppres tersebut pemerintah juga telah mengidentifikasi 13 jenis pekerjaan terburuk yang melibatkan pekerja anak yang harus ditangani melalui program terikat waktu (time bound programme/TBP). Jenis-jenis pekerjaan terburuk tersebut adalah:

- Anak yang terlibat dalam kegiatan prostitusi - Anak yang bekerja di pertambangan

- Anak sebagai penyelam mutiara/ aktivitas lepas pantai - Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi

- Anak-anak yang bekerja di jermal

- Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah

- Anak-anak dalam aktifitas yang memproduksi atau menggunakan bahan peledak - Anak-anak yang bekerja di jalan

- Anak sebagai pembantu rumah tangga - Anak yang bekerja di industri rumah tangga - Anak yang bekerja di perkebunan

- Anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu

- Anak yang bekerja pada industri yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya.

Tindak lanjut dari Keppres ini, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara mengeluarkan kebijakan. Sementara di Kota Tanjungbalai sudah disusun Komite Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerja Terburuk Bagi Anak. Untuk lebih mengefektifkan


(11)

komite aksi tersebut, maka perlu dilakukan survey tentang jenis dan bentuk pekerjaan terburuk pada anak yang ada Kota Tanjung Balai.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latarbelakang yang telah dikemukakan diawal tulisan ini, dapatlah disimpulkan permasalah kajian ini sebagai berikut; bagaimana gambaran bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak di Kota Tanjungbalai. Lebih jelasnya perumusan masalah ini dapat dipaparkan dibawah ini;

1. Apakah yang melatarbelakangi anak bekerja termasuk motivasi, penyebab dan konsekuensinya.


(12)

1.3.TUJUAN KAJIAN

Tujuan utama studi ini adalah:

• Menghasilkan data kuantitatif dan kualitatif yang berkaitan dengan anak-anak yang bekerja

• Mengusulkan rekomendasi dan solusi;

1.4. KELOMPOK TARGET

Target utama kajian ini adalah pekerja anak. Sesuai dengan Konvensi ILO No.182 maka pekerja anak yang dimaksud adalah pekerja anak yang berusia di bawah 18 tahun pada sektor-sektor atau bentuk pekerjaan terburuk bagi anak sesuai dengan Keppres 59 Tahun 2002.

Survey awal yang dilakukan untuk menjajaki bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak di Kota Tanjungbalai dengan mengacu ke Keppres 59 Tahun 2002 , maka kemudian ditentukan 7 sektor utama yang dijadikan fokus penelitian yakni :

1. Anak yang bekerja pada sektor perikanan lepas pantai 2. Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga 3. Anak yang bekerja di sektor konstruksi

4. Anak yang bekerja di sektor prostitusi

5. Anak yang bekerja pada industri rumah tangga 6. Anak yang bekerja sebagai pemulung

7. Anak yang bekerja di jalanan (tukang semir sepatu)

Selain ke tujuh sektot tersebut, juga dimasukkan anak yang bekerja di gudang, khususnya pencatuk jadi fokus penelitian ini. Hal ini terkait dengan bahaya dan resiko yang dialami oleh anak di sektor tersebut. Sementara anak yang bekerja di jermal, tidak menjadi fokus penelitian karena dalam survey awal diperoleh informasi bahwa pekerja anak di sektor tersebut sudah tidak ada lagi.


(13)

Kajian cepat akan mencakup tiga isu yang berkaitan dengan pekerjaan anak di Kota Tanjungbalai yakni :

Pekerja Anak dan Keluarganya

- Karakteristik pekerja anak berkenaan dengan sekolah dan kontribusinya terhadap keluarga

- Identifikasi latar belakang sosial ekonomi, budaya, dan keluarga pada kelompok target(seluruh aspek termasuk pendidikan, pendapatan, kesempatan kerja, ukuran, usia, informasi saudara sekandung dan alternatif pekerjaan untuk anak-anak dan lain-lain);

- Mengkaji tingkat informasi dan kewaspadaan tentang bahaya pada anak dan keluarganya;

- Mempelajari sikap anak-anak yang bekerja, orangtuanya dan teman sekelompok terhadap anak-anak bekerja dan;

- Mengkaji persepsi bekerja, kehidupan dan harapan/keinginan di masa depan para pekerja anak.

Karakteristik Lingkunga Pekerjaan Anak

- Mengidentifikasi dan menjelaskan bentuk pekerjaan terburuk yang melibatkan anak-anak di lokasi penelitian,

- Mengidentifikasi dan menjelaskan proses pekerjaan sesuai dengan sektor - Mengidentifikasi karakteristik resiko/bahaya dan kondisi kerja

- Mengkaji dampak dan konsekuensi pekerjaan para pekerja anak; - Mengkaji level informasi dan kewaspadaan pada bahaya;

- Mempelajari sikap orang tua dan pihak lainnya terhadap pekerja anak pada - Mengidentifikasi alasan-alasan mencari anak-anak bekerja di sektor ini ; - Mendeskripsikan variasi proses rekrutmen pekerja anak


(14)

- Mengkaji akar penyebab dari anak bekerja, termasuk mekanisme budaya latar belakang sejarah, dan dinamika sosial termasuk dampak otonomi daerah.

1.6. METODOLOGI KAJIAN

1.6.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang ditujukan untuk memperoleh gambaran yang luas mengenai karakteristik, potensi pekerja anak di Kota Tanjungbalai. Selanjutnya focus perhatian ada pada aspek kesejahteraan yang meliputi pandangan dan aspirasi mereka terhadap ekonomi, pendidikan dan kesehatan dari sudut pdanang mereka sendiri. Dalam hal ini pekerja anak dilihat sebagai actor social dan memiliki hak-hak penuh. Namun bukan berarti pendekatan melulu pada anak sebagai anggota pekerja anak. Untuk mendapatkan data yang variatif dan mendalam, maka pendekatan dilakukan pula pada berbagai pihak yang terkait, yakni orang tua mereka, dan pemilik usaha, dan lembaga swdaya masyarakat (LSM) yang memiliki program di Kota Tanjungbalai.

1.6.2. Lokasi Geografis dan Pemetaan

Lokasi penelitian berada di wilayah administratif Kota Tanjungbalai. Hanya saja, pekerja anak umumnya terlibat di dalam perikanan tangkap sebagai nelayan maupun pada industri rumah tangga pengolahan hasil perikanan yang umumnya berada di Kecamatan Teluk Nibung maka lokasi utama penelitian berada di Teluk Nibung. Lokasi lainnya tersebar di kecamatan lainnya terkait dengan keberadaan pekerja anak lainnya.

1.6.3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti membagi dua sumber data dan kategorinya. Pertama pengumpulan data sekunder. Data ini dikumpulkan dengan cara melakukan studi kepustakaan berupa tulisan-tulisan yang telah diterbitkan dalam kaitan dengan kajian yang akan diteliti. Kedua pengumpulan data primer. Pengumpulan data primer dilakukan


(15)

dengan observasi langsung, wawancara langsung dengan kuesioner dan wawancara mendalam yang menggunakan panduan wawancara.

Observasi langsung: Tim peneliti akan melakukan observasi sistematis pada lokasi riset untuk mendapatkan informasi nyata kegiatan dan kondisi kerja. Observasi akan dikumpulkan dengan pandangan untuk memahami sebab dan peningkatan pekerjaan, diidentifikasi perbedaan diantara apa yang pekerja anak katakan, dan apa yang mereka kerjakan dan apa sebenarnya yang terjadi. Observasi langsung juga akan merupakan cara yang efektif untuk memprediksi jumlah anak-anak yang bekerja di sektor dan lokasi khusus dan secara sederahana untuk cara menghitung pekerja anak yang kelihatan di tempat kerja.

Wawancara langsung: Tim peneliti akan melaksanakan wawancara pada pekerja anak dengan menggunakan wawancara terstruktur untuk memperoleh respon pada kuesioner yang telah disiapkan. Sementara wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh yang lebih terinci tentang informasi tertentu. Wawancara mendalam juga dilakukan pada keluarga PA, pengusaha dan aktifis LSM.

Sebelum pengumpulan data dilakukan, dilaksanakan studi awal untuk memperoleh gambaran umum wilayah penelitian dan kondisi keterlibatan pekerja anak serta melakukan uji coba kuesioner dan pedoman wawancara. Hasil ini kemudian digunakan untuk menyempurnakan instrument penelitian dan menyususn strategi pengumpulan data di lapangan. Dengan menggunakan alat pengumpul data ini, diharapkan data akan diperoleh semaksimal mungkin.


(16)

Analisis data dilakukan terhadap dua jenis data, yaitu; pertama, analisis data kualitatif yang telah dilakukan sejak di lapangan dengan cara menguji data dan informasi yang terkumpul melalui metode cross-check pada tingkat informan dan tingkat tehnik pengumpulan data. Selanjutnya dilakukan klasifikasi data berdasarkan pola-pola yang sesuai dengan pedoman pengumpulan data yang diturunkan dari pertanyaan penelitian. Kedua, analisis data kuantitatif dengan melakukan analisis table frekuensi dari setiap variable. Analisis table dilakukan dengan menggunakan metode statistic computer atau lebih dikenal dengan SPSS.

Langkah permulaan penelitian, analisis koding data akan dilakukan. Setiap observasi, wawancara dan kelompok wawancara akan ditabulasi dan koding untuk review dan analisis data, lembaran observasi baku harus diiringi setiap pengumpulan data. Pengecekan ulang diantara dengan metode riset yang berbeda akan menghasilkan data yang lebih valid.

1.6.5. Tim Riset

Kordinator peneliti akan mengidentifikasi, merekrut dan memimpin tim enumerator seoptimalnya. Enumerator haruslah memiliki kepribadian yang baik, pengetahuan mengenai masalah lokaldan memiliki pengalaman baik dalam pengumpulan data dengan berbagai metode termasuk pengamatan, wawancara, diskusi dengan kelompok terfokus.

Dalam menyeleksi anggota tim sangat penting untuk memasukkan enumerator yang memiliki pengalaman dengan pekerja anak. Budaya dan pengalaman terhadap sensitifnya pekerja anak harus dimiliki enumerator sebelum melakukan wawancara.

Adapun Tim peneliti adalah sebagai berikut : 1. Penanggung Jawab

2. Koordinator 3. Asisten peneliti


(17)

BAB II

GAMBARAN UMUM PEKERJA ANAK DI KOTA TANJUNGBALAI

Kota Tanjungbalai merupakan salah satu daerah yang berada di Pantai Timur Sumatera Utara, secara geografis Kota Tanjung Balai berada pada 2’58’00 LU dan 99’48’00 BT, serta berada di ketinggian lahan 0 – 3 m di atas permukaan laut (dpl). Dengan ketinggian lahan yang seperti itu, maka sebahagian besar wilayah Kota Tanjungbalai merupakan lahan basah yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sungai besar dan dalam yang melintasi wilayah ini sebagai sarana penunjang yang menjadikan Kota Tanjungbalai sebagai salah satu sentra industri perikanan di Propinsi Sumatera Utara. Hal ini ditandai dengan berdirinya ratusan pelabuhan perikanan milik pengusaha-pengusaha perikanan yang banyak ditemukan di kawasan Teluk Nibung. Didirikannya pelabuhan laut di Teluk Nibung milik pemerintah yang melayani transportasi laut domestik dan internasional telah menjadikan Kota Tanjungbalai sebagai kota pelabuhan modern. Hal itu telah melancarkan arus barang dan manusia dari Kota Tanjungbalai dan sekitarnya ke berbagai daerah di Sumatera Utara maupun ke luar negeri, yakni Malaysia.

Luas Kota Tanjung Balai adalah 58 Km2 dengan jumlah penduduk sekitar 125.000 jiwa. Dengan tofografi lahan yang berada di wilayah pesisir dan berkembangnya industri perikanan modern maka sebahagian besar masyarakat Kota Tanjungbalai bermata pencaharian sebagai nelayan dan industri yang terkait dengan perikanan. Sesuai dengan ciri khas wilayah perkotaan dengan beragamnya mata pencaharian hidup, di Kota Tanjungbalai juga berkembang sektor-sektor lain seperti perdagangan, konstruksi, buruh angkut di pelabuhan, transportasi air dan darat, dan lain-lain baik fomal maupun informal.

Berbagai bentuk pekerjaan yang disebut di atas, terutama yang bergerak di sektor informal juga dimasuki oleh pekerja anak (PA). Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh kepala-kepala lingkungan se Kota Tanjungbalai bekerjasama dengan Disnaker Kota Tanjungbalai menunjukkan bahwa nelayan menjadi pekerjaan mayoritas pekerja anak.


(18)

Dari 732 pekerja anak yang telah terdata, terdapat 306 atau 42 % anak yang bekerja sebagai nelayan1.

Grafik 1. Pekerja Anak Di Kota Tanjungbalai

11% 8%

3%

42%

Nelayan Pemulung Mocok2 Karyawan Wiraswasta Kupek kerang Kupek Udang PRT

Tukang Semir Jualan Buruh Bengkel D

Sumber : Disnaker Kota Tanjungbalai, 2006.

Data sebaran PA di atas, dalam kajian ini dijadikan pertimbangan untuk menentukan sebaran sampel kajian walaupun tidak dilakukan secara ketat. Artinya, dengan kecenderungan yang ada bahwa jumlah sebahagian besar PA adalah nelayan maka jumlah PA di sektor perikanan merupakan 40 % dari keseluruhan responden. Sisanya tersebar di sektor-sektor lainnya yang diidentifikasi sebagai bentuk pekerjaan terburuk yang dilakukan secara snowball. Implikasinya adalah jumlah responden di antara satu sektor dengan sektor lainnya bervariasi terkait dengan rekomendasi hasil penjajakan awal. Artinya tidak ditetapkan secara ketat berdasarkan persentase jumlah tetapi lebih kepada buruknya sektor tersebut bagi PA.

Teknik identifikasi yang dilakukan berikutnya adalah dengan melakukan komparasi pada 13 bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak yang sudah ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Keppres 59/2002. Bahan komparasi pertama adalah data identifikasi PA yang dilakukan Disnaker Kota Tanjungbalai di atas. Namun,

1

Walaupun data tersebut belumlah final karena masih ada beberapa kepala lingkungan yang belum mengembalikan form pengisian, dan pengkategorian yang tidak seragam namun sudah bisa menggambarkan tentang sebaran pekerja anak di Kota Tanjungbalai.


(19)

pengkategorian yang tidak seragam maka tidak memungkinkan untuk dijadikan satu-satunya bahan perbandingan. Selanjutnya dilakukan survey awal untuk mengetahui gambaran umum bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak di Kota Kota Tanjungbalai sesuai dengan Keppres tersebut.

Dari beberapa pertimbangan di atas, maka ada 8 sektor yang relevan yakni : Anak yang bekerja pada sektor perikanan lepas pantai ; Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga; Anak yang bekerja di sektor konstruksi; Anak yang bekerja di sektor prostitusi; Anak yang bekerja pada industri rumah tangga; Anak yang bekerja sebagai pemulung; Anak yang bekerja di jalanan (tukang semir sepatu); anak yang bekerja di jermal.

Dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk di atas, akhirnya anak yang bekerja di jermal diputuskan untuk tidak dijadikan sebagai fokus kajian. Hal ini didasarkan informasi bahwa tidak ada lagi PA yang bekerja di jermal di perairan Tanjungbalai saat ini seiring dengan menyusutnya jumlah jermal dan dampak intervensi dari pemerintah dan LSM. Sebagai penggantinya, peneliti memasukkan anak yang bekerja di gudang perikanan, khususnya anak yang bekerja sebagai pencatuk2

Jumlah pekerja anak yang bekerja sebagai pencatuk, berdasarkan estimasi yang dilakukan dari hasil wawancara dan pengamatan, diperkirakan berjumlah ± 50 orang. Jumlah yang sama pada pekerja anak di sektor pemulung. Sementara jumlah pekerja anak yang bekerja sebagai penyemir sepatu berjumlah ± 20 orang. Dan Pekerja anak yang bekerja di sektor konstruksi berjumlah ± 100 orang. Untuk anak yang bekerja sebagai nelayan jumlahnya di atas 500 orang pekerja anak. Sedangkan untuk pekerja anak yang bekerja pada sektor prostitusi ± 40 orang.

. Survey awal yang dilakukan menemukan bahwa anak yang bekerja sebagai pencatuk memiliki bahaya dan resiko yang besar.

2

Pencatuk untuk menyebut anak yang bekerja di gudang. Pekerja anak ini mengumpulkan sisa-sisa ikan yang ada di kapal ikan yang sedang bongkar muat. Sehingga mereka juga menyebut dirinya SB-SB atau siap bersih. Hasil tangkapan nelayan yang terus berkurang, sehingga kehadiran pencatuk ini di gudang dianggap mengganggu dan sering dituding sebagai pencuri. Akibatnya mereka seringkali mendapat perlakuan buruk dari pengawas gudang.


(20)

Untuk lebih jelasnya mengenai sebaran responden PA menurut bentuk pekerjaan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Responden Berdasarkan Bentuk Pekerjaan

Usia Responden F %

Anak bekerja di jalan (penyemir sepatu) 9 8.2 Anak yang bekerja di industri rumah tangga (pengupas

kerang & udang)

29 26.4

Anak yang bekerja di sektor konstruksi 14 12.7

Anak yang bekerja sebagai PRT 4 3.6

Anak yang bekerja sebagai pemulung 6 5.5

Anak yang bekerja di gudang (pencatuk) 7 6.4 Anak yang bekerja di perikanan lepas pantai 40 36.4

Anak yang bekerja di prostitusi 1 .9

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Pekerja-pekerja anak dari bebagai sektor ini tersebar di beberapa titik wilayah di Kotamadya Tanjung Balai. Anak-anak yang bekerja sebagai pencatuk umumnya berasal dari wilayah di sekitar gudang-gudang perikanan di Kelurahan Pematang Pasir, Kecamatan Teluk Nibung. Untuk pekerja anak yang bekerja di sektor perikanan tangkap atau anak yang menjadi nelayan berasal dari beberapa kecamatan yang ada di Kota Tanjungbalai. Namun sebagian besar berasal dari dua kecamatan yakni Kecamatan Teluk Nibung dan Sei Tulang Raso.

Untuk anak yang bekerja di sektor industri rumah tangga, dalam hal ini usaha pengupasan kerang dan udang, umumnya terpusat di Kelurahan Pematang Pasir, Kecamatan Teluk Nibung. Sementara untuk pekerja anak yang bekerja di sektor konstruksi, yang dijadikan responden berasal dari Kecamatan Datuk Bandar khususnya Kelurahan Bunga Tanjung.

Responden pekerja anak sebagai pembantu rumah tangga juga berasal dari Kecamatan Datuk Bandar. Sementara, responden pekerja anak yang bekerja di jalan (penyemir sepatu) umumnya berasal dari kawasan PAM di Kecamatan Sei Tualang Raso.


(21)

Dan untuk pekerja anak yang bekerja sebagai pemulung umumnya berasal dari Kelurahan Teluk Ketapang, Kecamatan Datuk Bandar.


(22)

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Lingkungan Kerja Pekerja Anak

Lingkungan kerja pekerja anak di Kota Tanjungbalai yang diidentifikasi berdasarkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi pekerja anak dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Lingkungan Kerja PA di Sektor Perikanan Lepas Pantai

Pekerja anak di sektor perikanan lepas pantai, lingkungan kerjanya adalah kapal ikan dengan seluruh awaknya dalam proses penangkapan ikan di laut. Di dalam satu kapal ikan, pekerja anak bersama-sama dengan pekerja dewasa melakukan penangkapan ikan. Jumlah pekerja anak hanya sebagian kecil atau sekitar 10 % dari jumlah keseluruhan awak kapal.

Lingkungan kerja di sektor perikanan lepas pantai umumnya digambarkan pekerja anak sebagai lingkungan yang berbahaya. Hal ini terkait dengan ombak besar yang bisa menenggelamkan kapal dan awaknya yang berakibat kematian. Bekerja di laut lepas yang beberapa kapal tak memiliki peralatan untuk melindungi pekerja dari panas dan hujan digambarkan pekerja anak sebagai lingkungan kerja yang tidak menyenangkan. Di samping itu, perampokan yang acapkali terjadi di laut maupun konflik yang terjadi di laut membuat laut bukanlah tempat kerja yang aman, terlebih bagi anak yang bekerja. Hanya saja, tidak semua pekerja anak menganggap bahwa bekerja di kapal sebagai lingkungan kerja yang berbahaya. b. Lingkungan Kerja PA di Sektor Industri Rumah Tangga

Lingkungan kerja di sektor industri rumah tangga, yang bergerak di bidang usaha pengupasan kerang dicirikan dengan lingkungan kerja yang lembab dan bau amis yang menyengat. Pekerja anak yang umumnya perempuan bekerja bersama dengan pekerja dewasa, bekerja di tempat yang di sekitarnya terdapat limbah kupasan kerang berupa kulit kerang dan air rebusan kerang.


(23)

Lingkungan kerja PA sebagai pembantu rumah tangga adalah rumah tangga. Sebagai pembantu rumah tangga dengan berbagai tugas rutinnya, lingkungan kerjanya terkait dengan dapur dengan berbagai perlengkapannya seperti kompor minyak dan gas. Juga sumur/kamar mandi untuk mencuci pakaian dan mengepel lantai yang membuat pekerja anak bersentuhan dengan bahan-bahan kimia seperti sabun, dan karbol.

d. Lingkungan Kerja PA di Jalanan (Penyemir sepatu).

Lingkungan kerja pekerja anak yang bekerja di jalan sebagai penyemir sepatu, adalah lokasi perkantoran dan warung-warung makanan yang ada di pinggir jalan, sekitar lapangan pasir dan lokasi lainnya di Kota Tanjungbalai. Dalam bekerja, umumnya pekerja anak berkelompok dengan teman sekerja yang umumnya masih sebaya.

e. Lingkungan Kerja PA di Sektor Pemulung

Anak yang bekerja di sektor pemulung, mencari barang bekas seperti plastik, botol aqua, besi, aluminium, kuningan dan tembaga di tempat pembuangan sampah di jalan arteri dan di sekitar pemukiman penduduk, pertokoan di pusat kota hingga daerah pergudangan ikan di Teluk Nibung.

f. Lingkungan Kerja PA di Sektor Konstruksi

Pekerja anak di sektor konstruksi sebahagian besar bekerja di luar Kota Tanjungbalai seperti Kota Medan pada proyek pembangunan hotel dan perkantoran. Banyak juga PA yang bekerja dan berbagai tempat di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam untuk proyek rehabilitasi. Di tempat ini, mereka tinggal di barak-barak bersama dengan pekerja dewasa dengan fasilitas air bersih yang seringkali tidak memadai.

g. Pekerja Anak di Sektor Prostitusi

Penyebaran pekerja seks komersil di Kota Tanjungbalai ini terpencar dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini dikarenakan tidak adanya satupun lokalisai yang terdapat di kota ini. Dari informasi yang dikumpulkan diperoleh beberapa tempat yang disebut informan sebagai penyebaran PSK di kota yakni :


(24)

Di tempat ini banyak terdapat para pekerja seks komersil dengan mengambil modus sebagai langganan café-café remang yang berjejer di sekitar trotoar. Cara dalam menggaet pelangganpun tidak terlalu sulit. Mereka umumnya langsung menghampiri pelanggan yang mengambil meja dan memesan menu yang tersedia.

2. Pasar Mayat

Di lokasi ini, terdapat beberapa karaoke yang menyediakan para pramusaji yang siap “disajikan”. Di tempat ini banyak terdapat para pekerja seks Rantauan. Modus mencari pelanggannya pun sama dengan yang terjadi di lapangan pasir. Mereka langsung mendekati pelanggan yang mengambil tempat duduk dan bisanya mereka ikut minum bersama pelanggan dan berkaraoke bersama.

3. Jalan Arteri

Di tempat ini bisa dikatakan tempat pekerja seks yang sudah senior. Karena di tempat ini banyak terdapat kedai tuak yang menjadi tempat transaksi.

4. Water Pround

Merupak wilayah pantai yang ramai dikunjungi oleh anak muda dan orang yang sedang pacaran. Ditempat ini juga terdapat para PSK yang membaur dengan wistawan lokal. Umumnya modus mencari pelanggannya dengan menggunakan jasa teman yang sudah mengenal PSK tersebut sebelumnya. Di tempat ini diduga terdapat pekerja seks di bawah umur.

5. Hotel-Hotel “Melati”

Ada beberapa hotel yang yang disebut informan yang merupakan hotel kelas melati yang menawarkan kamar untuk para pekerja seks dan pelanggannya melakukan “berbagai kegiatan”. Hotel ini tidak menawarkan para pekerja seks yang dimaksud. Namun merupakan tempat “persinggahan” dari transaksi yang sebelumnya diadakan baik itu di lapangan pasir, pasar mayat, jalan arteri dan dari water pround.


(25)

Identitas responden diperlukan untuk mengetahui secara lebih utuh tentang diri PA. Dalam konteks ini maka identitas PA ditinjau dari usia, jenis kelamin, sukubangsa, bentuk pekerjaan dan informasi terkait lainnya. Dengan tinjauan seperti itu, maka diperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang diri anak dan keluarganya.

Identitas PA yang penting adalah usia. Usia merupakan acuan yang berlaku secara formal untuk menentukan seseorang disebut anak-anak atau dewasa. Hanya saja usia bisa dimaknai berberda ketika dengan dengan faktor psikologi, agama dan sosial budaya. Maka pengelompokan manusia tidak lagi hanya terbatas anak-anak dan dewasa. Sehingga dalam masyarakat lazim pengelompokan manusia menjadi anak-anak, remaja dan dewasa yang tidak semata-mata soal usia. Kematangan berpikir dan ciri-ciri fisik tertentu acapkali dijadikan masyarakat untuk menentukan pengelompokan seseorang.

Demikian pula halnya dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia bahwa patokan umur ini juga tidak seragam. Dalam konteks kajian ini, maka penentuan anak-anak dan dewasa mengacu Konvensi Hak Anak (KHA) yang sudah diratitifikasi Indonesia. Dimana yang disebut dewasa adalah seseorang yang telah berumur 18 tahun, sehingga di bawah 18 tahuh disebut anak-anak. Ratifikasi yang dilakukan terhadap KHA tentunya memiliki implikasi hukum bagi negara maupun setiap warga negera termasuk anak-anak.

Hanya saja dalam prakteknya masih banyak anak-anak yang bekerja pada sektor-sektor berbahaya bagi kesehatannya dan masa depannya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap 110 PA di Kota Tanjungbalai, ditemukan bahwa jumlah terbesar PA berumur di antara 15 – 17 tahun yakni 69 orang atau 62.7 % dan berumur 11 – 14 tahun sebanyak 40 orang atau 36.4 %. Dan hanya 1 orang yang berumur di bawah 11 tahun. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 2. Usia Responden

Usia Responden F %

5 -10 1 .9

11 – 14 40 36.4

15 – 17 69 62.7


(26)

Sumber : Kuesioner

Dari tabel di atas, terlihat secara sosial bahwa masyarakat belum membuka ruang untuk bekerja bagi anak yang berumur 5 – 10 tahun untuk bekerja membantu orang tua maupun mandiri dalam konteks mata pencaharian. Sebab di usia seperti ini, anak-anak memasuki tahap awal bersekolah (TK dan SD). Bagi orang tua, merasa sangat berkewajiban untuk menyekolahkan anak pada sekolah dasar ini. Jikapun tidak bisa sekolah lebih tinggi yang disebabkan oleh kondisi ekonomi dan sebab lainnya, harapan minimalnya si anak sudah bisa menulis, membaca dan berhitung. Dengan harapan seperti itu, orang tua mengusahakan semampunya untuk menyekolahkan anak minimal tamat SD. Jikapun, ada anak yang bekerja diusia ini tidaklah dalam usaha untuk memperoleh uang tetapi dalam konteks pengasuhan. Artinya, orang tua (ibu) yang bekerja membawa anaknya turut serta sehingga ia bisa menjaganya.

Hanya saja, ketika anak memasuki kelas IV SD (10 - 11 tahun) mulailah masa kritis dimulai. Pada usia ini anak sudah aktif berteman dan kebutuhan untuk jajan dan permainan (games) yang semakin besar. Sebabnya, si anak merasa tersisih dan malu ketika teman-temannya jajan dan bermain playstation atau permainan sejenis. Sementara ia tidak memiliki uang dan orang tuanya tidak mampu memenuhinya. Munculnya kesadaran uang bagi anak, maka ketika ada ruang untuk memperoleh uang dengan melihat teman sebayanya bekerja maka akan menarik anak tersebut untuk bekerja. Pekerjaan tersebut umumnya pekerjaan yang tidak menghilangkan keseluruhan waktu bermain anak yang dilakukan di luar jam sekolah seperti menyemir sepatu, pemulung dan pencatuk. Hanya saja, tidak semua anak memasuki pekerjaan dengan pola itu, karena beberapa PA awalnya bekerja diajak oleh orang tuanya.

Identitas berikutnya adalah jenis kelamin. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin umumnya terkait dengan faktor sosial budaya masyarakat setempat. Pada penelitian ini, responden PA sebagian besar berjenis kelamin laki-laki. Dari 110 responden, 84 orang atau 76.4 % responden dari PA adalah laki-laki. Dan terdapat 26 orang atau 23.6 % responden yang berjenis kelamin. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :


(27)

Jenis Kelamin F %

Laki-laki 84 76.4

Perempuan 26 23.6

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Dari tabel di atas tampak bahwa di Kota Tanjungbalai jumlah PA yang berjenis kelamin laki-laki lebih besar dari PA yang bekerja di sektor-sektor terburuk bagi pekerja anak. Hal ini terkait dengan sebahagian besar bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak membuka ruang bagi PA yang berjenis kelamin laki-laki. Bentuk-bentuk pekerjaan seperti penangkapan ikan lepas pantai, bekerja di gudang, konstruksi, pemulung, penyemir sepatu di jalan adalah pekerjaan yang didominasi pekerja laki-laki. Sementara, industri rumah tangga pengupasan udang/kerang, PRT dan prostitusi menjadi domainnya perempuan.

Dari wawancara yang dilakukan terhadap PA dan orang tuanya, terungkap bahwa pembedaan bentuk pekerjaan berdasarkan jenis kelamin ini terkait dengan konstruksi sosial masyarakat dalam memandang jenis pekerjaan tersebut. Bentuk pekerjaan sebagai nelayan, kerja bangunan, penyemir sepatu, pemulung dianggap pekerjaan laki-laki karena membutuhkan tenaga yang besar dan berada di ruang publik. Sementara pekerjaan yang domainnya perempuan seperti pembantu rumah tangga, pengupas kerang dan udang dalam industri rumah tangga masih merupakan pekerjaan domestik yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Teliti dan sabar dianggap sifatnya perempuan sementara kuat dan keras merupakan sifat laki-laki.

Identitas berikutnya adalah sukubangsa. Sukubangsa sudah dijadikan sebagai penanda seseorang. Terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk, maka suku bangsa tidak saja dimaknai sebagai penanda, tetapi lebih jauh sebagai identitas yang membedakannya dengan suku bangsa lainnya. Pada konteks tertentu sukubangsa dan agama bisa dijadikan sebagai alat untuk memperebutkan kekuasaan dan sumberdaya. Hanya, dalam pandangan umum, sukubangsa sebagai identitas seringkali dikaitkan dengan bahasa dan tradisi atau adat istiadat. Sukubangsa juga dikaitkan dengan nilai budaya yang berguna dalam menginterpretasikan lingkungannya baik secara sosial dan


(28)

alam. Kajian terhadap PA yang sebelumnya telah dilakukan bahwa ada keterkaitan budaya terhadap PA sebagai faktor pendorong anak bekerja.

Masyarakat Kota Tanjungbalai juga dihuni berbagai etnis. Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa ada tiga suku bangsa utama PA di Kota Tanjungbalai. Sukubangsa tersebut yakni Batak, Melayu dan Jawa. Dari total responden ditemukan bahwa sebahagian besar suku bangsa dari PA adalah Batak yakni 42,7 %. Kemudian diikuti oleh Melayu dan Jawa masing-masing 30.9 % dan 23.6 %. Sukubangsa Batak ini termasuk sub etnik Batak lainnya seperti Mandailing-Angkola, Simalungun, Pakpak, Karo. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 4. Suku Bangsa Responden

Sukubangsa Pekerja Anak F %

Melayu 34 30.9

Jawa 26 23.6

Batak 47 42.7

Lainnya, 3 2.7

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Pengelompokan sukubangsa di atas sebenarnya tidak begitu tegas batas-batasnya. Terutama untuk sukubangsa Batak dan Melayu. Identitas marga yang lazim untuk menunjukkan sukubangsa Batak tetapi bagi PA menyatakan dirinya Melayu. Ada juga responden yang tidak mengetahui secara persis sukubangsanya dan menyatakan dirinya sebagai orang Islam. Terkait dengan tidak tegasnya batas-batas sukubangsa ini, berdasarkan wawancara diperoleh hal tersebut erat kaitannya dengan migrasi Batak Toba sebelum kemerdekaan ketika Kesultanan Melayu masih berkuasa. Ketika itu, Melayu identik dengan Islam dan siapa saja yang masuk ke Tanah Melayu harus masuk Islam dan menjadi Melayu. Ketika Indonesia merdeka, maka banyak diantaranya menggunakan kembali marganya. Diantara mereka ada yang masih menyatakan sebagai Melayu tetapi ada juga yang menyatakan dirinya sebagai Batak sesuai dengan marga yang dicantumkan


(29)

di dalam nama. Dengan kaburnya batas-batas sukubangsa tersebut maka penentuan sukubangsa lebih ditentukan dari PA sendiri.

3.3. Profil Pendidikan Pekerja Anak

Profil pekerja anak di Kota Tanjungbalai dilihat dari pendidikan, ditemukan bahwa sebahagian besar PA sudah tidak bersekolah. Dari 110 responden PA, 66 orang atau 60 % tidak lagi bersekolah dan 44 orang atau 40 % yang masih bersekolah. Kondisi pendidikan PA, jika dikaitkan dengan usianya, maka sebahagian besar PA dengan kategori umur 11 – 14 tahun masih bersekolah. Dari 40 PA yang masuk kategori ini, 29 PA masih bersekolah. Sebaliknya pada PA dengan usia 15 – 17 tahun sebahagian besar tidak sekolah, yakni 55 PA dari 69 PA. Untuk lebih dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5. PA Berdasarkan Status Masih dan Tidak Bersekolah

Status Masih atau Tidak Bersekolah F %

Ya 44 40.0

Tidak 66 60.0

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Pendidikan dijadikan sebagai salah satu indikator kemajuan suatu bangsa. Bagi anak pendidikan merupakan hak yang sangat bermanfaat untuk menjamin kesejahteraannya. Pemerintah sejak beberapa tahun lalu sudah mencanangkan wajib belajar 9 tahun yang diikuti berbagai program seperti yang terakhir adalah dengan menyalurkan dana Biaya Operasioal Sekolah (BOS) untuk menjamin kelangsungan belajar anak. Hanya saja, bagi pekerja anak tingkat putus sekolah masih tinggi. Dari total responden, 60 % PA mengalami putus sekolah. Jumlah terbanyak putus sekolah adalah ketika masih di SD, tidak melanjutkan ke SMP dan putus sekolah di SMP. Sehingga jika dikaitkan dengan wajib belajar 9 tahun, maka dari keseluruhan PA yang mengalami putus sekolah hanya 13 orang atau 19.7 % yang sudah memenuhi target pemerintah tersebut. Seperti yang terlihat pada tabel berikut :


(30)

Pendidikan Terakhir Responden F %

Tidak tamat SD 25 37.9

Tamat SD 14 21.2

Tidak tamat SLTP, 14 21.2

Tamat SLTP 4 6

Tidak tamat SLTA, 9 13.7

Total 66 100.0

Sumber : Kuesioner

Besarnya PA yang mengalami putus sekolah bisa disebabkan beberapa faktor. Faktor utama yang sering disebut adalah faktor kemiskinan. Dari penelitian yang dilakukan, bahwa faktor kemiskinan atau karena ketiadaan biaya juga disebut sebahagian besar PA sebagai penyebab ia mengalami putus sekolah, yakni 31 orang atau 47 % dari PA yang putus sekolah. Hanya saja, putus sekolah yang disebabkan PA yang tidak mau bersekolah jumlahnya juga cukup besar yang tidak jauh berbeda dengan penyebab kemiskinan keluarga PA. Hal ini tampak dari keseluruhan PA yang mengalami putus sekolah, 27 PA diantaranya menyatakan tidak mau sekolah sebagai penyebab putus sekolah. Dalam konteks PA tidak mau bersekolah terkait dengan faktor lain seperti rasa malas sekolah karena sudah bekerja menghasilkan uang, terpengaruh teman-teman sebaya yang sudah tidak bersekolah, maupun karena sistem pengajaran di sekolah yang tidak memotivasi siswa dan fasilitas yang tidak memadai. Misalnya, seorang PA kemudian tidak mau lagi bersekolah karena ditampar oleh guru. Penyebab lainnya, PA putus sekolah adalah dikeluarkan oleh pihak sekolah karena selalu membuat keonaran, berkelahi dan mengganggu siswa lainnya. Adapula yang menyebutkan putus sekolah disebabkan PA tidak berani ke sekolah karena berkelahi dengan siswa yang berasal dari sekitar sekolah. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 7. Alasan Responden Tidak Menamatkan Sekolah

Alasan PA F %


(31)

Tidak mau sekolah 27 40.9

Lainnya, 8 12.1

Total 66 100.0

Sumber : Kuesioner

Sebahagian PA menyatakan masih memiliki keinginan untuk kembali bersekolah, terutama yang putus sekolah disebabkan oleh ketiadaan biaya. Sehingga jika ada pendidikan gratis, maka PA tersebut masih berkeinginan untuk kembali sekolah. Hal ini disebut oleh 36 PA atau 54.5 %. Sementara 30 PA atau 45.5 % menyatakan tidak lagi mau bersekolah. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel berikut :

Tabel 8. Adakah Keinginan Responden Untuk Sekolah

Kembali

PA Berkeinginan Untuk Sekolah Kembali F %

Ada 36 54.5

Tidak ada 30 45.5

Total 66 100

Sumber : Kuesioner

Bagi PA yang menyatakan masih berkeinginan untuk bersekolah kembali, sebahagian besar menyatakan untuk bisa bersekolah di SLTP (20 PA), dan SLTA (16 PA). Ini menunjukkan PA yang berkeinginan sekolah bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya. Hal ini terutama bagi PA yang putus sekolah di SD, yang menyatakan bisa langsung ke SLTP karena umur dan badannya tidak lagi pantas untuk duduk di tingkat SD.

Sementara bagi PA yang tidak ingin lagi bersekolah, alasan utama yang disampaikan bahwa mencari uang lebih enak dari sekolah dan sudah muak dengan rutinitas sekolah. Ada juga PA yang beralasan bahwa ukuran tubuhnya yang sudah terlihat dewasa, sehingga merasa malu untuk kembali bersekolah.


(32)

Terkait dengan keterampilan yang dikuasai, umumnya responden menyatakan tidak memiliki keterampilan yang dikuasai yang PA bayangkan bisa berguna untuk kehidupannya di masa akan datang. Hal ini disebut oleh 71 orang atau 64.5 % PA. Bagi PA yang menyatakan memiliki keterampilan dan berguna untuk kehidupannya kelak seperti menjahit dan menyulam, bengkel, menyanyi, sablon, membubul dan beberapa keterampilan yang masih terkait dengan pekerjaannya saat ini. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel berikut :

Tabel 9. Apakah Responden Memiliki Keterampilan Yang Dikuasai

Memiliki Keterampilan Yang Dikuasai F %

Ya 39 35.5

Tidak 71 64.5

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Sementara untuk cita-cita PA, maka pekerjaan yang paling banyak didambakan adalah menjadi TNI/POLRI yang disebut oleh 45 PA atau 41 % responden. Bentuk pekerjaan berikutnya yang didambakan oleh PA adalah dokter dan guru yang masing-masing disebut oleh 14 responden. Namun ada pula, yang mendambakan pekerjaan seperti tekong (pimpinan di kapal perikanan). Ini disebut oleh 9 PA yang saat ini bekerja sebagai anak buah kapal. Lainnya ada menyebutkan cita-citanya menjadi toke (pengusaha), berjualan, anggota DPRD, teknisi, pengacara, pelaut, dll. Sementara ada 7 PA, yang menyatakan bahwa ia tidak memiliki cita-cita. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel berikut :

Tabel 10. Cita-Cita Responden

Cita-Cita PA F %

Dokter 15 14

Guru 15 14

TNI POLRI 45 41


(33)

Lainnya 18 16.4

Tidak Ada 7 6.4

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

3.4. Profil Keluarga Pekerja Anak

Gambaran tentang keluarga PA, menjadi bahagian yang tak terpisahkan dengan profil PA di Kota Tanjungbalai. Di lihat dari tempat tinggal keluarga PA, umumnya rumah keluarga PA terbuat dari papan, yakni 50 %. Sementara yang semi permanen sekitar 27.3 % dan permanen 13.6 %. Dari sisi kepemilikan rumah, umumnya sebahagian besar keluarga PA menempati rumah sewa yakni 59.1 % dan sisanya merupakan milik sendiri keluarga PA.

Sedangkan dilihat dari sumber penerangan, umumnya sudah menggunakan PLN yakni 90.9 % dan sisanya masih menggunakan lampu teplok. Dan sumber air untuk MCK masih banyak yang menggunakan air sungai/laut yakni 45.4 %. Berikutnya adalah menggunakan PAM 36.4 %. Sisanya menggunakan sumur sebagai sumber air untuk MCK. Namun untuk air minum, umumnya mengunakan air PAM yang terpasang maupun dibeli menggunakan jerigen seharga Rp. 500.- /jerigennya.

Ditinjau dari jenis pekerjaan dari orang tua PA. Dari penelitian ditemukan bahwa pekerjaan ayah PA umumnya sebagai nelayan dan mocok-mocok (tidak memiliki pekerjaan tetap) yang masing-masing 38 orang (34.5 %). Jumlah terbesar berikutnya adalah wiraswasta dan penarik beca dan RBT (ojek) yang masing-masing 9 orang atau 8.2 % dan 7 orang atau 6.4 %. Sisanya adalah pedagang, pegawai swasta, pedagang hanya ada 4 orang (3.6%), bekerja sebagai pegawai swasta ada 1 orang (3.4%), bekerja sebagai Sektor lainnya berupa pemulung, supir, petani maupun tidak bekerja dan sudah meninggal dunia. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 11. Pekerjaan Ayah Responden

F %


(34)

Pedagang 4 3.6

PNS 1 .9

Peg Swasta 2 1.8

Penarik Beca/Ojek 7 6.4

Mocok-mocok 38 34.5

Wiraswasta 9 8.2

Lainnya, 22 20.0

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Sementara ibu PA, umumnya bekerja di sektor domestik atau sebagai ibu rumah tangga. Hanya saja, dari peneltian yang dilakukan ada 38 orang atau 34.5 % yang ibunya juga bekerja sebagai penopang utama ekonomi rumah tangga maupun membantu bersifat menambah untuk menutupi penghasilan suami yang dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Sektor pekerjaan yang dimasuki oleh ibu adalah sebagai pembantu rumah tangga, upahan mencuci, industri rumah tangga pengupasan kerang dan udang serta pekerjaan lainnya yang tidak menetap (mocok-mocok). Ada pula ibu PA, yang merantau ke malaysia (TKW) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.


(35)

3.5. Informasi Tentang Pekerja Anak

Berkenaan dengan lamanya bekerja, di antara PA sudah ada yang bekerja selama 4 tahun atau lebih. Dari 110 responden, terdapat 11 orang atau 10 % yang bekerja selama 4 tahun atau lebih. Ini sesuai dengan banyaknya anak bekerja di usia kurang dari 13 tahun. Namun jumlah terbanyak PA bekerja adalah kurang dari 1 tahun, yakni 43 orang atau 39.1 %. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 12. Lama Responden Bekerja

Lama Responden Bekerja F %

kurang dari 1 tahun 43 39.1

1 tahun 21 19.1

2 tahun 21 19.1

3 tahun 14 12.7

4 tahun atau lebih 11 10.0

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Dilihat dari tabel di atas yang menunjukkan bahwa sebahagian besar PA memasuki dunia kerja kurang dari 1 tahun. Ini berarti bahwa jumlah anak yang bekerja pada bentuk-bentulk terburuk dalam setahun terakhir mengalami mengalami peningkatan yang signifikan. Dari wawancara yang dilakukan ditemukan bahwa hal ini terkait dengan semakin merosotnya ekonomi rumah tangga. Kemerosotan ekonomi rumah tangga ini terkait erat dengan kelesuan perekonomian di Kota Tanjungbalai secara umum. Ada beberapa faktor yang disebutkan informan tentang penyebab kelesuan perekonomian di Kota Tanjungbalai. Diantaranya merosotnya penghasilan nelayan kecil maupun industri perikanan berskala besar. Terdegradasinya sumberdaya perikanan di selat malaka telah memaksa nelayan dengan kapal perikanan besar melakukan penangkapan hingga ke perbatasan malaysia dan perairan Batam. Implikasinya adalah semakin besarnya biaya yang dibutuhkan yang tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh.

Penyebab lainnya adalah dilarangnya impor pakaian bekas. Melalui Surat Keputusan Menperindag No. 732/MAP/KEP/10/2002 dan Surat Keputusan Menperindag


(36)

No. 642/2002 pemerintah melarang dan aktif melakukan razia dan penertiban pakaian bekas tersebut. Sehingga sejak tahun 2004, impor pakaian bekas ini tidak lagi dilakukan secara terbuka.

Seiring dengan itu, penegakan hukum terhadap penyeludupan barang dan manusia (TKI ilegal) juga semakin di perketat. Sehingga impor ilegal berbagai produk dari luar negeri (Malaysia) seperti gula, barang-barang elektronik dan lainnya praktis terhenti. Begitu juga dengan ekspor ilegal terhadap komoditi dalam negeri ke Malaysia seperti bawang putih, kayu bulat dan olahan hingga rokok dan minyak. Berbagai aktifitas impor ekspor barang dan manusia yang sebahagian diantarannya ilegal dan telah berlangsung sejak lama disebut informan sebagai primadona ekonomi Kota Tanjungbalai di samping sektor perikanan. Sehingga berhentinya berbagai aktifitas tersebut berdampak besar terhadap perekonomian Kota Tanjungbalai secara umum.

Terkait dengan informasi pekerjaan, PA mendapatkan informasi pekerjaan dari sumber yang beragam. Namun, sumber informasi terbanyak di peroleh dari teman, yakni sebanyak 37 orang (63.8%). Sumber informasi berikutnya adalah dari orang tua dan saudara, calo maupun informasi yang dicari sendiri oleh PA. Namun,ada juga PA yang memperoleh informasi pekerjaan secara kebetulan yang disebut seorang PA yang menjadi pemulung karena awalnya disuruh menjualkan fiber bekas ke pengusaha barang bekas. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 13. Sumber Responden Mendapatkan Informasi Pekerjaan

Sumber Informasi F %

Orang tua 17 15.5

Saudara 17 15.5

Calo 1 .9

Teman 57 51.8

Mencari tahu sendiri 12 10.9

Lainnya 6 5.5

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Tabel di atas menunjukkan bahwa teman sebaya masih merupakan sumber informasi terbesar bagi pekerja anak, termasuk informasi mengenai adanya pekerjaan. Teman sebaya juga berpengaruh besar dalam mendorong anak untuk bekerja.


(37)

Kepemilikan uang yang dihasilkan PA yang membuatnya memiliki kemandirian dalam penggunaannya untuk jajan dan permainan telah memotivasi anak lainnya untuk bekerja. Sebab, jajan dan permainan yang tersebar di beberapa tempat di Kota Tanjungbalai, untuk menggunakannya anak membutuhkan uang yang relatif besar. Sementara orang tua PA yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah tidak mampu memenuhinya.

Dalam bekerja umumnya tidak ada pelatihan yang diberikan secara khusus kepada PA sebelum dan diawal bekerja yang dinyatakan 89.7 % responden. Kondisi ini terkait dengan pemahaman bahwa jenis pekerjaan PA adalah pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan keahlian dan pendidikan khusus. Dan diantara PA yang mengaku pernah mendapat pelatihan yang dimaksud ada berupa petunjuk yang diberikan oleh orang tua atau teman tentang cara bekerja sesuai dengan jenis pekerjaan PA. Misalnya cara mengupas udang pada industri rumah tangga dan menyemir sepatu pada PA penyemir sepatu serta cara menarik dan menjahit pukat yang robek PA yang menjadi nelayan.

Berpindah-pindah pekerjaan bagi PA di sektor yang sama maupun di luar sektor jarang sekali terjadi. Hal ini terkait dengan keahlian yang terbatas dimiliki oleh PA dan kebutuhan tenaga kerja yang juga terbatas di dalam sektor pekerjaan maun di sektor lainnya. Di samping itu, jenis pekerjaan lainnya juga disebut informan tidak juga menjanjikan untuk meningkatkan penghasilan. Namun ada kecenderungan peningkatan terjadinya perpindahan PA dalam bekerja. Hal ini disebabkan karena usaha tempat PA bekerja sebelumnya sudah tidak beroperasi lagi. Alasan lainnya adalah penghasilan yang lebih pasti walaupun jumlahnya secara total tidak jauh berbeda. Misalnya, seorang PA yang mengaku berpindah pekerjaan sebagai nelayan kemudian menjadi buruh bangunan karena penghasilan yang diperoleh lebih pasti.

Dari 110 responden, sebanyak 92 orang atau 83.6 % responden menyatakan belum pernah berpindah pekerjaan dari pekerjaannya saat ini. Dan sebanyak 10 orang atau 9.1 % responden menyatakan pernah berpindah pekerjaan di sektor yang sama. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 14. Berapakali Responden Berpindah Pekerjaan Berapakali Responden Berpindah Pekerjaan Frequency Percent


(38)

1 kali 10 9.1

2 kali 5 4.5

3 kali 1 .9

> 3 kali 2 1.8

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Bagi PA yang pernah pindah bekerja, baik di sektor yang sama maupun ke sektor yang lainnya disebabkan oleh beberapa hal. Ada yang pindah karena bosan dengan pekerjaan yang sebelumnya dilakukan dan pekerjaannya dirasakan, tempat usaha berhenti beroperasi, pekerjaannya terlalu melelahkan dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 15. Alasan Responden Pindah Pekerjaan

Pindah Dalam Sektor Yang Sama Pindah Pada Sektor Yang Berbeda - Bosan

Karena bekerja pada satu kapal saja Karena tidak ada kawan

- Pekerjaannya sangat melelahkan - Tidak tahan dengan lingkungan kerja (mabuk laut)

- Waktu kerja malam hari (mengopek kerang)

- Pendapat masyarakat penarik pelampung pemalas

- Pekerjaannya lebih enak di tempat yang baru

- Tempat Usaha Tutup/Selesai - Kapal berhenti beroperasi - Pembangunan gedung selesai - Majikan pindah

- Tergantung dimana ada pekerjaan

- Bosan yang disebabkan karena kerjanya menoton

- Kerjanya sangat berat - Gajinya tidak mencukup - Ibu sakit jadi butuh dana yang

lebih besar

- Proyeknya sudah selesai/tempat usaha tutup/majikan pindah - Mabuk laut

- Jermal dihapuskan

- Tidak dibayar oleh majikan - Tidak ada istirahat

- Tidak mau bekerja sama orang tua terus menerus


(39)

(mocok-mocok)

Sumber : Kuesioner dan wawancara mendalam

3.6. Upah dan Periodesisasi Kerja PA

Upah diartikan sejumlah uang yang diterima PA dari pekerjaan yang dilaksanakannya. Dari kajian yang dilakukan, menemukan bahwa PA sebahagian besar tidak mengetahui besarnya upah yang bakal diterima, yakni 61 orang atau 55.5 %. Dan ada 49 orang atau 44.5 % yang sudah mengetahui besarnya upah yang bakal diterima. Berkenaan dengan pengetahuan besarnya gaji ini, terkait dengan bentuk pekerjaannya. Bagi PA yang bekerja di perikanan lepas pantai dan pencatuk umumnya menyebut tidak mengetahui besarnya gaji karena bentuk pekerjaan yang penghasilan sangat tergantung dari jumlah tangkapan dan ikan yang diperoleh dari mencatuk. Sementara bagi PA yang menyatakan mengetahui besarnya gaji terkait dengan upah yang diperoleh dari hasil per satuan. Misalnya, PA yang bekerja sebagai penyemir sepatu, sebelumnya sudah mengetahui dari temannya yang bekerja sebagai penyemir sepatu berapa jasa yang diperoleh bila menyemir sepasang sepatu. Namun, PA tidak bisa memastikan berapa pasang sepatu yang disemirkan padanya dalam sehari-semalam. Begitu juga pada bentuk pekerjaan lainnya seperti industri rumah tangga dan pemulung. Upah yang diterima tergantung jumlah kilogram udang dan kerang yang dikopek (kupas), dan barang bekas yang dikumpulkan. Bagi yang bisa memastikan besaran upah sebelum PA bekerja adalah bentuk pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga yang dibayar bulanan dan anak yang bekerja di konstruksi yang dibayar berdasarkan jumlah hari kerja. Bagi anak yang bekerja di konstruksi, bisa menghitung dari jumlah hari bekerja. Hanya saja, pekerjaan ini tidak ada sepanjang bulan, tetapi tergantung pada waktu pengerjaan bangunan. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 16. Apakah Responden Sebelumnya Mengetahui Besarnya Upah Bekerja

Pengetahuan Terhadap Besarnya Upah F %

Tahu 49 44.5


(40)

Total 110 100.0 Sumber : Kuesioner

Besarnya upah yang diterima ketika pertama bekerja dengan saat ini, 45 % PA menyatakan pendapatan saat ini menurun. Sementara 30% PA menyatakan penghasilannya meningkat jika dibandingkan pertama kali bekerja dan sisanya 25 % penghasilannya sama saja. Bagi PA yang menyatakan pendapatannya saat ini menurun diantaranya disebabkan menurunnya hasil tangkapan ikan sehingga penghasilan PA yang bekerja sebagai nelayan juga berkurang. Namun, adapula PA yang bekerja pada perikanan lepas pantai menyatakan penghasilannya bertambah karena kapal ikan tempat ia bekerja melaut lebih lama dan menangkap di perairan Batam sehingga hasilnya menjadi lebih banyak. Alasan PA lainnya menyatakan penghasilannya berkurang misalnya disebutkan anak yang bekerja sebagai pemulung, yang menyatakan saat ini pemulung sudah bertambah banyak dan barang bekas jadi berkurang. Sehingga penghasilan PA juga berkurang dari sebelumnya.

Bagi PA yang menyatakan penghasilannya bertambah, alasan yang diberikan adalah keterampilannya dalam bekerja. Misalnya PA yang bekerja mengupas kerang, saat ini ia bisa menghasilkan kerang kupasan lebih banyak sehingga penghasilannya pun bertambah. Bagi PA yang bekerja sebagai penyemir sepatu menyatakan bertambah karena harga sekali disemir sudah ditentukan yang lebih besar dari sebelumnya yang hanya berdasarkan keiklasan pelanggan. Bagi PA yang menyatakan sama saja, karena penghasilan yang diperoleh sangat tergantung dari ikan yang ditangkap, kerang yang masuk, borongan yang ada bagi konstruksi. Hal yang disebut responden tidak tergantung keterampilannya tetapi nasib baik dan buruk. Jika nasib lagi baik maka penghasilan bisa besar, begitu juga sebaliknya.

Sementara periode pembayaran gaji/upah yang diterima responden anak setelah bekerja sangat bervariasi tergantung dengan periodesisasi kerja di sektor tersebut. Bagi PA yang bekerja sebagai pemulung maka upah yang diperoleh sangat tergantung pada ia menjual hasil pulungannya. Jika PA tersebut menganggap hasil pulungannya cukup banyak maka ia langsung menjual ke penampung. Namun, jika pulungannya masih sedikit, ia bisa mengumpul dulu baru beberapa hari kemudian menjualnya. Sementara


(41)

bagi PA yang bekerja di sektor perikanan tangkap, maka upah yang diterima tergantung periode penangkapan. Bagi nelayan yang melakukan penangkapan ikan harian maka PA akan menerima upah harian dari penjualan ikan. Namun, bagi PA yang menangkap ikan membutuhkan waktu 3 – 7 hari maka upah yang diterima setelah pulang dari laut. Bagi PA yang bekerja di sektor konstruksi umumnya upah diberikan mingguan sementara PA yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga maka pembayaran diberikan setiap bulan. Untuk lebih jelasnya,lihat tabel berikut :

Tabel 17. Periode Pembayaran Upah Yang Diterima

Responden

Periode Pembayaran Upah F %

Setiap hari 54 49.1

Seminggu sekali 21 19.1

Dua minggu sekali 2 1.8

Satu bulan sekali 5 4.5

Lainnya, 28 25.5

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Sementara rata-rata upah yang diperoleh PA, sebahagian besar berkisar di antara Rp. 100.000 – 300.000,- Hal ini dinyatakan sebanyak 55 orang atau 50 % responden. Jumlah terbesar PA berikutnya adalah dengan upah 310.000 – 500.000,- sebanyak 26 orang atau 23.6 % responden. Untuk PA yang upah dengan kurang dari Rp.100.000 adalah PA yang bekerja pada industri rumah tangga dan penyemir sepatu yang bekerja sehabis pulang sekolah. Sementara PA dengan upah di atas Rp. 500.000 adalah PA yang bekerja di sektor perikanan dan konstruksi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 18. Rata-Rata Upah Responden Perbulan

Rata-rata Upah Responden Perbulan F %


(42)

100.000 – 300.000 55 50.0

310.000 – 500.000 26 23.6

> 500.000 17 15.5

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Pihak pemberi upah, pada PA secara umum tidak berbeda dengan pekerja dewasa. Dimana sebahagian besar diberikan pemilik usaha. Ini disebut oleh 57 orang atau 51.8 % responden. Pemilik usaha di sini termasuk majikan, pemborong, toke. Pemberi upah lainnya adalah pimpinan kerja yang disebut 28 orang atau 25.5 % responden. Pimpinan kerja disini termasuk tekong pada sektor perikanan, dan tukang untuk sektor konstruksi. Sementara pemberi upah/gaji lainnya kepada pekerja anak seperti penerima jasa semir sepatu, pembeli ikan dari pencatuk, maupun orang tuanya sendiri. Ini disebut oleh 25 anak atau 22.7 % responden. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 19. Siapa Yang Memberikan Upah Kepada Responden

Pihak Pemberi Upah F %

Pemilik usaha 57 51.8

Pimpinan kerja 28 25.5

Lainnya 25 22.7

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Upah yang diterima PA umumnya tidak ada perbedaan dengan pekerja dewasa untuk posisi dan tugas serta tanggung jawab yang sama. Hal ini disebutkan oleh 105 orang atau 95.5 % responden pekerja anak. Hanya 5 orang responden pekerja anak (4.5 %) yang mengatakan bahwa ada perbedaan upah/gaji yang mereka peroleh dibandingkan dengan pekerja dewasa. Hal ini lebih dikaitkan dengan adanya tanggungjawab pekerja dewasa yang telah berkeluarga untuk membiayai kehidupan keluarganya. Untuk tambahan di luar gaji, di sektor perikanan sering ada kebijakan dari tekong (pimpinan kerja di kapal) menyisakan sejumlah ikan untuk di jual sendiri ke penampung. Hasil ikan ini akan dibagi-bagi ke seluruh awak untuk tambahan gaji dari toke (pemilik kapal). Jika


(43)

hasil ikan tidak memadai, maka tekong akan mengutamakan yang berkeluarga daripada awak yang belum berkeluarga. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 20. Perbedaan Upah Dengan Pekerja Dewasa

Perbedaan Upah Dengan Pekerja Dewasa F %

Ada 5 4.5

Tidak ada 105 95.5

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Upah yang diterima PA dialokasikan untuk berbagai kebutuhan seperti memberikannya kepada orang tua untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun sekedar untuk jajan. Dari keseluruhan PA, ada 81 orang atau 73.6 % responden yang mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan belanja sehari-hari. Alokasi lainnya adalah untuk membeli rokok. Dari keseluruhan PA ada 51 orang atau 43.3 % responden yang menyatakan mengalokasi penghasilannya untuk membeli rokok. Hal ini berarti dari keseluruhan PA berjenis kelamin laki-laki, ada 60.7 % yang merokok dan mengalokasikan penghasilannya untuk rokok. Di antara PA ada yang mengalokasikannya untuk rokok, mengeluarkan Rp. 100.000 – 250.000/bulan. Namun, umumnya pengeluaran PA untuk rokok, kurang dari Rp. 100.000/ bulan. Dari wawancara yang dilakukan terhadap PA yang merokok, ada anggapan bahwa merokok juga untuk menjaga citra diri dalam membina hubungan dengan teman-teman sepermainan. Alokasi berikutnya adalah untuk hiburan berupa play station atau video game, pakaian dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 21. Bentuk Alokasi Pengeluaran PA

Bentuk Alokasi Ada Tidak ada

F % F %

Jajan 85 77 25 33

Kebutuhan belanja harian 81 73 29 27


(44)

Hiburan 23 21 87 79

Pakaian 40 36 70 64

Perhiasan 0 0 110 100

Keperluan sekolah 30 27 80 73

Tabungan 21 19 89 81

Sumber : Kuesioner

Terkait dengan kesehatan, umumnya PA menyatakan pernah sakit selama bekerja. Dari keseluruhan responden, 77 orang atau 70 % menyatakan pernah sakit selama bekerja, dan sisanya yakni 33 orang atau 30 % menyatakan tidak pernah sakit selama bekerja. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 22. Apakah Responden Pernah Sakit Selama Bekerja Apakah Responden Pernah Sakit Selama Bekerja F %

Pernah 77 70.0

Tidak pernah 33 30.0

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Sementara sakit yang umum diderita PA adalah demam dan flu, pilek dan batuk. Kebanyakan responden pekerja anak, mengkonsumsi obat yang dijual bebas dipasaran, hanya sebagian saja responden yang dibawa orang tuanya berobat ke puskesmas. Namun ada pula yang dibawa orang tuanya ke dukun (orang pintar). Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 23. Jenis Penyakit Yang Diderita Oleh Pekerja Anak Selama Bekerja

Jenis Penyakit Tidak Pernah Pernah Sering

F % F % F %

Diare/Sakit Perut 30 27.3 77 70 3 2.3

Sakit Kepala 68 61.8 34 30.9 8 7.3


(45)

Demam/Panas 30 27.3 50 45.4 30 27.3

Penyakit kulit 85 77.2 24 21.8 1 1

Sumber : Kuesioner

Bila dilihat usia pekerja anak, sebenarnya mereka belum pantas untuk bekerja, akan tetapi kondisi ekonomi keluarga dan penyebab lainnya telah menyebabkan mereka bekerja. Di antaranya sambil bersekolah, akan tetapi banyak yang mengalami putus sekolah. Padahal dengan bekerja pada sektor-sektor berbahaya telah mengancam keselamatan mereka dan mengabaikan hak-hak mereka sebagai anak. Terkait dengan hak anak, sebahagian besar PA tidak mengetahui haknya sebagai anak. Dari keseluruhan responden hanya 40 orang atau 36.4 % yang menyatakan mengetahui hak anak. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :

Tabel 24. Pengetahuan Responden Tentang Hak Anak

Pengetahuan Terhadap Hak Anak F %

Tahu 40 36.4

Tidak tahu 70 63.6

Total 110 100.0

Sumber : Kuesioner

Dari PA yang mengatakan mengetahui hak anak sebahagian besar menyebut belajar dan bermain sebagai hak anak. Selebihnya PA menyatakan hak anak itu adalah hak mendapat perlindungan orang tua, mendapat nasehat dari orang tua. Ada pula PA yang menyatakan membantu orang tua juga hak anak.

3.7. Penyebab Anak Bekerja

Anak bekerja yang diantaranya pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk pada anak, disebabkan oleh faktor pendorong (push faktor) dan faktor penarik (pull factor). Yang dimaksud dengan faktor pendorong PA untuk bekerja adalah faktor-faktor yang berasal dari diri dan keluarga PA yang menyebabkan anak bekerja. Sementara faktor penarik adalah faktor yang berasal dari luar PA dan keluarganya.


(46)

Dari wawancara mendalam yang dilakukan, ditemukan beberapa penyebab anak bekerja yang diklasifikasikan atas kedua faktor di atas yakni :

A. Faktor Pendorong

Faktor pendorong utama adalah kemiskinan keluarga PA. Sebahagian besar ayah PA yang tidak memiliki pekerjaan tetap (mocok-mocok) dan nelayan dengan penghasilan rata-rata di bawah UMR per bulannya, memaksa keluarga PA untuk melakukan strategi adaptasi. Strategi adaptasi yang dilakukan adalah dengan mendorong sumberdaya lainnya seperti ibu dan anak-anak untuk bekerja menghasilkan uang. Sehingga penghasilan ibu dan anak-anaknya bisa menutupi kekurangan penghasilan ayah untuk kebutuhan dasar rumah tangga. Strategi adaptasi lain dengan mengurangi pengeluaran termasuk biaya sekolah anak yang berdampak pada anak yang putus sekolah.

Hal ini sesuai dengan jawaban PA anak yang menyebut alasan bekerja untuk membantu orang tua. Membantu ini karena disuruh orang tua maupun kehendak sendiri untuk meringankan beban orang tua. Namun, tidak semua penghasilannya diberikan pada orang tua. Sebahagian dari penghasilannya dinikmati sendiri untuk jajan. Misalnya seperti pernyataan PA berikut : “ya…..untuk membantu orang tua dan juga agar tidak repot cari uang jajan”

Di samping membantu orang orang tua, pemenuhan kebutuhan untuk jajan menjadi faktor pendorong bagi PA untuk bekerja. Kebutuhan untuk jajan makanan dan minuman serta jajan untuk permainan (game) yang menjadikan sasarannya utamanya anak-anak telah mendorong anak untuk memperoleh uang. Ketidakmampuan orang tua untuk memberikannya disiasati anak dengan bekerja. Seperti ungkapan beberapa informan berikut :

“ karena orang tua tidak disini,maka harus bisa mencari uang jajan sendiri karena kakak kadang-kadang memberi uang jajan bila kapal tidak

masuk/bongkar”.

“ karena ayah kadang2 bekerja sehingga harus cari uang jajan sendiri”. Untuk mencari uang jajan, karena orang tua jarang memberikan uang jajan

Faktor pendorong lainnya karena anak sudah tidak bersekolah atau putus sekolah. Dengan tidak lagi bersekolah, maka daripada menganggur, PA berpandangan


(1)

Life Story 2. PA sebagai Pembantu Rumah Tangga

Melda, begitu gadis remaja ini disapa. Ia anak kedua dari lima bersaudara. Umurnya baru 14 tahun, tetapi sudah turut bertanggung jawab terhadap ekonomi rumah tangga. Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada satu keluarga di Tanjungbalai. Melda yang masih duduk di kelas 3 di salah satu SMP di Kota Tanjungbalai ini harus menggantikan peran ibunya setiap pulang sekolah. Kesulitan ekonomi rumah tangga telah memaksanya untuk bekerja.

Hidup serba kekurangan dan harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga setiap pulang sekolah, tidak terbayang di benak Melda sebelumnya. Pasalnya, ketika itu kehidupan Melda dan keluarganya serba berkecukupan. Ayahnya adalah pemborong ikan yang cukup sukses di kota ini. Tetapi penyakit yang menyerang ibunya dan kemudian ayahnya telah membuat keluarga ini jatuh miskin.

Ketika itu, ibunya baru saja melahirkan adiknya yang bungsu. Tetapi, dokter mendiagnosa bahwa ibunya mengalami kanker ganas di perut yang jika tidak segera dioperasi akan membahayakan nyawa ibunya. Tanpa berpikir panjang, ayah Melda menyetujui untuk dilakukan operasi berapapun biayanya asalkan ibunya bisa sehat. Tapi apa daya, biaya operasi dan perawatan ibunya telah menguras tabungan orang tuanya. Setelah ibunya mulai sembuh, giliran ayahnya yang jatuh sakit. Maka modal usahapun ikut habis untuk biaya perobatan.

Saat itulah ibunya mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan buruh cuci. Padahal ketika itu, bekas operasi belum sembuh total tetapi ibunya memaksakan diri untuk bekerja. Jam 6.00 pagi ibunya mulai mencuci di rumah tetangga, dan setelah itu berangkat ke rumah lainnya dimana ibu sebagai pembantu. Karena ibunya pagi-pagi sekali sudah berangkat, maka pekerjaan di rumah seperti memasak dan membereskan rumah menjadi tanggung jawab Melda sebagai anak perempuan tertua. Setelah semuanya beres barulah dia berangkat ke sekolah.

Di sekolah Melda sering mendapat hukuman dari guru. Pasalnya seringkali pekerjaan rumah (PR) yang ditugaskan guru tidak bisa diselesaikannya. Melda bukan tidak mau mengerjakan PR, tetapi waktunya sangat terbatas untuk bisa mengulang pelajaran dan mengerjakan PR. Karena sepulang sekolah, setelah makan siang, ia buru-buru ke tempat ibunya bekerja untuk menggantikannya bekerja. Padahal, ia merasa sangat kelelahan sepulang dari sekolah dan ingin istirahat. Itu harus dilakukannya, agar ibunya bisa istirahat setengah hari..Setelah operasi akibat penyakit kankernya, dokter menyarankan ibunya untuk tidak terlalu lelah bekerja. Melda pun khawatir, jika ibunya jatuh sakit maka ia dan saudaranya akan putus sekolah.

Di rumah majikan, Melda menggantikannya ibunya mengasuh anak, mencuci piring, membersihkan rumah dan sesekali menyetrika pakaian. Kegiatan ini dilakukannya hingga sore hari. Di waktu libur sekolah, Melda juga menggantikan ibunya sebagai buruh cuci.

Sebagai pembantu rumah tangga, ibunya memperoleh upah sebesar Rp. 300.000,-. Ditambah upah sebagai buruh cuci, hanya mampu menutupi sebagian dari kebutuhan rumah tangga. Tambahan lainnya diperoleh dari abangnya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Abangnya, yang umurnya 2 tahun lebih tua dari Melda, juga bekerja sepulang dari sekolah. Ayahnya pun sudah kembali bekerja walaupun tidak memiliki pekerjaan


(2)

tetap (mocok-mocok). Dengan pengerahan semua sumberdaya yang ada, Melda pun tetap nyakin cita-citanya menjadi guru akan tercapai.


(3)

Life Story 3. Pekerja Anak sebagai Pencatuk

Ayubi (15) belum lama putus sekolah. Ia memilih berhenti sekolah karena takut. Pasalnya, ia terlibat tawuran dengan teman sekolah dan siswa dari sekolah lain. Padahal, Ayubi ketika itu sudah duduk di kelas 3 SMP di Kota Tanjungbalai. Jika sebelumnya Ayubi bekerja sambil sekolah maka saat ini waktunya semakin banyak untuk bekerja.

Ayubi sudah bekerja sejak umur 12 tahun. Pekerjaan pertamanya adalah sebagai pencatuk. Ia mulai bekerja karena iri melihat teman-temannya telah menghasilkan uang sendiri tanpa meminta lagi kepada orang tua. Selama lebih kurang dua tahun bekerja sebagai pencatuk, Ayubi sempat beralih pekerjaan menjadi nelayan. Ia ikut ke laut sebanyak dua kali. Pertama kali ke laut, sebagai awak kapal pukat langgar. Menangkap ikan selama 4 hari di laut, ia memperoleh upah Rp.40.000,- di luar penjualan ikan yang dihasilkannya dari memancing di saat waktu luang.

Keikutsertaannya untuk kedua kalinya ke laut, membuat Ayubi trauma. Pasalnya, ia bersama dengan 4 orang temannya se kapal mengalami kecelakaan. Ketika itu, malam hari dan mereka sedang tidur di kapal, tiba-tiba datang badai dengan ombak besar yang menghempas ke dinding kapal. Akibatnya ia dan empat temannya terlempar ke ke laut. Mereka berusaha menyelamatkan diri dengan sekuat tenaga untuk naik kembali ke kapal. Dibantu awak lainnya, Ayubi dan seorang temannya selamat, namun tiga teman lainnya tidak terselamatkan dan ditemukan sudah meninggal dunia. Beberapa bulan setelah kecelakaan itu, Ayubi mencoba untuk bekerja di laut namun ia merasa sangat ketakutan karena selalu terbayang kecelakaan yang pernah dialaminya. Trauma akibat kecelakaan itu, maka Ayubi berhenti bekerja di kapal dan kembali bekerja sebagai pencatuk.

Pertama kali mematuk, orang tuanya tidak mengetahui kalau ia bekerja. Namun, akhirnya orang tuanya mengetahuinya dan memperbolehkannya. Ayahnya hanya bertanya berapa dapat uang dan ayah tidak pernah meminta uang yang diperoleh anaknya tersebut.

Dari hasil mematuk, Ayubi bisa mendapatkan uang sebanyak 20.000 per harinya. Penghasilan yang paling rendah yang ia terima adalah sebanyak 5.000 per hari. Umumnya mulai bekerja yaitu pada pukul 7.30 pagi hingga pukul 12 siang. Dapat dikatakan bahwa jam kerja pematuk setiap hari juga tidak dapat ditentukan. Ayubi dan teman-teman lainnya bekerja ketika kapal pulang dari laut.

Sebagai pencatuk, Ayubi juga pernah mengalami kecelakaan. Ketika itu, ia terjatuh dan tergores potongan kayu di sungai. Kakinya berdarah dan berobat ke bidan yang ada di desa.

Bekerja sebagai pencatuk, ia pernah dimarahi oleh ABK karena mengambil ikan. Ia juga pernah dilempar pakai es oleh Brimob yang bertugas di gudang sebagai pengawas. Ia juga pernah dikejar Brimob atas perintah toke. Ayubi berlari ke belakang kapal dan kemudian masuk ke air. Responden dikejar oleh Brimob juga karena mencuri ikan. Ia juga pernah ditangkap dan dimarahi oleh Brimob di dalam gudang. Ayubi dan kawan-kawannya sesama pencatuk menyebut Brimob adalah sebagai anjingnya Cina.


(4)

Life Story 4. Pekerja Anak di Sektor Prostitusi

Tia (17), anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai supir truk pengangkut pasir dan ibunya mencari upahan mencuci pakaian tetangga. Ia putus sekolah ketika duduk kelas 2 di salah satu SMU swasta di Kota Tanjungbalai. Putus

sekolah karena ayahnya selalu marah jika ia meminta uang SPP dan biaya keperluan sekolah lainnya. Ayahnya yang pemarah membuatnya tidak betah tinggal di rumah dan memutuskan meninggalkan rumah tanpa permisi dan pergi ke rumah salah satu kerabatanya di Kota Sibolga.

Dua bulan di Kota Sibolga, Tia bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan. Akhirnya Ayahnya menjemputnya karena ibunya sakit keras. Di saat itu, keluarganya sangat membutuhkan dana yang cukup besar untuk biaya pengobatan ibunya. Tia menyangyangkan sikap ayahnya yang dalam keadaan ibunya sakit keras bukannya membuat ayahnya semakin giat bekerja justru sebaliknya semakin malas. Dua orang Abang Tia pun tidak bisa banyak membantu biaya perobatan. Abangnya yang pertama bekerja sebagai buruh nelayan dengan penghasilan yang tidak memadai. Abangnya yang kedua masih menganggur.

Menghadapi situasi keuangan keluarga yang kacau, muncullah keinginan Tia bekerja untuk mencari biaya bagi perobatan ibunya serta biaya sekolah adik-adiknya. Ia pun menggantikan peran ibunya sebagai seorang pencuci pakaian. Namun hasil yang dicapai tidak cukup untuk situasi keluarga pada saat itu. Disaat kondisi yang serba krisis tersebut, kenalan Tia seorang gay memberi jalan dengan mengenalkannya kepada seorang pengusaha asal Kota Tanjung Balai yang berdomisili di Kota Medan. Setelah mengatur segalanya dengan dalih memberi pekerjaan, Tia disuruh untuk menjumpai orang dimaksud di Medan tepatnya di Hotel Danau Toba.

Pengusaha tersebut, memberi Tia uang sebanyak 4 juta rupiah setelah melakukan pelayanan seksual selama seminggu. Tia pun kembali ke Kota Tanjungbalai dan membawa ibunya ke rumah sakit. Tak lama setelah itu, ibunya pun sembuh. Ketika itu, ibunya sempat mempertanyakan darimana uang sebanyak itu, ia peroleh. Tia pun terpaksa berbohong dengan menyatakan dibantu oleh kawannya.

Setelah sembuh dari penyakitnya, kondisi ibu informan sangat lemah dan tidak memungkinkan untuk bekerja lagi. Informan pun berinisiatif kembali untuk mencari pekerjaan. Karena merasa sudah tidak suci lagi dan kepalang basah ia pun bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Tetapi, ia melakukannya tidak secara terbuka tetapi penghubungnya menghubunginya via telepan selular ketika ada pelanggan.

Dalam memilih pelanggan, Tia sangat selektif. Ia terlebih dahulu mengamati kebersihan dan tingkah laku pasiennya. Dari pekerjaannya ini, Tia tidak mengalami kesulitan dana. Tia yang berwajah cantik berkulit putih tidak kesulitan memperoleh pelanggan.

Tujuh bulan sebagai PSK, Tia merasa jengah dan bosan. Ia beralih pekerjaan sebagai pelayan rumah makan di Pantai Pasir Kota Tanjung Balai. Di rumah makan ini ia berkenalan dengan seorang Duda keturunan China berusia sekitar 50-an tahun. Hubungan


(5)

dibelinya. Dengan statusnya sebagai wanita simpanan, maka aktivitasnya menerima pelanggan lain pun turut berkurang. Ia hanya berhubungan dengan pelanggan lainnya seringkali tidak lagi semata-mata karena uang.

Orang tuanya mengetahui pekerjaan Tia dan mengetahui statusnya saat ini sebagai wanita simpanan. Orang tuanya pun tidak banyak berkomentar karena Tia sudah menjadi tulang punggung ekonomi rumah tangga. Hanya ibunya menyarankan untuk menikah saja dengan duda tersebut agar statusnya lebih jelas.

Pekerjaan yang digelutinya saat ini, tidaklah membuatnya bahagia. Ia seringkali merenungi nasibnya dan merasa sangat terhina. Hampir setiap hari, Tia mencurahkan isi hatinya dengan menulis puisi dan cerita. Ia berharap kelak mendapat pekerjaan yang layak dan terhormat.


(6)

Life Story 5. Pekerja Anak Pada Sektor Pemulung

Charli Silalahi (13) adalah pelajar kelas 2 SMPN I Kota Tanjungbalai. Ia memulung sepulang dari sekolah. Tinggal di Desa Teluk Ketapang bersama kedua orang tuanya. Ayahnya, Saut Silalahi dan ibunya Delimayeti Hutasoit yang juga bekerja sebagai pemulung. Kedua orang tuanya memulung di tempat pembuangan akhir (TPA) di jalan arteri simpang stasiun KUPJ. Dari pekerjaan memulung, keluarga ini memperoleh penghasilan sekitar Rp. 700.000 per bulannya. Sementara Charli bersama teman-teman sebayanya memulung di sekitar pemukiman penduduk. Barang-barang yang dikumpulkan berupa botol minuman mineral bekas, besi, kuningan dan berbagai jenis logam lainnya. Dari memulung ini, Ia bisa menghasilkan uang sebanyak Rp. 200.000 per bulannya.

Rumah orang tua Charli adalah rumah papan gandeng dengan fasilitas air dan listrik. Di rumah ini Charli hanya tinggal bertiga dengan orang tuanya, karena 5 saudaranya sudah menikah dan sudah tinggal terpisah dengan orang tuanya. Abangnya yang saat ini bekerja di berbagai sektor, dulunya juga ikut memulung.

Orang tua Charli tidak memaksanya untuk memulung. Namun orang tuanya merasa senang, karena dengan bekerja Charli bisa memenuhi uang jajannya sendiri. Sebahagian penghasilannya juga diberikan kepada orang tuanya. Hanya saja, orang tua Charli juga mewan-wantinya untuk tetap lebih memprioritaskan pendidikannya dibanding bekerja. Sehingga jika Charli sedang banyak PR dan kegiatan ekstrakurikuler, Charli tidak ikut bekerja. Saat ini Charli ikut kegiatan ekstrakurikuler sepak bola di sekolahnya. Ia juga secara rutin latihan renang. Di kolam renang ini, Charli bisa datang untuk latihan renang kapanpun ia suka tanpa harus membayar. Pasalnya, tempat renang itu salah satu penjaganya adalah abang kandungnya.

Dari latihan rutin yang ia lakukan, Charli menjadi anak yang terampil berenang. Dalam uji coba yang dilakukan antar sesama pelajar seusianya, Charli sering menjadi juara. Namun, ia mengaku tidak pernah mengikuti kejuaraan-kejuaraan resmi. Sehingga tidak memiliki koleksi piala atau penghargaan apapun. Charli yang bercita-cita jadi polisi ini, berharap kelak akan menjadi juara renang di event-event kejuaraan resmi.

Sebagai pemulung kecelakaan yang menurut Charli bisa kapan saja mengancamnya adalah tertusuk dan tergores paku, besi dan logam lainnya. Selama ini, ia belum pernah terkena benda tersebut yang mengakibatkan ia harus ke rumah sakit. Namun, orang tuanya selalu menganjurkannya untuk selalu memakai sandal dalam memulung.

Charli sering mendapat makian ketika memulung di sekitar pemukiman. Warga yang curiga padanya, biasa mengusirnya karena khawatir barang-barangnya dicuri. Charli merasa tidak pernah mencuri dan hanya mengambil barang-barang bekas yang sudah tidak digunakan lagi. Untuk menghindari perlakuan buruk seperti makian tersebut, orang tuanya hanya berpesan untuk tidak mencuri.


Dokumen yang terkait

SKRIPSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELARANGAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELARANGAN DAN PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK BAGI PEKERJA ANAK DI KOTA BANDUNG (Studi Kasus Sentra Industri Alas Kaki Cibaduyut).

0 3 14

PENDAHULUAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELARANGAN DAN PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK BAGI PEKERJA ANAK DI KOTA BANDUNG (Studi Kasus Sentra Industri Alas Kaki Cibaduyut).

0 3 21

PENUTUP IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELARANGAN DAN PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK BAGI PEKERJA ANAK DI KOTA BANDUNG (Studi Kasus Sentra Industri Alas Kaki Cibaduyut).

0 4 7

IMPLEMENTASI PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 30 TAHUN 2008 TENTANG KOMITE AKSI DAERAH PENGHAPUSAN BENTUK BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK KABUPATEN SRAGEN

0 5 94

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELARANGAN DAN PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK BAGI PEKERJA ANAK DI KOTA BANDUNG (Studi Kasus Sentra Industri Alas Kaki Cibaduyut).

0 2 15

Pengaturan Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak di Indonesia Ditinjau dari Konvensi Hak Anak 1989. (Studi Tentang : Pekerja Anak Jermal di Sumatera Utara).

0 0 6

Dilema Pekerja Anak (Studi Kasus tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak di Kota Surakarta Dilema pekerja anak

0 1 14

ILO No 182 Tentang Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak

0 0 11

Identifikasi Aspek Pengaruh Bentuk Kota

0 8 43

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG - Identifikasi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak Di Kota Tanjungbalai

0 0 11