s pgsd kelas 1105371 chapter2

(1)

BAB II

STUDI LITERATUR

A. Pengertian IPA

Ilmu pengetahuan alam (IPA) berasal dari kata Natural Sciences.Natural artinya alamiah, sedangkan science artinya ilmu.Selanjutnya natural sciences sering disingkat Science, Kemudian diindonesiakan menjadi Sains. Menurut Sujana (2013, hlm. 15) IPA atau sains merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai alam semesta beserta isinya, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi didalamnya yang dikembangkan oleh para ahli berdasarkan proses ilmiah.Pandangan ahli mengenai pengertian IPA atau Sains sendiri cukup beragam. Menurut Darmojo (dalam Samatowa, 2006) IPA adalah pengetahuan yang rasional dan obyektif tentang alam semesta dengan segala isinya. Bundu (2006, hlm. 10) memaparkan bahwa Sains adalah proses kegiatan yang dilakukan para saintis dalam memperoleh pengetahuan dan sikap terhadap kegiatan tersebut. Berdasarkanpengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan suatu kegiatan yang fokus mengkaji alam dan proses-proses yang ada di dalamnya melalui proses ilmiah.

B. HakikatIPA

Pada dasarnya hakikat IPA dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai proses, produk dan sikap. Menurut Bundu (2006, hlm 11) bahwa

Sains secara garis besanya memiliki tiga pokok, yaitu (1) proses ilmiah, misalnya mengamati, mengklarifikasi, memprediksi, merancang dan merencanakan eksperimen, (2) produk ilmiah, misalnya prinsip, konsep, hukum,teori dan (3) sikap ilmiah, misalnya ingin tahu, hati-hati, obyektif dan jujur.

Adapun penjelasan mengenai ketiga komponen dalam sains adalah sebagai berikut :

1. Sains sebagai produk

Semua pembahasan dalam sains sesungguhnya didasari pada hasil temuan/pemikiran para ahli yang didokumentasikan dala bentuk tulisan. 2. Sains sebagai proses

Sebuah metode/cara tertentu untuk menghasilkan produk sains, atau yang dikenal juga dengan keterampilan sains. Diantaranya :


(2)

a. Keterampilan mengamati.

b. Keterampilan merencanakan dan melaksanakan percobaan. c. Keterampilan menafsirkan dan menarik kesimpulan. d. Mengkomunikasikan.

3. Sains sebagai sikap

Dalam menghasilkan karya ilmiah, seorang ilmuan selain bekerja dengan menggunakan metode ilmiah juga menggunakan sikap ilmiah.Sikap ilmiah terbentuk karena sifat sains itu sendiri.

C. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

1. Prinsip Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

Seyogyanya dalam mengajarkan IPA ada prinsip-prinsip yang harus diperhatikan. Adanya prinsip akan memberikan arahan terhadap pelaksanaan pembelajaran IPA di sekolah dasar. Dalam bahan ajar PLPG 2010 (dalam Sujana, 2013) ada enam prinsip pelaksanaan pembelajaran IPA, yaitu sebagai berikut :

a. Prinsip motivasi

Mengingat umur siswa SD berada diantara 6-12 tahun, mereka masih membutuhkan motivasi dari luar. Motivasi sangat penting diberikan kepada siswa SD, hal ini untuk mendorong mereka mau belajar IPA dengan baik.

b. Prinsip latar

Seorang guru harus mampu memperhatikan latar belakang pengetahuan, keterampilan dan pengalaman siswa yang diajarnya, hal ini untuk memudahkan guru ketika mengajarkan IPA di dalam kelas.

c. Prinsip menemukan

Pada dasarnya siswa memiliki rasa ingin tahu yang tinggi untuk menemukan sesuatu. Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penyidikan dalam rangka menemukan sesuatu.

d. Prinsip belajar sambil menemukan (learning by doing)

Supaya pembelajaran IPA lebih bertahan lebih lama dalam ingatan siswa, hendaknnya guru mendorong siswa untuk melakukan kegiatan proses sains.


(3)

e. Prinsip belajar sambil bermain

Pembelajaran tidak selalu menuntut siswa untuk belajar didalam kelas. Pembelajaran yang seperti itu akan membuat pembelajaran menjadi membosankan. Untuk menarik minat siswa, hendaknya guru merancang proses pembelajaran yang menyenangkan seperti observasi lingkungan sekitar, permainan dan kegiatan lainnya.

f. Prinsip sosial

Guru harus mampu membuat pembelajaran IPA dapat menumbuhkan sikap sosial diantara siswa seperti kerjasama dan saling menolong. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan model-model tertentu.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa prinsip pembelajaran IPA bukan hanya difokuskan kepada kompetensi yang berkaitan dengan potensi kognitif saja, tetapi juga ada prinsip-prinsip lainnya yang harus diperhatikan. Sehingga pada akhirnya mengarah kepada pembentukan karakter siswa agar mampu melakukan perubahan-perubahan tingkah laku yang positif dan relatif menetap.

2. Tujuan IPA di Sekolah Dasar

Terdapat tujuh tujuan pembelajaranIPA yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (BSNP, 2006: 37), yaitu agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut ini:

a. memperoleh keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya,

b. mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapakan dalam kehidupan sehari-hari,

c. mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat,

d. mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan,

e. meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam,

f. meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai slah satu ciptaan Tuhan.

g. memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

Secara garis besar tujuan pembelajaranIPA di SD adalah agar siswa mampu mengaplikasikan dan memanfaatkan IPA untuk memecahkan masalah


(4)

yang dijumpai siswa dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan dalam KTSP tersebut mengharapkan agar siswa dapat menguasai berbagai kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti keterampilan proses sains.

3. Kompetensi IPA yang Ditargetkan dalam Kurikulum

Menurut Bundu (2006, hlm. 49), kurikulum KTSP dalam pembelajaran sains sebaiknya memuat tiga komponen, diantaranya:

Pertama, pengajaran sains harus merangsang pertumbuhan intelektual dan perkembangan siswa.Kedua, pengajaran sains harus melibatkan siswa dalam kegiatan praktikum/percobaan tentang hakikat sains.Ketiga, sains disekolah dasar seharunya: 1) merangsang dang mendorong sikap ilmiah, 2) mengembangkan kemampuan penggunaan keterampilan proses sains, (3) mengetahui pola dasar pengetahuan sains, 4) merangsang tumbuhnya sikap berpikir kritis dan rasional.

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, untuk lebih jelasnya akan dijabarkan mengenai pembelajaran sains dari segi proses sains atau yang disebut keterampilan proses sains.

a. Keterampilan Proses Sains Sekolah Dasar 1) Ruang Lingkup Keterampilan Proses Sains

Pembelajaran sains di sekolah dasar tidak hanya menekankan pada pemahaman konsep-konsep, melainkan menekankan pada proses dan produk, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna. Menurut Akinbobola dan Ado (dalam Sujana, 2013) Pembelajaran sains harus menekankan sikap jujur, pikiran terbuka dan kritis, rasa ingin tahu, kerendahan hati, serta sikap-sikap lainnya yang dimiliki para ilmuan.Menurut bundu (2006, hlm. 23) pada keseluruhan tahapan metode sains terdapat aktivitas mengamati, mengklasifikasi, membandingkan, memprediksi, menyimpulkan, merumuskan hipotesis, melakukan percobaan, menganalisis data dan mengkomunikasikan. Semua kegiatan itu termasuk kedalam keterampilan proses sains. Bundu (2006, hlm. 25) membagi keterampilan proses menjadi dua kelompok, yaitu

a) keterampilan proses dasar yang meliputi observasi, klasifikasi, komunikasi, pengukuran, prediksi dan penarikan kesimpulan.

b) keterampilan terintegrasi yang meliputi mengidentifikasi variabel, menyusun table data, menyusun grafik, menggambarkanhubungan antar variabel, memperoleh dan memproses data, menganalisis investigasi, menyusun hipotesis, merumuskan variable secara operasional, merancang investigasi dan melakukan eksperimen.


(5)

Khusus untuk pembelajaran disekolah dasar, Harlen (dalam Bundu, 2006, hlm. 24) menyarankan lima keterampilan proses yang harus dikuasai, yakni :observing, planning, predicting, hypothesizing interpreting, communicating, using.Sedangkan menurut Harlen (dalam Widodo, dkk, 2010, hlm. 46) keterampilan proses 6 diantaranya : a) mengamati, b) berhipotesis, c) memprediksi, d) meneliti, e) menafsirkan data dan menarik kesimpulan dan f) berkomunikasi.

Pada dasarnya pengelompokan keterampilan proses sains oleh para ahli tidak ada perbedaan. Perbedaan yang ada hanyalah dari sudut pandang yang menilai bahwa aspek tertentu yang penting untuk dimunculkan tersendiri.

Menurut Bundu (2006, hlm. 63), SK dan indikator keterampilan proses adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1

SK dan Indikator Keterampilan Proses

Keterampilan Proses Indikator

Observasi (mengamati) Menggunakan alat indra sebanyak mungkin.

Mengumpulkan fakta yang relevan dan memadai. Klasifikasi

(menggolongkan)

Mencari perbedaan, mengkontraskan, mencari persamaan, membandingkan, mengelompokan.

Aplikasi (menerapkan) Menghitung, menjelaskan peristiwa, menerapkan

konsep yang dipelajari pada situasi yang baru.

Prediksi (meramalkan) Menggunakan pola, menghubungkan pola yang ada

dan memperkirakan peristiwa yang terjadi.

Interpretasi (menafsirkan) Mencatat hasil pengamatan, menghubungkan hasil

pengamatan dan membuat kesimpulan.

Menggunakan alat Berlatih menggunakan alat/bahan, menjelaskan

mengapa dan bagaimana alat digunakan. Eksperimen (melakukan

percobaan)

Menentukan alat/bahan yang digunakan, variabel, apa yang diamati/diukur, langkah kegiatan dan bagaimana data diolah dan disimpulkan.

Komunikasi Membaca grafis, table atau diagram, menjelaskan

hasil percobaan dan menyampaikan laporan secara sistematis.

Mengajukan pertanyaan Bertanya, meminta penjelasan, bertanya tentang

latar hipotesis.

Sumber: Modifikasi dari hadiat, “Ketrampilan Proses IPA”. Beberapa Topik Penataran

Guru IPA( Jakarta: P3TK Dekdikbud, 1988), h. 29-30.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini lebih difokuskan untuk keterampilanmengamati, klasifikasi, aplikasi, memprediksi, menggunakan alat, melakukan percobaan, menarik kesimpulan, berkomunikasi dan mengajukan pertanyaan.


(6)

2) Pengembangan Keterampilan Proses Sains

Menurut Harlen (dalam Bundu, 2006, hlm. 32) secara umum ada lima aspek yang perlu dilakukan guru dalam mengembangkan keterampilan proses sains, diantarannya :

a) memberikan kesempatan untuk menggunakan keterampilan proses dalam menangani setiap materi dan fenomena pada tangan pertama b) memberikan kesempatan untuk berdiskusi baik dalam kelompok kecil

maupun kelompok besar.

c) dengarkan apa yang dikemukakan (ide/pemikiran) siswa dan telaah hasil yang mereka peroleh serta pelajari keterampilan proses apa yang mereka gunakan untuk menyusun ide/pendapat mereka.

d) mendorong adanya riviu kritis siswa dari setiap kegiatan yang telah dilaksanakan.

e) menyiapkan teknik yang luwes untuk mengembangkan keterampilan proses agar dapat meningkatkan keakuratan pengamatan dan pengukuran sangat diperlukan adanya instrument sebagai alat ukur. Secara khusus dikemukakan beberapa bentuk pengembangan keterampilan proses sains siswa sekolah dasar (dalam Bundu, 2006), diantarannya :

a) Pengembangan keterampilan observasi (pengamatan)

Kesempatan menggunakan alat indra untuk mengamati suatu objek dan fenomena sangat penting dalam pengembangan keterampilan observasi. Semakin banyak siswa melakukan observasi maka kemampuan keterampilan proses yang dimiliki semakin baik.

b) Pengembangan kemampuan menyusun hipotesis

Hipotesis adalah kecenderungan menjelaskan hasil observasi, kejadian dan hubungan antara setiap kejadian/fenomena.Ada beberapa hal yang harus dihindari ketika mengajarkan keterampilan ini, yaitu pemikiran bahwa hipotesis harus selalu benar.Harus diingat bahwa kebenaran hipotesis tergantung pada data kongkrit yang ada di lapangan.

c) Pengembangan kemampuan merencanakan

Untuk mengembangkan kemampuan merencanakan, guru jangan terlalu banyak memberi petunjuk kepada siswa.Hal ini dimaksudkan untuk merangsang siswa untuk berpikir dan mengembangkan sendiri kemampuan ini. Sehingga nantinya akan membentuk pola sederhana yang akam membantu siswa menyusun hipotesis yang akan diuji kebenarannya.


(7)

d) Pengembangan kemampuan interpretasi

Bagian terpenting dalam mengembangkan kemampuan ini adalah pengumpulan data-data yang diperlukan untuk ditafsirkan (menginterpretasikannya) lalu dicari hubungan atau keterkaitan dari data-data tersebut.Ketika mengembangkan kemampuan interpretasi, guru harus mampu memanfaatkan hasil kegiatan yang diperoleh dan tidak terburu-buru pindah pada kegiatan lainnya tanpa memperbincangkan/menafsirkan lebih dalam makna hasil yang diperoleh.

e) Pengembangan keterampilan komunikasi

Banyak potensi siswa yang dapat dikembangkan untuk mengkomunikasikan hasil kegiatan mereka yang meliputi bentuk penyajian, peserta dan tujuan penyajian. Tentu tidak semuannya dapat diungkap pada satu kegiatan, guru dapat membuat program yang memungkinkan siswa dapat mengalami semua proses tersebut.

Menurut laporan PISApada tahun 2012, kemampuan sains Indonesia masih rendah. Oleh karena itu dengan pengembangan keterampilan proses sains yang baik diharapkan dapat membangun kemampuan untuk memecahkan masalah, meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi dan menumbuhkan kepekaan siswa terhadap masalah yang terjadi di sekitarnya.

3) Penilaian Keterampilan Proses Sains

Menurut Bundu (2006, hlm. 60) “penilaian keterampilan proses sama dengan penilaian hasil belajar pada umumnnya yakni dari segi fungsinya sebagai penilaian formatif, sumatif dan diagnotik”. Bentuk instrumenpenilaian yang digunakan bervariasi, hal ini tergantung pada jenis keterampilan proses apa yang akan direkam datanya. Menurut Bundu (2006, hlm. 63)langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam penyusunan penilaian keterampilan proses sains adalah :

a) menentukan jenis keterampilan proses yang akan dinilai.

b) menentukan indikator-indikator jenis keterampilan proses yang akan dinilai.

c) menentukan dan mengembangkan instrument penilaian yang akan digunakan.

d) validasi instrument (validasi ahli dan uji coba di lapangan)

Sejalan dengan hal tersebut seyogyanya dalam memberikan penilaian, terlebih dahulu harus dibuat perencanaan yang matang dan jelas sehingga tidak


(8)

menimbulkan tafsiran ganda. Hal ini juga untuk mempermudah guru dan siswa dalam keberhasilan penggunaan keterampilan proses sains.

4. Ruang Lingkup IPA di Sekolah Dasar

IPA merupakan ilmu yang bersifat empirik yang membahas tentang fakta dan gejala alam. Sehingga untuk mengajarkannya perlu diciptakan suatu pembelajaran yang dapat mendorong siswa untuk aktif dan ingin tahu, terutama ketika diajarkan di SD. Ruang lingkup IPA di SD secara umum meliputi dua aspek, yaitu kerja ilmiah atau proses sains dan pemahaman konsep. Menurut (Sujana, 2013, hlm. 18) secara umum ruang lingkup matapelajaran sains di SD terdiri dari:

a. makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan, serta interaksinya.

b. materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi air, udara, tanah dan batuan.

c. listrik dan magnet, energi dan panas, gaya dan pesawat sederhana, cahaya dan bunyi, tata surya, bumi, serta benda-benda langit lainnya. d. kesehatan, makanan, penyakit, serta cara pencegahannya.

e. sumber daya alam, kegunaan, pemeliharaan, serta pelestariannya. Melihat dari ruang lingkup matapelajaran IPA diatas, materi pada penelitian ini adalah sifat-sifat cahaya. Adapun cakupan subpokok bahasan ini adalah mengetahui sifat-sifat cahaya, pembuktian sifat-sifat cahaya dan memanfaatan cahaya dalam kehidupan sehari-hari. Materi cahaya yang akan diajarkan ini termasuk ke dalam materi kelas V semester 2. Penelitian ini dilakukan dalam upaya meningkatkan kemampuan keterampilan proses sains siswa kelas V sekolah dasar pada materi sifat-sifat cahaya. Materi ini terdapat dalam standar kompetensi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) matapelajaran IPA kelas V semester 2

Tabel 2.2

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPA Kelas V Semester 2

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

6.Menerapkan sifat-sifat cahaya melalui

kegiatanmembuatsuatumodel/ka rya.

6.1 Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya. 6.2 Membuat suatu karya/model,

misalnya periskop atau lensa dari bahan sederhana dengan


(9)

D. Materi Sifat-sifat Cahaya

Sebuah benda dapat dilihat karena adanya cahaya, yang memancar atau dipantulkan dari benda tersebut, yang sampai ke mata. Berdasarkan sumbernya cahaya dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Cahaya yang berasal dari benda itu sendiri, seperti matahari, senter, lilin, dan lampu.

2. Cahaya yang memancar dari benda lain akibat memantulnya cahaya pada permukaan benda. Misalkan, ketika kita melihat benda berwarna kuning, artinya cahaya tersebut memantulkan cahaya berwarna kuning.

Cahaya mempunyai sifat-sifat tertentu, diantaranya: 1. Cahaya Merambat Lurus

Gambar 2.1

Sumber : http://www.masgino.com/2012/11/sifat-sifat-cahaya.html Sifat cahaya yang merambat lurus ini dimanfaatkan manusia pada lampu senter dan lampu kendaraan bermotor.

2. Cahaya Dapat Menembus Benda Bening

Sebuah cahaya akan masuk/menembus bila benda yang dilewatinya adalah benda bening/transparant. Berdasarkan dapat atau tidaknya di tembus cahaya, benda-benda digolongkan menjadi tiga, yaitu:

a. Opaque atau benda tidak tembus cahaya. Opaque memantulkan semua cahaya yang mengenainya, misalnya adalah buku, kayu, tembok, dan air keruh.

b. Benda Bening atau sering disebut benda transparant merupakan benda yang dapat ditembus oleh cahaya. Benda transparant meneruskan semua cahaya yang mengenainya. Contohnya kaca yang bening dan air jernih

c. Benda Transluentmerupakan benda-benda yang dapat meneruskandan menyebarkannya sebagian cahaya. Contohnya kain gorden tipis, tisu dankain kerudung.


(10)

3. Cahaya dapat dipantulkan

Gambar 2.2

Sumber : http://www.masgino.com/2012/11/sifat-sifat-cahaya.html Pemantulan (refleksi) atau pencerminan adalah proses terpancarnya kembali cahaya dari permukaan benda yang terkena cahaya. Pada saat bercermin, bayangan tubuh akan terpantul kembali masuk ke mata. Hal ini merupakan salah satu contoh bahwa cahaya dapat dipantulkan.Cermin merupakan salah satu benda yang memantulkan cahaya. Berdasarkan bentuk permukaannya cermin dibedakan menjadi tiga, diantaranya:

a. Cermin Datar

Cermin datar yaitu cermin yang permukaan bidang pantulnya datar dan tidak melengkung. Cermin datar biasa kamu gunakan untuk bercermin. Pada saat bercermin, kamu akan melihat bayanganmu di dalam cermin. Bayangan pada cermin datar mempunyai sifat-sifat berikut.

1) Ukuran (besar dan tinggi) bayangan sama dengan ukuran benda. 2) Jarak bayangan ke cermin sama dengan jarak benda ke cermin.

3) Kenampakan bayangan berlawanan dengan benda. Misalnya tangan kirimu akan menjadi tangan kanan bayanganmu.

4) Bayangan tegak seperti bendanya.

5) Bayangan bersifat semu atau maya. Artinya, bayangan dapat dilihat dalam cermin, tetapi tidak dapat ditangkap oleh layar.

b. Cermin Cembung

Cermin cembung yaitu cermin yang permukaan bidang pantulnya melengkung ke arah luar. Cermin cembung biasa digunakan untuk spion


(11)

pada kendaraan bermotor.Bayangan pada cermin cembung bersifat maya, tegak, dan lebih kecil (diperkecil) daripada benda yang sesungguhnya. c. Cermin Cekung

Cermin cekung yaitu cermin yang bidang pantulnya melengkung ke arah dalam. Cermin cekung biasanya digunakan sebagai reflektor pada lampu mobil dan lampu senter. Sifat bayangan benda yang dibentuk oleh cermin cekung sangat bergantung pada letak benda terhadap cermin. Jika benda dekat dengan cermin cekung, bayangan benda bersifat tegak, lebih besar, dan semu (maya). Jika benda jauh dari cermin cekung, bayangan benda bersifat nyata (sejati) dan terbalik.

4. Cahaya Dapat Dibiaskan

Gambar 2.3

Sumber : http://www.masgino.com/2012/11/sifat-sifat-cahaya.html Pensil yang dimasukan ke dalam gelas yang berisi air, jika dilihat dari samping akan terlihat bengkok. Peristiwa ini merupakan salah satu bentuk pembiasan cahaya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Apabila cahaya merambat melalui dua medium yang berbeda kerapatannya maka cahaya akan mengalami pembelokan atau pembiasan.Udara memiliki kerapatan yang lebih kecil daripada air. Bila cahayamerambat dari zat yang kurang rapat ke zat yang lebih rapat maka cahaya akan dibiaskan mendekati garis normal. Akan tetapi apabila cahaya merambat dari zat yang lebih rapat ke zat yang kurang rapat maka cahaya akan dibiaskan menjauhi garis normal. Garis normal merupakan garis yang tegak lurus pada bidang batas kedua permukaan.


(12)

Gambar2.4 Jalannya sinar

darimedium rapat ke kurang rapat

Gambar2.5Jalannya sinar dari

mediumkurang rapat ke rapat Sumber: BSE IPA Untuk SD dan MI Kelas V

5. Pemanfaatan sifat cahaya dalam kehidupan sehari-hari

Sifat-sifat cahaya dapat dimanfaatkan dalam pembuatan berbagai macam alat, di antaranya periskop, teleskop, kaleidoskop, dan lup.

a. Periskop

Periskop digunakan pada kapal selam.Periskop menerapkan sifat cahaya yang berupa pemantulan. Cahaya dari atas permukaan laut ditangkap oleh suatu cermin, kemudian dipantulkan menuju mata pengamat di dalam kapal selam.

b. Teleskop

Teleskop digunakan untuk melihat bintang. Pada prinsip kerjanya teleskop, hamper sama dengan periskop. Teleskop mempunyai dua lensa untuk membiaskan cahaya.

c. Kaleidoskop

Merupakan mainan yang terbuat dari cermin.Melalui benda ini, bisa melihat aneka pola yang mengagumkan akibat pemantulan bayangan yang berulang.

d. Lup

Lup adalah alat bantu untuk melihat benda-benda kecil agar tampak besar dan jelas.


(13)

E. Teori-teori Belajar IPA

1. Teori Belajar Menurut Jean Piaget

Teori ini dikemukakan ahli psikologi berkebangsaan Swiss bernama Jean Piaget. Piaget (dalam Syah, 2010) berpandangan bahwa perkembangan mental setiap pribadi melewati empat tahapan, yaitu:

a. Tahap sensorimotor (0-2 Tahun)

Pada tahap ini, intelegensi yang dimiliki anak masih didasari pada prilaku terbuka. Anak belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum ia mampu berpikir mengenai hal yang sedang ia perbuat. Mereka belajar cara mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami hal yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara melakukannya.

b. Tahap pra-operasional (2-7 Tahun)

Perkembangan ini bermula pada saat anak sudah memiliki kesadaran akan keberadaan benda/kejadian yang sudah ada atau biasa ada, walaupun benda atau kejadian itu berada di luar pandangan, pendengaran atau jangkauan tangannya. Perolehan kesadaran terhadap eksistensi objek tersebut adalah hasil dari dari munculnya kognitif baru yang disebut representation. Representation sangat penting karena merupakan bagian dari skema kognitif yang memungkinkan anak berfikir dan menyimpulkan eksistensi sebuah benda atau kejadian tertentu.

c. Tahap konkret-operasional (7-11 Tahun)

Pada tahap ini, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations ( Satuan langkah berpikir). Kemampuan ini berguna untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam system pemikirannya. Satuan langkah berpikir akan menjadi dasar terbentuknya inteligensi. Anak dalam rentang 7-11 tahun baru mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang kongkret.

d. Tahap formal-operasional (11-15 Tahun)

Pada tahap ini, anak sudah berada pada masa remaja. Seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan secara serentak maupun


(14)

berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni : a) kapasitas menggunakan hipotesis, b) kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dua macam kapasitas kognitif ini sangat berpengaruh terhadap kualitas skema kognitif remaja tersebut.

Subjek penelitian ini adalah siswa SD. Struktur kognitif siswa SD berbeda dengan dengan siswa SMP atau SMA. Rata-rata untuk usiasiswa SD berada diantara 6-12 tahun. Jika dilihat dari teori yang dikemukakan Piaget, umur 6-12 tahun, anak berada pada tahap akhir pra operasional sampai awal operasional formal. Pada tahap tersebut anak masih berlandaskan pada pengalaman konkret. Oleh karena itu, pembelajaran IPA di sekolah dasar hendaknya dihubungkan dengan pengetahuan anak tentang sesuatu yang nyata.Misalnya pengenalan konsep cahaya yang dilakukan dengan media lilin yang menyala. Kemudian, siswa dibimbing untuk mengkonstruksi materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata anak agar tendorong untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka. 2. Teori Belajar Kontruktivisme

Teori belajar ini dipopulerkan oleh psikolog berkebangsaan Amerika bernama Jerome Seymour Bruner.Bruner telah memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan teori belajar kognitif dalam psikologi pendidikan.Bruner (dalam Widodo, dkk. Hlm 35) berpendapat bahwa orang mengkontruksikan pengetahuannya dengan menghubungkan informasi masuk dengan informasi yang diperoleh sebelumnnya. Teori belajar ini, memberikan tugas kepada guru guna mendorong dan membantu siswa untuk mengungkapkan konsep-konsep yang mereka pahami. Sujana ( 2013, hlm. 47), memaparkan ada empat prinsip utama teori kontruktivisme, yaitu meliputi:

1) kecenderungan terhadap belajar, 2) bagaimana mengelompokan pengetahuan dapat dibangun agar dapat dipahami oleh peserta didik dengan baik, 3) perilaku yang efektif bagi guru untuk menyajikan bahan untuk belajar, 4) hadiah serta hukuman.

Teori ini sejalan dengan pendekatan kontekstual, dimana pada asas pendekatan kontekstual ada kontruktivisme. Asas kontruktivisme adalah pemberian konteksyang dekat dengan kehidupan siswa seperti pengenalan jenis cermin dengan penggunaan media cermin datar. Kemudian, siswa dibimbing untuk mengkonstruksi pengetahuannya dengan materi yang akan disampaikan.


(15)

Ketika siswa dapat menemukan/merasakan sendiri konsep yang mereka cari, secara otomatis pembelajaran akan lebih bermakna dan bertahan lebih lama dalam ingatan mereka.

3. Prinsip Belajar Glaser

Prinsip belajar Glaser (dalam Abidin, hlm 227) menyebutkan bahwa: Kita belajar 10% dari yang kita baca, kita belajar 20% dari yang kita dengar, kita belajar 30% dari yang kita lihat, kita belajar 50% dari yang kita dengar dan lihat, kita belajar 70% dari yang kita diskusikan dengan orang lain, kita belajar 80% dari yang kita alami sendiri, kita belajar 95% dari yang kita ajarkan kepada orang lain.

Hakikat IPA sebagai proses ilmiah dimaksudkan agar siswa mau mengerjakan sesuatu. Melalui proses yang dilakukan, siswa memperoleh pengetahuan dan pengalaman secara langsung, misalnya pada percobaan. Percobaan yang dilakukan siswa dimaksudkan untuk memberikan pengalaman pribadi. Sehingga setiap siswa yang terlibat dalam proses pembelajaran ini akan mendapatkan manfaatnya.Pada dasarnya siswa memiliki rasa ingin tahu yang tinggi untuk menemukan sesuatu. Melalui percobaan siswa dirangsang untuk mempraktikan sendiri, sehingga pembelajaran terasa lebih bermakna dan konsep yang diperoleh akan lebih lama diingat oleh siswa.

F. Pendekatan Kontekstual

1. Definisi Pendekatan Kontekstual

Menurut Sanjaya (2006, hlm. 253), Contextual Teaching and Learning adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untukmenemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata. Sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Sejalan dengan definisi diatas, Sagala (dalam Hannah, hlm. 19) berpendapat bahwa pembelajaran kontekstual yaitu

Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Jadi dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual adalah pendekatan yang melibatkan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat menemukan konsep yang dipelajarinya dan


(16)

mengaitkannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki siswa dalam kehidupan sehari-hari.

2. Landasan Filosofis Kontekstual

Menurut Sanjaya (2006), pembelajaran kontekstual banyak dipengaruhi oleh filsafat kontruktivisme yang awalnya diprakasai oleh Mark Baldwin dan kemudian dikembangnkan oleh Jean Piaget.Aliran kontruktivisme berangkat dari pemikiran epistemology Giambatista Vico. Menurut Vico, pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang mengamati. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari subjek yang mengamati. Pandangan filsafat kontuktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi proses tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekedar menghapal, tetapi proses mengkontruksikan pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukan pemberian dari orang lain melainkan hasil dari proses mengkontruksi yang dilakukan individu.

Piaget (Sanjaya, 2006, hlm. 255) memaparkan bahwa, sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang dinamai “skema”.Skema terbentuk dari pengalaman. Pandangan piaget tentang terbentuknya struktur kognitif anak banyak berpengaruh terhadap model pembelajaran, salahsatunya model pembelajaran kontekstual. Menurut pembelajaran kontekstual, pengetahuan akan lebih bermakana jika ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa.

Pandangan Piaget tentang terbentuknya pengetahuan dalam struktur kognitif anak sangat memengaruhi pendekatan kontektual. Menurut pembelajaran konstektual, pengetahuan akan lebih bermakna ketika ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara tersebut akan lebih bertahan lama dan fungsional.

3. Landasan Psikologis Pendekatan Kontekstual

Menurut Sanjaya (2006), pendekatan kontekstual berpijak pada aliran psikologis kognitif. Hal ini berdasarkan filsafat yang mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek. Proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar melibatkan mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi dan kemampuan atau pengalaman.peristiwa mental perilaku manusia tidak semata-mata merupakan gerak fisik saja, melainkan ada faktor pendorong yang ada di belakang gerak fisik itu.


(17)

4. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional

Sanjaya (2006) adapun perbedaan pokok antara pembelajaran kontekstual dan pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut.

Tabel 2.3

Perbedaan Pembelajaran CTL dan Pembelajaran Konvensional Komponen

Perbedaan

Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran Konvensional Penempatan

Siswa

Siswa menjadi subjek belajar Siswa sebagai objek belajar

Cara belajar Siswa belajar melalui kegiatan kelompok, berdiskusi, saling menerima dan memberi

Siswa lebih benyak belajar secara individu dengan menerima, mencatat dan menghafal materi

Konteks Pembelajaran

Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil

Pembelajaran bersifat teoritis dan abstrak

Kemampuan Belajar

Didasarkan pada pengalaman Kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan Tujuan akhir Kepuasan diri Nilai atau angka Tindakan atau

prilaku

Tindakan atau prilaku dibangun atas kesadaran sendiri

Tindakan atau prilaku didasarkan oleh faktor dari luar dirinya

Pengetahuan Pengetahuan yang dimiliki individu selalu sesuai pengalaman yang dimilikinya

Kebenaran yang dimiliki bersifat absolut dan final, dikarenakan pengetahuan dikontruksikan oleh orang lain.

Peran Siswa Siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka

Guru adalah penentu

jalannya proses

pembelajaran Setting Tempat Pembelajaran bisa terjadi

dimana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan

Pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas

Evaluasi Keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara, misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, dll

Keberhasilan pembelajaran biasanya diukur dari tes


(18)

5. Peran Guru dan Siswa dalam Pendekatan Kontekstual

Guru seyogyanya memberikan pembelajaran yang menyenangkan sehingga anak lebih tertarik untuk belajar. Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung.Dengan begitu, siswa dapat menemukan dan menggali sendiri materi pelajarannya.Pada pembelajaran konvensional peran siswa hanya menjadi objek, sehingga siswa hanya menerima informasi secara pasif. (Sanjaya, 2006) Sehubungan dengan hal tersebut ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan pendekatan kontekstual, diantaranya :

a. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang dipengaruhi tingkat perkembangan dan keleluasaan pengalaman yang dimilikinya.

b. Setiap anak memiliki kecenderungan akan sebuah tantangan, mereka senang mencoba akan sesuatu yang baru. Dalam memilih bahan ajar, guru berperan memilih bahan-bahan ajar yang dianggap penting untuk belajar siswa.

c. Guru membantu siswa agar setiap siswa mampu menemukan keterkaitan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya.

d. Tugas guru adalah memfasilitasi anak agar mampu melakukan proses asimilasi dan proses akomodasi.

Dengan demikian pembelajaran kontekstual tidak hanya difokuskan kepada kompetensi yang berkaitan dengan potensi kognitif saja, melainkan ada komponen lainnya yang harus diperhatikan. Dalam hal ini guru hanyalah fasilitator siswa dalam memperoleh pengetahuan yang baru.

6. Asas-asas Pendekatan Kontekstual

Sebagai suatu pendekatan, kontekstual mempunyai asas-asas yang melandasi dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Menurut Sanjaya (2006), ada tujuh asas yang melandasinya, diantaranya:

a. Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan berasal dari luar dan di konstruksikan dari dalam diri


(19)

seseorang, oleh sebab itu pengetahuan terbentuk dari dua faktor penting, yaitu objek yang diamati dan kamampuan untuk menginterpretasi objek tersebut.

b. Inquiri

Inquiri adalah pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, melainkan proses menemukan sendiri.

c. Bertanya (Questioning)

Bertanya dipandang sebagai rasa keingintahuan setiap individu dan membangkitkan motivasi belajar siswa. Dalam setiap proses pebelajaran bertanya selalu digunakan. Oleh karena itu, kemampuan guru untuk mengembangkan teknik-teknik bertanya sangat diperlukan.

d. Masyarakat belajar (Learning Community)

Melalui penerapan pembelajaran secara kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, membantu siswa untuk saling membelajarkan, bertukar informasi dan bertukar pengalaman.Kerjasama saling memberi dan menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu permasalahan. e. Pemodelan (Modeling)

Memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa dan mengindari siswa dari pembelajaran yang teoritis-abstrak. Proses ini tidak terbatas pada guru saja, melainkan guru memanfaatkan siswa yang memiliki kemampuan.

f. Refleksi (Reflection)

Pengendapan pengalaman yang telah dipelajari dengan mengurutkan kembali kejadian-kejadian pembelajaran yang telah dilalui siswa. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu dimasukan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuannya. g. Penilaian nyata (Authentic Assessment)

Pengumpulan informasi tentang perkembangan belajar yang dilalui siswa.Penilaian ini diperlukan untuk mengetahuai apakah siswa benar-benar belajar atau tidak dan dilakukan secara terus-menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung.


(20)

7. Tahapan dan Langkah-langkah Pendekatan Kontekstual

Tahapan dan langkah-langkah pendekatan kontekstual digunakan sebagai rambu-rambu penyusunan dan perencangan pembelajaran dikelas. Guru bukan hanya sumber pengetahuan yang tahu segala hal, melainkan menjembatani siswa agar siswa mau dan mampu memperoleh sendiri pengetahuannya. Misalnya, konsep pembuatan periskop sederhana didapat siswa dari hasil membaca buku. Akan tetapi, kesan pengetahuan yang diperoleh akan berbeda ketika siswa memperaktikan sendiri dengan membaca buku.

Sutardi dan Sudirjo (2007, hlm. 94) mengemukakan bahwa “Tahap-tahap pembelajaran CTL meliputi empat tahapan, yaitu: invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi, dan pengambilan tindakan”. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. Tahap invitasi

Pada tahap ini skema tersebut dikembangkan dengan mendorong siswa untuk mengemukakan pengetahuan awal tentang konsep dari materi yang dibahas.Apabila siswa kesulitan mengemukakan pengetahuan awalnya guru dapat memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan.

b. Tahap eksplorasi

Pada tahap ini siswa secara berkelompok melakukan kegiatan dan berdiskusi mengenai masalah yang dibahas.Siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian data dalam sebuah kegiatan yang telah dirancang oleh guru.Melalui tahap ini siswa dilatih berpikir secara sistematis, memiliki sikap ilmiah, dan logis.

c. Tahap penjelasan dan solusi

Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan atau memaparkan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya dengan penguatan dari guru, maka siswa dapat menyampaikan gagasan, membuat dan membuat rangkuman, serta membuat ringkasan.

d. Tahap pengambilan tindakan

Pada tahap ini siswa dapat membuat keputusan, menggunakan pengetahuan dan keterampilan, berbagai informasi dan gagasan, mengajukan pertanyaan lanjutan, mengajukan saran baik secara individu


(21)

maupun kelompok yang berhubungan dengan pemecahan masalah. Dalam tahap ini terjadi proses diskusi.

Adapun langkah-langkah penerapan CTL di dalam kelas menurut Depdiknas dan Trianto (dalam Maulana, 2009b) adalah sebagai berikut.

1) Guru mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

2) Melaksanakan kegiatan inkuiri untuk semua topik. Guru membagikan LKS pada siswa.

3) Mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya. Perwakilan dari tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Guru mengarahkan siswa untuk aktif bertanya, mengungkapkan pendapat, menjawab pertanyaan, atau memberikan respon terhadap jawaban siswa. 4) Guru menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam

kelompok-kelompok). Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil yang terdiri dari 3-4 orang. Guru menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa yaitu secara berkelompok siswa melakuksan kegiatan menentukan benda-benda simetris yang tertera pada LKS.

5) Guru menghadirkan sebagai contoh pembelajaran.

6) Guru dan siswa melakukan refleksi di akhir pertemuan. Siswa melakukan kegiatan refleksi dengan menuliskan kesan-kesannya tentang pembelajaran pada saat itu.

7) Guru melakukan penilaian sebenarnya dengan berbagai cara. Penilaiannya berupa proses dan post tes.

8. Keunggulan dan Kelemahan Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontektual dijadikan sebagai bahan untuk penelitian ini, karena memiliki kelebihan. Adapun kelebihannya di antaranya pembelajaran berpusat pada siswa sehingga merangsang siswa dapat menemukan konsep yang dipelajarinya dan mengaitkannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki siswa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutardi dan Sudirjo (2007, hlm. 99) mengungkapkankeunggulan dari pembelajaran kontekstual diantarannya:


(22)

“mengutamakan dunia nyata; berpikir tingkat tinggi; pembelajaran berpusat pada siswa; siswa aktif, kritis, dan kreatif; pengetahuan bermakna pada kehidupan; pekat dengan kehidupan nyata; adanya perubahan perilaku; pengetahuan diberi makna; kegiatannya bukan mengajar tetapi belajar; kegiatannya lebih kepada pendidikan bukan pengajaran sebagai pembentukan manusia; memecahkan masalah; siswa aktif guru hanya mengarahkan; hasil belajar diukur dengan berbagai alat ukur tidak hanya tes saja”

Adapun kelemahannya Sutardi dan Sudirjo (2007, hlm. 100)menjelaskan dari sisi guru dan siswa sebagai berikut:

a. bagi guru harus memiliki kemampuan untuk memahami tentang: 1) konsep pembelajaran kontekstual,

2) potensi perbedaan individual siswa di kelas,

3) beberapa pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas siswa, dan 4) sarana, media, alat bantu, kelengkapan pembelajaran yang menunjang

aktivitas siswa dalam pembelajaran. b. bagi siswa, diperlukan:

1) inisiatif dan kreativitas dalam belajar,

2) memiliki wawasan pengetahuan yang memadai di setiap mata pelajaran, 3) adanya perubahan sikap dalam menghadapi persoalan, dan

4) memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam menyelesaikan tugas-tugas. Untuk mendapatkan hasil maksimal dalam penggunaan pendekatan kontekstual, guru harus mampu merencanakan dan mempersiapkan pembelajaran dengan matang.

9. Pembelajaran Sifat-sifat Cahaya dengan Pendekatan Kontekstual Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kemampuan keterampilan proses sains siswa, sehingga konsep sifat-sifat cahaya akan dikaitkan denganberbagai konsep IPA dan kehidupan siswa. Dalam penelitian ini, pembelajaran sifat-sifat cahaya akan disampaikandengan pendekatan kontekstual. Dengan diterapkannya pendekatan kontekstualdiharapkan akan membuat pembelajaran sifat-sifat cahaya lebih bermakna karenaselama pembelajaran berlangsung siswa dilibatkan secara aktif dalam penemuankonsep, dan penggunaan konteks-konteks kehidupan nyata akan memberikanmakna yang kuat.

Di awal pembelajaran, guru akan mengaitkan sifat-sifat cahaya dengan pemodelan. Kemudian, siswa dibimbing untuk mengkonstruksi pengetahuannya dengan materi yang akan disampaikan. Kemudian siswa secaraberkelompok menyelesaikan LKS percobaan yang berisi permasalahan keterampilan proses sains. Setelah LKS selesai dikerjakan, perwakilan kelompok ke depan untuk


(23)

menyampaikanhasil kerja kelompoknya. Dalam tahap ini, guru membentuk diskusi kelassehingga akan terjadi kegiatan tanya-jawab.

Pada kegiatan akhir, guru bersama siswa melakukan refleksi dan menyimpulkan pembelajaran. Melalui proses refleksi, siswa diingatkan kembali mengenai hal-hal yang telah mereka pelajari sehingga dapat memaknai konsep sifat-sifat cahaya lebih baik.

G. Pembelajaran Konvensional

Kata konvensional berasal dari kata konvensi.Dalam KBBI (1992) Istilah konvensi merupakan permufakatan atau kesepakatan.Artinya setiap konsep yang akan dikerjakan harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati.

Dalam pembelajaran, menurut Fil’ardhi (2013, hlm. 11) pendekatan konvensional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Burrowes (Sukra,2009) menjelaskan bahwa pembelajaran konvensional menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata. Dapat disimpulkan Pembelajarankonvensional adalah penggunakan model yang menekankan pada metode ceramah yang biasa dilakukan pada sebuah kelas.

H. Hasil Belajar

Menurut Wittig (dalam syah, 2010) belajar merupakan perubahan yang relatif menetap dan terjadi pada tingkah laku organisme sebagai hasil pengalaman. Sedangkan hasil dalam KBBI (1992) merupakan hasil pendapatan/perolehan. Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap dan didapat dari pengalaman.

I. Penelitian yang Relevan

Berikut ini merupakan penelitian-penelitian yang memiliki relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan. Sugianto, dkk.(2010) tentang “Peningkatan Keterampilan Proses dengan Metode Eksperimen pada


(24)

Pembelajaran IPA Kelas V”.Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas dan dilakukan selama 4 siklus. Berdasarkan perhitungan dengan persentase dan rata-rata kelas dari setiap siklus secara berturut-turut adalah 54,69% (2,19), 70,31% (2,81), 78,18% (3,13), 84,38% (3,38). Ini berarti terdapat peningkatan keterampilan proses peserta didik dengan menggunakan metode eksperimen pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam kelas VA SDN 25 Pontianak Utara.

Hasil penelitian I Ketut Wardana, dkk. (2013) tentang “Pengaruh Model Kontekstual terhadap Keterampilan Proses Sains dan Hasil Belajar Sains pada Siswa Kelas IV SD Gugus V Dr. Soetomo” menunjukan Pertama, keterampilan proses siswa yang mengikuti pembelajaran pendekatan kontekstuallebih baik dibandingkan dengan yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional. Kedua, hasil belajar sains yang mengikuti pembelajaran pendekatan kontekstuallebih baik dibandingkan dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional.Ketiga, terdapat pengaruh implementasi pendekatan kontekstualterhadap keterampilan proses dan hasil belajar siswa secara simultan.

Penelitian yang dilakukan Nurul Iman Nurahman (2014) tentang Pengaruh Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa Sekolah Dasar menunjukan, 1) pembelajaran konvensional dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa pada materi daur air, 2) pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa pada materi daur air, 3) peningkatan keterampilan proses sains siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konveksional, 4) pembelajaran konvensional dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi daur air, 5) pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, 7) terdapat korelasi positif antara keterampilan proses sains dan hasil belajar siswa.


(25)

J. Hipotesis Penelitian

Rumusan hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran konvesional meningkatkan kemampuan keterampilan proses sains siswasecara signifikan pada mata pelajaran IPA materi sifat-sifat cahaya.

2. Peningkatkan kemampuan keterampilan proses sains siswa yang mengikuti pendekatan kontekstual secara signifikan pada mata pelajaran IPA materi sifat-sifat cahaya.

3. Peningkatan keterampilan proses sains siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.


(26)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Cahaya merambat lurus ... 19

Gambar 2.2 Cahaya dapat dipantulkan ... 20

Gambar 2.3 Cahaya dapat dibiaskan ... 21

Gambar 2.4 Jalannya sinar dari medium rapat ke kurang rapat ... 22

Gambar 2.5 Jalannya sinar dari medium kurang rapat ke rapat ... 22


(1)

maupun kelompok yang berhubungan dengan pemecahan masalah. Dalam tahap ini terjadi proses diskusi.

Adapun langkah-langkah penerapan CTL di dalam kelas menurut Depdiknas dan Trianto (dalam Maulana, 2009b) adalah sebagai berikut.

1) Guru mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

2) Melaksanakan kegiatan inkuiri untuk semua topik. Guru membagikan LKS pada siswa.

3) Mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya. Perwakilan dari tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Guru mengarahkan siswa untuk aktif bertanya, mengungkapkan pendapat, menjawab pertanyaan, atau memberikan respon terhadap jawaban siswa. 4) Guru menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam

kelompok-kelompok). Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil yang terdiri dari 3-4 orang. Guru menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa yaitu secara berkelompok siswa melakuksan kegiatan menentukan benda-benda simetris yang tertera pada LKS.

5) Guru menghadirkan sebagai contoh pembelajaran.

6) Guru dan siswa melakukan refleksi di akhir pertemuan. Siswa melakukan kegiatan refleksi dengan menuliskan kesan-kesannya tentang pembelajaran pada saat itu.

7) Guru melakukan penilaian sebenarnya dengan berbagai cara. Penilaiannya berupa proses dan post tes.

8. Keunggulan dan Kelemahan Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontektual dijadikan sebagai bahan untuk penelitian ini, karena memiliki kelebihan. Adapun kelebihannya di antaranya pembelajaran berpusat pada siswa sehingga merangsang siswa dapat menemukan konsep yang dipelajarinya dan mengaitkannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki siswa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutardi dan Sudirjo (2007, hlm. 99) mengungkapkankeunggulan dari pembelajaran kontekstual diantarannya:


(2)

“mengutamakan dunia nyata; berpikir tingkat tinggi; pembelajaran berpusat pada siswa; siswa aktif, kritis, dan kreatif; pengetahuan bermakna pada kehidupan; pekat dengan kehidupan nyata; adanya perubahan perilaku; pengetahuan diberi makna; kegiatannya bukan mengajar tetapi belajar; kegiatannya lebih kepada pendidikan bukan pengajaran sebagai pembentukan manusia; memecahkan masalah; siswa aktif guru hanya mengarahkan; hasil belajar diukur dengan berbagai alat ukur tidak hanya tes saja”

Adapun kelemahannya Sutardi dan Sudirjo (2007, hlm. 100)menjelaskan dari sisi guru dan siswa sebagai berikut:

a. bagi guru harus memiliki kemampuan untuk memahami tentang: 1) konsep pembelajaran kontekstual,

2) potensi perbedaan individual siswa di kelas,

3) beberapa pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas siswa, dan 4) sarana, media, alat bantu, kelengkapan pembelajaran yang menunjang

aktivitas siswa dalam pembelajaran. b. bagi siswa, diperlukan:

1) inisiatif dan kreativitas dalam belajar,

2) memiliki wawasan pengetahuan yang memadai di setiap mata pelajaran, 3) adanya perubahan sikap dalam menghadapi persoalan, dan

4) memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam menyelesaikan tugas-tugas. Untuk mendapatkan hasil maksimal dalam penggunaan pendekatan kontekstual, guru harus mampu merencanakan dan mempersiapkan pembelajaran dengan matang.

9. Pembelajaran Sifat-sifat Cahaya dengan Pendekatan Kontekstual

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kemampuan keterampilan proses sains siswa, sehingga konsep sifat-sifat cahaya akan dikaitkan denganberbagai konsep IPA dan kehidupan siswa. Dalam penelitian ini, pembelajaran sifat-sifat cahaya akan disampaikandengan pendekatan kontekstual. Dengan diterapkannya pendekatan kontekstualdiharapkan akan membuat pembelajaran sifat-sifat cahaya lebih bermakna karenaselama pembelajaran berlangsung siswa dilibatkan secara aktif dalam penemuankonsep, dan penggunaan konteks-konteks kehidupan nyata akan memberikanmakna yang kuat.

Di awal pembelajaran, guru akan mengaitkan sifat-sifat cahaya dengan pemodelan. Kemudian, siswa dibimbing untuk mengkonstruksi pengetahuannya dengan materi yang akan disampaikan. Kemudian siswa secaraberkelompok menyelesaikan LKS percobaan yang berisi permasalahan keterampilan proses sains. Setelah LKS selesai dikerjakan, perwakilan kelompok ke depan untuk


(3)

menyampaikanhasil kerja kelompoknya. Dalam tahap ini, guru membentuk diskusi kelassehingga akan terjadi kegiatan tanya-jawab.

Pada kegiatan akhir, guru bersama siswa melakukan refleksi dan menyimpulkan pembelajaran. Melalui proses refleksi, siswa diingatkan kembali mengenai hal-hal yang telah mereka pelajari sehingga dapat memaknai konsep sifat-sifat cahaya lebih baik.

G. Pembelajaran Konvensional

Kata konvensional berasal dari kata konvensi.Dalam KBBI (1992) Istilah konvensi merupakan permufakatan atau kesepakatan.Artinya setiap konsep yang akan dikerjakan harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati.

Dalam pembelajaran, menurut Fil’ardhi (2013, hlm. 11) pendekatan konvensional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Burrowes (Sukra,2009) menjelaskan bahwa pembelajaran konvensional menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata. Dapat disimpulkan Pembelajarankonvensional adalah penggunakan model yang menekankan pada metode ceramah yang biasa dilakukan pada sebuah kelas.

H. Hasil Belajar

Menurut Wittig (dalam syah, 2010) belajar merupakan perubahan yang relatif menetap dan terjadi pada tingkah laku organisme sebagai hasil pengalaman. Sedangkan hasil dalam KBBI (1992) merupakan hasil pendapatan/perolehan. Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap dan didapat dari pengalaman.

I. Penelitian yang Relevan

Berikut ini merupakan penelitian-penelitian yang memiliki relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan. Sugianto, dkk.(2010) tentang “Peningkatan Keterampilan Proses dengan Metode Eksperimen pada


(4)

Pembelajaran IPA Kelas V”.Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas dan dilakukan selama 4 siklus. Berdasarkan perhitungan dengan persentase dan rata-rata kelas dari setiap siklus secara berturut-turut adalah 54,69% (2,19), 70,31% (2,81), 78,18% (3,13), 84,38% (3,38). Ini berarti terdapat peningkatan keterampilan proses peserta didik dengan menggunakan metode eksperimen pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam kelas VA SDN 25 Pontianak Utara.

Hasil penelitian I Ketut Wardana, dkk. (2013) tentang “Pengaruh Model Kontekstual terhadap Keterampilan Proses Sains dan Hasil Belajar Sains pada Siswa Kelas IV SD Gugus V Dr. Soetomo” menunjukan Pertama, keterampilan proses siswa yang mengikuti pembelajaran pendekatan kontekstuallebih baik dibandingkan dengan yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional.

Kedua, hasil belajar sains yang mengikuti pembelajaran pendekatan

kontekstuallebih baik dibandingkan dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional.Ketiga, terdapat pengaruh implementasi pendekatan kontekstualterhadap keterampilan proses dan hasil belajar siswa secara simultan.

Penelitian yang dilakukan Nurul Iman Nurahman (2014) tentang Pengaruh Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa Sekolah Dasar menunjukan, 1) pembelajaran konvensional dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa pada materi daur air, 2) pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa pada materi daur air, 3) peningkatan keterampilan proses sains siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konveksional, 4) pembelajaran konvensional dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi daur air, 5) pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, 7) terdapat korelasi positif antara keterampilan proses sains dan hasil belajar siswa.


(5)

J. Hipotesis Penelitian

Rumusan hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran konvesional meningkatkan kemampuan keterampilan proses sains siswasecara signifikan pada mata pelajaran IPA materi sifat-sifat cahaya.

2. Peningkatkan kemampuan keterampilan proses sains siswa yang mengikuti pendekatan kontekstual secara signifikan pada mata pelajaran IPA materi sifat-sifat cahaya.

3. Peningkatan keterampilan proses sains siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Cahaya merambat lurus ... 19

Gambar 2.2 Cahaya dapat dipantulkan ... 20

Gambar 2.3 Cahaya dapat dibiaskan ... 21

Gambar 2.4 Jalannya sinar dari medium rapat ke kurang rapat ... 22

Gambar 2.5 Jalannya sinar dari medium kurang rapat ke rapat ... 22