Perilaku seks berisiko penularan HIV pada populasi kunci di Jawa Barat.

Perilaku seks berisiko penularan HIV pada
populasi kunci di Jawa Barat
Shelly Iskandar1,2, Arifah Nur Istiqomah1, Lucky Saputra1, Teddy Hidayat1, Ike M. P. Siregar1
1

Departmen Psikiatri, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran / Rumah Sakit Hasan Sadikin,
Bandung, Indonesia
2
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran /
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia

Latar belakang:
Laju epidemi HIV di Indonesia tercepat di Asia Tenggara. Intervensi pengurangan dampak
buruk seperti terapi metadon pada pengguna narkoba suntik dan pendistribusian kondom
telah dilakukan tetapi penyebaran HIV tetap meningkat. Untuk melakukan intervensi yang
tepat perlu pemahaman tentang perilaku seks berisiko di beberapa populasi kunci yang sudah
berada di program intervensi (terapi ARV dan terapi metadon) dibandingkan dengan mereka
yang belum bergabung dalam program intervensi.
Metode:
Data mengenai perilaku seks berisiko didapat dari 281 responden di Bandung, Jawa Barat
terdiri dari 144 orang dari Klinik HIV, 39 orang dari klinik Metadon, dan 98 orang pengguna

narkoba suntik yang belum mengakses program intervensi (komunitas), menggunakan Blood
Borne Virus Transmission Questionnaire (BBV-TRAQ).
Hasil:
Perilaku seks berisiko dalam satu bulan terakhir masih dilakukan oleh 27% responden dengan
persentase terbanyak pada responden dari komunitas (39%, p< 0,01). Tipe perilaku seks
berisiko yang paling banyak dilakukan adalah hubungan seks vaginal tanpa kondom (22%).
Kesimpulan:
Perilaku seks berisiko di kalangan populasi kunci masih cukup tinggi terutama pada mereka
yang belum mengakses program intervensi. Peningkatan akses dan kualitas layanan
diharapkan dapat menurunkan perilaku seks berisiko sehingga penyebaran HIV dapat
dikendalikan
Kata kunci : perilaku seks, penderita HIV

Korespondensi melalui : Shelly Iskandar (shelly_bdg@yahoo.com)

Perilaku seks berisiko penularan HIV pada
populasi kunci di Jawa Barat
Latar Belakang
Dalam lima tahun terakhir ini, laju epidemi HIV di Indonesia tercepat di Asia
Tenggara (NAC, 2006-2007), dengan dua modus transmisi: (a) hubungan seks tidak aman,

terutama di kalangan populasi kunci, seperti pekerja seks dan pelanggan, waria, dan laki-laki
suka laki-laki (LSL), dan (b) penggunaan jarum dan alat suntik tidak steril pada penguna
narkoba suntik (penasun) (NAC, 2006-2007).
Intervensi telah dilakukan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) untuk
menurunkan penyebaran melalui jarum dan alat suntik dengan terapi metadon, pertukaran
jarum suntik, dan penjangkauan penasun. Setelah penerapan program tersebut, terjadi
penurunan perilaku menyuntik berisiko (Mboi, 2011) dan jumlah estimasi penasun. Tahun
2006, jumlah penasun yang dilaporkan adalah 219.000 sedangkan pada tahun 2009, 106.000
orang (Mboi, 2011). Penurunan juga terjadi akibat perubahan trend penggunaan narkoba dari
golongan opioid ke golongan stimulan yang biasanya penggunaannya tidak disuntikan (Jia et
al., 2010). Penggunaan jenis narkoba stimulan meningkatkan perilaku seks berisiko (Jia et al.,
2010, Iskandar et al., 2012). Tingginya prevalensi HIV di kalangan penasun dan populasi
kunci lainnya disertai dengan perilaku seks berisiko mempertinggi risiko penularan HIV ke
masyarakat umum (Iskandar et al., 2010).
Transmisi melalui hubungan seks memberikan sumbangan yang semakin besar
kepada besaran dan laju epidemik HIV (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Selain itu,
penularan melalui hubungan seks membawa dampak psikologis dan ekonomi yang sangat
besar pada masyarakat umum seperti ibu rumah tangga dan anak. Tidak sedikit jumlah anak
dengan HIV yang yatim piatu yang harus dibesarkan oleh nenek dan kakek mereka yang
secara financial sudah tidak produktif lagi. Semakin banyak juga pasien HIV dengan stadium

lanjut (AIDS) yang harus dirawat di rumah sakit dan menghabiskan biaya yang besar akibat
kurangnya pengetahuan mereka tentang penularan dan pengobatan HIV/AIDS.
Penggunaan kondom merupakan salah satu cara efektif dalam pencegahan HIV lewat
transmisi seks (Pinkerton and Abramson, 1997, Weller and Davis, 2002, Weller, 1993). Hasil
survei menunjukkan penggunaan kondom secara konsisten di kalangan populasi kunci di
Indonesia masih rendah, baik dengan pasangan tetap, pasangan tidak tetap, maupun wanita
pekerja seks (STBP, 2007, Joesoef et al., 2003, Sugihantono et al., 2003)..

Semakin sering populasi kunci ini terpapar dengan sarana layanan intervensi
diharapkan pengetahuan mereka tentang penyebaran dan pengobatan HIV (antiretroviral)
akan lebih baik sehingga pada akhirnya dapat menurunkan penyebaran HIV. Intervensi telah
banyak dilakukan oleh KPA dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) selama beberapa
tahun terakhir dan telah menghabiskan dana yang tidak sedikit meskipun upaya pengendalian
penyebaran HIV belum optimal. Untuk melakukan intervensi yang tepat perlu dilakukan
penelitian yang lebih mendalam tentang perilaku seks di beberapa populasi kunci yang sudah
berada di program intervensi (terapi ARV dan terapi metadon) dibandingkan dengan mereka
yang belum bergabung dalam program intervensi.

Metode
Penelitian ini dilakukan dengan metode potong lintang. Subjek pada penelitian ini

diambil dari pasien Program Terapi Rumatan Metadon Rumah Sakit Hasan Sadikin (PTRM
RSHS), pasien Klinik HIV Teratai Rumah Sakit Hasan Sadikin dan pengguna narkoba suntik
jangkauan Lembaya Swadaya Masyarakat Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) dan Rumah Cemara. Pemilihan subjek dilakukan dengan cara consecutive sampling,
yaitu mengambil sample (responden) yang secara kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat
sesuai dengan konteks penelitian (Notoatmodjo, 2010) dari bulan Januari sampai dengan Juni
2012. Protokol telah disetujui oleh komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Semua pasien HIV positif yang datang ke PTRM dan Klinik Teratai dan pengguna
narkoba suntik yang datang ke tempat penjangkauan diminta kesediaannya untuk mengisi
kuesioner, setelah sebelumnya menandatangani form kesediaan. Pasien yang selesai mengisi
kuesioner diberi karcis gratis untuk terapi berikutnya. Responden di tempat penjangkauan
diberi pengganti ongkos transport sebesar Rp 20.000.
Kuesioner yang digunakan adalah Blood Borne Virus Transmission Questionnaire
(BBV-TRAQ). BBV-TRAQ menilai seberapa sering pengguna narkoba suntik berpartisipasi
dalam perilaku menyuntik, seks, dan perilaku berisiko lainnya yang dapat menyebabkan
mereka tertular penyakit yang ditularkan lewat darah. Instrumen ini terdiri dari 34
pertanyaan. Pertanyaan mengenai perilaku seks berisiko terdiri dari 8 buah pertanyaan (Fry
and Lintzeris, 2003, Tucker et al., 2004).
Data dianalisis secara analitik. Data deskriptif dipresentasikan dalam bentuk
frekuensi, persentase, rata-rata, dan standar deviasi. Perbandiangan data antara tiga kelompok

yaitu pasien metadon, pasien klinik HIV, dan pengguna narkoba suntik di komunitas
menggunakan Pearson Chi–Square untuk data dikotomus dan independent t-test untuk data

kontinus. Semua tes dilakukan two-sided, dengan p-value 0.05 atau kurang yang dianggap
signifikan secara statistik. Analisis dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi
11.5.

Hasil
Seluruh responden berjumlah 281 orang terdiri dari 144 orang pasien dari Klinik HIV,
39 orang pasien klinik Metadon, dan 98 orang pengguna narkoba suntik yang belum
mengakses program intervensi. Seluruh pasien di klinik HIV dan di klinik metadon menderita
HIV, sedangkan di komunitas 83% HIV positif, sisanya negatif (14%) dan belum dites (3%).
Karakteristik sosiodemografik dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik Sosiodemografik responden

Usia (mean, SD)
Jenis kelamin laki-laki
(N (%))
Status pernikahan

(N (%))
Lajang
Menikah
Pacaran
Cerai
Janda/duda cerai
mati
Pendidikan (N (%))
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan tinggi
Pekerjaan (N (%))
Penuh waktu
Paruh waktu
Serabutan
Pemilik
Pengangguran
Pelajar


Total
(N = 281)

Klinik HIV
(N = 144)

31(6)
220 (78)

32 (5)
93 (65)

Klinik
Metadon
(N = 39)
32 (3)
37 (95)

Komunitas

(N =98)

p

28 (7)
90 (92)

< 0,01
< 0,01
0,01

65 (23)
125 (44)
38 (14)
29 (10)
24 (9)

29 (20)
72 (50)
12 (8)

13 (9)
18 (13)

7 (18)
19 (49)
5 (13)
5 (13)
3 (7)

29 (30)
34 (35)
21 (21)
11 (11)
3(3)
0,03

3 (1)
5 (2)
42 (15)
165 (58)

66 (24)

0 (0)
4 (3)
21 (15)
81 (56)
38 (26)

0 (0)
0 (0)
1 (3)
27 (69)
11 (28)

3 (3)
5 (2)
20 (20)
57 (58)
17 (17)


93 (33)
11 (4)
8 (3)
81 (28)
75 (27)
13 (5)

49 (34)
3 (2)
4 (3)
46 (32)
37 (26)
5 (3)

9 (23)
3 (8)
1 (3)
16 (41)
10 (25)
0 (0)

35 (36)
5 (5)
3 (3)
19 (19)
28 (29)
8 (8)

0,13

Perilaku seks berisiko dalam satu bulan terakhir masih dilakukan oleh 27% responden
dengan persentase terbanyak pada responden dari komunitas (39%, p< 0,01) (tabel 2). Dua

puluh dua persen dari total responden melakukan hubungan seks vaginal tanpa menggunakan
kondom.

Tabel 2 Jenis perilaku seksual berisiko dalam satu bulan terakhir
Jenis perilaku seksual

Total
(N = 281)

Hubungan seks vaginal tanpa
kondom
Hubungan seks vaginal tanpa
kondom saat menstruasi
Hubungan seks vaginal tanpa
kondom tanpa pelumas
Hubungan seks anal tanpa
kondom
Hubungan seks oral tanpa
kondom
Hubungan seks manual tanpa
kondom selama menstruasi
Hubungan seks manual setelah
menyuntik
Hubungan seks manual tanpa
kondom tanpa pelumas
Total perilaku seks berisiko

Klinik
Metadon
(N = 39)
8 (21)

Komunitas
(N =98)

p

63 (22)

Klinik
HIV
(N = 144)
18 (13)

37 (38)

< 0.01

5 (2)

1 (1)

2 (5)

2 (2)

0,18

47 (17)

6 (4)

8 (21)

33 (34)

< 0.01

4 (1)

1 (1)

1 (3)

2 (2)

0,56

44 (16)

11 (8)

7 (18)

26 (27)

< 0.01

3 (1)

0 (0)

2 (5)

1 (1)

0,02

10 (4)

2 (1)

2 (5)

6 (6)

0,12

26 (9)

4 (3)

4 (10)

18 (19)