PENDAHULUAN Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Perilaku Seks Bebas Pada Remaja.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini remaja sering dipermasalahkan oleh masyarakat terutama para
orangtua dan pendidik. Salah satu dari sekian banyak masalah remaja adalah
masalah perilaku seks pranikah. Masalah ini menjadi lebih hangat dibicarakan
karena di lapangan banyak ditemukan perilaku hubungan seks di kalangan
individu yang masih berada dalam taraf pendidikan formal dan belum terikat
dalam lembaga perkawinan.
Permasalahannya bukan saja dalam peningkatan
frekuensi tapi juga pada intensitasnya. Jadi tidak dapat diingkari, jika saat ini
dampak negatif dari penyalahgunaan seks cukup mengganggu ketentraman dalam
kehidupan bermasyarakat. Guttmacher (2003) menyebutkan kira-kira 60% remaja
di dunia mengalami kehamilan yang tidak diharapkan dan keterlibatan remaja
dalam perilaku seksual tidak sehat dengan Pekerja Seks Komersial (PSK) beresiko
tinggi turut andil menyebarkan penularan virus HIV/AIDS terhadap 60% remaja
berusia dibawah 20 tahun.
Berbagai penyebab eksternal perilaku seks bebas ditenggarai mengancam
kehidupan remaja misalnya penyebaran konten pornografi yang semakin masif.
Farouk (Anggraini, 2014) menemukan fakta hasil survei bahwa Indonesia
menempati urutan empat besar di dunia dalam mengakses internet berkonten
pornografi. Sebelumnya di tahun 2008 dan tahun 2009, Indonesia dan beberapa
1
2
negara Asia tenggara lainnya menempati urutan ketiga pengakses situs dewasa
terbesar di dunia. Pengakses dengan key word ‘sex’ di dominasi remaja umur 14
hingga 16 tahun serta 30 hingga 45 tahun yang dilakukan hampir merata di
seluruh Indonesia. Perusahaan solusi dan strategi mobile internet, ByteMobile
mengungkapkan selama bulan Juli 2010 lalu trafic video mobile umumnya
didominasi oleh 4 situs porno dengan trafik mencapai 15 persen dari keseluruhan
trafik 10 besar video mobile yang ada.
Berdasarkan riset Norton Online Family sebuah LSM di Amerika Serikat
(Tempo Interaktif, 2012), pada tahun 2010 diketahui 96 persen anak-anak berusia
10-17 tahun di Indonesia pernah membuka konten negatif dan selama 64 jam
setiap bulan waktu dihabiskan untuk online dan ternyata 36 persen orang tua
tidak mengetahui konten apa saja yang diakses oleh anak karena minimnya
pengawasan. Lebih lanjut Tempo (2012) mengutip hasil riset Lembaga swadaya
masyarakat Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia menyebutkan bahwa
penetrasi konten pornografi terhadap anak di Indonesia termasuk terentan kedua
setelah Rusia. Selain itu penyebab eksternal lain adalah remaja mengalami
pencabulan atau pelecehan secara seksual pada masa kecilnya. Kaeser Fred
(2011), menemukan data bahwa di Amerika Serikat pada tahun 2000 setidaknya
88.000 anak dibawah umur 18 terlibat sebagai korban dalam berbagai tindak
pencabulan berupa perilaku pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Tindak
pelecehan ini dengan asumsi 1 dari 4 anak perempuan dan 1 dari 6 anak laki-laki
dan
umumnya
berkepanjangan.
meninggalkan
dampak
traumatis
pada
korban
yang
3
Adapun penyebab internal yang menyebabkan remaja melakukan perilaku
seksual bebas diantaranya: sikap permisif, kurangnya kontrol diri, tidak bisa
mengambil keputusan mengenai kehidupan seksual yang sehat atau tidak bisa
bersikap asertif terhadap ajakan teman atau pacar (Kartika dan Farida, 2008).
Hasil survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN,
2014) di wilayah Jakarta dan sekitarnya menemukan bahwa 51 persen remaja atau
siswi SMA pernah melakukan hubungan seks pranikah, sementara di Surabaya,
remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, di
Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen. Temuan Komisi
Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa dari hasil
riset yang dilakukan di 12 kota besar di Indonesia terhadap 2800 pelajar putra dan
putri, 76 persen responden perempuan mengaku pernah pacaran dan mengaku 6,3
persen pernah making love (ML), sementara responden laki-laki 72 persen
mengaku pernah pacaran dan sebanyak 10 persen diataranya pernah melakukan
ML. Pada Oktober tahun 2010, Komnas Perlindungan Anak mencatat 62,7 persen
remaja SMP dari 4.500 remaja di 12 kota besar menyatakan bahwa dirinya sudah
tidak perawan lagi, sebanyak 97 persen remaja SMP dan SMA pernah menonton
film porno, serta 21,1 persen remaja di Indonesia pernah melakukan aborsi.
Sekalipun terdapat perbedaan hasil dari ketiga survey, penelitian tersebut
menunjukkan bahwa remaja saat ini cenderung toleran terhadap perilaku seks
pranikah.
Suharsa (2006) dalam penelitiannya di Pandeglang menemukan dari 131
responden sebanyak 12 orang (9,2%) menyatakan pernah berhubungan seks, yang
4
dilakukan bersama pasangannya (pacar) sebesar 91,6%. Usia pertama kali
berhubungan seks dilakukan responden pada usia minimum 14 tahun dan usia
maksimum 17 tahun, dengan alasan ingin coba-coba 50%, keduanya saling
mencintai dan ikutan teman masing-masing 16,8% serta alasan senang
melakukannya dan merasa terangsang masing-masing 8,4%.
Gunarsa (2005) mengemukakan salah satu faktor yang mempengaruhi
perilaku seks bebasa adalah kontrol diri. Sistem berpacaran yang tidak lagi
mengenal batas, dimana baik pria dan wanita sudah intim dan seolah-olah sudah
resmi menjadi miliknya, dorongan seks yang tinggi pada masa remaja sulit
dikendalikan apabila remaja tidak memiliki kontrol diri dan yang baik. Sarwono
(2005) menjelaskan remaja yang mampu mengatur dirinya sendiri akan berkurang
perilaku seksualnya daripada remaja yang merasa dirinya mudah dipengaruhi atau
merasa bahwa keadaan dirinya lebih banyak ditentukan oleh faktor- faktor luar.
Remaja yang dapat menahan diri cenderung tidak melanggar larangan-larangan
seperti perilaku berciuman dan perilaku seksual lainnya. Menahan diri berarti
melakukan pengendalian atau pengontrolan terhadap dorongan atau keinginan dari
dalam diri sehingga perilakunya dapat terkendali. Jadi kontrol diri juga merupakan
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku seksual. Di dukung
pernyataan Suyasa (2004) remaja memerlukan kontrol diri karena semakin
bebasnya media menyajikan topik berkaitan dengan masalah kehidupan seks,
semakin meluasnya penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan secara seksual,
semakin diterimanya sikap positif (permisif) terhadap perilaku seksual pranikah,
5
semakin banyaknya kasus-kasus kehamilan di luar nikah, serta semakin
meningkatnya pengembangan alat- alat kontrasepsi.
Barbara dan Aro (2005) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan
kemampuan individu untuk mengendalikan impuls-impulsnya dan merupakan
perasaan individu bahwa mereka dapat mengendalikan peristiwa di sekitarnya.
Lazarus (2006 ) berpendapat bahwa kontrol diri adalah kemampuan untuk
mengontrol tindakan atas impuls atau desakan yang mungkin berbahaya atau
menghasilkan hukuman karena impuls tersebut bertentangan dengan norma atau
standar masyarakat dimana ia tinggal. Kemampuan mengontrol diri diperlukan
remaja untuk mengurangi kemungkinan terjebak atau terlibat pada perbuatanperbuatan yang menyimpang. Lazarus (2006 ) menambahkan kontrol diri berarti
suatu proses yang menjadikan individu sebagai agen utama dalam membimbing,
mengatur dan mengarahkan bentuk -bentuk perilaku yang dapat membawanya ke
arah konsekuensi yang positif. Ini berarti semakin baik kontrol dari seseorang
akan semakin mampu ia mengendalikan dorongan dalam dirinya sehingga
perilakunya menjadi terarah.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut memperlihatkan bahwa kontrol diri
memiliki keterkaitan dengan perilaku seksual pada remaja. Keterkaitan antara
kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja memperlihatkan bahw a
kemampuan mengendalikan diri remaja berperan penting dalam menekan perilaku
seksual. Kontrol diri yang tinggi dapat menekan perilaku seksual remaja. Dengan
adanya kontrol diri yang kuat, remaja dapat menekan stimulus-stimulus negatif
baik dari dalam dir i maupun dari luar diri yang dapat mempengaruhi perilaku
6
seksual remaja. Dengan kata lain, perilaku seksual pada remaja dapat ditekan
apabila terdapat kontrol diri yang kuat. Sebaliknya, kontrol diri yang lemah akan
mengakibatkan tingginya perilaku seksual
Mengacu dari uraian latar belakang tersebut dapat dibuat rumusan
masalah: Apakah ada hubungan antara kontrol diri dengan sikap terhadap perilaku
seksual remaja? Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulis tertarik untuk
menguji secara empirik dengan mengadakan penelitian berjudul: Hubungan antara
kontrol diri dengan perilaku seks bebas pada remaja.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seks bebas pada remaja .
2. Sumbangan efektif kontrol diri terhadap perilaku seks bebas remaja.
3. Tingkat kontrol diri pada remaja.
4. Tingkat perilaku seks bebas remaja.
C. Manfaat Penelitian
1. Menjadi dasar pengetahuan agar orang tua dapat memiliki pola asuh yang
baik bagi anak-anaknya, sehingga dapat mengantisipasi timbulnya perilaku
seks bebas pada remaja.
2. Bagi subjek penelitian diharapkan dapat waspada dan aktif dengan mencari
informasi yang tepat tentang bahaya perilaku seks bebas.
7
3. Bagi instansi tempat agar mau memperdulikan dan membantu untuk
mengatasi masalah perilaku seksual pada anak didiknya.
4. Bagi peneliti lain agar penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi atau
bahan acua n untuk mengungkap aspek lain yang mempengaruhi perilaku
seksual pada remaja.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini remaja sering dipermasalahkan oleh masyarakat terutama para
orangtua dan pendidik. Salah satu dari sekian banyak masalah remaja adalah
masalah perilaku seks pranikah. Masalah ini menjadi lebih hangat dibicarakan
karena di lapangan banyak ditemukan perilaku hubungan seks di kalangan
individu yang masih berada dalam taraf pendidikan formal dan belum terikat
dalam lembaga perkawinan.
Permasalahannya bukan saja dalam peningkatan
frekuensi tapi juga pada intensitasnya. Jadi tidak dapat diingkari, jika saat ini
dampak negatif dari penyalahgunaan seks cukup mengganggu ketentraman dalam
kehidupan bermasyarakat. Guttmacher (2003) menyebutkan kira-kira 60% remaja
di dunia mengalami kehamilan yang tidak diharapkan dan keterlibatan remaja
dalam perilaku seksual tidak sehat dengan Pekerja Seks Komersial (PSK) beresiko
tinggi turut andil menyebarkan penularan virus HIV/AIDS terhadap 60% remaja
berusia dibawah 20 tahun.
Berbagai penyebab eksternal perilaku seks bebas ditenggarai mengancam
kehidupan remaja misalnya penyebaran konten pornografi yang semakin masif.
Farouk (Anggraini, 2014) menemukan fakta hasil survei bahwa Indonesia
menempati urutan empat besar di dunia dalam mengakses internet berkonten
pornografi. Sebelumnya di tahun 2008 dan tahun 2009, Indonesia dan beberapa
1
2
negara Asia tenggara lainnya menempati urutan ketiga pengakses situs dewasa
terbesar di dunia. Pengakses dengan key word ‘sex’ di dominasi remaja umur 14
hingga 16 tahun serta 30 hingga 45 tahun yang dilakukan hampir merata di
seluruh Indonesia. Perusahaan solusi dan strategi mobile internet, ByteMobile
mengungkapkan selama bulan Juli 2010 lalu trafic video mobile umumnya
didominasi oleh 4 situs porno dengan trafik mencapai 15 persen dari keseluruhan
trafik 10 besar video mobile yang ada.
Berdasarkan riset Norton Online Family sebuah LSM di Amerika Serikat
(Tempo Interaktif, 2012), pada tahun 2010 diketahui 96 persen anak-anak berusia
10-17 tahun di Indonesia pernah membuka konten negatif dan selama 64 jam
setiap bulan waktu dihabiskan untuk online dan ternyata 36 persen orang tua
tidak mengetahui konten apa saja yang diakses oleh anak karena minimnya
pengawasan. Lebih lanjut Tempo (2012) mengutip hasil riset Lembaga swadaya
masyarakat Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia menyebutkan bahwa
penetrasi konten pornografi terhadap anak di Indonesia termasuk terentan kedua
setelah Rusia. Selain itu penyebab eksternal lain adalah remaja mengalami
pencabulan atau pelecehan secara seksual pada masa kecilnya. Kaeser Fred
(2011), menemukan data bahwa di Amerika Serikat pada tahun 2000 setidaknya
88.000 anak dibawah umur 18 terlibat sebagai korban dalam berbagai tindak
pencabulan berupa perilaku pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Tindak
pelecehan ini dengan asumsi 1 dari 4 anak perempuan dan 1 dari 6 anak laki-laki
dan
umumnya
berkepanjangan.
meninggalkan
dampak
traumatis
pada
korban
yang
3
Adapun penyebab internal yang menyebabkan remaja melakukan perilaku
seksual bebas diantaranya: sikap permisif, kurangnya kontrol diri, tidak bisa
mengambil keputusan mengenai kehidupan seksual yang sehat atau tidak bisa
bersikap asertif terhadap ajakan teman atau pacar (Kartika dan Farida, 2008).
Hasil survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN,
2014) di wilayah Jakarta dan sekitarnya menemukan bahwa 51 persen remaja atau
siswi SMA pernah melakukan hubungan seks pranikah, sementara di Surabaya,
remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, di
Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen. Temuan Komisi
Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa dari hasil
riset yang dilakukan di 12 kota besar di Indonesia terhadap 2800 pelajar putra dan
putri, 76 persen responden perempuan mengaku pernah pacaran dan mengaku 6,3
persen pernah making love (ML), sementara responden laki-laki 72 persen
mengaku pernah pacaran dan sebanyak 10 persen diataranya pernah melakukan
ML. Pada Oktober tahun 2010, Komnas Perlindungan Anak mencatat 62,7 persen
remaja SMP dari 4.500 remaja di 12 kota besar menyatakan bahwa dirinya sudah
tidak perawan lagi, sebanyak 97 persen remaja SMP dan SMA pernah menonton
film porno, serta 21,1 persen remaja di Indonesia pernah melakukan aborsi.
Sekalipun terdapat perbedaan hasil dari ketiga survey, penelitian tersebut
menunjukkan bahwa remaja saat ini cenderung toleran terhadap perilaku seks
pranikah.
Suharsa (2006) dalam penelitiannya di Pandeglang menemukan dari 131
responden sebanyak 12 orang (9,2%) menyatakan pernah berhubungan seks, yang
4
dilakukan bersama pasangannya (pacar) sebesar 91,6%. Usia pertama kali
berhubungan seks dilakukan responden pada usia minimum 14 tahun dan usia
maksimum 17 tahun, dengan alasan ingin coba-coba 50%, keduanya saling
mencintai dan ikutan teman masing-masing 16,8% serta alasan senang
melakukannya dan merasa terangsang masing-masing 8,4%.
Gunarsa (2005) mengemukakan salah satu faktor yang mempengaruhi
perilaku seks bebasa adalah kontrol diri. Sistem berpacaran yang tidak lagi
mengenal batas, dimana baik pria dan wanita sudah intim dan seolah-olah sudah
resmi menjadi miliknya, dorongan seks yang tinggi pada masa remaja sulit
dikendalikan apabila remaja tidak memiliki kontrol diri dan yang baik. Sarwono
(2005) menjelaskan remaja yang mampu mengatur dirinya sendiri akan berkurang
perilaku seksualnya daripada remaja yang merasa dirinya mudah dipengaruhi atau
merasa bahwa keadaan dirinya lebih banyak ditentukan oleh faktor- faktor luar.
Remaja yang dapat menahan diri cenderung tidak melanggar larangan-larangan
seperti perilaku berciuman dan perilaku seksual lainnya. Menahan diri berarti
melakukan pengendalian atau pengontrolan terhadap dorongan atau keinginan dari
dalam diri sehingga perilakunya dapat terkendali. Jadi kontrol diri juga merupakan
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku seksual. Di dukung
pernyataan Suyasa (2004) remaja memerlukan kontrol diri karena semakin
bebasnya media menyajikan topik berkaitan dengan masalah kehidupan seks,
semakin meluasnya penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan secara seksual,
semakin diterimanya sikap positif (permisif) terhadap perilaku seksual pranikah,
5
semakin banyaknya kasus-kasus kehamilan di luar nikah, serta semakin
meningkatnya pengembangan alat- alat kontrasepsi.
Barbara dan Aro (2005) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan
kemampuan individu untuk mengendalikan impuls-impulsnya dan merupakan
perasaan individu bahwa mereka dapat mengendalikan peristiwa di sekitarnya.
Lazarus (2006 ) berpendapat bahwa kontrol diri adalah kemampuan untuk
mengontrol tindakan atas impuls atau desakan yang mungkin berbahaya atau
menghasilkan hukuman karena impuls tersebut bertentangan dengan norma atau
standar masyarakat dimana ia tinggal. Kemampuan mengontrol diri diperlukan
remaja untuk mengurangi kemungkinan terjebak atau terlibat pada perbuatanperbuatan yang menyimpang. Lazarus (2006 ) menambahkan kontrol diri berarti
suatu proses yang menjadikan individu sebagai agen utama dalam membimbing,
mengatur dan mengarahkan bentuk -bentuk perilaku yang dapat membawanya ke
arah konsekuensi yang positif. Ini berarti semakin baik kontrol dari seseorang
akan semakin mampu ia mengendalikan dorongan dalam dirinya sehingga
perilakunya menjadi terarah.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut memperlihatkan bahwa kontrol diri
memiliki keterkaitan dengan perilaku seksual pada remaja. Keterkaitan antara
kontrol diri dengan perilaku seksual pada remaja memperlihatkan bahw a
kemampuan mengendalikan diri remaja berperan penting dalam menekan perilaku
seksual. Kontrol diri yang tinggi dapat menekan perilaku seksual remaja. Dengan
adanya kontrol diri yang kuat, remaja dapat menekan stimulus-stimulus negatif
baik dari dalam dir i maupun dari luar diri yang dapat mempengaruhi perilaku
6
seksual remaja. Dengan kata lain, perilaku seksual pada remaja dapat ditekan
apabila terdapat kontrol diri yang kuat. Sebaliknya, kontrol diri yang lemah akan
mengakibatkan tingginya perilaku seksual
Mengacu dari uraian latar belakang tersebut dapat dibuat rumusan
masalah: Apakah ada hubungan antara kontrol diri dengan sikap terhadap perilaku
seksual remaja? Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulis tertarik untuk
menguji secara empirik dengan mengadakan penelitian berjudul: Hubungan antara
kontrol diri dengan perilaku seks bebas pada remaja.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seks bebas pada remaja .
2. Sumbangan efektif kontrol diri terhadap perilaku seks bebas remaja.
3. Tingkat kontrol diri pada remaja.
4. Tingkat perilaku seks bebas remaja.
C. Manfaat Penelitian
1. Menjadi dasar pengetahuan agar orang tua dapat memiliki pola asuh yang
baik bagi anak-anaknya, sehingga dapat mengantisipasi timbulnya perilaku
seks bebas pada remaja.
2. Bagi subjek penelitian diharapkan dapat waspada dan aktif dengan mencari
informasi yang tepat tentang bahaya perilaku seks bebas.
7
3. Bagi instansi tempat agar mau memperdulikan dan membantu untuk
mengatasi masalah perilaku seksual pada anak didiknya.
4. Bagi peneliti lain agar penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi atau
bahan acua n untuk mengungkap aspek lain yang mempengaruhi perilaku
seksual pada remaja.