Amarah, Dendam, Pemberontakan, Dan Harapan dalam Beberapa Puisi Rieke Diah Pitaloka.

Amarah, Dendam, Pemberontakan, Dan Harapan
dalam Beberapa Puisi Rieke Diah Pitaloka

Rasus Budhyono

Membaca kumpulan puisi Renungan Kloset karya Rieke Diah Pitaloka ternyata tidaklah
semudah yang disangka. Ada sebuah kelucuan yang terjadi saat buku ini terbuka di hadapan
mata. Sosok Rieke sudah sangat identik dengan sosok Oneng dalam sinetron televisi Bajaj
Bajuri. Tokoh perempuan yang merupakan istri Bajuri, penarik bajaj, pemilik Salon Oneng, dan
anak perempuan Emak ini adalah tokoh perempuan yang naif bahkan cenderung o’on. Sulit
rasanya membayangkan bahwa seorang Oneng yang o’on ini menulis sebuah antologi puisi yang
harus dibahas secara ilmiah. Perlu usaha untuk memisahkan gambaran tokoh Oneng dari sosok
Rieke dan berfokus pada teks puisinya saja.

Kendati tidak terlalu sulit untuk dibaca, tidak ada kenaifan ala Oneng di dalam puisi-puisi Rieke.
Banyak puisi dalam buku ini yang bermuatan muatan ideologi gender. Rieke tidak hanya
berbicara tentang perempuan sebagai dirinya sendiri, anak, ibu, istri, dan kekasih, namun juga
tentang laki-laki sebagai kekasih, ayah, dan suami. Tidak cukup dengan ini, isu gender juga
dikaitkan dengan bahasa (lisan maupun tulisan), isu-isu politik dan kekuasaan, dan dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang konsep agama. Membicarakan satu atau dua buah puisi saja tidak
akan cukup karena konsep gender yang terwakili tidak akan menjadi utuh. Oleh karena itu, untuk

kepentingan tulisan ini, yang akan dibahas hanyalah beberapa puisi saja: Mempelai Wanita, Ibu,
Note, Libas, dan Pelangi. Semua puisi yang dibahas memiliki persamaan, yakni dituturkan oleh
aku lirik orang pertama perempuan.

Puisi pertama yang akan dibahas adalah Mempelai Wanita (16). Puisi ini dituturkan lewat aku
lirik seorang perempuan. Membelai Wanita adalah potret kehidupan perkawinan sepasang suami
istri. Di sini laki-laki digambarkan sebagai “kenyataan [yang] tak bisa dibantah/ pendapatnya
adalah kebenaran/yang harus diterima.” Sementara perempuan menganggap hal ini sebagai
takdir: bahwa ia harus mengabdi sepenuh jiwa raga dengan ikhlas kepada suami. Akan tetapi
ironisnya, dalam puisi ini digambarkan tidak ada timbal balik dari laki-laki. Si perempuan telah

menjadi istri yang setia dan penuh pengabdian bahkan hingga mati, namun belum genap dua
tahun lewat, suaminya yang sudah mulai tua menikah lagi dengan perempuan lain. Aku lirik
kebetulan hadir dalam pernikahan laki-laki yang kedua kalinya ini, dan berbisik kepada
pengantin perempuan: “cantik, hati-hati/ jangan kau bernasib seperti ibuku” (cetak miring sesuai
aslinya). Ternyata aku lirik ini adalah anak pengantin laki-laki dari istri pertamanya yang sudah
meninggal dan kini telah disia-siakannya.

Dilihat sepintas puisi ini seperti menggugat kekuasaan laki-laki. Laki-laki dalam puisi ini dapat
dengan mudahnya berlagak masih muda dan menikah lagi dengan perempuan lain setelah istri

pertamanya meninggal. Bila istri pertama laki-laki ini tetap setia dan pasrah hingga mati, aku
lirik sebagai anak perempuan mereka lain lagi. Ia ingin mendobrak hal itu. Caranya adalah
dengan berbisik kepada istri baru bapaknya dan memperingatkannya agar tidak bernasib sama
dengan ibunya.

Akan tetapi, meskipun digambarkan ada sebuah bentuk perlawanan, sang anak yang ingin
mendobrak ini ternyata masih berada di bawah kekuasaan patriarki yang diwakili ayahnya. Hal
ini dapat dilihat dari siapa yang dibisiki aku lirik. Yang diberi peringatan adalah istri baru
bapaknya. Tindakan ini seolah-olah mengukuhkan bahwa perempuanlah yang harus selalu
waspada alias ekstra hati-hati, sementara laki-laki tidak perlu diperingati karena toh memang
sudah sewajarnya laki-laki tidak adil kepada perempuan. Aku lirik yang sadar akan ketimpangan
ternyata juga telah bersikap timpang dengan tidak memperingatkan bapaknya.

Dalam puisi Ibu (5-6), tema pendobrakan terhadap patriarki juga tampak. Puisi ini juga berbicara
tentang seorang istri yang menderita dalam perkawinannya. Yang berbicara dalam puisi ini
adalah anak perempuan si ibu yang marah melihat penderitaan ibunya yang telah terhempas “ke
dasar laut” dan membesarkan aku lirik “dalam sisa-sisa kemanusiaan”. Aku lirik memberi
pilihan kepada ibunya untuk terus larut dalam deritanya atau memberitahu aku lirik siapa yang
telah “memperkosa”-nya. Kata perkosaan ini sepertinya mengacu kepada pemerkosaan dalam
pernikahan (marital rape). Aku lirik ingin agar ibunya memilih yang kedua: “Pilihlah yang

terakhir/ aku berjanji/ akan mengejarnya/ akan kutikamkan segenap kepedihanmu/ ijinkan,/
meski ia ayahku sendiri”.

Nada puisi ini sangat emosional dan kemarahan ini ditujukan kepada sosok ayah aku lirik yang
telah “memperkosa” ibunya. Di sini tampak ada suara yang mempertanyakan institusi
perkawinan. Perkawinan yang seharusnya melahirkan keluarga yang harmonis dan penuh kasih
sayang ternyata sering menjadi neraka karena banyak dimanfaatkan hanya sebagai lembaga yang
mengesahkan seks. Padahal seks adalah satu bagian kecil saja dari perkawinan dan praktik seks
dalam perkawinan harus atas dasar posisi yang sejajar antara suami dan istri. Sepertinya yang
terjadi dalam perkawinan ibu aku lirik, seks telah berubah menjadi suatu kekerasan yang
menempatkan ibu aku lirik dalam posisi sebagai objek saja dan akhirnya membuat aku lirik
marah sehingga ingin membunuh ayahnya. Meskipun telah menikah, seks yang dilandasi
kekerasan fisik maupun psikologis dapat dianggap sebagai tindak pemerkosaan.

Dua puisi di atas jelas-jelas melihat laki-laki sebagai pembawa sengsara bagi perempuan.
Ternyata masalahnya berpangkal jauh ke belakang sekali, seperti yang digambarkan dalam puisi
Note (34). Aku lirik dalam puisi ini bahkan mempertanyakan konsep yang terkait dengan agama
bahkan Tuhan: penciptaan Adam dan Hawa. Aku lirik berpesan pada seseorang (kau): “kalau
nanti malam/ kau bertemu tuhan/ Tolong tanyakan padanya/ apakah Adam diciptakan/ untuk
memperkosa Hawa?/ Ini penting!”


Pendobrakan dengan cara dan nada yang lain terdapat dalam puisi Libas (32). Puisi ini berbicara
tentang perempuan sebagai dirinya sendiri. Masalah seksualitas perempuan menjadi tema
ideologis puisi ini. Aku lirik di Libas memetaforakan dirinya sebagai seekor kuda betina. Kuda
sendiri selama ini memang sudah banyak digunakan sebagai simbol kebebasan. Seksualitas pada
diri aku lirik berbeda dengan seksualitas tokoh suami dan ayah pada dua puisi yang dibahas di
atas. Seksualitas lelaki sebelumnya dilandasi oleh falogosentrisme, sehingga meniadakan bahkan
menindas perempuan sebagai liyan. Aku lirik sebagai kuda betina lain lagi. Ia: “Tak pernah lupa
menebar asmara/ pada dinding beku/ pada rumput kerontang/ Maka, bersemilah kuncup-kuncup
lavender/ mengangguk, tersenyum gairah,/ mengusapkan wewangian ke tubuh liarku”. Dari sini
tampak bahwa meskipun aku lirik menjadi subjek, seksualitasnya tidak membuat lingkungan
sekelilingnya “kerontang”, namun sebaliknya malah membuat sekelilingnya bersemi dan

tersenyum. Aku lirik menolak seksualitas yang “hanya berbekal seonggok birahi”. Ia ingin lebih
dari itu.

Dalam puisi ini aku tidak menolak kehadiran lelaki. Ia akan menerima laki-laki yang tidak hanya
memiliki berahi, namun dapat sama-sama menjadi subjek sekaligus objek, sehingga membuat
rumput dan bunga bermekaran. Memang sulit karena: “tak ada jantan yang mudah/
mendekatiku”. Laki-laki semacam inilah rupanya yang mungkin akhirnya dapat menjadi sosok

ayah seperti dalam puisi Pelangi (59). Sosok ayah di sini lain karena ia memiliki empati. Ketika
ditanya: “Apa jadinya, ayah/ bila warna-warni pelangi meleleh?”/ “Seperti hatiku yang
menangis, nak,/ jika engkau terluka!”

Setelah membaca kumpulan ini, kami, yang kebetulan laki-laki, seperti ditonjok oleh kata-kata
bak palu godam, kata-kata yang keluar dari seorang perempuan. Semoga bukan kami saja yang
merasa dihantam dan kemudian merenung kembali tentang posisi-posisi dan relasi-relasi
perempuan-laki-laki. Sayangnya, masih banyak perempuan yang, jangankan berkata-kata seperti
Rieke, menyadari keadaan ini pun tidak. Meskipun demikian, ada satu hal lagi yang ingin kami
sampaikan. Tetaplah yakin dengan apa yang diucapkan oleh Basofi Sudirman: “Tak semua lakilaki…”