DAMPAK SOSIAL BENCANA LUMPUR LAPINDO DAN PENANGANANNYA DI DESA RENOKENONGO ( studi tentang penanganan Ganti Rugi Warga Desa Renokenongo ).

DAMPAK SOSIAL BENCANA LUMPUR LAPINDO DAN PENANGANANNYA DI
DESA RENOKENONGO

( studi tentang penanganan Ganti Rugi War ga Desa Renokenongo )
SKRIPSI

Oleh :
CISILIA ANDRIANI
0641010010

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
J AWA TIMUR
2011

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................. ......................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... .iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang.................................................................................... 1

1.2

Perumusan masalah............................................................................ 12

1.3

Tujuan Penelitian................................................................................ 12

1.4

Manfaat Penelitian............................................................................. 12


BAB II TINJ AUAN PUSTAKA
2.1

Penelitian Terdahulu............................................................................ 14

2.2

Landasan Teori………………………………………………………. 15

2.2.1 Dampak social……………………………………………… …… 15
2.2.2 pengertian kebijakan.........................................................................17
2.2.1 Komponen-komponen Kebijakan.....................................................17
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Kebijakan…. ………18
2.2.3 Pengertian Kebijakan Publik......................................................... 18
2.2.4

Pengertian Implementasi.............................................................. 20

2.2.5 Pengertian Implementasi Kebijakan…………………………….. 20

2.2.5.1 Tujuan Implemntasi Kebijakan..................................................20
2.2.5.2 Tahap Pelaksanaan Kebijakan....................................................21
2.2.5.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan dan Implementasi.......22
2.2.6 Prospek Memperbaiki Implementasi………………………………22
2.2.7 Pengertian Sosialisasi……………………………………………. .24

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.2.8 Fungsi Sosialisasi……………………………………………….. 26
2.2.9 Macam-macam Sosialisasi……………………………………… 26
2.2.10 Ganti Rugi……………………………………………………… 28
2.2.11 Lumpur Lapindo……………………………………………….. 29
2.2.12 Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Lumpur Lapindo….... 30
2.3

Kerangka Berfikir………………………………………………

34


BAB III METODE PENELITIAN
3.1

Jenis Penelitian………………………………..................................... 35

3.2

Fokus Penelitian…………………………………………………….. 36

3.3

Lokasi Penelitian…………….............................................................. 36

3.4

Sumber Data………............................................................................ 37

3.5

Pengumpulan Data............................................................................. 38


3.6

Analisis Data……………………………………………………….. 39

3.7

Keabsahan Data……………………………………………………. 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1

Gambaran Umum objek Penelitian dan Penyajian Data…………… 43
4.1.1 Gambaran Umum Desa Renokenongo………………………. 43
4.1.2 Struktur Organisasi…………………………………………... 45
4.1.3 Gambaran Umum semburan Lumpur Lapindo……………….. 48

4.2 Penyajian Data………………………………………………………...50
4.2.1 penanganan masalah social……………. ……... …………….. 50
4.2.2 Pembayaran Ganti Rugi……………………………….. …….. 62


Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

4.3

Pembahasan………………………………………………….. …….. 66
4.3.1 Penanganan masalah sosial …………………………………… 66
4.3.2 Pembayaran ganti rugi…………..……………………………. 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan…………………………………………………………………. 76
Saran………………………………………………………………………... 79

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.


ABSTRAKSI

CISILIA ANDRIANI, DAMPAK SOSIAL BENCANA LUMPUR LAPINDO
DAN PENANGANANNYA DI DESA RENOKENONGO, Skripsi,2011
Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS) yang dibentuk untuk
menangani masalah Lapindo ternyata tidak cukup tuntas menyelesaikan masalah
social akibat semburan Lumpur Lapindo di daerah Renokenongo kecamatan PorongSidoarjo.
Pada penelitian kali ini, peneliti ingin mengetahui kualitas pelayanan dan
penanganan korban Lumpur Lapindo di desa Renokenongo Kecamatan PorongSidoarjo. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, tipe penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian kualitatif deskriptif. Pemilihan
informan pada penelitian ini dilakukan secara snowball. Focus penelitian ini yaitu
penanganan masalah social dan pembayaran secara bertahap yang menuju pada
terpenuhinya ganti rugi.
Hasil yang diperoleh peneliti dari penelitian ini adalah bahwa penanganan
korban Lumpur Lapindo di desa Renokenongo Kecamatan Porong-Sidoarjo masih
kurang baik dari segi social tidak ada penanganan dari pemerintah melalui BPLS
baik dari segi penggantian mata penchariandan bantuan-bantuan terhadap korban
Lumpur Lapindo, sedangkan masalah ganti rugi hanya 20% di awal dan 80% di cicil
itupun tidak sesuai dengan perjanjian dan sering terjadi keterlambatan pembayaran.
Dari sini saja sudah sangat terlihat bahwa semua pihak terasa saling angkat tangan

melempar tanggung jawab.
Dengan adanya bencana Lumpur Lapindo banyak yang sulit untuk mencari
mata pencharian untuk menghidupi dirinya sendiri. Dari segi pendidikan yang ada
cukup dapat dikatakan lancar karena dalam setiap pendidikan di bantu dengan
adanya BOS yang akan membantu pendidikan bagi korban Lumpur Lapindo.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau beberapa menyebut Lumpur
Lapindo, adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran
PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 26 Mei 2006. Semburan lumpur panas
selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman,
pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta
mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. (www.wikipedia.org)

Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di
bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota
Sidoarjo. Kecamatan

ini

berbatasan

dengan Kecamatan

Gempol

(Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan. Lokasi semburan hanya berjarak
150-500 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP1), yang merupakan sumur
eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai operator blok Brantas. Oleh
karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga
diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur
tersebut. Pihak Lapindo Brantas menyatakan bahwa asal semburan itu dari.
Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran.
Kedua, semburan lumpur "kebetulan" terjadi bersamaan dengan pengeboran

akibat sesuatu yang belum diketahui. Lokasi tersebut merupakan kawasan
pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri
1
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2

utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol
Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-PasuruanBanyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur
Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi,Indonesia. Semburan lumpur
ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi
aktivitas perekonomian di 2 Jawa Timur. Salah satu dampak yang ditimbulkan
adalah lumpur menggenangi dua belas desa di tiga kecamatan ( sumber desa
renokenongo ). Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian
sekitar 6 meter, yang membuat
diungsikan

serta rusaknya


dievakuasinya warga

areal pertanian. Luapan

setempat
lumpur

ini

untuk
juga

menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga
bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah
desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan
total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000
jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan
77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
Menurut berbagai sumber data di lapangan, hingga saat ini jumlah
bangunan yang terendam banjir lumpur panas meliputi 10.426 tempat
tinggal,33 sekolah dan 31 pabrik. Lahan sawah untuk tebu yang terendam
mencapai 482,65 ha. Menurut kepala desa Banjir lumpur panas juga memaksa
ratusan ribu warga kehilangan mata pencharian dan mengalami nasib yang tak
jelas. Aneh tapi nyata kebijakan pemerintah dan DPR terhadap masalah serius
ini justru mengabaikan kepentingan korban.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

3

Luapan lumpur lapindo juga berdampak secara langsung terhadap aktifitas
masyarakat di sekitar semburan lumpur. Debit luapan lumpur yang cenderung
mengalami peningkatan berakibat pada terendamnya beberapa desa atau
kelurahan di sekitar semburan. Beberapa wilayah yang terendam, yaitu Desa
Renokenongo, Desa Jatirejo, Desa Siring Kecamatan Porong, dan Desa
Kedungbendo. Kemudian secara bertahap luapan lumpur terus menerjang ke
wilayah Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (perumtas) 1, Desa Mindi
Kecamatan Porong, Desa Besuki, Desa Kedungcangkring dan Desa Pajarakan
Kecamatan Jabon, serta pada akhirnya diperkirakan akan mengancam seluruh
wilayah Kabupaten Sidoarjo dan daerah di sekitarnya.
Desa Renokenongo yang di kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo
sebelumnya merupakan desa yang cukup tenteram, nyaman, serta masyarakat
yang dinamis dengan tingkat perekonomian rata-rata tergolong mampu. Namun
pada tanggal 29 Mei 2006, 2 hari setelah gempa besar mengguncang Yogyakarta
dan sekitarnya, lumpur panas menyembur dari sumur Banjar Panji-1 milik PT.
Lapindo Brantas di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo,
Jawa Timur. Semburan lumpur mencapai 150.000 meter kubik setiap hari. Luas
seluruh Desa Renokenongo adalah 195,4 Ha, dengan penduduk pada Tahun 2009
berjumlah 6.399 jiwa dan pada Tahun 2010 jumlah penduduk berjumlah 6.437
jiwa, dan terdiri dari 4 Dusun, terpaksa di ungsikan ke Relokasi mandiri yang
bertempat di Perum.Renojoyo kedung klampir yang berjumlah + 500 KK. Karena
terjadinya Lumpur, penduduk kehilangan tempat tinggal dan persawahan seluas
80,4 Ha. Hingga bulan Mei 2007 semburan lumpur ini belum berhasil dihentikan.
Semburan lumpur panas ini tidak dapat dihentikan hingga menyebabkan

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

4

tertutupnya tak kurang dari 10 pabrik dan 80 hektar sawah serta pemukiman
penduduk. Untuk permasalahan ganti rugi tercatat sejak tahun 2007 hingga tahun
2010 di nyatatakan lunas. Akan tetapi pada tahun 2011 terhitung sejak bulan
Januari-sekarang masih belum ada jawaban untuk permasalahan ganti rugi.
Adapun bantuan untuk penanggulangan korban lapindo di Desa Renokenongo
yaitu skema GKLL sebesar 10 juta, skema Bangunan susuk sebesar 5 juta, dan
skema cash and carry sebesar 5 juta, dengan rincian ganti rugi meliputi tempat
pengungsian, tanah sawah, tanah bangunan, kesehatan, dll.
Dari beberapa desa yang ada di Kecamatan Porong khususnya, ada
perbedaan yang signifikan. Perbedaan itu tertuju pada 3 Desa di Kecamatan
Porong yang meliputi Desa Jatirejo, Desa Siring dan Desa Renokenongo.
Perbedaannya adalah Desa Siring dan Desa Jatirejo sejauh ini masih ada beberapa
aktivitas walaupun tidak berjalan secara optimal atau menyeluruh, termasuk untuk
membayar ganti rugi warga yang tinggal di sembilan RT di kelurahan Siring dan
Jatirejo bagian barat ( Jawa Pos, 2011 : 37 ). Sementara itu, di Desa Renokenongo
tidak ada aktivitas sama sekali dikarenakan telah lumpuh total ( tenggelam )
setelah terjadinya paska Lumpur Lapindo. Sehubungan dengan hal itu, Desa
Renokenongo menarik untuk di jadikan obyek penelitian.
Untuk mengatasi fenomena Lapindo Sidoarjo, Kebijakan pemerintah
terhadap korban lumpur lapindo diatur dalam per aturan presiden (perpres) No
14 tahun 2007 tentang badan penanggulangan lumpur pasal 15 ayat 1
menyebutkan bahwa biaya masalah social kemasyarakatan di luar peta wilayah
yang terkena dampak lumpur lapindo dibebankan kepada pemerintah. Sementara
itu, Lapindo hanya menanggung ganti rugi untuk warga yang ada di dalam peta.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

5

Sidoarjo (BPLS). Tapi peraturan presiden tersebut justru memihak PT. Lapindo.
Misalnya, peraturan presiden ini hanya membatasi kewajiban dan tanggung jawab
Lapindo pada peta terdampak sesuai dengan kondisi pad tahun 2007.
( sumber : Koran TEMPO, 22 Oktober 2009 )
Padahal area yang terendam banjir lumpur panas terus meluas
hingga kini. Akibatnya lebih dari 40 ribu jiwa yang lahan dan tempat
tinggalnya terendam lumpur, dianggap sudah diluar tanggung jawab Lapindo
karena area mereka berada diluar area peta dalam peraturan presiden tersebut.
Peraturan presiden juga menetapkan pembayaran ganti rugi melalui
mekanisme jual beli kepada korban dilakukan secara bertahap 20% uang ganti
rugi dibayar di muka dan 80% sisanya dibayarkan kurang lebih setelah dua
tahun. Hingga saat ini, proses pembayaran 80% sisa ganti rugi masih belum
jelas praturan presiden juga mengubah kewajiban Lapindo memberikan ganti
rugi kepada korban menjadi masalah keperdataan jual beli tanah dengan harga
yang ditentukan oleh Lapindo.
Warga korban Lapindo telah mengajukan uji material peraturan presiden
No 14 Tahun 2007 tersebut kepada Mahkamah Agung ( MA ) pada Januari
2008. Mereka menuntut agar peraturan presiden tersebut dibatalkan karena
pembayaran ganti rugi kepada korban menggunakan proses jual beli secara
tidak tunai. Cara ini sangat merugikan korban bahkan menguntungkan
Lapindo. Namun mahkamah agung setali tiga uang dengan TP2LS-DPR RI dan
pemerintah MA sejalan dengan pemerintah untuk menjaga kepentingan
Lapindo. MA menolak pengajuan material peraturan presiden tersebut.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

6

Dari fenomena diatas,terdapat juga fenomena khusus yaitu DPR yang
seharusnya menjadi dewan perwakilan yang membela
kepentingan rakyat justru tidak berpihak pada rakyat, dalam hal ini pihak
korban. Sejak awal tahun 2007, DPR telah mengancam akan melakukan hak
interpelasi kepada pemerintah terkait pola penanganan Lumpur Lapindo. Namun
hingga kini, ancaman hak interpelasi itu hanya gertak sambal alias omong kosong.
Buktinya, TP2LS-DPR RI sepakat bahwa semburan Lumpur panas Lapindo
merupakan bencana alam bukan akibat ulah tangan manusia kini jelas, TP2LS
bentukan

DPR

tersebut

bekerja

untuk

siapa,bukan

untuk

mengawasi

penanggulangan Lumpur Sidoarjo oleh PT. Lapindo yang menyengsarakan rakyat
tapi untuk memuaskan hawa nafsu pemerintah DPR dan Lapindo. Inilah wajah
pemerintahan kita gambaran ini menguatkan keyakinan kita bahwa pemerintah
sedang menjalankan system politik dan ekonomi kotor yang dikendalikan oleh
para kapitalis sang pemilik modal. Keadilan bagi rakyat mampu diperjualbelikan
dengan kapital yang dimiliki sang pemilik modal itulah trik dan intrik politik dan
ekonomi neo kapitalisme. Alhasil tak ada keadilan sejati untuk rakyat.
(sumber : Koran Kompas, 2 Agustus 2009).
Dengan adanya fenomena seperti di atas, Pemerintah juga memberikan
kebijakan bagi para korban Lumpur Lapindo karena Sudah tiga tahun lebih
semburan Lumpur Lapindo muncul di Porong, Sidoarjo. Pemerintah telah
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus pidana
Lapindo dan disusul munculnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007
tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Namun, kedua kebijakan itu

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

7

justru menjauhkan dari model penyelesaian secara adil dalam kasus Lumpur
Lapindo.(sumber : Koran Jawa Pos, 23 November 2009)
Bagaimana tidak, dengan keluarnya kedua kebijakan itu, tanggung jawab
penanganan Lumpur justru lebih banyak dibebankan kepada Pemerintah. Adapun
pihak Lapindo hanya udampak pada 22 Maret 2007.
Kebijakan Pemerintah Dalam Peraturan Presiden No.40/2009 itu, tentang
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang berisikan tentang persoalan ganti
rugi pun secara legal kembali direduksi menjadi jual-beli asset dan pembayaran
secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seperti yang disetujui dan
dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak pada tanggal
4 Desember 2006, 20% di bayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling
lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 tahun habis. Peta area terdampak
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam
lampiran presiden ini. Kerugian warga karena menghirup udara beracun dan
menggunakan air tercemar sejak muncul semburan Lumpur Lapindo tiga tahun
yang lalu tetapi tidak pernah dianggap penting oleh pemerintah. Padahal warga
porong adalah warga Negara Indonesia yang sah, mereka pantas mendapat
perlindungan dari Negara.
Dari kebijakan di atas, Pemerintah juga memberikan kebijakan untuk
korban Lumpur Lapindo itu sendiri adalah memberikan tempat tinggal bagi para
masyarakat yang telah di sediakan oleh PT. Lapindo itu sendiri yang berada di
Relokasi mandiri. Selain itu, pemerintah juga menetapkan Peraturan No. 14
Tahun 2007 tentang masalah social yaitu tentang masalah tentang Pengelolaan
penanganan bantuan social berupa pemberian bantuan air bersih, pengadaan dapur

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

8

umum bagi 18 Desa yang terdampak bencana, pengadaan PPPK dan bantuan obatobatan, pendidikan dan pelatihan teknis/ketrampilan.
Kebijakan pemerintah disebut sistematis karena kondisi ini justru lahir
dari kebijakan pemerintah secara structural, yang secara nyata dapat dilihat dalam
beberapa hal. Pertama, kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat
dilaksanakan di wilayah dekat rumah tinggal, dekat bangunan umum dan wilayah
pabrik.
Dalam kebijakan tersebut terdapat fenomena tentang social yaitu masalah
pendidikan, di dalam Desa Renokenongo terdapat pembentukan panitia bantuan
koordinasi untuk para masyarakat yang terkena dampak Lumpur Lapindo yaitu
berupa buku secara gratis. Para panitia juga memberikan bantuan tentang
ketrampilan bagi para masyarakat yaitu memberikan pengarahan atau ilmu
tentang kewirausahaan, agar para masyarakat juga biasa membuka wira usaha
sendiri nantinya.
Namun di tengah kegelapan selalau terpancar seberkas sinar dari lilin
kecil, tak terkecuali dalam kasus Lumpur Lapindo ini. ada secercah harapan
pemerintah akan menyelesaikan kasus Lapindo secara lebih adil dalam masa
jabatan presiden 2009-2014 demikian di jelaskan dalam debat calon presiden pada
pemilu presiden yang lalu, Susilo Bambang Yudhoyono telah berjanji untuk
meninjau ulang model penyelesaian kasus Lapindo selama ini.
Setidaknya ada dua hal yang perlu ditinjau ulang agar kasus Lapindo
dapat diselesaikan secara lebih adil.
Pertama, pemerintah harus terlebih dulu berani meninjau ulang
keyakinannya bahwa semburan Lumpur Lapindo disebabkan oleh bencana alam.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

9

Secara ilmiah, keyakinan bahwa Lumpur Lapindo merupakan akibat bencana
alam sebenarnya juga telah ditentang oleh mayoritas pakar geologi dan
pertambangan internasional. Bahkan dokumen rahasia PT. Medco yang
dipublikasikan oleh website Aljazera juga dengan jelas mengungkapkan bahwa
semburan Lumpur di Sidoarjo berkaitan dengan aktivitas pengeboran. Peninjauan
terhadap keyakinan bahwa semburan Lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam itu
menjadi penting karena dari keyakinan tersebut telah lahir beberapa regulasi yang
justru membebaskan secara perlahan pihak yang seharusnya bertanggung jawab
dalam kasus itu. Padahal bebasnya korporasi yang seharusnya bertanggung jawab
dalam kasus semburan Lumpur di Sidoarjo merupakan preseden buruk bagi
pengelolaan indutri tambang di Indonesia. Konsekuensi peninjauan ulang
keyakinan tentang penyebab semburan Lumpur adalah munculnya kewajiban
pemerintah untuk juga mencabut SP3 kasus pidana Lapindo.
Kedua, pemerintah harus meninjau ulang berbagai regulasi yang
mereduksi persoalan ganti rugi bagi korban Lumpur menjadi sekedar persoalan
jual-beli aset korban Lumpur. Negara harus memasukkan persoalan kesehatan,
pendidikan, dan rusaknya lingkungan hidupke dalam skema ganti rugi. Jika kedua
hal tersebut tidak ditinjau ulang, apapun model penyelesaian kasus Lapindo
dipastikan tidak akan bisa memenuhi rasa keadilan korban Lumpur, bahkan akan
menjadi insiden buruk bagi penyelesaian kecelakaan industry ke depannya. Bila
itu terjadi, sudah dapat dipastikan pula bahwa pemerintah SBY jilid II ini akan ke
hal ini sesuai dengan ketentuan.
Tidak hanya itu, sejumlah catatan muncul pada proses penanganan dan
penanggulangan Lumpur. Mulai dari teridentifikasinya pelanggaran hak asasi

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

10

manusia ( HAM ), tidak layaknya kondisi pengungsian, kondisi tanggul yang
tidak permanen dengan mengandalkan bautan lapisan pasir dan batu seolah
‘menari’ di atas soft soil lumpur yang dapat tergelincir suatu saat, sampai pada
lambatnya pembayaran ganti rugi. Fakta lain yang justru tidak pernah terangkat
adalah soal perusakan dan kejahatan lingkungansecara sistematis.
Setelah kurang lebih 18 bulan, Rakyat Porong yang menjadi korban
Lumpur tidak juga mendapatkan keadilan. Apa yang menimpa Korban Lumpur
yang berada di pengungsian Pasar Baru Porong menjadi contoh. Hak-hak dasar
berupa hak atas perumahan, kesehatan, pendidikan, kehidupan yang layak dan
masa depan diabaikan. Selain itu dalam proses ganti rugi masih menimbulkan
permasalahan. Pada waktu awal adalah standart harga tanah dan jumlah yang akan
dibayarkan. Namun ada hal lain yang lebih stabil, yaitu masalah kepemilikan.
Pihak Lapindo akan membayarkan uang ganti rugi dengan syarat
menyerahkan akta tanah atau dokumen-dokumen yang bisa menjelaskan
kepemilikan tanah. Sehingga ganti rugi tersebut menjadi transaksi jual beli, bukan
murni ganti rugi atas rusaknya tanah karena Lumpur. Dalam kasus Lumpur
Lapindo terlihat jelas bahwa pemerintah bertindak inkosistensi. Jadi segala
dampak buruk yang terjadi pada kasus Lumpur Porong, baik terhadap orang
ataupun pada Lingkungan Hidup sekitarnya yang terkena menjadi tanggung jawab
pihak Lapindo. Dengan pemerintah mengeluarkan biaya yang dibebankan pada
APBN, pemerintah sendiri telah mengingkari aturan yang ada dalam UndangUndang 23/97 dan mengalihkan beban tanggung jawab yang seharusnya menjadi
tanggungan PT. Lapindo Brantas.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

11

Selain itu, luapan lumpur panas yang semakin tak terkendali ini
mengganggu arus transportasi kereta api dari arah Surabaya ke arah timur serta
menyebabkan jalan tol Surabaya-Gempol ditutup. Pada Tahun 2008 Desa
Renokenongo dinyatakan lumpuh total karena terendam Lumpur.
Dalam hal ini, tidak luput dari adanya konflik antar penduduk setelah
terjadinya Lumpur Lapindo, dimana Konflik merupakan suatu usaha social yang
sering muncul dan mengiringi dalam setiap peradaban manusia. Manusia tidak
akan terhindar dari konflik dengan segala atribut dan kreativitasnya dalam
masyarakat, sebab dalam masyarakat terdiri dari sejumlah besar hubungan social
(social relation ) yang masing-masing individu maupun kelompok saling
berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Konflik muncul ketika tujuan individu atau kelompok tidak sejalan,
sehingga dalam konflik selalu terjadi ketidak seimbangan diantara hubunganhubungan tersebut. Hubungan social mengalami suatu pertentangan, dari tingkat
mikro antar individu hingga meluas ke tingkat yang lebih makro, yaitu kelompok,
organisasi, masyarakat, dan Negara. Masing-masing kelompok saling berkaitan,
membentuk sebuah mata rantai yang memiliki potensi kekuatan yang
menghendaki terjadinya suatu perubahan, baik yang bersifat konstruktif maupun
destruktif. Kelompok yang merasa telah dirugikan akan berusaha untuk
menyalahkan kelas atau kelompok lain yang dinilai sebagai penyebab dari
kerugian mereka.
Konflik juga dapat terjadi ketika keinginan manusia atau kelompok untuk
beruasaha menguasai sumber-sumber serta posisi yang langka ( resource and
position scarcity ).

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

12

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengambil
judul ” Dampak Sosial Bencana Lumpur Lapindo Dan Penanganannya Di Desa
Renokenongo
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini dinyatakan sebagai berikut : Bagaimana Dampak social
bencana Lumpur Lapindo dalam penanganan lumpur Lapindo di Desa
Renokenongo ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka
tujuan penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui Implementasi Penanganan Korban Lumpur Lapindo di
Desa Reno Kenongo Kecamatan Porong Sidoarjo.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai
berikut :
a. Bagi Instansi
Diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penanganan Korban
Lapindo Di Desa Reno Kenongo Kecamatan Porong Sidoarjo.
b. Bagi Universitas
Sebagai tambahan khasanah perpustakaan dan bahan masukan bagi
penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

13

c. Bagi Peneliti
Diharapkan dapat memperluas wawasan serta pengetahuan penulis
dalam mengembangkan ilmu dan pengetahuan yang sudah diperoleh

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB II
TINJ AUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu
Sukesi (2006) dengan judul “Dampak Semburan Lumpur Panas
“Lapindo” Sidoarjo Terhadap Perkonomian Masyarakat di Kabupaten
Pasuruan”. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil, Pertama, Bencana
lumpur mengganggu kenyamanan tempat tinggal masyarakat desa, terutama
wilayah yang berdekatan dengan pusat semburan lumpur panas. Mereka
mengatakan daerah yang ditempati sudah tidak nyaman lagi untuk hunian,
selain bau yang menyengat mereka khawatir sewaktu-waktu lumpur meluber
ke rumah-rumah hingga masyarakat menderita kerugian yang sangat besar.
Kedua bencana semuran lumpur panas Sidoarjo juga membawa dampak pada
sector usaha masyarakat. Kegiatan usaha mengalami penurunan karena
gangguan sarana transportasi.
Mukhamadun (2006) dengan judul “Lumpur Lapindo Akar Masalah
dan Solusinya dalam perspektif hukum lingkungan”. Dari penelitian yang
dilakukan diperoleh hasil, bahwa pembangunan yang hanya bertumpu pada
pertumbuhan akan cenderung ekspoitatif dan mengorbankan rasa keadilan
public. System ekonomi kapitalis yang saat ini Berjaya sesungguhnya telah
banyak membawa nestapa, termasuk kasus lumpur lapindo. Di samping aspek
teknis dan non teknis kasus lumpur lapindo juga karena aspek hukum dan
politik dan yang menjadi akar permasalahannya adalah hukum tentang

14
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

15

kepemilikan. Barang tambang di Porong adalah miliki umum, Negara,
mestinya mengelola dengan professional dan amanah untuk kemakmuran
rakyat.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang pernah dilakukan seperti dijelaskan
seperti diatas, terdapat perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti
sekarang dengan penelitian yang terdahulu. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sukesi adalah tempat tinggal masyarakat desa
yang tidak nyaman karena takut akan adanya semburan lumpur, sehingga
masyarakat desa menderita kerugian yang amat besar.
Sedangkan

peneliti

yang

dilakukan

oleh

Mukhamadun

adalah

pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan akan cenderung
mengorbankan rasa keadilan public.

2.2

Landasan Teori

2.2.1 Dampak Sosial
Makin meluasnya permasalahan yang terjadi pada penanganan
dampak social dari bencana lumpur di Porong, Sidoarjo menjadi satu penegas
bahwa bencana lumpur Porong tersebut tidak dapat lagi dianggap sebagai
sebuah bencana ringan. Berbagai upaya, secara substansi telah dilakukan, dari
mulai langkah tekhnis, hingga pada upaya preventif, dengan membebaskan
lahan dan rumah warga yang berada di sekitar pusat semburan. Akan tetapi, hal
tersebut tidak membawa penyelesaian yang konstruktif, yang ada di lapangan
justru terjadi anomaly sosial di masyarakat, sebagai akibat tidak adanya titik
temu bagi penyelesaian dan penanganan yang efektif.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

16

Bahkan dalam banyak kasus, justru efek sosiologis yang muncul di
masyarakat adalah makin berkembang ke arah yang memprihatikan, di mana
makin meluasnya benih-benih konflik dan kriminalitas. Konflik tersebut dapat
pecah kapan saja, tergantung dari eskalasi penangangan dampak sosial yang
tengah dilakukan. Akan tetapi, sedari awal proses penanganan dari dampak
sosial yang dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah terkesan
seadanya, bahkan upaya deteksi dini (early warning) bagi masyarakat sekitar
terhadap kemungkinan makin meluasnya luapan lumpur tidak dilakukan.
Masyarakat harap-harap cemas, apakah daerahnya akan terkena luapan lumpur
tersebut, dan perlu melakukan evakuasi atau tidak? Kesan ini makin kentara
ketika upaya yang dilakukan adalah dengan menghadap-hadapkan antara
masyarakat dengan pengelola Lapindo Brantas, dan negara bersembunyi
dibalik proses tersebut. Berbagai pernyataan dari pejabat negara yang
menegaskan pernyataan bahwa ini merupakan murni kesalahan dan
dilimpahkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas makin
mengemuka. Hal ini makin menarik untuk dikaji lebih mendalam tentang peran
negara dalam proses penanganan dampak social dari Bencana Lumpur Porong
ini bila dikaitkan dengan tanggung jawab negara sebagai ’aktor politik’ yang
berkewajiban menyediakan keamanan bagi seluruh warga negaranya. Dengan
adanya dampak bencana Lumpur Lapindo yang di hadapi, banyak warga yang
mengalami kerugian yang besar, terutama dalam bidang social yaitu banyaknya
masyarakat yang kehilangan tempat tinggal, kurangnya pendidikan, mata
pencharian warga, kesehatan warga.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

17

2.2.2 Pengertian Kebijakan
woll dalam Tangkilisan (2003:3) kebijakan adalah Sejumlah
aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik
secara

langsung

maupun

melalui

berbagai

lembaga

yang

mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Rose dalam Winarno (2004:15) kebijakan adalah

serangkaian

kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuenkonsekuennya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu
keputusan tersendiri.
Menurut Alisjahbana (2004:2) kebijakan adalah suatu keputusan
yang dilaksanakan oleh pejabat Pemerintah untuk kepentingan rakyat.
Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan, bahwa
kebijakan adalah serangkaian cara bertindak atau suatu keputusan
yang sengaja untuk menyelesaikan beberapa permasalahan, yang
dilksanakan oleh pejabat Pemerintah untuk kepentingan rakyat.
2.2.2.1 Komponen-Komponen Kebijakan
Menurut Jones dalam Tangkilisan (2003:3) kebijakan
terdiri dari komponen-komponen:
1. Goal atau tujuan yang diinginkan;
2. Plans / proposal yang spesifik untuk mencapai tujuan;
3. Program yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai
tujuan;

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

18

4. Decision atau keputusan yaitu tindakan-tindakan untuk
menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan
mengevaluasi program;
5. Efek yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau
tidak, primer atau sekunder).
2.2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Kebijakan
Menurut Rippley dan Franklin
(2003:22)

faktor-faktor

yang

dalam Tangkilisan

mempengaruhi

kinerja

kebijakan adalah:
1. Organisasi dan kelembagaan;
2. Kemampuan politik dari penguasa;
3. Pembagian tugas, tanggung jawab dan wewenang;
4. Kebijakan Pemerintah yang bersifat tak remental;
5. Proses perumusan kebijakan Pemerintah yang baik;
6. Aparatur evaluasi yang bersih yang berwibawa serta
professional;
7. Biaya untuk melakukan evaluasi;
8. Tersedianya data dan informasi sosial ekonomi yang siap
dimanfaatkan oleh penilai-penilai kebijakan.
2.2.3. Pengertian Kebijakan Publik
Santoso dalam Winarno (2004:17) kebijakan publik merupakan
serangkaian instruksi daripada pembuat keputusan kepada pelaksana
kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai
tujuan tersebut.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

19

Alisjahbana (2004:2) kebijakan publik adalah sebagai segala
sesuatu atau apapun yang dipilih oleh Pemerintah untuk dilakukan atau
tidak dilakukan.
Parker dalam Ekowati (2005:5) kebijakan publik adalah suatu
tujuan tertentu atau serangkaian prinsip atau tindakan yang dilakukan oleh
suatu Pemerintahan pada periode tertentu ketika terjadi suatu subyek atau
krisis.
Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan, bahwa
kebijakan publik adalah sebagai segala sesuatu atau apapun yang dipilih
oleh Pemerintah atau serangkaian instruksi daripada pembuat keputusan
kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut, untuk dilakukan atau tidak dilakukan.
Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa
kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak
dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan
apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang
holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi
warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan
persoalan

yang

merugikan,

walaupun demikian pasti ada

yang

diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus
bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

20

2.2.4 Pengertian Implementasi
Pressman

dan

Wildavsky

dalam

Tangkilisan

(2003:17)

implementasi adalah interaksi antara penyusunan tujuan dengan saranasarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut atau kemampuan untuk
menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan
cara untuk mencapainya.
Hartono dalam Alisjahbana (2004:45) implementasi merupakan
proses yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran
kebijakan negara diwujudkan sebagai hasil akhir kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah.
Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (2005:65) implementasi
adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau
pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok Pemerintah atau swasta yang
diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijakan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa implementasi
adalah proses interaksi atau tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh
individu-individu

atau

pejabat-pejabat

atau

kelompok-kelompok

Pemerintah atau swasta antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana
tindakan dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijakan.
2.2.5. Pengertian Implementasi Kebijakan
Menurut Dwijowijoto (2003:158) implementasi kebijakan adalah
cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

21

Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2004:102) implementasi
kebijakan adalah sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individuindividu atau kelompok-kelompok Pemerintah maupun swasta yang
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Kamus

Webster

dalam

Wahab

(2005:64)

implementasi

kebijakan adalah menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu,
agar dapat menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu.
Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan, bahwa
implementasi kebijakan adalah cara atau tindakan-tindakan yang
dilakukan

oleh

individu-individu

atau

kelompok-kelompok

Pemerintah maupun swasta agar dapat menimbulkan sebuah kebijakan
dan mencapai tujuannya yang telah ditetapkan dalam keputusankeputusan kebijakan sebelumnya.
2.2.5.1 Tujuan Implementasi Kebijakan
Menurut Wibawa dalam Koryati, Hidayat dan Tangkilisan
(2004:10) tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah
agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari
kegiatan Pemerintah.
2.2.5.2 Tahap Pelaksanaan Kebijakan
Menurut Alisjahbana (2004:28) tahap-tahap pelaksanaan kebijakan,
ada:
1. Menyediakan sumber daya bagi pelaksanaan kebijakan;

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

22

2. Melakukan interpretasi dan penjabaran kebijakan ke dalam bentuk
peraturan pelaksanaan dan petunjuk pelaksanaan;
3. Menyusun perencanaan sejumlah langkah kegiatan pelaksanaan
menurut waktu, tempat, situasi dan anggaran;
4. Pengorganisasian secara rutin atas personil, anggaran dan sarana
materiil lainnya;
5. Memberikan manfaat kepada individuan masyarakat.
2.2.5.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan dan Implementasi
Menurut Wibawa dalam Koryati, Hidayat dan Tangkilisan
(2004:25) faktor-faktor yang mempengaruhi kejelasan antara kebijakan
dan kinerja implementasi, yaitu :
1. Standar dan sasaran kebijakan;
2. Komunikasi antara organisasi dan pengukuran aktifitas;
3. Karakteristik organisasi dan komunikasi antar organisasi;
4. Kondisi sosial, ekonomi dan politik;
5. Sumber daya;
6. Sikap pelaksana.
2.2.6 Prospek Memperbaiki Implementasi
Dalam melaksanakan kebijakan selama ini, menurut Winarno
(2004:161) telah didefinisikan bahwa banyak masalah yang timbul. Proses
implementasi kebijakan merupakan proses yang rumit dan kompleks.
Kerumitan

tersebut

disebabkan

banyak

faktor,

baik

menyangkut

karakteristik program-program kebijakan yang dijalankan maupun oleh
aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

23

Islamy (2004:107) menjelaskan bahwa kebijaksanaan akan
menjadi efektif, bila dilaksanakan dan berdampak positif bagi anggota
masyarakat.

Selain

itu

untuk

mencapai

efektivitas

pelaksanaan

kebijaksanaan, proses komunikasi harus baik, yaitu menyebarluaskan
kebijaksanaan kepada anggota masyarakat.
Keberhasilan implementasi, menurut Koryati (2004:14) dapat
dilihat dari terjadinya kesesuaian antara pelaksana atau penerapan kebijakan
dengan desain, tujuan dan sasaran kebijakan itu sendiri serta memberikan
dampak atau hasil yang positif bagi pemecahan permasalahan yang
dihadapi.
Selain itu faktor lain yang dapat menunjang keberhasilan
implementasi kebijakan adalah dukungan, baik fisik maupun non fisik.
Apabila dalam pelaksanaannya tidak cukup dukungan, maka implementasi
akan sulit di laksanakan. Dukungan tersebut menurut Merse dalam Koryati
(2004:15) adalah kuatnya partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan
program. Jadi program akan berlangsung secara berkelanjutan, jika
didukung oleh tingkat partisipasi masyarkat yang tinggi, dalam berbagai
tahapan yang ada.
Menurut Rippley dan Franklin dalam Tangkilisan (2003:21)
keberhasilan implementasi kebijakan program ditinjau dari tiga faktor,
yaitu:
1. Prespektif kepatuhan yang mengukur implementasi dari kepatuhan
aparatur pelaksana;

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

24

2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan
tiadanya persoalan;
3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang
memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat
yang diharapkan.
Implementasi kebijakan yang berhasil menjadi faktor penting
dari keseluruhan proses kebijakan. Untuk memperbaiki implementasi
kebijakan, Winarno (2004:162) menjelaskan bahwa ada beberapa
langkah, yaitu:
1. Dalam mengusulkan langkah-langkah perbaikan harus dipahami
lebih dulu hambatan-hambatan yang muncul dalam proses
implementasi kebijakan dan mengapa hambatan tersebut muncul;
2. Mengubah keadaan yang menghasilkan faktor-faktor penghambat
tersebut.
2.2.7. Pengertian Sosialisasi
Manusia berbeda dari binatang. Perilaku pada binatang
dikendalikan oleh instink/naluri yang merupakan bawaan sejak awal
kehidupannya. Binatang tidak menentukan apa yang harus dimakannya,
karena hal itu sudah diatur oleh naluri. Binatang dapat hidup dan
melakukan hubungan berdasarkan nalurinya. Manusia merupakan mahluk
tidak berdaya kalau hanya mengandalkan nalurinya. Naluri manusia tidak
selengkap dan sekuat pada binatang. Untuk mengisi kekosongan dalam
kehidupannya manusia mengembangkan kebudayaan. Manusia harus
memutuskan sendiri apa yang akan dimakan dan juga kebiasaan-kebiasaan

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

25

lain yang kemudian menjadi bagian dari kebudayaannya. Manusia
mengembangkan kebiasaan tentang apa yang dimakan, sehingga terdapat
perbedaan makanan pokok di antara kelompok/masyarakat. Demikian juga
dalam hal hubungan antara laki-laki dengan perempuan, kebiasaan yang
berkembang dalam setiap kelompok menghasilkan bermacam-macam
sistem pernikahan dan kekerabatan yang berbeda satu dengan lainnya.
Dengan kata lain, kebiasaan-kebiasaan pada manusia/masyarakat diperoleh
melalui proses belajar, yang disebut sosialisasi. Berikut beberapa definisi
mengenai sosialisasi.
Peter L. Berger:
Sosialisasi adalah proses dalam mana seorang anak belajar menjadi
seseorang yang berpartisipasi dalam masyarakat. Yang dipelajari dalam
sosialisasi adalah peran-peran, sehingga teori sosialisasi adalah teori
mengenai peran (role theory).
Robert M.Z. Lawang:
Sosialisasi adalah proses mempelajari nilai, norma, peran dan persyaratan
lainnya

yang

diperlukan

untuk

memungkinkan

seseorang

dapat

berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sosial.
Horton dan Hunt:
Suatu proses yang terjadi ketika seorang individu menghayati nilai-nilai
dan norma-norma kelompok di mana ia hidup sehingga terbentuklah
kepribadiannya. Dalam proses sosialisasi terjadi paling tidak tiga proses,
yaitu: (1) belajar nilai dan norma (sosialisasi), (2) menjadikan nilai dan
norma yang dipelajari tersebut sebagai milik diri (internalisasi), dan (3)

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

26

membiasakan tindakan dan perilaku sesuai dengan nilai dan norma yang
telah menjadi miliknya (enkulturasi).
2.2.8. Fungsi Sosialisasi
1. Bagi

individu:

agar

dapat

hidup

secara

wajar

dalam

kelompo/masyarakatnya, sehingga tidak aneh dan diterima oleh warga
masyarakat lain serta dapat berpartisipasi aktif sebagai anggota masyarakat
2. Bagi masyarakat: menciptakan keteraturan sosial melalui pemungsian
sosialisasi sebagai sarana pewarisan nilai dan norma serta pengendalian
sosial.
2.2.9. Macam-macam Sosialisasi
1. Berdasar kan ber langsungnya: sosialisasi yang disengaja/disadari dan
tidak disengaja/tidak disadari.
Sosialisasi yang disengaja/disadari: Sosialisasi yang dilakukan secara
sadar/disengaja: pendidikan, pengajaran, indoktrinasi, dakwah, pemberian
petunjuk, nasehat, dll.
Sosialisasi yang tidak disadari/tidak disengaja: perilaku/sikap seharihari yang dilihat/dicontoh oleh pihak lain, misalnya perilaku sikap seorang
ayah ditiru oleh anak laki-lakinya, sikap seorang ibu ditiru oleh anak
perempuannya, dst.
2. Menurut status pihak yang ter libat: sosialisasi equaliter dan otoriter.
Sosialisasi equaliter berlangsung di antara orang-orang yang kedudukan
atau statusnya relatif sama, misalnya di antara teman, sesama murid, dan
lain-lain, sedangkan sosialisasi otoriter berlangsung di antara pihak-pihak
yang status/kedudukannya berbeda misalnya berlangsung antara orangtua

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

27

dengan anak, antara guru dengan murid, antara pimpinan dengan pengikut,
dan lain-lain.
3. Menurut tahapnya: sosialisasi primer dan sekunder.
Sosialisasi primer dialami individu pada masa kanak-kanak, terjadi dalam
lingkungan keluarga, individu tidak mempunyai hak untuk memilih agen
sosialisasinya, individu tidak dapat menghindar untuk menerima dan
menginternalisasi cara pandang keluarga Sosialisasi sekunder berkaitan
dengan ketika individu mampu untuk berinteraksi dengan orang lain selain
keluarganya.
4. Berdasar kan caranya: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris.
Apabila mengacu pada cara-cara yang dipakai dalam sosialisasi , terdapat dua
pola, yaitu represif, dan partisipatoris. Sosialisasi Represif menekankan pada:
(1) penggunaan hukuman,
(2) memakai materi dalam hukuman dan imbalan,
(3) kepatuhan anak pada orang tua,
(4) komunikasi satu arah (perintah),
(5) bersifat nonverbal,
(6) orang tua sebagai pusat sosialisasi sehingga keinginan orang tua
menjadi penting, dan
(7) keluarga menjadi significant others.
Sedangkan sosialisasi partisipatoris menekankan pada
(1) individu diberi imbalan jika berkelakuan baik,
(2) hukuman dan imbalan bersifat simbolik,
(3) anak diberi kebebasan,

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

28

(4) penekanan pada interaksi,
(5) komunikasi terjadi secara lisan/verbal,
(6) anak pusat sosialisasi sehingga keperluan anak dianggap penting, dan
(7) keluarga menjadi generalized others.
2.2.10 Ganti Rugi
Ganti rugi dalam lapangan hukum perdata adalah pemberian prestasi
yang setimpal akibat dari satu perbuatan yang menyebabkan kerugian diderita
oleh salah satu pihak yang melakukan kesepakatan/ konsensus. Secara harfiah
istilah ganti rugi adalah :
Pengenaan ganti sebagai akibat adanya penggunaan hak dari satu
pihak untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan dari lain, Ganti rugi
meliputi aspek:
1. Kesebandingan
Ukuran untuk kesebandingan antara hak yang hilang dengan penggantinya
harus adil menurut hukum dan menurut kebiasaan masyarakat yang berlaku
umum.
2. Layak
Selain sebanding ganti rugi harus layak jika penggantian dengan hal lain
yang tidak memiliki kesamaan dengan hak yang telah hilang.
3. Perhitungan cermat
Perhitungan harus cermat termasuk didalamnya penggunaan waktu, nilai dan
derajat.
Dalam hal ganti rugi, para penduduk di Desa Renokenongo tidak
mempunyai syarat pembayaran yang ada karena pembayaran tersebut sudah

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

29

di tangani

oleh koordinator masing-masing yang menangani ganti rugi

tersebut.

2.2.11 Lu mpu r Lapindo
Tragedi ‘Lumpur Lapindo’ dimulai pada tanggal 27 Mei 2006.
Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai
menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan
industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000
hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara den