Hambatan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah Untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur

(1)

HAMBATAN PELAKSANAAN GANTI RUGI TANAH UNTUK

PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

ACEH TIMUR

TESIS

Oleh

NONI GUSVITA

107011122/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HAMBATAN PELAKSANAAN GANTI RUGI TANAH UNTUK

PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN

ACEH TIMUR

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NONI GUSVITA

107011122/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : HAMBATAN PELAKSANAAN GANTI RUGI

TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PUSAT

PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH TIMUR Nama Mahasiswa : NONI GUSVITA

Nomor Pokok : 107011122

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum) (Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 30 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum

2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Hasyim Purba, SH, MHum


(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : NONI GUSVITA

Nim : 107011122

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : HAMBATAN PELAKSANAAN GANTI RUGI TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH TIMUR

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :NONI GUSVITA Nim :107011122


(6)

i ABSTRAK

Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur diawali dengan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum disebabkan karena Kabupaten tersebut mengalami Pemekaran berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, terletak di Provinsi Aceh. Akibatnya Ibukota Kabupaten Aceh Timur yang berada di wilayah Kota Langsa pindah ke Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007. Pelaksanaan Ganti Rugi Tanahnya sejak tahun 2006 dan sampai tahun 2012 belum tuntas akibat mengalami beberapa hambatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur telah sesuai dengan ketentuan Pengadaan tanah saat ini, faktor-faktor penghambat pelaksanaan ganti rugi tanahnya dan upaya yang ditempuh dalam mengatasi hambatan Pelaksanaan Ganti Rugi.

Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang bertujuan untuk mendiskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat tentang kasus hambatan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, dengan mempergunakan metode secara analisis yuridis normatif dan yuridis sosiologis.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan ganti rugi tanah untuk pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur sudah sesuai dengan Ketentuan Pengadaan Tanah saat ini, walaupun perhitungan besarnya ganti rugi tidak di dasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak atau nilai nyata/sebenarnya. Hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 15 huruf (a) Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Faktor besarnya nilai ganti rugi tanah di atas harga pasar, sehingga ganti rugi tanahnya sampai saat ini belum selesai. Upaya penyelesaian yang ditempuh adalah Ganti Rugi dilakukan secara bertahap selama 6 Tahun mulai Tahun 2006 sampai tahun 2012, dan Pemerintah terpaksa membayar ganti rugi diatas harga pasar akibat keadaan yang tidak kondusif dan dibutuhkan dana yang besar untuk membebaskan tanah seluas 55.000 M². Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, dalam pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur semestinya mengacu pada Peraturan Presiden RI Nomor 36 tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Pelaksanaan ganti rugi tanah harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penunjukan Lembaga/Tim penilai harga tanah dilakukan dengan selektif dan profesional sehingga menghasilkan Tim Penilai Harga Tanah yang betul-betul memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugasnya.


(7)

ii

ABSTRACT

The implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District begins with the Procurement of Land for Public Use because that district experienced a regional division based on the Indonesian Government Regulation No. 78/2007 on the Regional Forming, Eliminating and Merging Procedures located in the province of Aceh. The consequence is that the capital city of Aceh Timur District located in the area of the City of Langsa moved to Idi Rayeuk Subdistrict, Aceh Timur District based on the Indonesian Government Regulation No. 5/2007. The implementation of land compensation commenced in 2006, until 2012, has not yet finalized due to several barriers. The purpose of this study was to find out and describe whether or not the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District has been in accordance with the currently existing land procurement provision, what factors inhibited the implementation of land compensation, and what attempts have been done to solve the barriers to the implementation of land compensation.

This analytical descriptive study described and analyzed the data about the cases of the barriers to the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District which were systematically, factually and accurately obtained through normative juridical and sociological juridical method of analysis.

The result of this study showed that the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District was in accordance with the currently existing land procurement provision, although the calculation for the amount of compensation was not based on the selling value of tax object or the actual value. This is not contrary to Article 15 (a) of Presidential Decree No. 65/2006. The amount of the compensation was above the market price that the land compensation has not been solved until today. The attempt done to solve the problem of land compensation was the payment for the compensation was gradually done for 6 (six) years from 2006 to 2012 and the government had to pay the above-market-price compensation due to the non-conducive situation and the great amount of fund to release the land area of 55,000 m². In the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center, the District Government of Aceh Timur should have referred to the Presidential Decrees No. 36/2005 and No. 65/2006. The implementation of land compensation should be done according to the currently existing land procurement provision. The appointment of the agency/land price appraisal team should be selectively and professionally done that the team selected is the one which is capable of doing its duty.


(8)

iii

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul

HAMBATAN PELAKSANAAN GANTI RUGI TANAH UNTUK

PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH TIMUR. Shalawat beriring salam penulis hadiahkan kepada Rasulullah SAW yang selalu menjadi suri tauladan dan yang syafa’atnya selalu diharapkan seluruh umatnya.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan serta dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Bapak Prof. Dr. H. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum.,danIbu Hj. Chairani Bustami, SH., SpN, MKn. selaku Komisi Pembimbing dan Dosen Penguji Bapak Dr. Hasyim Purba, SH, M.HumdanIbu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum. yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K)


(9)

iv

diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH., MS, CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH., CN., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama menjalani pendidikan.

7. Pemerintah Kabupaten Aceh Timur yang telah memberikan kesempatan Tugas Belajar kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Angkatan Tahun 2010, khususnya Grup B.

9. Motivator Terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Suami serta Anak-anakku tercinta yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis.


(10)

v

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis berharap semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya.

Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Medan, Agustus 2012 Penulis,


(11)

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Noni Gusvita

Tempat/Tanggal lahir : Banda Aceh/28 Agustus 1973

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. T. M. Zein, Gampong Meutia Langsa

II. KELUARGA

Nama Ayah : Alm. Sidik Abdurrahman

Nama Ibu : Almh. Darma Taksia

Nama Suami : Fuadi

Nama Anak : Rafiqah Adibah

Rafiqah Adilah III. PEKERJAAN

- Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun 1998-Sekarang

IV. PENDIDIKAN

SD Negeri Inpres Calang pada Tahun 1979 s/d 1985 SMP Negeri Calang pada Tahun 1985 s/d 1988

SMA Negeri 1 Banda Aceh pada Tahun 1988 s/d 1991

Perguruan Tinggi (S1) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada Tahun 1991 s/d 1996

Perguruan Tinggi (S2) Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada Tahun 2010 s/d 2012


(12)

vii DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 23

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 23

2. Pendekatan Penelitian ... 25

3. Sumber Data ... 26

4. Teknik Pengumpulan Data ... 27

5. Analisis Data ... 29

BAB II PENGATURAN PELAKSANAAN GANTI RUGI TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH TIMUR ... 29

A. Gambaran Umum Kabupaten Aceh Timur ... 29


(13)

viii

2. Penetapan Lokasi Kabupaten Aceh Timur ... 30

B. Pengaturan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk Kepentingan Umum ... 34

C. Proses Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah unuk Kepentingan Umum ... 56

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PELAKSANAAN GANTI RUGI PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH TIMUR ... 76

A. Faktor Keadaan Sosial Ekonomi Pemegang Hak Atas tanah 76 B. Faktor Tidak adanya Kesepakatan dalam Proses Musyawarah ... 88

C. Faktor Tuntutan Ganti Rugi di atas Harga Pasar ... 96

BAB IV UPAYA HUKUM YANG DITEMPUH UNTUK MENGATASI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PENETAPAN GANTI RUGI TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH TIMUR ... 111

A. Upaya Penyelesaian dengan Pendekatan Sosiologis terhadap Masyarakat Pemegang Hak Atas Tanah ... 111

B. Upaya Pembayaran Harga Ganti Rugi di Atas Harga Pasar... 119

C. Upaya penyelesaian ganti rugi secara bertahap karena terbatasnya Anggaran pada APBK Aceh Timur ... 121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 133

A. Kesimpulan ... 133

B. Saran ... 134 DAFTAR PUSTAKA


(14)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman TABEL 1: Letak, Luas dan Jumlah pemegang hak atas tanah dalam

pembebasan tanah untuk Pembangunan Pusat

Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ... 58

TABEL 2 : Daftar Harga Tanah menurut NJOP, Harga Pasar, Harga Pemegang Hak Atas Tanah, dan Harga yang disepakati ... 66

TABEL 3 : Tingkat Pendidikan Responden ... 77

TABEL 4 : Tingkat Pekerjaan Responden ... 78

TABEL 5 : Luas Tanah yang dimiliki/dikuasai Responden... 79

TABEL 6 : Lamanya responden menguasai tanah ... ... 80

TABEL 7 : Status Tanah Responden ... 81

TABEL 8 : Keterlibatan Responden dalam proses Musyawarah ... 89

TABEL 9 : Penentuan harga ganti rugi berdasarkan musyawarah ... 95

TABEL 10: Susunan Panitia Pengadaan Tanah kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2012 ... 99

TABEL 11: Susunan Tim Penilai/Penaksir Harga Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam Wilayah Kabupaten Aceh Timur Tahun 2012 .... 103

TABEL 12 : Bentuk dan Besarnya ganti rugi Tanah dan Bangunan untuk Lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ... 107


(15)

i ABSTRAK

Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur diawali dengan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum disebabkan karena Kabupaten tersebut mengalami Pemekaran berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, terletak di Provinsi Aceh. Akibatnya Ibukota Kabupaten Aceh Timur yang berada di wilayah Kota Langsa pindah ke Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007. Pelaksanaan Ganti Rugi Tanahnya sejak tahun 2006 dan sampai tahun 2012 belum tuntas akibat mengalami beberapa hambatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur telah sesuai dengan ketentuan Pengadaan tanah saat ini, faktor-faktor penghambat pelaksanaan ganti rugi tanahnya dan upaya yang ditempuh dalam mengatasi hambatan Pelaksanaan Ganti Rugi.

Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang bertujuan untuk mendiskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat tentang kasus hambatan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, dengan mempergunakan metode secara analisis yuridis normatif dan yuridis sosiologis.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan ganti rugi tanah untuk pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur sudah sesuai dengan Ketentuan Pengadaan Tanah saat ini, walaupun perhitungan besarnya ganti rugi tidak di dasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak atau nilai nyata/sebenarnya. Hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 15 huruf (a) Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Faktor besarnya nilai ganti rugi tanah di atas harga pasar, sehingga ganti rugi tanahnya sampai saat ini belum selesai. Upaya penyelesaian yang ditempuh adalah Ganti Rugi dilakukan secara bertahap selama 6 Tahun mulai Tahun 2006 sampai tahun 2012, dan Pemerintah terpaksa membayar ganti rugi diatas harga pasar akibat keadaan yang tidak kondusif dan dibutuhkan dana yang besar untuk membebaskan tanah seluas 55.000 M². Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, dalam pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur semestinya mengacu pada Peraturan Presiden RI Nomor 36 tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Pelaksanaan ganti rugi tanah harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penunjukan Lembaga/Tim penilai harga tanah dilakukan dengan selektif dan profesional sehingga menghasilkan Tim Penilai Harga Tanah yang betul-betul memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugasnya.


(16)

ii

ABSTRACT

The implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District begins with the Procurement of Land for Public Use because that district experienced a regional division based on the Indonesian Government Regulation No. 78/2007 on the Regional Forming, Eliminating and Merging Procedures located in the province of Aceh. The consequence is that the capital city of Aceh Timur District located in the area of the City of Langsa moved to Idi Rayeuk Subdistrict, Aceh Timur District based on the Indonesian Government Regulation No. 5/2007. The implementation of land compensation commenced in 2006, until 2012, has not yet finalized due to several barriers. The purpose of this study was to find out and describe whether or not the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District has been in accordance with the currently existing land procurement provision, what factors inhibited the implementation of land compensation, and what attempts have been done to solve the barriers to the implementation of land compensation.

This analytical descriptive study described and analyzed the data about the cases of the barriers to the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District which were systematically, factually and accurately obtained through normative juridical and sociological juridical method of analysis.

The result of this study showed that the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District was in accordance with the currently existing land procurement provision, although the calculation for the amount of compensation was not based on the selling value of tax object or the actual value. This is not contrary to Article 15 (a) of Presidential Decree No. 65/2006. The amount of the compensation was above the market price that the land compensation has not been solved until today. The attempt done to solve the problem of land compensation was the payment for the compensation was gradually done for 6 (six) years from 2006 to 2012 and the government had to pay the above-market-price compensation due to the non-conducive situation and the great amount of fund to release the land area of 55,000 m². In the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center, the District Government of Aceh Timur should have referred to the Presidential Decrees No. 36/2005 and No. 65/2006. The implementation of land compensation should be done according to the currently existing land procurement provision. The appointment of the agency/land price appraisal team should be selectively and professionally done that the team selected is the one which is capable of doing its duty.


(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu kabupaten yang mengalami pemekaran berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah, terletak di provinsi Aceh. Kabupaten Aceh Timur mengalami pemekaran 3 (tiga) Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Timur, Pemerintah Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tamiang.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Aceh Timur dari Wilayah Kota Langsa ke Wilayah Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur dimana Pusat Pemerintah Kabupaten Aceh Timur yang sebelumnya berada di Kota Langsa pindah ke Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur. Sehingga relokasi pusat pemerintahan dan semua kegiatan pemerintahan pindah ke Kecamatan Idi Rayeuk. Dengan pertimbangan bahwa letak kecamatan Idi Rayeuk merupakan letak yang strategis dan dapat terjangkau oleh semua kecamatan dalam kabupaten Aceh Timur. Selain itu Lokasi Pembangunan Pusat pemerintahan yang dekat dengan jalan Lintas Sumatera, sehingga nantinya dapat mendukung perekonomian dan pembangunan masyarakat Aceh Timur ke depan.

Mengingat pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur adalah untuk kepentingan umum maka tanah-tanah yang berada di sekitar lokasi Desa Titi


(18)

Baro dan Desa Seunebok Teungoh Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur harus terlebih dahulu dilakukan pelepasan hak atau pembebasan hak atas tanah.

Pembangunan merupakan upaya manusia dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya yang dipergunakan bagi pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Dengan memiliki cipta, rasa, dan karsa, manusia telah mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran baik untuk generasi sekarang maupun untuk generasi yang akan datang. Dalam arti bahwa pemanfaatan sumber daya alam bagi kebutuhan generasi sekarang juga mempertimbangkan dan memperhatikan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Bagi bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi. Oleh karena itu harus dikelola secara cermat pada masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas lain.


(19)

Pelepasan dan pembebasan hak atas tanah harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan, karena pembebasan tanah adalah status perbuatan hukum yang bertujuan melepaskan hubungan hukum antara pemilik atau pemegang hak dengan tanah, dengan pembayaran harga atau uang ganti rugi.1

Pada dasarnya, secara filosofis tanah sejak awalnya tidak diberikan kepada perorangan. Jadi tidak benar seorang yang menjual tanah berarti menjual miliknya, yang benar dia hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah selama itu dikuasainya.2

Hal tersebut adalah benar apabila dikaji lebih dalam bahwa tanah di samping mempunyai nilai ekonomis, juga mempunyai nilai sosial yang berarti hak atas tanah tidak mutlak. Namun demikian negara harus menjamin dan menghormati atas hak-hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya yang dijamin oleh undang-undang.

Hal ini berarti nilai ekonomis hak atas tanah akan berbeda dengan hak yang melekat pada tanah tersebut, dengan demikian ganti rugi yang diberikan atas tanah itu juga menentukan berapa besar yang harus diterima dengan adanya hak berbeda itu. Namun demikian negara mempunyai wewenang untuk melaksanakan pembangunan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan baik dengan pencabutan hak maupun dengan pengadaan tanah.

Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan

1John Salindeho,Masalah Tanah dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal. 33. 2Soedharyo Soimin,Status Hak dan Pengadaan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta,1993, hal. 82


(20)

pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas. Oleh karena itu satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat, baik yang telah di kuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat maupun hak-hak lainnya menurut UUPA.

Proses pengadaan tanah tidak akan pernah lepas dengan adanya masalah ganti rugi, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan data-data yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian ganti rugi. Sehingga apabila telah tercapai suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, maka baru dilakukan pembayaran ganti rugi kemudian dilanjutkan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan. Namun dalam prosesnya hal ini sering mengalami banyak hambatan.

Pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah untuk memperoleh tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan, khususnya bagi kepentingan umum. Pada prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan.

Kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam perkembangannya, sebagai landasan hukum diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 yang kemudian digantikan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993, yang kemudian juga digantikan dengan Peraturan presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum


(21)

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Guna melengkapi ketentuan tersebut diterbitkanlah Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana Telah Diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan terakhir dikeluarkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum yang diundangkan pada tanggal 14 Januari 2012. Sampai saat ini Ketentuan Pelaksanaannya masih dalam proses.

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum :

“Pasal 2 ayat (1) disebutkan : “Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah”, dan Pasal 2 ayat (2) : “Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Dalam Pasal 3 : “Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Pasal 5 : “Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi : Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah ataupun di ruang bawah


(22)

tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi, waduk bendungan, bendungan irigasi dan bangunan, pengairan lainnya, pelabuhan bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana, tempat pembuangan sampah, cagar alam dan cagar budaya, pembangkit, tranmisi, distribusi tenaga listrik.3

Peraturan Presiden yang dimaksudkan sebagai pedoman tentang tata cara yang harus diikuti pejabat pelaksana dalam rangka memperoleh tanah untuk kegiatan pembangunan itu, dampaknya langsung dirasakan masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan tersebut.4

Kebijakan-kebijakan tersebut dikeluarkan agar pembangunan nasional khususnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dalam pelaksanaan pengadaan tanahnya. Prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum haruslah tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Namun demikian berdasarkan kenyataan yang terjadi selama ini dalam praktek pengadaan tanah bagi kepentingan umum hak dan kepentingan masyarakat pemilik tanah kurang mendapat perlindungan hukum dan belum ada pengertian serta sikap yang sama diantara pelaksanaan termasuk badan peradilan dalam melaksanakan kebijakan yang dituangkan dalam peraturan tersebut, sehingga timbul kesan seakan-akan hukum tidak atau kurang memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.

3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

4Maria S.W.Sumardjono,Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008, hal. 281.


(23)

Pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran dan fungsi tanah dalam kehidupan manusia serta prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan ditempuh dengan jalan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah.

Apabila pengadaan tanah melalui musyawarah tidak mendapatkan jalan keluar antara pemerintah dengan pemegang hak atas tanah, sedangkan tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum, maka dapat ditempuh dengan cara pencabutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.

Berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005, dalam Pasal 5 huruf (m) disebutkan Kantor Pemerintah termasuk salah satu bidang pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Perpres Nomor 65 Tahun 2006 telah merubah Pasal 5 (lima) tersebut dari 21(dua puluh satu) bidang pembangunan untuk kepentingan umum menjadi 7 (tujuh) bidang dan Kantor Pemerintah dihapus dari kategori salah satu bidang pembangunan untuk kepentingan umum. Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 pada Pasal 10 huruf (n) kembali menyebutkan ”Kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/Desa” merupakan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1)5digunakan untuk pembangunan.

Hal ini terjadi pula dalam pemberian ganti rugi pengadaan tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Pengadaan tanahnya

5Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. ”Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menjamin tersedianya tanah untuk Kepentingan Umum”.


(24)

dilaksanakan mulai tahun 2006 yang hingga saat ini belum selesai karena terganjal masalah pemberian ganti kerugian atas tanahnya. Tidak semua pemilik tanah menerima ganti kerugian yang ditawarkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Timur dan proses pembangunan fisik Pusat Pemerintahannya juga belum terlaksana secara tuntas. Tanah yang sebahagian besar telah dibebaskan tersebut terletak di Desa Titi Baro dan Seunebok Tengoh Kecamatan Idi seluas 55 Ha.

Penentuan harga besarnya pemberian ganti kerugian telah dilakukan oleh Tim pengadaan tanah yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati Aceh Timur Nomor 590/59/2012 tentang Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2012 dan Keputusan Bupati Aceh Timur Nomor 590/109/2012 tentang Pembentukan Tim Penilai Harga Tanah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2012 dengan warga masyarakat pemilik tanah yang terkena Pembangunan Pusat pemerintahan, melalui pertemuan yang telah diadakan.

Proses ganti rugi harga tanah dibedakan atas 3 (tiga) Ring. Ring I dimulai dari pinggir jalan hitam dengan jarak 0-50 meter dengan harga Rp. 175.000,-/m², Ring II berjarak 50-100 meter dengan harga Rp. 125.000/m², dan Ring III jaraknya 100 meter dan seterusnya dengan harga Rp. 75.000/m². Tetapi masyarakat pemilik hak atas tanah setelah mengetahui pembebasan tanah tersebut untuk pembangunan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, berkesempatan menjual dengan harga yang tinggi padahal mereka tahu bahwasanya pembangunan tersebut untuk kepentingan umum.

Dampaknya terjadi pada pelaksanaan ganti rugi harga tanah yang sampai saat ini belum tuntas dan berlarut-larut, karena Anggaran Pemerintah daerahpun terbatas


(25)

setiap tahunnya. Akhirnya Pemerintah Kabupaten Aceh Timur melakukan Ganti rugi hak atas tanah tersebut dengan harga yang ditetapkan masyarakat pemilik hak atas tanah.

“Menurut Ahmad Husein Hasibuan ada 2 (dua) kendala yang terdapat dalam pelaksanaan pembebasan tanah : Faktor Psikologis masyarakat dan Faktor Dana. Kendala yang merupakan faktor psikologis masyarakat adalah :6

1). Masih ditemui sebagian pemilik yang menguasai tanah beranggapan Pemerintah tempat bermanja-manja meminta ganti rugi, karenanya meminta ganti rugi yang tinggi, tidak memperdulikan jiran/tetangga yang bersedia menerima ganti rugi yang dimusyawarahkan;

2). Masih ditemui pemilik yang menguasai tanah beranggapan pemilikan tanahnya adalah mulia dan sakral, sehingga sangat enggan melepaskannya walau dengan ganti rugi, karenanya mereka bertahan meminta ganti rugi yang sangat tinggi.

3). Kurangnya kesadaran pemilik yang menguasai tanah tentang pantasnya mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri.

Selanjutnya, kendala yang merupakan faktor dana adalah keterbatasan dana pembebasan tanah sehingga tidak mampu membayar ganti kerugian dengan harga wajar menurut pasar umum setempat.”

Pengadaan tanah membawa konsekuensi pada berkurang harapan pemegang hak atas tanah terhadap tanah dan benda-benda berada di atasnya yang selama ini dikuasainya. Lazim terjadi pada pengadaan tanah untuk kepentingan umum terjadi konflik antara yang memerlukan tanah (pemerintah) dengan masyarakat pemegang hak atas tanah, karena pemegang hak atas tanah akan menerima ganti rugi harga tanah, bangunan dan tanaman tidak sesuai dengan nilai sebenarnya.

Konflik antara pemegang hak atas tanah dengan panitia pengadaan tanah terjadi bilamana proses pengadaan tanah tidak mempertimbangkan penetapan harga ganti rugi berdasarkan proses musyawarah. Menurut Dadang Juliantoro menyatakan

6 Ahmad Husein Hasibuan, Masalah Perkotaan Berkaitan dengan Urbanisasi dan


(26)

bahwa masalah-masalah pengadaan tanah yang dapat menyulut sengketa pada umumnya karena :

a. Ganti rugi yang tidak memadai.

b. Proses pembebasan yang tidak demokratis dan cenderung manipulatif. c. Penolakan pemilik tanah untuk menyerahkan tanahnya atau tanah miliknya. d. Ketidakpastian hidup pasca penggusuran.

e. Penggunaan atau melakukan kekerasan dalam proses pembebasan/pengadaan tanah.7

Menurut Abdurrahman, tanah dapat dinilai sebagai harta yang bersifat permanen karena tanah dapat dicadangkan untuk kehidupan mendatang, dan tanah pula sebagai tempat persemayaman terakhir bagi seseorang meninggal dunia.8 Oleh karena itu segala masalah tanah yang muncul dalam proses pengadaan tanah harus ditangani secara konseptual dan terencana untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat yang tanahnya turut dibebaskan.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur dilakukan secara bertahap karena keterbatasan dana yang tersedia dalam Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Timur.

Mengenai besarnya ganti rugi dan bentuk ganti rugi diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dengan tegas dinyatakan bahwa dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak

7Dadang Juliantoro, Sengketa Agraria, Modal dan Transformasi Tanah Rakyat dan

Demokrasi,forum LSM/LPSM, Yogyakarta, 1995. Hal. 117-118.

8Abdurrahman,Aneka Masalah Hukum agraria Dalam Pembangunan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978. Hal. 1.


(27)

tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh Panitia. Disamping itu, bentuk dan besarnya ganti rugi ditetapkan dalam musyawarah. Musyawarah dalam penetapan harga ganti rugi merupakan hal yang mutlak harus dilaksanakan panitia pengadaan tanah. Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, disebutkan musyawarah dapat diartikan sebagai proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kerelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi.

Pelaksanaan ganti rugi pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, sebenarnya disadari oleh masyarakat untuk kelanjutan pembangunan di Kabupaten Aceh Timur yang mengalami pemekaran. Makanya ada yang secara ikhlas menyerahkan tanahnya untuk pembangunan agar terwujud kesejahteraan masyarakat lahir dan bathin. Ada pula masyarakat yang tidak dapat menerima tanahnya diambil oleh pemerintah dengan kesewenangannya dan membayar harga ganti rugi tidak sesuai dengan harga sebenarnya. Hal ini menyebabkan pemegang hak atas tanah berusaha mempertahankan dengan alasan tidak sesuai harga tanah yang sebenarnya dan khawatir untuk memulai kehidupan ditempat yang baru.

Berdasarkan uraian di atas dan ketentuan-ketentuan yang ada, maka peneliti berkeinginan mengkaji permasalahan tersebut dalam Tesis dengan judul“Hambatan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah Untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur”.


(28)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam penulisan Tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah Pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan

Kabupaten Aceh Timur telah sesuai dengan ketentuan Pengadaan tanah saat ini ? 2. Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat pelaksanaan ganti rugi tanah untuk

Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ?

3. Bagaimana upaya yang ditempuh untuk mengatasi hambatan dalam Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis.9

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk

Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur telah sesuai dengan ketentuan Pengadaan tanah saat ini.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor penghambat pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.


(29)

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya yang ditempuh dalam mengatasi hambatan Pelaksanaan Ganti Rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.

C. Manfaat Penelitian

Melalui pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagaimana dijelaskan dibawah ini :

1. Secara teoritis

Dalam penelitian ini, diharapkan hasilnya mampu memberikan sumbangan dan bahan masukan serta pengkajian lebih lanjut terhadap perkembangan pembangunan Hukum Agraria khususnya Hukum Pertanahan tentang ganti rugi tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.

2. Secara praktis

Selain kegunaan secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini juga mampu memberikan sumbangan secara praktis, yaitu :

- Memberi sumbangan pemikiran kepada semua pihak yang terkait dalam pelaksanaan pembangunan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. - Memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya penyelesaian sengketa yang

timbul berkaitan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk pembangunan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik berdasarkan penelitian sebelumnya, khususnya pada Magíster Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan pada Magíster Ilmu Hukum USU umumnya, dan


(30)

sejauh yang telah diketahui bahwa penelitian tentang ini belum ada yang meneliti sebelumnya, sehingga peneliti mencoba untuk mengangkatnya dalam sebuah tesis, mengingat Penelitian ini asli baik dari segi lokasi, ruang lingkup permasalahan dan materinya sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan sebelumnya dengan judul penelitian tesis ini adalah:

1. Tesis saudara Bangun P. Nababan, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2009, dengan judul: “Penyelesaian ganti rugi tanah untuk pembangunan Bandar Udara Silangit Siborong-borong Kabupaten Tapanuli Utara”, dengan beberapa permasalahan yang diteliti yaitu bagaimana status hak atas tanah di areal Bandar Udara Silangit Siborong-borong, bagaimana pengadaan tanah masyarakat adat bagi pelaksanaan pembangunan Bandar Udara Silangit Siborong-borong, apakah faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menyelesaikan ganti rugi tanah adat Siborong-borong.

2. Tesis saudara Azwir, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2009, dengan judul: “Pelaksanaan ganti rugi hak atas tanah untuk kepentingan umum pengembangan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Provinsi Aceh)”, dengan beberapa permasalahan yang diteliti yaitu bagaimana pelaksanaan ganti rugi harga tanah untuk kepentingan umum Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Provinsi Aceh, Faktor-faktor penyebab adanya penolakan harga ganti rugi tanah Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Provinsi Aceh, apakah upaya yang ditempuh


(31)

dalam penyelesaian masalah ganti rugi harga tanah pengembangan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Provinsi Aceh.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.10 Teori diperlukan untuk menerangkan dan menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,11 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya dengan fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.12

Kerangka teori yang digunakan adalah teori keadilan pemikiran Roscoe Pound yang menganut teori Sociological Jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) di masyarakat.13Teori Roscoe Pound dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya berjudul Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, dimana hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat (a tool of social engineering). Disamping itu juga dikembangkan bahwa hukum dapat pula dipakai sebagai sarana dalam proses

10M.Solly Lubis,Filsafat dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80.

11J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal 203.

12Ibid, halaman 16.

13 Roscoe Pound dalam Dayat Limbong, Penataan Lahan Usaha PK-5 Ketertiban


(32)

pembangunan. Demikian pula halnya bahwa hukum secara potensial dapat digunakan sebagai sarana pembangunan dalam berbagai sektor atau bidang kehidupan.14

Pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah membawa konsekwensi kepada dampak terhadap lingkungan hidup. Dampak tersebut semakin besar dengan berkembangnya kehidupan ekonomi dan teknologi, sehingga dirasakan perlu mengelola dampak kegiatannya pada lingkungan hidup. Demikian pula halnya dengan pengembangan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang telah berdampak kepada pembebasan lahan masyarakat dengan melakukan pembayaran ganti rugi harga tanah, bangunan dan tanaman yang berada di atasnya kepada pemegang hak atas tanah dengan harga yang layak.

Hak-hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang ketentuan pokoknya diatur dalam UUPA serta hak lain dalam hukum adat setempat, yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk memakai status bidang tanah tertentu dalam memenuhi kebutuhan hidup dan usahanya. Hak-hak atas tanah tersebut diatur dalam Pasal 4,9, 16 dan BAB II UUPA.15 Dengan diberikan hak atas tanah, maka akan terjalin hubungan hukum dan dapat melakukan perbuatan hukum oleh pemegang hak atas tanah kepada pihak lain. Diantara perbuatan hukum tersebut, berupa jual-beli, tukar menukar dan lain-lain.16Dalam penggunaannya menurut Boedi Harsono yang dikutip Sofyan Ibrahim meliputi tubuh bumi serta air serta ruang

14 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, PT.Alumni, Bandung, 2006, hal 20-21 dan hal 24.

15 Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, 2005, hal 41.


(33)

angkasa yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan tanah tersebut.17

Dalam perkembangannya Istilah “Pengadaan tanah” menjadi popular setelah Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tanggal 17 Juni 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, lalu istilah tersebut berlanjut pemakaiannya pada Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006.18 Pada tanggal 14 Januari 2012, kembali Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sampai saat ini masih menunggu Ketentuan Pelaksanaannya.

Menurut Maria SW Sumardjono yang dikutip Muhammad Yamin, Istilah Pengadaan Tanah ini menjadi pengganti dari istilah “Pembebasan Tanah” yang mendapat respons kurang positif di tengah-tengah masyarakat sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang ditimbulkan dalam pelaksanaannya di lapangan, sekaligus bermaksud untuk menampung aspirasi berbagai kalangan dalam masyarakat sebagai reaksi terhadap eksist-eksist pembebasan tanah yang selama ini terjadi.19

Dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum, yang berhak atas ganti rugi ialah mereka yang berhak atas tanah bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, dengan berpedoman dengan hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan

17 Sofyan Ibrahim, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Dilihat dari Aspek Yuridis

Sosiologis, Hukum, Volume 5 Nomor 1, Februari 2000-1-152, hal.153

18 Muhammad Yamin Lubis, Pencabutan Hak, Pembebasan dan Pengadaan Tanah, CV. Mandar Maju, Bandung, 2011, halaman 53.


(34)

dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan Kebijakan Pemerintah. Hak-hak adat yang mereka miliki atas tanah janganlah dipandang berbeda dengan hak lain, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, untuk itu terlebih dahulu harus mengetahui status tanah dan riwayat tanah, apakah tanah adat yang berstatus hak milik. Maka dalam kaitan ini hak milik adat sudah dikesampingkan oleh pemerintah walaupun tanah yang mereka miliki sudah turun temurun dikuasai secara fisik dan terdapat bukti-bukti yang kuat adanya bangunan dan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Sajuti Thalib, Undang-undang Pokok Agraria sebagai hukum agraria nasional telah menjamin bahwa semua warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak dan manfaat atas tanah.20

Oleh karena itu sebagaimana disebut di atas hak milik adat yang dikuasai oleh masyarakat dan pada lokasi tersebut akan dilaksanakan pembangunan untuk sarana kepentingan umum tetap dibayar ganti rugi yang wajar sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sama dengan pembayaran ganti rugi terhadap hak-hak lainnya atas tanah, bangunan dan tanaman dengan tata cara yang diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Pada asasnya jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan pemiliknya yaitu dengan cara jual-beli, tukar menukar dan sebagainya. Tetapi cara tersebut tidak selalu membawa hasil yang diharapkan, kemungkinan pemilik tanah meminta harga yang terlampau tinggi atau tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan itu. Dengan demikian jika hal tersebut memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalam keadaan yang


(35)

memaksa, yaitu dengan jalan musyawarah tidak membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan. Pengambilan itu dilakukan dengan jalan mengadakan pencabutan hak sebagai yang dimaksud dalam pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria.21

Ganti rugi tanah dapat dikaji dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-undangPokok Agraria (UUPA), yaitu:

Pertama, menurut KUHPerdata tinjauan ganti rugi meliputi persoalan menyangkut maksud ganti rugi, bilamana ganti rugi dilakukan, bagaimana urusan ganti rugi dan bagaimana peraturan diatur dalam undang-undang.

Kedua, dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) berkaitan dengan pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum dan karena penyerahan hak secara sukarela oleh pemiliknya. Dimana diatur dalam pasal 18, yang berbunyi : “Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.”

Masalah pembebasan tanah, tidak dapat dicampur adukkan antara pencabutan hak atas tanah dengan pengadaan tanah. Dimana pencabutan hak atas tanah secara tegas diatur dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961.

Peraturan yang mengatur tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum dan pembebasan tanah tersebut dapat dilihat dari dua segi. Disatu

21Syafruddin Kalo,Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, Hal. 26.


(36)

pihak merupakan suatu landasan hukum bagi pihak pemerintah untuk memperoleh tanah penduduk yang diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum dan kepentingan pembangunan atau untuk kepentingan yang dapat menunjang kepentingan nasional, sedangkan dipihak lain adalah merupakan suatu jaminan bagi warga masyarakat tentang hak atas tanah daripada tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa.22

Sedangkan Pengadaan tanah diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, yang dalam Pasal 74 dinyatakan bahwa Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 dinyatakan tidak berlaku.23 Oleh karenanya dalam rangka mengisi dan melaksanakan pembangunan untuk sarana kepentingan umum perlu adanya pengaturan pengadaan tanah yang merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk meningkatkan/menunjang pembangunan melalui musyawarah dan mufakat dengan pemilik/pemegang hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

22Ibid, Hal. 33.


(37)

Menurut Budi Harsono, dimana pengadaan tanah bagi pelaksanaan kepentingan umum harus dilakukan dengan musyawarah sesuai maksud Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, yaitu proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang di dasarkan atas kerelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan menguraikan bentuk ganti rugi dan besarnya ganti kerugian.24

Upaya pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kegiatan yang menunjang kepentingan umum, dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum telah memberikan definisi kepentingan umum adalah ”kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat”25 dan kegiatannya haruslah dilakukan oleh pemerintah, kemudian dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Dalam upaya pengadaan tanah tersebut sudah barang tentu harus diberikan ganti kerugian yang adil bagi para pemegang hak yang tentunya tidak sama dengan harga tanah di pasaran bebas. Aktivitas pemerintah dalam melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut merupakan campur tangan pemerintah terhadap pasar tanah.26

24Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jambatan, Jakarta, 1995 hal 191.

25 Lihat pasal 1 angka 5 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah Bagi pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

26 Maria S.W.Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008, Op.cit, hal. 223.


(38)

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu yang abstrak menjadi status yang kongkrit, yang disebut denganoperacional definition.27Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.28 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara opersional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang ditentukan, yaitu:

a. Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.29

b. Pemegang hak atas tanah adalah seseorang atau badan hukum yang telah mendapat hak atas sebidang tanah dan melakukan perbuatan hukum sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agaria.

b. Ganti Rugi merupakan penggantian kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah untuk pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur kepada pemegang hak atas tanah.

27 Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993. Hal. 10.

28 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia ; Suatu Tinjauan Putusan

Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan, PPS-USU, 2002, hal. 35.

29Lihat Ketentuan Pasal 1 angka (3)Perpres Nomor 65 Tahun 2006tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum


(39)

c. Hak atas tanah adalah hak atas sebidang tanah sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

d. Panitia Pengadaan tanah merupakan panitia yang dibentuk oleh Bupati Aceh Timur untuk membantu pengadaan tanah bagi pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.

e. Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah Lembaga/Tim yang profesional dan Independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi dalam pengadaan tanah bagi pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. f. Musyawarah merupakan kegiatan yang mengandung proses saling mendengar,

saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.

g. Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian diskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendiskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistimatis, faktual, dan akurat tentang kasus hambatan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.


(40)

Penelitian yang bersifat deskriptif analitis atau analisa umum dengan sumber kepustakaan untuk menjawab permasalahan dan menggunakan logika berfikir yang ditempuh melalui penalaran induktif, deduktif, dan sistematis dalam penguraiannya. Dalam penelitian ini dipergunakan metode studi kasus analisis secara yuridis normatif dan secara yuridis sosiologis. Penelitian hukum empiris dan sosiologis merupakan gejala masyarakat, disatu pihak dapat dipelajari sebagai suatu variable penyebab (independent variable) yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai kehidupan sosial.

Mengingat bahwa penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis, maka mengkaji bahan-bahan kepustakaan, buku-buku, dan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kasus pelaksanaan ganti rugi tanah dalam proses pengadaan tanah oleh pemerintah atas kepunyaan masyarakat, kemudian norma-norma dari perundang-undangan tersebut dikaitkan dengan kasus-kasus yang diperoleh dilapangan tentang pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.

Sifat dan Jenis Penelitian ini adalah normatif dan sosiologis yaitu penelitian buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, yurisprudensi, dan bahan-bahan lainnya dan penelitian yuridis sosiologis untuk menyelidiki dan mempelajari gejala-gejala sosial mengenai hambatan pelaksanaan ganti rugi tanah dan benda-benda diatasnya dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur untuk mendapatkan data sekunder, dan data


(41)

primer yang dihubungkan secara langsung dari kasus-kasus yang ditemukan dari responden dan informan di lapangan.

2. Pendekatan Penelitian

Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penyebaran kuisioner serta studi terhadap bahan-bahan dokumen lainnya.

a. Kuisioner dengan menggunakan pedoman daftar kuisioner dan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Langkah pertama dilakukan daftar kuisioner bersifat tertutup dan terbuka terhadap para pemegang hak atas tanah yang terkena proyek pembangunan sebagai responden dan informan untuk memperoleh informasi data primer. Wawancara dilakukan wawancara bagi nara sumber dan informan untuk melengkapi data dan untuk menjawab permasalahan yang ada. Responden dan Informan dimaksud yaitu :

- 50 warga masyarakat yang tanahnya terkena proyek pembangunan pusat pemerintahan.

- Kepala Kantor Pertanahan (BPN) Aceh Timur.

- Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU), Kepala Bappeda, Kepala Bagian Administrasi Pertanahan Setdakab Aceh Timur, Ketua Panitia Pengadaan Tanah, dan Ketua Tim Penilai/Penaksir Harga Tanah.

b. Bahan-bahan dokumen atau bahan pustaka.

Bahan-bahan dokumentasi diperoleh dari berita koran, mempelajari dan menganalisis literatur atau buku-buku, dan peraturan perundang-undangan. Studi kepustakaan sebagai bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah pelaksanaan pelepasan hak atas tanah. Demikian


(42)

pula dikaji bahan hukum sekunder berupa karya hasil penelitian. Untuk melengkapi bahan hukum tersebut didukung oleh bahan tersier seperti kamus, ensiklopedia, media massa dan lain sebagainya.

3. Sumber Data

Bahan penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder yaitu berupa :

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dilapangan dengan menyebarkan kuisioner kepada nara sumber dan informan ditambah dengan data wawancara, jika dirasa data yang didapat dengan kuisioner belum mencukupi untuk menjawab permasalahan yang ada.

b. Data Sekunder dilakukan dengan menghimpun bahan berupa :

1. Bahan hukum primer yang merupakan peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pertanahan khususnya pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

2. Bahan hukum sekunder yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer antara lain berupa tulisan atau pendapat pakar hukum dibidang pertanahan mengenai asas-asas berlakunya hukum pertanahan terutama dalam menetapkan kebijakan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

3. Bahan hukum tersier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan berbagai majalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.


(43)

4. Teknik Pengumpulan Data

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemegang hak atas tanah yang tanahnya mengalami pelepasan hak, dimana antara satu populasi dengan populasi lain mempunyai karakteristik sama yang menyebabkan sampel identik dengan populasi. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu dengan menentukan sendiri sampel mana yang dapat mewakili populasi.30 Tahapan penentuan terlebih dahulu ditetapkan ciri atau karakteristik dari sampel, menurut jenis dan status tanah yang dikuasai responden, letak geografis, tahapan pelepasan hak, kemudian ciri-ciri tersebut diterapkan pada sampel, kemudian dipilih mana yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.31

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dilaksanakan dua tahap penelitian yaitu penelitian kepustakaan dan studi lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, baik berupa bahan hukum primer dan sekunder maupun bahan hukum tersier. Setelah diinventarisasi dilakukan penelaahan untuk membuat intisari dari setiap peraturan yang berhubungan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Selanjutnya dilakukan studi lapangan terhadap responden dalam rangka memperoleh data primer melalui alat pengumpulan data yang merupakan bahan utama dalam penelitian ini. 5. Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif analitis. Data yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi dokumen pada dasarnya merupakan data tataran yang

30Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal.91 31Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984, hal.31.


(44)

dianalisis secara pendekatan kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.32 Dengan metode deduktif dapat menggambarkan ketentuan-ketentuan pelaksanaan ganti rugi terhadap hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya dalam proses hambatan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Timur dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

32Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, cetakan 3, 1998, Hal. 10


(45)

BAB II

PENGATURAN PELAKSANAAN GANTI RUGI TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH

TIMUR A. Gambaran Umum Kabupaten Aceh Timur.

1. Letak Geografis

Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu kabupaten dari 24 Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh, yang memiliki letak yang sangat strategis sebagai penghubung antara ibukota Pemerintahan Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Aceh Timur terletak di antara koordinat 4°09’21,08” -5°06’02,16 Lintang Utara dan 97°15’22,07” - 97º34’47,22” Bujur Timur.33

Aceh Timur memiliki luas wilayah 6.040,60 Km² atau 10,53% dari Luas Pemerintah Aceh dengan batas-batas wilayahnya sebagai berikut :34

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tamiang - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bener Meriah.

Secara Administratif Kabupaten Aceh Timur terdiri dari 24 Kecamatan, 511 Desa (Gampong) dari 45 Mukim yang terdiri atas 1596 Dusun. Adapun kecamatan yang terluas dari 24 Kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Timur adalah Kecamatan Serbajadi (Lokop) dengan luas wilayah 1.903,40 KM² atau sekitar 31,51% dari luas wilayah Kabupaten Aceh Timur. Sedangkan kecamatan yang terkecil

33Bappeda Aceh Timur,Kabupaten Aceh Timur dalam Angka Tahun 2011, Hal. 4. 34Ibid, Hal. 5.


(46)

adalah Kecamatan Darul Falah (Ulee Gajah) dengan luas wilayah 42,40 KM² atau 0,70% dari luas wilayah Kabupaten Aceh Timur.35

2. Penetapan Lokasi Kabupaten Aceh Timur

Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu Kabupaten yang mengalami pemekaran berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah, terletak di provinsi Aceh. Kabupaten Aceh Timur mengalami pemekaran 3 (tiga) Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Timur, Pemerintah Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tamiang.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 5 Tahun 2007 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Aceh Timur dari Wilayah Kota Langsa ke Wilayah Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur. Pusat Pemerintah Kabupaten Aceh Timur yang sebelumnya berada di Kota Langsa pindah ke Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur. Sehingga relokasi pusat pemerintahan dan semua kegiatan pemerintahan pindah ke Kecamatan Idi Rayeuk. Dengan pertimbangan yang didasarkan pada letak kecamatan Idi Rayeuk merupakan letak yang strategis dan dapat terjangkau oleh semua kecamatan dalam kabupaten Aceh Timur dan Lokasi Pembangunan Pusat pemerintahan yang dekat dengan jalan Lintas Sumatera, sehingga nantinya dapat mendukung perekonomian dan pembangunan masyarakat Aceh Timur ke depan.36

35Ibid, Hal. 6 36Ibid,Hal.8


(47)

Mengingat pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur adalah untuk kepentingan umum37 maka tanah-tanah yang berada di sekitar lokasi tanah yang dibebaskan yaitu terdiri dari 2 (dua) Desa (Gampong) yaitu Desa Titi Baro dan Desa Seunebok Teungoh Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur harus terlebih dahulu dilakukan pelepasan hak atau pembebasan hak atas tanah.38

Pengadaan tanah untuk pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur merupakan program yang sudah harus diselesaikan. Sebagai dasar pembebasan tanah untuk kepentingan umum telah disusun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Aceh Timur.39 Adanya RTRW ini terpenuhilah persyaratan dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum. Untuk maksud pasal 4 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006, dinyatakan :

“Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan lebih dahulu.”40

Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah di Kabupaten Aceh Timur sampai saat ini masih berpedoman kepada Perencanaan Ruang Wilayah atau Kota yang telah ada, mengingat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) masih dalam

37Kepentingan Umum sesuai dalampasal 1 angka 5 Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun

2005adalah Kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat.

38 Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) Kabupaten Aceh Timur Tahun 2011,Bagian Pertanahan setdakab Aceh Timur, Hal. 52

39Lihat Pasal 4 ayat (1) Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

40 Lihat Pasal 4 ayat (1) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan Umum.


(48)

proses penyelesaian. Hal ini tidak bertentangan dengan maksud pasal 4 ayat (2), dimana disebutkan :

“Bagi Daerah yang belum menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah, Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada”.41

Selanjutnya mengacu pada Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk :

1. Mengetahui rencana tata ruang;

2. Berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;

3. Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.

Menurut Husni Thamrin mengatakan bahwa RTRW Kabupaten Aceh Timur masih dalam proses, dan sampai saat ini belum selesai karena mengacu kepada RTRW Provinsi. Draft RTRW masih dalam tahap penyelesaian dan belum disahkan DPR Provinsi Aceh.42

Pasal 5 Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 menyebutkan pada huruf (m), Kantor Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga Internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, merupakan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Setelah terbitnya Peraturan

41 Lihat Pasal 4 Perpres Nomor 36 Tahun 2005tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan Umum.

42Husni Thamrin, Kepala Bappeda Kabupaten Aceh Timur,WawancaraTanggal 26 April 2012.


(49)

Presiden Nomor 65 Tahun 2006, pembangunan untuk kepentingan umum ini mengalami perubahan, sebagaimana diatur dalam pasal 5. Mengenai tolak ukur dari kepentingan umum dalam pasal 5 mencoret kategori bidang pembangunan yang masuk dalam kepentingan umum dari semula 21 (dua puluh satu) bidang menjadi 7 (tujuh) bidang saja, yakni :

“Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, selanjutnya dimiliki dan akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :

1. Jalan Umum dan Jalan Tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

2. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; 3. Pelabuhan, Bandar Udara, Stasiun Kereta api dan Terminal;

4. Fasilitas Keselamatan Umum, seperti Tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana;

5. Tempat-tempat Pembuangan sampah; 6. Cagar Alam dan Cagar Budaya; dan

7. Pembangkit, Transmisi, distribusi tenaga listrik.”43

Jelas terlihat bahwa telah ada pembatasan kategori pembangunan untuk kepentingan umum. “Kantor Pemerintah” dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 ini tidak lagi termasuk dalam kategori Kepentingan Umum.

43 Lihat Pasal 5 Peraturan Presiden RI Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.


(50)

“Menurut Muhammad Yamin, Sekalipun telah ada pembatasan kategori pembangunan untuk kepentingan umum secara limtatif, namun tetap saja ada kekhawatiran ketika berbicara dalam tataran pelaksanaan, yang tidak tertutup kemungkinan terulang lagi pengabaian hak-hak rakyat yang dipraktekkan kepentingan pembangunan dalam rangka kepentingan umum. Seperti tertuang dalam penjelasan Pasal 28-G ayat (1) dan 28-H Undang-Undang Dasar 194544. Hal itu penting karena tindakan yang merugikan rakyat apalagi mengabaikan hak-hak rakyat atas tanah sekalipun demi program pembangunan umum tidak dapat lagi ditolerir, sebab konstitusi telah menggariskan dengan tegas adanya jaminan dan perlindungan atas hak-hak kebendaan yang dimiliki rakyat”.45

Kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan membutuhkan tanah, tetapi disisi lain tanah negara yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut sudah semakin terbatas, karena tanah yang ada sebagian telah dikuasai/dimiliki oleh masyarakat dengan suatu hak. Agar momentum pembangunan tetap dapat terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum yang memerlukan bidang tanah, maka upaya hukum dari pemerintah untuk memperoleh tanah-tanah tersebut dalam memenuhi pembangunan antara lain dilakukan melalui pendekatan pembebasan hak maupun pencabutan hak.46

B. Pengaturan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah Untuk Kepentingan Umum. Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk kepentingan umum tidak terlepas dari Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan umum. Ketentuan Pokok yang mengatur pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

44Penjelasan Pasal 28-G ayat (1) dan 28-HUndang-Undang Dasar 1945, yang dirumuskan dengan kalimat :”Konstitusi memberikan jaminan atas hak-hak kebendaan untuk dimiliki secara pribadi dari gangguan siapa pun termasuk dari negara, serta sudah kehendak Konstitusi untuk membangun negara yang demokratis dan berperikemanusiaan”.

45 Muhammad Yamin dan Abdul Rahim Lubis, Pencabutan Hak, Pembebasan, dan

Pengadaan Tanah,Mandar Maju, Bandung, 2011, Hal. 8.

46 Irene Eka Sihombing,Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan Tanah untuk


(51)

untuk Kepentingan Umum. Ketentuan ini kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Guna melengkapi ketentuan tersebut diterbitkanlah Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pada tanggal 14 Januari 2012 diundangkanlah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Pelaksanaannya masih dalam proses.

Sejalan dengan perubahan peraturan tentang Pengadaan Tanah, Mekanismenya pun mengalami perubahan yakni terdapat unsur Lembaga Penilai Independen yang dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005 dapat menetapkan harga namun dalam revisinya lembaga Independen hanya melakukan penilaian dasar ganti rugi sedangkan penetapan besarnya ganti rugi ditetapkan oleh Panitia pengadaan Tanah. Komposisi Panitia Pengadaan Tanah juga mengalami perubahan dengan masuknya unsur Badan Pertanahan Nasional dalam keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah.

Ketentuan Pengadaan tanah dalam Perpres tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan


(52)

umum. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan kepentingan umum ini oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah.

Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur sudah dilaksanakan selama 6 (enam) tahun mulai sejak tahun 2006 sampai dengan sekarang, dengan menggunakan biaya Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Timur. Proses Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah tersebut sampai sekarang belum tuntas akibat adanya beberapa hambatan yang disebabkan dari pemerintah dan masyarakat sendiri.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus di dahulukan dari kepentingan orang perseorangan, dalam keadaan memaksa dan tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah maka dilakukan pencabutan Hak atas Tanah. Adapun Pencabutan hak atas tanah diatur dalam pasal 8 (delapan) Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

Pengaturan Ganti Rugi Tanah mengacu pada ketentuan yang berlaku dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

1. Pengertian Ganti Rugi.

Dalam Pengadaan Tanah yang menjadi masalah pokok adalah masalah pemberian ganti rugi, masyarakat rela tanahnya diambil oleh pemerintah di dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, apalagi di dalam Pasal 6 UUPA yang menyebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial artinya kita lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas daripada kepentingan pribadi atau


(1)

dibuatkan Berita Acara Penyerahan Ganti Rugi atau Berita Acara Penawaran Penyerahan Ganti Rugi.

Apabila pemilik tetap menolak, Panitia Pengadaan Tanah membuat Berita Acara Penyerahan Ganti Rugi, dan berdasarkan Berita Acara tersebut Panitia Pengadaan Tanah memerintahkan agar instansi yang memerlukan tanah menitipkan uang ganti rugi ke Pengadilan Negeri setempat. Hasil Musyawarah dibuat oleh Panitia Pengadaan Tanah yang dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh seluruh angggota Panitia, instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan para pemilik.

Dalam Pengadaan tanah untuk pembangunan gedung kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, sampai sekarang tetap sama upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu melakukan pendekatan terhadap masyarakat dan memberikan pengertian bahwa fungsi Pusat Pemerintahan tersebut sangat diperlukan dalam pelaksanaan roda pemerintahan untuk Kabupaten baru akibat pemekaran wilayah, supaya pembangunan tidak terkendala atas kekurangan tanah dan masalah ganti rugi yang diadakan dengan keputusan berdasarkan musyawarah.135

135Saifannur, Ketua Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2012, Wawancara, tanggal 12 April 2012.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur sudah sesuai dengan Ketentuan yang berlaku tetapi pembayaran ganti ruginya tidak dilakukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai nyata sebenarnya seperti Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf a Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan Ketentuan Pasal 28 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007, dimana Tim Penilai Harga Tanah melakukan penilaian berdasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan. Pembayaran ganti rugi yang dilakukan adalah di atas harga pasar sesuai permintaan pemegang hak atas tanah.

2. Faktor yang menjadi penghambat Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur adalah Faktor Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat yang meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan, luas penguasaan tanah, lamanya penguasaan hak atas tanah yang berpengaruh terhadap kesadaran masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum. Faktor tidak adanya Kesepakatan dalam Proses Musyawarah sehingga kegiatan proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat tidak berjalan sehingga masih ada masyarakat yang belum ikhlas melepaskan hak atas


(3)

tanahnya untuk dibebaskan. Faktor Tuntutan Ganti Rugi di atas Harga Pasar yang merupakan faktor dominan sehingga menyebabkan pelaksanaan ganti rugi tanahnya belum selesai karena terbatasnya APBK Aceh Timur.

3. Upaya yang ditempuh dalam mengatasi hambatan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur diantaranya adalah dengan upaya pendekatan secara sosiologis terhadap masyarakat pemegang hak atas tanah dimana dibutuhkan peran tokoh masyarakat (Ulama) agar masyarakat pemegang hak atas tanah mau melepaskan hak atas tanahnya untuk kepentingan umum. Upaya Pembayaran Harga Ganti Rugi di atas Harga Pasar oleh Pemerintah sesuai keinginan masyarakat pemegang hak atas tanah untuk mempercepat proses pembebasan tanah dan Upaya penyelesaian ganti rugi dengan cara bertahap karena terbatasnya Anggaran pada APBK Aceh Timur sehingga dilakukan Penyelesaian ganti rugi selama 7 (tujuh) tahun dari tahun 2006 sampai dengan sekarang akibat keadaan yang tidak kondusif dan dibutuhkan dana yang cukup besar untuk membebaskan tanah seluas 55.000 M².

B. Saran

1. Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur melalui Tim Penilai Harga Tanah agar dalam pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur selain berdasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, juga dapat berpedoman kepada lokasi dan letak tanah, status tanah, peruntukan tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana


(4)

tata ruang wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada, sarana dan prasarana yang tersedia dan faktor lain yang mempengaruhi harga tanah.

2. Disarankan kepada panitia pengadaan tanah untuk lebih melakukan pendekatan kepada masyarakat dan menjaga hubungan emosional dalam melaksanakan tahapan atau proses pengadaan tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur agar masyarakat mengetahui begitu pentingnya pelaksanaan pembangunan untuk kesejahteraan dan cepat dapat melepaskan hak atas tanahnya untuk kepentingan umum. Dan kepada masyarakat Aceh Timur juga di sarankan untuk menerima program pemerintah dalam mempercepat Pembangunan demi kesejahteraan seluruh masyarakat sesuai dengan maksud Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 6 UUPA.

3. Disarankan kepada Bupati Aceh Timur dalam merekrut Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah, harus dilakukan dengan selektif dan profesional, sehingga menghasilkan Tim Penilai harga Tanah yang betul-betul memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugasnya guna mencapai kesepakatan atas besarnya ganti rugi dan bentuk ganti rugi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Pegadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Indonesia, Bandung,

PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Ashshofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.

Harsono, Boedi, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, 2005.

______________,Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jambatan, Jakarta, 1995.

Ibrahim, Sofyan,Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Dilihat dari Aspek Yuridis

Sosiologis, Hukum, Volume 5 Nomor 1, Februari 2000-1-152.

Kalo, Syafruddin, Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Jakarta, Pustaka Bangsa Press, 2004.

Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia ; Suatu Tinjauan Putusan

Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan, PPS-USU,

2002.

Kusumaatmadja, MochtarKonsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, PT.Alumni, Bandung, 2006.

Lubis, M. SollyFilsafat dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Parlindungan, AP,Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria, Bandung, Alumni, 1998.

Pound, Roscoe dalam Dayat Limbong, Penataan Lahan Usaha PK-5 Ketertiban

Kelangsungan Hidup,Pustaka Bangsa Press, 2006.

Rahardjo, Satjipto,Hukum dan Masyarakat,Bandung, Angkasa, 1980.

Remy Syahdeini, Sutan, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang

Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir


(6)

Sale, Aminuddin,Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta, Kreasi Total Media (KTM), 2007.

Saleh, K. Wantjik,Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1980.

Salindeho, John,Masalah Tanah dam Pembangunan, Jakarta, Sinar Grafika, 1993. Soimin, Soedharyo,Status Hak dan Pengadaan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta,1993. Sumardjono, S. W. Maria,Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi,

Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001.

______________, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008.

Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, 1998.

Thalib, Sajuti,Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria, Bina Aksara, 1985. Wuisman, J.J.J. M., dengan penyunting M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid

I, FE UI, Jakarta, 1996.

Yamin Lubis, Muhammad, Abdul Rahim, Pencabutan Hak, Pembebasan dan

Pengadaan Tanah, CV. Mandar Maju, Bandung, 2011.

_______________, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria

Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan Umum.


Dokumen yang terkait

Gugatan Ganti Rugi Terhadap Pelaku Pembajakan Karya Cipta Lagu dan Musik (Studi Kasus No. 76/Hak Cipta/2008/PN.Niaga.Jkt.Pst)

4 80 117

Penyelesaian Sengketa Ganti Rugi Pengangkutan Barang Dari Laut (Suatu Studi Di Pelabuhan Belawan)

1 32 5

Penyelesaian Ganti Rugi Tanah Untuk Pembangunan Bandar Udara Silangit Siborong-Borong Kabupaten Tapanuli Utara

3 68 135

Pelaksanaan Ganti Rugi Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum Pengembangan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Provinsi Aceh

0 34 140

Pertanggungjawaban Serta Pelaksanaan Ganti Rugi Terhadap Kecelakaan Air Asia Qz8501 Ditinjau Dari Konvensi Internasional

3 56 119

PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH DAN PEMBERIAN GANTI RUGI DALAM RANGKA PEMBANGUNAN Pelaksanaan Pengadaan Tanah Dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Pembangunan Jalan Tol Pejagan-Pemalang Wilayah Kabupaten Tegal (Studi Kasus Putusan No.36/Pdt.G/2015/PN.Slw).

0 2 16

PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH DAN PEMBERIAN GANTI RUGI DALAM RANGKA PEMBANGUNAN Pelaksanaan Pengadaan Tanah Dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Pembangunan Jalan Tol Pejagan-Pemalang Wilayah Kabupaten Tegal (Studi Kasus Putusan No.36/Pdt.G/2015/PN.Slw)

0 2 14

ASPEK KEADILAN PEMBERIAN GANTI RUGI DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN WADUK GONDANG DI KABUPATEN KARANGANYAR.

0 0 19

TINJAUAN HUKUM PELAKSANAAN GANTI RUGI TERHADAP PENCABUTAN HAK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN REL KERETA API DI KABUPATEN BARRU

0 0 117

PELAKSANAAN GANTI RUGI HAK MILIK ATAS TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JARINGAN LISTRIK TENAGA UAP DI KECAMATAN SAMBELIA - Repository UNRAM

0 0 17