KERJASAMA DAN KEDISIPLINAN DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA KONTEKSTUAL Pengembangan Pembelajaran Matematika Kontekstual Pada Sekolah Dasar Penyelenggara Pendidikan Inklusi (Pengembangan Pada Sekolah Dasar di Kota Wonogiri).

KERJASAMA DAN KEDISIPLINAN DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA KONTEKSTUAL

ARTIKEL PUBLIKASI ILMIAH
Diajukan Kepada
Program Studi Magister Manajemen Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Surakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna
Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Manajemen Pendidikan

Oleh:

NITA PURWANINGSIH
NIM : Q 100090124

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013

ARTIKEL PUBLIKASI ILMIAH

BERJUDUL

KERJASAMA DAN KEDISIPLINAN DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA KONTEKSTUAL

Diajukan Oleh:
NITA PURWANINGSIH
NIM: Q 100090124

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Prof. Dr. Sutama, M. Pd
NIP. 196001071991031002

Dr. Sabar Narimo, M.M., M. Pd
NIP.


Tanggal Persetujuan : 18 Oktober 2013

Tanggal Persetujuan : 18 Oktober 2013

KERJASAMA DAN KEDISIPLINAN DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA KONTEKSTUAL
oleh
Nita Purwaningsih, Sutama, dan Sabar Narimo
Magister Manajemen Pendidikan PPs UMS
sutama@yahoo.com
Abstract
In general, this research aims to develop a contextual mathematics
learning in school inclusion. Specifically aims : to know the learning of
mathematics in schools inclusion, to creat design development and to know
implementation of appropriate contextual learning of mathematics applied to
the elementary school inclusion. To improve collaboration and discipline
students. Subjects were teachers and students of elementary school fifth grade
inclusion in the City of Wonogiri. Methods of data collection through interviews,
participant observation, study of literature, documentation, and testing.

Research and Development Methods using the steps (1) preliminary study (2)
limited trials and extensive testing. The results, related to the learning process
that occurs during this: teachers are not qualified to teach children with special
needs, teacher dominated learning with lecture method, passive students during
the learning process, and there is no specific guidance for children with special
needs. Relating to the design of contextual learning mathematics: teachers'
exercise of procedure systematically contextual learning mathematics. Through
the performance evaluation process and affective attitude showed improvement
during limited trials and extensive testing. The results concluded, PMK impove
collaboration and discipline students for learning.
Key word : collaboration and discipline, school inclusion, special needs,
contextual learning.
Pendahuluan

Pembelajaran matematika pada sekolah dasar inklusif matematika selama
ini belum mencerminkan inklusivitas baik proses maupun hasil pembelajaran.
Realitas secara umum di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar guru
belum siap menerima tugas mengajar pada kelas inklusi. Guru-guru yang
mengajar pada sekolah inklusi tidak memiliki kualifikasi mengajar anak
berkebutuhan khusus. Pembelajaran matematika yang terjadi pada kelas inklusi


1

2

selama ini masih relatif sama dengan kelas reguler, yakni pembelajaran satu arah
yang berpusat pada guru. Metode pembelajaran yang digunakan guru sangat
monoton. Proses pembelajaran didominasi oleh guru yang memberikan materi
dengan metode ceramah dengan urutan menjelaskan, memberi contoh, latihan,
dan kerja rumah. Tidak ada variasi dari segi strategi, pendekatan, metode, serta
model pembelajaran yang dilakukan guru berdasarkan karakteristik materi
pelajaran yang diajarkannya. Hal tersebut menyebabkan motivasi, inisiatif dan
prestasi belajar siswa rendah.
Suatu pembelajaran matematika dikatakan menarik jika proses
pembelajaran tersebut menantang kemampuan dan kemauan siswa, memberi
kesempatan

seluas-luasnya kepada siswa

untuk mencari


penyelesaian

permasalahan yang dihadapi (bereksplorasi), menuntut penggunaan potensi
siswa secara optimal, diketahui manfaatnya oleh siswa dan menggunakan media
pembelajaran. Terdapat tiga prinsip yang harus dilakukan guru dalam upaya
menciptakan pembelajaran matematika inklusif, yakni : (1) proses pembelajaran
harus mengarah pada penemuan prinsip, (2) proses pembelajaran mampu
mendorong siswa untuk mengkaitkan konsep yang dipelajari dengan pengalaman
kehidupan nyata sehari-hari, (3) melalui proses pembelajaran yang telah
dilaksanakan, siswa diharapkan dapat menerapkan materi yang telah dipelajari
dalam kehidupan sehari-hari.
Akar dari semua permasalahan di atas adalah terkait penggunaan
pendekatan, dan strategi pembelajaran yang dilakukan guru serta cara
melibatkan siswa agar terlibat dalam proses pembelajaran. Guru matematika,
demi keberhasilan belajar siswa yang lebih baik, harus mau dan mampu memilih
strategi dan pendekatan pembelajaran yang bisa mengakomodasi kebutuhan
belajar seluruh siswa, baik siswa normal maupun anak berkebutuhan khusus.
Selain itu, karakteristik siswa yang rata-rata memiliki latar belakang yang
heterogen, menuntut dikembangkannya pembelajaran yang memungkinkan

siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.

3

Bertolak pada akar permasalahan serta ketiga prinsip pembelajaran
inklusi, Pembelajaran Matematika Kontekstual atau Mathematic Contextual
Teaching And Laerning merupakan pendekatan dan strategi pembelajaran yang
sesuai untuk diterapkan. CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang
menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk menerapkannya pada
kehidupan mereka (Sanjaya, 2008 : 255).
Secara umum, penelitian ini bertujuan mengembangkan strategi
Pembelajaran Matematika Kontekstual (PMK) pada sekolah dasar penyelenggara
pendidikan inklusi. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : mengetahui
proses pembelajaran matematika yang selama ini terjadi; merumuskan desain
PMK; mendeskripsikan implementasi PMK; dan mengetahui tingkat kerjasama
dan kedisiplinan siswa.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Research and Development (R&D) dari

Borg and Gall. Peneliti melaksanakan dua tahapan proses penelitian dan
pengembangan: (1) studi pendahuluan meliputi studi literatur; studi lapangan;
dan penyusunan draf awal produk; (2) uji coba terbatas dan uji coba coba lebih
luas. Sukmadinata (2006: 187)
Subjek penelitian yaitu: kepala sekolah, guru, dan siswa kelas V pada SD
penyelenggara pendidikan inklusi di Wonogiri. Teknik pengumpulan data yaitu
observasi, wawancara, angket, analisis dokumen dan tes. Data kualitatif
diperoleh pada saat studi pendahuluan dan pengembangan model, data
kuantitatif dihasilkan pada tahap pengembangan. Keabsahan data dengan
pengamatan secara berulang-ulan; diskusi terfokus; dan triangulasi sumber.
Empat SD inklusi di kota Wonogiri ditetapkan sebagai lokasi

studi

pendahuluan. Uji Coba terbatas dilakukan pada SD Negeri 2 Giritirto
menggunakan Class Action Research (CAR). Lokasi uji coba lebih luas : SD Negeri

4

1 Wonoboyo; SD Negeri 3 Wuryorejo; dan SD Negeri Kaloran dengan metode

eksperimen disain Intact - Group Comparison dengan kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Pengukuran efektivitas treatment dengan membandingkan
hasil penilaian kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol menggunakan ttest dengan program SPSS 17.0 for Windows.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pembelajaran yang selama ini terjadi pada keempat SD penyelenggara
pendidikan inklusi masih didominasi guru, dan belum memaksimalkan
penggunaan media maupun sumber belajar secara maksimal. Guru belum
memfasilitasi siswa untuk melakukan kegiatan dalam upaya menemukan sendiri
konsep yang mereka pelajari. Hal tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian
Patricia Bourke (2008:14) yang menyimpulkan bahwa pada pendidikan inklusif
yang kompleks, para guru telah berupaya meningkatkan kemampuan mereka
agar dapat mendukung sekolah menjadi tempat belajar bagi siswa dengan
berbagai keragaman dan kaya akan perbedaan. Dalam hal ini, seharusnya guru
lebih aktif, kreatif serta inovatif dalam penggunaan strategi, pendekatan,
metode, model maupun teknik pembelajaran. Hasil observasi terhadap kegiatan
belajar

siswa

menunjukkan


perhatian

siswa

termasuk

ABK

terhadap

pembelajaran rendah, siswa pasif selama proses pembelajaran matematika.
Hasil pre-test kemampuan awal siswa menunjukkan, dihampir semua
sekolah, siswa yang tuntas pada kegiatan evaluasi kurang dari 50%. Hal ini
mencerminkan rendahnya prestasi hasil belajar siswa. Berdasarkan analisis hasil
studi pendahuluan, keempat sekolah dikategorikan sebagai berikut: SDN 1
Wonoboyo (Tinggi), SDN 2 Giritirto dan SDN 3 Wuryorejo (Sedang), dan SDN
Kaloran (Rendah) dalam hal kemampuan awal siswa. Banyak hambatan yang
dialami sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, antara lain minimnya
fasilitas yang dimiliki sekolah inklusi, baik dari segi ruang pembelajaran, sampai

pada media pembelajaran bagi para ABK.

5

Pengajar dari empat sekolah yang diteliti tidak satupun memiliki pengajar
yang berkualifikasi mengajar ABK, selain itu guru pendamping bagi ABK sangat
jarang dimiliki oleh sekolah. Hal ini bertentangan dengan penelitian Elizabeth
Walton, Norma Nel, Anna Hugo dan Helena Muller (2008:123) yang
mengungkapkan, sebagian besar sekolah inklusi di Afrika Selatan mengalami
hambatan untuk menyelenggarakan pembelajaran inklusif. Pembelajaran
sekolah inklusi difokuskan pada keragaman siswa dan telah menyediakan fasilitas
ruang khusus serta fasilitas pendukung bagi para guru. Sekolah juga
menyediakan pembelajaran khusus serta penyesuaian pada sistem penilaian. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa seharusnya sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi harus mulai berfikir untuk : 1) meningkatkan kompetensi guru dalam
bidang pembelajaran inklusi; 2) memiliki seorang guru pendamping khusus yang
berkualifikasi pengajar ABK; 3) menyediakan fasilitas, media, dan sumber belajar
serta sistem pembelajaran yang menunjang bagi proses belajar siswa ABK
Pengembangan PMK ini dilakukan sebagai salah satu upaya meningkatkan
kemampuan dan ketrampilan guru yang berkaitan dengan penggunaan strategi

dan pendekatan pembelajaran bagi siswa ABK. Pengembangan PMK didasarkan
pada hasil penelitian Komalasari (2012:188) yang secara umum mengungkapkan
bahwa kurikulum dengan desain rancangan matematika kontekstual efektif
dalam proses belajar dan mengajar. Desain pengembangan PMK yang dihasilkan
terdiri dari RPP; desain implementasi dan desain evaluasi PMK.
RPP memuat : Identitas sekolah (nama, mata pelajaran, kelas/semester,
jumlah pertemuan, alokasi waktu); Standar Kompetensi; Kompetensi Dasar; indikator
(kognitif, afektif, psikomotorik, sosial); karakter siswa yang diharapkan, tujuan
pembelajaran (kognitif, afektif, psikomotorik, sosial); materi prasyarat; materi ajar;
strategi dan metode pembelajaran; langkah-langkah pembelajaran ( Kegiatan awal,
Kegiatan inti: ekplorasi

elaborasi konfirmasi, Kegiatan Penutup); pembelajaran;

Alat/bahan dansumber belajar; Penilaian (kognitif, afektif, psikomotorik, sosial).
Pembelajaran matematika kontekstual dengan Problem Beased Learning (PBL)

6

dilakukan dengan lima tahap: 1) orientasi siswa pada situasi masalah; 2)
mengorganisasi siswa untuk belajar; 3) membimbing penyelidikan individual
maupun kelompok; 4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya; 5)
menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Desain implementasi mencakup : 1) Pengkondisian : sosialisasi, apersepsi dan
motivasi; 2) Kegiatan Pencarian Makna (Tugas bermakna, interaksi aktif kreatif dan
komunikatif dan aplikasi kontekstual) : Pengorganisasian siswa, diskusi dan
pendalaman konsep, pengembangan dan aplikasi; 3) Konsolidasi (Penyimpulan
dan tindak lanjut). Berkaitan dengan kegiatan penciptaan makna, diperlukan
adanya guru pendamping bagi siswa ABK. Guru pendamping bertugas
memberikan

motivasi,

arahan

dan

bimbingan

berdasarkan

Program

pembelajaran individual (PPI). Menurut Hallahan (1991:25) PPI penyusunan PPI
harus sesuai dengan kebutuhan individu anak-anak berkebutuhan pendidikan
khusus, baik untuk pendidikan jangka pendek atau jangka panjang.
Desain evaluasi menggunakan teknik penilaian autentik yakni penilaian
secara nyata mencakup aspek kognitif, afektif, psikomotorik dan sosial. Penilaian
proses dilakukan bersamaan pada saat siswa melakukan diskusi dan presentasi,
yaitu keterlibatan dan aktivitas siswa dalam kelompok, partisipasi siswa selama
proses pembelajaran. Penilaian proses yang digunakan adalah penilaian unjuk
kerja pada spek psikomotorik, penilaian diri dan sikap pada aspek afektif dan
sosial. Penilaian hasil mencakup aspek kognitif didasarkan pada penilaian tes,
portofolio dan penugasan dari hasil kerja siswa seperti penyelesaian
permasalahan lembar kerja dan lembar tugas atau latihan
Uji coba terbatas dilakukan pada SDN 2 Giritirto dengan PTK 2 siklus.
Setting kelas yang digunakan adalah regular dengan pull out, namun di sini
peneliti memutuskan untuk melakukan modifikasi dengan tidak memindahkan
siswa ke ruang lain tetapi siswa berada di kelas tersebut dengan keberadaan
guru pendamping yang selalu memantau proses pembelajaran dan siap
memberikan bantuan berupa penjelasan maupun pembimbingan. Ortis

7

(2009:368) mengemukakan bahwa rekayasa pembelajaran matematika terpadu
membantu para siswa untuk memperluas pemahaman mereka tentang ide-ide,
mendefinisikan teknik dan teknologi dasar. Setting kelas ini dilakukan dalam
upaya mempermudah implementasi PMK. Selain itu, juga bertujuan agar siswa
ABK merasa dirinya sama dengan yang lain dan tidak diperlakukan beda,
sebagaimana tujuan pembelajaran inklusi yakni pembelajaran yang berdasar
pada keragaman.
Hasil observasi tindakan uji coba terbatas menunjukkan bahwa PMK pada
uji coba terbatas telah dilaksanakan dengan cukup baik, guru telah melaksanakan
tahapan pembelajaran secara urut dan sistematis. Setiap putaran menunjukkan
adanya peningkatan, baik dari segi aktifitas maupun kemampuan guru dalam
mengimplementasikan

PMK.

Guru

tidak

lagi

mendominasi

kegiatan

pembelajaran melainkan sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswa. Jumlah
siswa yang menunjukkan partisipasi aktif bertanya, memberi tanggapan maupun
menjawab soal terjadi peningkatan 50% dari sebelum tindakan. Hal tersebut
sebagaimana dikemukaan Komalasari (2012:188), menurutnya pembelajaran
kontekstual akan mengembangkan pemikiran dan keterampilan partisipatif
siswa. Menurut teori konstruktivisme menyarankan, bahwa mengajar bukanlah
soal mentransfer informasi kepada siswa dan belajar bukanlah secara pasif
menyerap informasi dari buku atau dari guru. Tetapi guru perlu memotivasi
siswa untuk mengkonstruksi ide mereka sendiri dengan menggunakan ide-ide
siswa sendiri.
Hasil observasi dan penelitian Komalasari menunjukkan bahwa PMK
sangat menunjang upaya guru untuk meningkatkan kemampuan kerjasama siswa
dalam memecahkan suatu permasalahan terkait penemuan konsep maupun
mengkatkan kedisiplinan siswa sejak awal pembelajaran, selama pembelajaran
maupun akhir kegiatan pembelajaran. Melalui kegiatan kerjasama dalam
kelompok, siswa reguler maupun ABK belajar untuk mengembangkan daya pikir
mereka, siswa dituntuk kemampuannya untuk berfikir kritis dan kreatif agar

8

dapat memecahkan permasalahan yang diberikan guru. Contoh materi hasil
pengembangan daya pikir siswa adalah beberapa cara menemukan rumus luas
trapesium berdasarkan proses unjuk kerja yang dilakukan siswa

Hasil unjuk kerja siswa dalam kelompok menunjukkan daya kreativitas siswa
yang mulai berkembang. Gambar diatas menunjukkan ide-ide hasil pemikiran
siswa dalam mengembangkan alat peraga yang ada untuk menemukan rumusan
luas trapezium. Contoh salah satu rumusan luas trapezium;
C

D

Misal : AB = a, CD = b datn DE = CF = t
Luas trapezium ABCD = L ∆ ABD + L∆ CBD

t

A

B

E

D

C

t

A

E

F

=

1

=

1

=

1

2

2

×

�+

1
2

×

× t × AB + CD

�

t

D

2

×� ×

+

Selanjutnya, masing-masing kelompok mempresentasikan hasil unjuk kerja, guru
bersama siswa menyimpulkan rumus luas trapesium. Guru membimbing siswa
mengerjakan latihan terkontrol dan membahas latihan mandiri secara klasikal.
Contoh latihan mandiri;
Soal

: Sebidang tanah berbentuk trapesium siku-siku dengan panjang
sisi yang sejajar 100 cm dan 200 cm dengan tinggi 80 cm.
Berapakah luas jendela tersebut?

Diketahui : Permukaan tanah berbentuk trapesium siku-siku

9

17 cm

5 cm

29 cm

Ditanya

:L

= ... ?

Jawaban : Rumus L = ½ × ( a + b ) × t
= ½ × ( 17 + 29 ) × 15
= ½ × 46 × 15
= 390 m2
Jadi luas permukaan tanah adalah 390 m2
Pada pelaksanakan siklus I hambatan yang muncul adalah gaya
pembelajaran guru yang kurang menarik, berakibat pada kurangnya perhatian
dan motivasi siswa, terutama siswa ABK. Guru matematika juga mendapatkan
kesulitan saat harus memberikan perhatian dan bimbingan lebih kepada siswa
ABK. Siswa normal mengalami kendala ketika harus bekerja sama dengan
siswa ABK. Dasar pemikiran untuk mengatasi kendala tersebut adalah
penelitian Berns (2008:123) yang menyatakan bahwa rekayasa pembelajaran
matematika dengan teknologi membantu para siswa untuk memperluas
pemahaman mereka tentang ide-ide, dan konsep dasar serta mempertahankan
pemahaman matematika mereka untuk jangka waktu yang lama. Perbaikan
dilakukan pada gaya mengajar guru dengan mengoptimalkan pembelajaran
berbasis teknologi, dalam hal ini LCD. Penggunaan LCD pada siklus II mampu
meningkatkan perhatian dan fokus siswa ABK pada proses pembelajaran.
Pelaksanaan PMK mampu memotivasi ABK sehingga lebih bersemangat dan
yang terpenting menikmati proses pembelajaran.
Perbaikan PMK pada siklus II mampu meningkatkan efektifitas proses
pembelajaran dan hasil belajar siswa. Siswa ABK memang belum memiliki
kemampuan yang sama dengan siswa regular, namun mereka telah
menunjukkan peningkatan kemampuan yang tampak dari evaluasi hasil maupun

10

proses belajar mereka. Siswa ABK juga mulai menunjukkan kepercayaan diri
dalam bekerja sama dengan siswa lain selama kegiatan unjuk kerja.
Profil hasil penelitian pra siklus sampai siklus II pada aspek penilaian
kognitif tampak pada diagram di bawah ini. Grafik berikut menunjukkan adanya
peningkatan persentase ketuntasan siswa dalam pelaksanaan kegiatan penilaian
aspek kognitif pada hasil belajar matematika siswa. Hasil belajar, baik pada
latihan terkontrol, latihan mandiri maupun tugas mandiri dari awal sebelum
tindakan, siklus I, dan siklus II mengalami peningkatan. Selama kegiatan
penilaian, siswa menunjukkan kedisiplinan yang baik, mereka mencoba
mengerjakan soal latihan maupun tugas sendiri tanpa bantuan teman dan selesai
sesuai waktu yang dialokasikan.
120,00%
100,00%
80,00%
Lat.Terkontrol

60,00%

Lat. Mandiri

40,00%

Tug. Mandiri
20,00%
0,00%
Pra-Siklus Siklus I

Siklus II

Gambar 1
Diagram Kenaikan Evaluasi Hasil Belajar Siswa Pada Uji Coba Terbatas
Sedangkan terkait dengan aspek psikomotorik yang tampak pada tingkat
kerjasama siswa menunjukkan pengamatan pra-siklus belum menunjukkan
adanya proses unjuk kerja yang berarti belum ada proses kerjasama antar siswa
dalam upaya menemukan suatu konsep. Kegiatan unjuk kerja siklus I secara
klasikal diperoleh nilai 76% atau masuk kategori baik. Sedangkan pada siklus II
mengalami peningkatan 10% menjadi 86% secara klasikal atau masuk kategori
amat baik. Pada kegiatan unjuk kerja, siswa memiliki kesempatan untuk menggali
kemampuan mereka, bersosialisasi dengan teman dan menemukan konsep baru.

11

Selanjutnya pada aspek penilaian afektif dan sosial yang tampak pada tingkat
kedisiplinan siswa, pada pra-siklus hanya mencapai 20%, akhir siklus I menglami
peningkatan 60% menjadi 80% dan akhir siklus II kembali mengalami
peningkatan 3,99% menjadi 83,99%. Hal ini menunjukkan bahwa siswa sudah
menunjukkan kerja sama yang baik selama kegiatan unjuk kerja dan sikap disiplin
yang tinggi selama pembelajaran . Hal tersebut sebagaimana ditunjukkan pada
diagram berikut.
100%
80%
60%
Kerjasama
40%

Kedisiplinan

20%
0%
Pra-Siklus

Siklus I

Siklus II

Gambar 2
Diagram Kenaikan Evaluasi Proses Belajar Siswa Pada Uji Coba Terbatas
Profil peningkatan penilaian proses maupun hasil belajar siswa
menunjukkan pentingnya keberadaan seorang guru pendamping ABK selama
proses pembelajaran. Berkaitan dengan guru pendamping ABK atau guru khusus,
hasil penelitian Shippen, Flores, Crites, Patterson, Ramsey, Houchins dan
Jolivette

(2010:7) menunjukkan guru khusus kelas inklusi memberikan

bimbingan individual jauh lebih besar bagi penyandang cacat daripada pendidik
umum. Guru pendamping selalu memberikan motivasi kepada siswa untuk
kreatif dalam proses unjuk kerja, jadi siswa ABK ikut ambil bagian dalam
eksperimen kelompok, walaupun hanya sekedar menempel. Selain itu guru
pendamping selalu melatih siswa disiplin termasuk dalam dalam mengerjakan
soal-soal latihan sehingga tidak mengganggu siswa lain pada saat mengerjakan
soal-soal latihan mandiri. Pada siklus II, guru pendamping diusahakan selalu ada

12

untuk memberikan motivasi agar siswa kreatif dalam proses unjuk kerja,
membimbing siswa dalam mengerjakan soal-soal latihan serta memotivasi siswa
agar aktif dalam pembahasan soal.
Hasil penilaian hasil belajar siswa yang berupa latihan soal dan pemberian
tugas selama pelaksanaan uji coba luas menunjukkan penerapan PMK secara
konsisten pada kelas eksperimen memberikan hasil prestasi belajar yang jauh
berbeda dengan kelas kontrol. Lee dan Leah (2009:1427-1428) mengungkapkan
guru matematika dan guru pendidikan khusus akan berhasil dalam pembelajaran
konsisten dalam menggunakan strategi pembelajaran tertentu dengan indikasi
siswa menunjukkan kemajuan secara akademik pada pembelajaran inklusi. Hasil
uji hipotesis, baik latihan terkontrol, latihan mandiri maupun tugas mandiri pada
kelas eksperimen maupun control menunjukkan nilai signifikansi pada uji
normalitas dan uji homogenitas >�=0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data
berdistribusi normal dan bahwa kedua varian sama (varian kelas kontrol dan
kelas eksperimen). Hasil uji t, nilai signifikansi pada semua kegiatan evaluasi
secara akumulatif diperoleh angka signifikansi