sumber sumber ajaran islam

(1)

BAB II

PEMBAHASAN

SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM

A. AL QUR’AN

a. PENGERTIAN AL QUR’AN

Al-qur’an adalah kitab suci yang isinya mengandung firman Allah, turunnya secara bertahap melalui malaikat Jibril, pembawanya Nabi Muhammad Saw, susunannya dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, bagi yang membacanya bernilai ibadah, fungsinya antara lain menjadi hujjah atau bukti yang kuat atas kerasulan Nabi Muhammad Saw, keberadaannya hingga kini masih tetap terpelihara dengan baik, dan pemsyarakatannya dilakukan secara berantai dari satu generasi ke generasi lain dengan tuilsan maupun lisan.

b. KANDUNGAN AL QUR’AN

• Mengandung masalah tauhid • Mengandung masalah ibadah

• Mengandung masalah janji dan ancaman

• Mengandung petunjuk jalan hidup keselamatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat

• Mengandung cerita atau riwayat kehidupan untuk manusia masa lampau.

c. MUKJIZAT AL QUR’AN

Kemukjizatan Al-qur’an secara umum meliputi aspek-aspek sebagai berikut: • Aspek bahasa Al-qur’an

• Aspek sejarah

• Isyarat tentang ilmu pengetahuan

• Konsistensi ajaran selama proses penurunan yang panjang • Keberadaan Nabi Muhammad yang Ummi.

d. WILAYAH KAJIAN AL QUR’AN

Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah

Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:

1. Tauhid, yaitu kepercayaan ke-esaann Allah SWT dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya

2. Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid

3. Janji dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari

4. Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiaran syariat Allah SWT maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang mengingkari kebenaran Alquran agar dapat dijadikan pembelajaran.

Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:

1. Hukum I’tiqadiah,yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.

2. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat.Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.

3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu


(2)

Akhlaq atau Tasawuf.

Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:

1. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji

2. Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya.Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut: 3. Hukum munakahat (pernikahan).

4. Hukum faraid (waris). 5. Hukum jinayat (pidana). 6. Hukum hudud (hukuman). 7. Hukum jual-beli dan perjanjian. 8. Hukum tata Negara/kepemerintahan 9. Hukum makanan dan penyembelihan. 10. Hukum aqdiyah (pengadilan).

11. Hukum jihad (peperangan). 12. Hukum dauliyah (antarbangsa).

e. TAFSIR AL QUR’AN

Terdapat beberapa metode tafsir agar pembaca mudah memahami ayat-ayat Al Qur’an.yaitu : A. Metode tahlily

B. Metode Maudhu’i C. Metode Ijmali D. Metode Muqarran

A. Metode Tahlili

Secara etimologis, metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., Sahabat dan tabi'in. Dari sekian metode tafsir yang ada, metode tahlili merupakan metode yang paling lama usianya dan paling sering digunakan. Selain menjelaskan kosa kata dan lafaz, tahlili juga menjelaskan sasaran yang dituju dan kandungan ayat, seperti unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat tersebut untuk hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, dan norma-norma akhlak. Hampir seluruh kitab-kitab tafsir al-Qur'an yang ada sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir adalah menggunakan metode tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara berurutan menurut urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas tanpa dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang semakna.

Artinya, meyoritas mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an selalu mengikuti tertib urutan ayat-ayat yang ditafsirkan tanpa memerhatikan topik ayat-ayatnya.1

Ciri-ciri Metode Tahlili

Adadua ciri utama dalam metode tahlili:

1. Tafsir bi al ma'thur, yaitu penafsiran ayat al-Qur'an dengan ayat; penafsiran ayat dengan Hadist Nabi saw, untuk ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi'in.2 Tafsir bi al ma'thur (literal) juga dikenal dengan tafsir bi al

riwayah. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma'thur adalah Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an karya Imam Ibn Jarir al-Tabari. Tafsir al-Qur'an al-'Adim

karya Ibn Kathir. Menurut W. Montgomery Watt, tafsir Tabari adalah tafsir al-Qur'an yang paling penting di antara kitab tafsir yang masih ada dan dapat diperoleh dengan mudah. Karyanya itu dicetak pertama kali di Kairo pada tahun 1903 M dalam tiga jilid dan kemudian dicetak berulang kali.3

1 Abdul Jalal, Urgensi Studi Tafsir yang Mutaakhir (Pidato Pengukuhan Pada Penerimaan Jabatan Guru Besar

dalam Ilmu Tafsir/Tafsir) Surabaya, IAIN Sunan Ampel, 17.

2 Abdul Hayy Al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhu'iy (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 12.

3 W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur'an (Terj.) Taufik Adnan Amal (Jakarta: CV Rajawali, 1991),


(3)

2. Tafsir bi al ra'yi, yaitu penafsiran al-Qur'an dengan ijtihad, terutama setelah seorang

mufassir betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al nuzul, nasikh-mansukh

dan beberapa hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsir bi al ra'yi

(rasional) juga dikenal dengan tafsir bi al dirayah.

Dalam menyikapi tafsir bi al ra'yi, para ulama ada yang menerima dan ada yang menolak. Apabila ia memenuhi persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka penafsiran itu bisa diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi persayaratan, maka penafsirannya ditolak. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ra'yi adalah: Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta'wil, karangan Mahmud al-Nasafi, dan Lubab al-Ta'wil fi Ma'ani al-Tanzil karya Al-Khazin.4

Berangkat dari dua ciri metode tahlili di atas, lahirlah beberapa macam tafsir sesuai dengan kecenderungan para mufassir. Macam-macam tafsir tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tafsir sufi, yaitu penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsir sufi adalah kitab: Tafsir al-Qur'an al-'Adim, karya Imam al-Tusturi.

2. Tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al-Qur'an yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya. Tafsir fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda. Di antara kitab tafsir dengan menggunakan metode fikih adalah Tafsir Ahkam al-Qur'an, karya Al-Jassah, dan al-Jami' li Ahkam al-Qur'an karya Imam Al-Qurtubi.

3. Tafsir falsafi, yaitu penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitab Mafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Razi Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat dalam mengemukakan dalil-dalil secara utuh yang didasarkan pada ilmu kalam dan simantik (logika). Ia juga membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan al-Qur'an, dan akhirnya ia dengan tegas menolak filsafat berdasar alasan dan dalil yang ia anggap memadai.5

4. Tafsir 'ilmi, yaitu penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur'an, dengan cara mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Di antara kitab tafsir 'ilmi adalah kitab al-Islam Yata'adda, karya Wahid al-Din Khan

5. Tafsir adabi ijtima'i, yairu penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dengan mengungkapkan sisi

balaghah al-Qur'an dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju al-Qur'an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir adabiijtima'i merupakan corak tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur'an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur'an.6 Di antara kitab tafsir adab ijtima'i adalah Tafsir al-Mannar karya Muhammad ’Abduh dan Rashid Rida

Keistimewaan dan Kelemahaman Metode Tahlili

Keistimewaan metode ini terletak pada ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan al-Qur'an. Jadi dalam tafsir analitik ini mufassir relatif lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al-Qur'an. Barangkali kondisi inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat perkembangannya.

Sebaliknya, kelemahan metode tahlili bisa dilihat dari tiga hal: (1) menjadikan petunjuk al-Qur'an secara parsial, (2) melahirkan penafsiran yang subyektif, dan (3) membuka peluang masuknya pemikiran isra’iliyat.7

Meskipun demikian, metodologi tahlili telah memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan sebagainya.

4 Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2003),

71-72.

5 Muhammad Husayn Al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Maktabah Mush'ab ibnu Umair

al-Islamiyah, 2004), 139.

6 Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakik, 71-72.


(4)

B. Metode Maudhu’i

Salah satu pesan Ali bin Abi Thalib adalah ”Ajaklah Al Qur’an berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya”. Pesan ini antara lain mengharuskan penafsir merujuk pada Al Qur’an dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini,lahir metode maudu’iy dimana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al Q ur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya.Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kestuan yang utuh.

Adanya metode penafsiran dengan cara tematik tersebut,menurut Quraish Shihab, berasal dari Mahmud Syaltut. Dalam hubungan ini, Quraish Shihab mengatakan bahwa bulan Juli 1960, Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsir berjudul Tafsir Al Q ur’an Al Karim, dalam bentuk pennyerapan ide yang dikemukaan oleh Asy-Syatibi (w.1388M) yaitu bahwa setiap surat, walaupun masalah yang dikemukakan berbeda,ada sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda tersebut.Berdasarkan ide Asy Syabiti tersebut. Syaltut tidak ingin menafsirkan ayat demi ayat,tetapi membahas surat demi surat,atu bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.

Namun,menurut Quraish Shihab,apa yang ditempuh oleh Syaltut belu menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al Q ur’an dipaparkan dalam bentuk menyeluruh,karena seperti dikemukakan di atas bahwasatu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat.Atas dasar ini, timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu,kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di kembangkan lebih lanjut di Mesir oleh Sayyid Al- Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode maudhu’iy gaya Syaltut.35

Berdasarkan data tersebut, Quraish Shihab sampai pada kesimpulan bahwa metode maudhu’iy mempunyai dua pengertian:

1. Penaafsiran menyangkut satu surat dalam Al Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan merupakan tema sentralnya, serta menghubngkan persoalan-persoalan yang beragam dalam surat tersebut antara yang satu dengan yang lainnya dan dengan tema tersebut,sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan

2. Penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al Q ur’an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut guna menarik petunjuk Al Qur’an secarautuh tentang masalah yang di bahas itu.

Berbagai metode penafsiran Al Qur’an trsebut bagi Quraish Shihab bukan sekedr teori atau pengetahuan belaka sebagaimana pada umumnya yang dimiliki para pakar, tetapi telah di raktikkannya dalam kegiatan menafsirkan Al Qur’an. Ia misalnya menulis buku Mahkot Tuntunan Illahi yang isinya adalah tafsir surat l Fatihah. Bukunya yang lain seperti Membumikan Al Qur’an dan Wawasan Al Qur’an yang diterbitkan oleh Mizan di tahun 90-an berisi pembahasan tentang berbagai masalah sosial kemasyarakatan dengan menggunakan metode tematik.36

C. Metode Ijmali

Metode ijmali (global) ialah metode yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.

Dalam metode ini, seorang mufassir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.

Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekadar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyisakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang


(5)

singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh berbeda dengan ayat yang ditafsirkan.

Ciri Metode Ijmali

Perbedaan utama antara metode ijmali dengan metode tahlili, muqaran, ataupun

mawdu'i adalah terletak pada: (1) cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur'an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, (2) mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya, (3) mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.

Keistimewan dan Kelemahan Metode Ijmali

Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.

Kelebihan pada metode ijmali, terletak pada: (1) proses dan bentuknya yang mudah dibaca dan sangat ringkas serta bersifat umum, (2) terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufassir memasukkan unsur-unsur lain, dan (3) bahasanya yang akrab dengan bahasa al-Qur'an.

Adapun kekurangan metode ijmali adalah: (1) menjadikan petunjuk Al-Qur'an bersifat parsial, (2) tidak ada ruang untuk analisis yang memadai.8 Meskipun demikian model penafsirannya yang sangat ringkas, maka metode ijmali sangat cocok bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir, dan mereka yang disibukkan oleh pekerjannya sehari-hari atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat.

Metode ijmali yang dipakai oleh para mufassir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.

Di antara kitab tafsir yang ditulis dengan metode ijmali adalah; Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, Al-Tafsir al-Wasit, terbitan

Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ushman

al-Mirghani, dan Tafsir li al-Imam al-Jalalayn, karya bersama Jalaluddin al-Mahalli

dan Jalaluddin Al-Suyuti. Karena kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, maka paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.

Meskipun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang banyak diminati, terutama oleh para mufassir

kontemporer.

D. Metode Muqarran

Metode Muqarran adalah suatu metode tafsir Al Qur’an yang dilakukan dengan scara membandingkan ayat Al Qur’an yang sat dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, dan atau membandingkan ayat-ayat Al Qur’an dengan Hadist-hadist Nabi Muhammad SAW.,yang tampak bertentangan,serta membandingkan pendapat-pandapat ulama tafsir menyangkut penafsiran Al Qur’an.

Sejalan dengan kerangka tersebut,prosedur penafsiran dengan cara muqarran dilakukan sebagai berikut :

a. Menginventarisasi ayat-ayat yang memiliki kesamaan dan kemiripan redaksi. b. Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut.

c. Mengadakan penafsiran.Contoh : surat Al Anfal ayat 10 dengan Ali Imron ayat 8 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, hal. 24-27


(6)

126.Dua ayat ini redaksinya kelihatan mirip,bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum Musliminketika melawan musuh-musuhnya, namun berbeda pada hal-hal berikut.

 Mendahulukan kata bihi daripada kata qulubikum

 Memakai kata ina

 Berbucara mengenai perang Badar (dalam QS Al Anfal:10). Adapun dalam surat Ali Imron: 126:

 Memakai kata lakum

 Berbicara tentang perang Uhud

Penyebutan lebih dahulu kata bihi dan penambahan kata ina dalam ayat pertama diduga sebagai tauhid terhadap kandungan utama ayat,yakni bantuan dari Allah pada perang Badar,mengingat perang itu yang pertama dan jumlah kaum Muslimin yang sedikit.

Dalam perang Uhud,tauhid itu tidak dperlukan sebab pengalaman perang sudah ada,dan umat islam sudah banyak. Pemakaian kata ini menandakan kegembiraan itu hanya pada sahabat, bukan kegembiraan abadi seperti kasus ayat pertama.

B.

HADIST

a. Pengertian Hadits

Kumpulan-kumpulan tindakan dan ucapan-ucapan Nabi, yaitu yang biasanya dinamakan “Hadits” arti kata itu adalah “kata-kata” tetapi yang dimaksudkan ialah ucapan-ucapan dan tindakan.

b. Unsur-unsur hadits

1. Sanad adalah jalur atau jalan periwayatan hadits dari beberapa rangkaian orang yang terlihat dalam periwayatan hadits tersebut

2. Matan adalah isi dari hadits atau reaksi dari hadits, di dalamnya inti hadits atau kontennya

3. Rawi adalah mempelajari banyak hadits, mengetahui banyak hadits, menuliskannya, mengklasifikasikan dan melakukan penelitian serta menyebarkannya.

c. Istilah-istilah dalam hadits

1. Sanad: Jalan menuju lafadh hadits. Misalnya, A meriwayatkan hadits dari B, ia meriwayatkan hadits dari C, ia meriwayatkan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

2. Jalan lain: Sanad lain.

3. Hadits: Perbuatan, perkataan, keputusan, dan pengakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

4. Sunnah: Hadits.

5. Atsar: Ada ulama berkata, “Atsar identik dengan hadits, sebagaimana hadits marfu’ dan mauquf dikatakan atsar.

6. Hadits Qudsi: Apa-apa yang disandarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Allah selain Al-Qur’an.

7. Hadits Shahih: Hadits yang memiliki sifat-sifat yang membuat hadits itu diterima. 8. Sifat-sifat hadits yang diterima:

 Sanadnya harus muttasil (bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

 Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina.

 Betul-betul hafal.

 Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.

 Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.

9. Hadist Hasan: Hadits yang sanadnya bersambung perawi adil, yang hafalannya kurang sedikit dibanding dengan perawi-perawi hadits shahih. Tidak bertentangan dengan perawi-perawi yang lebih dapat dipercaya, dan tidak memiliki cacat yang membuat hadits tersebut tidak diterima.


(7)

 Hukum hadits hasan: seperti hadits shahih, dapat dibuat pedoman dan dijalankan, namun bila diantara hadits shahih dan hadits hasan bertentangan, maka didahulukan adalah hadits shahih

10. Hadits Dhaif: Hadits yang tidak memiliki sifat hadits-hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan.

 Hukum hadits dhaif: Tidak boleh dijadikan pedoman dalam masalah akidah dan hukum-hukum agama. Boleh dijalankan dalam masalah-masalah yang dianggap baik, anjuran, peringatan dengan syarat-syarat tertentu.

11. Hadits Marfu’: Perkataan, perbuatan, pemutusan, atau pengakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik sanadnya bersambung atau tidak. Contoh hadits marfu’: hadits muttasil, musnad, mursal, dll.

 Hukum hadits marfu’: kadang-kadang shahih, hasan, dan dhaif

12. Musnad: hadits yang sanadnya bersambung dari perawi ke perawi sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, hadits maqthu’, munqathi, hadits yang dita’liq dan mursal tidak termasuk hadits musnad.

• Hukum hadits musnad: Kadang-kadang shahih, hasan, dhaif.

13. Muttasil (mausul): Hadits yang sanadnya bersambung dari perawi mendengar dari perawi sampai pada Nabi atau hanya sahabat-sahabat saja. Hadits mauquf dan munqathi’ kadang-kadang termasuk hadits muttasil.

14. Mauquf: Perkataan atau perbuatan sahabat, sanadnya bersambung atau tidak. Contoh: hadits munqathi’. Hadits marfu dan mursal tidak termasuk hadits mauquf. 15. Munqathi’: Hadits yang salah satu dari perawi tidak disebut, dengan syarat perawi yang tidak disebut itu bukan sahabat. Contoh: hadits marfu’, mursal, dan mauquf. Hadits munqathi’ termasuk hadits dhaif.

16. Mursal: Apabila ada tabi’in berkata, “Nabi bersabda…….tanpa menyebutkan perawi dari sahabat, maka hadits tersebut termsuk mursal. Contoh: hadits munqathi’ dan hadits mu’dlal. Hukumnya sama seperti hadits dhaif.

17. Muallaq (hadits-hadits yang dita’liq): Hadits yang permulaan sanadnya tidak tersebut. Contoh: setiap hadits yang sanadnya tidak bersambung.

18. Gharib: Hadits yang diriwayatkan oleh satu perawi dan perawi lain tidak meriwayatkan hadits tersebut. Hukumnya kadang-kadang shahih, hasan namun kebanyakan hukumnya dhaif.

19. Masyhur: Hadits yang diriwayatkan oleh tiga perawi keatas, walaupun dalam satu tingkat perawi (perawinya sama-sama sahabat). Hukumya shahih, hasan atau dhaif.

20. Mutawattir: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi banyak dari perawi banyak. 21. Mubham: Hadits yang dalam sanadnya atau matannya ada orang yang tidak

disebut. Hukumnya, jika perawinya yang tidak diketahui, hukumnya dhaif.

22. Syadz: Hadits yang diriwayatkan oelh orang yang dapat dipercaya, matan atau sanadnya bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih dipercaya. Lawan syadz adalah mahfud (yang terjaga). Hukumnya dhaif dan ditolak.

23. Mudraj: Idraj (sisipan) ada dua; 1. Lafadh hadits yang disisipi, 2. Sanad hadits yang disisipi. Lafadh hadits yang disisipi: sebagian perawi menambah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa diberi tahu atau diberi tanda. Hukumnya shahih, atau dhaif.

24. Maqlub: Menangani sesuatu dengan yang lain dalam hadits, adakalanya kalimat hadits dibalik, dll. Hukumnya harus dikembalikan pada asalnya.

25. Mudhtarib: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi, kemudian ditempat lain dia meriwayatkan hadits tersebut dengan arti yang berbeda. Hukumnya dhaif.

26. Ma’lul: Hadits kalau dilihat dhahirnya baik, namun setelah diteliti oleh ahli hadits, ternyata ada hal yang membuat hadits tersebut tidak bisa dikatakan shahih. Hukumnya dhaif.

27. Matruk: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang sudah disepakati oleh para ulama bahwa dia dhaif. Adakalanya dia bohong, keliru, atau fasik. Hukumnya tidak dianggap, juga tidak boleh dibuat pedoman atau dibuat syahid.


(8)

tabi’in. Hukumnya tidak boleh diriwayatkan atau diajarkan kecuali ada tujuan agar orang yang mendengar atau yang membacanya berhati-hati.

29. Munkar: Seperti hadits syadz, hadits munkar tidak boleh diterima, apabila perawinya bertentangan dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.

30. Syahid: Arti hadits yang cocok dengan arti hadits lain, hanya saja sahabat yang meriwayatkannya berlainan.

31. La ba’sa bihi: Perawi tidak memiliki cacat. Ibnu Mu’in berkata, “perawi tersebut dapat dipercaya.”

32. Shaduuq: Ibnu Abi Hatim berkata, “Ia dapat dipercaya.”

33. Sahabat: Orang yang bertemu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beriman kepadanya sampai mati.

34. Tabi’in: Orang yang bertemu dengan sahabat dan mati dalam keadaan muslim.

d. Wilayah Kajian Hadist

Sunnah menurut syar’i adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik perbuatan, perkataan, dan penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Alquran yang kurang jelas atau sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Alquran. Sunnah dibagi menjadi empat macam, yaitu:

1. Sunnah qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah

2. Sunnah fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah

3. Sunnah taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain

4. Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan

e. Metode Pemahaman Hadist 1. Metode dan Metodologi

Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.9 Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengn

tariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.10 Sedangkan metodologi berasal dari bahasa Yunani

methodos yang berarti cara atau jalan, logos artinya ilmu. Kata metodologi dalam Kamus Besar Bahasa Indosesia diartikan sebagai ilmu tentang metode; uraian tentang metode.11

2. Pemahaman (Syarh)

Kata syarah (Syarh) berasal dari bahasa Arab, SyaraHa-Yasyrahu-Syarhan yang artinya menerangkan, membukakan, melapangkan.12 Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk hadis, sedangkan tafsir untuk kajian Al-Qur’an. Dengan kata lain, secara substansial keduanya sama (sama-sama menjelaskan maksud, arti atau pesan); tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah tafsir (tafsir) spesifik bagi Al-Qur’an (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat Al-Qur’an), sedangkan istilah Syarah (syarh)

meliputi hadis (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan hadis) dan disiplin ilmu lain.13

Jadi maksud dari metodologi pemahaman (syarh) hadis ialah ilmu tentang metode memahami hadis. Dengan demikian, kita dapat membedakan antara dua istilah, yakni metode

syarh: cara-cara memahami hadis, sementara metodologi syarh: ilmu tentang cara tersebut. Metode yang digunakan oleh pensyarahan hadis ada tiga, yaitu metode tahlili,

metode ijmali, dan metode muqarin. Adapun untuk melihat kitab dari sisi bentuk 9 Ibid.,hal. 1 atau baca Fuad Hasan dan Koentjaraningrat. 1997. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam

Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia., hal. 16.

10 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. jakarta: Balai Pustaka.

Cetakan ketiga, edisi III., hal. 740.

11Ibid., hal. 741.

12 Mahmud Yunus. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir

Al-Qur’an.,hal.


(9)

pensyarahan, digunakan teori bentuk syarh} bi al-ma`sur dan syarh bi al-ra’y.

Sedangkan dalam menganalisis corak kitab digunakan teori kategorisasi bentuk syarh fiqhy, falsafy, sufy, atau lugawy.14

Metode-metode Pemahaman (syarh)Hadis 1. Metode Tahlili (Analitis)

a. Pengertian

Metode syarh tahlili adalah menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercangkup di dalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah. 15

Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah hadis mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah.

Pensyarah memulai penjelasannya dari kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya hadis (jika ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para tabi'in maupun para ulama hadis.16

b. Ciri-ciri Metode Tahlili

Secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlilibiasanya berbentuk

ma'sur (riwayat) atau ra'y (pemikiran rasional). Syarah yang berbentuk ma'sur ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi'in atau ulama hadis. Sementara syarah yang berbentuk ra'y banyak didominasi oleh pemikiran rasional pensyarahnya.

Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1). Pensyarahan yang dilakukan menggunakan pola menjelaskan makna yang terkandung di dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh.

2). Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan sabab al wurud dari hadis-hadis yang dipahami jika hadis tersebut memiliki sabab wurudnya. 3). Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para

sahabat, tabi' in dan para ahli syarah hadis lainnya dari berbagai disiplin ilmu. 4). Di samping itu dijelaskan juga munasabah (hubungan) antara satu hadis

dengan hadiis lain.

5). Selain itu, kadang kala syarah dengan metode ini diwamai kecenderungan pensyarah pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak pensyarahan, seperti corak fiqhy dan corak lain yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.17

c. Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlili

Kelebihan

1). Ruang lingkup pembahasan yang sangat luas.

Metode analitis dapat menyakup berbagai aspek: kata, frasa, kalimat, sabab al wurud,

munasabah (munasabah internal) dan lain sebagainya. 2). Memuat berbagai ide dan gagasan.

Memberikan kesempatan yang sangat longgar kepada pensyarah untuk menuangkan ide-ide, gagasan-gagasan yang pernah dikemukakan oleh para ulama.

Kekurangan

1). Menjadikan petunjuk hadis parsial

Metode analitis menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga seolah-olah hadis memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena 14 Nizar Ali. 2007. (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh} Hadis.

Yogyakarta., hal. 4.

15 Nizar Ali.,op.cit., hal. 29 atau baca Abd al-Hay al-Farma>wi.1997. Al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Maud}u>’i. ,t.tp: Matba’ah al-H}ad}arah al-‘Arabiyyah., hal.24.

16Ibid, hal. 29. 17Ibid., hal.30-31.


(10)

syarah yang diberikan pada hadis lain yang sama karena kurang memperhatikan hadis lain yang mirip atau sama redaksinya dengannya.

2). Melahirkan syarah yang subyektif

Dalam metode analitis, pensyarah tidak sadar bahwa dia telah mensyarah hadis secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang mensyarah hadis sesuai dengan kemauan pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.18

2. Metode Ijmali Global) a. Pengertian

Metode ijmali(global) adalah menjelaskan atau menerangkan hadis-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam al-Kutub al-Sittah secara ringkas, tapi dapat merepresentasikan malrna literal hadis dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami. 19

b. Ciri-ciri Metode Ijmali20

1). Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.

2). Penjelasan umum dan sangat ringkas.

Pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat sebanyak-banyaknya. Namun demikian, penjelasan terhadap hadis-hadis tertentu juga diberikan agak luas, tetapi tidak seluas metode tahlili.

b. Kelebihan dan Kekurangan Kelebihan

1). Ringkas dan padat

Metode ini terasa lebih praktis dan singkat sehingga dapat segera diserap oleh pembacanya. Syarah tidak bertele-tele, sanad dan kritik matan sangat minim.

2). Bahasa Mudah

Pensyarah langsung menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide atau pendapatnya secara pribadi.

Kekurangan

1) Menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial

Metode ini tidak mendukung pemahaman hadis secara utuh dan dapat menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial tidak terkait satu dengan yang lain, sehingga hadis yang bersifat umum atau samar tidak dapat diperjelas dengan hadis yang sifatnya rinci.

2). Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.

Metode ini tidak mnyediakan ruangan yang memuaskan berkenaan dengan wacana pluralitas pemahaman suatu hadis.21

3. Metode Muqarin(komparatif) a. Pengertian

Metode Muqarin adalah metode memahami hadis dengan cara: (1) membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama. (2) Membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis. 19

Jadi metode ini dalam memahami hadis tidak hanya membandingkan badis dengan hadis lain, tetapi juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah hadis.

Diantara Kitab yang menggunakan metode muqarin ini adalah Sahih Muslim bi Syarh

al-Nawawi karya Imam Nawawi, Umdah al-Qari Syarh Sahih al-Bukhari

kkarya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud al-’Aini, dan lain-lain

b. Ciri-ciri Metode Muqarin

1). Membandingkan analitis redaksional (mabahis lafziyyah) dan perbandingan periwayat periwayat, kandungan makna dari masing-masing hadis yang diperbandingkan.

2). Membahas perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadis tersebut.

3). Perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena 18Ibid., hal 38-39.

19Ibid., hal. 42. 20Ibid., hal. 43. 21Ibid., hal.44-46. 19Ibid.,hal. 46.


(11)

uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut kandungan (makna) hadis maupun korelasi (munasabah)antara hadis dengan hadis. 20

Ciri utama metode ini adalah perbandingan, yakni membandingkan hams dengan hadis, dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis.

c. Urutan Metode Muqarin

Metode ini diawali dengan menjelaskan pemakaian mufradat (suku kata), urutan kata, kemiripan redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah kemiripan redaksi misalnya, maka langkah-yang ditempuh sebagai berikut :

1). mengidentifikasi dan menghimpun hadis yang redaksinya bermiripan,

2). memperbandingkan antara hadis yang redaksinya mirip tersebut, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama, 3). menganalisa perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik

perbedaan itu mengenai konotasi hadis maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan kata dan susunannya dalam hadis, dan sebagainya,

4). memperbandingkan antara berbagai pendapat para pensyarah tentang hadis yang dijadikan objek bahasan.21

e. Kelebihan dan Kekurangan Kelebihan

1). Memberikan wawasan pemahaman yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan denga metode lain.

2) Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh. berbeda.

3) Pemahaman dengan metode muqarin sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis.

4) Pensyarah didorong untuk mengkaji berbagai hadis serta pendapatpendapat para pensyarah lainnya.

Kekurangan

1) Metode ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan.

2) Metode ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat, karena pensyarah lebih mengedepankan perbandingan daripada pemecahan masalah

3) Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh mama daripada mengemukakan pendapat baru23.

Untuk dapat memahami hadis dengan tepat, kelengkapan ilmu bantu mutlak diperlukan. Berkaitan dengan ilmu bantu daIam memahami hadis, Yusuf Al Qardawi memberikan beberapa pedoman, yaitu24 :

1). Mengetahui petunjuk Al Qur'an yang berkenaan dengan hadis tersebut. 2). Menghimpun hadis-hadis yang se-tema.

3).Menggabungkan dan mentarjihkan antar hadis-hadis yang tampak bertentangan. 4).Mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi hadis ketika diucapkan

diperbuat serta tujuaannya.

5).Mampu membedakan antara sasaran yang berubah-ubah dengan sasaran yang tetap. 6).Mampu membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan bersifat

metafora.

7).Mampu membedakan antara hadis yang berkenaan dengan alam gaib (kasat mata) dengan yang tembus pandang.

8).Mampu memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.

C. IJTIHAD

1. Pengertian Ijtihad dan Ruang Lingkupnya

a. Secara etimologi kata ijtihad terbentuk dari kata dasar “jahada” yang berarti seseorang 20Ibid.,hal 48-49.

21Ibid., hal. 49. 23Ibid., hlm.51-52.

24Ibid., hlm. 25 atau baca Yusuf al-Qardhawi, 1993. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. edisi terjemahan


(12)

telah mencurahkan segala kemampuannya untuk memperoleh hakikat sesuatu tertentu. b. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu fiqih ijtihad berarti mengarahkan tenaga dan

fikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (mengistimbatkan) hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits dengan syarat-syarat tertentu.

c. Sebagian ulama’ mendifinisikan ijtihad dalam pengertian umum, bahwa ijtihad adalah menghasilkan (memaksimalkan) kesungguhannya dalam mencari sesuatu yang ingin dicapai, sehingga dapat diharapkan tercapainya atau diyakini sampai kepada tujuannya. d. Menurut praktek sahabat, ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan

sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah Swt., dan sunnah Rasulullah Saw., baik melalui suatu nasakh, yang disebut qiyas maupun melalui sesuatu maksud dan tujuan umum.

e. Menurut mayoritas ulama’ ushul, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian ijtihad dhann (pendugaan kuat) mengenai hukum syara’.

Dari definisi ijtihad secara terminology di atas mengandung pengertian bahwa mujtahid mengerahkan kemampuannya artinya mencurahkan kemampuan seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa dirinya tidak sanggup lagi melebihi dari tingkat itu.

2. Kedudukan Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam

Ijtihad di kalangan ulama’ Islam merupakan salah satu metode istimbath atau penggalian sumber hukum syara’ melalui pengarahan seluruh kemampuan dan kekuatan nalary dalam memahami nash-nash syar’I atas sesuatu peristiwa yang dihadapi dan belum tercantum atau belum ditentukan oleh hukumnya.

Adapun hukum melakukan ijtihad antara lain:

1. Orang tersebut dihukumi fardhu ain

untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya.

2. Juga dihukumi fardhu ain ditanyakan

tentang sesuatu suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.

3. Dihukumi fardhu kifayah jika

permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan aan habis waktunya.

4. Dihukumi sunnah apabila berijtihad

terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya maupun tidak.

5. Dihukumi haram, apabila berijtihad

terhadap permasalah yang sudah ditetapkan secara qath’I sehingga hasil ijtihad itu bertentangan dengan dalil syara’.

4. Syarat-syarat menjadi mujtahid adalah:

a. Memahami al-Qur’an dan asbabul nuzulnya serta ayat-ayat nasikh dan mansukh.

b.Memahami hadits dan sebab-sebab wurudnya serta memahami hadits nasikh danmansukh. c. Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab.

d. Mengetahui tempat-tempat ijtihad. e. Mengetahui ushul fiqih.

f. Memahami masyarakat dan adat istiadat dan bersifat adil dan taqwa

5. Macam-macam ijtihad yang dikenal dalam syariat islam, yaitu

a. Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

b. Qiyas, yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.


(13)

lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.

d. Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran.Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.

e. Sududz Dzariah, yaitumenurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.

f. Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.

g. Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.

6. Dasar Hukum Ijtihad

Ijtihad bisa dipandang sebagai salah atau metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:

Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Umar:

رجأ هلف أطخأ مث دهتجاف مكحاذاو نارجأ هلف باصاف دهتجاف مكاحلا مكح اذا

Artinya:

Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.


(14)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang

diberikan kepada kami,sehingga kami mampu manyusun makalah ini dengan

lancar dan sukses.

Sehubungan dengan terkumpulnya lembaran-lembaran materi Pengantar

Study Islam yang bertema “Sumber-Sumber Ajaran Islam” ini semoga kami

mampu memberikan sedikit penjelasan tentang sumber-sumber ajaran Islam.

Demiikian makalah ini kami buat semoga kita dapat ambil manfaat dari isi

yang terkandung di dalamnya.Mohon maaf atas segala kekurangan.Saran dan

kritik kami butuhkan untuk sempurnanya makalah ini.

Talun, November 2010


(15)

SUMBER – SUMBER

KELOMPOK I

1. Abdul Nafik Afna

2. Abdul Hafid Shofi

3. Abdul Muchit

4. Ainun Ni’mah

5. Ainur Rohmah

6. Alfita Rosyida

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

AT TANWIR TALUN

SUMBERREJO BOJONEGORO

2010/2011


(16)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………

DAFTAR ISI………

BAB I : PENDAHULUAN………

BAB II : PEMBAHASAN……….

Sumber-Sumber Ajaran Islam

A. Al Qur’an………..

a.

Pengertian Al

Qur’an………

b.

Kandungan Al

Qur’an………..

c.

Mukjizat Al

Qur’an……….

d.

Wilayah Kajian Al

Qur’an………

e.

Tafsir Al

Qur’an………

A. Metode Tahlili………..

B. Metode Maudhu’i………..

C. Metode Ijmali………..

D. Metode Muqarran………..

B. HADIST………..

a. Pengertian hadist………

b. Unsur-unsur Hadist………..

c. Istilah- Istilah dalam Hadist………..

d. Wilayah kajian hadist………..

e. Metode pemahaman hadist………..

1. Metode dan Metodelogi………

2. Pemahaman………..

a. Metode Tahlli……….

b. Metode Ijmali(global)……….

c. Metode Muqarran(komparatif)………

C. IJTIHAD………..

a. Pengertian Ijtihad dan Ruang Lingkupnya………..

b. Kedudukan Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam………...

c. Syarat- syarat Mujahid…...

d. Macam-Macam Ijtihad………

BAB III : PENUTUP……….

Kesimpulan………..


(17)

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Adapun sumber-sumber ajaran Islam adalah

1. Al Q ur’an

2. As Sunnah (Hadist)

3. Ijtihad


(1)

telah mencurahkan segala kemampuannya untuk memperoleh hakikat sesuatu tertentu. b. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu fiqih ijtihad berarti mengarahkan tenaga dan

fikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (mengistimbatkan) hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits dengan syarat-syarat tertentu.

c. Sebagian ulama’ mendifinisikan ijtihad dalam pengertian umum, bahwa ijtihad adalah menghasilkan (memaksimalkan) kesungguhannya dalam mencari sesuatu yang ingin dicapai, sehingga dapat diharapkan tercapainya atau diyakini sampai kepada tujuannya. d. Menurut praktek sahabat, ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan

sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah Swt., dan sunnah Rasulullah Saw., baik melalui suatu nasakh, yang disebut qiyas maupun melalui sesuatu maksud dan tujuan umum.

e. Menurut mayoritas ulama’ ushul, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian ijtihad dhann (pendugaan kuat) mengenai hukum syara’.

Dari definisi ijtihad secara terminology di atas mengandung pengertian bahwa mujtahid mengerahkan kemampuannya artinya mencurahkan kemampuan seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa dirinya tidak sanggup lagi melebihi dari tingkat itu.

2. Kedudukan Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam

Ijtihad di kalangan ulama’ Islam merupakan salah satu metode istimbath atau penggalian sumber hukum syara’ melalui pengarahan seluruh kemampuan dan kekuatan nalary dalam memahami nash-nash syar’I atas sesuatu peristiwa yang dihadapi dan belum tercantum atau belum ditentukan oleh hukumnya.

Adapun hukum melakukan ijtihad antara lain:

1. Orang tersebut dihukumi fardhu ain

untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya.

2. Juga dihukumi fardhu ain ditanyakan

tentang sesuatu suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.

3. Dihukumi fardhu kifayah jika

permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan aan habis waktunya.

4. Dihukumi sunnah apabila berijtihad

terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya maupun tidak.

5. Dihukumi haram, apabila berijtihad

terhadap permasalah yang sudah ditetapkan secara qath’I sehingga hasil ijtihad itu bertentangan dengan dalil syara’.

4. Syarat-syarat menjadi mujtahid adalah:

a. Memahami al-Qur’an dan asbabul nuzulnya serta ayat-ayat nasikh dan mansukh.

b.Memahami hadits dan sebab-sebab wurudnya serta memahami hadits nasikh danmansukh. c. Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab.

d. Mengetahui tempat-tempat ijtihad. e. Mengetahui ushul fiqih.

f. Memahami masyarakat dan adat istiadat dan bersifat adil dan taqwa

5. Macam-macam ijtihad yang dikenal dalam syariat islam, yaitu

a. Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

b. Qiyas, yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.


(2)

lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.

d. Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran.Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.

e. Sududz Dzariah, yaitumenurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.

f. Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.

g. Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.

6. Dasar Hukum Ijtihad

Ijtihad bisa dipandang sebagai salah atau metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:

Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Umar:

رجأ هلف أطخأ مث دهتجاف مكحاذاو نارجأ هلف باصاف دهتجاف مكاحلا مكح اذا Artinya:

Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang

diberikan kepada kami,sehingga kami mampu manyusun makalah ini dengan

lancar dan sukses.

Sehubungan dengan terkumpulnya lembaran-lembaran materi Pengantar

Study Islam yang bertema “Sumber-Sumber Ajaran Islam” ini semoga kami

mampu memberikan sedikit penjelasan tentang sumber-sumber ajaran Islam.

Demiikian makalah ini kami buat semoga kita dapat ambil manfaat dari isi

yang terkandung di dalamnya.Mohon maaf atas segala kekurangan.Saran dan

kritik kami butuhkan untuk sempurnanya makalah ini.

Talun, November 2010


(4)

SUMBER – SUMBER

KELOMPOK I

1. Abdul Nafik Afna

2. Abdul Hafid Shofi

3. Abdul Muchit

4. Ainun Ni’mah

5. Ainur Rohmah

6. Alfita Rosyida

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

AT TANWIR TALUN

SUMBERREJO BOJONEGORO

2010/2011


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………

DAFTAR ISI………

BAB I : PENDAHULUAN………

BAB II : PEMBAHASAN……….

Sumber-Sumber Ajaran Islam

A. Al Qur’an………..

a.

Pengertian Al

Qur’an………

b.

Kandungan Al

Qur’an………..

c.

Mukjizat Al

Qur’an……….

d.

Wilayah Kajian Al

Qur’an………

e.

Tafsir Al

Qur’an………

A. Metode Tahlili………..

B. Metode Maudhu’i………..

C. Metode Ijmali………..

D. Metode Muqarran………..

B. HADIST………..

a. Pengertian hadist………

b. Unsur-unsur Hadist………..

c. Istilah- Istilah dalam Hadist………..

d. Wilayah kajian hadist………..

e. Metode pemahaman hadist………..

1. Metode dan Metodelogi………

2. Pemahaman………..

a. Metode Tahlli……….

b. Metode Ijmali(global)……….

c. Metode Muqarran(komparatif)………

C. IJTIHAD………..

a. Pengertian Ijtihad dan Ruang Lingkupnya………..

b. Kedudukan Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam………...

c. Syarat- syarat Mujahid…...

d. Macam-Macam Ijtihad………

BAB III : PENUTUP……….

Kesimpulan………..


(6)

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Adapun sumber-sumber ajaran Islam adalah

1. Al Q ur’an

2. As Sunnah (Hadist)

3. Ijtihad