Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di Komunitas Mailinglist Puterakembara.
Universitas Kristen Maranatha iii
Psychological Well-being pada ibu yang memiliki anak autis di Komunitas mailinglist Puterakembara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Penarikan sampel menggunakan teknik accidental sampling, dengan jumlah sampel 20 orang.
Alat ukur yang digunakan merupakan terjemahan dari Scale of Psychological Well-being (SPWB) dari Carol Ryff (1989) dan terdiri atas 84 item. Berdasarkan hasil uji validitas item dengan SPSS Statistics 22.0 melalui uji rank Spearman, maka diperoleh 77 item yang valid dengan validitas item berkisar antara 0,342 – 0,893. Reliabilitas alat ukur diukur dengan split-half reliability melalui SPSS Statistics 22.0 dan diperoleh reliabilitas berkisar antara 0,733- 0,758 dan tergolong tinggi..
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ibu di Komunitas mailinglist Puterakembara hampir seluruhnya (95%) menunjukkan derajat PWB yang tinggi. Peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan dukungan sosial yang diberikan pasangan dan derajat PWB dan memperbanyak jumlah responden yang diteliti.
Peneliti juga menyarankan agar anggota komunitas mailinglist Puterakembara (para dokter, psikolog, terapis, moderator, dan suami dari ibu yang diteliti ) dapat memberi dukungan baik secara emosional, penghargaan, instrumental ataupun dukungan informasional sesuai dengan peran dan keahliannya di bidang masing-masing agar aktifitas di mailist tidak hanya seputar permasalahan anak dan solusinya namun juga membantu permasalahan yang dihadapi ibu dan solusinya.
Kata kunci: psychological well-being, ibu yang memiliki anak autis, komunitas mailinglist Puterakembara
(2)
Universitas Kristen Maranatha iv
This research was conducted to get an insight of the Psychological Well-being of autism child’s mother in the Puterakembara mailing list community. Survey methodology is used in this research. Sample is taken by using accidental sampling techniques for 20 people.
Measuring instrument that used in this research is a translation of Scale of Psychological Well-being by Carol Ryff (1898), which consists of 84 items. Based on the validation process with SPSS Statistics 22.0 and Rank Spearman formula, 77 valid item is founded with 0.342 – 0.893. The reliability testing was done by Alpha Cronbach formula by SPSS Statistics 22.0. Reliability coefficients were ranging between 0.733 – 0.758.
According to the data, most of mothers in Putrakembara mailing list community (95%) show high PWB score. Researcher suggests performing further research in social support of their partner and adding more samples in the research.
Researcher also suggest the Putrakembara mailing list community (Doctors, Psychologist, Therapist, Moderator, and Fathers) to give support both physically and emotionally, also give appreciation, or giving information from their own expertise point of view so that the mailing list activity not only about the child’s challenges and the solution, but also helping the mother’s challenges and the solution.
Keywords: psychological well-being, autism child’s mother, Puterakembara mailing list community
(3)
Universitas Kristen Maranatha v
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR BAGAN... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 13
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 13
1.3.1 Maksud Penelitian ... 13
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 14
1.4 Kegunaan Penelitian... 14
1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 14
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 14
(4)
Universitas Kristen Maranatha vi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 25
2.1 Psychological Well-Being ... 25
2.1.1 Perkembangan Pemikiran Psychological Well-Being ... 25
2.1.2 Definisi Psychological Well-Being ... 26
2.1.3 Dimensi Psychological Well-Being... 27
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being ... 31
2.2 Autisme ... 46
2.2.1 Pengertian Anak Autisme ... 46
2.2.2 Ciri-ciri Autisme ... 47
2.2.3 Gejala Autisme ... 49
2.2.4 Penyebab Autisme ... 52
2.2.5 Tingkat Kecerdasan Anak Autisme ... 56
2.3 Mothering Pada Anak Autistik... 57
2.3.1 Perilaku Mothering... 57
2.5 Masa Dewasa Awal ... 60
2.5.1 Pengertian Dewasa Awal ... 75
2.5.2 Ciri Perkembangan Dewasa Awal ... 77
2.6 Masa Dewasa Madya ... 82
2.6.1 Ciri Perkembangan Dewasa Madya ... 82
2.6.2 Perkembangan Fisik Dewasa Madya ... 82
(5)
Universitas Kristen Maranatha vii
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 85
3.3.1 Variabel Penelitian ... 85
3.3.2 Definisi Konseptual ... 85
3.3.3 Definisi Operasional... 85
3.4 Alat Ukur ... 87
3.4.1 Alat Ukur PWB ... 87
3.4.2 Data Penunjang ... 93
3.4.3 Validitas dan Reliabilitas ... 93
3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 93
3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 94
3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 96
3.5.1 Populasi Sasaran... 96
3.5.2 Karakteristik Populasi ... 96
3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 96
3.6 Teknik Analisis Data ... 97
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 98
4.1 Gambaran Subjek Penelitian ... 98
4.1.1 Gambaran Ibu Berdasarkan Usia ... 98
(6)
Universitas Kristen Maranatha viii
4.1.4 Gambaran Ibu Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 99
4.1.5 Gambaran Ibu Berdasarkan Penghayatan Status Sosio Ekonomi ... 100
4.1.6 Gambaran Ibu Berdasarkan Jumlah Anak Keseluruhan ... 100
4.2 Hasil Penelitian ... 101
4.3 Pembahasan ... 102
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 116
5.1 Simpulan ... 116
5.2 Saran ... 117
5.2.1 Saran Teoritis ... 117
5.2.2 Saran Praktis... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 119
DAFTAR RUJUKAN ... 123 LAMPIRAN
(7)
Universitas Kristen Maranatha ix
(8)
Universitas Kristen Maranatha x
Tabel 2.1 Skala Faset NEO-PI-R ... 42
Tabel 2.2 Faktor dan Skala Trait Kepribadian Big-Five ... 43
Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur PWB ... 88
Tabel 3.2 Penilaian Alat Ukur ... 91
Tabel 3.3 Nilai Tengah dan Kategori PWB ... 92
Tabel 3.4 Kriteria Validitas ... 94
Tabel 3.5 Kriteria Reliabilitas ... 95
Tabel 3.6 Hasil Uji Reliabilitas ... 95
Tabel 4.1 Gambaran Ibu Berdasarkan Usia ... 98
Tabel 4.2 Gambaran Ibu Berdasarkan Agama ... 99
Tabel 4.3 Gambaran Ibu Berdasarkan Status Marital ... 99
Tabel 4.4 Gambaran Ibu Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 99
Tabel 4.5 Gambaran Ibu Berdasarkan Penghayatan Status Sosio Ekonomi ... 100
Tabel 4.6 Gambaran Ibu Berdasarkan Jumlah Anak Keseluruhan ... 100
Tabel 4.2.1 Derajat PWB ... 101
(9)
Universitas Kristen Maranatha xi
Lampiran 2 : Kuesioner Psychological Well-Being
Lampiran 3 : Gambaran Tambahan mengenai Subjek Penelitian Lampiran 4 : Hasil Perhitungan Tabulasi Silang
Lampiran 5 : Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Lampiran 6 : Profil Komunitas Mailinglist Puterakembara Lampiran 7 : Letter of Consent
Lampiran 8 : Lembar Pernyataan Pengambilan Data Lampiran 9 : Derajat PWB dan Dimensinya
Lampiran 10 : Data Subjek Penelitian Lampiran 11 : Biodata Peneliti
(10)
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Menikah merupakan salah satu tugas perkembangan yang mempunyai peranan penting bagi individu yang telah mencapai usia dewasa. Seligman (2005) mengatakan bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan. Pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan peran sebagai pasangan dan orang tua, menguatkan identitas dan menciptakan keturunan (Carr, 2004). Terdapat harapan yang muncul baik dari diri sendiri ataupun dari lingkungan saat terbentuk kehidupan keluarga yang baru, dan harapan yang paling sering muncul adalah menghasilkan keturunan.
Anak adalah suatu anugerah dari Tuhan yang sangat berharga. Pasangan tentunya memiliki harapan bahwa mereka dapat memiliki anak yang sehat, baik secara fisik maupun psikis. Mereka menginginkan anak yang dapat menjadi penerus keluarga dan dapat menjadi kebanggaan untuk keluarga. Pada kenyataannya, harapan-harapan tersebut tidak selalu dapat diwujudkan. Harapan untuk mendapat anak yang sehat secara fisik dan psikis dapat berubah menjadi kekecewaan yang
(11)
Universitas Kristen Maranatha dalam apabila diketahui anak yang selama ini didambakan mengalami gangguan perkembangan, salah satu contohnya adalah autisme.
Autisme memiliki dua gejala utama, yaitu defisit dalam komunikasi dan interaksi sosial, serta pola perilaku, minat, dan kegiatan yang terbatas dan berulang (DSM V, 2013). Gejala ini menetap - bukan seperti penyakit - sehingga keadaan autisme, baik itu ringan (mild), sedang (moderate), hingga berat (severe), akan terus mengikuti sepanjang hidup si anak. Misalnya tidak dapat berbagi perasaan/ empati kepada orang lain, menaruh perhatian pada satu hal/ benda tertentu dalam jangka waktu yang cukup lama, dan kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi dan bertatap mata dengan orang lain. Oleh sebab itu, anak dengan autisme seperti memiliki kehidupan sendiri, asyik dengan dunianya sendiri, dan tak ingin "keluar" dari dunianya untuk bermain dan berteman dengan anak-anak lain. (Aulia ayu, diakses 14 April 2014)
Saat ini kasus autisme pada anak semakin banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat terutama orangtua. Jika tahun 2008 rasio anak autis 1 dari 100 anak, maka di tahun 2012 terjadi peningkatan yang cukup memprihatinkan dengan jumlah rasio 1 dari 88 orang anak saat ini mengalami autisme (Putro Agus Harnowo, diakses 14 April 2014 ). Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti autisme. Para ahli menyebutkan bahwa autisme dapat terjadi karena kombinasi dari berbagai faktor, yaitu faktor genetik, pengaruh obat-obatan, dan faktor usia orangtua saat memiliki anak
(12)
Universitas Kristen Maranatha Kelahiran anak yang mengalami gangguan autisme adalah kenyataan yang harus dipikul oleh orangtua. Berbagai kesulitan yang berkaitan dengan anak autis tidak hanya dihadapi oleh anak itu sendiri, melainkan juga orangtua sebagai pihak yang paling dianggap dekat dengan kehidupan anak. Hasil penelitian dari devisi TEACCH (Treatment and Education of Autistic and related Communication Handicapped Children) menunjukkan indikasi bahwa orang tua, khususnya ibu yang memiliki anak autistme memiliki tingkat stress dan depresi yang lebih tinggi daripada ibu yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan lainnya. (Volkmar et al., 2005).
Terdapat berbagai tantangan yang dihadapi oleh ibu yang memiliki anak autis. Dimulai saat perjuangan ketika proses kehamilan sampai melahirkan dengan harapan bahwa kelak ia akan tumbuh menjadi anak yang sehat dan menjadi orang yang berguna. Saat ibu menerima diagnosis bahwa anaknya menyandang autisme, harapan itu seketika hancur. Ibu menghadapi kondisi anaknya yang berbeda dengan anak normal lainnya dan tidak bisa berkembang seperti anak lainnya (Dr. MJ.2013, diakses 07 April 2014 )
Pengalaman menjadi seorang ibu yang memiliki anak autis tidaklah mudah, terlebih lagi jika pengalaman ini merupakan pengalaman pertama bagi ibu dan tidak ada bekal pengetahuan mengenai apa itu autis dan bagaimana menanganinya. Berbagai hal seperti makanan apa saja yang boleh dan tidak boleh diberikan pada anak, bagaimana cara memahami kondisi anak, mencari sekolah, dokter dan tempat
(13)
Universitas Kristen Maranatha terapi yang tepat dapat menimbulkan berbagai tekanan bagi ibu. Ibu juga dihadapkan pada pengeluaran biaya yang tidak murah untuk pelaksanaan terapi ataupun untuk berkonsultasi dengan dokter. Di satu sisi, apabila ibu mempertahankan pekerjaannya, ibu dapat memperoleh penghasilan tambahan yang bisa digunakan untuk biaya terapi anaknya namun otomatis waktu yang diberikan ibu untuk anaknya semakin berkurang. Di sisi lain, jika ibu berhenti dari pekerjaannya agar ada banyak waktu yang bisa diberikan ibu untuk anaknya yang sangat memerlukan peran ibu, otomatis pemasukan pun berkurang sementara keperluan semakin meningkat seiring perkembangan anak.
Ibu menghadapi tuntutan dan tanggungjawab yang bertambah kompleks jika ibu bekerja. Ibu harus membagi waktunya untuk suami, pekerjaan, dan anaknya. Belum lagi jika ibu memiliki anak lebih dari satu. Seringkali timbul kecemburuan pada saudaranya atau pada anak autis itu sendiri yang menyebabkan perubahan tingkah laku kearah negative (Dr.Rudy Sutandi, SpA, MARS, SPdI, diakses 08 April 2014).
Terdapat tantangan lain juga yang dihadapi ibu yang memiliki anak autis di masyarakat. Banyak orang beranggapan bahwa anak autis adalah anak-anak aneh dan ada juga yang beranggapan bahwa autisme adalah penyakit menular dan sebagian masyarakat bahkan tidak menerima dan mengakui keberadaan anak-anak autis ini. Hal ini dapat menjadi beban bagi sebagian ibu dengan anak autis. Ada perasaan malu dan juga perasaan untuk menjauh dari kehidupan sosialnya (Marijani, 2003). Ibu
(14)
Universitas Kristen Maranatha dengan anak autis menjadi tertutup terhadap pergaulan sosial, mereka takut untuk menjalin relasi dengan orang lain karena kondisi anaknya.
Selain itu, permasalahan yang seringkali dihadapi ibu yang memiliki anak autis adalah pengetahuan yang minim tentang kondisi anaknya. (Dr. MJ.2013, diakses 07 April 2014). Informasi mengenai autisme sangat diperlukan oleh seorang ibu agar ibu dapat mengetahui dengan tepat kondisi seperti apa yang dialami anaknya sehingga tahu apa yang harus dilakukan dan penanganan apa yang diperlukan. Seringkali keterbatasan informasi yang dimiliki ibu menjadikan ibu bingung dan akhirnya mengalami stress karena tidak mengerti apa yang diinginkan anaknya dan apa yang harus dilakukan oleh anaknya. Ibu bisa mencari informasi lewat buku, internet, komunitas, atau kepada psikolog untuk membantu menangani anaknya secara tepat. Ketakutan ibu memutuskan penanganan yang tepat untuk anak dapat menjadikan ibu bergantung pada psikolog atau figure terdekat bagi ibu, misalnya suami atau orangtuanya tanpa mempertimbangkan apakah keputusan tersebut merupakan keputusan yang sesuai dengan tujuan dan kebutuhan ibu juga anaknya tersebut.
Berbagai kesulitan yang dialami ibu dengan anak autis pada akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis mereka (psychological well-being). Pengalaman menjadi ibu dari anak autis akan dihayati berbeda pada masing-masing ibu. Carol Ryff (1989) berpendapat bahwa psychological well-being adalah hasil evaluasi hidup seseorang yang menggambarkan bagaimana cara orang tersebut
(15)
Universitas Kristen Maranatha mempersepsi dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya. Pada ibu yang memiliki anak autis, psychological well-being adalah hasil evaluasi hidup mereka yang menggambarkan bagaimana cara mereka mempersepsi dirinya dalam menghadapi suatu kondisi dimana anaknya mengidap autisme.
Psychological well-being memiliki 6 dimensi . Dimensi tersebut yaitu penerimaan diri (self-acceptance), memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others), kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri (autonomy), kapasitas untuk mengatur kehidupan dan lingkungan secara efektif (environmental mastery), keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan (purpose in life), dan pengembangan atau pertumbuhan diri (personal growth).
Keenam dimensi tersebut akan membentuk psychological well-being seseorang. Ibu dengan anak autis yang mampu mencapai keenam dimensi tersebut akan mampu menerima segala kelebihan dan kekurangan dirinya dan kondisi yang dihadapinya. Mereka tidak menyerah dengan keadaan dan dapat menjalin relasi yang positif dengan orang-orang sekitarnya. Dengan kondisi tersebut, mereka mampu untuk beradaptasi dan bersikap mandiri, mampu membuat keputusan-keputusan tanpa bergantung pada oranglain. Mereka tetap dapat mengembangkan potensi diri mereka dan mempunyai tujuan dan harapan yang positif terhadap hidup mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ibu dengan anak autis tersebut mencapai keadaan well-being. Pada akhirnya ibu yang memiliki anak autis penting untuk memiliki psychological well-being untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai orangtua dalam
(16)
Universitas Kristen Maranatha keluarga, terutama pada anak penderita autisme yang sangat membutuhkan peran orangtuanya dalam upaya penyembuhan dan perkembangannya (Hamidah dalam Suryana, 2004).
Selain itu, perlu adanya suatu wadah bagi para orangtua khususnya ibu dengan anak autis untuk bisa saling berbagi informasi dan memberi dukungan satu sama lain agar meningkatkan semangat hidup ibu dengan anak autis, yaitu dengan membentuk suatu komunitas bagi orangtua khususnya ibu yang memiliki anak autis. Komunitas ini berguna bagi orangtua untuk mendapat informasi yang lebih lengkap mengenai anak autis dan juga dapat meningkatkan semangat dalam merawat anaknya karena merasa tidak sendirian dalam menghadapi situasi tersebut. Banyak orang yang akan memberikan dorongan dan semangat dan berbagi bagaimana berpikir positif saat menghadapi masalah.
Di Indonesia sendiri sudah banyak ibu-ibu yang memiliki anak autis membentuk suatu perkumpulan atau komunitas. Salah satunya adalah Komunitas Mailinglist Puterakembara yang dibentuk pada Januari 2000. Komunitas ini merupakan komunitas dunia maya yang dibentuk oleh para orang tua anak penyandang Autis yang tergerak untuk menyediakan informasi bagi keluarga, orang tua anak penyandang autisme dan semua lapisan masyarakat yang peduli dengan masalah autisme. Mereka berharap orang tua anak penyandang autisme dapat lebih mengetahui apa yang perlu dilakukan untuk mengarahkan dan memaksimalkan
(17)
Universitas Kristen Maranatha kemampuan anak dalam mempersiapkan mereka untuk dapat mandiri dan berguna bagi masyarakat.
Selain informasi, tersedia juga fasilitas mailing list sebagai sarana diskusi dan tukar-menukar pengalaman dan informasi di antara orang tua anak autis, dokter, psikolog, dosen, guru, terapis, mahasiswa, dan semua orang yang peduli pada masalah autisme. Melalui situs dan fasilitas milis ini diharapkan akan tercipta suatu komunitas peduli autisme yang memungkinkan para anggota bukan saja berdiskusi, tetapi juga saling menguatkan secara moril.
Selain itu, komunitas ini juga pernah mengadakan pertemuan para anggota dan bertatap muka secara langsung juga membentuk Parent Support Group (PSG) dari masing-masing anggota yang berada di daerah yang sama. Hingga saat ini sudah ada PSG dari berbagai daerah, diantaranya Depok, Bekasi, Balikpapan, Pontianak, Solo, Bogor, Bandung, dll.
Banyak rekan milis merasa situs dan milis sangat membantu mereka dalam perjuangan ini. Fasilitas internet dan teknologi telah memungkinkan semua orang bersatu dalam dunia maya sekalipun domisili mereka ada di berbagai tempat bahkan di luar negeri. Dalam hitungan detik, komunikasi bisa dilakukan via email. Kesulitan yang dihadapi ibu dalam merawat anak mereka bisa didiskusikan bersama dengan saling bertukar email dari ibu-ibu lain yang bernasib serupa. ( Bunga Rampai, 2003)
(18)
Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan hasil survey awal pada 10 orang ibu di Komunitas Mailinglist Puterakembara menunjukkan bahwa 70% ibu berkata bahwa mereka terkejut, sedih, kecewa, dan tidak percaya saat menerima diagnosis bahwa anak mereka mengalami autistik. Ibu yang menyalahkan diri sendiri ataupun dokter kandungan terhadap kondisi yang dialami. Banyak kesalahan-kesalahan yang telah ibu lakukan di masa lalu dan ingin diperbaiki jika diberi kesempatan kedua. Sedangkan 30% ibu berkata sudah dapat menerima kelebihan maupun kekurangan yang ada pada dirinya (self-acceptance) dan apabila diberi kesempatan untuk mengulangi dan memperbaiki kejadian di masa lalu, mereka berharap dapat mendeteksi kelainan pada anaknya sedini mungkin untuk dapat memberi penanganan sesegera mungkin. Mereka juga berharap bisa memiliki pemahaman yang mendalam mengenai kondisi anak mereka agar bisa menangani anak mereka dengan tepat. Mereka tidak pernah menyesal atas keadaan yang dialaminya dan menyadari bahwa segala hal yang telah terjadi adalah untuk kebaikan dirinya. Dengan demikian pada aspek self-acceptance dapat dilihat bahwa terdapat lebih banyak ibu belum dapat menerima dirinya.
Sebanyak 30% ibu membatasi diri dengan orang yang baru dikenal, lebih tertutup dan berhati-hati terutama terhadap orang yang tidak mengerti dengan kondisi anaknya. Bila berkenalan dengan orang baru, maka mereka tidak langsung secara terbuka menceritakan pengalaman mereka dengan kondisi anaknya, namun memerlukan beberapa waktu untuk merasa nyaman dengan orang tersebut. Kondisi anak mereka membuat banyak waktu dan energi yang dihabiskan sehingga seringkali
(19)
Universitas Kristen Maranatha mereka kesulitan untuk menjalin relasi dengan orang lain dan fokus untuk merawat anak mereka. Sedangkan 70% ibu tidak memiliki kendala dalam menjalin relasi dengan orang lain dan masih dapat berhubungan positif dengan orang lain (positive relation with others ). Mereka merasa sangat terbuka dan tak segan membawa anaknya ke lingkungan masyarakat dan mengenalkan anaknya pada orang lain. Dengan demikian pada aspek positive relation with others dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu dapat menjalin relasi yang hangat dengan orang lain.
Sebanyak 80% ibu belum mampu mengambil keputusan secara mandiri. Setiap keputusan yang akan diambil berpegangan pada penilaian dan harapan orang lain. Sedangkan 20% ibu sudah mampu mengatur perilaku mereka sendiri dan memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan sendiri (autonomy). Keputusan untuk kegiatan sehari-hari seperti makanan yang akan diberikan pada anak dan mengatur jadwal kegiatan dirinya dapat diputuskan sendiri, dan untuk keputusan yang memerlukan diskusi dan perencanaan lebih lanjut seperti dimana tempat yang baik untuk terapi, terapi apa saja yang perlu dilakukan, dan rencana masa depan dirinya dan anak mereka berdiskusi dengan suami dan para ahli. Saran dari orang lain tetap didengarkan namun mereka tetap memegang kendali terhadap keputusan-keputusan yang diambil. Dengan demikian pada aspek autonomy dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu belum dapat mandiri dalam mengambil keputusan.
Sebanyak 60% ibu mengatakan bahwa mereka kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas
(20)
Universitas Kristen Maranatha lingkungan sekitarnya, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan (environmental mastery). Mereka kesulitan mencari waktu untuk melakukan hobi ataupun kegiatan yang disenangi karena waktu mereka banyak dihabiskan untuk mengasuh anak mereka, salah satu ibu berkata ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya yang dulu dan fokus merawat anak. Walaupun demikian, keputusan tersebut pun masih terasa kurang. Kegiatan-kegiatan yang sebelumnya mereka ikuti harus mereka kurangi karena harus menemani anak. Kegiatan mereka setiap hari harus disesuaikan dengan kegiatan anaknya dan mereka kesulitan untuk mengatur aktivitas mereka sehari-hari sehingga kekurangan waktu untuk diri mereka sendiri. Sedangkan 40% ibu masih dapat menjalankan aktivitasnya, beberapa berprofesi sebagai dosen. Mereka masih memiliki waktu luang untuk berolahraga ataupun mengikuti seminar-seminar yang berkaitan dengan Autisme. Dengan demikian pada aspek environmental mastery dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu belum dapat mengatur lingkungannya dan seluruh aktivitasnya terfokus pada anaknya sehingga aktivitas lainnya menjadi terhambat.
Diketahui juga bahwa sebanyak 30% ibu menganggap masa depan akan semakin sulit untuk dihadapi. Mereka masih bertanya-tanya mengenai hal apa yang menjadi tujuan mereka di masa depan. Sedangkan 70% ibu memiliki tujuan hidup (purpose in life). Mereka mempunyai tujuan untuk dapat membuat anaknya kelak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dengan cara memberikan intervensi sebaik mungkin dari saat ini dan membekali anaknya dengan berbagai keterampilan. Mereka
(21)
Universitas Kristen Maranatha juga ingin anaknya menjadi pribadi yang saleh dan bertakwa pada Tuhan. Selain itu mereka juga berharap bahwa anaknya bisa diterima di lingkungan masyarakat tanpa dieprlakukan berbeda dengan anak lain. Dengan demikian pada aspek purpose in life dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu tampak sudah memiliki tujuan hidup dan arah dalam hidup.
Sebanyak 60% ibu merasa kesulitan mencari waktu luang untuk mengembangkan potensi diri mereka. Seluruh aktivitas sehari-hari terfokus untuk merawat anak. Sedangkan 30% ibu mengatakan bahwa mereka giat mencari kegiatan yang dapat menambah kemampuan mereka dalam mendidik dan mengasuh anak mereka (personal growth), salah satunya dengan mengikuti Komunitas Mailinglist Puterakembara tersebut. Mereka sering mencari pelatihan, seminar dan training untuk menambah pengetahuan mereka tentang kondisi anaknya dan pengetahuan untuk dapat mendidik anaknya secara tepat. Dengan demikian pada aspek personal growth dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu belum dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri mereka.
Dari hasil wawancara yang dilakukan pada Komunitas Mailinglist Puterakembara, diketahui bahwa terdapat gambaran yang bervariasi untuk setiap dimensi yang berpengaruh pada Psychological well-being mereka. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang psychological well-being pada Ibu dengan anak autis pada Komunitas Mailinglist Puterakembara.
(22)
Universitas Kristen Maranatha 1.2 Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini ingin diketahui derajat psychological well-being (PWB) Ibu dengan anak autis di Komunitas Mailinglist Puterakembara
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai psychological well-being (PWB) Ibu dengan anak autis di Komunitas Mailinglist Puterakembara.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai derajat PWB melalui dimensi self-acceptance, positive relationship with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth pada Ibu dengan anak autis di Komunitas Mailinglist Puterakembara serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis
1. Memperkaya ruang lingkup penelitian mengenai psychological well-being pada ibu dengan anak autis.
(23)
Universitas Kristen Maranatha 2. Sebagai referensi bagi penelitian lain dengan bidang kajian serupa.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada para dokter, psikolog, terapis, dan moderator di komunitas tersebut agar dapat mengetahui gambaran mengenai psychological well-being para ibu yang memiliki anak autis yang merupakan anggota dari komunitas tersebut untuk bisa bersama-sama memberikan dukungan sesuai dengan keahlian mereka.
2. Memberikan informasi kepada suami yang memiliki anak autis di komunitas yang bersangkutan agar dapat mengetahui gambaran mengenai psychological well-being istrinya sehingga dapat memberi dukungan dan bantuan yang tepat.
1.5. Kerangka Pemikiran
Para ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara berada pada masa dewasa awal dan dewasa madya. Menurut Santrock, masa dewasa awal berlangsung dari usia 20an hingga 35 tahunan. ( John W. Santrock, 2002). Dalam masa dewasa awal, para ibu secara kognitif mengalami perubahan yang dualistik menjadi pemikiran beragam. William Perry(1970) juga mencatat perubahan-perubahan penting tentang cara berpikir orang dewasa muda yang berbeda dengan remaja. Ia percaya bahwa remaja sering memandang dunia dalam dualisme pola mendasar—seperti benar/salah, kita/mereka, atau baik/buruk. Pada waktu kaum muda mulai matang dan memasuki masa dewasa, mereka mulai menyadari perbedaan
(24)
Universitas Kristen Maranatha dan berbagai perspektif yang dipegang oranglain, yang mengguncang pandangan dualistik mereka. Pemikiran dualistik mereka digantikan dengan pemikiran beragam, saat individu mulai memahami bahwa orang dewasa tidak selalu memiliki semua jawaban. Mereka mulai memperluas pemikiran individualistik dan mulai percaya bahwa setiap orang memiliki pandangan pribadi masing-masing serta setiap pendapat yang ada sebaik pendapat orang lainnya.
Dengan berkembangnya pemikiran yang beragam, mereka mampu mengevaluasi pengalaman hidupnya dengan lebih matang daripada yang berada pada masa remaja. Di samping itu, dewasa madya dimulai kira-kira pada usia 35 tahun hingga memasuki usia 60-an. Pada masa ini para ibu dipenuhi tanggungjawab dan berbagai peran yang menyita waktu dan energi seperti bekerja, berumah tangga dan mengurus anak.
Terdapat berbagai tantangan yang dialami para ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara. Pertama, mengenai kesulitan dalam pengasuhan anak. Kedua, ibu juga dihadapkan pada pengeluaran biaya yang tidak murah untuk pelaksanaan terapi ataupun untuk berkonsultasi dengan dokter. Ketiga, permasalahan jika ibu juga memiliki anak selain anak yang didiagnosa autis. Keempat, tantangan yang dihadapi ibu yang memiliki anak autis di masyarakat. Kelima, kesulitan dalam mendapatkan informasi yang tepat untuk merawat anak dengan tepat.
(25)
Universitas Kristen Maranatha Berbagai tantangan yang dialami oleh ibu yang memiliki anak autis dapat mempengaruhi penilaian mereka terhadap kehidupan yang mereka jalani. Hal inilah yang disebut Carol Ryff sebagai psychological well being. Ryff (1995) berpendapat bahwa psychological well being adalah evaluasi hidup seseorang yang menggambarkan bagaimana cara orang tersebut mempersepsi dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya. Psychological well being memiliki 6 dimensi. Tiap dimensinya menjelaskan bagaimana seseorang berfungsi secara positif dalam menghadapi tantangan-tantangan hidupnya. Dimensi tersebut antara lain self-acceptance, positive relationship with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth.
Penerimaan diri (self-acceptance) merupakan penilaian ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara terhadap diri mereka. Ibu yang memiliki self-acceptance yang tinggi ditandai dengan menerima dirinya secara positif, menerima dan mengakui kelebihan dan kekurangan dirinya. Sedangkan ibu yang memiliki self-acceptance yang rendah akan mengevaluasi dirinya tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa dengan masa lalu dan ingin menjadi orang yang berbeda dari dirinya saat ini.
Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others) merupakan penilaian ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara mengenai penilaian terhadap kemampuannya dalam membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Ibu yang memiliki positive relationship
(26)
Universitas Kristen Maranatha with others yang tinggi mengevaluasi dirinya berhasil menjalin relasi yang baik dan hangat, merasa puas, percaya untuk berhubungan orang lain, memikirkan kesejahteraan orang lain, mampu berempati, merasakan afeksi dan intimasi dalam suatu hubungan serta dapat saling mengerti, memberi dan menerima. Sedangkan ibu memiliki positive relationship with others yang rendah mengevaluasi dirinya tidak nyaman bila berada dekat dengan orang lain, merasa terisolasi, frustasi jika berhubungan dengan orang lain dan tidak dapat terikat dengan orang lain.
Otonomi (autonomy) merupakan penilaian ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara terhadap kemampuannya untuk menentukan tindakan sendiri. Ibu dengan autonomy yang tinggi mampu membuat keputusan sendiri tanpa bergantung pada penilaian orang lain. Sedangkan ibu dengan autonomy yang rendah biasanya masih mengharapkan orang lain dalam memutuskan suatu hal.
Penguasaan lingkungan (environmental mastery) merupakan penilaian ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara terhadap kemampuannya untuk memilih atau mengubah lingkungan sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Ibu dengan environmental mastery yang tinggi mampu mengatur aktivitasnya sehari-hari dan membagi waktu dengan anaknya, suaminya, keluarga besarnya, pekerjaan ataupun untuk kegiatan-kegiatan lainnya. Sedangkan ibu dengan environmental mastery yang rendah mengalami kesulitan dalam mengatur aktivitasnya sehari-hari, mereka tidak menggunakan kesempatan yang ada di lingkungan untuk mengembangkan diri.
(27)
Universitas Kristen Maranatha Keyakinan memiliki tujuan hidup (purpose in life) merupakan penilaian ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara terhadap kemampuannya untuk menentukan tujuan dan arah hidupnya. Ibu dengan purpose in life yang tinggi sudah memiliki tujuan dan arah hidupnya. Sebaliknya, ibu dengan purpose in life yang rendah belum mempunyai tujuan hidup dan arah hidup yang jelas. Mereka hanya terfokus untuk menjalani masa sekarang dan tidak memikirkan dan merencanakan apa yang ingin dicapai di masa depan.
Pertumbuhan pribadi (personal growth) merupakan penilaian ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara terhadap kemampuannya untuk mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan. Ibu yang memiliki personal growth yang tinggi dapat menyadari potensi yang ada dalam dirinya serta mencoba pengalaman baru yang berguna untuk mengembangkan dirinya, misalnya mengikuti seminar-seminar atau bahkan memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Sedangkan Ibu yang memiliki personal growth yang rendah merasa jenuh dan tidak tertarik dalam menjalani kehidupan, serta tidak mampu mengembangkan dirinya.
Berdasarkan Ryff dan Keyes (Ryff, 1989; Ryff&Keyes, 1995; Ryff, 1994; Ryff&Essex, 1992; Sarafino, 1990), ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia (Ryff, 1989b, 1991; Ryff & Keyes,1995; Ryff & Singer, 1998c). Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan (environmental mastery) dan dimensi
(28)
Universitas Kristen Maranatha otonomi (autonomy) mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya.
Pertambahan usia yang dialami ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara membuatnya merasa bahwa dirinya lebih matang, mandiri, dan mampu dalam mengendalikan lingkungannya sehingga dapat berpengaruh terhadap penilaiannya tersebut mengenai kemampuannya dalam mengatur lingkungan dan aktivitas yang dilakukannya maupun kemandirian individu.
Seiring pertambahan usia, penilaian ibu yang memiliki anak autis di komunitas Mailing List Puterakembara mengenai kemampuannya dalam menetapkan tujuan hidup (purpose in life) dan penilaiannya terhadap kemampuannya untuk mengembangkan diri dan terbuka pada pengalaman baru (personal growth) memperlihatkan penurunan, penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya usia, ibu yang memiliki anak autis di komunitas Mailing List Puterakembara sudah merasa nyaman dengan peran dalam kehidupannya sehingga tidak terlalu terpacu lagi untuk menetapkan tujuan maupun untuk mengembangkan dirinya.
Perbedaan status sosio-ekonomi juga mempengaruhi kondisi psychological well-being ibu yang memilikianak autis di komunitas Mailing List Puterakembara. Data yang diperoleh dari Wiscosin Longitudinal Study memperlihatkan gradasi sosial dalam kondisi well-being pada dewasa madya. Data tersebut memperlihatkan bahwa
(29)
Universitas Kristen Maranatha pendidikan tinggi dan status pekerjaan meningkatkan psychological well-being, terutama pada dimensi penerimaan diri (self-acceptance) dan dimensi tujuan hidup (purpose in life) (Ryff, 1994). Ibu yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu mereka, serta lebih memiliki keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial yang lebih rendah. Hal ini disebakan karena mereka merasa memiliki sesuatu yang lebih dan hal tersebut membuatnya bangga akan dirinya.
Kemampuan ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara dalam menetapkan dan memiliki tujuan hidup (purpose in life) juga dipengaruhi oleh faktor status sosio-ekonomi. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki aspirasi tujuan hidup yang rendah pula. Ibu yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial lebih rendah.
Schmute dan Ryff (1997) menemukan bahwa trait dari Big Five Personality (extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism dan openness to experience) memiliki hubungan dengan psychological well-being individu. Menurut Pervin & John (1997), setiap trait memiliki faset-faset tertentu. Faset gregariousness untuk trait extraversion yang berarti dorongan ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara untuk beraktivitas, berhubungan sosial, dan hidup bersama dengan orang lain. Faset trust untuk trait agreeableness yang berarti kepercayaan dan integritas ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List
(30)
Universitas Kristen Maranatha Puterakembara terhadap orang lain. Faset self-discipline untuk trait conscientiousness yang berarti pengendalian dorongan dan keinginan personal pada ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara. Faset anxiety untuk trait neuroticism yang berarti suatu perasaan cemas yang tidak menyenangkan, ketakutan, dan keprihatinan atas suatu bencana atau masalah yang tidak dapat dihindari pada ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara. Faset actions untuk trait openness to experience yang berarti suatu proses bagi ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara untuk mencoba hal-hal baru.
Ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara yang Neurotic memiliki peluang untuk mengevaluasi dirinya secara negatif dibandingkan dengan orang Extraversion yang cenderung didominasi oleh perasaan positif, energik dan dorongan untuk menjalin relasi dengan orang-orang di sekitarnya. Openness to Experience muncul sebagai predictor yang kuat dalam dimensi personal growth, yaitu dengan keterbukaan pada pengalaman baru yang disertai nilai imajinasi, pemikiran luas dan apresiasi yang tinggi terhadap seni. Sedangkan ibu yang Agreeableness biasanya akan ramah, pemaaf, percaya pada orang lain berkaitan dengan dimensi positive relation with others. Autonomy, diprediksi dipengaruhi oleh bermacam-macam trait, tetapi yang paling kuat adalah Neuroticism. Ibu yang Neuroticism biasanya akan menunjukkan self-esteem rendah, mudah cemas, mudah marah dan reaktif sehingga mempengaruhinya untuk mandiri dalam membuat keputusan. (Keyes dan Shmotkin, 2002)
(31)
Universitas Kristen Maranatha Bila dibandingkan dengan faktor usia, status sosio-ekonomi dan kepribadian, terdapat pula faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap kondisi PWB. Menurut Cobb, individu yang mendapatkan dukungan sosial akan merasa bahwa dirinya dicintai, diperdulikan, dihargai, dan menjadi bagian dalam jaringan sosial (seperti dari pasangan, keluarga, teman dekat, dan komunitas mailinglist Puterakembara) yang menyediakan tempat bergantung ketika dibutuhkan, dan individu-individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi (Davis dalam Pratiwi, 2000).
Beberapa penelitian mengenai psychological well-being dan religiusitas menemukan hubungan positif antara religiusitas dan psychological well-being (Flannelly, Koenig, Ellison, Galek, & Krause, 2006). Argyle (dalam Weiten & Lloyd, 2003) menyatakan bahwa individu yang mempunyai religiusitas yang kuat memiliki psychological well-being yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang tidak memeluk agama. Selain itu dalam Bastarman (2000), menyatakan bahwa individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna.
(32)
Universitas Kristen Maranatha Berikut adalah bagan dari penjelasan di atas :
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran
1.6 Asumsi
1. Psychological well-being (PWB) merupakan tinggi rendahnya kemampuan ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara dalam mengevaluasi hidup yang menggambarkan bagaimana cara mereka mempersepsi dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya
Faktor-faktor yang Mempengaruhi PWB: A. Faktor Sosiodemografis 1. Usia
2. Status Marital
3. Status Sosial Ekonomi 4. Kepribadian
B. Faktor Lain 5. Dukungan Sosial 6. Religiusitas
Ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailinglist
Puterakembara
Psychological well-being (PWB)
Dimensi Psychological Well-Being: 1. Penerimaan Diri (Self Acceptance) 2. Pertumbuhan Diri (Personal Growth) 3. Tujuan Hidup (Purpose in Life)
4. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
5. Otonomi (Autonomy)
6. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)
Tinggi
(33)
Universitas Kristen Maranatha 2. Psychological well-being penting untuk dimiliki oleh ibu dengan anak autis di
Komunitas Mailing List Puterakembara.
3. Psychological well-being pada ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara memiliki 6 dimensi, yaitu self-acceptance, positive relationship with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth.
4. Psychological well-being pada ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailing List Puterakembara dipengaruhi oleh faktor usia, status marital, status sosio ekonomi, kepribadian, dukungan sosial, dan religiusitas.
(34)
100
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai tingkat Psychological Well-Being (PWB) yang dilakukan pada ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailinglist Puterakembara, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Ibu yang memiliki anak autis di Komunitas Mailinglist Puterakembara hampir seluruhnya memiliki tingkat Psychological Well-Being (PWB) yang tinggi. PWB yang tinggi menunjukkan derajat yang tinggi pula di hampir keseluruhan dimensi yang ada dan PWB yang rendah menunjukkan derajat yang rendah pula di hampir keseluruhan dimensi yang ada.
2. Dimensi self acceptance memiliki kecenderungan keterkaitan dengan usia ibu, status marital ibu, jenis kelamin anak, dukungan yang diberikan pasangan
3. Dimensi positive relation with others memiliki kecenderungan keterkaitan dengan dukungan yang diberikan pasangan
4. Dimensi autonomy memiliki kecenderungan keterkaitan dengan usia ibu, status marital ibu, jenis kelamin anak, usia anak, dan jumlah anak 5. Dimensi environmental mastery memiliki kecenderungan keterkaitan
dengan usia ibu, status marital ibu, jenis kelamin anak, dukungan yang diberikan pasangan dan peran agama
(35)
Universitas Kristen Maranatha 6. Dimensi purpose in life memiliki kecenderungan keterkaitan dengan usia anak, jumlah ABK yang dimiliki ibu, dukungan yang diberikan pasangan, faset anxiety dari BigFive Personality
5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoritis
1. Bagi para peneliti selanjutnya yang akan meneliti Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak autis dapat mempertimbangkan jumlah sampel yang lebih besar.
2. Bagi para peneliti selanjutnya dapat mempertimbangkan untuk meneliti hubungan antara dukungan sosial yang diberikan oleh pasangan dengan Psychological Well-Being ibu yang memiliki anak autis.
3. Bagi para peneliti selanjutnya dapat mempertimbangkan untuk memodifikasi alat ukur PWB jika memiliki karakteristik sampel yang spesifik.
4. Bagi HIMPSI dapat mempertimnbangkan untuk melakukan pengembangan aturan mengenai bagaimana etika yang baik dan benar dalam mengambil data secara online mengingat bahwa jaman semakin modern dan teknologi semakin berkembang.
(36)
Universitas Kristen Maranatha
5.2.2 Saran Praktis
1. Memberikan gambaran mengenai Psychological Well-Being ibu yang memiliki anak autis di komunitas mailinglist Puterakembara kepada anggota dari komunitas tersebut (para dokter, psikolog, terapis, moderator, dan orangtua) agar dapat memberi dukungan baik secara emosional, penghargaan, instrumental ataupun dukungan informasional sesuai dengan peran dan keahliannya di bidang masing-masing agar aktifitas di mailist tidak hanya seputar permasalahan anak dan solusinya namun juga membantu permasalahan yang dihadapi ibu dan solusinya.
2. Memberikan gambaran mengenai Psychological Well-Being ibu yang memiliki anak autis di komunitas mailinglist Puterakembara kepada suami yang memiliki anak autis di komunitas yang bersangkutan agar dapat mendorong suami memberi dukungan kepada istrinya mengingat dukungan yang diberikan pasangan memiliki keterkaitan pada Psychological Well-Being ibu.
(37)
(38)
103
Bastarman, H.D. 1996. Meraih Makna Hidup. Jakarta: Airlangga.
Carr,Alan.(2004). Positive Psychology The Science of Happiness and HumanStrengths. USA and Canada. Brunner-Rotledge.
Cobb, S. 1976 Social support as a moderator of life stress. "Journal of Psychosomatic Medicine"
Costa, P. T., Jr. and McCrae, R. R. (1980). Influence of extroversion and neuroticism on subjective well-being: happy and unhappy people. J. Pers.Soc. Psychol., 38, 668-678.
____. (1996). Mood and personality in adulthood. In C.Magai andS. H. MacFadden (Eds.), Handbook of emotion, adult development and aging. (pp. 369383).SanDiego:Academic Press.
Davis, M. T. 2004. The Effects of Religious Beliefs on Mental Health. New York: Mc-GrawHills Companies, Inc.
DeNeve, K. M. and Cooper, H. (1998). The happy personality: a meta-analysis of 137 personality traits and subjective well-being. Psychol. Bull., 124, 197-229.
Diener, E., Sandvik, E., Pavot, W., and Fujita, F. (1992). Extroversion and subjective well-being in a U.S. national probability sample. Journal of Research in Personality, 26, 205215.
(39)
Flannelly,K.J.,Koenig,H. G., Ellison, C. G., Galek, K., &Krause, N.2006. Belief in Life after Death and Mental Health: Findings from a National Survey. "Journal of Nervous and Mental Disease"
Friedman, E. M., Hayney, M., Love, G. D., Singer, B. H., and Ryff, C. D. (2007). Plasma interleukin-6 and soluble IL-6 receptors are associated with psychological well- being in aging women. Health Psychol., 26, 305-313.
Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo.
Keyes, C.L. & Ryff, C.D. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisted. Journal of Personality and Social Psychology, 69. 719-727
____. (2002). Optimizing Well-Being. The Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 82. 1007-1022
Mappiare, Andi. 1983. Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional
McCrae, R., & Costa, P. 1997. Personality trait structures as a human universal. American Psychologist,
____. 2006. Age change in personality and their origins: comments on Robert, Walton, and Viechtbauer, Psychological Bulletin vol 132.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Robinson JP, Shaver PR, & Wrightsman LS.1991. Measure of personality and social psychological attitudes. San Diego: Academic Pr.
(40)
Ryan, R. M. and Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: a review of research on hedonic and eudemonic well-being. Annu. Rev. Psychol., 52, 141-166.
Ryff, C. D. and Keyes, C. L. (1995). The structure of psychological well-being revisited. J.Pers. Soc. Psychol., 69, 719-727.
Ryff, Carol D. 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations On The Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 57, 1069-1081.
Ryff, Carol., Singer, & Burton. 2002. From Social Structure to Biology : Integrative Science in Pusuit of Human Health and Well-being. Dalam Snyder, Lopez. 2002. Handbook of Positive Psychology. New York : Oxford University Press,Inc.
____. (2003). Ironies of the human condition: Well-being and health on the way to mortality. In L.G.Aspinwal and U.M.Staudinger (Eds.), A psychology of human strengths: Fundamental questions and future directions for a positive psychology. (pp. 271-287). Washington, DC, US.: American Psychological Association.
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5, Jilid II. Jakarta: Erlangga.
Sarafino, E.P. 1990. Health psychology : Biopsychosocial interactions. New York: John Wiley & Sons
Seligman,M.E.P., (2005). Penerjemah Nukman Y. E. Authentic happiness: Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif. PenerbitMizan
(41)
Taylor, R. J., Chatters, L. M., 2004. Religion in the Lives of African Americans: Social, Psychological, and Health. California: SAGE Publications, Inc.
Waterman, A. S. (1993). Two conceptions of happiness: Contrast of personal expressiveness (eudaimonic) and hedonic enjoyment. Journal of Personality and Social Psychology., 64, 678-691.
Weiten, W. Lloyd, M.A. 2004. Psychology Applied to Modern Life : Adjustment in the 21st Century (with InfoTrac), 7th Edition. Wadsworth Publishing
Weiten, W.; M.A.; Dunn, D.S.; Hammer, E.Y. 2006. Psychology Applied To Modern Life : Adjustment In The 21st Century. Belmont: Guilford Press
Wells, Ingrid E. 2010. Psychological Well Being. New York: Nova Science Publishers Inc.
(42)
DAFTAR RUJUKAN
Aryani, Neysa Valeria Tri. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well
Being pada Single Mothers di Komunitas “X“. Skripsi. Bandung: Fakultas
Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Aulia Ayu. 2013. Mereka Berbeda Bukan Bodoh (Autisme).
http://auliaayufs.blogspot.com/2013/09/mereka-berbeda-bukan-bodoh-autisme.html, diakses 14 April 2014
Dr. Joko Yuwono, M.Pd.2013. Problem Ibu yang Memiliki Anak Autistik. http://joykoautis.blogspot.com/2013/01/problem-ibu-yang-memiliki-anak autistik.html , diakses 07 April 2014
Dr. MJ.2013. Seminar Tentang Keterlibatan Ibu dalam Membantu Anak Autsitsik. http://konselingdankonsultananakautisme.blogspot.com/2013_10_01_archive. html , diakses 07 April 2014
Harri Santoso.2014. Serambi Indonesia : Mari Peduli Anak Autis. http://aceh.tribunnews.com/2014/04/03/mari-peduli-anak-autis, diakses 07 April 2014
Malika Alia Rahayu. FPSI UI. 2008. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126719-
306.872%20RAH%20p%20-%20Psychological%20Well-Being%20-%20Literatur.pdf, diakses 14 Maret 2013.
Putro Agus Harnowo. 2012. Jumlah Anak Autis di 2012 Makin Banyak. http://health.detik.com/read/2012/04/02/100034/1882522/763/jumlah-anak-autis-di-2012-makin-banyak, diakses 14 April 2014
(43)
Pratiwi, M. 2000. Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Dewasa Muda yang Pernah Menjadi Anak Panti Asuhan (Studi KasusSPWB pada 3 Orang Subjek). Depok:Fakultas Psikologi UI.
psychologymania.com/2010/01/ psikologi-perkembangan-dewasa-awal.html, diakses pada tanggal 7 Juni 2013
Rahmawati,et.al. Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stress pada Ibu yang memiliki Anak Autis di SLB Autis di Surakarta. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&ca d=rja&uact=8&ved=0CFIQFjAE&url=http%3A%2F%2Fcandrajiwa.psikolog i.fk.uns.ac.id%2Findex.php%2Fcandrajiwa%2Farticle%2Fdownload%2F50%
2F41&ei=EItOU-zcE4Tj8AWMo4CwBw&usg=AFQjCNGyYyerkTJJngOgYgMpLf3nKs6QO w&sig2=HizAPnEuIs_pyBVvwMG28w , diakses pada 14 April 2014
(1)
103
Carr,Alan.(2004). Positive Psychology The Science of Happiness and HumanStrengths. USA and Canada. Brunner-Rotledge.
Cobb, S. 1976 Social support as a moderator of life stress. "Journal of Psychosomatic Medicine"
Costa, P. T., Jr. and McCrae, R. R. (1980). Influence of extroversion and neuroticism on subjective well-being: happy and unhappy people. J. Pers.Soc. Psychol., 38, 668-678.
____. (1996). Mood and personality in adulthood. In C.Magai andS. H. MacFadden (Eds.), Handbook of emotion, adult development and aging. (pp. 369383).SanDiego:Academic Press.
Davis, M. T. 2004. The Effects of Religious Beliefs on Mental Health. New York: Mc-GrawHills Companies, Inc.
DeNeve, K. M. and Cooper, H. (1998). The happy personality: a meta-analysis of 137 personality traits and subjective well-being. Psychol. Bull., 124, 197-229.
Diener, E., Sandvik, E., Pavot, W., and Fujita, F. (1992). Extroversion and subjective well-being in a U.S. national probability sample. Journal of Research in Personality, 26, 205215.
(2)
Flannelly,K.J.,Koenig,H. G., Ellison, C. G., Galek, K., &Krause, N.2006. Belief in Life after Death and Mental Health: Findings from a National Survey. "Journal of Nervous and Mental Disease"
Friedman, E. M., Hayney, M., Love, G. D., Singer, B. H., and Ryff, C. D. (2007). Plasma interleukin-6 and soluble IL-6 receptors are associated with psychological well- being in aging women. Health Psychol., 26, 305-313.
Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo.
Keyes, C.L. & Ryff, C.D. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisted. Journal of Personality and Social Psychology, 69. 719-727
____. (2002). Optimizing Well-Being. The Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 82. 1007-1022
Mappiare, Andi. 1983. Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional
McCrae, R., & Costa, P. 1997. Personality trait structures as a human universal. American Psychologist,
____. 2006. Age change in personality and their origins: comments on Robert, Walton, and Viechtbauer, Psychological Bulletin vol 132.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Robinson JP, Shaver PR, & Wrightsman LS.1991. Measure of personality and social psychological attitudes. San Diego: Academic Pr.
(3)
Ryan, R. M. and Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: a review of research on hedonic and eudemonic well-being. Annu. Rev. Psychol., 52, 141-166.
Ryff, C. D. and Keyes, C. L. (1995). The structure of psychological well-being revisited. J.Pers. Soc. Psychol., 69, 719-727.
Ryff, Carol D. 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations On The Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 57, 1069-1081.
Ryff, Carol., Singer, & Burton. 2002. From Social Structure to Biology : Integrative Science in Pusuit of Human Health and Well-being. Dalam Snyder, Lopez. 2002. Handbook of Positive Psychology. New York : Oxford University Press,Inc.
____. (2003). Ironies of the human condition: Well-being and health on the way to mortality. In L.G.Aspinwal and U.M.Staudinger (Eds.), A psychology of human strengths: Fundamental questions and future directions for a positive psychology. (pp. 271-287). Washington, DC, US.: American Psychological Association.
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5, Jilid II. Jakarta: Erlangga.
Sarafino, E.P. 1990. Health psychology : Biopsychosocial interactions. New York: John Wiley & Sons
Seligman,M.E.P., (2005). Penerjemah Nukman Y. E. Authentic happiness: Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif. PenerbitMizan
(4)
Taylor, R. J., Chatters, L. M., 2004. Religion in the Lives of African Americans: Social, Psychological, and Health. California: SAGE Publications, Inc.
Waterman, A. S. (1993). Two conceptions of happiness: Contrast of personal expressiveness (eudaimonic) and hedonic enjoyment. Journal of Personality and Social Psychology., 64, 678-691.
Weiten, W. Lloyd, M.A. 2004. Psychology Applied to Modern Life : Adjustment in the 21st Century (with InfoTrac), 7th Edition. Wadsworth Publishing
Weiten, W.; M.A.; Dunn, D.S.; Hammer, E.Y. 2006. Psychology Applied To Modern Life : Adjustment In The 21st Century. Belmont: Guilford Press
Wells, Ingrid E. 2010. Psychological Well Being. New York: Nova Science Publishers Inc.
(5)
DAFTAR RUJUKAN
Aryani, Neysa Valeria Tri. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well Being pada Single Mothers di Komunitas “X“. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Aulia Ayu. 2013. Mereka Berbeda Bukan Bodoh (Autisme).
http://auliaayufs.blogspot.com/2013/09/mereka-berbeda-bukan-bodoh-autisme.html, diakses 14 April 2014
Dr. Joko Yuwono, M.Pd.2013. Problem Ibu yang Memiliki Anak Autistik. http://joykoautis.blogspot.com/2013/01/problem-ibu-yang-memiliki-anak autistik.html , diakses 07 April 2014
Dr. MJ.2013. Seminar Tentang Keterlibatan Ibu dalam Membantu Anak Autsitsik. http://konselingdankonsultananakautisme.blogspot.com/2013_10_01_archive. html , diakses 07 April 2014
Harri Santoso.2014. Serambi Indonesia : Mari Peduli Anak Autis. http://aceh.tribunnews.com/2014/04/03/mari-peduli-anak-autis, diakses 07 April 2014
Malika Alia Rahayu. FPSI UI. 2008. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126719-
306.872%20RAH%20p%20-%20Psychological%20Well-Being%20-%20Literatur.pdf, diakses 14 Maret 2013.
Putro Agus Harnowo. 2012. Jumlah Anak Autis di 2012 Makin Banyak. http://health.detik.com/read/2012/04/02/100034/1882522/763/jumlah-anak-autis-di-2012-makin-banyak, diakses 14 April 2014
(6)
Pratiwi, M. 2000. Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Dewasa Muda yang Pernah Menjadi Anak Panti Asuhan (Studi KasusSPWB pada 3 Orang Subjek). Depok:Fakultas Psikologi UI.
psychologymania.com/2010/01/ psikologi-perkembangan-dewasa-awal.html, diakses pada tanggal 7 Juni 2013
Rahmawati,et.al. Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stress pada Ibu yang memiliki Anak Autis di SLB Autis di Surakarta. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&ca d=rja&uact=8&ved=0CFIQFjAE&url=http%3A%2F%2Fcandrajiwa.psikolog i.fk.uns.ac.id%2Findex.php%2Fcandrajiwa%2Farticle%2Fdownload%2F50%
2F41&ei=EItOU-zcE4Tj8AWMo4CwBw&usg=AFQjCNGyYyerkTJJngOgYgMpLf3nKs6QO w&sig2=HizAPnEuIs_pyBVvwMG28w , diakses pada 14 April 2014