Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being pada Gay Dewasa Awal di Komunitas "X" Bandung.

(1)

v Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas "X" Bandung dilihat dari gambaran keenam dimensi psychological well-being dan ditambahkan data lebih rinci dari faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being. Populasi responden dalam penelitian ini adalah gay dewasa awal yang berusia 18-45 tahun yang merupakan anggota dalam Komunitas "X" Bandung. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 22 orang. Alat ukur psychological well-being yang digunakan dibuat oleh Carol D. Ryff (1989), memperoleh hasil skor validitas yang berkisar antara 0,311 sampai 0,816. Skor reliabilitas pada alat ukur ini adalah sebesar 0,927.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa gay dewasa awal di Komunitas "X" Bandung menunjukan psychological well-being yang terbagi rata antara psychological well-being tinggi dan rendah. Dari hasil tabulasi silang, dimensi yang paling menunjang psychological well-being yang tinggi pada gay adalah self-acceptance, karena dimensi tersebut tinggi hampir pada semua gay dengan psychological well-being tinggi. Dilihat dari data penunjang, diketahui bahwa faktor dukungan sosial merupakan faktor yang memiliki keterkaitan dengan psychological well-being pada gay dewasa awal yang derajatnya tinggi. Bagi penelitian selanjutnya, disarankan untuk meneliti hubungan antara faktor dukungan sosial dengan psychological well-being pada responden dengan karakteristik yang sama. Bagi Komunitas "X" Bandung disarankan untuk meningkatkan kualitas kegiatan dalam komunitas tersebut dengan mengadakan suatu kegiatan konsultasi di dalam komunitas atau mengikuti berbagai kegiatan di luar komunitas seperti seminar dan pelatihan keterampilan.


(2)

vi Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT

This research aims to know psychological well-being degree in early adulthood gay at the Community "X" Bandung seen from the sixth psychological well-being dimension and added more details from the factors that might be affect psychological well-being. Respond population in this research is gay between 18 - 45 age at the Community "X" Bandung. The amount of respondent in this research about 22 people. Psychological well-being measuring instrument used was made by Carol D. Ryff (1989), acquire result in the form of the validity score between 0,311 to 0,816. The reliability score of this measuring instrument is 0,927.

Based on the results, it's concluded that early adulthood gay at the Community "X" Bandung shows psychological well-being which is devided equally between high and low psychological well-being. From the result of crosstabs, dimension of psychological well-being which support psychological well-being most as high on that Gay is self-acceptance because that dimension is high in almost all Gay with high psychological well-being. Beside that, seen from supporting is known that social supports factor as factor which has a connecting with psychological well-being on early adulthood gay at the Community "X" Bandung. For further research, suggested to researching the connection between social supports factor with psychological well-being on respondence with same characteristic. For the Community "X" Bandung is suggested to increase quality of activity in community to make consultation activity and join many activities in or outside the community which can developed skills.


(3)

vii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... ii

Lembar Orisinalitas Penelitian ... iii

Lembar Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah ... iv

Abstrak ... v

Abstract ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi ... x

Daftar Bagan ... xv

Daftar Tabel ... xvi

Daftar Lampiran ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10 x


(4)

viii Universitas Kristen Maranatha

1.3.1 Maksud Penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 10

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11

1.5 Kerangka Pemikiran ... 11

1.6 Asumsi Penelitian ... 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 21

2.1 Teori Psychological Well-Being ... 21

2.1.1 Definisi Psychological Well-Being ... 21

2.1.2 Dimensi-dimensi Psychological Well-Being ... 22

2.1.2.1 Self-Acceptance ... 22

2.1.2.2 Positive Relation With Others ... 23

2.1.2.3 Autonomy ... 24

2.1.2.4 Environmental Mastery ... 24 xi


(5)

ix Universitas Kristen Maranatha

2.1.2.5 Purpose In Life ... 25

2.1.2.6 Personal Growth ... 26

2.1.3 Faktor-faktor yang Memmengaruhi Psychological Well-Being ... 26

2.2 Homoseksual 2.2.1 Definisi Homoseksual & Pria Homoseksual (Gay) ... 30

2.2.2 Etiologi Gay ... 31

2.3 Usia Dewasa Awal ... 33

2.3.1 Definisi dan Batasan Usia Dewasa Awal ... 33

2.3.2 Tugas Perkembangan Usia Dewasa Awal ... 34

2.3.3 Isu-isu Perkembangan Kaum Homoseksual Usia Dewasa Awal ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37

3.1 Rancangan Penelitian ... 37

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 37

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 38

3.3.1 Variabel Penelitian ... 38 xii


(6)

x Universitas Kristen Maranatha

3.3.2 Definisi Konseptual ... 38

3.3.3 Definisi Operasional ... 38

3.4 Alat Ukur ... 40

3.4.1 Alat Ukur Psychological Well-Being ... 40

3.4.2 Sistem Penilaian ... 41

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 44

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 44

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur ... 44

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 45

3.5 Populasi dan Karakteristik Responden ... 47

3.5.1 Populasi Sasaran ... 47

3.5.2 Karakteristik Responden ... 47

3.6 Teknik Analisis Data ... 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

4.1 Gambaran Umum Responden ... 49 xiii


(7)

xi Universitas Kristen Maranatha

4.1.1 Gambaran Responden ... 49

4.2 Gambaran Hasil Penelitian ... 52

4.2.1 Gambaran Psychological Well-Being dan Dimensinya ... 52

4.2.2 Tabulasi Silang Psychological Well-Being dengan Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being ... 55

4.3 Pembahasan ... 60

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 70

5.1 Simpulan ... 70

5.2 Saran ... 71

5.2.1 Saran Teoritis ... 71

5.2.2 Saran Praktis ... 72

Daftar Pustaka ... 75

Daftar Rujukan ... 76

Lampiran


(8)

xii Universitas Kristen Maranatha

Daftar Bagan

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran ... 19

Bagan 3.1 Bagan Rancangan Penelitian ... 37


(9)

xiii Universitas Kristen Maranatha

Daftar Tabel

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur ... 41

Tabel 3.2 Kriteria Penilian Kuesioner Dimensi Psychological Well-Being ... 42

Tabel 3.3 Kriteria Reliabilitas Guilford ... 46

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Data Demografis ... 49

Tabel 4.2 Gambaran Psychological Well-Being ... 52

Tabel 4.3 Gambaran Psychological Well-Being Berdasarkan Dimensinya ... 53

Tabel 4.4 Tabulasi Silang Psychological Well-Being dengan Self-Acceptance ... 55

Tabel 4.5 Tabulasi Silang Psychological Well-Being dengan Positive Relation with Others ... 56

Tabel 4.6 Tabulasi Silang Psychological Well-Being dengan Autonomy ... 57

Tabel 4.7 Tabulasi Silang Pychological Well-Being dengan Environmental Mastery ... 57

Tabel 4.8 Tabulasi Silang Psychological Well-Being dengan Purpose In Life ... 58

Tabel 4.9 Tabulasi Silang Psychological Well-Being dengan Personal Growth ... 59 xvi


(10)

xiv Universitas Kristen Maranatha

Daftar Lampiran

Lampiran 1 Kisi-Kisi Alat Ukur Dimensi Psychological Well-Being

Lampiran 2 Kuesioner Psychological Well-Being dan Data Penunjang

Lampiran 3 Tabel Hasil Validitas dan Reliabilitas

Lampiran 4 Data Keseluruhan Responden Penelitian

Lampiran 5 Tabel Hasil Tabulasi Silang'


(11)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia, 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan menyukai sesama jenisnya disebut gay dan kaum homoseksual yang berjenis kelamin wanita dan menyukai sesama jenisnya disebut lesbian. Berdasarkan fenomena yang ada, keberadaan kaum gay lebih tampak di lingkungan jika dibandingkan dengan keberadaan kaum lesbian. Fenomena ini juga diperkuat dengan adanya data mengenai perkembangan jumlah gay di Indonesia tiap tahunnya bertambah. Koordinator Himpunan yang bergerak di bidang kesehatan man sex with man (MSM) Abiasa Bandung, Ronnie, mengungkapkan saat ini terdapat 17.000 pria homoseksual di Kota Bandung. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah mengingat setiap tahun selalu terjadi peningkatan yang cukup signifikan (Pikiran Rakyat Online, 2008).

Kaum gay ada yang bertindak sebagai pihak pasif (seperti peran perempuan dalam hubungan seksual) dan ada yang bertindak sebagai pihak aktif (seperti peran


(12)

2

Universitas Kristen Maranatha

laki-laki). Tidak mudah untuk mengetahui kaum gay secara kasat mata, namun mereka berusaha untuk memberi tanda dengan menggunakan berbagai aksesoris. Seperti cincin di kelingking dan ibu jari, anting-anting, gelang, kalung, sapu tangan atau simbol lain, namun saat ini aksesoris tersebut juga sudah banyak digunakan oleh laki-laki heteroseksual. Hal ini dapat menimbulkan bias bagi kalangan gay karena orang-orang di luar kelompoknya juga menggunakannya, sehingga mungkin saja dapat terjadi kesalahpahaman dan kekacauan simbol yang diterima. Biasanya gay atau tidaknya seorang pria lebih mudah disadari dengan melihat body language yang ditampilkan seperti gerakannya yang lemah gemulai. (Studi Etnometodelogi Mengenai Informasi dan Gay pada Komunitas GAYa Nusantara Surabaya, Shinstya Kristina, 2012)

Terdapat dua jenis gay yaitu gay yang telah coming-out dan gay yang non coming-out. Coming-out adalah pengakuan, penerimaan, pengekspresian, dan keterbukaan mengenai orientasi seksual seseorang pada dirinya sendiri dan orang lain (Cass dalam Anderson & Broen, 1999). Sedangkan, non coming-out merupakan dimana gay belum terbuka dengan dunia luar dan masih dikategorikan takut dengan orientasi seksualnya yang dirasakan berbeda (Norris,1987). Dengan melakukan coming-out atau tidak, berpengaruh pada bagaimana lingkungan memperlakukan gay. Seperti contoh yang didapat dari survey awal, bahwa salah satu gay merasa ketika SMA kelas 3 memberanikan dirinya untuk mengaku pada lingkungan bahwa dirinya gay (coming-out). Perlakuan teman-temannya berubah kepadanya karena


(13)

3

Universitas Kristen Maranatha

mengetahui bahwa dia gay, khususnya pada teman prianya yang tidak gay. Dia mendapatkan banyak sindiran dari temannya yang membuat dia enggan untuk berelasi dengan orang lain, hal ini membuatnya merasa terhambat dalam berkegiatan sehari-hari di sekolahnya seperti ketika harus membuat kelompok untuk mengerjakan suatu tugas. Gay tersebut merasa ditolak dan seringkali membuat dia sulit menjadi bagian dalam kelompok manapun yang didapatnya dan hal ini mempengaruhi nilainya. Terdapat kesulitan yang dialami oleh gay tersebut yang dikarenakan lingkungan dan menyebabkan terhambatnya pemenuhan tugas-tugas tahap perkembangan. Penting bagi setiap individu untuk dapat memenuhi tugas-tugas tahap perkembangan, salah satunya adalah tugas pada tahap perkembangan dewasa awal.

Masa dewasa awal dalam perkembangan kehidupan manusia dimulai pada usia 18 sampai 20 tahun dan berakhir pada usia 30 sampai 45 tahun (Havighurst dalam Lemme, 1995). Dewasa awal sendiri dapat diartikan sebagai masa dimana individu sudah mulai tidak bergantung lagi secara finansial, sosiologis, maupun psikologis pada orang tua serta adanya tanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan. Pada tahap perkembangan dewasa awal individu memiliki tugas perkembangan seperti menikah atau membangun suatu keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak, memikul tangung jawab sebagai warga negara, dapat bekerja, mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya dan membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial. Terlepas dari orientasi seksual, setiap individu akan menghadapi tugas-tugas tersebut pada tahap perkembangan dewasa awal.


(14)

4

Universitas Kristen Maranatha

Menurut Greene (2000) isu-isu perkembangan yang dihadapi oleh gay dewasa awal adalah apakah ia akan mengaku bahwa dirinya gay, akan menikah atau akan hidup melajang. Berbagai isu perkembangan seputar kaum homoseksual dewasa awal tentunya menunjukkan adanya tantangan-tantangan khusus bagi mereka. Tantangan yang dimaksud disini adalah terdapat konflik antara masalah yang dialami gay pada tahap dewasa awal, seperti memiliki kebutuhan untuk dapat menjalin hubungan interpersonal yang intim dan membuat komitmen dengan sesama jenis, pemilihan karir, pengembangan diri dan diterima oleh kelompok sosial. Dengan masalah yang gay alami bahwa keberadaan gay sebagai kaum minoritas masih dianggap menyimpang oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Realitas dalam masyarakat sampai saat ini menunjukkan bahwa gay yang sudah mengaku ataupun tidak mengaku dirinya gay pun mengalami kehidupan yang tertekan seperti mendapatkan kesempatan yang tidak sama seperti heteroseksual dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya akan mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhannya. Selain itu mereka juga kerap mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan akibat orientasi seksualnya, seperti dikucilkan dalam lingkungannya (Studi Etnometodelogi Mengenai Informasi dan Gay pada Komunitas GAYa Nusantara Surabaya, Shinstya Kristina, 2012). Oetomo (2003) menegaskan bahwa masyarakat Indonesia bersikap lebih negatif terhadap kaum Gay daripada masyarakat Eropa dan Amerika, kaum gay di Indonesia lebih banyak mendapatkan penolakan, lebih terstigma, lebih banyak mendapatkan tekanan sosial, kecaman, mendapat


(15)

5

Universitas Kristen Maranatha

banyak pelecehan, diharamkan dan dikutuk. Hal tersebut dikarenakan Indonesia merupakan Negara yang kuat dengan norma khususnya norma agama, sehingga ketika menghadapi perilaku yang tidak sesuai dengan norma tersebut akan mendapatkan konsekuensinya. Dari survey awal terhadap 10 orang, gay merasa bahwa lingkungan disekitarnya khususnya pria tidak gay, sulit menerima keberadaan dirinya jadi bahan pembicaraan atau bahkan didiskriminasi. Sehingga gay masuk komunitas karena merasa lebih aman dan diterima.

Terdapat berbagai komunitas gay di Indonesia, salah satunya seperti komunitas yang ada di Bandung yang bernama Komunitas "X". Gay pada Komunitas ini berani untuk menunjukan keberadaanya kepada lingkungan dengan berbagai cara seperti membuat berbagai akun social media. Para anggota sudah sangat terbuka dan transparan dalam mengungkap jati dirinya melalui social media tersebut. Dengan adanya social media ini membuat para gay dapat mengenal satu sama lain dan akhirnya bergabung di komunitas ini, lalu melakukan kegiatan komunitas ini bersama-sama seperti kumpul bersama di tempat umum seperti di cafe, bar dan mall. Ketika kumpul bersama, para anggota sering mendiskusikan masalah yang dialaminya kepada anggota lain dan bersama-sama mencari solusinya. Kegiatan yang dilakukan oleh komunitas ini bertujuan agar dapat menunjukan keberadaan gay pada lingkungan dan para anggota komunitas ini berharap agar gay dapat lebih dihargai dan diterima oleh masyarakat Indonesia.


(16)

6

Universitas Kristen Maranatha

Berikut ini merupakan hasil wawancara pada sepuluh gay yang merupakan anggota dari Komunitas "X" Bandung. 40% gay mengaku pada lingkungan bahwa dirinya gay pada saat di bangku Sekolah Menengah Atas pada usia 16-17 tahun dan 60% mengaku dirinya gay pada saat di perguruan tinggi pada usia 20-23. Kebanyakan dari mereka mengaku dirinya gay pada teman-teman terdekatnya terlebih dahulu, lalu sedikit-sedikit mulai berani pada lingkungan yang lebih luas, mereka memberanikan diri untuk mengaku pada lingkungan yang lebih luas karena merasa lingkungan terdekatnya tidak bermasalah dengan keadaanya. 40% gay merasa tidak puas dengan kehidupan yang kini dijalaninya, mereka merasa bahwa mereka menjalani kehidupan yang salah, namun mereka juga belum mengetahui bagaimana keluar dari kehidupannya tersebut. Sedangkan, 60% lainnya merasa cukup puas antara lain merasa nyaman karena tidak terbebani dengan kenyataan bahwa dirinya seorang gay, tidak tehambat dalam menjalani kegiatannya sehari-harinya untuk tetap dapat kuliah atau bekerja.

70% merasa kesulitan dalam menjalin hubungan dengan sesama jenis yang tidak gay, mereka merasa tidak yakin diri karena merasa dianggap berbeda, dan mereka merasa lebih mudah berhubungan dengan wanita karena lebih merasa diterima. Hal ini membuat mereka menjaga jarak dengan pria lain yang tidak gay, namun mereka merasa hal ini tidak terlalu mengganggu dalam berkegiatan sehari-hari. Sedangkan, 30% lainnya tidak merasa kesulitan dalam menjalin hubungan dengan siapa saja, karena mereka merasa memang mudah untuk menjalin relasi dengan siapa saja dan


(17)

7

Universitas Kristen Maranatha

mencoba berusaha menutupi perilakunya yang memberikan kesan gay pada orang yang baru dikenalnya, agar dapat lebih diterima.

100% gay yang di wawancara mengaku bahwa mereka merasa lebih aman dan nyaman ketika berada bersama dalam komunitasnya. Mereka merasa senasib dan sepenanggungan, sehingga beban mereka berkurang dalam menghadapi perlakuan dari masyarakat karena merasa memiliki teman. 60% gay merasa dapat melakukan kegiatan sehari-hari seperti bersekolah, bekerja, pergi ke mall dan lingkungan sekitar tanpa beban. Sedangkan, 40% lainnya merasa terhambat dalam berkegiatan sehari-hari karena merasa serba salah seperti membuat kelompok atau presentasi ketika meeting, membuat mereka tidak percaya diri karena takut dicemooh atau dijadikan bahan pembicaraan, meskipun mereka menguasai materinya.

60% gay tersebut merasa dirinya dapat bersikap mandiri dengan keadaannya saat ini. Mereka (60%) dapat membuat keputusan sendiri, tidak tergantung kepada anggapan orang lain dan bisa menampilkan diri apa adanya. Sedangkan, 40% lainnya merasa sangat tergantung kepada orang lain khususnya tergantung pada komunitasnya, tidak berani menampilkan diri apa adanya dan bertindak sesuai dengan pandangan masyarakat umum.

Disamping itu mereka (60%) juga masih dapat mengembangkan potensi dirinya dengan melakukan kegiatan seperti sekolah dan bekerja, bahkan sebagian dari mereka (60%) gay tersebut merasa yakin bahwa dirinya dapat mencapai karir yang


(18)

8

Universitas Kristen Maranatha

diinginkannya seperti dapat menjadi kepala bagian, penyanyi terkenal atau psikolog. Sedangkan, 40% lainnya merasa pesimis tentang masa depannya sehingga sering kali merasa kehidupannya jenuh dan tidak menarik sehingga membuat mereka merasa malas untuk berusaha mengembangkan dirinya.

Sebagian besar gay (80%) mengaku bahwa bergabung dengan Komunitas "X" Bandung ini untuk saling berbagi pengalaman dan informasi dengan sesama anggota sehingga meraka dapat lebih mudah untuk menentukan tujuan hidupnya di masa yang akan datang. Dalam komunitas ini, mereka sering melakukan kegiatan bersama-sama, salah satunya seperti saling mendengarkan masalah yang dihadapi tiap anggota dan bersama-sama mencari solusinya. Sedangkan, 20% lainnya hanya menjalankan kehidupannya sekarang tanpa memikirkan masa depannya seperti apa.

Dari pemaparan hasil survey awal di atas, dapat dilihat bahwa setiap gay memiliki penghayatannya masing-masing dalam menghadapi berbagai perlakuan dari masyarakat pada dirinya. Hal ini memberikan pengaruh tertentu pada psychological well-being yang dimiliki gay. Kesejahteraan psikologis atau psychological well-being menurut Ryff (1989, 1995, dalam Vázquez, dkk., 2009; Ryff & Keyes, 1995; Ryan & Deci, 2001) adalah keadaan perkembangan potensi nyata seseorang yang merupakan hasil evaluasi mengenai dirinya sendiri, pengalaman positif dan negatif yang dihayati selama hidupnya, dan juga kualitas mengenai hidupnya secara keseluruhan. Psychological well-being seseorang ditandai dengan self-acceptance,


(19)

9

Universitas Kristen Maranatha

positive relation with others, environmental mastery, autonomy, personal growth dan purpose in life.

Gay yang mengevaluasi diri dari pengalaman yang dialaminya secara lebih positif memiliki psychological well-being yang tinggi sehingga dapat menjalani hidup dengan lebih baik, bisa beradaptasi dengan lingkungan, memiliki tujuan hidup dan bisa mengembangkan diri dengan mengambil kesempatan-kesempatan yang ada di lingkungan. Sedangkan gay yang mengevaluasi secara lebih negatif maka memiliki psychological well-being yang rendah, sehingga memiliki kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan, tidak menjalani kehidupannya dengan baik, belum memiliki tujuan hidup dan belum bisa mengembangkan diri dengan optimal.

Oleh karena itu, untuk mencapai derajat psychological well-being yang tinggi merupakan hal yang penting bagi gay dewasa awal, agar gay dewasa awal dapat menjalani hidup lebih baik, bisa beradaptasi dengan lingkungan, bisa mengembangkan diri secara optimal dan melakukan berbagai aktivitas yang sesuai dengan tahap perkembangannya secara lebih positif. Berdasarkan data survey awal, peneliti tertaik untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas Gay Bandung Manly.


(20)

10

Universitas Kristen Maranatha

1.2. Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas "X" Bandung.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Mengetahui psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas "X" Bandung.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui derajat psychological well-being yang dimiliki gay dewasa awal di Komunitas "X" Bandung dilihat dari gambaran keenam dimensi psychological well-being menurut Ryff dan ditambahkan data lebih rinci dari faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoritis

1. Memberikan sumbangan informasi bagi pengembangan teori-teori psikologi, yang berkaitan dengan pengetahuan tentang psychological well-being pada individu gay dewasa awal.


(21)

11

Universitas Kristen Maranatha

2. Memberikan masukan kepada peneliti lain yang memiliki minat melakukan penelitian lanjutan mengenai psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas "X" Bandung.

1.4.2. Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi mengenai psychological well-being kepada gay dewasa awal agar dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengoptimalkan psychological well-being agar dapat optimal dalam menjalankan kehidupannya.

2. Memberikan informasi mengenai psychological well-being kepada berbagai komunitas gay di Bandung dan masyarakat umum, untuk dapat membentuk kegiatan-kegiatan atau program yang membantu tercapainya psychological well-being yang optimal pada individu gay. 3. Memberikan masukan kepada pemerintah yang terkait, sebagai dasar

pertimbangan untuk mengadakan pembinaan atau upaya-upaya penanggulangan gay.

1.5. Kerangka Pemikiran

Masa dewasa awal dalam perkembangan kehidupan manusia dimulai pada usia 18 tahun sampai 20 tahun dan berakhir pada usia 30 sampai 45 tahun (Havighurst dalam Lemme, 1995). Dewasa awal sendiri dapat diartikan sebagai masa di mana


(22)

12

Universitas Kristen Maranatha

individu sudah mulai tidak bergantung lagi secara finansial, sosiologis, maupun psikologis pada orang tua serta adanya tanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan.

Pada tahap perkembangan dewasa awal menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) individu memiliki tugas perkembangan seperti menikah atau membangun suatu keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak, memikul tangung jawab sebagai warga negara, membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan.

Seperti layaknya heteroseksual, pria homoseksual atau gay pada usia dewasa awal diharapkan dapat melaksanakan tugas perkembangannya dalam masyarakat yaitu bekerja, menjalin hubungan pernikahan, bersosialisasi dan mengembangkan sikap-sikap, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru sebagai individu dewasa.

Homoseksual didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki orientasi seksual kepada individu yang mempunyai jenis kelamin yang sama dengan dirinya. Istilah “homoseksual” untuk pria bisa dikenal dengan istilah gay yang memiliki orientasi seksual kepada sesama pria.

Berbagai kondisi yang ada dan yang pernah dialami gay dapat mempengaruhi penilaian mereka terhadap kehidupan yang mereka jalani. Hal ini disebut psychological well-being atau penilaian seseorang terhadap pengalaman-pengalaman


(23)

13

Universitas Kristen Maranatha

hidupnya. Menurut Ryff, psychological well-being adalah keadaan perkembangan potensi nyata seseorang yang merupakan hasil evaluasi mengenai dirinya sendiri, pengalaman positif dan negatif yang dihayati selama hidupnya, dan juga kualitas mengenai hidupnya secara keseluruhan.

Seorang gay dapat menilai diri dan pengalaman hidup mereka lewat enam dimensi yaitu penerimaan diri (self-acceptance), pembentukan hubungan sosial (positive relations with others), kemandirian dalam berpikir dan bertindak (autonomy), kemampuan untuk mengelola lingkungan yang kompleks sesuai dengan kebutuhan pribadi (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan yang terakhir adalah pertumbuhan dan perkembangan sebagai pribadi (personal growth).

Dimensi yang pertama yaitu penerimaan diri atau self acceptance. Dimensi ini merujuk pada penilaian gay mengenai kemampuannya untuk dapat menghargai dan menerima segala aspek dirinya secara positif, baik pengalamannya di masa lalu maupun keadaan mereka sebagai gay saat ini. Individu gay yang memiliki penerimaan diri yang tinggi dapat digambarkan sebagai gay yang puas menjalani kehidupannya selama ini, mampu menerima bahwa dirinya adalah gay, memiliki pandangan positif tentang pengalaman di masa lalu dan tetap mampu menghargai kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Sebaliknya, gay yang memiliki penerimaan diri yang rendah pada umumnya memiliki perasaan tidak puas dan benci dengan keadaan dirinya, menolak bahwa dirinya adalah gay, kecewa dan selalu


(24)

14

Universitas Kristen Maranatha

menyalahkan masa lalunya, berharap untuk bisa menjadi orang lain, bahkan pada titik ekstrim dapat berujung pada keinginan untuk bunuh diri.

Dimensi yang kedua yaitu hubungan positif dengan orang lain atau positive relations with other. Dimensi ini merujuk pada penilaian gay mengenai kemampuannya untuk dapat menjalin hubungan hangat dengan orang lain dan saling percaya. Individu gay yang memiliki hubungan positif dengan orang lain yang tinggi digambarkan memiliki kemampuan untuk dapat bergaul dengan lingkungan sekitar. Sedangkan, yang memiliki hubungan positif dengan orang lain yang rendah, pada umumnya merasa tidak nyaman berada dekat dengan orang lain karena merasa berbeda dengan orang lain, sehingga individu gay lebih memilih untuk menyendiri dan menjauhkan diri dari lingkungan.

Dimensi selanjutnya adalah kemandirian atau autonomy. Dimensi ini merujuk pada penilaian gay mengenai kemampuannya mengarahkan dirinya sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Individu gay yang tinggi dalam dimensi ini digambarkan sebagai gay yang tetap dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa terganggu oleh perlakuan yang berbeda dari masyarakat dan dapat menampilkan perilaku asli dirinya. Gay yang rendah dalam dimensi ini pada umumnya digambarkan sebagai gay yang berperilaku sehari-hari berdasarkan harapan dan evaluasi dari orang lain sehingga membuat perilaku dirinya lebih ditentukan oleh penilaian dari orang lain, tidak menampilkan perilaku asli dirinya.


(25)

15

Universitas Kristen Maranatha

Dimensi yang keempat adalah environmental mastery, dimensi ini merujuk pada penilaian gay mengenai kemampuannya untuk mengendalikan lingkungan yang kompleks, menekankan kemampuannya untuk maju di dunia dan mengubahnya secara kreatif melalui aktivitas fisik atau mental sehingga dirinya dapat menyesuaikan dan menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada disekitarnya. Individu gay yang tinggi dalam dimensi ini digambarkan sebagai gay dewasa awal yang dapat mengarahkan dirinya untuk mengambil kesempatan bekerja sesuai dengan kemampuannya, sedangkan gay yang rendah dalam dimensi ini pada umumnya kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan sehingga lebih menutup dirinya untuk menampilkan kemampuannya dan tidak mengambil kesempatan bekerja yang ada dan sesuai dengan kemampuannya.

Dimensi yang selanjutnya adalah tujuan hidup atau yang biasa disebut sebagai purpose in life, dimensi ini merujuk penilaian gay mengenai kepemilikan suatu tujuan dalam hidupnya dan evaluasi individu terhadap kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut. Individu gay yang tinggi dalam dimensi ini digambarkan sebagai seorang gay sudah menetapkan apakah dirinya akan menikah atau melajang, memilih jalur karir-nya dan yakin akan pilihannya tersebut. Sedangkan gay yang rendah pada dimensi ini, pada umumnya belum dapat menentukan tujuan di masa depan seperti mengenai menikah atau melajang, memilih jalur karir-nya dan tidak memiliki keyakinan dalam hidup.


(26)

16

Universitas Kristen Maranatha

Dimensi yang terakhir adalah personal growth, dimensi ini mengacu pada penilaian gay mengenai kemampuannya untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi pribadi. Individu gay yang tinggi dalam dimensi ini digambarkan sebagai seorang gay yang sadar akan kemampuannya yang dimiliki dan ingin mengembangkan potensinya yang nantinya akan dipakai dalam kehidupan ber-karirnya misalnya seperti gay yang memiliki kemampuan dalam berhitung, dirinya akan memilih bidang pekerjaan seperti akuntan. Sedangkan gay yang rendah pada dimensi ini, pada umumnya digambarkan sebagai gay yang pesimis terhadap potensi yang dimiliki sehingga tidak ada keinginan untuk mengembangkan potensinya.

Dalam dinamika psychological well-being pada individu gay, keenam dimensi tersebut memiliki keterkaitan yang tidak dapat dilepaskan antara dimensi satu dengan dimensi yang lain yang membentuk psychological well-being secara keseluruhan. Dimensi-dimensi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain yaitu status sosial ekonomi, coming-out atau non coming-out dan dukungan sosial yang didapat kaum gay dari lingkungan.

Faktor status sosial ekonomi turut mempengaruhi pertumbuhan psychological well-being, yaitu dalam dimensi penerimaan diri (self-acceptance), tujuan dalam hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth) (Ryff, et al dalam Ryan & Deci, 2001). Seorang gay yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi pada umumnya tingkat pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang layak, hal tersebut dapat menjadi pendorong bagi seorang gay untuk mewujudkan tujuannya dalam


(27)

17

Universitas Kristen Maranatha

hidup (purpose in life) dan mengembangkan potensi yang mereka miliki (personal growth), selain itu dengan tingkat pendidikan dan akses yang mereka miliki mereka mempunyai perspektif dan pengetahuan yang lebih luas mengenai homoseksual sehingga mampu menerima dirinya lebih baik (self-acceptance) dan mampu memanfaatkan kesempatan (environmental mastery) yang ada di sekitar mereka.

Terdapat dua jenis gay yaitu gay yang telah coming-out dan gay yang non coming-out. Coming-out adalah pengakuan, penerimaan, pengekspresian, dan keterbukaan mengenai orientasi seksual seseorang pada dirinya sendiri dan orang lain (Cass dalam Anderson &Brown, 1999). Sedangkan, non coming-out merupakan proses dimana individu homoseksual belum terbuka dengan dunia luar dan masih dikategorikan takut dengan orientasi seksualnya yang dirasakan berbeda (Norris,1987). Pengambilan keputusan individu gay untuk melakukan coming-out atau non coming-out dapat mempengaruhi psychological well-being yang dimiliki. Dengan melakukan coming-out, berarti gay tersebut sudah dapat menerima dirinya gay (self-acceptance) sehingga memiliki keberanian untuk mengungkapkan bahwa dirinya gay pada lingkungan.

Selain itu dukungan sosial dari pasangan, keluarga, teman dan organisasi tertentu juga turut mempengaruhi pembentukan tingkat psychological well-being seseorang (Davis dalam Pratiwi, 2000). Gay yang mendapatkan dukungan sosial dari keluarga dan organisasi dapat merasa diterima, dihargai dan diakui keberadaannya oleh lingkungan, membuat kaum gay merasa bahwa dirinya dicintai, dipedulikan, dihargai


(28)

18

Universitas Kristen Maranatha

dan menjadi bagian dalam jaringan sosial (seperti keluarga, teman dan organisasi tertentu) yang menjadikan tempat bergantung ketika dibutuhkan dan dapat membantu meningkatkan self-esteem mereka sehingga gay yang memiliki dukungan sosial dari lingkungannya cenderung memiliki self-acceptance, positive relations with others, purpose in life dan personal growth yang lebih tinggi.

Keenam dimensi dan berbagai faktor yang dimiliki seorang gay akan membentuk psychological well-being mereka, sehingga dapat diketahui apakah gay tersebut memiliki psychological well-being yang tinggi atau rendah.

Gay yang mengevaluasi diri dari pengalaman yang dialaminya secara lebih positif memiliki psychological well-being yang tinggi sehingga dapat menjalani hidup dengan lebih baik, bisa beradaptasi dengan lingkungan, memiliki tujuan hidup dan bisa mengembangkan diri dengan mengambil kesempatan-kesempatan yang ada di lingkungan. Sedangkan gay yang mengevaluasi secara lebih negatif maka memiliki psychological well-being yang rendah, sehingga memiliki kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan, tidak menjalani kehidupannya dengan baik, belum memiliki tujuan hidup dan belum bisa mengembangkan diri dengan optimal.


(29)

19

Universitas Kristen Maranatha

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

1.6. Asumsi Penelitian

1. Masyarakat dan budaya timur seringkali memberikan stigma negatif yang dapat mempengaruhi psychological well-being pada gay.

Individu gay dewasa awal (20-35)

Dimensi :

1. Self-acceptance 2. Positive relations with others

3. Autonomy 4. Environmental mastery

5. Purpose in life 6. Personal growth Faktor-faktor :

a. Status sosial ekonomi

b. Coming-Out c. Dukungan sosial

PWB Rendah

PWB Tinggi Psychological well-being


(30)

20

Universitas Kristen Maranatha

2. Psychological well-being pada gay di Komunitas X Bandung berbeda-beda, mereka dapat menunjukan psychological well-being yang tinggi ataupun rendah.

3. Dimensi-dimensi psychological well-being pada gay di Komunitas X Bandung dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu status sosial ekonomi, dukungan sosial, coming-out atau non coming-out


(31)

70 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa simpulan mengenai psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung sebagai berikut :

1. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung menunjukan psychological well-being yang terbagi rata antara psychological well-being tinggi dan rendah.

2. Para gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung yang memiliki

psychological well-being yang tinggi, pada umumnya memiliki derajat yang tinggi pula pada dimensi self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, personal growth dan purpose in life. Sedangkan, pada gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung yang memiliki derajat psychological well-being yang rendah, pada umumnya memiliki derajat yang rendah pula pada dimensi self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, personal growth dan purpose in life.


(32)

71

Universitas Kristen Maranatha

3. Faktor dukungan sosial merupakan faktor yang menunjukan keterkaitan dengan psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Bagi peneliti lain yang berniat melakukan penelitian lebih lanjut dan ingin memperoleh hasil yang lebih komprehensif dan mendalam lagi mengenai psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung disarankan untuk menggunakan metode penelitian kualitatif.

2. Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai psychological well-being pada gay dewasa awal dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode kontribusi antara faktor yang memengaruhi terhadap psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung khususnya faktor dukungan sosial agar dapat memperoleh hasil yang lebih mendalam mengenai kontribusi dari faktor dukungan sosial terhadap derajat psychological well-being responden.

3. Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian mengenai psychological well-being terhadap gay , disarankan untuk menggunakan karakteristik sampel


(33)

72

Universitas Kristen Maranatha

yang berbeda dari penelitian ini agar dapat memperoleh hasil yang lebih bervariasi dan signifikan berbeda.

4. Bagi penelitian selanjutnya yang ingi meneliti sampel dengan karakteristik yang sama, disarankan untuk menambahkan lebih banyak jumah responden bisa dengan memperluas kawasan yang dijadikan tempat penelitian tidak hanya di Komunitas “X” Bandung saja dan bisa menambah lebih banyak komunitas lagi di Kota Bandung, agar memperoleh hasil yang lebih bervariasi dan sigifikan terlihat perbedaannya.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi para gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung, untuk dapat memiliki

lebih perasaan yang positif dan mengembangkan pola pikir dengan lebih sering bertemu dengan sesama anggota komunitas dan membuat satu sesi seperti sesi konsultasi agar dapat menyikapi keadaan yang tengah dihadapi saat ini, agar dengan terbentuknya pola pikir dan sikap yang positif dari gay dewasa awal terhadap kondisi dirinya, maka bisa menunjang kondisi fisik yang lebih baik pula. Selain itu, bagi para gay dewasa awal Komunitas “X” Bandung lebih dapat meningatkan dukungan secara emosional kepada sesama anggota agar para gay tersebut merasa tidak sendiri dalam menjalani hidup, namun masih ada orang di samping mereka yang peduli dan sayang pada keadaan mereka.


(34)

73

Universitas Kristen Maranatha

2. Bagi para gay dalam berbagai komunitas dan masyarakat umum, untuk dapat membuat kegiatan atau program seperti seminar tentang psychological well-being khususnya pada gay agar para gay dapat mendapatkan informasi lebih mengenai psychological well-being sehingga mengetahui cara menjalani hidup sehari-harinya dan dapat mengoptimalkan psychological well-being yang dimilikinya.

3. Bagi para pemerintah yang terkait, untuk dapat membentuk suatu pembinaan atau upaya untuk penanggulangan gay dengan memberikan pelatihan-pelatihan khusus dari pakar psikologi dengan tujuan dapat memfasilitasi mereka dalam mengembangkan diri yang bisa meningkatkan kesadaran mereka juga bahwa banyak hal yang dapat mereka lakukan dan mengembangkan sesusai kapasitas kemampuan diri mereka yang dapat bermanfaat untuk hidup mereka meskipun dengan kondisi mereka sebagai gay. Sehingga, akan menciptakan kondisi psychological well-being yang lebih baik dalam diri para gay, terutama para gay dengan derajat psychological well-being yang rendah.


(35)

74 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Fransisca, M. 2009. Gambaran Psychological Well-Being Pada Pria Homoseksual Yang Telah Coming Out. Depok: Fakultas Psikologi UI.

Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing : Design, Analysis, and Use. USA: University of North California.

Greene, B & Croom, G.L. 2000. Education, Research anda Practise in Lesbian, Gay; Bisexual, and Transgendered Psychology : A Resource Manual. California: Sage.

Guilford. 1956. Fundamental Statistics in Psychology and Education. New York : McGRAW-HILL Book Company, inc.

Lemme, B.H. 1995. Development in Adulthood. Boston : Allyn & Bacon.

Ryff, C. D., & Keyes, C.L.M. 2002. Optimizing Well-Being: The Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology

Ryff, C. D. 1989. Happiness is Everything, or Is It? Explorations in the Meaning of Psychological Well-Being “Journal of Personality and Social Psychology”. Vol 57 : 1069-1081.


(36)

75

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Fakultas Psikologi. 2009. "Panduan Penelitian Skripsi Sarjana". Bandung Universitas Kristen Maranatha.

Jurnal Penelitian mengenai Studi Etnometodelogi Mengenai Informasi dan Gay Pada Komunitas GAYa Nusantara Surabaya. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/jurnal%20shinstya.doc (Diakses pada tanggal 7 Februari 2014)

"Kaum Gay di Bandung Ada 17.000", http://www.pikiran-rakyat.com/node/75401.%20%20%20%20%5B29 (Diakses pada tanggal 7 Februari 2014)

Tjia Regina Olivia. 2012. Perbedaan Proses Coming Out Antara Gay dan Lesbian. (Online). (http://thesis.binus.ac.id/doc/RingkasanInd/2011-2-00033-PS%20Ringkasan001.pdf, diakses 24 Maret 2013)

http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00565-PS%20bab&202.pdf (Diakses pada tanggal 16 April 2014)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31069/4/Chapter%10ll.pdf (Diakses pada tanggal 16 April 2014)


(1)

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa simpulan mengenai psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung sebagai berikut :

1. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung menunjukan psychological well-being yang terbagi rata antara

psychological well-being tinggi dan rendah.

2. Para gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung yang memiliki

psychological well-being yang tinggi, pada umumnya memiliki derajat yang

tinggi pula pada dimensi self-acceptance, positive relations with others,

autonomy, environmental mastery, personal growth dan purpose in life.

Sedangkan, pada gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung yang memiliki derajat psychological well-being yang rendah, pada umumnya memiliki derajat yang rendah pula pada dimensi self-acceptance, positive relations with

others, autonomy, environmental mastery, personal growth dan purpose in life.


(2)

71

Universitas Kristen Maranatha 3. Faktor dukungan sosial merupakan faktor yang menunjukan keterkaitan dengan psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Bagi peneliti lain yang berniat melakukan penelitian lebih lanjut dan ingin memperoleh hasil yang lebih komprehensif dan mendalam lagi mengenai

psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung

disarankan untuk menggunakan metode penelitian kualitatif.

2. Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai

psychological well-being pada gay dewasa awal dapat melakukan penelitian

lebih lanjut dengan menggunakan metode kontribusi antara faktor yang memengaruhi terhadap psychological well-being pada gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung khususnya faktor dukungan sosial agar dapat memperoleh hasil yang lebih mendalam mengenai kontribusi dari faktor dukungan sosial terhadap derajat psychological well-being responden.

3. Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian mengenai psychological


(3)

yang berbeda dari penelitian ini agar dapat memperoleh hasil yang lebih bervariasi dan signifikan berbeda.

4. Bagi penelitian selanjutnya yang ingi meneliti sampel dengan karakteristik yang sama, disarankan untuk menambahkan lebih banyak jumah responden bisa dengan memperluas kawasan yang dijadikan tempat penelitian tidak hanya di Komunitas “X” Bandung saja dan bisa menambah lebih banyak komunitas lagi di Kota Bandung, agar memperoleh hasil yang lebih bervariasi dan sigifikan terlihat perbedaannya.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi para gay dewasa awal di Komunitas “X” Bandung, untuk dapat memiliki lebih perasaan yang positif dan mengembangkan pola pikir dengan lebih sering bertemu dengan sesama anggota komunitas dan membuat satu sesi seperti sesi konsultasi agar dapat menyikapi keadaan yang tengah dihadapi saat ini, agar dengan terbentuknya pola pikir dan sikap yang positif dari gay dewasa awal terhadap kondisi dirinya, maka bisa menunjang kondisi fisik yang lebih baik pula. Selain itu, bagi para gay dewasa awal Komunitas “X” Bandung lebih dapat meningatkan dukungan secara emosional kepada sesama anggota agar para gay tersebut merasa tidak sendiri dalam menjalani hidup, namun masih ada orang di samping mereka yang peduli dan sayang pada


(4)

73

Universitas Kristen Maranatha 2. Bagi para gay dalam berbagai komunitas dan masyarakat umum, untuk dapat membuat kegiatan atau program seperti seminar tentang psychological

well-being khususnya pada gay agar para gay dapat mendapatkan informasi lebih

mengenai psychological well-being sehingga mengetahui cara menjalani hidup sehari-harinya dan dapat mengoptimalkan psychological well-being yang dimilikinya.

3. Bagi para pemerintah yang terkait, untuk dapat membentuk suatu pembinaan atau upaya untuk penanggulangan gay dengan memberikan pelatihan-pelatihan khusus dari pakar psikologi dengan tujuan dapat memfasilitasi mereka dalam mengembangkan diri yang bisa meningkatkan kesadaran mereka juga bahwa banyak hal yang dapat mereka lakukan dan mengembangkan sesusai kapasitas kemampuan diri mereka yang dapat bermanfaat untuk hidup mereka meskipun dengan kondisi mereka sebagai gay. Sehingga, akan menciptakan kondisi psychological well-being yang lebih baik dalam diri para gay, terutama para gay dengan derajat psychological


(5)

Fransisca, M. 2009. Gambaran Psychological Well-Being Pada Pria

Homoseksual Yang Telah Coming Out. Depok: Fakultas Psikologi UI.

Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing : Design, Analysis, and Use. USA: University of North California.

Greene, B & Croom, G.L. 2000. Education, Research anda Practise in Lesbian,

Gay; Bisexual, and Transgendered Psychology : A Resource Manual.

California: Sage.

Guilford. 1956. Fundamental Statistics in Psychology and Education. New York : McGRAW-HILL Book Company, inc.

Lemme, B.H. 1995. Development in Adulthood. Boston : Allyn & Bacon.

Ryff, C. D., & Keyes, C.L.M. 2002. Optimizing Well-Being: The Empirical

Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology

Ryff, C. D. 1989. Happiness is Everything, or Is It? Explorations in the Meaning

of Psychological Well-Being “Journal of Personality and Social


(6)

75

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Fakultas Psikologi. 2009. "Panduan Penelitian Skripsi Sarjana". Bandung Universitas Kristen Maranatha.

Jurnal Penelitian mengenai Studi Etnometodelogi Mengenai Informasi dan Gay

Pada Komunitas GAYa Nusantara Surabaya.

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/jurnal%20shinstya.doc (Diakses pada tanggal 7 Februari 2014)

"Kaum Gay di Bandung Ada 17.000", http://www.pikiran-rakyat.com/node/75401.%20%20%20%20%5B29 (Diakses pada tanggal 7 Februari 2014)

Tjia Regina Olivia. 2012. Perbedaan Proses Coming Out Antara Gay dan Lesbian. (Online). (http://thesis.binus.ac.id/doc/RingkasanInd/2011-2-00033-PS%20Ringkasan001.pdf, diakses 24 Maret 2013)

http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00565-PS%20bab&202.pdf (Diakses pada tanggal 16 April 2014)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31069/4/Chapter%10ll.pdf (Diakses pada tanggal 16 April 2014)