Coping Stress Isteri dalam Perkawinan Poligini di Kota Banjarmasin.

BAB IV
ANALISIS
Kemampuan seorang isteri (isteri pertama)
bertahan dalam perkawinan poligini tidak
sesederhana apa yang kita bayangkan. Banyak
diantara isteri yang dipoligini mencoba bertahan
dalam perkawinan mereka, tetapi pada akhirnya
mereka menyerah. Terlalu sering kita mendengar
dan menyaksikan perjuangan lahir dan batin
seorang
isteri
untuk
mempertahankan
perkawinannya, namun karena tidak dapat
menerima dan bertahan dalam perkawinan
poligini akhirnya ia menyerah atau memilih
mundur.
Dalam penelitian ini ketiga subjek mampu
bertahan dalam perkawinan poligini dikarenakan
mereka menerapkan coping stress atau strategi
coping. Strategi coping sendiri diartikan sebagai

sebuah kemampuan untuk menanggulangi,
menerima, menguasai segala sesuatu yang
bersangkutan dengan diri sendiri, baik dengan
strategi pendekatan (approach strategy), yaitu
usaha kognitif untuk memahami penyebab stres
atau stressor dan usaha untuk menangani hal
tersebut dengan cara menghadapinya
atau
strategi menghindar (avoidance strategy), yaitu
100

101

usaha
kognitif
untuk
menangkal
dan
meminimalisir stressor yang muncul dalam
perilaku dengan cara menghindari masalah.

Sebagai
salah
satu
model
untuk
mengendalikan
emosi,
penyesuaian
dan
pengalihan. Maka copng stress yang dilakukan
oleh subjek merupakan salah satu aktivitas
spesifik untuk menghilangkan dan mengurangi
stres,
setiap
subjek
melakukan
usaha
menurunkan tingkat stres. Sesuai teori Coyne
bahwa coping merupakan usaha secara kognitif
dan perilaku yang digunakan untuk mengatur

tuntutan lingkungan dan internal serta untuk
mengelola konflik-konflik yang diluar batas
kemampuan individu.1 Karenanya wajar bila
setiap subjek melakukan coping stress untuk
untuk mengurangi kondisi lingkungan yang
menyakitkan,
menyesuaikan
dengan
peristiwa/kenyataan yang tidak menyenangkan,
mempertahankan
keseimbangan
emosi,
mempertahankan self image yang positif serta
berusaha untuk meneruskan hubungan yang
memuaskan dengan orang lain.2
Setiap subjek berpikir dan berperilaku
1

Robert S. Feldman, Pengantar Psikologi Understanding Psychology), Jakarta: Salemba
Humanika, 2002), .211.

2
Richard P. Halgin dan Susan Krauss Whitbourne, Psikologi Abnormal, (Jakarta:
Salemba Humanika, 2002), 225.

102

khusus untuk mengatasi tekanan dari perkawinan
poligini suami mereka. Usaha yang dilakukan
berhubungan dengan kesejahteraan, keamanan,
kenyamanan ketenangan dan kebahagiaan
mereka yang terusik oleh adanya orang ketiga
atau isteri muda dari suami masing-masing
mereka.
Menurut Lazarrus dan Folkman, faktor
kesehatan fisik merupakan hal penting selama
seseorang melakukan coping stress, karena
selama dalam usaha mengatasi stres individu
dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup
besar.
Untuk

menganalisis
data,
penulis
mengawalinya dengan mengacu kepada strategi
coping menurut Laura A. King yang mengutip
pendapat Richard lazarus yang membedakan dua
tipe strategi coping yaitu:
1. Emotion focused coping (EFC) atau strategi
coping yang berfokus pada aspek emosi
yang bertujuan untuk mengurangi dan
meredakan emosi individu yang ditimbulkan
oleh stressor (sumber stres) tanpa berusaha
mengubah situasi yang menjadi sumber stres
secara langsung. Strategi ini memungkinkan
individu mendapatkan sisi baik (hikmah)
dari suatu peristiwa, mengharap simpati dan

103

pengertian dari orang lain dan mencoba

melupakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan hal yang menekan emosi, namun
sifatnya hanya sementara.
2. Problem- focused coping (PFC) atau coping
yang berfokus pada masalah adalah strategi
kognitif individu secara aktif mencari
penyelesaian
dari
masalah
untuk
menghilangkan kondisi atau situasi yang
menimbulkan stres. Tujuannya untuk
meminimalkan, menghilangkan, mengatur,
memperbaiki atau mengubah kondisi yang
menekan yang menimbulkan stres. 3
Berdasarkan teori Folkman strategi
Emotional Focused Coping (EFC), terdiri dari
distancing, self control, accepting responsibility,
escape avoidance dan positive reappraisal.4
Sedangkan strategi Problem Focused Coping

(PFC) terdiri dari planful problem solving,
confrontative coping, seeking social support,
Acceptance dan denial (avoidance).5
1. Coping stress yang berfokus pada emosi
(Emotion- focused coping).
a. Subjek 1
3

Laura A. King, Psikologi Umum; sebuah aspresiatif, 52.

Reina Wangsadjaja, “Stres” http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/stres.html.
(03-12-2014).
5
Reina “Stres”http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/stres.html, (03-12-2014).
4

104

Coping stress Subjek 1 yang
bertahan dalam perkawinan poligini yang

berfokus pada emosi sebagai berikut:
1) Distancing
Tidak bisa ditampik betapa
subjek 1 sangat terpukul, kecewa dan
sedih dan jatuh sakit. Untungnya
subjek 1 dapat bangkit dan mencoba
membuat upaya kognitif untuk
melepaskan diri dari situasi yang ada.
Subjek 1 berusaha untuk tidak
mempermasalahkan poligini suaminya,
bersikap seakan tidak terjadi apa-apa.
Padahal mereka tinggal serumah.
Dalam kesehariannya, subjek 1
bersikap tenang, sekan tidak terjadi
apa-apa, subjek 1 tetap keluar rumah,
berdagang di pasar, ke majelis taklim,
ke tempat resepsi dan lain-lain. Yang
dia hindari hanyalah pembicaraan
orang tentang dirinya, suaminya dan
madunya. Makanya ketika berada di

majelis taklim, di pasar ketika
berdagang atau di mushalla pasar.
Kalau ada orang bertanya tentang
suaminya yang berpoligini, subjek 1
pura-pura tidak mendengar atau

105

mengalihkan pembicaraan. Atau subjek
1 akan segera meninggalkan orangorang yang ia anggap usil dan
mencampuri urusan rumah tangganya.
Upaya kognitif yang dilakukan
subjek 1 di atas berakibat baik baginya,
sehingga secara emosi subjek 1 dapat
lebih tenang dan tetap dapat melakukan
aktivitas biasa sebagaimana mestinya.
2) Self control
Dalam perkawinan poligini, subjek
1 mengaku sangat sulit mengontrol
emosinya. Rasa sakit hati, cemburu,

marah, kecewa tidak mudah untuk
dikuasai, namun subjek 1 berusaha
untuk ikhlas, sebab hak Allah untuk
menguji seberapa besar kecintaan dan
penghambaan manusia kepada-Nya.6
Selain itu subjek 1 juga berusaha
sabar, sebab sabar adalah kemampuan
untuk berpegang teguh dan mengikuti
ajaran Islam yang menurut subjek 1
memperbolehkan berpoligini. Oleh
karena itu, subjek 1 berusaha sabar
agar mampu mengambil keputusan
6

Zainal Abidin & Imam Fathurrohman, Bimbingan Spritual 5+ Menyembuhkan Penyakit
& Menenangkan Jiwa , cet. 1 (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), 64-68.

106

untuk bertahan dalam perkawinan

poligini. Jadi hanya orang sabar yang
mengerti bagaimana cara menghadapi
permasalahan secara bijak.7
3) Accepting responsibility
MZ berusaha mengakui peran
dirinya dalam permasalahan suaminya
yang berkali-kali berpoligini. Subjek 1
mencoba menyelesaikannya dengan
benar. Makanya subjek 1 berusaha
untuk menyadari tanggung jawab diri
sendiri dalam permasalahan yang
dihadapinya dan menerima perkawinan
poligini ketiga yang dilakukan
suaminya dan menerima madunya
tinggal serumah dan bersama-sama
mengurusi perdagangan keluarga. Hal
ini
dilakukan
untuk
membuat
semuanya menjadi lebih baik, baik bagi
dirinya, suami dan anak-anaknya.
4) Escape avoidance
Pada tahap ini subjek 1 berusaha
untuk mengatasi situasi yang menekan
perasaannya dan mencoba melepaskan
diri dari situasi yang dialaminya, di
mana subjek 1 tidak mampu
7

Tallal Alie, Mukjizat Sabar , (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013),113-115

107

menghindari atau menolak keinginan
suaminya untuk berpoligini. Subjek 1
menyadari kalau tabiat suaminya yang
tidak cukup dengan satu perempuan.
Makanya satu-satunya jalan adalah
bertahan dalam perkawinan poligini.
5) Positif reappraisal
Subjek 1 berusaha menciptakan
makna positif dari situasi yang dialami.
Sejak perkawinan poligini pertama,
kedua dan ketiga suaminya, subjek 1
telah berusaha memfucoskan diri pada
pengembangan diri dengan meminta
nasehat orangtua, meminta nasehat dan
doa orang alim. Rajin ke majelis taklim
ibu-ibu, berdoa, berzikir, salat malam
dan ibadah lainnya demi mendapatkan
ketenangan.
Sebagai takdir Allah, maka subjek
1 di dalam menjalani kehidupan
berpoligini dapat ikhlas dan sabar atas
ketentuan tersebut. Subjek 1 bersyukur
karena Allah telah membuatnya
tenteram, damai, dan bahagia. Subjek 1
pun tak lupa bertawakal atau berserah
diri atas segala ketentuan yang telah
Allah gariskan kepadanya. Bagi subjek

108

1 kemampuannya bertahan dalam
perkawinan
poligini
akan
mengantarkannya masuk surga.
Subjek 1 juga menggunakan sarana
salat malam sebagai proses meditasi.
Salat malam untuk menghilangkan
kecemasan.
Konsentrasi
atau
kekhusukan di dalam salat dapat
merangsang sistem syaraf lain yang
akan menutup terbawanya rangsangan
sakit tersebut ke otak.8
Sebagai sumber kekuatan, subjek 1
tidak lupa berdoa dan berzikir. Segala
harapan yang tinggi dan kekhawatiran
terhadap suatu ancaman disandarkan
kepada Allah Swt. karena doa
mempunyai manfaat untuk pencegahan,
pertahanan dan penyembuhan bagi
stres dan gangguan kejiwaan.9 Begitu
pula dengan zikir sebagai kegiatan
psikologis yang sama nilainya dengan
terapi
rileksasi,
yang
dapat
mengistirahatkan dan mengurangi
ketegangan atau tekanan psikologis.10
b. Subjek 2
8

Iin Tri Rahayu, Psikoterapi perspektif Islam & Psikologi Kontemporer , 228-230.
Iin Tri Rahayu, Psikoterapi perspektif Islam & Psikologi Kontemporer ,…., h. 268.
10
Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, cet. 2 (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), h. 236-238.
9

109

Coping stres subjek 2 yang bertahan
dalam perkawinan poligini yang berfokus
pada emosi sebagai berikut:
1) Distancing
Subjek 2 berusaha membuat
upaya kognitif untuk melepaskan diri
dan menahan emosi dari situasi yang
ditimbulkan dari perkawinan poligini.
Sangat sulit baginya untuk tidak
terlibat dalam permasalahan poligini
dengan bersikap seakan tidak terjadi
apa-apa karenanya subjek 2 mencoba
menunggu datang keajaiban.
Adapun usaha yang dilakukan
subjek 2 adalah tidak menjaga jarak
dengan
siapapun,
baik
dengan
orangtua, mentua, saudara-saudara dan
siapapun. Subjek 2 tetap keluar rumah
untuk bergaul dengan masyarakat,
pergi ke majelis taklim dan berdagang
makanan soto dan gado-gado untuk
mencukupi
kebutuhan
hidup
keluarganya. Secara emosi subjek 2
berusaha memfokuskan emosi kepada
hal-hal yang dapat menyibukkannya
dari memikirkan tentang poligini
suaminya.

110

2) Self control
Perasaan
subjek
2
ketika
mengetahui dipoligini suami (yang
tanpa izin) sama dengan perasaan
subjek 2 yaitu marah, sedih, kecewa,
dan rasa dikhianati. subjek 2 berat
dalam mengontrol emosinya walaupun
ia mencoba untuk diam.
Pada
perkawinan
poligini
suaminya yang ketiga subjek 2 benarbenar mempersiapkan diri dan berusaha
mengontrol emosinya, ia berusaha
sabar dan ikhlas atas apa yang terjadi,
sebab suaminya tetap mempoligininya.
Untuk itu subjek 2 mencoba untuk
diam dengan keadaan suaminya. Sebab
kalau subjek 2 bertengkar dengan
suaminya yang ada subjek 2 sendiri
yang merasa malu dengan keluarga dan
tetangganya.
3) Accepting responsibility
Pada
perkawinan
poligini
suaminya yang pertama dan kedua
subjek 2 ikut berperan untuk mencegah
suaminya dengan cara mendatangi
madunya dan berbuah perceraian
suaminya dengan madunya.

111

Pada perkawinan poligini ketiga
suaminya, subjek 2 ikut berperan, ia
bersedia saja suaminya menikahi
perempuan yang bersama suaminya
demi menjaga nama baik suaminya
(agar tidak dipukuli orang kampung).
4) Escape avoidance
Secara emosi sulit bagi subjek 2
untuk
lepas
dari
permasalahan
suaminya. Subjek 2 yang selalu
berupaya dan berhayal suatu saat
suaminya sadar akan kesetiaanya
terutama akhir-akhir ini suaminya tidak
begitu diurus lagi oleh madunya (yang
menurut subjek 2 suaminya hanya
numpang tidur saja di rumah
madunya). Walaupun begitu subjek 2
mengaku selalu menasehati dan
mendoakan kebaikan untuk suaminya.
5) Positif reappraisal
Subjek
2
berusaha
juga
memfokuskan diri dalam menciptakan
makna positif dari situasi yang dialami.
Walaupun subjek 2 sibuk berdagang
ayam potong di pasar Lokasi. Namun,
selalu meminta nasehat orangtua

112

(dahulu selagi mereka masih ada),
mendatangi majelis taklim atau
pengajian ibu-ibu. Rajin berdoa, zikir,
salat malam untuk mendapatkan
ketenangan. Subjek 2 menganggap
bahwa memang nasipnya hidup dalam
perkawinan poligini. Untuk subjek 2
hanya bisa bersabar dan ikhlas atas
ketentuan Allah. Subjek 2 berserah diri
atas segala ketentuan yang telah Allah
gariskan kepadanya.
Dalam keadaan terpuruk karena
dipoligini, subjek 2 menggunakan
sarana salat malam dengan segala
kekhusukan sebagai proses meditasi.
Dengan
salat
malam
dapat
menghilangkan kecemasan, kesedihan
dan kekecewaan karena dipoligini.
Doa dan zikir yang dilakukan
subjek 2 ternyata menjadi sumber
kekuatan. Segala harapan yang tinggi
dan kekhawatiran terhadap suatu
ancaman disandarkannya kepada Allah
Swt. Dengan doa dan zikir subjek 2
dapat melepaskan
ketegangan,
sehingga tercegah dari stres dan
gangguan kejiwaan.

113

c. Subjek 3
Coping stres subjek 3 yang bertahan
dalam perkawinan poligini yang berfokus
pada emosi sebagai berikut:
1) Distancing
Tidak dapat dibantah bahwa subjek
3 kecewa, sedih dan sakit hati kepada
suaminya. Namun karena suaminya
terlebih dahulu meminta izin kepada
orangtua dan kakaknya subjek 3 dan
mereka mengizinkan, maka subjek 3
pun mengizinkan suaminya melakukan
perkawinan poligini. Pada perkawinan
poligini suaminya ini subjek 3 berusaha
membuat upaya kognitif untuk
melepaskan diri dan menahan emosi
dari situasi yang ada. Berusaha untuk
terlibat dalam permasalahan poligini
yang dilakukan suaminya dengan
menghindari segala permasalahan yang
mungkin timbul.
Adapun usaha yang dilakukan
subjek 3 adalah tidak menjaga jarak
dari
orangtuanya
dan
saudarasaudaranya
dan
siapapun
atau
melarikan diri dari siapapun. Subjek 3
bahkan tidak menjaga jarak dengan

114

madunya. Subjek 3 tetap keluar rumah
untuk ke pasar, mengantar anak
sekolah dan ke pengajian. Subjek 3
bahkan sering pergi keluar bersama
dengan madunya atau bahkan pergi
bersama dengan suami, madu dan
anak-anaknya.
2) Self control
Suami subjek 3 sejak 8 tahun sebelum
berpoligini sering mengutarakan niatnya kepada
subjek 3 untuk menikah lagi. Pada tahun 2009
suami secara resmi benar-benar melaksanakan
niatnya berpoligini. Walaupun subjek 3 marah,
sedih, kecewa, dan merasa dikhianati, namun
subjek 3 lebih mampu menenangkan emosinya
disebabkan poligini yang dilakukan melalui tahap
dan persiapan yang matang.
Hal lain yang membuta subjek 3 lebih dapat
mengontrol emosinya adalah perlakukan suami
yang tidak langsung menerapkan waktu gilir
dengan isteri mudanya. Pada awal-awal
pernikahan poligini suami sering membawa isteri
mudanya menginap di rumah subjek 3 (isteri
tua). Di rumah ini suami tidur sekamar dengan
subjek 3, sedang isteri mudanya tidur bersama
anak-anak di kamar anak-anak suami dan subjek
3. Selain itu kebaikan madunya dalam banyak
hal, terutama dalam urusan anak-anak membuat
subjek 3 lebih bisa mengontrol emosinya. Bagi
subjek 3 tidak ada alasan untuk marah kepada
suami atau madunya.

115

Bagi subjek 3, ikhlas dan sabar sangat
membantunya di dalam mengambil keputusan
untuk bertahan dalam perkawinan poligini. Jadi
hanya orang sabar dan ikhlas yang mengerti
bagaimana cara menghadapi permasalahan secara
bijak.11

3). Accepting responsibility
Pada
perkawinan
poligini
suaminya subjek 3 turun berperan
dengan memberikan izin untuk
menikah lagi kepada suaminya.
Pernikahan lagi karena niatnya baik
yaitu harus membantu orang yang
membutuhkan
dan
meminta
perlindungan. Kalau tidak ditolong
maka akan berakibat tidak baik.
Walaupun subjek 3 harus mengatur
perasaannya
dan
menyimpannya
sendiri. Pernikahan poligini ini
menurut subjek 3 terjadi demi kebaikan
semua pihak.
4) Escape avoidance
Subjek 3 memang istri yang taat kepada
suami dan baik kepada semua orang. Terhadap
perkawinan poligini suaminya ia tidak pernah
berpikir untuk bercerai dengan suaminya atau
menghayalkan suaminya untuk menceraikan
madunya. Semua dijalaninya dengan baik karena
11

Tallal Alie, Mukjizat Sabar , (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013),113-115

116

memang Allah menakdirkan demikian. Sulit
memang bila dinalar ketika subjek 3 menganggap
madunya seperti saudaranya.

5) Positif reappraisal
Subjek 3 dengan pengetahuan agama
yang dimilikinya selalu berusaha
memfucoskan diri pada pengembangan
diri dengan meminta nasehat kepada
orangtua dan kakak laki-lakinya. Subjek
3 juga rajin mendatangi majelis taklim
atau pengajian ibu-ibu, bukan sendiri,
tetapi bersama madunya. Atau kalau
suami
mereka
yang
mengisi
pengajiannya. Mereka bahkan pergi
bersama dengan suami dan anak-anak
mereka yang masih kecil. Sekarang
subjek 3 mengaku semakin rajin berdoa,
zikir, salat malam untuk mendapatkan
ketenangan.
Subjek 3 sangat bersyukur atas
nikmat kehidupan mereka yang jauh
lebih baik. Dengan bersyukur Allah akan
merasakan ketenteraman, kedamaian.
Bersyukur akan membuat hati menjadi
bahagia.12
12

282.

Mustamir, Hidup Sehat & Herbal Ala Resep Sufi, cet. 1 (Yogyakarta: Diva Press, 2008),

117

Untuk mendapatkan ketenangan,
subjek 3 juga menggunakan sarana salat
malam sebagai proses meditasi. Salat
malam dapat menghilangkan kecemasan.
Konsentrasi atau kekhusukan di dalam
salat dapat merangsang sistem syaraf lain
yang
akan
menutup
terbawanya
rangsangan sakit tersebut ke otak.13
Doa dan zikir yang dilakukan subjek
3 juga menjadi sumber kekuatan. Segala
harapan yang tinggi dan kekhawatiran
terhadap suatu ancaman disandarkan
kepada Allah Swt. Doa mempunyai
manfaat untuk pencegahan, pertahanan
dan penyembuhan bagi stres dan
gangguan kejiwaan.14 Begitu pula
dengan zikir sebagai kegiatan psikologis
yang sama nilainya dengan terapi
rileksasi, terapi untuk mengistirahatkan
dan mengurangi ketegangan atau tekanan
psikologis.15
2. Coping stres berfokus pada masalah
(Problem-focused coping)
a. Subjek 1
13

Iin Tri Rahayu, Psikoterapi perspektif Islam & Psikologi Kontemporer , 228-230.
Iin Tri Rahayu, Psikoterapi perspektif Islam & Psikologi Kontemporer ,…., h. 268.
15
Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, cet. 2 (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), h. 236-238.
14

118

Subjek 1 tidak hanya melakukan
coping stres berfokus pada emosi, tetapi
juga melakukan coping berfokus pada
masalah.
1) Planful problem solving
Sebagai seorang istri subjek 1
membuat
perencanaan
terhadap
permasalahan suaminya yang tidak bisa
tidak harus berpoligini. Perencanaan
tersebut terlihat dari kesediaannya untuk
tinggal satu rumah dan mengurusi usaha
dagang bersama dengan madunya pada
perkawinan poligini suaminya yang
kedua. Setelah suaminya bercerai dengan
madunya
itu,
suaminya
kembali
mengutarakan keinginannya untuk kawin
lagi (poligini ketiga) dan subjek 1
menyetujuinya dan kembali tinggal satu
rumah dan mengurusi perdagangan
bersama. Cara ini dianggap subjek 1
sebagai solusi atas problem rumah
tangganya terutama untuk mengontrol
suami dan madunya serta hal-hal lain
yang menyangkut hak-haknya dalam
perkawinan.
2) Confrontative coping

119

Kekecewaan subjek 1 terhadap
perkawinan poligini suaminya dilakukan
dengan cara perlawanan yaitu dengan
membiarkan suaminya untuk berpoligini
secara tidak resmi atau di bawah tangan,
baik pada perkawinan poligini suaminya
yang pertama, kedua dan ketiga. Cara ini
sah secara agama, namun isteri muda dan
anaknya tidak memiliki kekuatan hukum
dalam perkawinan, terutama hak waris.
Selain itu, subjek 1 yang menguasai atau
sebagai bos dalam usaha perdagangan
keluarga. Dengan cara ini subjek 1 dapat
bertahan dalam perkawinan poligini.
3) Seeking social support
Subjek 1 sebagai isteri yang
dipoligini tidak mampu menanggung
derita sendiri, untuk itu subjek 1 mencari
dukungan
kepada
orangtua
dan
saudaranya. Dengan dukungan mereka
baik secara emosional. Subjek 1 juga
meminta nasehat dan dukungan kepada
orang ‘alim tentang bagaimana bersikap,
maka orang alim yang diminta nasehat
mampu memberikan informasi yang

120

diperlukan untuk menyikapi dan
menyelesaikan masalahnya.
Bukan hanya nasehat, orang alim
juga memberikan air doa/banyu tawar .
Menurut Masaru Emoto air bersifat bisa
merekam pesan. Semakin kuat pemberi
pesan, semakin dalam pesan tercetak di
air. Air bisa mentransfer pesan melalui
air yang lain. Air yang didoakan bisa
menyembuhkan
sakit,
disebabkan
molekul air itu menangkap pesan doa
kesembuhan,
menyimpannya,
lalu
vibrasinya merambat kepada molekul air
lain yang ada di tubuh orang yang sakit.
Tubuh manusia memang 75% terdiri
atas air. Otak 74,5% air. Darah 82% air.
Tulang yang keras pun mengandung 22%
air. Air juga memiliki sifat sensitif
namun juga reaktif. Air jika dibacakan
padanya kata-kata yang baik, air akan
bereaksi positif. Sebaliknya, air jika
diberikan kata-kata buruk, maka air akan
bereaksi sifat dan makna kata-kata
tersebut.16 Dengan bantuan mereka
subjek 1 merasa lebih bisa tenang.
16

Keajaiban

2015).

Air,

https://votreesprit.wordpress.com/2011/12/27.keajaiban-air/

(04-01-

121

4) Acceptance
Subjek 1 dalam permasalahan
perkawinan poligini suaminya memang
tidak berdaya untuk melarangnya. Subjek
1 akhirnya berserah diri pada ketentuan
Allah, menerima apa yang terjadi
padanya atau pasrah, sepertinya subjek 1
sudah beranggapan tiada hal yang bisa
dilakukannya lagi selain menerima takdir
hidup dalam perkawinan poligini.
5) Denial (avoidance)
Cara pengingkaran yang dilakukan
subjek
1
terhadap
permasalahan
perkawinan poligini suaminya adalah
dengan berusaha menyanggah dan
mengingkari dan melupakan masalahmasalah yang ada pada dirinya antara
lain dengan menganggap madu/isteri
muda suaminya sebagai saudara. Cara ini
tentu sangat sulit dilakukan, sebab kalau
dianggap madu/isteri muda suami
jadinya orang bisa bersaing untuk
memperebutkan perhatian dan kasih
sayang suami. Tapi kalau saudara orang
dapat bekerja sama dan saling menolong
dalam kebaikan.

122

b. Subjek 2
Subjek 2 tidak hanya melakukan
coping stres berfokus pada emosi, tetapi
juga melakukan coping yang berfokus pada
masalah.
1). Planful problem solving
Ketika subjek 2 mengetahui bahwa
suaminya mempunyai pacar lagi dan
sering mendatangi ke rumah perempuan
tersebut
SL akhirnya mengizinkan
suaminya untuk menikahinya. Hal
dilakukannya karena subjek 2 memang
merasa tidak mampu mencegah
suaminya berpoligini (di bawah tangan)
untuk ketiga kalinya.
subjek 2
menyetujui suaminya menikah lagi
untuk mencegah suaminya dihakimi
masyarakat sekitar.
2). Confrontative coping
Pada
perkawinan
poligini
suaminya yang pertama dan kedua
subjek 2 tidak dapat menahan
marahnya. Ia benci kepada suaminya
yang
telah
menghianatinya
dan
menelantarkan dirinya, anak-anak dan
keluarganya
serta
mengacaukan
ekonomi
keluarga.
Tindakan

123

konfrontatif yang dilakukan subjek 2
adalah mendatangi rumah madunya
bersama kedua anaknya yang masih
kecil untuk memberi tahu madunya
bahwa ia adalah isterinya dan anak-anak
yang dibawanya adalah anak-anak dari
suaminya. Tindakan ini membuahkan
hasil. Madunya meminta cerai dengan
suaminya menceraikan madunya dan
kembali kepadanya. Kedua tindakan
subjek 2 dia atas pada dasarnya tidak
menyelesaikan masalah.
Pada perkawinan suaminya yang
ketiga tindakan konfrontatifnya adalah
dengan membiarkan suaminya menikah
di bawah tangan saja. Cara ini sama
dengan yang dilakukan subjek 1 dalam
rangka mengokohkan dirinya sebagai
isteri yang sah secara hukum agama dan
negara. Sedang madunya tidak sah
secara hukum negara.
3) Seeking social support
Terhadap subjek 2, proses seeking
social support didapatkan SL hanya
ketika orangtua dan mertuanya masih
hidup. Juga kepada orang „alim untuk

124

meminta air doa (banyu tawar ) dan doa
atau amalan untuk ketenangan jiwanya.
Masalah air doa dijelaskan oleh
Masaru
Emoto
yang berhasil
membuktikan bahwa air sanggup
membawa pesan atau informasi dari apa
yang diberikan kepadanya. Bahkan air
yang diberi respon positif, termasuk
doa, akan menghasilkan bentuk kristal
heksagonal yang indah. .17
4) Acceptance
Subjek 2 memang terkesan berserah
diri dan menerima apa yang terjadi
padanya. Kenyataan selalu dipoligini
suaminya
membuat
subjek
2
beranggapan tiada hal yang bisa
dilakukannya lagi untuk memecahkan
masalahnya selain pasrah dan menerima
takdir Allah atas dirinya.
5) Denial (avoidance)
Subjek 2 dalam hal avoidance ini
berusaha menyanggah dan mengingkari
dan melupakan masalah-masalah yang
ada pada dirinya. Subjek 2 berusaha baik
kepada
madunya
dengan
sering
17

http://en.wikipedia.org/wiki/Masaru_Emoto, 23-11-2015

125

mengirim
makanan
dan
sudah
menganggap saudara saja madunya. Ini
bentuk pengingkarannya, karena kalau
madu/isteri muda suami itu rasanya
menyakitkan, tapi kalau saudara kita
akan mau berbagi suka dan senang
bersama.
c. Subjek 3
Seperti dua subjek terdahulu, subjek 3
tidak saja melakukan coping stres yang
berfokus pada emosi, tetapi juga
melakukan coping berfokus pada masalah.
1) Planful Problem Solving
Berbeda dengan ke dua subyek
terdahulu. subjek 3 dan suaminya dapat
menyepakati perkawinan poligini yang
akan dilakukan suami adalah perkawinan
poligini yang resmi secara agama dan
Negara. Dengan kesepakatan itu, maka
setelah suami menikah lagi, suami dan
kedua
isterinya
sama
mengurus
persyaratan
untuk
mencatatkan
perkawinan poligini yang mereka jalani
secara resmi serta kesediaan suami untuk
berlaku adil terhadap kedua isterinya dan
anak-anak mereka.
2) Confrontative coping

126

Subjek 3 tidak melakukan proses
Confrontative
coping.
Hal
ini
dikarenakan subjek 3 dapat memahami
dan dapat mengerti kebolehan bagi
seorang laki-laki untuk berpoligini
dengan syarat mampu dan berlaku adil.
Subjek 3 juga memaklumi alasan
suaminya berpoligini untuk menolong
orang yang meminta perlindungan.
3) Seeking social support
Tidak dipungkiri subjek 3 memang
meminta dukungan kepada orangtua dan
kakak laki-lakinya atas apa yang terjadi
pada kehidupan perkawinannya dengan
suami.
Beruntung
keluarganya
memberikan dukungan yang baik
terhadap subjek 3 dengan cara
menasehatinya. Dengan dukungan sosial
dari keluarga ini subjek 3 merasa dapat
menyelesaikan masalahnya. subjek 3 pun
tidak menampik kalau ia meminta atau
diberikaan doa dan amalan (yang sesuai
Islam) untuk menenangkan diri.
4) Acceptance
Sebagai seorang isteri yang taat
kepada suaminya, subjek 3 dapat
menerima perkawinan poligini suaminya,

127

subjek 3 menganggapnya sebagai takdir
yang harus diterima, subjek 3 berserah
diri kepada ketentuan Allah atau pasrah.
5) Denial (avoidance)
Subjek 3 berusaha menyanggah,
mengingkari dan melupakan masalahmasalah yang ada pada dirinya. Dia
menerima dipoligini oleh suaminya
karena
kesediaannya
menolong
seseorang
yang
memerlukan
perlindungan suaminya. Subjek 3 juga
menganggap madunya sebagai saudara
yang dapat saling tolong menolong untuk
kebaikan keluarganya.
Dari pembahasan tentang coping stress
isteri pertama dalam perkawinan poligini
terlihat betapa berat beban jiwa yang
ditanggung
para
subjek
untuk
mempertahankan perkawinannya. Dalam
hukum Islam dan hukum dalam perundangundangannya memberikan kemungkinan atau
memperbolehkan poligini pada orang tertentu
dengan alasan tertentu pula. Tetapi asas
penting yang dianut sistem undang-undang
perkawinan di dunia Islam adalah monogami,
yaitu asas yang hanya memperbolehkan

128

seorang laki-laki mempunyai satu isteri pada
jangka waktu tertentu.
Perkawinan sebagai suatu ikatan janji
setia antara suami dan istri yang di dalamnya
terdapat suatu tanggung jawab dari kedua
belah pihak.18 Lebih jelas di dalam UU No. 1
Tahun 1974 disebutkan bahwa: ”Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa”.19 Dari pengertian
perkawinan yang dikutip di atas sangatlah
jelas bahwa perkawinan itu merupakan ikatan
janji setia dan ikatan lahir batin yang menjadi
tanggung jawab bersama antara suami dan
isteri untuk membentuk keluarga bahagia dan
kekal.
Selanjutnya berdasarkan surah al-Rûm
ayat 21 Allah menerangkan bahwa Allah
menciptakan pria dan wanita dari jenis kalian
sendiri untuk menjadi istri-istri bagi kalian,
sehingga jiwa-jiwa kalian merasa tenang
hidup bersama mereka. Selain itu, Allah
menjadikan rasa cinta dan kasih sayang antara
18

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Berwawasan Gender , (Malang: UIN-Malang Press,
2008), h. 107-108.
19
Paradnya Paramida, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dengan Peraturan dan
Pelaksnaannya , 6.

129

suami dan istrinya.20 Tujuan perkawinan
dalam Alquran di atas bersesuaian dengan
tujuan perkawinan dalam Kompilasi Hukum
Islam Bab II tentang Dasar-Dasar Perkawinan.
Pada pasal 3 dinyatakan bahwa perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.21 Tujuan perkawinan yang Allah
kehendaki bersifat psikologis, yaitu merasakan
ketenangan di samping pasangannya serta
cenderung kepadanya. Allah menjadikan
mawaddah atau kelapangan dada dan
kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Kalau
kita mencintai, maka kita menginginkan
kebaikan dan mengutamakannya.
Seorang isteri yang melaksanakan peran
dan fungsinya dengan baik seperti taat dan
patuh pada suami, menyenangkan hati suami,
melayani kebutuhan biologis suami dan
mengurus rumah tangga dengan baik wajib
dimuliakan dan dihormati, dibahagiakan dan
diperlakukan dengan baik karena ia isteri
salehah. Isteri salehah seperti ini tidaklah
pantas disakiti hatinya.
’Aidh al-Qarni, Tafsir Muyassar,jilid 4, (Jakarta: Qisthi Press, 2007), h. 349.
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama,
1991/1992), h. 13.
20

21

130

Dalam hidup ini, setiap perempuan
menginginkan menjadi isteri pertama dan
satu-satunya dalam sebuah perkawinan.
Namun kenyataannya, ada perempuan yang
harus menjadi isteri kedua, ketiga atau
keempat sebagai jalan keluar dari kehidupan
perkawinannya. Jadi ketika para subjek
memahami ini dan dapat menerima
perempuan lain dalam perkawinan poligini
suaminya adalah hal lain yang memang takdir
mereka.
Dalam Islam poligini merupakan pintu
darurat yang tidak semua orang boleh
melewatinya. Ada lelaki tertentu yang tidak
cukup hanya dengan satu isteri atau isterinya
mandul tidak bisa melahirkan atau sakit yang
berkepanjangan yang tidak bisa melayani
suami. Islam menyalurkan fitrah manusia
dengan aturan dan etika. Etika bagi laki-laki
yang menjalani poligini adalah harus berlaku
adil terhadap isteri-isterinya meski adil itu
sangat berat.
Dalam perkawinan poligini diketahui
bahwa faktor keyakinan/ agama ataupun
pandangan positif menjadi sumber daya
psikologis yang sangat penting, seperti
keyakinan pada nasib/takdir Allah.

131

Keterampilan memecahkan masalah
yang dimiliki subjek membuat mereka mampu
untuk mencari informasi, menganalisa situasi
dan mengidentifikasi masalah. Cara ini
menghasilkan alternatif tindakan, kemudian
mempertimbangkan hasil yang ingin dicapai
yang akhirnya melaksanakan sesuai rencana.
Keterampilan sosial subjek dalam
berkomunikasi dan bertingkah laku dengan
cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial
yang berlaku di masyarakat juga membantu
subjek untuk mengatasi masalahnya.
Hal yang juga penting adalah dukungan
sosial untuk memenuhi kebutuhan informasi
dan emosional pada diri yang diberikan oleh
orang tua, anggota keluarga lain, saudara,
teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
Poligini dapat menurunkan kepuasan
hidup dan perkawinan. Sebab perempuan yang
dipoligini
mungkin
akan
mengalami
permasalahan gangguan jiwa yang berdampak
juga bagi kesehatan. Mereka lebih mudah
jatuh
ke
dalam
depresi,
gangguan
psikosomatik, serta mengalami kecemasan dan
paranoid. Selain itu, perempuan yang
dipoligini bisa juga akan merasa rendah diri,

132

lebih mudah mengalami gangguan kejiwaan
dan stres. Untuk mengatasi semua itulah
coping stress sangat perlu dilakukan.
.

2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Isteri
Bertahan dalam Perkawinan Poligini
a. Faktor-Faktor yang Menyebabkan subjek
1 Bertahan dalam Perkawinan Poligini:
1) Faktor Agama
Agama
menurut
subjek
1
memperbolehkan seorang laki-laki
beristeri dua asal mampu atau berduit.
Sekalipun subjek 1 tidak dapat
menunjukkan
dasar
kebolehan
berpoligini di dalam Islam, namun
berdasarkan pemahaman subjek 1
poligini adalah hak seorang laki-laki.
Dalam Islam landasan berpoligini
terdapat dalam QS. al-Nisa ayat 3.
Menurut subjek 1 bila suami kawin
lagi, dan kita bisa sabar dan ikhlas
maka balasannya adalah surga.
Dengan pemahaman subjek 1
tentang kebolehan berpoligini di
dalam agama dan hak suami untuk
berpoligini serta surga sebagai balasan

133

bagi yang sabar dan ikhlas seperti di
atas, maka dapat dimengerti bila
subjek 1 dapat menerima poligini
suaminya.
2) Faktor anak
Perkawinan subjek 1 dengan
suaminya sudah berlangsung 21 tahun.
Mereka memiliki 7 (tujuh) orang anak,
4 (empat) putera dan 3 (tiga) puteri.
Ketujuh anak-anak mereka inilah
agaknya yang juga menjadi perekat
perkawinan subjek 1 dan suami.
Setiap orangtua terutama ibu
sangat menyayangi anak-anaknya.
Tidak jarang kita temui seorang isteri
yang rela bertahan dalam perkawinan
hanya karena anak-anak yang masih
sangat membutuhkan orangtuanya,
Konsekuensi pengasuhan ini penting
untuk memastikan kepada anak-anak
kalau suami tetap figur bapak yang
baik bisa dijadikan contoh.Walaupun
sebenarnya sulit untuk bertahan,
namun subjek 1 bertahan dalam
perkawinan poligini antara lain demi
anak-anaknya.
3) Faktor ekonomi

134

Selain masalah anak, faktor
ekonomi juga menjadi salah satu
faktor subjek 1bertahan dalam
perkawinan poligini. Secara ekonomi,
subjek 1 merasa nyaman dengan
kehidupan sekarang apalagi suaminya
memberikan
kepercayaan
penuh
kepadanya untuk mengelola usaha
dagang mereka.
Tidak mudah untuk berpisah dan
meninggalkan keadaan yang sudah
mapan
dan
nyaman
dijalani.
Sementara ke depan tidak jelas apa
yang dapat dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup diri dan anak-anak.
Walaupun
anak-anak
menjadi
tanggung jawab ayahnya.
4) Faktor status janda
Status janda, apalagi janda cerai
memiliki konotasi yang buruk di
masyarakat kita. Seorang janda sering
dipandang sebelah mata. Sering
dicurigai yang tidak-tidak dan ditakuti
para isteri di lingkungan tempat
tinggalnya. Intinya subjek 1 tidak
mampu menanggung status janda
(janda cerai). Oleh sebab itu maka

135

subjek 1 menjadikan hal ini sebagai
salah satu faktor untuk menerima dan
bertahan dalam perkawinan poligini.
5) Faktor cinta kasih sayang
Cinta,
kasih
dan
sayang
merupakan hal yang membuat dua
insan laki-laki dan perempuan bersatu
di dalam lembaga perkawinan.
Memang tidak bisa dirasionalkan
karena menyangkut perasaan hati,
namun karenanya subjek 1 rela
dimadu asalkan rumah tangga mereka
tidak bubar.
b. Faktor-Faktor
yang
Menyebabkan
Subjek 2 Bertahan dalam Perkawinan
Poligini:
1). Faktor anak
Kesabaran, ketabahan, keikhlasan
subjek 2 bertahan dalam perkawinan
poligini antara lain disebabkan sayang
kepada anak-anaknya. Seorang ibu tidak
akan tega bila anaknya menderita
disebabkan kehilangan kasih sayang
ayahnya, walau bagaimanapun keadaan
ayahnya. Sulit membayangkan keadaan
keluarga ini kalau sampai terjadi
perceraian. Sebab tidak hanya subjek 2

136

dan anak-anaknya, tetapi juga keluarga
besar mereka dari pihak subjek 2
maupun suaminya yang mereka hidup
dalam
ketergantungan.
Dengan
kenyataan itu SL bertahan dalam
perkawinan poligini sekalipun sangat
berat untuk dijalani.
2). Faktor Agama
Disebabkan beberapa dipoligini,
subjek 2 akhirnya memahami bahwa
agama memperbolehkan saja seorang
laki-laki beristeri dua asal sanggup.
Sanggup diartikan mampu menafkahi
anak isteri. Oleh sebab itu maka poligini
yang dilakukan suaminya bukanlah hal
yang salah. Selama suami dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik dan
tidak menelantarkan anak isterinya yang
lain.
3). Faktor status janda
Seperti halnya subjek 1, subjek 2
juga mengaku malu dengan predikat
janda apalagi janda cerai. Menjadi janda
sangat tidak enak dan serba salah,
walaupun kita orang baik-baik saja.
Apalagi di kampung, janda dianggap

137

ancaman bagi para isteri, karena banyak
isteri yang takut kalau suami mereka
tergoda oleh janda. Dengan alasan
demikian banyak perempuan yang
menghindari status tersebut.
Menjaga harga diri dikaitkan subjek
2 dengan ketidakmauannya dianggap
kalah dengan madunya. Makanya
bertahan dalam kehidupan poligini lebih
baik bagi subjek 2 dibandingkan
bercerai. Alasan ini menjadi salah satu
faktor subjek 2 tetap bertahan dalam
perkawinan poligini yang dilakukan
suaminya.
4). Faktor kasih sayang
Menurut subjek 2 walaupun sudah
sama-sama tua, mereka masih samasama kasih dan sayang. Bagi mereka
hanya Allah yang dapat memisahkan
mereka. Terbukti memang bahwa mereka
masih bersatu hingga saat ini.
c.Faktor-Faktor yang Menyebabkan Subjek 3
Bertahan dalam Perkawinan Poligini:
1). Faktor agama
Sebagai seorang perempuan berhijab
tamatan MAN. Dengan pengetahuan agama yang

138

dimilikinya subjek 3 memahami bahwa agama
memperbolehkan seorang laki-laki untuk
berpoligini. Di samping itu agama juga
mewajibkan seorang isteri untuk taat kepada
suami. Jadi ketika suami menginginkan
berpolini, isteri harus menerimanya atau kalau
tidak sanggup dapat meminta cerai saja. Dalam
kasus keluarga ini, poligini dilakukan karena
mereka harus menolong seorang perempuan
yang meminta perlindungan dengan cara
menikahi perempuan tersebut. Pemahaman yang
demikian membuat subjek 3 dapat menerima
dengan ikhlas dan sabar kehidupan dalam
perkawinan poligini. Kalau alasan ini benar,
maka Rasul sendiri bukan karena motivasi nafsu
(seksual), tetapi lebih didorong oleh keinginan
beliau untuk melindungi perempuan dan dalam
rangka dakwah islamiyah.
2). Faktor anak
Pertimbangan anak sebagai orang
yang paling dirugikan bila terjadi
perceraian orangtua membuat 3 tidak
meminta cerai atau meminta suami
menceraikan madunya. subjek 3 merasa
baik-baik saja dalam poligini. Anak-anak
mereka lebih terurus karena yang

139

mengurusi bukan hanya ayah dan ibunya
saja, tetapi juga ibu tirinya yang sama
baik dan sayang kepada anak-anak.
3). Faktor ekonomi
Secara ekonomi kehidupan keluarga
subjek 3 memang jauh lebih baik dari
sebelumnya. Sekarang kedua isteri
subjek 3 masing-masing sudah memiliki
rumah masing-masing yang jaraknya
berdekatan. Memiliki mobil dan motor
untuk
alat
transportasi
bersama.
Terpenuhinya
kebutuhan
ekonomi
keluarga ini membuat subjek 3
mensyukuri dan merasa nyaman dalam
kehidupan perkawinan poligini. Tentu
saja kalau berpisah dengan suami akan
membuat ekonominya tak jelas. Apalagi
subjek 3 tidak memiliki pekerjaan yang
dapat menopang kehidupannya.
4). Faktor kasih sayang
Dalam pengakuan subjek 3, cinta
dan kasih sayang suami kepadanya jauh
lebih terasa dalam perkawinan poligini
dibandingkan dahulu dalam perkawinan
monogini. Keadaan ini sangat membuat
nyaman subjek 3. Sehingga tidak ada

140

alasan baginya untuk tidak bersyukur dan
menerima perkawinan poligini suaminya.
Komitmen untuk mempertahankan
perkawinan, memungkinkan suami istri
tetap setia dan bertahan berjalan bersama
serta mampu mengatasi berbagai
permasalahan
dalam
perkawinan,
karenanya komitmen merupakan sisi
kognitif dari cinta. 22
5). Faktor status suami
Suami subjek 3 adalah seorang PNS
(dosen) sekaligus da’i atau penceramah.
Dengan status tersebut subjek 3
menganggap dirinya harus menjaga
harga diri suaminya di mata jamaah dan
masyarakat secara umum. Selama suami
tidak melakukan hal yang dilarang
agama subjek 3 menyatakan akan
berusaha untuk selalu mendukung,
sekalipun dalam masalah yang sangat
sulit seperti permintaan berpoligini.
Dari faktor-faktor yang menyebabkan para
subjek dapat bertahan dalam perkawinan poligini
dimengerti bahwa faktor keyakinan/agama
22

Dio Wibiksono, Membangun Komitmen , http://rmdio.blogspot.com/2012/05/psikologikeluarga-membangun-komitmen.html.(15 -12-2014).

141

ataupun pandangan positif menjadi sumber daya
psikologis yang sangat penting, seperti
keyakinan pada nasib/takdir Allah.
Menurut al-Athar dalam bukunya Ta ‟addud
az-Zaujat seperti yang dikutip oleh Khairudin
Nasution, terdapat empat dampak negatif dari
poligami (poligini), yaitu:
a. Menimbulkan kecemburuan antar isteri.
b. Menimbulkan kekhawatiran di kalangan
isteri jika suami tidak dapat berlaku adil.
c. Anak-anak yang lahir dari ibu yang berbeda
sangat rawan terjadi permusuhan atau
persaingan tidak sehat.
d. Kekacauan dalam bidang ekonomi.23
Dari kutipan di atas dapat dinyatakan
bahwa poligini dapat menurunkan tingkat
kepuasan hidup dan perkawinan. Pada
perempuan yang dipoligini akan mengalami
permasalahan gangguan jiwa yang berdampak
juga pada kesehatannya. Secara kejiwaan,
mereka lebih rentan depresi, gangguan
psikosomatik, serta mengalami kecemasan,
rendah diri, paranoid. dan stress.

23

Khairudin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh(Jakarta: 1996), 100.

142

Terhadap anak, semua anak pada dasarnya
pasti berharap memiliki keluarga yang ideal.
Satu ayah dan satu ibu. Perhatian ayah yang
terbagi
untuk
keluarganya
yang
lain,
menyebabkan anak kurang kasih sayang.
Sedangkan bagi anak perempuan, tidak menutup
kemungkinan poligini yang terjadi terhadap
orangtuanya akan meninggalkan rasa trauma
terhadap perkawinan nanti. Kehadiran keluarga
lain dalam kehidupannya, dapat memacu rasa
cemburu, marah, sedih, dan kecewa.
Melihat dampak negatif yang timbul akibat
poligini, baik terhadap isteri dan anak-anak.
Maka poligini bukan jalan keluar terbaik dari
masalah keluarga. Dampak negatif tersebut akan
muncul, walau seadil apapun suami terhadap
keluarga-keluarganya.
Agar perempuan mempertimbangkan segala
konsekuensinya mulai dari dampak sosial,
psikologis, hingga pengasuhan anak. Jika istri
siap menghadapi segala konsekuensinya maka
bertahan bisa menjadi pilihan tepat ketika suami
menikahi perempuan lain. Tidak baik
mempertahankan pernikahan hanya karena status
karena efeknya akan jauh lebih menyedihkan.
Sayangnya, banyak wanita yang terpaksa
menyetujui suami berpoligami walaupun ia tahu

143

dirinya tak siap menghadapi segala konsekuensi
terburuk. Faktor agama, anak, ekonomi atau
status janda, status suami dan faktor kasih sayang
menjadi penyebab perempuan bertahan dalam
lingkaran poligini yang menyakitkan dirinya
sendiri.
Untuk
itu
subjek
hendaknya
meningkatkan kecerdasan spiritual supaya lebih
bisa menerima kenyataan.
Agar tidak menjadi 'hancur' karena bertahan
di lingkaran poligini adalah berdamai dengan
kenyataan. Luangkan banyak waktu untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Lakukan halhal yang terkait spiritual agar bisa membuat diri
menjadi lebih baik. membantu menguatkan
seseorang secara psikologis," meningkatkan
keimanan kepada Tuhan, berkecimpung dalam
kegiatan sosial. bisa banyak berkumpul dengan
teman Cari pemaknaan hidup lainnya, berkumpul
atau berpartisipasti dalam lingkungan sosial bisa
menjadi salah satu cara.
Secara umum poligini bukanlah solusi
terbaik
untuk
menyelesaikan
masalah
pernikahan.
Sebaliknya,
poligini
dapat
menciptakan masalah-masalah baru bagi anggota
keluarga. Namun sebagai pintu darurat yang
hanya dapat dilalui oleh orang yang amat
membutuhkan dan dengan syarat yang tidak

144

ringan. Berpoligini menurut syariat Islam adalah
mubah, sesuatu yang dibolehkan tetapi tidak
dianjurkan. Poligini merupakan suatu rukhsah
(kelonggaran) ketika darurat. Berpoligini
diperbolehkan selama tidak terjadi penganiayaan
dan penelantaran terhadap isteri-isteri atau anakanak. Maka penyebutan dua, tiga atau empat
pada hakikatnya adalah tuntutan berlaku adil
dalam hal materi maupun perlakuan lahiriah.24
Walaupun
poligini
sering
dianggap
bertentangan dengan feminisme. Akan tetapi
dianggap sebagai solusi problem sosial dan
psikologis oleh sebagian masyarakat.
Ketiga subjek adalah orang-orang yang
memiliki harapan yang realistis, memiliki standar
diri, menyadari kekurangan dan kelebihannya,
dapat bertahan kepedihan dan mampu mengatasi
keadaan emosionalnya.

24

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, volume 2, 321-324.