Gambaran Coping Stress Penyintas Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

(1)

GAMBARAN COPING STRESS PENYINTAS DALAM

MENGHADAPI BENCANA ERUPSI GUNUNG SINABUNG

DI KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

NISSA AZTARID SEMBIRING DEPARI

111301076

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2014/2015


(2)

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Coping Stress Penyintas Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Sinabung

di Kabupaten Karo

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, April 2015

NISSA AZTARID S 111301076


(4)

Sinabung di Kabupaten Karo Nissa Aztarid &Arliza J. Lubis

ABSTRAK

Bencana alam memberikan dampak yang besar kepada setiap orang yang mengalaminya. Melakukan coping stress tentunya sangat penting untuk mengatasi dampak stres yang dirasakan. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran penggunaan coping stress pada penyintas erupsi Gunung Sinabung.(Moos, 1993) mengindentifikasi delapan strategi coping, baik orientasi Approach maupun orientasi Avoidance, yaitu: Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation,Seeking Alternative Reward,dan Emotional Discharge.Sampel penelitian berjumlah 141 penyintas yang diambil dengan teknik insidental sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Coping Responses Inventory (CRI).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek menggunakan baikapproach coping dan avoidance coping. Selanjutnya, dari pengkategorisasian subjek, ditemukan bahwa sebagian besar subjek tergolong tinggi dalam menggunakan strategi Logical Analysis, Positive Reappraisal, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation, dan Seeking Alternative Reward, tergolong sedang dalam menggunakan strategi Seeking Guidance and Support, dan tergolong rendah dalam menggunakan strategi Emotional Discharge.


(5)

The Description of Coping Stress on Survivors of Mount Sinabung Eruption in Karo Regency

Nissa Aztarid &Arliza J. Lubis

ABSTRACT

Natural disaster has the power to induce stress in anyone who experiences that event. The need to use coping are very important to intervene the effect of stress. The aim of this study is to describe the use of coping stress on survivors of Mount Sinabung eruption. (Moos, 1993) identified eight coping strategy, in Approach oriented and Avoidance oriented, that is: Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation,Seeking Alternative Reward, and Emotional DischargeThe sample is composed of 141 survivors that recruited through an accidental sampling technique. The instrument used in this study is Coping Responses Inventory (CRI).

The result of this study shown that the subjects use both approach coping and avoidance coping. However, from categorization of the use of coping strategy shows that mostly subjects included in the high category of use Logical Analysis, Positive Reappraisal, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation, and Seeking Alternative Reward coping strategy. Mostly subjects included in the average category of use Seeking Guidance coping strategy and mostly subject included in the low category of use Emotional Discharge coping strategy.


(6)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT ataskarunia, kejutan hidup yang begitu indah, jalanan hidup yang tidak tertebak dan membawa peneliti dalam pencapaian yang berarti. Skripsi.

Sumber semangat hidup. Sumber motivasi terbesar dalam mengerjakan skripsi. Ayah dan Bunda. Berjuta terima kasih untuk semua kasih sayang yang tiada batas. Untuk kakakku Nurul, Adikku Nadilla dan Namira, yang selalu ada untuk mendengarkan curahan hati, yang tidak pernah lupa untuk mendukung dan memberikan semangat. Terima kasih sayang.

Pihak-pihak yang membantu dan membimbing peneliti, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyelesaian skripsi. Dari hati yang terdalam peneliti mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku dekan Fakultas PsikologiUniversitas Sumatera Utara.

2. Arliza J Lubis, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih sebesar-besarnya atas waktu, ilmu, dan bimbingan yang telah diberikan.

3. Debby A Daulay, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing akademik. 4. Juliana I Saragih, M.Psi., Psikolog., Josetta Maria R. Tuapatinaja, M.Si.,

Psikolog., Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si., Psikolog., dan Rahma Fauzia, M.Psi., Psikolog, selaku dosen Departemen Psikologi Klinis.


(7)

ii

5. Dosen-dosen Psikologi Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas semua ilmu bermanfaat yang telah diberikan.

6. Para penyintas erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo yang telah memberikan banyak kontribusi.

7. Keluarga besar tercinta. Keluarga Asoka. Bersyukur sekali peneliti tumbuh dan besar di keluarga ini. Terima kasih untuk setiap cinta, doa, dukungan, nasihat dan kehangatan yang diberikan.

8. Sepupu terhebat,kak Elfi, kak Nifa, kak Difa, kak Ami, bang Agi, bang Zuhri, dan Mukhlis, yang selalu ada untuk menghibur, menemani, dan memberikan semangat. Terima kasih untuk semua bantuan yang diberikan dalam proses pengerjaan skripsi ini.Tanpa kalian, hidup tidak akan penuh tawa.

9. Sahabat-sahabat tersayang, Putri,Taya, Rina, dan Tia, terima kasihsekali untuk semangat dan dukungan tanpa henti. Semoga cita-cita dan mimpi kita dapat tercapai.

10. Kepada teman-teman Psychotroops‘11,kalian luar biasa! Terima kasih untuk empat tahun yang sangat manis.

11. Dan terakhir, kepada para pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, April 2015


(8)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teorits ... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Stres ... 12

B. Penanganan Stres (Coping Stress) ... 13

1. Pengertian Penanganan Stress (Coping Stress) ... 13

2. Strategi Coping Stress ... 16

a. Approach-oriented coping ... 18

b. Avoidance-oriented coping ... 20

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Coping Stress ... 21

a. Sumber daya internal ... 21

b. Sumber daya eksternal ... 22

C. Penyintas ... 24

D. Bencana Alam Erupsi Gunung Sinabung ... 25


(9)

iv

BAB III METODE PENELITIAN... 30

A. Identifikasi Variabel ... 30

B. Definisi Operasional ... 30

C. Populasi dan Sampel ... 31

1. Populasi ... 31

2. Sampel ... 31

D. Metode Pengumpulan Data ... 32

1. Kuesioner Strategi Coping Stress... 33

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 34

1. Validitas ... 34

2. Reliabilitas... 34

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 35

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 37

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 37

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 37

3. Tahap Pengolahan Data... 38

G. Metode Analisa Data ... 38

1. Gambaran Sebaran Data ... 38

2. Perbandingan Mean ... 38

3. Kategorisasi ... 39

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Analisa Data ... 41

1. Gambaran Umum Subjek ... 41

2. Gambaran Coping Stress ... 43

a. Perbandingan mean teoritik dan mean empirik subjek ... 44

b. Perbandingan mean teoritik dan mean empirik subjek berdasarkan data demografis ... 45

c. Kategorisasi ... 49


(10)

v

A. Kesimpulan... 58

B. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(11)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1Delapan Subskala Strategi Coping Stress ... 33

Tabel 2 Blue Print Alat Ukur Coping Reponses Inventory (CRI) ... 34

Tabel 3Koefisien Cronbach’s alpha pada Strategi Coping Stress ... 35

Tabel 4Distribusi Aitem-aitem Alat Ukur CopingReponses Inventory

(CRI)Setelah Uji Coba ... 36

Tabel 5Distribusi Aitem-aitem Alat Ukur Coping Reponses Inventory (CRI)... Untuk Penelitian ... 36

Tabel 6Gambaran Data Demografis Subjek ... 41

Tabel 7Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek ... 44

Tabel 8Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Usia ...45

Tabel 9Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Jenis Kelamin ... 46

Tabel 10Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Agama ... 46

Tabel 11Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Status Pernikahan ... 47

Tabel 12Perbandingan Mean Teoritis dan Mean Empirik Subjek berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 47

Tabel 13Kategorisasi Strategi Coping Stress ... 50


(12)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Hasil Preliminary Research... 64

Lampiran 2 Hasil Uji Reliabilitas Alat Ukur Try Out ... 67

Lampiran 3 Alat Ukur Penelitian ... 80


(13)

Gambaran Coping Stress Penyintas Dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

Nissa Aztarid &Arliza J. Lubis

ABSTRAK

Bencana alam memberikan dampak yang besar kepada setiap orang yang mengalaminya. Melakukan coping stress tentunya sangat penting untuk mengatasi dampak stres yang dirasakan. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran penggunaan coping stress pada penyintas erupsi Gunung Sinabung.(Moos, 1993) mengindentifikasi delapan strategi coping, baik orientasi Approach maupun orientasi Avoidance, yaitu: Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation,Seeking Alternative Reward,dan Emotional Discharge.Sampel penelitian berjumlah 141 penyintas yang diambil dengan teknik insidental sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Coping Responses Inventory (CRI).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek menggunakan baikapproach coping dan avoidance coping. Selanjutnya, dari pengkategorisasian subjek, ditemukan bahwa sebagian besar subjek tergolong tinggi dalam menggunakan strategi Logical Analysis, Positive Reappraisal, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation, dan Seeking Alternative Reward, tergolong sedang dalam menggunakan strategi Seeking Guidance and Support, dan tergolong rendah dalam menggunakan strategi Emotional Discharge.


(14)

Karo Regency

Nissa Aztarid &Arliza J. Lubis

ABSTRACT

Natural disaster has the power to induce stress in anyone who experiences that event. The need to use coping are very important to intervene the effect of stress. The aim of this study is to describe the use of coping stress on survivors of Mount Sinabung eruption. (Moos, 1993) identified eight coping strategy, in Approach oriented and Avoidance oriented, that is: Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation,Seeking Alternative Reward, and Emotional DischargeThe sample is composed of 141 survivors that recruited through an accidental sampling technique. The instrument used in this study is Coping Responses Inventory (CRI).

The result of this study shown that the subjects use both approach coping and avoidance coping. However, from categorization of the use of coping strategy shows that mostly subjects included in the high category of use Logical Analysis, Positive Reappraisal, Problem Solving, Cognitive Avoidance, Acceptance or Resignation, and Seeking Alternative Reward coping strategy. Mostly subjects included in the average category of use Seeking Guidance coping strategy and mostly subject included in the low category of use Emotional Discharge coping strategy.


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang rawan mengalami bencana alam. Hal ini disebabkan karena pergerakan dan tumbukan tiga lempeng dunia yakni lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik yang terletak di negara ini. Selain disebabkan oleh pergerakan dan tumbukan lempeng, pemicu bencana alam juga disebabkan karena Indonesia dikelilingi oleh serangkaian gunung berapi yang berjumlah sekitar 240 buah (Tanjung & Kamtini, 2005). Akibatnya, bencana alam pun datang silih berganti, saling menyusul dari daerah satu ke daerah lain, baik itu bencana gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.

Bencana alam digambarkan sebagai suatu kehendak Tuhan “acts of God”

(Ursano & Norwood, 2003), sehingga pada dasarnya ini merupakan sesuatu yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikontrol (Nickerson, 2008). Hadirnya bencana alam dapat mengancam kelangsungan hidup individu melalui kehancuran lingkungan fisik dan psikologis (Rice, 1992). Bencana alam juga merupakan salah satu bentuk peristiwa negatif yang terjadi dalam kehidupan, yang dapat menyebabkan perubahan besar bagi suatu komunitas, daerah, bahkan negara (Dalton dkk., 2007), dan ini tentunya merupakan salah satu peristiwa hidup yang begitu menekan (Lahey, 2010).

Di Sumatera Utara, bencana datang melalui peristiwa meletusnya Gunung Sinabung di Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Karo pada tahun 2013 lalu.


(16)

Meskipun sempat digolongkan kedalam gunung berstatus tipe B, karena tidak lagi menunjukkan aktivitasnya selama 400 tahun dan tidak mempunyai karakter meletus secara magmatik. Tetapi nyatanya Gunung ini kembali menunjukkan aktivitasnya dan meletus pada tahun 2010 kemudian kembali meletus pada bulan September 2013 lalu (Arfa, 2013).

Sejak dinyatakan darurat bencana dengan status gunung pada level tertinggi yaitu Awas oleh Pemerintah Kabupaten Karo, masyarakat yang berada di radius tiga sampai tujuh kilometer diharuskan untuk mengungsi ke posko-posko pengungsian yang telah disediakan (Arfa, 2013). Seiring dengan aktivitas gunung yang semakin meningkat dari hari ke hari, jumlah pengungsi juga terus mengalami peningkatan. Tercatat hingga bulan Januari 2014, sebanyak 28.536 jiwa harus diungsikan yang tersebar di 39 titik pengungsian. (Situs Resmi Pemerintah Kota Kabupaten Karo, diakses pada 24 Juni 2014)

Peristiwa erupsi Gunung Sinabung ini tentunya berdampak pada lingkungan fisik dan masyarakat yang tinggal di sekitar gunung. Selain masyarakat diharuskan mengungsi, debu vulkanik yang keluar akibat erupsi menyebabkan rusaknya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Debu vulkanik ini juga menyebabkan kerusakan tempat tinggal dan berbagai bangunan infrastruktur seperti sekolah, rumah ibadah, dan kantor desa. Selain debu vulkanik, guguran awan panas yang keluar sangat membahayakan dan mengancam kelangsungan hidup (Sudibyo, 2014).

Tokoh masyarakat Karo, Arya Mahendra Sinulingga mengatakan bahwa dampak yang ditinggalkan Gunung Sinabung tentu menyebabkan kerugian yang


(17)

3

meluas bagi masyarakat Karo (dalam Pinem, 2015).Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh permerintah Kabupaten Karo, ditemukan terjadi tren penurunan pada sektor partanian Kabupaten Karo sebesar 35 persen yang mana kerugian diperkirakan mencapai 712,2 Milyar (Nugroho, 2014). Dari segi pendidikan, jumlah masyarakat Karo yang masuk perguruan tinggi juga sangat menurun (Pinem, 2015). Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia Fahri Hamzah mengatakan bahwa “perhitungan PDRB (Produk

Domestik Regional Bruto) Kabupaten Karo mengalami minus 45 persen pada pertumbuhannya. Artinya, Kabupaten Karo untuk mencapai tingkat normal seperti halnya pada tahuan 2012 bila pertumbuhan normal lima persen, maka dibutuhkan

sembilan sampai sepuluh tahun untuk sama dengan kondisi di tahun 2012.”

(dalam Pinem, 2015).

Dalam budaya Karo sendiri, yang merupakan suku mayoritas masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung, terkandung sebuah nilai yang menggambarkan mengenai ketergantungan antara manusia dengan alam, karena relasi yang kuat dengan alam ini pula, terciptalah pola kehidupan masyarakat yaitu bercocok tanam. Masyarakat sangat bergantung pada alam, yang mana telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan mereka (Sitepu, 1996). Begitu juga halnya dengan Gunung Sinabung, menurut cerita lokal yang turun temurun di masyarakat, diceritakan bahwa sejak zaman nenek moyang orang Karo yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung, mereka sangat menggantungkan mata pencaharian mereka dari tanah subur yang berada di sekitar gunung ini.


(18)

Akan tetapi, yang terjadi adalah bencana. Gunung Sinabung yang dibanggakan masyarakat Karo karena kesuburan dan keindahannya ini justru menunjukkan aktivitas dan erupsi secara terus menerus. Selain berimbas pada terganggunya perekonomian masyarakat (Sofyan, 2014). Erupsi ini juga mengakibatkan perubahan-perubahan baik sosial maupun psikologis masyarakat. Dilaporkan oleh penelitian dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta bahwasannyamasyarakat Karo mengalami guncangan emosi yang luar biasa, karena dalam ingatan mereka, gunung sinabung tidak pernah menjadi sumber bencana. (Tim, 2014)

Menurut Dr. Langkah Sembiring, salah satu peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, masyarakat dan pemerintah daerah Karo sama sekali tidak siap menghadapi bencana ini, akibatnya masyarakat banyak yang mengalami kepanikan dan ketakutan. Ia juga mengatakan bahwa pengungsi mengalami masalah karena sudah tinggal di pengungsian dalam waktu yang lama. Akibatnya, tingkat kejenuhan di pengungsian sudah cukup tinggi, sehingga mereka menjadi sensitif bahkan diantara mereka ada yang saling berkelahi (dalam Tim, 2014). Para peneliti tersebutjuga telah menemukan data bahwa ada salah satu pengungsi yang hendak bunuh diri akibat tidak kuat menanggung beban (Tim, 2014).

Selain itu, bencana ini juga mempengaruhi kondisi fisik masyarakat. Salah satu masyarakat juga mengatakan bahwa “tekanan darah saya naik terus karena ingat harta benda dan ladang yang rusak, saya juga bosan tidak ada kegiatan,

sementara kembali ke desa sangat tidak mungkin” (dalam Swetta, 2013). Selanjutnya juga dilaporkan bahwa benyak pengungsi yang mengalami


(19)

keluhan-5

keluhan fisik seperti menderita penyakit asma, sesak napas, diare, demam, dan hipertensi (Jangan, 2014).

Berbeda dengan bencana-bencana alam erupsi gunung api lain yang pernah terjadi di Indonesia. Bencana alam erupsi Gunung Sinabung tergolong panjang dan lama (Priyasidharta, 2014). Sampai pada bulan April 2015, Gunung Sinabung masih dinyatakan tanggap darurat bencana karena masih terus menunjukkan aktivitasnya. Bahkan sampai saat ini (April 2015) belum ada kepastian kapan Gunung Sinabung akan dinyatakan aman. Sekretaris utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana Dody Ruswandi mengatakan bahwa

“perubahan watak letusan gunung api membuat bencana ini semakin sulit

diprediksi, erupsi gunung api juga tidak dapat diprediksi untuk jangka panjang” (dalam Linggasari, 2014). Jika kita tarik mundur, maka terhitung sudah satu tahun lima bulan lamanya masyarakat mengalami bencana.

Dengan segala kondisi yang terjadi, gunung yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikontrol ini, masyarakat justru memilih untuk menunggu. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan peneliti pada bulan November 2014 kepada 30 penyintas erupsi Gunung Sinabung, sebanyak 22 penyintas mengatakan bahwa kondisi gunung memang tidak bisa dipastikan, tetapi mereka memilih untuk tetap menunggu sampai aktivitas gunung mereda. Meskipun mereka memiliki pilihan lain seperti pindah rumah dan mencari pekerjaan di daerah lain tetapi mereka lebih memilih untuk tinggal. Masyarakat mengatakan bahwa hidup mereka bergantung pada gunung ini, mereka dibesarkan karena gunung ini, dan gunung sendiri sudah menjadi bagian dari hidup mereka.


(20)

Pada akhirnya nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat sendiri memaksa mereka untuk tetap tinggal dan menunggu meskipun dengan fakta bahwa gunung dalam kondisi yang tidak bisa dikontrol maupun diprediksi. Dalam kondisi ini, terlihat bahwa masyarakat menghadapi situasi yang cukup menekan, hal ini ditandai dengan munculnya reaksi-reaksi baik fisik maupun psikologis seperti ketakutan, kecemasan, kejenuhan, dan keluhan-keluhan fisik yang dirasakan masyarakat. Reaski-reaksi tersebut diindikasikan sebagai reaksi stres. Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian Leitch (2003), ia menyatakan bahwa individu yang dihadapkan dengan kondisi tidak pasti lebih cenderung mengalami stres daripada mereka yang berada dalam kondisi yang lebih bisa diprediksi, karena di kondisi yang tidak pasti ini biasanya membuat mereka kesulitan untuk menentukan apa respon yang sebaiknya mereka berikan.

Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa ketika kondisi ini dialami individu dalam waktu yang berlangsung lama, bisa menimbulkan dampak negatif pada diri mereka (Gardner & Stern, 2002). Khususnya dalam kondisi bencana alam, yang notabenenya adalah “acts of God” sehingga tidak memungkinkan mereka untuk mengontrol keadaan gunung, besar kemungkinan memicu terjadinya stres (Ursano & Norwood, 2003), dan ketika ini berlangsung lama, dampak psikologis yang mungkin terjadi adalah helpless-perasaan tidak berdaya dan merasa tidak mampu untuk menghadapi lingkungannya (Sarafindo, 2011). Selain itu, juga memungkinkan munculnya perasaan insecure, yang mana individu percaya bahwa lingkungannya adalah suatu hal yang mengancam dirinya dan bisa berpengaruh buruk bagi mereka (Ainsworth, 1988).


(21)

7

Akan tetapi, sejatinya sebagai seorang individu, ketika dihadapkan pada situasi-situasi yang menekan (stressful), individu akan terus melakukan penilaian terhadap situasi tersebut lalu mempertimbangkan respon-respon yang akan diberikan untuk menghadapinya (Lazarus & Launier, dalam Rice, 1992). Hasil survey yang dilakukan peneliti, menunjukkan bahwa ketika menghadapi bencana ini, mereka mengaku melakukan beberapa aktivitas seperti mencari pekerjaan dengan berladang di ladang orang lain, membangun usaha, memperbaiki kerusakan infrastruktur, membantu teman yang juga mengalami kesusahan, dan menyewa rumah di daerah yang aman dari bencana. Respon-respon yang dilakukan penyintas untuk menghadapi situasi bencana ini disebut sebagai coping stress.

Copingmerupakan suatu upaya, baik mental maupun perilaku yang dilakukan secara sadar untuk mengelola suatu situasi yang penuh tekanan dengan tujuan untuk mengurangi perasaan tertekan atau kesukaran (Lazarus, dalam DiMatteo, 1990). Coping berperan penting ketika individu mengatasi stres. Peran coping dalam hal tersebut adalah sebagai mediator dan moderator. Sebagai mediator,coping berfungsi untuk menghalangi dampak stres pada individu dan coping ini berkorelasi negatif dengan ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Coping juga berfungsi sebagai moderator dalam mendorong individu menjadi lebih positif setelah mengalami berbagai situasi yang menekan. (Lazarus & Folkman, 1984).

Moos (1993), mengemukakan bahwa ada dua orientasi coping yang cenderung dilakukan individu dalam menghadapi situasinya, yaitu orientasi


(22)

mendekat (Approach-oriented coping) dan orientasi menjauh (Avoidance-oriented coping). Approach-oriented mengacu pada strategi-strategi baik kognitif dan perilaku yang dilakukan untuk memahami penyebab stres dan berusaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapinya secara langsung. Sedangkan avoidance-oriented mengacu pada strategi kognitif untuk menyangkal atau meminimalisir penyebab stres dan stretegi perilaku untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres tersebut.

Moos (1993) mengungkapkan bahwa Approach-oriented dan Avoidance-oriented masing-masingnya tersusun atas empat strategi coping. Strategi-strategi ini yang mendasari Approach coping adalah Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and Support, dan Problem Solving. Selanjutnya, strategi-strategi yang mendasari Avoidance coping adalah Cognitive Avoidance, Acceptance/Resignation, Seeking Alternative Reward, dan Emotional Discharge.

Ada beberapa alasan mengapa peneliti menggunakan teori Approach-oriented dan Avoidance-oriented. Pertama, teori ini merupakan perluasan teori Lazarus dan Folkman mengenai problem-emotion focused coping. Selanjutnya, orientasi coping juga lebih konsisten ditemukan pada teori approach dan avoidancecoping ini. Kedua, teori ini juga dirasa paling sesuai dipakai dalam konteks bencana, Moos sendiri mengatakan bahwa teori ini bisa digunakan untuk mengetahui coping stress penyintas erupsi Gunung Sinabung (Moos, 2015).Dengan mengetahui orientasi serta strategi-strategi coping penyintas erupsi Gunung Sinabung, ini bisa menjadi saran dan referensi bagi instansi penanggulanan bencana dalam merancang program rehabilitasi.


(23)

9

Penelitian-penelitian ilmiah menemukan bahwa Avoidance coping pada umumnya bukan strategi yang efektif digunakan ketika menghadapi stress, sedangkan penggunaan Approachcoping ditemukan lebih efektif dan mendorong penyesuaian diri di berbagai situasi (Moos, 1995). Penggunaan coping ini ditemukan memediasi hubungan antara optimisme dan penyesuaian diri yang lebih baik dalam keadaan stressful (Brissette, dalam Taylor & Stanton, 2007). Sebaliknya, avoidance coping dihubungkan dengan peningkatan stres, dan kesehatan mental yang semakin memburuk. Pemakaian coping ini juga berperan dalam menciptakan stres yang berkelanjutan (Holahan, dalam Taylor & Stanton, 2007).

Penelitian mengenai stress dan coping stress dalam situasi bencana juga telah banyak dilakukan. Salah satunya oleh Andreas Baum (dalam Rice, 1992), ia mengemukakan bahwa dalam situasi bencana, strategi coping yang paling efektif dilakukan adalah dengan membersihkan diri dari emosi-emosi negatif. Para korban bencana seharusnya mencari cara untuk mengekspresikan emosi dan perasaan-perasaan negatifnya. Selanjutnya mereka juga sebaiknya menunda dahulu untuk mencoba mengontrol dan menyelesaikan masalahnya. Khususnya pada situasi bencana alam yang pada dasarnya adalah peristiwa yang tidak bisa dikontrol dan tidak bisa diprediksi, usaha-usaha untuk secara langsung menyelesaikan masalah, justru semakin meningkatkan stres dan perasaan frustrasi karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengatasi bencana tersebut.

Dengan melihat fenomena yang terjadi akibat bencana erupsi Gunung Sinabung, peneliti tertarik untuk mengetahui strategi coping yang digunakan oleh


(24)

masyarakat dalam menghadapi bencana tersebut. Mengetahui strategi apa yang dipakai merupakan sesuatu yang penting mengingat strategi coping yang digunakan individu merupakan suatu cara untuk menghindari dampak negatif yang bisa terjadi dandapat menentukan kesehatan mental dan fisik serta keberhasilan mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan mengetahui orientasi dan strategi pula, ini bisa menjadi saran bagi instansi penanggulanan bencana dalam mengadakan program penanganan psikologis dan rehabilitasi.

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Bagaimana gambaran coping stress penyintas dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo?

C. TUJUAN PENELITIAN

Menggambarkan coping stress penyintas dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah wawasan teoritis mengenai strategi coping stress (approach-oriented dan avoidance-oriented), khususnya yang digunakan dalam konteks bencana alam.

2. Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman mengenai strategi coping stress yang digunakan oleh penyitas di Kabupaten Karo, sehingga dapat dijadikan sumber referensi bagi


(25)

11

instansi penanggulangan bencana ketika membuat program penanganan psikologis dan rehabilitasi untuk penyintas bencana erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

E. SISTEMATIKA PENELITIAN

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Pada bab ini akan dibahas sejumlah konsep yang berhubungan dengan masalah penelitian. Tinjauan pustaka yang digunakan berkaitan dengan konsep Stress,Coping Stress, Penyintas, Bencana Alam Erupsi Gunung Sinabung, dan Paradigma berpikir.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian yang mencakup variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel, metode pengambilan data dan metode analisa data. BAB IV : Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini, akan diuraikan keseluruhan hasil analisa data penelitian, diawali dengan gambaran umum subjek penelitian, gambaran penggunaan coping stress kemudian pembahasan mengenai hasil penelitian berdasarkan teori.


(26)

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang menjawab pertanyaan penelitian, serta diakhiri dengan saran-saran bagi peneliti lain dan instansi penanggulangan bencana berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh.


(27)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. STRES

Konsep tentang stres merupakan suatu konsep yang sulit dipahami. Ibaratnya, semua orang tahu makna dari konsep ini, tetapi tidak akan ada orang yang bisa mendefinisikannya dengan cara yang sama (Rice, 1992). Dengan melihat sejarah konsep ini, kita juga akan tahu bahwa memahami dan mendefinisikan konsep stres telah menimbulkan kebingungan, kerumitan, bahkan permasalahan, sehingga dalam perkembangannya, para peneliti mengkonsepkan istilah stres ke dalam tiga cara, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon dan stres sebagai penilaian individu mengenai dirinya dan lingkungan (DiMatteo, 1990).

Stres diartikan sebagai suatu stimulus (dapat diartikan sebagai stressor) yang memunculkan perasaan tegang. Stressor bisa berupa peristiwa-peristiwa yang menggemparkan seperti bencana alam, perubahan hidup yang signifikan, konflik, situasi yang mengganggu, dan kondisi lingkungan atau tempat tinggal (Lahey, 2010). Selanjutnya, stres sebagai repon merupakan suatu proses yang melibatkan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya (Lazarus & Folkman, dalam DiMatteo, 1990).

Tingkatan stres yang dirasakan oleh individu ketika merespon peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya tergantung besarnya kecocokan antara aspek-aspek dalam diri individu dengan aspek-aspek-aspek-aspek yang ada dalam lingkungan.


(28)

Individu secara aktif akan menentukan dampak sebuah stressor pada pemikiran, perasaan, dan perilakunya. Pandangan ini berpendapat bahwa lingkungan yang stressful akan mengganggu fungsi fisik, keseimbangan psikologis, dan hubungan individu dengan oranglain.

Pandangan ke tiga menyatakan bahwa apa yang individu pikirkan tentang tuntutan (demand) dalam situasi dan apa yang ia pikirkan tentang kemampuan dan sumber daya (resource) yang ia miliki untuk menerima tuntutan tersebut adalah hal yang sangat penting (Lazarus & Folkman, dalam DiMatteo, 1990). Jika individu percaya bahwa tuntutan dalam lingkungan sosial dan fisik melebihi kemampuan dan sumber daya yang ia miliki, individu tersebut akan mengalami stres. Sebaliknya, jika lingkungan tidak banyak memberikan tuntutan pada individu, maka hanya sedikit stres bahkan tidak ada stres yang akan dialami individu.

B. PENANGANAN STRES (COPING STRESS)

1. Pengertian Penanganan Stres (Coping Stress)

Penanganan (coping) adalah suatu istilah yang populer digunakan. Orang-orang banyak berbicara tentang usaha mereka untuk menangani permasalahan yang mereka hadapi, di waktu lain, mereka mungkin mengatakan bahwa mereka tidak bisa menangani permasalahan yang lainnya (DiMatteo, 1990). Dalam perspektif psikologi, definisi coping yang paling umum dipakai, dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1984), yang mendefinisikan coping sebagai

“constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific external


(29)

14

of the person”. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai usaha kognitif dan perilaku yang secara konstan berubah untuk mengelola tuntutan ekternal dan internal tertentu yang dinilai sebagai pengganggu dan melebihi sumber daya yang dimiliki seseorang.

Tokoh lain mendefinisikan coping sebagai proses yang digunakan seseorang untuk menangani tuntutan yang menimbulkan stres (Atkinson, 1993). Coping juga diartikan sebagai upaya seseorang dalam mengatasi masalah dan menangani emosi yang umumnya negatif (Davidson, Neale, & Kring, 2006). Menurut Dalton, Elias, & Wandersman (2007), coping adalah respon atau strategi yang digunakan seseorang untuk mengurangi stres. Selanjutnya Lahey (2010), menggambarkan coping sebagai usaha yang dilakukan individu untuk menangani sumber stres dan usaha untuk mengontrol reaksi mereka terhadap sumber stres tersebut.

Secara teknis, coping didefinisikan sebagai segala usaha yang dilakukan individu untuk menangani tuntutan dalam situasi yang stressful. Ketika individu sedang berusaha untuk coping, ia akan mencoba untuk menghadapi kesenjangan antara tuntutan dari situasi stressful dengan kemampuan mereka untuk mengatasi tuntutan tersebut (Coyne & Holroyd, dalam Rice, 1992). Idealnya, individu akan memfokuskan usaha mereka untuk memperbaiki permasalahan yang dihadapi, tetapi untuk menghadapi kesenjangan antara tuntutan situasi dan kemampuan mereka sendiri, mereka terkadang juga melarikan diri atau menghindari situasi yang mereka anggap mengancam atau bisa saja mereka secara pasif menerima situasi tersebut (DiMatteo, 1990).


(30)

Lalu, apa sebenarnya yang menjadi penentu utama respon coping yang dilakukan ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan? Menurut pendekatan disposisional, faktor yang ada dalam diri individulah yang mendasari pilihan coping, dan faktor ini juga yang membuat individu cenderung menggunakan gaya coping yang relatif sama ketika dihadapkan dengan permasalahan dan situasi yang menekan. Menurut Dalton dkk.(2007), faktor ini meliputi faktor genetik dan biologis, trait kepribadian, kondisi kesehatan individu dan pengalaman hidup yang terdahulu. Sedangkan pandangan contekstual mengasumsikan bahwa faktor situasi atau lingkunganlah yang membentuk pilihan coping individu. Faktor ini meliputi tren ekonomi, tekanan sosial dan politik, dinamika keluarga, tradisi budaya, dan ancaman lingkungan.

Menurut DiMatteo (1990), coping merupakan proses yang dinamis. Berbagai macam strategi coping mungkin telah dilakukan oleh individu dan umpan balik (feedback) tentang keberhasilan pada suatu tipe coping akan memacu seseorang untuk mencoba lagi tipe coping tersebut. Sedangkan jika gagal, disisi sebaliknya, akan membawa individu untuk mengganti dengan tipe coping yang lain. Individu secara berkelanjutan akan menilai lingkungan dan kemampuannya untuk melakukan suatu coping. Sejalan dengan DiMatteo, Dalton dkk. (2007) menyatakan bahwa coping juga merupakan proses yang dinamis, yang dapat berubah setiap waktu, tergantung pada tuntutan situasi, ketersedian sumber daya dan penilaian yang terus menerus.

Dalam literatur-literatur ilmiah, berbagai konsep mengenai coping puntelah banyak dikembangakan. Salah satunya konsep coping yang


(31)

16

dikembangankan berdasarkan fungsinya. Teori ini dikembangkan oleh Richard Lazarus dan koleganya (1984), ia mengatakan bahwa coping menyajikan dua fungsi utama, yaitu untuk bertindak secara langsung terhadap penyebab stres atau untuk mengontrol respon emosi yang ditimbulkan dari penyebab stres tersebut. fungsi coping ini dikenal dengan Problem-focused coping dan Emotion-focused coping.

Berdasarkan kategori fungsi coping tersebut, Moos (1995) mengemukakan konsep coping yang multidimensional yang didasarkan pada dua sistem klasifikasi yakni orientasi coping dan metode coping. Orientasi coping terdiri dari dua tipe yaitu Problem-focused yang ia namakan dengan Approach coping dan Emotion-focused yang ia namakan dengan Avoidance coping. Metode coping juga terdiri dari dua kategori, yaitu kognitif yang merupakan proses mental di dalam diri untuk menangani stres dan perilaku yang merupakan respon eksternal. Lebih lanjut konsep Approach-oriented dan Avoidance-oriented coping ini yang akan dibahas dalam penelitian ini.

2. Strategi Coping Stress

Moos (1993) mengklasifikasikan strategi coping ke dalam dua kategori yaitu Approach-oriented dan Avoidance-oriented. Approach-oriented mengacu pada strategi-strategi baik kognitif dan perilaku yang dilakukan untuk memahami penyebab stres dan berusaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapinya secara langsung. Sedangkan Avoidance-oriented mengacu pada strategi kognitif untuk menyangkal atau meminimalisir penyebab stres dan stretegi perilaku untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres tersebut.


(32)

Pada dasarnya, tidak ada coping tertentu yang dikatakan paling efektif untuk menangani stres. Setiap coping tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Approach Coping sangat baik digunakan apabila seseorang memfokuskan diri pada informasi yang hadir di situasinya dan mengambil tindakan untuk mengurangi dan mengatasi sumber stres. Orang-orang yang menghadapi situasi yang menekan dan mengancam dirinya dengan menggunakan Approach Coping akan melibatkan usaha-usaha kognitif dan perilaku yang dibutuhkan untuk menghadapi ancaman jangka panjang.

Akan tetapi, apapun itu baik Approach maupun Avoidance, kesuksesan penggunaannya juga bergantung pada seberapa lama (durasi) stressor yang hadir (Taylor, 2009). Bagi orang-orang yang menggunakan Avoidance coping mungkin akan lebih baik dalam menghadapi ancaman jangka pendek (Taylor, 2009). Akan tetapi, jika ancaman terus terulang kembali, penggunaan Avoidance coping ini tidak lagi berhasil. Hal ini dikarenakan orang-orang yang menangani stres dengan Avoidance Coping mungkin tidak melakukan usaha kognitif dan perilaku untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah jangka panjang (Taylor & Stanton, 2007). Penelitian membuktikan bahwa, pada umumnya ApproachCoping diasosiasikan dengan hasil yang baik, seperti menurunnya tingkat stres. Sedangkan AvoidanceCoping diasosiasikan dengan dampak psikologis dan kesehatan yang buruk (Zeidner & Endler, 1996).

Penelitian mengenai coping pun terus dilakukan. Beberapa peneliti menjelaskan penggunaan coping dengan lebih spesifik dan mendalam. Stone dan Neale (dalam Taylor, 2009) mengembangkan alat ukur mengenai penggunaan


(33)

18

coping sehari-hari. Studi ini dilakukan untuk melihat perubahan penggunaan coping seseorang dari hari-hari dan pengaruhnya terhadap kesehatan dan psikologis. Kesimpulan dari penelitian ini menyebutkan bahwa orang-orang yang bisa mengganti (shift) strategi coping mereka untuk menghadapi tuntutan-tuntutan situasinya lebih baik dalam menghadapi stres dari pada mereka yang tidak. Artinya adalah, orientasi coping baik Approach maupun Avoidance barangkali berguna lebih baik untuk jenis stressor yang berbeda. Secara keseluruhan, penelitian-penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang fleksibel menggunakan orientasi coping, akan menangani stres dengan lebih baik (Cheng, dalam Taylor, 2009).

Berikut akan dijelaskan mengenai Approach Coping dan Avoidance Coping beserta strategi-strategi yang mengacu pada kedua orientasi tersebut.

a. Approach-Oriented Coping

Approach-Oriented Copingmerujuk pada strategi kognitif dan perilaku yang digunakan secara langsung terhadap suatu stressor. Strategi ini meliputi usaha untuk memahami dan merubah cara berpikir tentang permasalahan, penyebab permasalahan dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut beserta konsekuensinya secara langsung (Moos, 1993). Menurut Moos, terdapat empat strategi yang merupakan Approach-oriented coping yaitu :

1) Logical Analysis

Logical analysis adalah usaha kognitif yang dirancang untuk memahami dan mempersiapkan seseorang secara mental untuk menangani suatu stressor dan konsekuensi dari stressor tersebut.


(34)

Mereka yang menggunakan logical analysis akan memikirkan cara-cara tertentu dan cara-cara yang berbeda untuk menerima suatu permasalahan.

2) Positive Reappraisal

Positive reappraisal adalah usaha kognitif yang bertujuan untuk menyusun kembali permasalahan dalam bentuk yang positif ketika sedang menerima keyataan suatu situasi. Salah satu usaha tersebut seperti berpikir bahwa diri kita lebih baik dari pada oranglain yang mengalami permasalahan yang sama.

3) Seeking Guidance and Support

Seeking guidance and support merupakan usaha perilaku untuk mencari informasi, panduan atau dukungan untuk menerima stressor. Hal ini bisa dilakukan adalah dengan berbicara kepada teman tentang permasalahan yang dihadapi, meminta saran, atau meminta pertolongan mereka.

4) Problem Solving

Problem solving merupakan usaha perilaku untuk menerima secara langsung permasalahan dan memecahkan masalah tersebut. individu yang melakukan pemecahan masalah akan membuat suatu perencanaan-perencanaan tentang perilaku apa yang sebaiknya ia ambil, lalu kemudian menjalankan perencanaan tersebut.


(35)

20

b. Avoidance-Oriented Coping

Avoidance-Oriented Coping merujuk pada strategi yang digunakan untuk pergi menjauh dari sumber tekanan (stressor) untuk melegakan stres dengan mengekspresikan emosi dan mencari sumber kesenangan lain. Strategi ini meliputi usaha kognitif untuk menolak stressor dan usaha perilaku untuk menarik diri dan menghindari stressor tersebut (Moos, 1993). Menurut Moos, terdapat empat strategi yang merupakan Avoidance-oriented coping yaitu

1) Cognitive Avoidance

Cognitive avoidance merupakan suatu usaha kognitif untuk menghindari berpikir tentang permasalahan dan stressor. Individu yang melakukan Cognitive Avoidance, cenderung berusaha untuk menolak permasalahan secara keseluruhan, tidak mau memikirkan tentang masalah padahal ia ada di situasi tersebut, dan berusaha menolak sumber penyebab permasalahan yang terjadi.

2) Acceptance or Resignation

Acceptance or resignation merupakan suatu usaha kognitif untuk merespon masalah dengan menerima dan memasrahkannya, karena berpikir bahwa tidak ada yang bisa dilakukan pada permasalahan tersebut. Mereka berpikir bahwa sudah tidak ada lagi harapan pada situasi yang mereka hadapi.


(36)

3) Seeking Alternative Reward

Seeking alternative reward merupakan usaha perilaku untuk mengurangi dampak stres yang disebabkan oleh permasalahan dengan mencari kepuasan dalam bentuk lain.

4) Emotional Discharge

Emotional discharge merupakan usaha perilaku untuk menangani tegangan dengan mengekspresikan perasaan yang negatif. Mereka yang melakukan ini akan berteriak dan meluapkan emosi yang ada dalam diri mereka.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress

Menurut Taylor (2009), coping stress dipengaruhi oleh sumber daya (resources) yang dimiliki oleh individu. Sumber daya ini berasal dari dalam diri (internal) dan luar diri (eksternal).

a. Sumber daya internal

1) Karakteristik Kepribadian

Peneliti telah menunjukkan bahwa karakteristik yang ada dalam masing-masing individu akan memperngaruhi bagaimana cara mereka mengelola peristiwa-peristiwa yang menekan yang dikaitkan dengan penurunan distres dan kesehatan yang lebih baik (Taylor & Stanton, 2007). Karakteristik kepribadian ini bisa berupa keterampilan mengatur diri (self regulation skilss), self esteem, self efficacy, optimism, dan personal control


(37)

22

2) Usia

Para ilmuan psikologi mengganggap bahwa proses coping akan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya usia, tetapi pendapat ini masih belum terlalu jelas karena minimnya penelitian khususnya dalam studi longitudinal (Aldwin & Brustrom, dalam Sarafindo & Smith, 2011). Sejauh ini, beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa seiring dengan bertambahnya usia, individu akan cenderung mengembangkan dan menggunakan strategi coping yang lebih beragam. Dengan berkembangnya kemampuan kognitif dan kemampuan untuk beradaptasi, individu akan semakin memperhatikan tuntutan hidup yang semakin bertambah sesuai dengan tingkatan usianya (Sarafindo & Smith, 2011).

3) Jenis Kelamin

Pada dasarnya laki-laki dan perempuan cenderung menggunakan strategi yang berbeda ketika menghadapi suatu permasalahan. Menurut Pilar (2003) dalam penelitiannya yang berjudul gender differencess in stress and coping styles, ia menyatakanbahwa pada umumnya perempuan secara signifikan lebih tinggi dari pada laki-laki dalam menggunakan strategi avoidancecoping dan berorientasi pada emosi. b. Sumber daya eksternal

1) Materi

Materi yang dimiliki oleh individu bisa berupa uang, pekerjaan, rumah, makanan, pakaian, transportasi, dan asuransi kesehatan. Lebih


(38)

spesifik, Gibbs & Montagnino (2002) dalam penelitiannnya pada 30 dari 40 sampel yang diteliti bagaimana status sosial ekonominya, menemukan bahwa rendahnya status sosial ekonomi seseorang diasosiasikan dengan peningkatan distress. Dinyatakan juga bahwa individu yang hidup dalam kemiskinan cenderung memiliki lebih sedikit sumber daya yang tersedia untuk mengurangsi dampak negatif bencana.

2) Lingkungan Sosial dan Budaya

Lingkungan sosial dan tradisi, ritual, kepercayaan, dan cerita rakyat yang ada dalam suatu budaya akan mempengaruhi individu dalam menilai situasi yang mereka hadapi, bahkan juga mempengaruhi mereka dalam pemilihan coping (Dalton dkk., 2007).

3) Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan berbagai dukungan materi dan sosial yang diterima oleh seseorang dari oranglain (Brannon & Feist, 2007). Dukungan sosial ini bisa diberikan oleh orangtua, pasangan, kerabat, teman, dan komunitas sosial.

4) Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi perkembangan kognitif seseorang, yang mana jika semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin berkembang pulalah kognitifnya, dan ini akan mempengaruhi bagaimana penilaian individu terhadap lingkungannya. (Sarafindo dan Smith, 2011)


(39)

24

Individu yang memiliki sumber daya yang lebih besar akan memiliki penanganan terhadap stres lebih baik, hal ini dikarenakan sumber daya seperti uang, dukungan dari teman, budaya, dan sumber daya lain akan menyediakan lebih banyak cara untuk menerima situasi tersebut Taylor (2009). Akan tetapi, jika individu dihadapkan dalam situasi menekan dalam waktu yang cukup lama, sumber daya yang ia miliki bisa berkurang, bahkan tidak memadai lagi untuk menghadapi situasi tersebut (DiMatteo, 1990).

C. PENYINTAS

Bencana alam datang tanpa peringatan, meskipun kebanyakan orang memiliki kesempatan untuk mempersiapkan bencana yang datang, tetapi tetap saja, datangnya bencana dapat membawa perubahan yang dramatis dan traumatis. Pada korban bencana alam yang selamat atau yang disebut sebagai penyinyas (survivors) tentunya merasa bersyukur. Akan tetapi, bagi mereka pribadi bencana tentunya menyisakan kepedihan dan cidera bahkan bisa mengalami depresi dan gangguan emosional. Peristiwa bencana alam ini pun bisa berdampak pada kondisi emosi, psikologis, spiritual, finansial, dan sosial para penyintas (Carmen, 2011).

Segera setelah bencana alam, penyintas mungkin mengalami perasaan yang campur aduk. Tentu saja akan ada sukacita dan lega karena selamat dari bencana. Tetapi begitu adrenalin mereda, penyintas mungkin mengalami gejala negatif, seperti kecemasan, kesulitan tidur, sensitif, depresi, masalah konsentrasi, dan mudah tersinggung. Hal tersebut merupakan reaksi yang umum yang dirasakan penyintas bencana. Selain gejala psikologis tersebut, para penyintas


(40)

juga dapat mengalami gejala fisik seperti kram, pusing, reaksi alergi serta adanya keluhan-keluhan yang berhubungan dengan syaraf dan sakit kepala (Carmen, 2011). Dampak sosial yang dialami penyintas antara lain membatasi dan menarik diri dari pergaulan, menghindari relasi-relasi sosial, meningkatnya konflik dalam berhubungan dengan orang lain (Agustin, Kartini, & Pratiwi, 2010).

Dari berbagai dampak yang timbul tersebut, satu hal penting yang perlu disadari ialah bahwasannya reaksi-reaksi yang muncul adalah suatu yang normal ketika seseorang menghadapi peristiwa bencana alam. Hanya saja, bisa gejala tersebut tetap berlangsung selama berbulan-bulan ini bisa mengindikasikan adanya masalah serius yang mungkin perlu ditangani (Miller, 2013).

D. BENCANA ALAM ERUPSI GUNUNG SINABUNG

Bencana alam merupakan sesuatu yang tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikontrol, merupakan peristiwa yang sering terjadi dan tidak diragukan lagi akan terjadi (Nickerson 2008), dan hal ini dapat mengancam kelangsungan hidup individu melalui kehancuran lingkungan fisik dan psikologis (Rice, 1992). Selanjutnya,Brannon dan Feist (2007) menjelaskan bahwa, datangnya bencana alam dapat menyebabkan kematian orang-orang dalam jumlah besar, menciptakan stres, duka cita, dan ketakutan pada orang-orang yang selamat dari bencana.

Bencana alam merupakan salah satu bentuk peristiwa negatif yang terjadi dalam kehidupan, yang dapat menyebabkan perubahan besar bagi suatu komunitas, daerah, dan negara (Dalton dkk., 2007), dan ini bisa menjadi salah satu peristiwa hidup yang begitu menekan (Lahey, 2010). Hadirnya bencana alam akan mengancam keamanan individu, mengganggu komunitas dan struktur


(41)

26

keluarga. Bencana alam mungkin juga akan menyebabkan korban massa, kehancuran dan kehilangan harta benda, serta akan mengganggu jaringan sosial dan aktivitas sehari-hari (Ursano & Norwood, 2003).

Selanjutnya, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bencana alam erupsi Gunung Sinabung. Gunung Sinabung adalah gunung yang terletak di dataran tinggi Tanah Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Gunung dengan ketinggian 2.460 meter diatas permukaan laut ini tergolong kedalam gunung berapi dan merupakan gunung tertinggi di Sumatera Utara. Gunung yang dikelilingi dengan hutan ini merupakan salah satu gunung penghasil air yang banyak dan sangat subur. Karena kesuburan tanah dan banyaknya air yang dihasilkan dari gunung Sinabung membuat masyarakat sekitar memanfaatkan kaki gunung ini untuk ditanami sayur-sayuran atau buah-buahan.

Namun, pada bulan september 2013, gunung Sinabung ini meletus. Menurut (Ursano & Norwood, 2003), letusan gunung berapi dapat menimbulkan beberapa dampak negatif bagi lingkungan, seperti banyaknya ternak yang mati, dan rusaknya ribuan kebun, ladang, atau sawah. Bencana dan bahaya letusan gunung api juga akan berpengaruh bagi kehidupan. Bahaya yang muncul diakibatkan oleh material yang dikeluarkan secara langsung saat terjadi letusan. Daerah-daerah yang terkena bahaya ini meliputi daerah sekitar puncak gunung, daerah sekitar puncak, dan bisa mencapai jarak sepuluh kilometer dari gunung.

Ginting (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa letusan gunung Sinabung pada tahun 2010, menimbulkan kabut asap yang disertai hujan pasir dan debu vulkanik yang menutupi ribuan hektar tanaman para petani yang berjarak


(42)

dibawah radius enam kilometer. Karena debu ini sangat panas, tanaman tersebut terancam gagal panen dan diperkirakan mengalami kerugian hingga dua puluh sembilan milyar. Selama masa bencana di tahun 2010 ini, diperkirakan sekitar 21.141 jiwa masyarakat yang mengungsi di pos-pos pengungsian.

Gunung Sinabung kembali meletus pada bulan September 2013, gunung ini dinaikkan statusnya dari Waspada (level 2) ke Siaga (level 3), sempat diturunkan kembali menjadi Waspada tanggal 29 September 2014, kemudian langsung dinaikkan menjadi Awas (level 4) setelah terjadi letusan dahsyat pada 25 November 2013. Status Awas pada Gunung Sinabung, mengindikasikan semakin meningkatnya aktivitas gunung dan adanya peningkatan intensitas letusan, serta semakin meluasnya lontaran batu material berukuran tiga sampai empat sentimeter, hingga mencapai jarak empat kilometer (Arfa, 2013).

Pada bulan Desember 2013 lalu, aktivitas Gunung Sinabung terus mengalami peningkatan, salah satunya ditandai dengan terbentuknya kubah lava. Kubah lava yang terus tumbuh dan membesar inilah yang menjadi sumber bagi awan-awan panas yang keluar sejak awal tahun 2014. Tentunya, jika volume kubah bertambah besar maka semakin rentanlah terjadi longsor dan jika terjadi longsor maka semakin jauh pulalah jarak hempasannya dari kaki gunung (Sudibyo, 2014). Dalam rangka menghindari hempasan tersebut, masyarakat yang beda di sekitar kaki Gunung Sinabung harus diungsikan ke pos-pos pengungsian yang telah disediakan. Tercatat hingga 20 Januari 2014, sebanyak 28.536 jiwa yang tinggal di radius tiga sampai tujuh kilometer dari kaki Gunung Sinabung


(43)

28

harus diungsikan (Situs Resmi Pemerintah Kota Kabupaten Karo, diakses pada 24 Juni 2014).

Sampai bulan Maret 2015, Gunung Sinabung masih dinyatakan darurat bencana. Gunung ini masih terus menunjukkan aktivitasnya, bahkan kembali meletus pada akhir maret 2015 lalu. Jika kita tarik mundur, maka terhitung sudah satu tahun lima bulan lamanya masyarakat mengalami bencana, ini merupakan waktu yang tergolong lama dibandingan dengan bencana alam lain yang pernah terjadi.


(44)

E. PARADIGMA BERPIKIR

Tuntutan (Demand) 1. Pindah Lokasi

2. Melanjutkan kehidupan 3. Memenuhi kebutuhan

sehari-hari

4. Rusaknya tempat tinggal 5. Kondisi lingkungan yang

unpredictable dan uncontrollable

Hadirnya berbagai tuntutan lingkungan

Sumber Daya (Resource) 1. Hilangnya harta benda 2. Hilangnya mata

pencaharian

3. Perubahan jaringan sosial 4. Kehilangan anggota

keluarga

5. Masalah Kesehatan

Stress

Coping with Stress

Bencana Alam Erupsi Gunung Sinabung

Sumber daya eksternal Sumber daya internal

Berkurangnya sumber daya yang dimiliki

Approach-oriented Logical Analysis Positive Reappraisal Seeking Guidance and Support Problem Solving Avoidance-oriented Cognitive Avoidance Acceptance/Resignation Seeking Alternative Reward Emotional Discharge


(45)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran Coping Stresspenyintas dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo. Untuk mendapatkan gambaran tersebut, peneliti akan menggunakan metode penelitian kuantitatif-deskriptif. Metode ini adalah metode yang dirasa paling tepat, karena meyediakan analisis statistik untuk mengolah data-data yang diperoleh ke dalam gambaran numerik. Lebih spesifik, teknik yang akan digunakan adalah survey sampel karena merupakan teknik yang paling sesuai dipakai pada sampel yang besar dan paling sesuai untuk menggambarkan karakteristik sampel.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Coping Stress.

B. DEFINISI OPERASIONAL

Coping stress adalah strategi-strategi kognitif dan perilaku yang digunakan individu dalam menghadapi situasi yang menekan. Coping stress dibedakan kedalam dua orientasiyaitu approach-oriented dan avoidance-oriented.Approach-orientedmerujuk pada strategi kognitif dan perilaku yang digunakanuntuk memahami, memikirkan perencanaan dan melakukan tindakan pemecahan masalah untuk menghadapi stressor. Orientasi ini mengacu pada empat strategi coping yaitu Logical Analysis, Positive Reappraisal, Seeking Guidance and


(46)

Support, dan Problem Solving. Sedangkan Avoidance-orientedmerujuk pada strategi kognitif dan perilaku untuk menolak, menarik diri dan menghindari stressor. Orientasi ini mengacu pada empat strategi coping yaituCognitive Avoidance, Acceptance/Resignation, Seeking Alternative Reward, dan Emotional Discharge.

Coping stress diukur dengan menggunakan alat ukur Coping Response Inventory (CRI), yang dikembangkan oleh Moos (1993). Alat ukur ini terdiri dari aitem-aitem yang dapat mengukur keempat strategi Approachcoping dan keempat strategi Avoidancecoping. Respon yang diberikan yaitu tidak pernah, jarang, sering, dan selalu. Total skor pada masing-masing strategi menunjukkan frekuensi penggunaan strategi coping tersebut. Semakin tinggi nilai yang dihasilkan, menandakan bahwa semakin tinggi frekuensi subjek dalam menggunakan strategi coping tersebut. sebaliknya, semakin rendah nilai yang dihasilkan alat ukur, semakin rendah pula frekuensi subjek dalam menggunakan strategi coping tersebut.

C. POPULASI DAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah orang dewasa yang merupakan penyitas erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.

2. Sampel

Dalam penelitian ini, sampel akan diambil dengan menggunakan teknik non probability sampling,Pemilihan teknik ini didasarkan pada kondisi lapangan yang tidak memungkinkan semua orang di dalam populasi memiliki kesempatan


(47)

32

yang sama untuk menjadi subjek penelitian. Adapun metode pengambilan sampel yang akan digunakan adalah insidental yang dilakukan dengan tanpa memperhatikan siapapun yang diteliti asalkan subjek yang diteliti setuju dan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan (Hadi, 2000).

Selanjutnya, banyaknya jumlah sampel yang akan diambil juga harus dipertimbangkan. Menurut Azwar (2012), jumlah subjek yang dijadikan sampel penelitian dapat berjumlah seratus, dua ratus, empat ratus, bahkan ribuan orang. Prinsipnya, dalam keterbatasan sumber daya dan mengingat berbagai pertimbangan teknis pelaksanaannya, harus tetap diusahakan untuk mengambil subjek dalam jumlah sebesar mungkin. Dalam penelitian survey khususnya, diharapkan peneliti mampu memperoleh sampel sebanyak yang memungkinkan.Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sebanyak 141 orang sebagai sampel.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Laporan Diri (Self Report). Selain karena metode ini merupakan metode utama dalam penelitian survei (Kerlinger, 1995), metode ini memungkinkan subjek untuk melaporkan strategi coping yang ia gunakan karena subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri, metode ini juga terstandarisasi dan baik untuk memberikan gambaran diri. Tetapi karena memang dasarnya adalah laporan diri, maka besar kemungkinan jawaban subjek dipengaruhi oleh keinginan pribadi (Hadi, 2000). Self report yang digunakan berupa kuesioner strategi coping stress yang diadaptasi dari alat ukurCoping Response Inventory (CRI) (Moos, 1993).


(48)

(49)

34

1. Kuesioner Strategi Coping Stress

Penelitian ini menggunakan Kuesioner Strategi Coping Stress yang yang diadaptasi dari Coping Response Inventory (CRI) (Moos, 1993). Kuesioner ini terdiri delapan subskala yang masing-masingnya berisi strategi coping stress yaitu Logical Analysis (LA), Positive Reappraisal (PR), Seeking Guidance And Support (SG), Problem Solving (PS), Cognitive Avoidance (CA), Aceeptance/Resignation (AR), Seeking Reward (SG), Dan Emotional Discharge (ED).

Kategori ini masing-masingnya tersusun atas dua kategori spesifik, yaitu usaha kognitif dan perilaku, dan masing-masingnya terdiri atas konsep-konsep Approach dan Avoidance Oriented. Seperti dalam tabel 1di bawah ini.

Tabel 1. Delapan Subskala Strategi Coping Stress

Orientasi

Metode Approach Avoidance

Kognitif Logical Analysis Cognitive Avoidance Positive Reappraisal Acceptance / Resignation Perilaku Seeking Guidance and Support Seeking Alternative Reward

Problem Solving Emotional Discharge Alat ukur ini akan menggunakan skala Likert, yang menyajikan stimulus berupa kalimat atau pernyataan yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku, keyakinan, sikap atau opini. Keuntungan dari skala ini adalah kemudahan dalam pembuatan dan penerapan, skala ini juga lebih akurat dibandingkan skala lainnya, dan memberikan keterangan yang lebih jelas dan nyata tentang pendapat atau sikap responseden (Coaley, 2010). Alat ukur penelitian ini disusun dengan variasi jawaban sebanyak empat pilihan, yaitu Tidak Pernah (TP), Kadang-Kadang (KD), Sering (SR), dan Selalu (SL), dengan bobot penilaian bergerak dari satu sampai


(50)

empat.Berikut merupakan rancangan alat ukur strategi coping stress yang akan digunakan pada penelitian ini.

Tabel 2. Blue Print Alat Ukur Coping Responses Inventory (CRI)

No Orientasi Strategi Nomor aitem Jumlah

Aitem

1 Approach

Logical Analysis 1, 9, 17, 25, 33, 41 6 Positive Reappraisal 2, 10, 18, 26, 34, 42 6 Seeking Guidance and Support 3, 11,19, 27, 35, 43 6 Problem Solving 4, 12, 20, 28, 36, 44 6

2 Avoidance

Cognitive Avoidance 5, 13, 21, 29, 37, 45 6 Acceptance/Resignation 6, 14, 22, 30, 38, 46 6 Seeking Alternative Reward 7, 15, 23, 31, 39, 47 6 Emotional Discharge 8, 16, 24, 32, 40, 48 6

Total 48

E. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR

1. Validitas

Tipe validitas dapat digolongkan kedalam tiga kategori besar, yaitu validitas isi, validitas konstruk, dan validitas kriteria. Validitas yang akan diestimasi dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan suatu estimasi yang melihat sejauh mana aitem-aitem test mewakili komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur dan sejauh mana aitem-aitem test mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur. Validitas ini dapat diestimasi melalui pengujian aitem dengan analisis rasional atau melalui professional judgement (Azwar, 2012).

2. Reliabilitas

Pengujian reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 16.00 for windows dengan teknik koefisien


(51)

36

Alpha Cronbach, yaitu dengan membelah aitem sebanyak jumlah aitemnya. Semakin besar koefisien reliabilitas maka semakin reliabel alat ukur tersebut. Sebaliknya, semakin kecil koefisien reliabilitas maka semakin tidak reliabel alat ukur tersebut (Azwar, 2012).

Dalam Alat ukur coping response inventory, Moos (1993) mengungkapkan bahwa delapan buah subskala memiliki koefisien alpha yang bergerak dari 0,58 sampai 0,74. Moderatnya reliabilitas alat ukur tersebut dilaporkan sebagai hasil refleksi pengukuran yang aktual bukan karena pengkonstruksian alat ukur yang buruk (Aldwin, dalam Sakraida, 2001)

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba alat ukur coping response inventory dilakukan kepada 60 orang penyitas erupsi Gunung Sinabungmenunjukkan bahwa alat ukur reliabel, yang mana koefisien alpha untuk delapan strategi coping stress bisa dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3. Koefisien Cronbach’s Alpha pada Delapan Strategi Coping Stress

StrategiCoping Stress Koefisien alpha

Logical Analysis 0,641

Positive Reappraisal 0,610

Seeking Guidance 0,676

Problem Solving 0,606

Cognitive Avoidance 0,656

Acceptance/Resignation 0,488

Seeking Alternative Reward 0,562

Emotional Discharge 0,554

Setelah dilakukan analisa daya beda aitem pada setiap strategi coping stress, sebanyak 14 aitem gugur dan 34 aitem lainnya tetap digunakan dalam


(52)

penelitian ini. Distribusi aitem yang dipakai pada alat ukurCoping Response Inventory (CRI) dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4. Distribusi Aitem-Aitem Alat Ukur Coping Responses Inventory (CRI) Setelah Uji Coba

No Orientasi Strategi Nomor aitem Jumlah

Aitem

1 Approach

Logical Analysis 1, 9, 17, 25, 33, 41 5 Positive Reappraisal 2, 10, 18, 26, 34, 42 4 Seeking Guidance and Support 3, 11,19, 27, 35, 43 6 Problem Solving 4, 12, 20, 28, 36, 44 5

2 Avoidance

Cognitive Avoidance 5, 13, 21, 29, 37, 45 4 Acceptance/Resignation 6, 14, 22, 30, 38, 46 4 Seeking Alternative Reward 7, 15, 23, 31, 39, 47 3 Emotional Discharge 8, 16, 24, 32, 40, 48 3

Total 48

Ket: nomor aitem yang dicoret adalah aitem yang gugur

Selanjutnya, peneliti melakukan penomoran aitem yang baru untuk skala penelitian seperti yang tertera pada tabel berikut ini :

Tabel 5. Distribusi Aitem-Aitem Alat Ukur Coping Responses Inventory (CRI) Untuk Penelitian

No Orientasi Strategi Nomor aitem Jumlah

Aitem

1 Approach

Logical Analysis 6, 10, 17, 25, 31 5

Positive Reappraisal 2, 9, 18, 26 4

Seeking Guidance and Support 3, 11,19, 27, 32, 34 6

Problem Solving 4, 12, 20, 28, 33 5

2 Avoidance

Cognitive Avoidance 5, 13, 21, 29 4

Acceptance/Resignation 1, 14, 22, 30 4 Seeking Alternative Reward 7, 15, 23 3

Emotional Discharge 8, 16, 24 3


(53)

38

F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu :

1. Tahap Persiapan Penelitian

Tahap persiapan yang dilakukan adalah mempersiapkan alat ukur penelitian dan surat izin pengambilan data. Persiapan alat ukur penelitian dilakukan dengan :

a. Mengadaptasi alat ukur Coping Response Inventory (CRI), dengan prosedur back translation, yaitu dengan menterjemahkan bahasa alat ukur ke dalam bahasa indonesia, kemudian menterjemahkan kembali ke dalam bahasa asli alat ukur dan dilakukan oleh orang yang berbeda. Prosedur ini dilakukan untuk memastikan kesamaan makna pada aitem-aitem alat ukur (Matsumoto & Juang, 2004).

b. Melakukan uji coba alat ukur penelitiankepada para penyintas erupsi Gunung Sinabung.

c. Menganalisa daya beda aitem dan reliabilitas aitem yang telah diuji coba. d. Menyusun kembali alat ukur yang telah diuji coba untuk kemudian

disebarkan kepada subjek penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap ini, peneliti mengambil data penelitian yang sebenarnya. Alat ukur diberikan kepada subjek penelitian di posko-posko pengungsian erupsi Gunung Sinabung. Setelah memberikan alat ukur (kuesioner), peneliti memberikan penjelasan singkat mengenai cara mengisi kuesioner dan memberikan kesempatan kepada subjek untuk bertanya. Setelah itu, memberikan


(54)

waktu kepada subjek untuk mengisi kuesioner. Setelah selesai, peneliti memeriksa kembali kuesioner yang telah diisi untuk menghindari kesalahan atau ketidaklengkapan dalam pengisian.

3. Tahap Pengolahan Data

Setelah memperoleh data dari subjek, selanjutnya peneliti melakukan pengolahan data.

G. METODE ANALISA DATA

Dalam penelitian ini,data akan diolah secara kuantitatif dengan pengolahan menggunakan rumus statistik. Analisa data yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Gambaran Sebaran Data

Penghitungan frekuensi dan persentase

Keterangan:

% = persentasi f = frekuensi

n = jumlah subjek penelitian

2. Perbandingan Mean

Analisa data dilakukan dengan membandingkan mean teoritik (µ) dengan mean empirik (M). Tujuannya adalah melihat apakah mean empirik subjek memiliki nilai yang lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan mean


(55)

40

yang diperkirakan alat ukur. Berikut merupakan rumus mean teoritik (µ) dan mean empirik (M).

Rumus Mean Teoritik :

µ=1/2(i_max+i_min)∑k

Keterangan :

µ : Mean (rata-rata) hipotetik

∑k : jumlah item

i_max : Skor maksimal item i_min : Skor minimal item

Rumus Mean Empirik (M)

Mx = / N

Keterangan :

Mx : Mean (rata-rata) empirik

∑xi : Jumlah skor keseluruhan subjek

N : Jumlah subjek

3. Kategorisasi

Kategorisasi bertujuan untuk menempatkan skor individu (sampel) ke dalam beberapa kelompok (kategori) diagnosis yang berbeda dalam kontinum jenjang rendah, sedang, dan tinggi. Pengkategorisasian ini melibatkan mean teoritik (µ) dan standar deviasi teoritik (σ).


(56)

Rumus Mean Teoritik :

µ=1/2(i_max+i_min)∑k

Keterangan :

µ : Mean (rata-rata) hipotetik

∑k : jumlah item

i_max : Skor maksimal item i_min : Skor minimal item

Rumus Standar Deviasi Teoritik :

σ=1/6(X_max-X_min)

Keterangan :

σ : Standar deviasi hipotetik

X_max : Skor maksimal Subjek X_min : Skor minimal Subjek

Kategorisasi :

X < (µ - 1,0σ) : Rendah (µ - 1,0σ) ≤ X < (µ + 1,0σ) : Sedang (µ - 1,0σ) ≤ X : Tinggi


(57)

41

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, peneliti akan menguraikan keseluruhan hasil analisa data penelitian, diawali dengan gambaran umum subjek penelitian, gambaran penggunaan coping stress kemudian pembahasan mengenai hasil penelitian berdasarkan teori.

A. ANALISA DATA

1. Gambaran Umum Subjek

Subjek penelitian dalam penelitian ini berjumlah 141 orang yang merupakan penyintas erupsi Gunung Sinabung. Gambaran subjek penelitian diperoleh dari data kontrol yang terletak di bagian akhir kuensioner penelitian, yang memuat data usia, jenis kelamin, suku, agama, status, pendidikan terakhir, asal desa, pekerjaan sebelum bencana, pekerjaan setelah bencana dan lokasi posko pengungsian. Berikut merupakan hasil data subjek :

Tabel 6. Gambaran Data Demografis Subjek

Gambaran Data Subjek Frekuensi (N) Persentase (%)

Usia 21 – 40 76 53,9

41 – 60 65 46,1

Jenis Kelamin Laki-laki 67 47,5

Perempuan 74 52,5

Suku Batak Karo 141 100

Agama

Islam 62 44

Kristen Katolik 42 29,8

Kristen Protestan 37 26,2

Status Pernikahan

Belum Menikah 25 17,7

Menikah 111 78,7


(58)

Gambaran Data Subjek Frekuensi (N) Persentase Pendidikan

Terakhir

SD 16 11,3

SMP 36 25,5

SMA 80 56,8

S1 9 6,4

Asal Desa Sigarang-garang 91 64,5

Sukanalu 50 35,5

Pekerjaan Sebelum Bencana

Petani 120 85,2

Pedagang 2 1,4

Guru 4 2,8

Wiraswasta 7 5

Buruh 4 2,8

Supir 1 0,7

Tidak Bekerja 3 2,1

Pekerjaan Setelah Bencana

Petani 92 65.3

Peternak 1 0,7

Guru 4 2,8

Wiraswasta 4 2,8

Buruh 12 8,5

Supir 1 0,7

Penjahit 1 0,7

Tidak Bekerja 26 18,5

Lokasi Posko Pengungsian

Gedung Serba

Guna KNPI 64 45,4

GBKP Jl.

Kotacane 50 35,5

Klasis GBKP 27 19,1

Dari tabel 6diatas, diketahui bahwa gambaran umum data subjek berdasarkan usia terlihat bahwa subjek berusia 21 – 40 tahun lebih banyak dari pada subjek berusia 41 – 60 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, subjek Perempuan lebih banyak dari pada Laki-laki. Seluruh subjek dalam penelitian ini bersuku Karo dan sebagian besar beragama Islam sedangkan yang lainnya beragama Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Mayoritas subjek sudah Menikah dan hanya sebagian kecil yang berstatus Janda/Duda. Jika ditinjau dari pendidikan


(59)

43

terakhir, sebagian besar subjek berpendidikan terakhir SMA, dan sebagian kecil dengan pendidikan terakhir SD dan S1.

Pekerjaan subjek sebelum dan sesudah bencana mayoritas adalah Petani, namun setelah bencana ada yang mengalami perubahan, beberapa Petani beralih dan mencari pekerjaan lain seperti menjadi Peternak, Penjahit, dan Buruh. Selain itu juga dapat dilihat bahwa setelah bencana, jumlah subjek yang tidak bekerja mengalami peningkatan. Sampai pada pengambilan data penelitian, para penyintas yang mengungsi berasal dari dua desa yaitu Sigarang-garang dan Sukanalu. Pada penelitian ini, peneliti mengambil subjek di tiga posko pengungsian yang berada di Berastagi dan Kabanjahe.

2. Gambaran Coping Stress

Gambaran coping stress pada penyintas erupsi Gunung Sinabung dilihat dari analisa perbandingan mean teoritik dan mean empirik skor subjek, perbandingan mean teoritik dan mean empirik skor subjek yang ditinjau dari data demografis, dan pengkategorisasian skor subjek.

Coping stress subjek terbagi kedalam dua orientasi, yaitu Approach Oriented dan Avoidance Oriented. Approach oriented berisikan empat strategi coping yaitu Logical Analysis (LA), Positive Reappraisal (PR), Seeking Guidance and Support (SG), Problem Solving (PS). Sedangkan, Avoidance Oriented berisikan empat strategi coping, yaitu Cognitive Avoidance (CA), Aceeptance/Resignation (AR), Seeking Alternative Reward (SG), dan Emotional Discharge (ED).


(60)

a. Perbandingan Mean Teoritik dan Mean Empirik Subjek

Tabel 7. Perbandingan Mean Teoritik dan Mean Empirik Subjek

Orientasi Mean Teoritik (µ) Mean Empirik (M) Perbandingan Approach oriented 50 58,75 µ < M

S

tra

te

gi LA 12,5 14,76 µ < M

PR 10 12,96 µ < M

SG 15 16,14 µ < M

PS 12,5 14,88 µ < M Avoidance Oriented 35 40,66 µ < M

S

tra

te

gi CA 10 12,68 µ < M

AR 10 12,87 µ < M

SR 7,5 9,36 µ < M

ED 7,5 5,74 µ > M

Dari hasil analisa perbandingan mean teoritik dengan mean empirik pada tabel 6, diketahui bahwa mean empirik lebih besar dari pada mean teoritik pada coping Approach Oriented serta keempat strateginya, yaitu strategiLogical Analysis (LA), Positive Reappraisal (PR), Seeking Guidance And Support And Support (SG), Problem Solving (PS). Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum subjek lebih sering menggunakan coping tersebut dibandingkan dengan yang diperkirakan alat ukur.

Selanjutnya, dari analisa pada coping Avoidance Oriented serta keempat strateginya, menunjukkan bahwa mean empirik lebih besar dari pada mean teoritik pada Avoidance Oriented, strategi Cognitive Avoidance (CA), Aceeptance/Resignation (AR), dan Seeking Alternative Reward (SG). Tetapi, pada strategi strategi Emotional Discharge (ED) yang terjadi sebaliknya, yaitu mean teoritik lebih kecil dibandingan mean empirik. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum subjek lebih sering menggunakan strategi Cognitive Avoidance


(61)

45

(CA), Aceeptance/Resignation (AR), dan Seeking Alternative Reward (SG) dibandingkan dengan yang diperkirakan alat ukur. Akan tetapi subjeklebih jarang dalam menggunakan strategi coping Emotional Discharge (ED) dibandingkan dengan yang diperkirakan alat ukur.

b. Perbandingan Mean Teoritik dan Mean Empirik Subjek Berdasarkan Data Demografis

1) Perbandingan Mean Teoritik dan Mean Empirik SubjekBerdasarkan Usia

Tabel 8. Perbandingan Mean Teoritik dan Mean Empirik SubjekBerdasarkan Usia

Orientasi

Mean Teoritik

(µ)

Usia 21-40

Usia

41-60 Perbandingan

(M) (M)

Approach

oriented 50 57,92 59,74 µ < M

S

tra

te

gi LA 12,5 14,78 14,72 µ < M

PR 10 12,51 13,49 µ < M SG 15 15,71 16,66 µ < M PS 12,5 14,90 14,86 µ < M Avoidance

Oriented 35 40,38 41 µ < M

S

tra

te

gi CA 10 12,61 12,76 µ < M

AR 10 12,60 13,18 µ < M SR 7,5 9,40 9,30 µ < M ED 7,5 5,75 5,73 µ > M


(62)

2) Perbandingan Mean Teoritik dan Mean Empirik SubjekBerdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 9. Perbandingan Mean Teoritik dan Mean Empirik SubjekBerdasarkan Jenis Kelamin

Orientasi

Mean Teoritik

(µ)

Laki-laki Perempuan

Perbandingan

(M) (M)

Approach

oriented 50 58,20 59,25 µ < M

S

tra

te

gi LA 12,5 14,85 14,67 µ < M

PR 10 12,37 13,50 µ < M SG 15 16,17 16,12 µ < M PS 12,5 14,80 14,95 µ < M Avoidance

Oriented 35 40,07 41,21 µ < M

S

tra

te

gi CA 10 12,55 12,81 µ < M

AR 10 12,77 12,95 µ < M SR 7,5 9,17 9,52 µ < M ED 7,5 5,55 5,91 µ > M

3) Perbandingan Mean Teoritik dan Mean Empirik SubjekBerdasarkan Agama

Tabel 10. Perbandingan Mean Teoritik dan Mean Empirik SubjekBerdasarkan Agama

Orientasi

Mean Teoritik

(µ)

Islam Katolik Protestan

Perbandingan

(M) (M) (M)

Approach

oriented 50 58 61 57 µ < M

S

tra

te

gi LA 12,5 14,62 15,64 13,97 µ < M

PR 10 13,09 13,11 12,59 µ < M SG 15 16,03 16,64 15,78 µ < M PS 12,5 14,67 15,52 14,51 µ < M Avoidance

Oriented 35 41 41 40 µ < M

S

tra

te

gi CA 10 12,72 12,88 12,40 µ < M

AR 10 12,93 13,11 12,48 µ < M SR 7,5 9,45 9,23 9,35 µ < M ED 7,5 5,74 5,64 5,86 µ > M


(1)

85

No Pernyataan pernah Tidak ang Jar Ser ing Sel alu

10 Saya berusaha mengambil hikmah dari

keadaan ini TP JR SR SL

11 Saya menceritakan masalah saya dalam

menghadapi bencana kepada teman saya TP JR SR SL

12

Saya berusaha agar hal-hal yang sudah saya rencanakan dapat berjalan dengan baik

TP JR SR SL

13

Saya berusaha untuk tidak memikirkan masalah-masalah yang saya alami selama bencana

TP JR SR SL

14

Saya sadar bahwa saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghadapi semua ini

TP JR SR SL

15 Saya melakukan kegiatan yang membuat

hati saya senang TP JR SR SL

16 Paling tidak saya melakukan sesuatu,

meskipun saya tahu itu sia-sia saja TP JR SR SL

17 Saya berusaha untuk melihat

permasalahan dari berbagai sisi TP JR SR SL

18 Saya berusaha melihat sisi baik dari situasi


(2)

86

No Pernyataan pernah Tidak ang Jar Ser ing Sel alu

19

Saya menceritakan masalah yang saya hadapi selama bencana kepada tokoh agama atau dokter

TP JR SR SL

20 Saya tahu apa yang akan saya lakukan

dalam menghadapi bencana ini TP JR SR SL

21

Saya menunda-nunda menyelesaikan masalah saya, meskipun saya tahu bahwa suatu saat saya harus menyelesaikannya

TP JR SR SL

22 Saya percaya bahwa yang terjadi pada

saya sudah menjadi nasib saya TP JR SR SL

23 Saya meluangkan waktu untuk melakukan

hal-hal yang menyenangkan TP JR SR SL

24 Saya mengasingkan diri dari orang-orang di

sekitar saya TP JR SR SL

25 Saya berusaha mengantisipasi

perubahan-perubahan yang mungkin terjadi TP JR SR SL

26

Saya percaya bahwa situasi bencana ini mengubah kehidupan saya menjadi lebih baik


(3)

87

No Pernyataan pernah Tidak ang Jar Ser ing Sel alu

27 Saya meminta bantuan dari orang-orang

yang juga menghadapi bencana ini TP JR SR SL

28 Saya mencoba setidaknya dua cara

berbeda dalam menghadapi bencana ini TP JR SR SL

29 Saya membayangkan suatu tempat yang

jauh lebih baik dari pada sekarang TP JR SR SL

30 Saya pasrah menerima ini TP JR SR SL

31

Saya berusaha mengantisipasi tuntutan-tuntutan baru yang mungkin muncul selama bencana

TP JR SR SL

32 Saya mencari informasi mengenai situasi

yang sedang terjadi TP JR SR SL

33 Saya menyelesaikan masalah yang saya

hadapi selama bencana satu per satu TP JR SR SL

34 Saya berdoa kepada Tuhan agar mendapat


(4)

88

Identitas Diri

Usia

Jenis Kelamin*

Laki-laki Perempuan

Suku

Agama

Status*

Belum Menikah Menikah

Janda/Duda

Pendidikan Terakhir* SD SMP SMA S1

Asal Desa

a--

Pekerjaan sebelum

bencana

-Pekerjaan setelah bencana

*

Silang yang sesuai

Riwayat Pengungsian

Riwayat

Bulan

Tahun

Lokasi

Awal mengungsi

Pindah I

Pindah II

-Pindah III

Pindah IV


(5)

LAMPIRAN 4


(6)