Analisis Makna Simbolik Torii (Pintu Gerbang) pada Kuil Shinto Itsukushima

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Jepang merupakan salah satu negara yang mempunyai bermacam-macam
kebudayaan. Meskipun peradaban Jepang kuno sebagian dibangun diatas
budaya-budaya yang diperkenalkan dari daratan Asia, selama 1000 tahun
terakhir bangsa Jepang telah menyerap unsur-unsur budaya ini dan
menciptakan kembali menjadi budaya sendiri. (http://id.wikipedia.org)
Sepanjang sejarahnya Jepang telah menyerap banyak gagasan dari negaranegara lain, diantaranya adalah teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk
pengungkapan

kebudayaan

lainnya.

Jepang

telah

mengembangkan


kebudayaan yang unik sambil mengintegrasikan masukan-masukan dari luar
itu. Kita dapat melihat bahwa gaya hidup orang Jepang dewasa ini merupakan
perpaduan budaya tradisional dibawah pengaruh Asia dan budaya modren
barat. Keanekaragaaman kebudayaan Jepang juga dapat dilihat dari cara hidup
masyarakatnya. Tetapi diantara keanekaragaman tersebut, kepercayaan atau
agama Shinto yang hanya akan ditemukan di Jepang.
Shinto pada mulanya merupakan kepercayaan yang muncul dengan
sendirinya di kalangan rakyat Jepang. Kepercayaan ini beranggapan bahwa

1

alam semesta di diami oleh banyak dewa. Di dalam agama Shinto
mengandung kepercayaan bahwa kepulauan dan bangsa Jepang berasal dari
Amaterasu Omi Kami yaitu dewa leluhur tertinggi bangsa Jepang.
Shinto di kategorikan sebagai agama yang terbentuk di dalam masyarakat
primitif Jepang. Di mulai dari zaman Yayoi dengan munculnya petani yang
mengerjakan sawahnya secara menetap di daratan yang relatif agak tinggi,
maka


terbentuklah

kelompok

masyarakat.

Kelompok

ini

mulai

menyelenggarakan ritual-ritual yang bertujuan untuk mengharapkan panen
padi yang melimpah.
Karena pengaruh agama Shinto yang besar di Jepang membuat agama
Shinto pernah diproklamirkan menjadi agama nasional bangsa Jepang dan
sekaligus sistem politis yang bersifat religius yang mengendalikan bangsa
Jepang selama 80 tahun (1868-1945) dari masa modernisasi Meiji sampai
Perang Dunia II yang kemudian lebih terkenal dengan kokka shinto (Shinto
negara).

Kegiatan ibadah agama Shinto berlangsung di kuil yang disebut jinja,
yaitu tempat peribadatan yang berfungsi untuk melakukan pemujaan terhadap
dewa ataupun juga dapat digunakan sebagai tempat upacara lain. Kuil Shinto
atau jinja juga dikunjungi pada perayaan atau festival yang diadakan
berdasarkan kalender Shinto. Salah satu kuil Shinto yang ada di Jepang adalah
kuil Itsukushima. Kuil Itsukushima merupakan kuil Shinto yang terletak di
pulau Itsukushima (pulau Miyajima) prefektur Hiroshima. Kuil ini didirikan
lebih dari 1.400 tahun yang lalu. Kuil Itsukushima dibangun diatas air,

2

sehingga tampak mengapung dan terpisah dari tanah karena air dianggap
elemen suci, sedangkan tanah dianggap elemen yang kotor. Selain itu, untuk
memasuki kuil juga harus mencuci tangan dan mulut dengan air. Ini adalah
cara memurnikan diri sebelum berdoa kepada dewa. Alasan ini juga yang
menggambarkan kekotoran tidak boleh masuk. Termasuk wanita hamil, orang
yang kerabatnya meninggal sebelum 1 tahun, dan orang yang sudah tua renta.
Kuil Itsukushima memiliki pintu gerbang tradisional atau torii yang sangat
terkenal. Torii atau pintu gerbang tradisional yang sering ditemukan di pintu
masuk kuil Shinto. Torii ini memiliki tinggi 16 meter dengan warna orange

menyala merupakan ciri khas kuil Itsukushima. Torii juga dibangun diatas air
dengan alasan yang sama, yaitu memisahkannya dari tanah. Torii dianggap
sebagai pembatas antara kawasan tempat tinggal dewa dengan manusia. Torii
terlihat mengambang di tengah laut ketika air pasang, tetapi bisa dicapai
dengan berjalan kaki ketika air surut. Berdasarkan catatan kuno yang ditulis
tahun 992, torii pertama kali ada pada pertengahan periode Heian. Torii batu
pertama yang dibangun yaitu pada abad ke 12 di kuil Hachiman di Yamagata
prefektur. Torii kayu tertua adalah Ryoubu di Kubo Hachiman Shrine di
Yamanashi prefektur di bangun pada 1535. Bangunan torii di kuil Itsukushima
telah ada sejak tahun 1168, tetapi torii yang ada sekarang merupakan
bangunan tahun 1875.
Pada umumnya bangunan Torii terdiri dari dua batang tiang yang
menopang dua batang palang yang berada di bagian atas bangunan. Palang
bagian atas bisa terdiri dua buah palang yang bersusun, yakni palang Kasagi

3

dan palang Shimagi, sedangkan palang bagian bawah disebut Nuki.
Torii ada yang memiliki papan nama yang disebut Gakuzuka yang berada di
antara palang Shimaki dan palang Nuki. Dilihat dari bentuknya, Torii secara

garis besar dibagi menjadi dua bentuk: bentuk Shinmei (shinmei torii) dan
bentuk Myōjin (myōjin torii) yang merupakan bentuk dasar dari berbagai jenis
bentuk Torii.
Torii yang didirikan di kuil Shinto banyak yang merupakan sumbangan
dari pengikut kuil tersebut, sehingga bentuk torii juga tergantung pada selera
orang yang menyumbang.Torii juga dipakai untuk menunjukkan kaitan antara
kuil Shinto yang sejenis, misalnya torii bentuk Yasukuni terdapat di Kuil
Yasukuni dan berbagai Kuil Gokoku yang terdapat di banyak tempat di Jepang,
sedangkan torii bentuk Sannō terdapat di Kuil Hie, Kuil Sannō dan Kuil
Hiyoshi.
Bila kita mengikuti perjalanan sejarah kuil Itsukushima terutama tentang
torii hingga saat ini, ternyata torii memiliki peranan yang penting dalam setiap
kuil Shinto. Selain itu torii mempunyai ciri khas tertentu dibandingkan dengan
pintu gerbang tradisional lain. Inilah yang memotivasi penulis untuk
membahas tentang “ Analisis Makna Simbolik dari Torii (Pintu Gerbang)
pada Kuil Itsukushima “.

4

1.2 Rumusan Masalah

Shinto adalah agama asli bangsa Jepang dan hanya akan ditemukan di
di Jepang. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaan maupun
ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Banyak
istilah-istilah dalam agama Shinto yang sukar dialih bahasakan dengan tepat
ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari
bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”,
“pengajaran para dewa”, atau “agama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri
baru dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebutkan agama asli
bangsa Jepang ketika agama Budha dan agama Konfusius (Tiongkok) sudah
memasuki Jepang pada abad keenam masehi.
Tempat ibadah agama Shinto disebut kuil atau Jinja. Beberapa kuil
mungkin hanya memiliki 1 torii atau pintu gerbang. Torii juga dapat berdiri
jauh dari kuil atau bahkan menandai batas wilayah kuil. Pada kuil Shinto
itsukushima, torii atau pintu gerbang dibangun jauh dari daratan. Di
maksudkan untuk memberi batas antara tempat suci dengan tempat tinggal
manusia. Torii dengan warna merah menyala seakan terlihat mengambang di
atas laut.
Berdasarkan latar belakang tema “Analisis Makna Simbolik dari Torii
(Pintu Gerbang) kuil shinto Itsukushima, maka penulis mengangkat
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana bentuk-bentuk torii di Jepang.?
2. Bagaimana unsur-unsur pendukung torii pada kuil shinto itsukushima .?

5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Dari permasalahan yang ada, perlu adanya ruang lingkup dalam
pembahasan masalah tersebut. Hal ini bertujuan agar penelitian ini tidak
menjadi luas dan tetap terfokus pada masalah yang ingin diteliti.
Begitu besarnya hubungaan antara kuil Shinto Itsukushima dengan torii,
sehingga penulis termotivasi untuk mengetahui makna simbolik yang
terkandung pada torii. Agar penjelasan di dalam pembahasan ini menjadi jelas
dan memiliki akurasi data yang tepat dan objektif, maka penulis juga
menjelaskan mengenai Shinto, Ritual Shinto,Kuil Shinto dan Bentuk-bentuk
torii.

1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori
1. Tinjauan Pustaka
Kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan
manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkan dengan

belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat
(1979:193) dalam Rafiek (2003:7).
Pertumbuhan dan perkembangan agama serta kebudayaan jepang
memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilasi. Asimilasi adalah
proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan
latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara intensif
dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga masing-masing

6

kebudayaan tadi berubah sifatnya yang khas, menjadi kebudayaan
campuran (Hariyono,2006: 67).
Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negara ini telah menerima
berbagai macam pengaruh baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua
pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh
dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang.
Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa
dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama.
Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau
kekacauan nilai, melainkan suatu kelansungan dan kelanjutan.

Dalam buku “Jepang Sebuah Pedoman Saku”(Kedutaan Besar
Jepang, 1985:14) Shinto bertahan dalam bentuk kepercayaan, kekuasaan/
adat istiadat tradisional dan dalam praktek-praktek seperti sembayang
perorangan dan berbagai upacara serta perayaan. Shinto mencakup agama
dan falsafah pribumi. Dalam periode Meiji (1868-1912) pemerintah
mempergunakan Shinto untuk menjadi sistem kekaisaran dan sempat
disebut agama negara.
Kata Shinto berasal dari 2 huruf kanji, yaitu shin dan to. Shin
berarti dewa dan to berarti jalan. Jadi secara harafiah Shinto diartikan
sebagai “jalan para dewa”(Ono,1998:2). Shinto berbeda dengan agama
lainnya karena Shinto tidak memiliki pendiri dan tidak memiliki kitab suci.
Penganut agama Shinto percaya dengan keberadaaan roh leluhur dan
banyak dewa. Dewa dalam Shinto dikenal dengan Kami (Ono, 1998:3).

7

Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham
serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam
mempercayai bahwa semua benda baik yang hidup maupun mati dianggap
memiliki roh atau spirit, bahkan kadang dianggap memiliki kemampuan

untuk berbicara, memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap
kehidupan mereka.
Hubungan antar manusia dengan roh menurut ajaran Shinto
memang tidak terlepas, karena di dalam konsep ajaran Shinto
diberitahukan

bagaimana

harusnya

manusia

yang

berbudi

luhur

berperilaku, agar apabila ia mati dimasukkan ke dalam golongan Kami
atau roh-roh yang baik (Sinaga,1994:133)


2. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teori semiotik.
Menurut Pradopo (2001:7) semiotik adalah ilmu tanda-tanda. yang
menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu
merupakan tanda-tanda yang mempunyai arti. Tanda adalah sesuatu yang
mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran,
perasaan dan gagasan. Tanda dan lambang akan menghasilkan arti. Karena
itu dalam pembahasan ini mencakup teori tanda/ semiotik semantik yaitu
ilmu tanda yang berhubungan dengan makna. Makna adalah isi
komunikasi yang membuahkan informasi tertentu.
Dalam hal ini penulis menganalisis makna simbolik dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang terutama torii yang kemudian

8

dihubungkan dengan pendekatan semiotika untuk menjabarkan tandatanda dan kandungan arti yang terdapat dalam torii. Tanda dan arti akan
menjelaskan kondisi kehidupan sosial religi pada masyarakat Jepang.
Karena dalam kehidupan manusia dipenuhi tanda, dengan
perantara tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya,
sekaligus mengadakan yang lebih baik terhadap dunia. Sehingga dengan
pendekatan semiotik penulis dapat menginterpretasikan segala tanda yang
berhubungan dengan torii.
Dalam penelitian ini juga, penulis menggunakan teori tentang
simbolik

berdasarkan

religi

Shintoisme

terhadap

objek.

Karena

kebudayaan mengacu pada penciptaan dan penggunaan simbol. Simbol
membuat perbedaan antara jalan hidup orang atau kelompok dalam suatu
masa atau kemanusiaan secara umum. Simbol menghantarkan atau
manyampaikan gagasan manusia yang diciptakannya dari dan untuk
masyarakat untuk menjalani hidup dengan memanfaatkan sumber-sumber
dalam lingkungannya.
Konsep religi menurut Koentjaraningrat (1974:13) dalam skripsi
Aminullah gea (2012:13) adalah sistem kepercayaan yang mengandung
keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan,
dewa atau makhluk halus lain yang mendiami alam gaib.

9

1.5 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis
merangkum tujuan dari penelitian sebagai berikut:
1.
2.

Untuk mengetahui bentuk-bentuk torii di Jepang
Untuk mengetahui unsur-unsur pendukung torii kuil shinto
itsukushima

2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penilitian ini adalah:
1. Bagi peneliti dan pembaca, dapat menambah wawasan mengenai torii
pada kuil shinto itsukushima
2. Bagi pembaca, dapat menambah bahan bacaan dan sumber penelitian
untuk Depatremen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara

1.6. Metode Penelitian
Dalam penelitian sangat dibutuhkan metode penelitian sebagai bahan
penunjang dalam penulisan. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
metode kualitatif dan metode transkriptif.

10

Metode penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang
dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami
bahasa

dan

tafsiran

mereka

tentang

dunia

sekitarnya

dengan

tujuan

mengumpulkan data yang banyak (Nasution, 1996:5). Metode transkriptif adalah
metode yang dilakukan dengan cara menerjemahkan bahasa yang berbahasa
inggris kedalam bahasa Indonesia.
Teknik pengumpulkan data menggunakan metode kepustakaan (library
reseach) yaitu penelitian yang dilakukan dengan membaca dan mengumpulkan
data yang berkaitan dengan topik permasalahan. Sumber-sumber kepustakaan
tersebut bersumber dari buku, hasil-hasil penelitian (skripsi), artikel-artikel dan
sumber-sumber lainnya yang terdapat di internet.
Menurut Sutrisno, Hadi (1991: 43) ada 3 pedoman untuk pemilihan daftar
pustaka yaitu: relevans, kemutakhiran dan adekuasi. yang dimaksud dengan
relevansi adalah keterkaitan atau kegayuhan yang erat dengan masalah penelitian.
Kemutakhiran adalah sumber-sumber pustaka yang terbaru untuk menghindari
teori-teori atau bahasan yang lama.

11