Analisis Makna Simbolik Torii (pintu gerbang) pada kuil shinto itsukushima

(1)

ANALISIS MAKNA SIMBOLIK TORII (PINTU GERBANG) PADA KUIL SHINTO ITSUKUSHIMA

ITSUKUSHIMA JINJA NI ARU TORII NO KIGORON NO IMI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

dalam bidang ilmu Sastra Jepang

Oleh:

ULFA MAYASARI HUTAHAEAN NIM : 100708038

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 6

1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori ... 6

1.5 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 9

1.6 Metode Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KUIL SHINTO ITSUKUSHIMA DAN TORII 2.1 Shinto ... 12

2.2 Ritual Shinto ... 15


(3)

2.4.1 Bentuk-bentuk Torii ... 19

2.4.1.1 Bentuk Shinmei ... 19

2.4.1.2 Bentuk Myojin ... 21

2.5 Konsep Makna Simbolik Berdasarkan Religi Shintoisme... 24

2.5.1 Konsep Shinto ... 24

2.5.2 Makna Simbolik ... 28

BAB III ANALISIS MAKNA SIMBOLIK TORII (PINTU GERBANG) PADA KUIL SHINTO ITSUKUSHIMA 3.1 Unsur-unsur Pendukung Torii ... 33

3.1.1 Bahan Material ... 33

3.1.2 Tempat ... 33

3.1.3 Arah ... 34

3.1.4 Warna... 35

3.2 Makna Simbolik Torii ... 35

3.2.1 Menandai batas dari dunia manusia ke dunia Kami ... 35

3.2.2 Mengingatkan orang-orang akan kehadiran Kami di tempat tersebut... 38


(4)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 39

4.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR LAMPIRAN


(5)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah subhanahuwata’ala, yang telah memberi rahmat dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini berjudul “Analisis Makna Simbolik Torii (pintu gerbang) pada kuil shinto itsukushima.”

Dalam skripsi ini, penulis membahas hal-hal yang berhubungan dengan makna simbolik pada torii (pintu gerbang) pada kuil shinto itsukushima. Namun, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis serta bahan literatur, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Maka dari itu, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan selesai bantuan dan dukungan dari semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Maka sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu penulis dalam menyediakan sarana dan fasilitas belajar selama masa perkuliahan.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana,M.hum., sebagai ketua Jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas sumatera Utara, yang dengan tulus ikhlas telah membimbing, memeriksa dan memberikan saran-saran dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.


(6)

3. Ibu Dr. Diah Syafitri Handayani, M.litt., selaku Dosen Pembimbing 1, yang telah banyak mengorbankan waktu dan tenaga dalam memberikan masukan-masukan dan bimbingan serta pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak/ibu Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, khususnya para dosen di Jurusan Sastra Jepang yang telah dengan sabar memberikan ilmu yang demikian selama masa perkuliahan.

5. Kepada orang tua, ayahanda Syakban Makmur, ibunda Jamila dan ibunda Hj. Tuti Juniarti yang senantiasa membantu banyak hal dengan mencurahkan perhatian baik spiritual maupun material selama penulis menuntut ilmu hingga penyusunan skripsi ini.

6. Buat suami tercinta Angga Cahyadi S.H. terima kasih atas dorongan semangat, perhatian, kasih sayang dan kesabaran dalam mendampingi penulis dalam proses penulisan hingga menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada rekan-rekan mahasiswa/i angkatan 2010 jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah menjalin hubungan silaturahmi dan bersama-sama saling membantu pada saat perkuliahan.

8. Semua pihak yang membantu dalam penyelesaiian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(7)

Semoga budi baik saudara/i dibalas oleh Allah SWT. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca yang ingin menambah pengetahuan tentang Torii dan juga Kuil Shinto.

Penulis

Nim 100708038


(8)

Analisis makna simbolik torii (pintu gerbang) pada kuil Shinto

Itsukushima

Sepanjang sejarahnya Jepang telah menyerap banyak gagasan dari negara-negara lain, diantaranya adalah teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan kebudayaan lainnya. Jepang telah mengembangkan kebudayaan yang unik sambil mengintegrasikan masukan-masukan dari luar itu. Kita dapat melihat bahwa gaya hidup orang Jepang dewasa ini merupakan perpaduan budaya tradisional dibawah pengaruh Asia dan budaya moderen barat. Keanekaragaman kebudayaan Jepang juga dapat dilihat dari cara hidup masyarakatnya. Tetapi diantara keanekaragaman tersebut, kepercayaan atau agama Shinto yang hanya akan ditemukan di Jepang.

Shinto adalah kata majemuk daripada “shin” berarti roh dan “to” berarti jalan. Jadi shinto mempunyai arti jalannya roh, baik roh-roh yang meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “to” berdekatan dengan kata “tao” dalam taoisme yang berarti jalan dewa atau jalannya bumi dan langit. Sedang kata “shin atau shen” identik dengan kata “yin” dalam taoisme yang berarti gelap,basah, negatif dan sebagainya. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran shintoisme melainkan juga pemerintahnya yang harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang menjadikan pegangan hidup.Shinto pada mulanya merupakan kepercayaan yang muncul dengan sendirinya di kalangan rakyat Jepang. Kepercayaan ini beranggapan bahwa alam semesta di diami oleh banyak dewa. Di dalam agama shinto mengandung


(9)

kepercayaan bahwa kepulauan dan bangsa Jepang berasal dari Amaterasu Omi Kami yaitu dewa leluhur tertinggi bangsa Jepang. Shinto di kategorikan sebagai agama yang terbentuk di dalam masyarakat primitif Jepang. Di mulai dari zaman Yayoi dengan munculnya petani yang mengerjakan sawahnya secara menetap di daratan yang relatif agak tinggi, maka terbentuklah kelompok masyarakat. Kelompok ini mulai menyelenggarakan ritual-ritual yang bertujuan untuk mengharapkan panen padi yang melimpah.

Karena pengaruh agama shinto yang besar di Jepang membuat agama shinto pernah diproklamirkan menjadi agama nasional bangsa Jepang dan sekaligus sistem politis yang bersifat religius yang mengendalikan bangsa Jepang selama 80 tahun (1868-1945) dari masa modernisasi Meiji sampai Perang Dunia II yang kemudian lebih terkenal dengan kokka shinto (shinto negara). Kegiatan ibadah agama Shinto berlangsung di kuil yang disebut jinja, yaitu tempat peribadatan yang berfungsi untuk melakukan pemujaan terhadap dewa ataupun juga dapat digunakan sebagai tempat upacara lain.

Kuil Shinto atau jinja juga dikunjungi pada perayaan atau festival yang diadakan berdasarkan kalender Shinto. Kuil Itsukushima merupakan kuil Shinto yang terletak di pulau Itsukushima (pulau Miyajima) prefektur Hiroshima. Kuil ini didirikan lebih dari 1.400 tahun yang lalu. Kuil Itsukushima dibangun diatas air, sehingga tampak mengapung dan terpisah dari tanah karena air dianggap elemen suci, sedangkan tanah dianggap elemen yang kotor. Selain itu, untuk memasuki kuil juga harus mencuci tangan dan mulut dengan air. Ini adalah cara memurnikan diri sebelum berdoa kepada dewa. Alasan ini juga yang menggambarkan


(10)

kekotoran tidak boleh masuk. Termasuk wanita hamil, orang yang kerabatnya meninggal sebelum 1 tahun, dan orang yang sudah tua renta. Kuil Itsukushima memiliki pintu gerbang tradisional atau torii yang sangat terkenal. Torii atau pintu gerbang tradisional yang sering ditemukan di pintu masuk kuil Shinto. Torii ini memiliki tinggi 16 meter dengan warna orange menyala merupakan ciri khas kuil Itsukushima. Torii juga dibangun diatas air dengan alasan yang sama, yaitu memisahkannya dari tanah. Torii dianggap sebagai pembatas antara kawasan tempat tinggal dewa dengan manusia. Torii terlihat mengambang di tengah laut ketika air pasang, tetapi bisa dicapai dengan berjalan kaki ketika air surut.

Berdasarkan catatan kuno yang ditulis tahun 992, torii pertama kali ada pada pertengahan periode Heian. Torii batu pertama yang dibangun yaitu pada abad ke 12 di kuil Hachiman di Yamagata prefektur. Torii kayu tertua adalah Ryoubu di Kubo Hachiman Shrine di Yamanashi prefektur di bangun pada 1535. Bangunan torii di kuil Itsukushima telah ada sejak tahun 1168, tetapi torii yang ada sekarang merupakan bangunan tahun 1875.

Pada umumnya bangunan Torii terdiri dari dua batang tiang yang menopang dua batang palang yang berada di bagian atas bangunan. Palang bagian atas bisa terdiri dua buah palang yang bersusun, yakni palang Kasagi dan palang Shimagi, sedangkan palang bagian bawah disebut Nuki. Torii ada yang memiliki papan nama yang disebut Gakuzuka yang berada di antara palang Shimaki dan palang Nuki. Dilihat dari bentuknya, Torii secara garis besar dibagi menjadi dua bentuk: bentuk Shinmei (shinmei torii) dan bentuk Myōjin (myōjin torii) yang merupakan bentuk dasar dari berbagai jenis bentuk Torii. Torii yang didirikan di kuil Shinto


(11)

banyak yang merupakan sumbangan dari pengikut kuil tersebut, sehingga bentuk Torii juga tergantung pada selera orang yang menyumbang.


(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Jepang merupakan salah satu negara yang mempunyai bermacam-macam kebudayaan. Meskipun peradaban Jepang kuno sebagian dibangun diatas budaya-budaya yang diperkenalkan dari daratan Asia, selama 1000 tahun terakhir bangsa Jepang telah menyerap unsur-unsur budaya ini dan menciptakan kembali menjadi budaya sendiri

Sepanjang sejarahnya Jepang telah menyerap banyak gagasan dari negara-negara lain, diantaranya adalah teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan kebudayaan lainnya. Jepang telah mengembangkan kebudayaan yang unik sambil mengintegrasikan masukan-masukan dari luar itu. Kita dapat melihat bahwa gaya hidup orang Jepang dewasa ini merupakan perpaduan budaya tradisional dibawah pengaruh Asia dan budaya modren barat. Keanekaragaaman kebudayaan Jepang juga dapat dilihat dari cara hidup masyarakatnya. Tetapi diantara keanekaragaman tersebut, kepercayaan atau agama Shinto yang hanya akan ditemukan di Jepang.

Shinto pada mulanya merupakan kepercayaan yang muncul dengan sendirinya di kalangan rakyat Jepang. Kepercayaan ini beranggapan bahwa


(13)

alam semesta di diami oleh banyak dewa. Di dalam agama Shinto mengandung kepercayaan bahwa kepulauan dan bangsa Jepang berasal dari Amaterasu Omi Kami yaitu dewa leluhur tertinggi bangsa Jepang.

Shinto di kategorikan sebagai agama yang terbentuk di dalam masyarakat primitif Jepang. Di mulai dari zaman Yayoi dengan munculnya petani yang mengerjakan sawahnya secara menetap di daratan yang relatif agak tinggi, maka terbentuklah kelompok masyarakat. Kelompok ini mulai menyelenggarakan ritual-ritual yang bertujuan untuk mengharapkan panen padi yang melimpah.

Karena pengaruh agama Shinto yang besar di Jepang membuat agama Shinto pernah diproklamirkan menjadi agama nasional bangsa Jepang dan sekaligus sistem politis yang bersifat religius yang mengendalikan bangsa Jepang selama 80 tahun (1868-1945) dari masa modernisasi Meiji sampai Perang Dunia II yang kemudian lebih terkenal dengan kokka shinto (Shinto negara).

Kegiatan ibadah agama Shinto berlangsung di kuil yang disebut jinja, yaitu tempat peribadatan yang berfungsi untuk melakukan pemujaan terhadap dewa ataupun juga dapat digunakan sebagai tempat upacara lain. Kuil Shinto atau jinja juga dikunjungi pada perayaan atau festival yang diadakan berdasarkan kalender Shinto. Salah satu kuil Shinto yang ada di Jepang adalah kuil Itsukushima. Kuil Itsukushima merupakan kuil Shinto yang terletak di pulau Itsukushima (pulau Miyajima) prefektur Hiroshima. Kuil ini didirikan lebih dari 1.400 tahun yang lalu. Kuil Itsukushima dibangun diatas air,


(14)

sehingga tampak mengapung dan terpisah dari tanah karena air dianggap elemen suci, sedangkan tanah dianggap elemen yang kotor. Selain itu, untuk memasuki kuil juga harus mencuci tangan dan mulut dengan air. Ini adalah cara memurnikan diri sebelum berdoa kepada dewa. Alasan ini juga yang menggambarkan kekotoran tidak boleh masuk. Termasuk wanita hamil, orang yang kerabatnya meninggal sebelum 1 tahun, dan orang yang sudah tua renta.

Kuil Itsukushima memiliki pintu gerbang tradisional atau torii yang sangat terkenal. Torii atau pintu gerbang tradisional yang sering ditemukan di pintu masuk kuil Shinto. Torii ini memiliki tinggi 16 meter dengan warna orange menyala merupakan ciri khas kuil Itsukushima. Torii juga dibangun diatas air dengan alasan yang sama, yaitu memisahkannya dari tanah. Torii dianggap sebagai pembatas antara kawasan tempat tinggal dewa dengan manusia. Torii terlihat mengambang di tengah laut ketika air pasang, tetapi bisa dicapai dengan berjalan kaki ketika air surut. Berdasarkan catatan kuno yang ditulis tahun 992, torii pertama kali ada pada pertengahan periode Heian. Torii batu pertama yang dibangun yaitu pada abad ke 12 di kuil Hachiman di Yamagata prefektur. Torii kayu tertua adalah Ryoubu di Kubo Hachiman Shrine di Yamanashi prefektur di bangun pada 1535. Bangunan torii di kuil Itsukushima telah ada sejak tahun 1168, tetapi torii yang ada sekarang merupakan bangunan tahun 1875.

Pada umumnya bangunan Torii terdiri dari dua batang tiang yang menopang dua batang palang yang berada di bagian atas bangunan. Palang bagian atas bisa terdiri dua buah palang yang bersusun, yakni palang Kasagi


(15)

dan palang Shimagi, sedangkan palang bagian bawah disebut Nuki. Torii ada yang memiliki papan nama yang disebut Gakuzuka yang berada di antara palang Shimaki dan palang Nuki. Dilihat dari bentuknya, Torii secara garis besar dibagi menjadi dua bentuk: bentuk Shinmei (shinmei torii) dan bentuk Myōjin(myōjin torii) yang merupakan bentuk dasar dari berbagai jenis bentuk Torii.

Torii yang didirikan di kuil Shinto banyak yang merupakan sumbangan dari pengikut kuil tersebut, sehingga bentuk torii juga tergantung pada selera orang yang menyumbang.Torii juga dipakai untuk menunjukkan kaitan antara kuil Shinto yang sejenis, misalnya torii bentuk Yasukuni terdapat di sedangkan torii bentuk Sannō terdapat di

Bila kita mengikuti perjalanan sejarah kuil Itsukushima terutama tentang torii hingga saat ini, ternyata torii memiliki peranan yang penting dalam setiap kuil Shinto. Selain itu torii mempunyai ciri khas tertentu dibandingkan dengan pintu gerbang tradisional lain. Inilah yang memotivasi penulis untuk membahas tentang “ Analisis Makna Simbolik dari Torii (Pintu Gerbang) pada Kuil Itsukushima “.


(16)

1.2 Rumusan Masalah

Shinto adalah agama asli bangsa Jepang dan hanya akan ditemukan di di Jepang. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaan maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto yang sukar dialih bahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para dewa”, atau “agama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebutkan agama asli bangsa Jepang ketika agama Budha dan agama Konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam masehi.

Tempat ibadah agama Shinto disebut kuil atau Jinja. Beberapa kuil mungkin hanya memiliki 1 torii atau pintu gerbang. Torii juga dapat berdiri jauh dari kuil atau bahkan menandai batas wilayah kuil. Pada kuil Shinto itsukushima, torii atau pintu gerbang dibangun jauh dari daratan. Di maksudkan untuk memberi batas antara tempat suci dengan tempat tinggal manusia. Torii dengan warna merah menyala seakan terlihat mengambang di atas laut.

Berdasarkan latar belakang tema “Analisis Makna Simbolik dari Torii (Pintu Gerbang) kuil shinto Itsukushima, maka penulis mengangkat permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana bentuk-bentuk torii di Jepang.?


(17)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan yang ada, perlu adanya ruang lingkup dalam pembahasan masalah tersebut. Hal ini bertujuan agar penelitian ini tidak menjadi luas dan tetap terfokus pada masalah yang ingin diteliti.

Begitu besarnya hubungaan antara kuil Shinto Itsukushima dengan torii, sehingga penulis termotivasi untuk mengetahui makna simbolik yang terkandung pada torii. Agar penjelasan di dalam pembahasan ini menjadi jelas dan memiliki akurasi data yang tepat dan objektif, maka penulis juga menjelaskan mengenai Shinto, Ritual Shinto,Kuil Shinto dan Bentuk-bentuk torii.

1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori

1.

Tinjauan Pustaka

Kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkan dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat (1979:193) dalam Rafiek (2003:7).

Pertumbuhan dan perkembangan agama serta kebudayaan jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilasi. Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara intensif dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga masing-masing


(18)

kebudayaan tadi berubah sifatnya yang khas, menjadi kebudayaan campuran (Hariyono,2006: 67).

Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negara ini telah menerima berbagai macam pengaruh baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melainkan suatu kelansungan dan kelanjutan.

Dalam buku “Jepang Sebuah Pedoman Saku”(Kedutaan Besar Jepang, 1985:14) Shinto bertahan dalam bentuk kepercayaan, kekuasaan/ adat istiadat tradisional dan dalam praktek-praktek seperti sembayang perorangan dan berbagai upacara serta perayaan. Shinto mencakup agama dan falsafah pribumi. Dalam periode Meiji (1868-1912) pemerintah mempergunakan Shinto untuk menjadi sistem kekaisaran dan sempat disebut agama negara.

Kata Shinto berasal dari 2 huruf kanji, yaitu shin dan to. Shin berarti dewa dan to berarti jalan. Jadi secara harafiah Shinto diartikan sebagai “jalan para dewa”(Ono,1998:2). Shinto berbeda dengan agama lainnya karena Shinto tidak memiliki pendiri dan tidak memiliki kitab suci. Penganut agama Shinto percaya dengan keberadaaan roh leluhur dan banyak dewa. Dewa dalam Shinto dikenal dengan Kami (Ono, 1998:3).


(19)

Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayai bahwa semua benda baik yang hidup maupun mati dianggap memiliki roh atau spirit, bahkan kadang dianggap memiliki kemampuan untuk berbicara, memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka.

Hubungan antar manusia dengan roh menurut ajaran Shinto memang tidak terlepas, karena di dalam konsep ajaran Shinto diberitahukan bagaimana harusnya manusia yang berbudi luhur berperilaku, agar apabila ia mati dimasukkan ke dalam golongan Kami atau roh-roh yang baik (Sinaga,1994:133)

2.

Kerangka Teori

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teori semiotik. Menurut Pradopo (2001:7) semiotik adalah ilmu tanda-tanda. yang menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda yang mempunyai arti. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan dan gagasan. Tanda dan lambang akan menghasilkan arti. Karena itu dalam pembahasan ini mencakup teori tanda/ semiotik semantik yaitu ilmu tanda yang berhubungan dengan makna. Makna adalah isi komunikasi yang membuahkan informasi tertentu.

Dalam hal ini penulis menganalisis makna simbolik dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang terutama torii yang kemudian


(20)

dihubungkan dengan pendekatan semiotika untuk menjabarkan tanda-tanda dan kandungan arti yang terdapat dalam torii. Tanda dan arti akan menjelaskan kondisi kehidupan sosial religi pada masyarakat Jepang.

Karena dalam kehidupan manusia dipenuhi tanda, dengan perantara tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan yang lebih baik terhadap dunia. Sehingga dengan pendekatan semiotik penulis dapat menginterpretasikan segala tanda yang berhubungan dengan torii.

Dalam penelitian ini juga, penulis menggunakan teori tentang simbolik berdasarkan religi Shintoisme terhadap objek. Karena kebudayaan mengacu pada penciptaan dan penggunaan simbol. Simbol membuat perbedaan antara jalan hidup orang atau kelompok dalam suatu masa atau kemanusiaan secara umum. Simbol menghantarkan atau manyampaikan gagasan manusia yang diciptakannya dari dan untuk masyarakat untuk menjalani hidup dengan memanfaatkan sumber-sumber dalam lingkungannya.

Konsep religi menurut Koentjaraningrat (1974:13) dalam skripsi Aminullah gea (2012:13) adalah sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa atau makhluk halus lain yang mendiami alam gaib.


(21)

1.5 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis merangkum tujuan dari penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk torii di Jepang

2. Untuk mengetahui unsur-unsur pendukung torii kuil shinto itsukushima

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penilitian ini adalah:

1. Bagi peneliti dan pembaca, dapat menambah wawasan mengenai torii pada kuil shinto itsukushima

2. Bagi pembaca, dapat menambah bahan bacaan dan sumber penelitian untuk Depatremen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

1.6. Metode Penelitian

Dalam penelitian sangat dibutuhkan metode penelitian sebagai bahan penunjang dalam penulisan. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode kualitatif dan metode transkriptif.


(22)

Metode penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya dengan tujuan mengumpulkan data yang banyak (Nasution, 1996:5). Metode transkriptif adalah metode yang dilakukan dengan cara menerjemahkan bahasa yang berbahasa inggris kedalam bahasa Indonesia.

Teknik pengumpulkan data menggunakan metode kepustakaan (library reseach) yaitu penelitian yang dilakukan dengan membaca dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan topik permasalahan. Sumber-sumber kepustakaan tersebut bersumber dari buku, hasil-hasil penelitian (skripsi), artikel-artikel dan sumber-sumber lainnya yang terdapat di internet.

Menurut Sutrisno, Hadi (1991: 43) ada 3 pedoman untuk pemilihan daftar pustaka yaitu: relevans, kemutakhiran dan adekuasi. yang dimaksud dengan relevansi adalah keterkaitan atau kegayuhan yang erat dengan masalah penelitian. Kemutakhiran adalah sumber-sumber pustaka yang terbaru untuk menghindari teori-teori atau bahasan yang lama.


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KUIL SHINTO ITSUKUSHIMA DAN TORII

2.1 Shinto

Agama Shinto adalah agama resmi di negara Jepang yang diproklamirkan sebagai agama negara pada tahun 1869. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah beradab-abad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul dari mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama ilmiah. Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Budha ke Jepang pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebutkan kepercayaan asli bangsa Jepang. Selama berabad-abad antara agama Shinto berada dibawah pengaruh kekuasaan agama Budha. Hingga berdampak munculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Budha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Budha kedalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara keagamaan bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi agama Budha. Patung-patung dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci


(24)

agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasaan warna-warni yang mencolok.

Shinto adalah kata majemuk daripada “shin” berarti roh dan “to” berarti jalan. Jadi Shinto mempunyai arti jalannya roh, baik roh-roh yang meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “to” berdekatan dengan kata “tao” dalam taoisme yang berarti jalan dewa atau jalannya bumi dan langit. Sedang kata “shin atau shen” identik dengan kata “yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya. Dengan melihat hubungan nama Shinto ini, maka kemungkinan besar shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang menjadikan pegangan hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran shintoisme melainkan juga pemerintahnya yang harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.(wikipedia)

Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam, mempercayai bahwa semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara. Semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan penganut Shinto, daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “kami”. Istilah kami dalam agama Shinto dapat diartikan dengan diatas atau unggul. Sehingga apabila dimaksud untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata kami dapat diaalih bahasakan menjadi dewa atau


(25)

Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas,bahkan senantiasa bertambah. Hal ini diungkap dalam istilah “yao-yarozuno kami” yang berarti delapan miliun dewa. Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap terbilangnya tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah. Oleh sebab itu angka-angka seperti 8,80,180,50,10,100,500 dan seterusnya dianggap sebagai angka-angka dengan bilangannya yang sangat besar maka bilangan itu juga menunjukkan sifat dan keagungan kami.

Orang Jepang mengakui adanya dewa bumi dan dewa langit (dewa surgawi) dan dewa yang tertinggi adalah dewa matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan pemberi kemakmuran dan kesejahteraan hidup, mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakan, yakni roh-roh jahat yang disebut dengan aragami yang berarti ruh yang ganas dan jahat.

Dalam agama Shinto ada 2 kitab suci yang tertulis tetapi disusun sepuluh abad sepeninggalan Jimmu Tenno (660 SM), kaisar Jepang yang pertama. Dan 2 buah lagi disusun pada masa yang lebih belakangan, keempat kitab itu adalah sebagai berikut: (1) Kojiki yaitu catatan pertama yang mencatat peristiwa-peristiwa purbakala. Disusun pada tahun 712 masehi, sesudah kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara, yang ibukota Nara itu dibangun pada tahun 710 masehi menurut model ibukota Changan di Tiongkok. (2) Nihonji berisi tentang riwayat Jepang. Disusun pada tahun 720 masehi oleh penulis yang sama dengan di bantu oleh sang pangeran di istana. (3) Yeghisiki berasal dari berbagai lembaga pada masa Yengi, kitab ini disusun pada tahun kesepuluh masehi terdiri atas 50 bab. 10


(26)

bab pertama ulasan kisah-kisah yang bersifat kultus, disusuli dengan peristiwa selanjutnya sampai abad kesepuluh masehi, tetapi inti isinya adalah 25 norito yakni doa-doa pujaan yang panjang pada berbagai upacara keagamaan. (4) Manyosiu yaitu himpunan sepuluh ribu daun, berisikan bunga rampai yang terdiri atas 4496 buah sajak, disusun antara abad ke lima dengan abad ke 8 masehi. (agama2minorshiro.blogspot.com)

2.2 Ritual Shinto

Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dengan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri yaitu penyucian (harae), persembahan, pembacaan doa (norito) dan pesta makan. Matsuri alam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk kigansai (permohonan secara individual kepada jinja atau kuil untuk didoakan. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Ritual Shinto biasanya hanya satu bagian dari jenis festival publik yang besar disebut matsuri, yang merupakan jenis utama dari perayaan Shinto. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam sesuai dengan tujuan penyelenggaraan


(27)

matsuri. Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan mikoshi, dashi (danjiri) dan yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan yang berisi kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai chigo (anak kecil dalam prosesi), miko (anak gadis pelaksana ritual), tekomai (laki-laki berpakaian wanita), hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar kaget beraneka ragam makanaan dan permainan.

2.3 kuil shinto

Kuil Shinto menganut konsep kebebasan yaitu bebas dari simbol dan doktrin agama. Siapapun bisa bebas untuk berkunjung tanpa ada kewajiban untuk harus berdoa. Berbeda dengan kuil Budha atau Tera yang cenderung megah dengan ornamen dan koleksi barang berharga dan barang seni yang melimpah. Kuil Shinto atau jinja cenderung sebaliknya. Bangunannya cenderung sangat sederhana dan menyatu dengan alam. Dalam altar utama hampir kosong melompong, tidak ada arca, patung atau tidak ada benda apapun yang harus disembah sebagai penyebutan tuhan.

Menurut Almanak Agama (Shūkyō Nenkan) tahun 1992 yang diterbitkan berbentuk yayasan keagamaan. Asosiasi ini juga dijadikan tempat bernaung 38 organisasi keagamaan, 9 badan keagamaan, 20.336 instruktur keagamaan, dan 82.631.196 penganut Shinto.


(28)

Berdasarkan alasan pendirian bangunan, kuil Shinto dibagi menjadi tiga jenis: (1) bangunan kuil yang didirikan berdasarkan alasan sejarah (seperti di tempat yang berkaitan dengan kelahiran sebuah klan, atau di tempat yang berkaitan dengan tokoh yang disucikan, misalnya bangunan kuil yang didirikan di tempat yang telah disucikan, dan (3) bangunan kuil yang didirikan di tempat yang mudah dicapai orang, misalnya yang mudah didatangi. Bangunan kuil dapat dibangun di mana saja, mulai dari di tengah laut, di puncak gunung, hingga di atap gedung bertingkat atau di dalam rumah dalam bent

Daftar bangunan dan benda-benda yang dapat ditemukan di kuil shinto diantara nya : (1) torii (pintu gerbang), (2) sando (jalan masuk menuju kompleks kuil), (3)komainu (patung binatang penjaga yang diletakkan di depan kuil), (5) chozuya (tempat air mengalir), (6) heiden (ruang persembahan), (7) sheisen (makanan persembahan), (8) honden ( bagian dalam dekat dengan altar), (9) kaguraden (10) maidono (11) emadon (12) sesha dan masha ( bangunan kuil sekunder), (13) shamusho.

Pada umumnya, kuil di Jepang dibangun dari kayu oleh miyadaiku Jepang. Walaupun dari luar terlihat seperti bangunan tradisional Jepang, kuil Shinto zaman sekarang dibangun dengan teknologi konstruksi modern berdasarkan standar bangunan antigempa dan antikebakaran, termasuk penggunaa


(29)

2.4 Torii

Torii merupakan gerbang yang didirikan di jalan masuk kuil yang berada di daerah yang dianggap keramat. Takemura (2010:12) menjelaskan dengan lebih detail bahwa torii umumnya dibangun di wilayah di mana kami dipercayai

bersemayam. Dalam Shintō, wilayah kuil dipercayai menjadi wilayah kekuasaan

tempat kami yang disembah bersemayam. Memasuki kuil berarti memasuki wilayah kami.

Ono (1998:28) memberikan pendapat bahwa torii adalah gerbang masuk ke kuil yang menjadi simbolisasi yang menandai wilayah kami dari area pemukiman atau dunia manusia. Umumnya wilayah kami tempat dibangunnya kuil dengan torii berada di kaki gunung atau bukit. Kadang terdapat torii yang diangun di pantai atau di danau.

Kuil dianggap tempat bersemayam kami sekaligus wilayah suci, oleh karenanya kuil dibangun di tempat yang terpisah dari pemukiman manusia. Hal ini disebabkan karena pemukiman atau dalam hal ini dunia manusia mempunyai kegare. Kegare merupakan ketidakmurnian atau polutan dalam Shintō. Abe (2003:4) menjelaskan secara lebih spesifik bahwa kami membenci kegare yang

dianggap tabu dalam kepercayaan Shintō. Beberapa contoh dari kegare adalah kematian, darah, dan penyakit. Kegare hanya terdapat di dunia manusia dan manusia dapat membawa kegare masuk ke dalam kuil. Untuk melindungi kuil, torii diletakkan di antara kuil dan lingkungan masyarakat sekitar. Dengan demikian torii menjadi penanda dan menciptakan tempat terpisah di antara kuil dan pemukiman sekitar.


(30)

2.4.1 Bentuk-bentuk torii

Pada tahun 1884 penggunaan torii secara resmi dibatasi oleh hukum, hanya kuil Shinto dan tempat-tempat suci tertentu yang dapat menggunakannya sebagai pintu gerbang. Namun sekarang torii dapat ditemui di kaki pohon atau di samping batu dan beberapa kuburan. Torii bukan hanya pintu gerbang semata, tetapi secara simbolis menandai masuk ke dalam kawasan kami. Dilihat dari bentuknya, secara garis besar torii terbagi atas 2,yaitu : (1) bentuk shinmei, (2) bentuk myojin.

2.4.1.1 Bentuk shinmei

Diyakini torii jenis ini merupakan gaya torii tertua. Bentuk shinmei merupakan bentuk torii yang paling sederhana. Hanya terdiri dari palang (kasagi), dua pilar (hashira) dan disatukan oleh balok (nuki)

2.4.1.1.1 Ise torii

Torii jenis ini dapat ditemukan di kuil Ise, disebut juga jingu torii karena diadaptasi dari nama resmi kuil Ise Grand Shrine di Prefektur Mie. Semua torii Ise dibangun setelah abad ke 14. Dan sangat populer pada awal abad ke 20 karena dianggap tertua dan paling bergengsi.

2.4.1.1.2 Kashima torii

Gaya Kashima dikaitkan dengan Jingu Kashima di Ibaraki. Hal ini juga sering ditemukan di daerah sekitar Jingu Kashima.


(31)

2.4.1.1.3 kasuga torii

Kasuga torii adalah torii pertama yang akan dicat merah dan yang pertama dilihat di shimagi Kasuga taisha. Dengan nuki ganda terjepit melewati Hashira tersebut. Kuil dipengaruhi dekorasi China sampai tahun 768.

2.4.1.1.4 Hachiman torii

Gaya hachiman berasal selama periode Heian (794-1185) dan dimodelkan pada Kasuga torii. Kasagi dan shimagi yang dipotong miring. Tidak semua kuil hachiman, memiliki torii hachiman. Banyak memiliki torii ryoubu.

2.4.1.1.5 kuroki torii

Torii shinmei yang terbuat dari kulit kayu "Pohon liar" atau kayu yang paling primitif dan sederhana.Karena jenis torii ini memerlukan pergantian pada interval tiga tahun, hal ini yang menjadikan torii jenis ini langka. Contoh yang paling terkenal adalah Nonomiya jinja di Kyoto. Kuil yang ditunjuk untuk menyembah Amaterasu oleh putri kerajaan. Namun sekarang, kuil ini menggunakan torii yang terbuat dari bahan sintetis yang menirukan tampilan kayu.

2.4.1.1.6 shiromaruta torii

Torii shinmei yang dibuat menggunakan kayu tetapi telah membuang kulit bagian luarnya. Torii jenis ini dapat ditemukan pada semua makam-makam kaisar Jepang.


(32)

Desain ini terdiri dari tiga Kasuga torii untuk menghasilkan tiga kaki (sankyaku) torii. Contoh terbaik ditemukan pada sebidang tanah kecil di samping kolam Kijima jinja di laut Kyoto. Contoh lain terdapat di lingkungan Ukyo dari Kyoto di jinja Konoshima. Gaya ini kadang-kadang dikenal sebagai sanchu.

2.4.1.2 Bentuk Myojin

Bentuk myojin merupakan bentuk torii dengan ornamen dan garis-garis melengkung. Dengan dua palang dibagian atas terdiri dari palang kasagi dan palang shimaki yang bersusun. Sementara palang bagian bawah disebut nuki. Kedua palang penopang didirikan tidak tegak lurus dengan lurus dgn tanah tetapi sedikit miring.

2.4.1.2.1 nakayama torii

Nakayama torii tidak terkenal. Mengambil nama dari Nakayama Jinja di Prefektur Okayama.. Tinggi torii lebih dari 9 meter dan dibangun pada 1791. Kasagi dan shimagi melengkung, tapi nuki tidak menembus dengan Hashira. Honden ini selesai pada tahun 1559.

2.4.1.2.2 daiwa atau inari torii

Pertama kali muncul selama periode Heian akhir. Torii myojin dengan dua cincin disebut daiwa. Nama inari torii berasal dari fakta bahwa torii ini cenderung berada di Inari kuil. Fushimi Inari jinja di Kyoto terkenal dengan sejumlah torii dalam pekarangannya, tetapi hanya beberapa yang benar-benar inari.


(33)

Gaya ini dikaitkan dengan Shinto dan khas karena memiliki dukungan tambahan di depan dan di belakang Hashira tersebut. Hal ini juga disebut yotsuasi torii (torii berkaki empat), Gongen sode (lengan), atau chigobashira torii. Contoh terbaik sering terlihat di brosur adalah torii kuil Itsukushima di pulau suci Miyajima. Dibangun kembali pada tahun 1875 lalu, ia berdiri di laut dan tingginya 18 meter.

2.4.1.2.4 miwa torii

Disebut juga sanko torii, mitsutorii, atau komochi torii. Terdiri dari tiga myojin torii tanpa kemiringan pilar. Ini berasal dari abad kedua belas dan ditemukan dengan atau tanpa pintu. Kami yang diabadikan dari jinja Omiwa adalah Omononishi-no-Mikoto, Kami penjaga. Yang paling terkenal adalah di kuil Omiwa di Nara.

2.4.1.2.5 nune torii

Tidak ada spesimen ini ada pada saat ini, tetapi sering ditemukan dalam seni dan dianggap sangat tidak biasa. Hal ini mirip dengan Inari dengan penambahan dua pos miring membangun untuk gakuzuka tersebut.

2.4.1.2.6 sanno torii

Gaya sanno tidak biasa karena memuncak pada puncaknya (gashho) di atas Kasagi tersebut. Memiliki penutup hujan disebut urako dengan Tokin di atas, seperti topi yang dikenakan oleh Yamabushi. Contoh terbaik adalah di Hie jinja dekat Danau Biwa.Hal ini kadang-kadang disebut sogo (sintetis), gashho, atau torii Hie.


(34)

2.4.1.2.8 hizen torii

Jenis torii yang tidak biasa dengan kasagi bulat dan pilar ke bawah. Contoh dari torii hizen adalah torii di Chiriku Hachimangu di Saga prefektur (Picken, 1995: 148-160)

2.5 konsep makna simbolik berdasarkan religi shintoisme

2.5.1 konsep shinto

Ono (1998:3) menjelaskan bahwa Shinto berbeda dengan agama lainnya karena Shinto tidak memiliki pendiri dan tidak memiliki kitab suci. Penganut aliran Shinto percaya dengan keberadaan roh leluhur dan banyak dewa. Dewa dalam Shinto dikenal dengan kami. Ono (1998:6) mengemukakan bahwa yang disebut dengan kami adalah sebagai berikut:

Kami are the object of worship shinto. What is meant by kami.? Fundamentally, the term is an honorific for noble, sacred spirits, which implies a sense of adoration for their virtues and authority.

Terjemahan :

Kami merupakan objek penyembahan dalam Shinto. Apakah yang disebut dengan kami? Pada dasarnya, istilah ini adalah sebutan kehormatan untuk roh-roh suci yang mulia, yang menunjukkan rasa kekaguman bagi kebaikan dan kekuasaan mereka.

Keyakinan dalam memuja dewa-dewa ini telah ditetapkan dalam komponen yang harus tetap dijaga oleh masyarakat akan kelangsungannya, yang


(35)

terdiri atas empat konsep dalam pelestarian ajaran Shinto yaitu: tradisi dan keluarga, pelestarian alam, kebersihan jasmani dan matsuri.

2.5.1.1 Tradisi dan keluarga

Keluarga merupakan alat yang utama yang melakukan tradisi. Kegiatan utama mereka berhubungan dengan kelahiran dan pernikahan. Istilah keluarga dalam bahasa jepang dikenal dengan kazoku. Menurut Morioko Kyomi (dalam Adriana Hasibuan, 1998:7) keluarga adalah kelompok yang membentuk hubungan saudara dekat, seperti hubungan kakak beradik, orang tua dan anak, serta suami istri sebagai dasar pembentukan dan didukung oleh rasa kesatuan dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan.

2.5.1.2 Pelestarian Alam

Shinto adalah Pemuja Alam. Hal ini bisa dilihat dari tradisi Shinto yang memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada alam. Pohon besar misalnya tidak boleh sembarangan ditebang karena percaya ada Kami yang berdiam di dalamnya. Kebanyakan penduduk jaman dulu akan taat dan tidak merusak tempat alam atau bahkan terkadang jalan tanpa melewati hutan, gunung bahkan pulau tertentu karena dipercaya adanya Kami yang bersemayam di tempat tersebut. Salah satu contoh kecil dari penghormatan yang tinggi kepada tumbuhan adalah pada saat makan, yaitu hormat terhadap makanan khususnya beras. Sehingga hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang Jepang yang anti untuk menyisakan nasi bahkan dimakan sampai butir terakhir karena dianggap tidak menghormati roh yang hidup di dalamnya. Dengan konsep kepercayaan yang


(36)

sangat sederhana seperti ini bisa dibilang mereka cukup termasuk sukses menjaga kelestarian alamnya. Kuil Shinto juga umumnya selalu dipenuhi dengan sejumlah pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun. Bukan pemandangan yang aneh di negara Jepang jika melihat sebuah pohon besar yang tumbuh gagah tepat di tengah jalan, tanpa ada yang berani atau berniat menggusurnya.

2.5.1.3 Kebersihan Jasmani

Kebersihan tubuh dan pikiran sangat penting terutama jika ingin melakukan aktifitas keagamaan, karena para kami sangat membenci ketidaksucian lebih dari apapun. Ketidaksucian atau pencemaran dalam shinto diartikan sebagai kagare, misalnya kematian, darah, penyakit, bencana atau kesialan. Untuk menghilangkan kagare dilakukan harae dan misogi. Misogi dilakukan di tempat-tempat yang dianggap suci bagi dewa air seperti pantai, danau, dan sungai.

2.5.1.4 Matsuri

Penyelenggaraan matsuri berdasarkan bentuknya dapat digolongkan menjadi dua kategori: pertama yaitu matsuri yang diselenggarakan secara aksidental yang lebih dikenal dengan istilah ninigire. Ninigire merupakan kegiatan matsuri yang diselenggarakan sesuai permintaan atau permohonan, misalnya ketika kelahiran seorang anak, maka orangtua akan pergi ke kuil untuk melaksanakan matsuri dengan tujuan agar anak itu akan menjadi anak yang baik. Matsuri juga diselenggarakan dengan tujuan agar terhindar dari segala

marabahaya, matsuri yang diselenggarakan ketika terjadi kekeringan yang menyebabkan gagal panen dengan tujuan untuk minta hujan, dan masih banyak


(37)

diselenggarakan di kuil-kuil atau di tempat lain. Kategori kedua, matsuri yang diselenggarakan secara periodik atau dikenal dengan nenchugyoji, yaitu matsuri yang diselenggarakan secara tetap setiap tahun, misalnya O-Bon matsuri yang biasanya diselenggarakan setiap 13-16 Juli sebagai matsuri yang diselenggarakan dengan tujuan untuk mengenang arwah leluhur dan orang-orang yang telah meninggal. O-Shogatsu, yaitu matsuri yang diselenggarakan dalam rangka perayaan tahun baru, dan matsuri lain-lainnya yang diselenggarakan secara periodik setiap tahun.

Matsuri bagi orang Jepang dianggap sebagai salah satu simbol dari kegiatan manusia untuk berkomunikasi dan melayani dewa. Dengan kata lain matsuri bagi orang Jepang dianggap sebagai jalan untuk bertemu dengan dewa.

Menurut (Kunio Yanagita) dewasa ini penyelenggaraan matsuri yang dilaksanakan oleh orang Jepang mengandung dua makna yaitu: (1)Nihon Jin Rashisa atau kekhasan orang Jepang dan kokoro zuku koto atau kesadaran yang selalu ada dalam jiwa orang Jepang. Maksud kekhasan dan kesadaran ini ada dalam diri orang Jepang karena dengan berbagai kegiatan masturi yang selalu mendampingi kehidupan orang Jepang yang tampak dalam penyelenggaraan matsuri yang bersifat ritual dan periodik yang di dalamnya mengandung unsur keagamaan, karena dilaksanakan dengan tujuan menyembah dewa dan juga untuk memohon kepada dewa bagi kesejahteraan, kebaikan dan dijauhkan dari marabahaaya.


(38)

Biasanya matsuri-matsuri yang di sebutkan di atas diselenggrakan di desa oleh anggota ie (sistem kekerabatan dalam masayarakat Jepang yang bentuknya mengambil keluarga besar yang anggotanya terdiri dari mereka yang masih mempunyai hubungan darah). Namun, akhir-akhir ini dengan bentuk keluarga kecil dan mereka akan tinggal terpencar, pelaksanaan matsuri dengan makna pertama ini mulai jarang ditemukan dalam keluarga-keluarga Jepang, khususnya masyarakat yang tinggal di kota-kota besar.

Makna ke dua dari penyelenggaraan matsuri dewasa ini adalah sebagai hiburan. Jenis matsuri ini berkembang di kota-kota besar maupun desa dan diselenggarakan oleh orang Jepang yang tinggal di kota dan diselenggarakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang tinggal dekat kuil. Namun, Kunio Yanagita menjelaskan bahwa matsuri yang bermakna hiburan ini tetap memiliki unsur ritual karena dalam penyelenggarannya masih menegakkan umbul-umbul sebagai pengganti sao yang mempunyai makna sebagai tangga tempat turun naiknya dewa pada saat matsuri berlangsung.

2.5.2 Makna simbolik

Kata simbol berasal dari Yunani, yaitu Symbolon yang berarti tanda pengenal, semboyan atau lencana. Bentuk simbol tidak hanya berupa benda kasat mata, namun juga berupa suatu peristiwa, ucapan dan tindakan seseorang. Gambar dan patung, dekorasi dan arsitektur, tempat beribadat, pembacaan ayat-ayat kitab suci dan doa, gerakan menyembah dan sikap mediasi, yang semuanya merupakan ungkapan keberagaman yang memakai simbol-simbol. Fungsi simbol adalah


(39)

untuk menuntun seseorang untuk memahami sesuatu yang tidak terjangkau oleh indera.

Menurut pendapat Folley (1997:26) mengatakan “A symbol is a sign in which the relationship between its form and meaning is stricly conventional, neither due to physical similarity or contextual constraints.”

Terjemahan :

Simbol adalah tanda dimana hubungan di antara bentuk dan artinya benar-benar sesuai dengan adat kebiasaan, bukan karena persamaan bentuk ataupun keterbatasan kontekstual.

Suatu objek dianggap sebagai simbol yang memiliki makna dalam suatu kelompok masyarakat, tetapi oleh kelompok masyarakat lainnya bisa saja objek yang sama tidak memiliki makna sama sekali. Begitu pula dengan Shinto, banyak benda yang dapat dinyatakan dengan Shinto. Tetapi simbol shinto yang paling dikenal adalah Torii.


(40)

BAB III

ANALISIS MAKNA SIMBOLIK TORII (PINTU GERBANG)

PADA KUIL SHINTO ITSUKUSHIMA

Gagasan pokok tentang manusia sebagai pencipta simbol-simbol atau fakta-fakta religius, baik tentang eksistensinya maupun pandangan manusia itu tentang dunia atau alam semesta ini. Pada dasarnya manusia adalah “homo religius” manusia agamis, yang menganggap bahwa hidupnya berada di dalam suatu alam yang sakral, penuh nilai-nilai religius yang ada dan tampak pada suatu alam yang sakral,alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang dan manusia. pengalaman dan penghayatan akan sakralitas inilah yang mempengaruhi dan menetukan corak serta cara hidup selanjutnya.

Yang paling penting adalah mengenai gagasan, yang lewat pengalaman empiris tidak dapat diwujudkan. Hal tersebut adalah masalah yang tidak dapat diterima secara objektif. Secara empiris tidak dapat dibuktikan, bahwa roh itu ada, bahwa surga itu ada atau neraka itu ada.

Aspek religi dalam pelaksanaan upacara di kalangan masyarakat Jepang menunjukkan unsur yang paling dominan dalam mewarnai jalannya upacara. Aktifitas religi ini memperlihatkan manusia dan dalam rasa saling meresapi dan oleh karena itu, kekuatan manusia dan Ilahi (kekuatan gaib) juga saling menyatu. Kekuatan gaib memberikan arah kepada kelakuan manusia dan semacam


(41)

aspek religi menunjukkan bahwa manusia sadar akan adanya kekuatan-kekuatan di luar dirinya, dengan kata lain kekuatan-kekuatan gaib itu tampak sebagai suatu kekuatan yang memberikan pengetahuan tentang dunia yaitu kekuatan-kekuatan alam.

Sistem kepercayaan, unsur sistem upacara dan kelompok-kelompok religius yang menganut sistem kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara religius jelas merupakan ciptaan dari hasil akal manusia. Religi sebagai suatu sistem merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi cahaya tuhan yang menjiwai dan membuatnya keramat tentunya bukan bagian dari kebudayaan.

Kegiatan upacara merupakan salah satu sarana sosialisasi bagi masyarakat atau dapat juga diartikan sebagai tingkah laku resmi yang berlaku untuk peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan sehari-hari akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan akan kekuatan diluar kemampuan manusia.

Banyak kegiatan ritual yang mempunyai makna simbolis. Sebagai contoh, menadahkan tangan pada waktu berdoa ini berarti mereka meminta kepada Tuhan, agar doa mereka dikabulakan sehingga diberikan kebahagiaan serta kesejahteraan bagi mereka dan nenek moyang yang telah meninggal. Rumbai diperuntukkan sebagai hiasan altar karena padi menurut kepercayaan setempat berasal dari penjelmaan wanita, bagi masyarakat yang mengikuti upacara harus berpakaian yang bersih, sederhana dan pantas, sebab pada waktu berdoa harus dalam keadaan bersih. Oleh karena itu bagi perempuan bila datang ke kuil harus dalam keadaan suci.


(42)

Upacara ritual yang memiliki makna simbolis, pertama kalinya untuk pertanian yang dilakukan dengan persembahan dan doa kepada dewa agar mereka diberi hasil panen yang melimpah. Kegiatan ini diiringi oleh tarian persembahan dan doa yang dilakukan disebuah tempat yang keramat. Sebagai ungkapan rasa syukur akan anugerah yang diberikan-Nya dan mencari perhatian para dewa tersebut.

Tujuan pelaksaan upacara ritual Shinto adalah pertama, untuk menghormati segala jenis dan bentuk kekuatan gaib di bumi, di matahari, di langit maupun dunia gaib lainnya. Kedua, untuk menghormati dan memohon kepada roh-roh leluhur atau dewa-dewa yang mendiami alam semesta yang masih dipercaya memberikan kesuburan tanah, melindungi tanaman dari hama, serta menjauhkan berbagai penyakit maupun mara bahaya bagi masyarakat dan dengan demikian hasil panen pun dapat berlimpah.

Sebagian mereka masih percaya adanya leluhur mereka, yang mereka sebut dengan Kami, yang mereka hormati melalui upacara dan festival yang dilakukan dengan berbagai macam kesenia tradisional yang ditunjukkan bersama dengan upacara ritual. Selain itu, mereka juga percaya adanya dewa penggangu yang selalu menggangu kehidupan manusia. kepercayaan yang demikian masih dianut oleh massyarakat. Oleh karena itu diadakan upacara untuk menghormati makhluk halus agar jangan menggangu masyarakat. Ini disebabkan karena mereka beranggapan bahwa segala benda atau makhluk di muka bumi ini diganggu oleh roh jahat.


(43)

3.1 Unsur-unsur pendukung torii kuil itsukushima

3.1.1 Bahan material

Pieken (1995:146) mengemukakan bahwa torii tertua terdapat di Ise. Pada zaman tersebut, torii terbuat dari hiroki atau pohon lainnya. Sejak zaman Nara, torii mulai dibuat dari batu dan dicat merah. Torii yang dibuat dari perunggu, besi dan bahkan porselen digunakan pada pemerintahan Tokugawa (1603-1867), walaupun terbukti tidak tahan lama. Oleh karena itu, agar dapat bertahan lama, di zaman sekarang torii terbuat dari bat antigempa dan kebakaran.

Kuil Tōso yang terdapat di kota

dengan industri barang pecah-belah, mempunyai torii yang dibuat dari

Kuil Hikō di kota

torii yang terbuat dari bahan logam ringa

3.1.2 Tempat

Air memenuhi seluruh alam semesta dan bangunaan makhluk hidup seluruhnya, khususnya manusia. Air yang memenuhi seluruh lingkungan negeri Jepang berhulu di gunung dan bermuara di laut. Gunung ditumbuhi hutan yang merupakan penampung air dalam gunung. Ritual pembersihan Jepang dengan air,


(44)

pohon (kayu), dan garam saling terkait secara fungsional menjadi yang sakral dan yang primodial bagi orang Jepang (Lawanda 2004:34)

Torii pada kuil Itsukushima tidak dibangun diatas tanah, melainkan diatas air. Karena tanah dianggap elemen yang kotor sedangkan air dianggap sebagai elemen yang bersih. Begitu erat hubungan antara Shinto dengan air sebagai media pemurnian. Seperti pada saat masyarakat Jepang mengunjungi kuil Shinto. Di luar pintu gerbang bagian dalam para pemuja mensucikan diri mereka sebelum masuk ke dalam kuil untuk berdoa. Dengan cara duduk, mereka mengambil air di dalam bak dengan menggunakan gayung yang terbuat dari batu. Dengan mencuci tangan bagian kiri terlebih dahulu dan kemudian tangan sebelah kanan, selanjutnya berkumur dan diakhiri dengan mencuci kaki.

Sama hal nya seperti dalam pertandingan sumo, para pesumo menaburkan garam pada arena pertandingan sumo sebelum melakukan pertandingan sumo. Ini juga bertujuan sebagai pemurnian dari pengaruh-pengaruh jahat. Garam juga di yakini dapat mengusir segala sesuatu yang buruk, sebab garam juga berasal dari air.

3.1.3 Arah

Sebagian orang mungkin binggung dengan berbagai variasi gaya arsitektur torii, tetapi dengan mempelajari beberapa perbedaan mendasar maka dapat dibedakan. Secara keseluruhan kuil dibangun menghadap timur, dan tidak pernah menghadap utara, karena bagian utara dianggap berhubungan dengan kematian dan juga dianggap membawa kesialan. Begitu juga dengan torii yang menghadap


(45)

ke timur maupun barat. Karena matahari akan terlihat seperti memasuki torii untuk menuju ke dalam kuil.

Timur dan barat dilambangkan seperti terbit dan tenggelamnya matahari dan sebagai penghormatan kepada dewa tertinggi bangsa Jepang yaitu Amaterasu Omi Kami sebagai dewa matahari. Dengan alasan inilah torii dibangun sebagai perwujudan yang mewakili simbol bahwa Kami akan ada di tempat tersebut.

3.1.4 warna

Sebagian besar torii dicat menggunakan warna merah. Namun ada juga yang dibiarkan menggunakan warna aslinya. Pada periode Heian (794-1185) warna merah pada torii terlihat mencolok, menunjukkan pengaruh selera China. Warna merah menurut kepercayaan China dipercaya akan membawa keberuntungan.

3.2 Makna simbolik torii

3.2.1 Menandai batas dari dunia manusia ke dunia Kami

Masyarakat Jepang percaya bahwa simbolisasi Jinja pada setiap titik alam tersebut merupakan kekuatan sakral yang membahayakan sekaligus juga perlindungan bagi manusia dan lingkungan. Pengetahuan ini diterima begitu saja dan menyerap dalam kehidupan orang Jepang serta menjadi bagian dari kegiatan hidup sehari-hari.


(46)

Torii merupakan gerbang yang didirikan di jalan masuk kuil yang berada di daerah yang dianggap keramat. Torii umumnya dibangun di wilayah di mana kami dipercayai bersemayam. Dalam Shintō, wilayah kuil dipercayai menjadi wilayah kekuasaan tempat kami yang disembah bersemayam. Memasuki kuil berarti memasuki wilayah kami. Ono (1998:28) memberikan pendapat bahwa torii adalah gerbang masuk ke kuil yang menjadi simbolisasi yang menandai wilayah kami dari area pemukiman atau dunia manusia. Umumnya wilayah kami tempat dibangunnya kuil dengan torii berada di kaki gunung atau bukit. Kadang terdapat torii yang diangun di pantai atau di danau. Itou (2013:208) menjelaskan secara singkat bahwa torii merupakan tempat hinggap yatagarasu yaitu gagak berkaki tiga, yang dalam legenda dianggap utusan Amaterasu Oomikami. Ada juga yang menyatakan bahwa torii merupakan tempat bertengger ayam, yang di legenda lain juga dianggap sebagai utusan Amaterasu karena melambangkan matahari.

Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan teori semiotika, torii memisahkan dari dunia manusia menjadi daerah yang disucikan. Kuil dianggap tempat bersemayam kami sekaligus wilayah suci, oleh karenanya kuil dibangun di tempat yang terpisah dari pemukiman manusia. Hal ini disebabkan karena pemukiman atau dalam hal ini dunia manusia mempunyai kegare. Kegare

merupakan ketidakmurnian atau polutan dalam Shintō. Abe (2003:4) menjelaskan secara lebih spesifik bahwa kami membenci kegare yang dianggap tabu dalam

kepercayaan Shintō. Beberapa contoh dari kegare adalah kematian, darah, dan penyakit. Kegare hanya terdapat di dunia manusia dan manusia dapat membawa kegare masuk ke dalam kuil. Untuk melindungi kuil, torii diletakkan di antara kuil dan lingkungan masyarakat sekitar. Dengan demikian torii menjadi penanda dan


(47)

menciptakan tempat terpisah di antara kuil dan pemukiman sekitar .Oleh karena itu, makna simbolik dari torii sebagai pembatas antara dunia kami dan dunia manusia.

Dari analisis di atas diambil sebuah kesimpulan bahwa torii berfungsi sebagai pembatas antara kuil dan pemukiman manusia. Fungsi torii menjadi demikian karena kuil menjadi persemayaman kami dan dalam Shintō, kami sangat membenci kegare. Torii digunakan untuk memisahkan kuil yang murni dan suci dari pemukiman manusia yang tidak murni serta dipenuhi kegare. Itu sebabnya torii menjadi pelindung kuil sehingga kegare tidak dapat memasuki bahkan mencemari kuil. Torii juga memiliki tujuan lain untuk mempermudah penyampaian pemahaman konsep mengenai kuil yang harus dilindungi dari kekotoran dengan memasang torii sebagai dinding pelindung kepada para penerima tanda.

3.2.2 Mengingatkan orang-orang akan kehadiran Kami di daerah

tersebut

Dewasa ini, orang-orang di Jepang memasang torii yang menandai kuil Shinto dalam skala kecil untuk mencegah orang membuang sampah sembarangan terutama di daerah perumahan dengan alasan dewa tetap mengetahui pelanggaran tersebut meski manusia tidak melihat. Caranya yaitu dengan memasang gerbang torii dengan ukuran kecil atau mini. Dikarenakan takut dewa murka, atau hanya


(48)

kebetulan, tetapi saat melihat torii di tempat yang tak terduga, mereka yang akan membuang sampah sembarangan langsung menghentikan niatnya. Rupanya masih ada beberapa yang percaya simbol Shinto tersebut memiliki pengaruh yang besar walaupun hanya berupa gambar. Selain itu, torii juga digunakan untuk mencegah kebiasaan buruk lainnya seperti buang air kecil sembarangan. Pasalnya, hal itu tidak cuma terjadi di pedesaan namun juga diperkotaan.


(49)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Disini penulis akan menyimpulkan beberapa hal yang telah dibicarakan pada pembahasan sebelumnya, antara lain:

1. Agama shinto adalah agama resmi di negara Jepang yang di proklamirkan sebagai agama negara pada tahun 1869. Menurut shinto roh-roh disebut kami. Diantara kami yang disembah itu ialah benda alam atau kekuatan alam seperti matahari, bulan, petir dan kilat. Disamping itu tiap-tiap keluarga menyembah roh leluhurnya sendiri yang dianggap sebagai kami pelindung rumah tangga.

2. Makna simbolik dari ritual shinto bertujuan untuk pensucian diri dan fikiran. Begitu juga yang dilakukan oleh masyarakat Jepang pada waktu mengunjungi kuil shinto. Di depan pintu masuk kuil terdapat gentong air, yang digunakan sebagai pensucian diri dari para pengunjung untuk membersihkan tangan kaki dan berkumur.

3. Bangunan atau tempat-tempat pemujaan shinto disebut jinja. Kuil shinto tidak memiliki tempat beribadat, bukan tempat untuk mendengarkan ceramah dan menyebarluaskan agama. Setelah kuil shinto dibuatkan bangunan permanen, para Kami sehari-harinya dipercaya selalu ada di dalam kuil.

4. Di Jepang dalam setahunnya terdapat banyak matsuri. Masing-masing wilayah mengadakan matsuri dalam bentuk dan skala yang berbeda-beda, namun


(50)

demikian makna diadakannya matsuri tersebut tetap sama,yaitu ungkapan terima kasih kepada dewa dan harapan keselamatan dari dewa. Matsuri tidak sepenuhnya dilakukan dengan serius dan khidmat, tetapi dilakukan dengan senang riang.

5. Torii adalah elemen pembentuk paling utama di kuil shinto karena sifatnya sebagai pembuka ritual. Torii berfungsi sebagai peralihan antara ruang profan dan sakral. Untuk melewati torii, orang harus melalui jalan setapak yang disebut sando. Torii berbentuk gerbang dengan 2 kolom penyangga dan minimal 2 balok pengikat.

6. Secara garis besar torii terbagi atas 2 bentuk yaitu bentuk shinmei dan bentuk myojin. Bentuk shinmei adalah bentuk yang paling sederhana dengan bagian yang lurus seperti kasagi, hashira dan nuki sedangkan myojin, memiliki bentuk kasagi dan shimaki yang melengkung ke atas.


(51)

4.2 Saran

Saran yang dapat penulis kemukakan dari permasalahan diatas adalah:

1. Sebaiknya kita sebagai generasi penerus bangsa Indonesia, harus mempertahankan kebudayaan tradisional dengan tetap menyelenggarakan berbagai kegiatan tradisional, baik perayaan pelestarian maupun penggunaan busana tradisional, sebagai mana halnya dengan bangsa

2. Jepang yang masih tetap mempertahankan tradisi. Meskipun banyak kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia, hendaknya dapat diterima dan disaring sehingga dapat memperkaya kebudayaan bangsa Indonesia sendiri.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Bagoes Mantra, Ida.2008. Filsafat Penelitian dan Metode Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Danim, Sudarman.2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia

Fridell, Wilbur M. 1906. Japanese Shrine Merger. Tokyo : Sophia Univer

Ginting, Paham.2006. Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian. Medan: Usu press

Hariyono, P.2006. Pemahaman Konstektual Tentang Ilmu Budaya Dasar. Yogyakarta: Kanisius

Hasibuan, Adriana. 1998. Tatanan Keluarga Tradisional Jepang Berdasarkan sistem IE (Karya Ilmiah), Medan : Usu Press

Hosoya, Masako.2006. Kumaya Kodou Michikusa Hitori Aru Ki. The Japan Foundation

Kedutaan Besar Jepang. 1985. Jepang Sebuah Pedoman Saku. Jakarta: Kedutaan

Lawanda, I.I. (2004). Matsuri: Upacara sosial masyarakat Jepang. Jakarta: Widya Weratama Besar Jepang

Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito

Ono, Dr. Sokyo. 2003. Shinto The Kami Way. Tokyo : Charles E. Tuttle

Pradopo, Rahmat Joko,2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Hanin Dita


(53)

Pieken, Stuart D.B, 1994. An Analytical Guide to Principal Teachings. London : Green wood

Rafiek, A.2012. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar.Yogyakarta : Aswaja Presindo

Ross, Floyd Hiatt. 1995. Shinto the Way of Japan. London : Greenwood press

Seiroku, Noma.1985. The Art of Japan Ancient And Medieval. Tokyo : Kodansha Internasional Ltd

Situmorang, Hamzon.2009. Ilmu Kejepangan 1. Medan : Usu press

Situmorang, Hamzon dan Rospita uli.2011.Telaah Budaya dan Masyarakat Jepang. Medan: Usu press

Sumber website :

http:// jepang.net/2011/06/torii-gerbang-kuil-itsukushima.html

http:// j-lovers-indo.blogspot.com/2012/09/gerbang-kuil-torii.html

http:// eonet.ne.jp/-limadaki/budaya/jepang/artikel/utama/agama_shinto.html

http://wikipedia.org/torii

http://noerhayati.wordpress.com/2008/09/24/agama-shinto-dan-ajarannya.html


(54)

Analisis makna simbolik torii (pintu gerbang) pada kuil Shinto

Itsukushima

Sepanjang sejarahnya Jepang telah menyerap banyak gagasan dari negara-negara lain, diantaranya adalah teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan kebudayaan lainnya. Jepang telah mengembangkan kebudayaan yang unik sambil mengintegrasikan masukan-masukan dari luar itu. Kita dapat melihat bahwa gaya hidup orang Jepang dewasa ini merupakan perpaduan budaya tradisional dibawah pengaruh Asia dan budaya moderen barat. Keanekaragaman kebudayaan Jepang juga dapat dilihat dari cara hidup masyarakatnya. Tetapi diantara keanekaragaman tersebut, kepercayaan atau agama Shinto yang hanya akan ditemukan di Jepang.

Shinto adalah kata majemuk daripada “shin” berarti roh dan “to” berarti jalan. Jadi shinto mempunyai arti jalannya roh, baik roh-roh yang meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “to” berdekatan dengan kata “tao” dalam taoisme yang berarti jalan dewa atau jalannya bumi dan langit. Sedang kata “shin atau shen” identik dengan kata “yin” dalam taoisme yang berarti gelap,basah, negatif dan sebagainya. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran shintoisme melainkan juga pemerintahnya yang harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang menjadikan pegangan hidup.Shinto pada mulanya merupakan kepercayaan yang muncul dengan sendirinya di kalangan rakyat Jepang. Kepercayaan ini beranggapan bahwa alam semesta di diami oleh banyak dewa. Di dalam agama shinto mengandung


(55)

kepercayaan bahwa kepulauan dan bangsa Jepang berasal dari Amaterasu Omi Kami yaitu dewa leluhur tertinggi bangsa Jepang. Shinto di kategorikan sebagai agama yang terbentuk di dalam masyarakat primitif Jepang. Di mulai dari zaman Yayoi dengan munculnya petani yang mengerjakan sawahnya secara menetap di daratan yang relatif agak tinggi, maka terbentuklah kelompok masyarakat. Kelompok ini mulai menyelenggarakan ritual-ritual yang bertujuan untuk mengharapkan panen padi yang melimpah.

Karena pengaruh agama shinto yang besar di Jepang membuat agama shinto pernah diproklamirkan menjadi agama nasional bangsa Jepang dan sekaligus sistem politis yang bersifat religius yang mengendalikan bangsa Jepang selama 80 tahun (1868-1945) dari masa modernisasi Meiji sampai Perang Dunia II yang kemudian lebih terkenal dengan kokka shinto (shinto negara). Kegiatan ibadah agama Shinto berlangsung di kuil yang disebut jinja, yaitu tempat peribadatan yang berfungsi untuk melakukan pemujaan terhadap dewa ataupun juga dapat digunakan sebagai tempat upacara lain.

Kuil Shinto atau jinja juga dikunjungi pada perayaan atau festival yang diadakan berdasarkan kalender Shinto. Kuil Itsukushima merupakan kuil Shinto yang terletak di pulau Itsukushima (pulau Miyajima) prefektur Hiroshima. Kuil ini didirikan lebih dari 1.400 tahun yang lalu. Kuil Itsukushima dibangun diatas air, sehingga tampak mengapung dan terpisah dari tanah karena air dianggap elemen suci, sedangkan tanah dianggap elemen yang kotor. Selain itu, untuk memasuki kuil juga harus mencuci tangan dan mulut dengan air. Ini adalah cara memurnikan diri sebelum berdoa kepada dewa. Alasan ini juga yang menggambarkan


(56)

kekotoran tidak boleh masuk. Termasuk wanita hamil, orang yang kerabatnya meninggal sebelum 1 tahun, dan orang yang sudah tua renta. Kuil Itsukushima memiliki pintu gerbang tradisional atau torii yang sangat terkenal. Torii atau pintu gerbang tradisional yang sering ditemukan di pintu masuk kuil Shinto. Torii ini memiliki tinggi 16 meter dengan warna orange menyala merupakan ciri khas kuil Itsukushima. Torii juga dibangun diatas air dengan alasan yang sama, yaitu memisahkannya dari tanah. Torii dianggap sebagai pembatas antara kawasan tempat tinggal dewa dengan manusia. Torii terlihat mengambang di tengah laut ketika air pasang, tetapi bisa dicapai dengan berjalan kaki ketika air surut.

Berdasarkan catatan kuno yang ditulis tahun 992, torii pertama kali ada pada pertengahan periode Heian. Torii batu pertama yang dibangun yaitu pada abad ke 12 di kuil Hachiman di Yamagata prefektur. Torii kayu tertua adalah Ryoubu di Kubo Hachiman Shrine di Yamanashi prefektur di bangun pada 1535. Bangunan torii di kuil Itsukushima telah ada sejak tahun 1168, tetapi torii yang ada sekarang merupakan bangunan tahun 1875.

Pada umumnya bangunan Torii terdiri dari dua batang tiang yang menopang dua batang palang yang berada di bagian atas bangunan. Palang bagian atas bisa terdiri dua buah palang yang bersusun, yakni palang Kasagi dan palang Shimagi, sedangkan palang bagian bawah disebut Nuki. Torii ada yang memiliki papan nama yang disebut Gakuzuka yang berada di antara palang Shimaki dan palang Nuki. Dilihat dari bentuknya, Torii secara garis besar dibagi menjadi dua bentuk: bentuk Shinmei (shinmei torii) dan bentuk Myōjin (myōjin torii) yang merupakan bentuk dasar dari berbagai jenis bentuk Torii. Torii yang didirikan di kuil Shinto


(57)

banyak yang merupakan sumbangan dari pengikut kuil tersebut, sehingga bentuk Torii juga tergantung pada selera orang yang menyumbang.


(58)

厳島神社にある鳥居の記号論の意味の分析

その歴史の中で日本は技術、習慣、文化的表現の形態、他のような他の国 からアイデアを吸収した。外部からの入力を統合しながら、日本は独自の 文化を開発した。日本の生活は本日に、アジアと西洋の現代文化の影響を

受けて伝統文化のブレンドであることがわかる。 日本文化の多様性が社

会での生き方から見られる。しかし、その多様性の中で、日本に発見され

た宗教は神道だけである。神道は“神”の神と“道”の道の漢字からきた。

だから、神道は天と地にある霊と故人の霊の道という意味をもつ。”と”の

ことば神の道という意味をまつ"タオ"の近くにちかい。しん戸しぇんの言

葉は否定的、暗いという意味をもつインの近くにちかい。神道を守らなけ ればならない人は日本社会だけでわなく、政府もこの宗教を守らなければ ならない。神道は、むかしからの宗教的な哲学野伝ととしてライフライン になる。最初は神道が日本社会にある信念としてである。この信念は、宇 宙に多くの神々が住んでいることを思う。神道には日本列島が最高祖先の 天照おみ神から作られたという信念を信。神道は、日本原始社会に形成さ れた宗教の分類である。弥生時代に始められて、高いちほうで田をする農 民がいるので社会グルップを結成した。このグループは、多くの米を収穫 するために、儀式を行って始まった。日本に神道の大影響で、日本の国民 宗教になることが一度宣言した。または80年間に宗教的な政治で日本を 制御する。現代的の明治時代から第二次世界大戦まで国家神道に知られる。 儀式をするとか神様に祈りをするとかのような神道宗教の活度は神社とい


(59)

う礼拝場所におこなう。神社が神道のカレンダーによるの行われた祭りの 時にも訪問された。日本の神社の一つは、厳島神社である。厳島神社は厳

島(宮島)広島県の島に位置神社である。この神社は、1,400 年前に建て

られた。つちが汚い要素をかんっがえられているが水は神聖な要素をかん っがえられるので、厳島神社は水の上に建てられて、浮遊物に見られて土 と話された。また、神社を入る前に手と口を水で洗わなければならない。 これは神に祈りをする前に自分を浄化するの方法である。これは汚れが入

れないという意味を描く。妊娠中の女性、その親族は 1 年前に死亡した

人々、そして高齢者も含む。

厳島神社は、ゆ名な鳥居を持つ。鳥居は神社の入り口にある伝統ゲ

ートである。この鳥居は、16 メートルの高さを持って、オレンジ色を持

つ。 鳥居が水とつちを別れるための理由で水の上にたてられた。 鳥居が

人間の居住と神々の教授間に制限として信じている。鳥居は海潮に浮かん

で見られるが、水が後退する時に歩いていける。992 で書かれた古代の記

録に基づいて、中期平安時代にそこ初めて鳥居。最初の立てられた石鳥居 は山形県の八幡神社で建てられた。最古の木造鳥居は、1535年に山梨 県でりょうぶ神社の鳥居だった。厳島神社にある鳥居は1168年から立 てられた画、げんだいの鳥居が1875年に立てられたものである。一般


(60)

する 2つの柱で構成されている。上部に二つのかさぎとしまぎとという柱 で重ねられて、下部にぬきとよばれる。

ぬきと島木の柱の間に、額図化という名札がある。形状から判断すると、 鳥居は、大きく二つの形式に分け:神明(神明鳥居)とフォーム鳥居の 様 々 な 種 類 の 基 本 的 な 形 で あ る 明 神 ( 明 神 鳥 居 ) を 形 成 す る 。 鳥居神社は寺の信者から寄贈されることが多くて、そのように鳥居の形状 も寄付する人の好みに依存する。


(1)

kepercayaan bahwa kepulauan dan bangsa Jepang berasal dari Amaterasu Omi Kami yaitu dewa leluhur tertinggi bangsa Jepang. Shinto di kategorikan sebagai agama yang terbentuk di dalam masyarakat primitif Jepang. Di mulai dari zaman Yayoi dengan munculnya petani yang mengerjakan sawahnya secara menetap di daratan yang relatif agak tinggi, maka terbentuklah kelompok masyarakat. Kelompok ini mulai menyelenggarakan ritual-ritual yang bertujuan untuk mengharapkan panen padi yang melimpah.

Karena pengaruh agama shinto yang besar di Jepang membuat agama shinto pernah diproklamirkan menjadi agama nasional bangsa Jepang dan sekaligus sistem politis yang bersifat religius yang mengendalikan bangsa Jepang selama 80 tahun (1868-1945) dari masa modernisasi Meiji sampai Perang Dunia II yang kemudian lebih terkenal dengan kokka shinto (shinto negara). Kegiatan ibadah agama Shinto berlangsung di kuil yang disebut jinja, yaitu tempat peribadatan yang berfungsi untuk melakukan pemujaan terhadap dewa ataupun juga dapat digunakan sebagai tempat upacara lain.

Kuil Shinto atau jinja juga dikunjungi pada perayaan atau festival yang diadakan berdasarkan kalender Shinto. Kuil Itsukushima merupakan kuil Shinto yang terletak di pulau Itsukushima (pulau Miyajima) prefektur Hiroshima. Kuil ini didirikan lebih dari 1.400 tahun yang lalu. Kuil Itsukushima dibangun diatas air, sehingga tampak mengapung dan terpisah dari tanah karena air dianggap elemen suci, sedangkan tanah dianggap elemen yang kotor. Selain itu, untuk memasuki kuil juga harus mencuci tangan dan mulut dengan air. Ini adalah cara memurnikan diri sebelum berdoa kepada dewa. Alasan ini juga yang menggambarkan


(2)

kekotoran tidak boleh masuk. Termasuk wanita hamil, orang yang kerabatnya meninggal sebelum 1 tahun, dan orang yang sudah tua renta. Kuil Itsukushima memiliki pintu gerbang tradisional atau torii yang sangat terkenal. Torii atau pintu gerbang tradisional yang sering ditemukan di pintu masuk kuil Shinto. Torii ini memiliki tinggi 16 meter dengan warna orange menyala merupakan ciri khas kuil Itsukushima. Torii juga dibangun diatas air dengan alasan yang sama, yaitu memisahkannya dari tanah. Torii dianggap sebagai pembatas antara kawasan tempat tinggal dewa dengan manusia. Torii terlihat mengambang di tengah laut ketika air pasang, tetapi bisa dicapai dengan berjalan kaki ketika air surut.

Berdasarkan catatan kuno yang ditulis tahun 992, torii pertama kali ada pada pertengahan periode Heian. Torii batu pertama yang dibangun yaitu pada abad ke 12 di kuil Hachiman di Yamagata prefektur. Torii kayu tertua adalah Ryoubu di Kubo Hachiman Shrine di Yamanashi prefektur di bangun pada 1535. Bangunan torii di kuil Itsukushima telah ada sejak tahun 1168, tetapi torii yang ada sekarang merupakan bangunan tahun 1875.

Pada umumnya bangunan Torii terdiri dari dua batang tiang yang menopang dua batang palang yang berada di bagian atas bangunan. Palang bagian atas bisa terdiri dua buah palang yang bersusun, yakni palang Kasagi dan palang Shimagi, sedangkan palang bagian bawah disebut Nuki. Torii ada yang memiliki papan nama yang disebut Gakuzuka yang berada di antara palang Shimaki dan palang Nuki. Dilihat dari bentuknya, Torii secara garis besar dibagi menjadi dua bentuk: bentuk Shinmei (shinmei torii) dan bentuk Myōjin (myōjin torii) yang merupakan bentuk dasar dari berbagai jenis bentuk Torii. Torii yang didirikan di kuil Shinto


(3)

banyak yang merupakan sumbangan dari pengikut kuil tersebut, sehingga bentuk Torii juga tergantung pada selera orang yang menyumbang.


(4)

厳島神社にある鳥居の記号論の意味の分析

その歴史の中で日本は技術、習慣、文化的表現の形態、他のような他の国 からアイデアを吸収した。外部からの入力を統合しながら、日本は独自の 文化を開発した。日本の生活は本日に、アジアと西洋の現代文化の影響を 受けて伝統文化のブレンドであることがわかる。 日本文化の多様性が社 会での生き方から見られる。しかし、その多様性の中で、日本に発見され た宗教は神道だけである。神道は“神”の神と“道”の道の漢字からきた。 だから、神道は天と地にある霊と故人の霊の道という意味をもつ。”と”の ことば神の道という意味をまつ"タオ"の近くにちかい。しん戸しぇんの言 葉は否定的、暗いという意味をもつインの近くにちかい。神道を守らなけ ればならない人は日本社会だけでわなく、政府もこの宗教を守らなければ ならない。神道は、むかしからの宗教的な哲学野伝ととしてライフライン になる。最初は神道が日本社会にある信念としてである。この信念は、宇 宙に多くの神々が住んでいることを思う。神道には日本列島が最高祖先の 天照おみ神から作られたという信念を信。神道は、日本原始社会に形成さ れた宗教の分類である。弥生時代に始められて、高いちほうで田をする農 民がいるので社会グルップを結成した。このグループは、多くの米を収穫 するために、儀式を行って始まった。日本に神道の大影響で、日本の国民 宗教になることが一度宣言した。または80年間に宗教的な政治で日本を 制御する。現代的の明治時代から第二次世界大戦まで国家神道に知られる。


(5)

う礼拝場所におこなう。神社が神道のカレンダーによるの行われた祭りの 時にも訪問された。日本の神社の一つは、厳島神社である。厳島神社は厳 島(宮島)広島県の島に位置神社である。この神社は、1,400 年前に建て られた。つちが汚い要素をかんっがえられているが水は神聖な要素をかん っがえられるので、厳島神社は水の上に建てられて、浮遊物に見られて土 と話された。また、神社を入る前に手と口を水で洗わなければならない。 これは神に祈りをする前に自分を浄化するの方法である。これは汚れが入 れないという意味を描く。妊娠中の女性、その親族は 1 年前に死亡した 人々、そして高齢者も含む。

厳島神社は、ゆ名な鳥居を持つ。鳥居は神社の入り口にある伝統ゲ ートである。この鳥居は、16 メートルの高さを持って、オレンジ色を持 つ。 鳥居が水とつちを別れるための理由で水の上にたてられた。 鳥居が 人間の居住と神々の教授間に制限として信じている。鳥居は海潮に浮かん で見られるが、水が後退する時に歩いていける。992 で書かれた古代の記 録に基づいて、中期平安時代にそこ初めて鳥居。最初の立てられた石鳥居 は山形県の八幡神社で建てられた。最古の木造鳥居は、1535年に山梨 県でりょうぶ神社の鳥居だった。厳島神社にある鳥居は1168年から立 てられた画、げんだいの鳥居が1875年に立てられたものである。一般 的には、鳥居の建物は、建物の上部にある二つのロッド·バーをサポート


(6)

する 2つの柱で構成されている。上部に二つのかさぎとしまぎとという柱 で重ねられて、下部にぬきとよばれる。

ぬきと島木の柱の間に、額図化という名札がある。形状から判断すると、 鳥居は、大きく二つの形式に分け:神明(神明鳥居)とフォーム鳥居の 様 々 な 種 類 の 基 本 的 な 形 で あ る 明 神 ( 明 神 鳥 居 ) を 形 成 す る 。 鳥居神社は寺の信者から寄贈されることが多くて、そのように鳥居の形状 も寄付する人の好みに依存する。