Analisis Makna Simbolik Torii (Pintu Gerbang) pada Kuil Shinto Itsukushima

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KUIL SHINTO ITSUKUSHIMA DAN TORII

2.1 Shinto

Agama Shinto adalah agama resmi di negara Jepang yang diproklamirkan sebagai agama negara pada tahun 1869. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah beradab-abad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul dari mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama ilmiah. Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Budha ke Jepang pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebutkan kepercayaan asli bangsa Jepang. Selama berabad-abad antara agama Shinto berada dibawah pengaruh kekuasaan agama Budha. Hingga berdampak munculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Budha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Budha kedalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara keagamaan bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi agama Budha. Patung-patung dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci


(2)

agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasaan warna-warni yang mencolok.

Shinto adalah kata majemuk daripada “shin” berarti roh dan “to” berarti jalan. Jadi Shinto mempunyai arti jalannya roh, baik roh-roh yang meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “to” berdekatan dengan kata “tao” dalam taoisme yang berarti jalan dewa atau jalannya bumi dan langit. Sedang kata “shin atau shen” identik dengan kata “yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya. Dengan melihat hubungan nama Shinto ini, maka kemungkinan besar shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang menjadikan pegangan hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran shintoisme melainkan juga pemerintahnya yang harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.(wikipedia)

Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam, mempercayai bahwa semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara. Semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan penganut Shinto, daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “kami”. Istilah kami dalam agama Shinto dapat diartikan dengan diatas atau unggul. Sehingga apabila dimaksud untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata kami dapat diaalih bahasakan menjadi dewa atau tuhan.


(3)

Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas,bahkan senantiasa bertambah. Hal ini diungkap dalam istilah “yao-yarozuno kami” yang berarti delapan miliun dewa. Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap terbilangnya tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah. Oleh sebab itu angka-angka seperti 8,80,180,50,10,100,500 dan seterusnya dianggap sebagai angka-angka dengan bilangannya yang sangat besar maka bilangan itu juga menunjukkan sifat dan keagungan kami.

Orang Jepang mengakui adanya dewa bumi dan dewa langit (dewa surgawi) dan dewa yang tertinggi adalah dewa matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan pemberi kemakmuran dan kesejahteraan hidup, mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakan, yakni roh-roh jahat yang disebut dengan aragami yang berarti ruh yang ganas dan jahat.

Dalam agama Shinto ada 2 kitab suci yang tertulis tetapi disusun sepuluh abad sepeninggalan Jimmu Tenno (660 SM), kaisar Jepang yang pertama. Dan 2 buah lagi disusun pada masa yang lebih belakangan, keempat kitab itu adalah sebagai berikut: (1) Kojiki yaitu catatan pertama yang mencatat peristiwa-peristiwa purbakala. Disusun pada tahun 712 masehi, sesudah kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara, yang ibukota Nara itu dibangun pada tahun 710 masehi menurut model ibukota Changan di Tiongkok. (2) Nihonji berisi tentang riwayat Jepang. Disusun pada tahun 720 masehi oleh penulis yang sama dengan di bantu oleh sang pangeran di istana. (3) Yeghisiki berasal dari berbagai lembaga pada masa Yengi, kitab ini disusun pada tahun kesepuluh masehi terdiri atas 50 bab. 10


(4)

bab pertama ulasan kisah-kisah yang bersifat kultus, disusuli dengan peristiwa selanjutnya sampai abad kesepuluh masehi, tetapi inti isinya adalah 25 norito yakni doa-doa pujaan yang panjang pada berbagai upacara keagamaan. (4) Manyosiu yaitu himpunan sepuluh ribu daun, berisikan bunga rampai yang terdiri atas 4496 buah sajak, disusun antara abad ke lima dengan abad ke 8 masehi. (agama2minorshiro.blogspot.com)

2.2 Ritual Shinto

Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dengan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri yaitu penyucian (harae), persembahan, pembacaan doa (norito) dan pesta makan. Matsuri alam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk kigansai (permohonan secara individual kepada jinja atau kuil untuk didoakan. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Ritual Shinto biasanya hanya satu bagian dari jenis festival publik yang besar disebut matsuri, yang merupakan jenis utama dari perayaan Shinto. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam sesuai dengan tujuan penyelenggaraan


(5)

matsuri. Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan mikoshi, dashi (danjiri) dan yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan yang berisi kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai chigo (anak kecil dalam prosesi), miko (anak gadis pelaksana ritual), tekomai (laki-laki berpakaian wanita), hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar kaget beraneka ragam makanaan dan permainan.

2.3 kuil shinto

Kuil Shinto menganut konsep kebebasan yaitu bebas dari simbol dan doktrin agama. Siapapun bisa bebas untuk berkunjung tanpa ada kewajiban untuk harus berdoa. Berbeda dengan kuil Budha atau Tera yang cenderung megah dengan ornamen dan koleksi barang berharga dan barang seni yang melimpah. Kuil Shinto atau jinja cenderung sebaliknya. Bangunannya cenderung sangat sederhana dan menyatu dengan alam. Dalam altar utama hampir kosong melompong, tidak ada arca, patung atau tidak ada benda apapun yang harus disembah sebagai penyebutan tuhan.

Menurut Almanak Agama (Shūkyō Nenkan) tahun 1992 yang diterbitkan berbentuk yayasan keagamaan. Asosiasi ini juga dijadikan tempat bernaung 38 organisasi keagamaan, 9 badan keagamaan, 20.336 instruktur keagamaan, dan 82.631.196 penganut Shinto.


(6)

Berdasarkan alasan pendirian bangunan, kuil Shinto dibagi menjadi tiga jenis: (1) bangunan kuil yang didirikan berdasarkan alasan sejarah (seperti di tempat yang berkaitan dengan kelahiran sebuah klan, atau di tempat yang berkaitan dengan tokoh yang disucikan, misalnya bangunan kuil yang didirikan di tempat yang telah disucikan, dan (3) bangunan kuil yang didirikan di tempat yang mudah dicapai orang, misalnya yang mudah didatangi. Bangunan kuil dapat dibangun di mana saja, mulai dari di tengah laut, di puncak gunung, hingga di atap gedung bertingkat atau di dalam rumah dalam bent

Daftar bangunan dan benda-benda yang dapat ditemukan di kuil shinto diantara nya : (1) torii (pintu gerbang), (2) sando (jalan masuk menuju kompleks

kuil), (3)

diletakkan di depan kuil), (5) chozuya (tempat air mengalir), (6) heiden (ruang persembahan), (7) sheisen (makanan persembahan), (8) honden ( bagian dalam dekat dengan altar), (9) kaguraden (10) maidono (11) emadon (12) sesha dan masha ( bangunan kuil sekunder), (13) shamusho.

Pada umumnya, kuil di Jepang dibangun dari kayu oleh miyadaiku Jepang. Walaupun dari luar terlihat seperti bangunan tradisional Jepang, kuil Shinto zaman sekarang dibangun dengan teknologi konstruksi modern berdasarkan standar bangunan antigempa dan antikebakaran, termasuk penggunaa


(7)

2.4 Torii

Torii merupakan gerbang yang didirikan di jalan masuk kuil yang berada di daerah yang dianggap keramat. Takemura (2010:12) menjelaskan dengan lebih detail bahwa torii umumnya dibangun di wilayah di mana kami dipercayai bersemayam. Dalam Shintō, wilayah kuil dipercayai menjadi wilayah kekuasaan tempat kami yang disembah bersemayam. Memasuki kuil berarti memasuki wilayah kami.

Ono (1998:28) memberikan pendapat bahwa torii adalah gerbang masuk ke kuil yang menjadi simbolisasi yang menandai wilayah kami dari area pemukiman atau dunia manusia. Umumnya wilayah kami tempat dibangunnya kuil dengan torii berada di kaki gunung atau bukit. Kadang terdapat torii yang diangun di pantai atau di danau.

Kuil dianggap tempat bersemayam kami sekaligus wilayah suci, oleh karenanya kuil dibangun di tempat yang terpisah dari pemukiman manusia. Hal ini disebabkan karena pemukiman atau dalam hal ini dunia manusia mempunyai kegare. Kegare merupakan ketidakmurnian atau polutan dalam Shintō. Abe (2003:4) menjelaskan secara lebih spesifik bahwa kami membenci kegare yang dianggap tabu dalam kepercayaan Shintō. Beberapa contoh dari kegare adalah kematian, darah, dan penyakit. Kegare hanya terdapat di dunia manusia dan manusia dapat membawa kegare masuk ke dalam kuil. Untuk melindungi kuil, torii diletakkan di antara kuil dan lingkungan masyarakat sekitar. Dengan demikian torii menjadi penanda dan menciptakan tempat terpisah di antara kuil dan pemukiman sekitar.


(8)

2.4.1 Bentuk-bentuk torii

Pada tahun 1884 penggunaan torii secara resmi dibatasi oleh hukum, hanya kuil Shinto dan tempat-tempat suci tertentu yang dapat menggunakannya sebagai pintu gerbang. Namun sekarang torii dapat ditemui di kaki pohon atau di samping batu dan beberapa kuburan. Torii bukan hanya pintu gerbang semata, tetapi secara simbolis menandai masuk ke dalam kawasan kami. Dilihat dari bentuknya, secara garis besar torii terbagi atas 2,yaitu : (1) bentuk shinmei, (2) bentuk myojin.

2.4.1.1 Bentuk shinmei

Diyakini torii jenis ini merupakan gaya torii tertua. Bentuk shinmei merupakan bentuk torii yang paling sederhana. Hanya terdiri dari palang (kasagi), dua pilar (hashira) dan disatukan oleh balok (nuki)

2.4.1.1.1 Ise torii

Torii jenis ini dapat ditemukan di kuil Ise, disebut juga jingu torii karena diadaptasi dari nama resmi kuil Ise Grand Shrine di Prefektur Mie. Semua torii Ise dibangun setelah abad ke 14. Dan sangat populer pada awal abad ke 20 karena dianggap tertua dan paling bergengsi.

2.4.1.1.2 Kashima torii

Gaya Kashima dikaitkan dengan Jingu Kashima di Ibaraki. Hal ini juga sering ditemukan di daerah sekitar Jingu Kashima.


(9)

2.4.1.1.3 kasuga torii

Kasuga torii adalah torii pertama yang akan dicat merah dan yang pertama dilihat di shimagi Kasuga taisha. Dengan nuki ganda terjepit melewati Hashira tersebut. Kuil dipengaruhi dekorasi China sampai tahun 768.

2.4.1.1.4 Hachiman torii

Gaya hachiman berasal selama periode Heian (794-1185) dan dimodelkan pada Kasuga torii. Kasagi dan shimagi yang dipotong miring. Tidak semua kuil hachiman, memiliki torii hachiman. Banyak memiliki torii ryoubu.

2.4.1.1.5 kuroki torii

Torii shinmei yang terbuat dari kulit kayu "Pohon liar" atau kayu yang paling primitif dan sederhana.Karena jenis torii ini memerlukan pergantian pada interval tiga tahun, hal ini yang menjadikan torii jenis ini langka. Contoh yang paling terkenal adalah Nonomiya jinja di Kyoto. Kuil yang ditunjuk untuk menyembah Amaterasu oleh putri kerajaan. Namun sekarang, kuil ini menggunakan torii yang terbuat dari bahan sintetis yang menirukan tampilan kayu.

2.4.1.1.6 shiromaruta torii

Torii shinmei yang dibuat menggunakan kayu tetapi telah membuang kulit bagian luarnya. Torii jenis ini dapat ditemukan pada semua makam-makam kaisar Jepang.


(10)

Desain ini terdiri dari tiga Kasuga torii untuk menghasilkan tiga kaki (sankyaku) torii. Contoh terbaik ditemukan pada sebidang tanah kecil di samping kolam Kijima jinja di laut Kyoto. Contoh lain terdapat di lingkungan Ukyo dari Kyoto di jinja Konoshima. Gaya ini kadang-kadang dikenal sebagai sanchu.

2.4.1.2 Bentuk Myojin

Bentuk myojin merupakan bentuk torii dengan ornamen dan garis-garis melengkung. Dengan dua palang dibagian atas terdiri dari palang kasagi dan palang shimaki yang bersusun. Sementara palang bagian bawah disebut nuki. Kedua palang penopang didirikan tidak tegak lurus dengan lurus dgn tanah tetapi sedikit miring.

2.4.1.2.1 nakayama torii

Nakayama torii tidak terkenal. Mengambil nama dari Nakayama Jinja di Prefektur Okayama.. Tinggi torii lebih dari 9 meter dan dibangun pada 1791. Kasagi dan shimagi melengkung, tapi nuki tidak menembus dengan Hashira. Honden ini selesai pada tahun 1559.

2.4.1.2.2 daiwa atau inari torii

Pertama kali muncul selama periode Heian akhir. Torii myojin dengan dua cincin disebut daiwa. Nama inari torii berasal dari fakta bahwa torii ini cenderung berada di Inari kuil. Fushimi Inari jinja di Kyoto terkenal dengan sejumlah torii dalam pekarangannya, tetapi hanya beberapa yang benar-benar inari.


(11)

Gaya ini dikaitkan dengan Shinto dan khas karena memiliki dukungan tambahan di depan dan di belakang Hashira tersebut. Hal ini juga disebut yotsuasi torii (torii berkaki empat), Gongen sode (lengan), atau chigobashira torii. Contoh terbaik sering terlihat di brosur adalah torii kuil Itsukushima di pulau suci Miyajima. Dibangun kembali pada tahun 1875 lalu, ia berdiri di laut dan tingginya 18 meter.

2.4.1.2.4 miwa torii

Disebut juga sanko torii, mitsutorii, atau komochi torii. Terdiri dari tiga myojin torii tanpa kemiringan pilar. Ini berasal dari abad kedua belas dan ditemukan dengan atau tanpa pintu. Kami yang diabadikan dari jinja Omiwa adalah Omononishi-no-Mikoto, Kami penjaga. Yang paling terkenal adalah di kuil Omiwa di Nara.

2.4.1.2.5 nune torii

Tidak ada spesimen ini ada pada saat ini, tetapi sering ditemukan dalam seni dan dianggap sangat tidak biasa. Hal ini mirip dengan Inari dengan penambahan dua pos miring membangun untuk gakuzuka tersebut.

2.4.1.2.6 sanno torii

Gaya sanno tidak biasa karena memuncak pada puncaknya (gashho) di atas Kasagi tersebut. Memiliki penutup hujan disebut urako dengan Tokin di atas, seperti topi yang dikenakan oleh Yamabushi. Contoh terbaik adalah di Hie jinja dekat Danau Biwa.Hal ini kadang-kadang disebut sogo (sintetis), gashho, atau torii Hie.


(12)

2.4.1.2.8 hizen torii

Jenis torii yang tidak biasa dengan kasagi bulat dan pilar ke bawah. Contoh dari torii hizen adalah torii di Chiriku Hachimangu di Saga prefektur (Picken, 1995: 148-160)

2.5 konsep makna simbolik berdasarkan religi shintoisme

2.5.1 konsep shinto

Ono (1998:3) menjelaskan bahwa Shinto berbeda dengan agama lainnya karena Shinto tidak memiliki pendiri dan tidak memiliki kitab suci. Penganut aliran Shinto percaya dengan keberadaan roh leluhur dan banyak dewa. Dewa dalam Shinto dikenal dengan kami. Ono (1998:6) mengemukakan bahwa yang disebut dengan kami adalah sebagai berikut:

Kami are the object of worship shinto. What is meant by kami.? Fundamentally, the term is an honorific for noble, sacred spirits, which implies a sense of adoration for their virtues and authority.

Terjemahan :

Kami merupakan objek penyembahan dalam Shinto. Apakah yang disebut dengan kami? Pada dasarnya, istilah ini adalah sebutan kehormatan untuk roh-roh suci yang mulia, yang menunjukkan rasa kekaguman bagi kebaikan dan kekuasaan mereka.

Keyakinan dalam memuja dewa-dewa ini telah ditetapkan dalam komponen yang harus tetap dijaga oleh masyarakat akan kelangsungannya, yang


(13)

terdiri atas empat konsep dalam pelestarian ajaran Shinto yaitu: tradisi dan keluarga, pelestarian alam, kebersihan jasmani dan matsuri.

2.5.1.1 Tradisi dan keluarga

Keluarga merupakan alat yang utama yang melakukan tradisi. Kegiatan utama mereka berhubungan dengan kelahiran dan pernikahan. Istilah keluarga dalam bahasa jepang dikenal dengan kazoku. Menurut Morioko Kyomi (dalam Adriana Hasibuan, 1998:7) keluarga adalah kelompok yang membentuk hubungan saudara dekat, seperti hubungan kakak beradik, orang tua dan anak, serta suami istri sebagai dasar pembentukan dan didukung oleh rasa kesatuan dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan.

2.5.1.2 Pelestarian Alam

Shinto adalah Pemuja Alam. Hal ini bisa dilihat dari tradisi Shinto yang memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada alam. Pohon besar misalnya tidak boleh sembarangan ditebang karena percaya ada Kami yang berdiam di dalamnya. Kebanyakan penduduk jaman dulu akan taat dan tidak merusak tempat alam atau bahkan terkadang jalan tanpa melewati hutan, gunung bahkan pulau tertentu karena dipercaya adanya Kami yang bersemayam di tempat tersebut. Salah satu contoh kecil dari penghormatan yang tinggi kepada tumbuhan adalah pada saat makan, yaitu hormat terhadap makanan khususnya beras. Sehingga hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang Jepang yang anti untuk menyisakan nasi bahkan dimakan sampai butir terakhir karena dianggap tidak menghormati roh yang hidup di dalamnya. Dengan konsep kepercayaan yang


(14)

sangat sederhana seperti ini bisa dibilang mereka cukup termasuk sukses menjaga kelestarian alamnya. Kuil Shinto juga umumnya selalu dipenuhi dengan sejumlah pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun. Bukan pemandangan yang aneh di negara Jepang jika melihat sebuah pohon besar yang tumbuh gagah tepat di tengah jalan, tanpa ada yang berani atau berniat menggusurnya.

2.5.1.3 Kebersihan Jasmani

Kebersihan tubuh dan pikiran sangat penting terutama jika ingin melakukan aktifitas keagamaan, karena para kami sangat membenci ketidaksucian lebih dari apapun. Ketidaksucian atau pencemaran dalam shinto diartikan sebagai kagare, misalnya kematian, darah, penyakit, bencana atau kesialan. Untuk menghilangkan kagare dilakukan harae dan misogi. Misogi dilakukan di tempat-tempat yang dianggap suci bagi dewa air seperti pantai, danau, dan sungai.

2.5.1.4 Matsuri

Penyelenggaraan matsuri berdasarkan bentuknya dapat digolongkan menjadi dua kategori: pertama yaitu matsuri yang diselenggarakan secara aksidental yang lebih dikenal dengan istilah ninigire. Ninigire merupakan kegiatan matsuri yang diselenggarakan sesuai permintaan atau permohonan, misalnya ketika kelahiran seorang anak, maka orangtua akan pergi ke kuil untuk melaksanakan matsuri dengan tujuan agar anak itu akan menjadi anak yang baik. Matsuri juga diselenggarakan dengan tujuan agar terhindar dari segala

marabahaya, matsuri yang diselenggarakan ketika terjadi kekeringan yang menyebabkan gagal panen dengan tujuan untuk minta hujan, dan masih banyak lagi matsuri yang diselengarakan secara ninigire. Biasanya matsuri ini


(15)

diselenggarakan di kuil-kuil atau di tempat lain. Kategori kedua, matsuri yang diselenggarakan secara periodik atau dikenal dengan nenchugyoji, yaitu matsuri yang diselenggarakan secara tetap setiap tahun, misalnya O-Bon matsuri yang biasanya diselenggarakan setiap 13-16 Juli sebagai matsuri yang diselenggarakan dengan tujuan untuk mengenang arwah leluhur dan orang-orang yang telah meninggal. O-Shogatsu, yaitu matsuri yang diselenggarakan dalam rangka perayaan tahun baru, dan matsuri lain-lainnya yang diselenggarakan secara periodik setiap tahun.

Matsuri bagi orang Jepang dianggap sebagai salah satu simbol dari kegiatan manusia untuk berkomunikasi dan melayani dewa. Dengan kata lain matsuri bagi orang Jepang dianggap sebagai jalan untuk bertemu dengan dewa.

Menurut (Kunio Yanagita) dewasa ini penyelenggaraan matsuri yang dilaksanakan oleh orang Jepang mengandung dua makna yaitu: (1)Nihon Jin Rashisa atau kekhasan orang Jepang dan kokoro zuku koto atau kesadaran yang selalu ada dalam jiwa orang Jepang. Maksud kekhasan dan kesadaran ini ada dalam diri orang Jepang karena dengan berbagai kegiatan masturi yang selalu mendampingi kehidupan orang Jepang yang tampak dalam penyelenggaraan matsuri yang bersifat ritual dan periodik yang di dalamnya mengandung unsur keagamaan, karena dilaksanakan dengan tujuan menyembah dewa dan juga untuk memohon kepada dewa bagi kesejahteraan, kebaikan dan dijauhkan dari marabahaaya.


(16)

Biasanya matsuri-matsuri yang di sebutkan di atas diselenggrakan di desa oleh anggota ie (sistem kekerabatan dalam masayarakat Jepang yang bentuknya mengambil keluarga besar yang anggotanya terdiri dari mereka yang masih mempunyai hubungan darah). Namun, akhir-akhir ini dengan bentuk keluarga kecil dan mereka akan tinggal terpencar, pelaksanaan matsuri dengan makna pertama ini mulai jarang ditemukan dalam keluarga-keluarga Jepang, khususnya masyarakat yang tinggal di kota-kota besar.

Makna ke dua dari penyelenggaraan matsuri dewasa ini adalah sebagai hiburan. Jenis matsuri ini berkembang di kota-kota besar maupun desa dan diselenggarakan oleh orang Jepang yang tinggal di kota dan diselenggarakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang tinggal dekat kuil. Namun, Kunio Yanagita menjelaskan bahwa matsuri yang bermakna hiburan ini tetap memiliki unsur ritual karena dalam penyelenggarannya masih menegakkan umbul-umbul sebagai pengganti sao yang mempunyai makna sebagai tangga tempat turun naiknya dewa pada saat matsuri berlangsung.

2.5.2 Makna simbolik

Kata simbol berasal dari Yunani, yaitu Symbolon yang berarti tanda pengenal, semboyan atau lencana. Bentuk simbol tidak hanya berupa benda kasat mata, namun juga berupa suatu peristiwa, ucapan dan tindakan seseorang. Gambar dan patung, dekorasi dan arsitektur, tempat beribadat, pembacaan ayat-ayat kitab suci dan doa, gerakan menyembah dan sikap mediasi, yang semuanya merupakan ungkapan keberagaman yang memakai simbol-simbol. Fungsi simbol adalah


(17)

untuk menuntun seseorang untuk memahami sesuatu yang tidak terjangkau oleh indera.

Menurut pendapat Folley (1997:26) mengatakan “A symbol is a sign in which the relationship between its form and meaning is stricly conventional, neither due to physical similarity or contextual constraints.”

Terjemahan :

Simbol adalah tanda dimana hubungan di antara bentuk dan artinya benar-benar sesuai dengan adat kebiasaan, bukan karena persamaan bentuk ataupun keterbatasan kontekstual.

Suatu objek dianggap sebagai simbol yang memiliki makna dalam suatu kelompok masyarakat, tetapi oleh kelompok masyarakat lainnya bisa saja objek yang sama tidak memiliki makna sama sekali. Begitu pula dengan Shinto, banyak benda yang dapat dinyatakan dengan Shinto. Tetapi simbol shinto yang paling dikenal adalah Torii.


(1)

2.4.1.2.8 hizen torii

Jenis torii yang tidak biasa dengan kasagi bulat dan pilar ke bawah. Contoh dari torii hizen adalah torii di Chiriku Hachimangu di Saga prefektur (Picken, 1995: 148-160)

2.5 konsep makna simbolik berdasarkan religi shintoisme

2.5.1 konsep shinto

Ono (1998:3) menjelaskan bahwa Shinto berbeda dengan agama lainnya karena Shinto tidak memiliki pendiri dan tidak memiliki kitab suci. Penganut aliran Shinto percaya dengan keberadaan roh leluhur dan banyak dewa. Dewa dalam Shinto dikenal dengan kami. Ono (1998:6) mengemukakan bahwa yang disebut dengan kami adalah sebagai berikut:

Kami are the object of worship shinto. What is meant by kami.? Fundamentally, the term is an honorific for noble, sacred spirits, which implies a sense of adoration for their virtues and authority.

Terjemahan :

Kami merupakan objek penyembahan dalam Shinto. Apakah yang disebut dengan kami? Pada dasarnya, istilah ini adalah sebutan kehormatan untuk roh-roh suci yang mulia, yang menunjukkan rasa kekaguman bagi kebaikan dan kekuasaan mereka.

Keyakinan dalam memuja dewa-dewa ini telah ditetapkan dalam komponen yang harus tetap dijaga oleh masyarakat akan kelangsungannya, yang


(2)

terdiri atas empat konsep dalam pelestarian ajaran Shinto yaitu: tradisi dan keluarga, pelestarian alam, kebersihan jasmani dan matsuri.

2.5.1.1 Tradisi dan keluarga

Keluarga merupakan alat yang utama yang melakukan tradisi. Kegiatan utama mereka berhubungan dengan kelahiran dan pernikahan. Istilah keluarga dalam bahasa jepang dikenal dengan kazoku. Menurut Morioko Kyomi (dalam Adriana Hasibuan, 1998:7) keluarga adalah kelompok yang membentuk hubungan saudara dekat, seperti hubungan kakak beradik, orang tua dan anak, serta suami istri sebagai dasar pembentukan dan didukung oleh rasa kesatuan dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan.

2.5.1.2 Pelestarian Alam

Shinto adalah Pemuja Alam. Hal ini bisa dilihat dari tradisi Shinto yang memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada alam. Pohon besar misalnya tidak boleh sembarangan ditebang karena percaya ada Kami yang berdiam di dalamnya. Kebanyakan penduduk jaman dulu akan taat dan tidak merusak tempat alam atau bahkan terkadang jalan tanpa melewati hutan, gunung bahkan pulau tertentu karena dipercaya adanya Kami yang bersemayam di tempat tersebut. Salah satu contoh kecil dari penghormatan yang tinggi kepada tumbuhan adalah pada saat makan, yaitu hormat terhadap makanan khususnya beras. Sehingga hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang Jepang yang anti untuk menyisakan nasi bahkan dimakan sampai butir terakhir karena dianggap tidak menghormati roh yang hidup di dalamnya. Dengan konsep kepercayaan yang


(3)

sangat sederhana seperti ini bisa dibilang mereka cukup termasuk sukses menjaga kelestarian alamnya. Kuil Shinto juga umumnya selalu dipenuhi dengan sejumlah pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun. Bukan pemandangan yang aneh di negara Jepang jika melihat sebuah pohon besar yang tumbuh gagah tepat di tengah jalan, tanpa ada yang berani atau berniat menggusurnya.

2.5.1.3 Kebersihan Jasmani

Kebersihan tubuh dan pikiran sangat penting terutama jika ingin melakukan aktifitas keagamaan, karena para kami sangat membenci ketidaksucian lebih dari apapun. Ketidaksucian atau pencemaran dalam shinto diartikan sebagai kagare, misalnya kematian, darah, penyakit, bencana atau kesialan. Untuk menghilangkan kagare dilakukan harae dan misogi. Misogi dilakukan di tempat-tempat yang dianggap suci bagi dewa air seperti pantai, danau, dan sungai.

2.5.1.4 Matsuri

Penyelenggaraan matsuri berdasarkan bentuknya dapat digolongkan menjadi dua kategori: pertama yaitu matsuri yang diselenggarakan secara aksidental yang lebih dikenal dengan istilah ninigire. Ninigire merupakan kegiatan matsuri yang diselenggarakan sesuai permintaan atau permohonan, misalnya ketika kelahiran seorang anak, maka orangtua akan pergi ke kuil untuk melaksanakan matsuri dengan tujuan agar anak itu akan menjadi anak yang baik. Matsuri juga diselenggarakan dengan tujuan agar terhindar dari segala

marabahaya, matsuri yang diselenggarakan ketika terjadi kekeringan yang menyebabkan gagal panen dengan tujuan untuk minta hujan, dan masih banyak lagi matsuri yang diselengarakan secara ninigire. Biasanya matsuri ini


(4)

diselenggarakan di kuil-kuil atau di tempat lain. Kategori kedua, matsuri yang diselenggarakan secara periodik atau dikenal dengan nenchugyoji, yaitu matsuri yang diselenggarakan secara tetap setiap tahun, misalnya O-Bon matsuri yang biasanya diselenggarakan setiap 13-16 Juli sebagai matsuri yang diselenggarakan dengan tujuan untuk mengenang arwah leluhur dan orang-orang yang telah meninggal. O-Shogatsu, yaitu matsuri yang diselenggarakan dalam rangka perayaan tahun baru, dan matsuri lain-lainnya yang diselenggarakan secara periodik setiap tahun.

Matsuri bagi orang Jepang dianggap sebagai salah satu simbol dari kegiatan manusia untuk berkomunikasi dan melayani dewa. Dengan kata lain matsuri bagi orang Jepang dianggap sebagai jalan untuk bertemu dengan dewa.

Menurut (Kunio Yanagita) dewasa ini penyelenggaraan matsuri yang dilaksanakan oleh orang Jepang mengandung dua makna yaitu: (1)Nihon Jin Rashisa atau kekhasan orang Jepang dan kokoro zuku koto atau kesadaran yang selalu ada dalam jiwa orang Jepang. Maksud kekhasan dan kesadaran ini ada dalam diri orang Jepang karena dengan berbagai kegiatan masturi yang selalu mendampingi kehidupan orang Jepang yang tampak dalam penyelenggaraan matsuri yang bersifat ritual dan periodik yang di dalamnya mengandung unsur keagamaan, karena dilaksanakan dengan tujuan menyembah dewa dan juga untuk memohon kepada dewa bagi kesejahteraan, kebaikan dan dijauhkan dari marabahaaya.


(5)

Biasanya matsuri-matsuri yang di sebutkan di atas diselenggrakan di desa oleh anggota ie (sistem kekerabatan dalam masayarakat Jepang yang bentuknya mengambil keluarga besar yang anggotanya terdiri dari mereka yang masih mempunyai hubungan darah). Namun, akhir-akhir ini dengan bentuk keluarga kecil dan mereka akan tinggal terpencar, pelaksanaan matsuri dengan makna pertama ini mulai jarang ditemukan dalam keluarga-keluarga Jepang, khususnya masyarakat yang tinggal di kota-kota besar.

Makna ke dua dari penyelenggaraan matsuri dewasa ini adalah sebagai hiburan. Jenis matsuri ini berkembang di kota-kota besar maupun desa dan diselenggarakan oleh orang Jepang yang tinggal di kota dan diselenggarakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang tinggal dekat kuil. Namun, Kunio Yanagita menjelaskan bahwa matsuri yang bermakna hiburan ini tetap memiliki unsur ritual karena dalam penyelenggarannya masih menegakkan umbul-umbul sebagai pengganti sao yang mempunyai makna sebagai tangga tempat turun naiknya dewa pada saat matsuri berlangsung.

2.5.2 Makna simbolik

Kata simbol berasal dari Yunani, yaitu Symbolon yang berarti tanda pengenal, semboyan atau lencana. Bentuk simbol tidak hanya berupa benda kasat mata, namun juga berupa suatu peristiwa, ucapan dan tindakan seseorang. Gambar dan patung, dekorasi dan arsitektur, tempat beribadat, pembacaan ayat-ayat kitab suci dan doa, gerakan menyembah dan sikap mediasi, yang semuanya merupakan ungkapan keberagaman yang memakai simbol-simbol. Fungsi simbol adalah


(6)

untuk menuntun seseorang untuk memahami sesuatu yang tidak terjangkau oleh indera.

Menurut pendapat Folley (1997:26) mengatakan “A symbol is a sign in which the relationship between its form and meaning is stricly conventional, neither due to physical similarity or contextual constraints.”

Terjemahan :

Simbol adalah tanda dimana hubungan di antara bentuk dan artinya benar-benar sesuai dengan adat kebiasaan, bukan karena persamaan bentuk ataupun keterbatasan kontekstual.

Suatu objek dianggap sebagai simbol yang memiliki makna dalam suatu kelompok masyarakat, tetapi oleh kelompok masyarakat lainnya bisa saja objek yang sama tidak memiliki makna sama sekali. Begitu pula dengan Shinto, banyak benda yang dapat dinyatakan dengan Shinto. Tetapi simbol shinto yang paling dikenal adalah Torii.