Tradisi Batagak Pangulu di Minangkabau: Studi di Nagari Piobang, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota

14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KAJIAN TEORETIS

2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian tradisi batagak pangulu dan analisis teks dengan menggunakan
pendekatan analisis wacana teori van Dijk sepengetahuan penulis belum pernah
dilakukan. Penelitian lain yang ada kaitannya dengan penelitian yang penulis
lakukan terutama yang berkenaan dengan teks pasambahan (persembahan) dan
teks pidato adat dengan menggunakan pendekatan lain sudah pernah dilakukan.
Rosa (2001) menulis sebuah makalah berjudul “Berpidato yang Sarat Formula
dalam Tradisi Lisan ‘Batagak Gala’ di Minangkabau” dan Rosa (2015) menulis
disertasi dengan judul “Struktur, Makna, dan Fungsi Pidato Adat dalam Tradisi
Malewakan Gala di Minangkabau.” Penelitian yang dilakukan Rosa (2015)
mengambil empat pidato adat malewakan gala, yaitu tiga pidato adat batagak
gala pangulu diambil dari tiga luhak di Minangkabau (Luhak Tanah Datar,
Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota) dan satu pidato adat malewakan gala
(memberikan gelar) kepada laki-laki di Minangkabau yang mau berumah tangga
sesuai pepatah di Minangkabau ketek banamo gadang bagala (kecil bernama
besar bergelar)12. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan adalah meneliti

tradisi batagak pangulu di Minangkabau dengan memfokuskan kepada tradisi
lisan itu sendiri mulai dari performansi, analisis teks, ko-teks, dan konteks untuk

12

Ketek banamo gadang bagala (kecil bernama besar bergelar) artinya laki-laki di Minangkabau
semasa kecil diberi nama kemudian setelah besar ketika berumah tangga diberi gelar. Misalnya,
nama kecilnya Safrizal ketika dia berumah tangga diberi gelar Sutan Marajo sehingga menjadi S.
Sutan Marajo.

Universitas Sumatera Utara

15

mendalami tradisi batagak pangulu tersebut, menemukan makna dan fungsi, nilai
dan norma serta kearifan lokal tradisi batagak pangulu dan membuat model
revitalisasi tradisi batagak pangulu dalam hal pengelolaan agar tradisi ini tetap
berjalan dalam masyarakat Minangkabau. Untuk analisis teks penulis
menggunakan teori analisis wacana yang dikemukakan oleh van Dijk (1987)
sedangkan Rosa (2001 dan 2015) menganalisis teks menggunakan teori formula

yang dikemukakan oleh Lord.
Penelitian lain dengan menggunakan pendekatan lain yang mengkaji
pidato pasambahan adat Minangkabau baik pidato pasambahan batagak pangulu
maupun pidato pasambahan yang lain seperti pidato pasambahan kematian dan
pasambahan perkawinan juga sudah pernah dilakukan seperti dilakukan oleh
Kasih (1993) dengan pendekatan etnolinguistik, Kasih (1994) dengan teori
implikatur, Hasanuddin (1996) dengan tinjauan refleksi budaya, dan Dhamayanty
(2008) dengan pendekatan estetika.
Penelitian lain yang berkaitan dengan gelar-gelar penghulu dan peran
penghulu dalam masyarakat Minangkabau dilakukan oleh Noverita (2005)
mengkaji nama gelar-gelar penghulu di Minangkabau dari kajian semantik,
Zulhelmi (2006) mengkaji etika kepemimpinan penghulu di Minangkabau
dari perspektif filsafat, dan Hestia (2008) mengkaji peran Kerapatan Adat
Nagari (KAN) dalam menyelesaikan sengketa tanah adat di Minangkabau.
Penelitian yang berkaitan dengan disertasi ini adalah penelitian yang
penulis lakukan sendiri. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Isman (2014)
dalam bentuk makalah dengan judul The Minangkabau’Tradition of Batagak

Universitas Sumatera Utara


16

Pangulu, Local Wisdom, and Model of Inheritance. Makalah ini disajikan di
International Conference Empowering Local Wisdom in Support of Nation
Identities tanggal 28 – 19 November 2014 kerjasama Program Studi Linguistik
FIB USU dengan Balai Bahasa Sumatera Utara dan makalah ini dimuat di
Proceding International Conference Empowering Local Wisdom in Support of
Nation Identities. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kearifan lokal
dalam tradisi batagak pangulu di Minangkabau.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Isman (2015) dalam bentuk
makalah berjudul Pemberdayaan Kembali Peran Pangulu (Penghulu) sebagai
Penyelesai Konflik Kaum (Suku) di Minangkabau. Makalah ini disajikan dalam
Seminar Internasional “Tradisi Lisan dalam Sistem Matrilineal” yang diadakan
oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang pada 26 – 27 Oktober
2015 dan makalah ini dimuat dalam Prosiding Seminar International Tradisi
Lisan dalam Sistem Matrilineal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghulu
sebagai penyelelesai konflik harus diberdayakan kembali untuk menyelesaikan
konflik-konflik yang dihadapi oleh anggota kaum atau suku di Minangkabau.

2.2 Konsep

2.2.1 Tradisi Lisan
Finnegan (1992:6) menyatakan tradisi merupakan istilah yang banyak
digunakan oleh para antropolog, folkloris, dan sejarawan lisan. Istilah tradisi ini
memiliki banyak arti yang berbeda, namun digunakan untuk budaya secara
keseluruhan. Sesuatu yang disebut tradisi diambil dari milik seluruh komunitas

Universitas Sumatera Utara

17

bukan milik individu atau kelompok kepentingan tertentu menjadi tidak tertulis,
berharga, dan menandai identitas kelompok tersebut.
Tradisi lisan juga mempunyai pengertian yang beragam sesuai dengan
latar belakang ahli yang mengemukakannya. Finnegan (1992:6) menyatakan
tradisi lisan adalah tradisi yang lebih spesifik lisan atau dari mulut yang ditandai
dengan (1) lisan, (2) tidak ditulis, (3) milik orang atau rakyat (4) fundamental dan
dihargai serta diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sebelumnya
Vansina (1985:27-28) mendefinisikan tradisi lisan sebagai pesan verbal berupa
pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini. Pesan
verbal ini haruslah berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi

alat musik. Pernyataan ini disampaikan melalui tutur kata dari mulut sekurangkurangnya sejarak satu generasi. Kemudian Sibarani (2012:47 dan 2015:71)
menyatakan tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang
diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke
generasi berikutnya baik tradisi itu berupa susunan kata-kata maupun tradisi lain
yang bukan lisan/nonverbal. Sejalan dengan itu, Pudentia (2015:3) menyatakan
tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan
beraksara atau dikatakan juga sistem wacana yang bukan aksara.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi
lisan merupakan kegiatan budaya tradisional suatu komunitas masyarakat tertentu
yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya
melalui media lisan seperti ucapan, pidato, dan nyanyian baik tradisi itu berupa
susunan kata-kata maupun tradisi lain yang bukan lisan/nonverbal.

Universitas Sumatera Utara

18

Dengan pengertian tersebut, harus dibedakan antara tradisi lisan dengan
tradisi kelisanan. Menurut Sibarani (2012:47) tradisi kelisanan adalah tradisi
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi lisan, sedangkan tradisi lisan

adalah tradisi kegiatan tradisional yang disampaikan secara lisan seperti
kebiasaan menari dan bermain gendang atau yang menggunakan kata-kata lisan
seperti kebiasaan mendongeng.
Tradisi lisan sebagai objek penelitian memiliki bentuk dan isi. Bentuk
terbagi atas teks, ko-teks, dan konteks. Teks memiliki struktur, koteks memiliki
elemen, dan konteks memiliki kondisi yang formulanya dapat diungkapkan dari
kajian tradisi lisan. Teks merupakan unsur verbal baik bahasa yang tersusun ketat
seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan
nonverbal seperti teks pengantar sebuah performansi. Struktur itu dapat dilihat
dari struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Ko-teks adalah
keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti unsur paralinguistik, prosemik,
kenetik, dan unsur materil lainnya. Konteks merupakan kondisi yang berkenaan
dengan budaya, sosial, situasi, dan ideologi.
Isi tradisi lisan berupa nilai atau norma yang dikristalisasi dari makna,
maksud, peran, dan fungsi. Nilai dan norma tradisi lisan dapat digunakan menata
kehidupan sosial atau disebut juga dengan kearifan lokal. Tingkatan pertama isi
adalah makna atau maksud dan fungsi atau peran. Tingkatan kedua adalah nilai
dan norma yang dapat diinferensikan dari makna atau maksud dan fungsi atau
peran dengan adanya keyakinan terhadap nilai atau norma itu. Tingkatan ketiga


Universitas Sumatera Utara

19

adalah kearifan lokal yang merupakan penggunaan nilai dan norma budaya dalam
menata kehidupan sosial secara arif.
Sibarani (2012:242-243) menyatakan agar tradisi lisan sebagai warisan
leluhur bermanfaat untuk masa depan generasi berikutnya untuk membangun
karakter dan identitas dalam rangka tercapainya perdamaian dan peningkatan
kesejahteraan bangsa, penelitian tradisi lisan harus mampu menjelaskan tiga
komponen besar tradisi lisan yaitu bentuk, isi, dan model revitalisasi.
Sebagai bidang kajian yang multidisiplin, komponen bentuk (struktur, koteks, dan konteks), komponen isi (makna dan fungsi, nilai dan norma, kearifan
lokal), dan komponen revitalisasi (penghidupan/pengatifan kembali, pengelolaan,
dan proses pewarisan) menjadi objek kajian tradisi lisan. Ketiga komponen tradisi
lisan itulah yang dikaji dari latar belakang bidang ilmu setiap peneliti dengan atau
tanpa bantuan bidang ilmu lain.

2.2.2 Performansi
Duranti (1997:14-16) menyatakan istilah performansi digunakan dalam
berbagai bidang seperti linguistik dan seni serta dapat ditafsirkan dengan

berbagai cara. Karena penelitian tradisi batagak pangulu fokus pada jalannya
acara tersebut, pengertian performansi penulis ambil dari pendapat ahli yang
mendukung penelitian tersebut yaitu pendapat Finnegan (1992).
Finnegan (1992:86) menyatakan performansi adalah elemen dalam setiap
pertunjukan dan merupakan salah satu fokus utama dari penelitian seni dan tradisi
lisan. Selanjutnya Finnegan (1992:90) menyatakan performansi juga digunakan
untuk merujuk ke acara pertunjukan berdasarkan urutan waktu yang mencakup

Universitas Sumatera Utara

20

pertunjukan berlangsung sebagai peristiwa yang sebenarnya dan terorganisir. Di
samping itu, Finnegan juga menyatakan performansi adalah praktik komunikasi
dalam proses pertunjukan. Sejalan dengan pendapat Finnegan, sebelumnya Lord
(1981) menyatakan performansi adalah proses pertunjukan sastra lisan (tradisi
lisan) itu sendiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa performasi adalah
proses pertunjukan atau praktik komunikasi tradisi lisan sebagai suatu peristiwa
berdasarkan urutan waktu dan terorganisir.
Komponen-komponen dalam performansi menurut Finnegan (1992:8997) mencakup komponen utama dan komponen lainnya. Komponen utama

mencakup (1) pelaku (pemain) dan (2) penonton (khalayak) dan peserta
sedangkan komponen lainnya mencakup (1) situasi dan organisasi pertunjukan,
(2) organisasi internal, (3) media pertunjukan, dan (4) keterampilan pertunjukan
dan konvensi.
Performansi batagak pangulu yang penulis maksud dalam penelitian ini
adalah prosesi acara batagak pangulu dan komponen-komponen yang terdapat
dalam acara batagak pangulu tersebut mulai dari acara pembukaan sampai
dengan berakhirnya acara tersebut. Acara dimulai dengan arak-arakan dari Balai
Adat Gando ke Balai Adat Piobang yang berjarak lebih kurang 1,5 km untuk
menjeput penghulu pucuk dan penghulu empat suku. Acara ini diikuti oleh
penghulu yang akan dilewakan, manti, malin, dubalang (hulubalang), dan
anggota kaum penghulu yang akan diresmikan dan sampai berakhirnya acara
batagak pangulu ini setelah selesainya kata sambutan oleh Bupati Lima Puluh
Kota sekaligus sebagai Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau

Universitas Sumatera Utara

21

(LKAAM) yang dilanjutkan dengan peresmian Balai Adat Gando oleh staf ahli

Gubernur Provinsi Sumatera Barat Adat Prof. Dr. Rahman Sani, M. Sc. dan
ditutup dengan makan bersama seluruh undangan serta masyarakat yang hadir.

2.2.3 Teks
Teks dalam tradisi lisan dapat dipandang sebagai unsur verbal baik
sebagai bahasa yang tersusun ketat “tightly formalized language” seperti bahasa
sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan nonverbal seperti
teks pengantar sebuah performansi (Sibarani, 2012:242). Struktur teks dapat
dilihat dari struktur makro, superstruktur atau struktur alur, dan struktur mikro
(van Dijk, 1987:1-8). Ketiga struktur tersebut saling mendukung dalam
membangun sebuah teks sehingga kajian ketiganya sangat penting untuk
memahami sebuah teks seperti teks tradisi lisan batagak pangulu di
Minangkabau.
Struktur makro merupakan makna keseluruhan sebuah teks yang dapat
dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks. Topik atau tema
merupakan

unsur

yang


dikedepankan

dalam

sebuah

teks.

Topik

ini

menggambarkan apa yang ingin diungkapkan dalam sebuah teks. Topik
menunjukkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu teks.
Superstruktur atau struktur alur merupakan kerangka dasar sebuah teks
meliputi rangkaian elemen sebuah teks dalam membentuk suatu kesatuan yang
koheren. Superstruktur atau struktur alur merupakan skema atau alur sebuah teks.
Sebuah teks termasuk teks tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga
elemen yaitu pendahuluan, bagian tengah, dan penutup. Analisis struktur harus

Universitas Sumatera Utara

22

mampu mengungkap pesan-pesan yang ada dalam setiap elemen teks itu
(Sibarani, 2012:314-315).
Struktur mikro merupakan struktur teks secara linguistik seperti fonem,
kata, frase, kalimat, makna, wacana, maksud, gaya bahasa, dan bahasa kiasan
atau figuratif. Kajian struktur mikro dapat dilakukan bersama-sama, tetapi dapat
juga dipilih tataran tertentu sesuai dengan kebutuhan analisis dan sesuai dengan
karakteristik teks tradisi lisan yang dikaji (Sibarani, 2012:316). Kajian struktur
mikro ini akan merumuskan formula berupa kaidah bagi bahasa sehari-hari dan
bahasa susastra mulai dari tataran bahasa yang paling rendah seperti bunyi
sampai dengan tataran bahasa yang paling tinggi seperti wacana.
Ketiga struktur teks tersebut merupakan suatu kesatuan, saling
berhubungan, dan saling mendukung. Ketiga struktur itu memiliki elemen
masing-masing dan merperlihatkan kaidah masing-masing. Tema merupakan
makna keseluruhan teks dalam tataran struktur makro didukung oleh kerangka
atau skema teks dalam tataran struktur alur dan juga didukung oleh tataran
struktur mikro.

2.2.4 Ko-teks
Ko-teks merupakan tanda-tanda lain yang muncul mendampingi teks saat
berkomunikasi. Ko-teks tersebut berupa paraliguistik, kinetik, proksemik, dan
unsur material (Sibarani, 2012:319). Ko-teks ini berfungsi untuk memperjelas
pesan atau makna sebuah teks. Unsur-unsur koteks tersebut mendampingi teks
dalam proses penciptaan, penyampaian, dan penafsiran wacana tradisi lisan.

Universitas Sumatera Utara

23

Unsur-unsur paraliguistik atau suprasegmental dapat berupa intonasi,
aksen, jeda, dan tekanan. Unur-unsur paralinguistik ini mendampingi penggunaan
teks dalam komunikasi dan berfungsi sebagai memperjelas makna atau maksud
unsur-unsur

segmental.

Perbedaan

penempatan

paralinguistik

akan

mengakibatkan perbedaan makna sehingga akan mengganggu kelancaran
komunikasi.
Di samping unsur paralinguistik, unsur lain yang muncul dalam
komunikasi mendampingi teks verbal adalah kinetik. Unsur-unsur kinetik yang
muncul saat berkomunikasi berupa gerakan tangan, ekspresi wajah, anggukan
kepala, dan gerakan badan. Apabila penggunaannya bersamaan dengan teks
verbal dalam tindak komunikasi, kinetik berfungsi memperjelas teks verbal.
Bentuk ko-teks lain yang perlu dikaji dalam tradisi batagak pangulu di
Minangkabau adalah unsur material atau benda yang mendampingi penggunaan
teks. Unsur-unsur yang digunakan seperti pakaian, warna, penataan lokasi dan
dekorasinya, serta berbagai properti dengan fungsinya masing-masing. Semuanya
itu merupakan benda-benda simbolik yang perlu dikaji secara semiotik untuk
memperkaya interpretasi makna tradisi lisan (Sibarani, 2012:322-323).

2.2.5 Konteks
Menurut Kleden (dalam Sudaryat, 2009:141) konteks adalah ruang dan
waktu spesifik yang dihadapi seseorang atau sekelompok orang. Setiap kreasi
budaya selalu lahir dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, pemahaman terhadap
konteks tersebut memerlukan tinjauan yang bersifat kontekstual. Namun, konteks
bukanlah sesuatu pengertian yang statis. Setiap konteks selalu dapat

Universitas Sumatera Utara

24

didekontekstualisasikan dan direkontekstualisasikan oleh setiap orang pada
masanya. Konteks menjadi penting kalau dihayati secara tekstual sehingga
menjadi terbuka untuk pembacaan dan penafsiran oleh siapa saja.
Halliday dan Hassan (1977) membedakan dua macam konteks, yaitu
konteks budaya (context of culture) dan konteks situasi (context of situation).
Konteks budaya melahirkan berbagai jenis teks yang digunakan oleh masyarakat
untuk berbagai tujuan komunikasi, sedangkan konteks situasi merupakan konteks
yang mempengaruhi berbagai pilihan penutur bahasa, antara lain: pokok bahan,
hubungan penyapa dan pesapa, serta saluran komunikasi yang digunakan.
Dalam hal pemahaman tradisi lisan, konteks tidak hanya terbatas pada
konteks budaya dan situasi, tetapi juga terdapat konteks sosial dan ideologi.
Menurut Sibarani (2012:324-331) kesemua konteks itu sangatlah penting untuk
dikaji. Keberadaan konteks tersebut dalam rangka memahami makna, maksud,
pesan, dan fungsi tradisi lisan, yang pada gilirannya diperlukan untuk memahami
nilai dan norma budaya yang terdapat dalam tradisi lisan serta memahami
kearifan lokal yang diterapkan untuk menata kehidupan sosialnya.
Berkaitan dengan penelitian ini, konteks yang dikaji adalah konteks
budaya, sosial, situasi, dan ideologi. Konteks budaya bertujuan untuk melihat
tujuan budaya apa yang terdapat dalam tradisi batagak pangulu, konteks sosial
bertujuan untuk melihat faktor-faktor sosial yang mempengaruhi tradisi batagak
pangulu, konteks situasi bertujuan untuk melihat waktu, tempat, dan cara
pelaksanaan tradisi batagak pangulu, serta konteks ideologi bertujuan untuk

Universitas Sumatera Utara

25

melihat ideologi yang mendominasi dan mengusai pikiran masyarakat. Ideologi
ini dapat dilihat secara positif dan dapat pula dilihat secara negatif.

2.2.6 Kearifan Lokal (Lokal Wisdom)
Kearifan lokal (local wisdom) pada dasarnya merupakan nilai-nilai yang
berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai ini diyakini kebenarannya dan
menjadi acuan dalam tingkah laku sehari-hari. Oleh karena itu, sangat beralasan
Greertz (dalam Ridwan, 2007) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan
entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam
komuditasnya. Hal ini berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur-unsur
kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya
adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
Penyebutan istilah kearifan lokal setiap ahli juga berbeda. Ada yang
menyebutnya dengan istilah local wisdom (Sartini, 2004 dan Ridwan, 2007) dan
para ahli antropologi lebih cenderung menyebutnya dengan istilah local genius
(Gobyah, 2003). Kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan
(wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia yang disusun oleh
Echols dan Syadily (1992), local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan)
sama dengan kebijaksanaan. Dengan demikian, pengertian local wisdom
(kearifan lokal) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya (lihat juga Sartini, 2004 dan Sibarani, 2012:112).
Sedangkan pengertian local genius (kecerdasan lokal) merupakan kemampuan
dan kecerdasan pikiran masyarakat lokal untuk menghadapi suatu komunitas

Universitas Sumatera Utara

26

berkenaan dengan kehidupan sehari-hari dengan ciri-ciri: (1) mampu bertahan
terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomudasi unsur-unsur
budaya luar; (3) mempunyai kemampuan mengendalikan; (4) dan mampu
memberi arah pada perkembangan budaya (Sibarani, 2012:122).
Kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat setempat ini dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian di
masyarakat pada hakikatnya merupakan kebenaran yang didam-idamkan
(Sibarani, 2012:111). Lebih lanjut (Sibarani, 2012:112) menyatakan kearifan
lokal tersebut dapat diperoleh dari tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara
turun-temurun diwarisi dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan atau untuk
mengatur tatanan kehidupan komunitas.
Dalam tradisi lisan atau tradisi budaya terdapat berbagai nilai dan norma
sebagai warisan leluhur yang menurut fungsinya dalam menata masyarakatnya
dapat diklasifikasikan sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal ini menurut Sibarani
(2012:133) dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (1) kearifan lokal untuk
kemakmuran atau kesejahteraan dan (2) kearifan lokal untuk kedamaian atau
kebaikan. Yang termasuk ke dalam kearifan lokal untuk kemakmuran atau
kesejahteraan masyarakat adalah (a) kerja keras, (b) disiplin, (c) pendidikan, (d)
kesehatan, (e) pelestarian dan kreativitas budaya, (f) gotong royong, (g)
pengelolaan gender, dan (f) peduli lingkungan, sedangkan yang termasuk
kearifan lokal untuk kedamaian atau kebaikan agar kepribadian masyarakat
menjadi baik adalah (a) kesopansantunan, (b) kejujuran, (c) kesetiakawanan

Universitas Sumatera Utara

27

sosial, (d) kerukunan dan penyelesaian konflik, (e) komitmen, (f) pikiran positif,
dan (g) rasa syukur.
Pemahaman terhadap kearifan lokal sebagai sebagai nilai-nilai budaya
luhur bangsa dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter bangsa.
Dampak dari manusia berkarakter atau mengamalkan kearifan lokal sangat besar
untuk keberhasilan seseorang individu bahkan keberhasilan suatu bangsa.
Karakter bangsa yang diharapkan adalah karakter yang berbasis kesejahteraan
dan kedamaian. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis
dan berkelanjutan diharapkan seorang anak cerdas akan emosinya. Kecerdasan
emosional ini adalah bekal yang penting dalam mempersiapkan anak
menyonsong masa depan karena seorang yang memiliki kecerdasan emosional
akan lebih mudah dan lebih berhasil menghadapi berbagai macam tantangan
kehidupan (Sibarani, 2012:148-149).

2.2.7 Revitalisasi
Siabarani (2012:292) menyatakan sebagian besar tradisi lisan di Indonesia
telah mengalami kemunduran bahkan kepunahan. Kemunduran itu ditandai oleh
semakin sedikitnya pengemar tradisi lisan, sedangkan kepunahan ditandai oleh
banyaknya tradisi lisan yang tidak lagi hidup di masyarakat. Padahal berdasarkan
Convention for the Intangible Cultural Heritage (Konvensi untuk Perlindungan
Warisan Budaya Tak Berwujud) tradisi lisan perlu dilindungi (UNESCO, 2003).
Hal ini juga dikuatkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada
BAB VI tentang pelestarian. Dalam Pasal 10 dinyatakan pelestarian budaya tak

Universitas Sumatera Utara

28

benda Indonesia meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan
(Depdikbud, 2013).
Salah satu tujuan diadakannya pelestarian budaya adalah untuk
melakukan revitalisasi budaya. Chaedar (2006:18) mengatakan adanya tiga
langkah yang bisa dilakukan dalam merevitalisasi budaya, yaitu: (1) pemahaman
untuk menimbulkan kesadaran, (2) perencanaan secara kolektif, dan (2)
pembangkitan kreativitas kebudyaaan. Revitalisasi itu sendiri menurut Chaedar
(2006:18) adalah sebagai upaya yang terencana, sinambung, dan diniati agar
nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh para pemiliknya, melainkan
juga membangkitkan segala wujud kreativitas dalam kehidupan sehari-hari dan
dalam menghadapi berbagai tantangan. Demi revitalisasi maka ayat-ayat
kebudayaan perlu dikaji ulang dan diberi tafsir baru. Tafsir baru akan
mencerahkan manakala ada kaji banding secara kritis dengan berbagai budaya
asing.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:1172)
dijelaskan revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan atau
menggiatkan kembali. Pengertian ini menunjukkan bahwa suatu hal yang
sebelumnya kurang terberdaya dan kurang mendapat perhatian dihidupkan atau
digiatkan kembali sehingga menjadi penting dan perlu sekali.
Di sisi lain Keesing (1999:257) menyatakan revitalisasi adalah perubahan
komunitas karena kesadaran baru untuk mencapai suatu cita-cita atau menempuh
suatu cara hidup dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari
zaman yang sudah lampau. Keesing lebih menekankan pada kesadaran baru

Universitas Sumatera Utara

29

terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan masyarakat yang sudah menyimpang
dari tradisi-tradisi lama. Revitalisasi dapat berupa cara hidup yang sesuai dengan
perkembangan zaman dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh
para leluhur ataupun tetap mengikuti pola kehidupan lama yang telah dituruntemurunkan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya.
Konsep revitalisasi juga diungkapkan oleh Sibarani (2004:30)
menyatakan bahwa revitalisasi kebudayaan adalah sebuah proses dan usaha
memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk
membuat kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat. Kebudayaan harus menjadi bagian dari masyarakat pendukungnya.
Budaya lokal harus diusahakan dapat bermanfaat dalam kehidupan
manusia untuk lebih menyejahterakan masyarakat. Budaya lokal yang
berkembang secara turun temurun dari zaman lampau sudah semakin tergerus dan
tertatih-tatih menghadapi pengaruh globalisasi yang semakin luas daya
jelajahnya. Untuk menangkal arus globalisasi yang begitu gencar mempengaruhi
keberadaan, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal, maka munculnya
kekuatan yang disebut kearifan lokal atau lebih tegasnya revitalisasi kearifan
lokal.
Revitalisasi juga dapat difungsikan untuk memperkokoh jati diri bangsa
yang didalamnya meliputi kesadaran sejarah memegang peranan penting dalam
menumbuhkembangkan jati diri dan identitas bangsa sehingga penghayatan
kebersamaan di masa lampau dapat membangkitkan rasa kepemilikan terhadap
kearifan lokal. Selain itu, kesatuan dan persatuan akan terus terpelihara dalam

Universitas Sumatera Utara

30

mempersiapkan masa yang akan datang tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur
yang diwariskan oleh generasi pendahulu. Gagasan revitalisasi mengandung
pikiran jernih yang mengisaratkan adanya pandangan positif tentang beberapa
strateginya kekuatan kearifan lokal dalam menghadapi derasnya arus globalisasi.
Konsep revitalisasi yang ditawarkan dalam tradisi lisan menurut Sibarani
(2012:292) adalah memperdayakan pelaku tradisi lisan dan pendukung atau
tradisi lisan secara bersama-sama. Pelaku tradisi lisan diperdayakan untuk
mengelola dan menghasilkan tradisi lisan yang baik, berkenaan dengan bentuk
dan isi tradisi lisan. Sedangkan pendukung atau penonton tradisi lisan
dipersiapkan dengan memberi penyuluhan, sosialisasi, dan penerangan kepada
masyarakat agar tertarik pada tradisi.
Model revitalisasi tradisi lisan membutuhkan perencanaan dan penelitian
yang khusus karena menyangkut komunitas pemiliknya. Salah satu metode
kombinasi penelitian dan perencanaan yang dapat diterapkan dalam metode
revitalisasi adalah participatory planning and research (PPR). Dalam revitalisasi
tradisi lisan dengan model PPR ini, ada dua kegitan yang dilakukan, yaitu (a)
penelitian tradisi lisan (bentuk dan isi) secara partisipatoris serta (b)
perencanaannya dan pendukung secara partisipatoris. Penelitian bentuk dan isi
tradisi lisan yang akan direvitalisasi dilakukan secara emik dengan observasi
partisipatoris dan langsung, wawancara terbuka dan mendalam, diskusi kelompok
terarah, kepustakaan atau dokumen tertulis. Perencaan tradisi lisan dan
pendukungnya mengikutsertakan masyarakat setempat dalam (1) menetapkan
prioritas terhadap tradisi lisan yang akan direvitalisasi; (2) merencanakan dan

Universitas Sumatera Utara

31

menyusun program revitalisasi; (3) membentuk kelompok tradisi lisan dengan
program pelatihan dan pembelajaran; (4) mengelola kelompok tradisi lisan secara
terus-menerus; (5) mensosialisasikan tradisi lisan kepada pendukungnya dengan
menanamkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal sebagai kandungan tradisi
lisan; dan (6) merancang regenerasi pelaku dan pendukung tradisi lisan sebagai
bagian dari pewarisan budaya.
Keenam langkah perencanaan tersebut menurut Sibarani (2012:294) dapat
dikelompokkan menjadi tiga komponen revitalisasi, yaitu (1) penghidupan atau
pengaktifan kembali; (2) pengelolaan; dan (3) pewarisan tradisi lisan.
Penghidupan kembali dimaksudkan untuk tradisi lisan yang sudah punah,
sedangkan pengaktifan kembali dimaksudkan untuk tradisi lisan yang masih
hidup, tetapi sudah tidak aktif lagi atau tidak lagi menjadi bagian hidup
masyarakatnya. Pengelolaan merupakan hal yang penting agar tradisi lisan
menjawab kebutuhan masyarakat sedangkan pewarisan diperlukan untuk
menjamin tradisi lisan.
Dalam hal revitalisasi tradisi batagak pangulu di Minangkabau,
komponen pengelolaan yang perlu direvitalisasi. Komponen penghidupan atau
pengaktifan dan pewarisan untuk saat sekarang ini belum perlu direvitalisasi
karena tradisi batagak pangulu masih hidup dan diwariskan. Namun, dalam hal
pengelolaan perlu direvitalisasi karena penyelenggaraan upacara batagak pangulu
tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar bisa mencapai seratus juta rupiah
bahkan lebih tergantung pada besarnya acara yang dilaksanakan. Hal ini tentu
memberatkan bagi kaum yang akan melakukan batagak pangulu. Bagi penghulu

Universitas Sumatera Utara

32

dan kaum yang kaya, biaya yang besar itu tidak ada masalah, tetapi bagi
penghulu dan kaum yang miskin (kurang mampu) tentu akan menimbulkan
masalah karena mereka tidak akan mampu melaksanakannya sehingga gelar
kebesaran penghulunya tidak akan pernah dikukuhkan atau diresmikan.
Perumusan model revitalisasi tradsisi lisan harus dilakukan secara
seksama agar benar-benar dapat diterapkan dan diterima oleh komunitasnya. Hal
ini perlu apalagi kalau tradisi lisan itu telah lama ditinggalkan oleh
komunitasnya. Penelitian dan perencanaan dilakukan secara bersama-sama dan
seimbang dengan tujuan utama menghidupkan kembali suatu tradisi lisan atau
membuat tradisi lisan itu lebih digemari oleh komunitas pendukungnya.
Penelitian melibatkan pengumpulan data secara kualitatif. Informasi yang
dikumpulkan berkenaan dengan model revitalisasi yang akan dilakukan sesuai
dengan pandangan komunitas pemiliknya. Informasi itu bermanfaat untuk
merencanakan program revitalisasi. Dalam perencanaan partisipatoris ini,
masyarakat setempat harus diikutsertakan, bahkan merekalah yang menentukan
mereka pulalah yang menentukan program dan mengimplementasikan kegiatan
revitalisasi tradisi lisan itu (Sibarani, 2012:297).

2.2.8 Pidato Adat dan Pidato Pasambahan (Persembahan)
Pidato adat adalah pidato yang dipergunakan dalam upacara adat yang
tersusun, teratur, dan berirama serta dikaitkan dengan tambo dan asal-usul untuk
menyatakan maksud, rasa hormat, tanda kebesaran, dan tanda kemuliaan
(Djamaris, 2002:51). Pidato adat ini dipakai pada perhelatan peresmian
pengangkatan penghulu, upacara kematian penghulu, upacara melekatkan gelar,

Universitas Sumatera Utara

33

dan pesta perkawinan. Pidato adat biasanya dilaksanakan secara berdiri.
Sedangkan pasambahan adalah bentuk bahasa seperti dalam pidato adat, tetapi
tidak dikaitkan dengan asal-usul dan tambo Minangkabau. Pidato pasambahan
biasanya dilakukan bersila dalam tiap upacara yang dikemukakan di atas
(Djamaris, 2002:51). Namun, ada juga pasambahan dilakukan berdiri seperti
yang penulis temukan di Jorong Gando, Nagari Piobang. Pasambahan dilakukan
berdiri karena tukang sembah duduk di kursi bukan duduk bersila.
Selanjutnya Djamaris (2002:51) menyatakan struktur pasambahan terdiri
atas:
Pertama, struktur pasambahan si pangka (tuan rumah) terdiri atas: (1)
pembukaan kata oleh tuan rumah (P1) dan tamu (P2), maksudnya adalah juru
sambah sebagai tuan rumah menyapa semua tamu yang hadir, satu per satu yang
dalam penyampaian sapaan ini terlihat fungsi pasambahan itu adalah untuk
menghargai dan menghormati orang lain; (2) pernyataan sembah (P1) dan (P2);
(3) penyampaian maksud (P1); (4) mengakhiri sembah (P1); (5) penegasan (P2)
dan (P1), dan (6) penangguhan sementara (mufakat (P1) dan (P2).
Kedua, struktur pasambahan si alek (tamu) terdiri atas: (1) pembukaan
kata (P2) dan (P1); (2) pernyataan sembah (P2) dan (P1); (3) penyampaian ulang
maksud (P2); (4) penegasan (P2) dan (P1); (5) jawaban persembahan dan
mengakhiri sembah (P2); dan (6) penyesuaian (P1) dan (P2).
Lebih lanjut Djamaris (2002:64) menyatakan nilai-nilai budaya yang
menonjol dalam acara pasambahan sebagai berikut. Pertama, nilai kerendahan
hati, orang yang rendah hati selalu menghargai orang lain, ini dapat dilihat pada

Universitas Sumatera Utara

34

awal acara pasambahan dimulai. Juru sambah dari tuan rumah menyapa semua
tamu satu pe rsatu dengan menyebut gelar adatnya. Hal ini sebagai tanda
bahwa semua tamu dihargai oleh tuan rumah. Sesudah itu barulah juru sambah
tuan rumah memulai sambutannya, menyampaikan maksud dan tujuan kepada
para tamu. Kedua, nilai musyawarah, segala sesuatu yang dilakukan dan
diputuskan selalu dimusyawarahkan terlebih dahulu. Juru sambah yang akan
tampil ditentukan terlebih dahulu melalui musyawarah. Demikian pula jawaban
yang akan disampaikan oleh juru sambah dimusyawarahkan terlebih dahulu.
Ketiga, nilai ketelitian dan kecermatan, dalam hal ini juru sambah dalam upacara
pasambahan itu harus teliti dan cermat mendengarkan apa yang diucapkan
oleh juru sambah lawan bicaranya. Keempat, terungkap dalam upacara
pasambahan adalah nilai budaya ketaatan dan kepatuhan terhadap adat yang
berlaku. Dalam upacara pasambahan itu segala sesuatu yang akan dilakukan
ditanyakan dulu, adakah sesuai dengan adat yang berlaku. Salah satu syarat
pokok permintaan dapat disetujui adalah permintaan itu sesuai dengan aturan
adat yang berlaku. Begitu juga dengan adat batagak pangulu, tata cara sambahmanyambah juga mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku di nagari masingmasing.
2.2.9 Pangulu (Penghulu)
Pangulu (penghulu)13 dalam masyarakat Minangkabau merupakan
sebutan kepada niniak mamak, pemangku adat yang bergelar datuak (datuk).

13

Panggilan penghulu di berbagai daerah bermacam-macam pula menurut kelaziman daerah
serperti di Luhak Agam dipanggilkan datuak, inyiak, atau angku dan di Luhak Tanah Datar
dengan datuak (Dirajo, 1985:72-73).

Universitas Sumatera Utara

35

Istilah penghulu berasal dari kata “hulu” yang artinya kepala atau pemimpin
(Amir M.S., 2011:67). Jadi, pengertian penghulu adalah sama dengan pemimpin.
Dengan demikian, seorang penghulu dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin.
Sebagai pemimpin penghulu bertanggung jawab dan berkewajiban memelihara
anggota kaum, suku, dan nagari serta harta pusaka yang dimiliki oleh kaumnya.
Penghulu bertanggung jawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam
masyarakat. Dalam hal ini dikatakan sebagai kewajiban pangulu, seperti kata
pepatah kusuik manyalasaikan, karuah mampajaniah (kusut menyelesaikan dan
keruh memperjenih).
Kedudukan penghulu tidak sama dengan kedudukan dan fungsi seorang
feodal. Penghulu tidak dipusakai oleh anaknya seperti dalam masyarakat feodal,
tetapi oleh kemenakannya yang bertali darah. Jabatan penghulu yang diperoleh
seseorang karena diangkat oleh kaumnya sendiri tumbuahnyo ditanam,
gadangnya diamba, tingginyo dianjuang (tumbuhnya ditanam, besarnya diambar,
tingginya dianjung). Artinya, seseorang diangkat jadi penghulu karena
kesepakatan kaumnya sendiri dan sebelum dia diangkat dan memegang jabatan
penghulu dia sudah besar dan tinggi pula di dalam kaumnya. Karena
kelebihannya itu pilihan jatuh kepada dia atau dikatakan juga tingginyo
manyintak rueh/tingginya menyentak ruas (Dirajo, 2009:172).
Dalam hal penetapan seseorang menjadi penghulu terlebih dahulu
ditetapkan siapa orangnya berdasarkan alua jo patuik (alur dengan patut). Ada
dua sistem dalam menetapkan calon penghulu tersebut yaitu warih bajawek
(waris yang berterima) dan gadang bagilia (besar bergilir). Meskipun berbeda,

Universitas Sumatera Utara

36

penetapan calon penghulu tersebut tidak terlepas dari syarat pokok yaitu masih
kamanakan di bawah daguak atau kamanakan batali darah/kemenakan di bawah
dagu atau kemenakan bertali darah (Dirajo, 2009:181-183).
Dalam sistem warih bajawek (waris yang berterima), kemenakan yang
akan menggantikan gelar penghulu yang lama adalah kemenakan yang terdekat
tali darahnya yaitu nan sajari, nan sajangka, atau nan saeto, (yang sajari, yang
sejengkal, atau yang sehasta). Kamanakan nan sajari maksudnya anak laki dari
saudara perempuan yang seibu dengan penghulu yang akan digantikan. Jika
kemenakan lebih dari satu orang, calon penghulu harus dipilih berdasarkan
kepatutan. Jika tidak ada atau tidak patut, calon penghulu yang dipilih
kamanakan nan sajangka yaitu kamanakan nan saparuik (ibu calon penghulu
tidak lagi seibu dengan penghulu yang digantikan). Jika tidak ada atau tidak
patut, calon penghulu yang dipilih kamanakan nan saeto yang hubungannya
dengan penghulu yang akan digantikan nan saninik (yang satu ninik).
Dalam gadang bagilia (besar bergilir) penggantian penghulu tidak dapat
dapat diturunkan langsung kepada kemenakan terdekat, tetapi harus pada jurai14
yang lain. Penghulu yang akan diangkat harus berlainan jurai dengan penghulu
yang akan digantikan. Jika pada kepenghuluan itu terdapat beberapa jurai harus

14

Susunan masyarakat Minangkabau terkecil disebut paruik (perut). Yang dimaksud paruik di
sini adalah suatu keluarga besar atau famili yang semua anggota keluarganya berasal dari satu
perut. Setiap anggota yang berasal dari satu perut dinamakan saparuik. Apabila anggota paruik
telah bertambah banyak dan berkembang, paruik itu akan membelah diri menjadi unit-unit yang
berdiri sendiri yang disebut dengan jurai. Ia merupakan satu kesatuan keluarga kecil yang
sedapur (Sati, 2009).

Universitas Sumatera Utara

37

terlebih dahulu dicari kesepakatan kepada jurai mana jatuhnya pengganti
penghulu tersebut.
Penghulu sebagai pemimpin haruslah baalam leba, badado lapang
(beralam lebar, berdada lapang). Artinya, seorang penghulu haruslah berjiwa
besar dan berpandangan luas dalam menyelesaikan suatu masalah dan
mempunyai prinsip tak ado kusuik nan indak salasai, karuah nan indak kajaniah
(tidak ada kusut yang tidak selesai, keruh yang tidak kejernih). Dalam
menyelesaikan masalah ini harus bijaksana dan diumpamakan seperti menarik
rambut dalam tepung, tepung tidak berserak dan rambut tidak putus. Karena itu,
tugas seorang penghulu penuh dengan kesadaran, kejujuran, dan tanggung jawab.
Dalam memimpin suku terutama penghulu pucuk atau penghulu tua,
penghulu dibantu oleh empat orang pembantu, yaitu panungkek (penongkat),
manti (mentri), malin (malim), dan dubalang/hulubalang (Navis, 2015:167).
Pertama, panungkek (penongkat). Panungkek (penongkat) merupakan
pembantu utama penghulu. Ia dapat mewakili penghulu, bila penghulu
berhalangan. Namun, dalam kerapatan nagari, ia boleh mewakili selaku
pendengar dan boleh menyampaikan pendapat apabila diminta anggota kerapatan.
Ia juga menjadi calon utama pengganti penghulu.
Kedua, manti (menteri). Manti (menteri) merupakan pembantu penghulu
dalam bidang pemerintahan nagari. Dia dibaratkan sebagai seorang menteri.
Tugas dan tanggung jawab seorang manti (mentri) menurut adat, antara lain: (1)
Memegang bidang tata laksana dan organisasi kepenghuluan yang diembannya;
(2) Sebagai pembawa informasi dan penghubung antarkaum atau antarpenghulu

Universitas Sumatera Utara

38

yang berada dalam lingkup kepenghuluan yang diembannya; (3) Menerima
laporan dan pengaduan serta menindaklanjutinya; (4) Menangani dan berusaha
menyelesaikan silang selisih atau sengketa antarkaum; (5) Dalam bersikap dan
berbuat berpedoman kepada ajaran-ajaran agama dan adat serta kepada apa yang
sudah diadatkan; dan (6) Secara umum manti (mentri) bertugas mengurus
kegiatan sehari-hari.
Ketiga, malin (malim). Malin (malim) merupakan pembantu penghulu di
bidang agama. Tugas dan tanggung jawab seorang malin (malim) menurut adat,
antara lain: (1) Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, seorang malin
(malim) harus selalu teguh menegakkan agama; (2) Harus berusaha memelihara
dan mengembangkan ajaran-ajaran agama kepada seluruh kaum serta anak dan
kemenakan yang ada di dalamnya; (3) Mengurus masalah ibadah, keguruan,
keagamaan dalam acara-acara adat; dan (4) Dengan syariat agama, malin (malim)
juga bertugas mencuci segala yang kotor dan kumuh dalam kaum serta anak dan
kemenakan.
Keempat,

dubalang

(hulubalang).

Dubalang

(hulubalang)

adalah

pembantu penghulu dalam bidang keamanan. Tugas dan tanggung jawab seorang
dubalang (hulubalang) menurut adat, antara lain: (1) Penghulu sebagai atasannya;
(2) Bersama-sama dengan dengan dubalang-dubalang kepenghuluan yang lain
baik sesuku maupun tidak sesuku membentuk dubalang nagari; (3) Dia dapat
memanfaatkan pemuda-pemuda yang ada dalam setiap kaum sebagai anggota
atau pasukan tambahan jika diperlukan; (4) Bertindak seabagai eksekutor jika ada
kesepakatan atau keputusan diambil oleh musyawarah penghulu atau nagari

Universitas Sumatera Utara

39

mendapat hambatan atau ada pihak-pihak lain yang tidak mengindahkannya; (5)
Ke dalam berfungsi sebagai penjaga keamanan dan ke luar dubalang berfungsi
sebagai penjaga pertahanan.
Karena seorang penghulu adalah sebagai pemimpin dalam masyarakat
mulai dari tingkat kaum, suku, dan nagari, tidak semua kemenakan laki-laki bisa
menjadi penghulu. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi
seorang penghulu yang telah digariskan oleh adat, yaitu: (1) baligh berakal; (2)
berilmu; (3) kaya budi dan baso15; (4) adil dan pemurah; (5) selalu ingat dan jaga,
maksudnya orang selalu waspada; dan (6) sabar dan pemurah ( Toeah, 1985:63
dan Piliang dan Sungut, 2014:194). Di sampaing syarat yang harus dipenuhi
seorang penghulu, penghulu juga mempunyai martabat. Martabat penghulu
adalah (1) kuat pendirian atas kebenaran; (2) kuat pekerjaan atas kebaikan; (3)
suka memperbaiki pagar nagari; (4) kuat produksi dalam nagari; (5) tahu akan
salah dan benar; dan (6) tahu menyelesaikan yang kusut (Toeah, 1985:63). Selain
itu, ada lagi empat sifat yang harus dimiliki oleh seorang penghulu, yaitu: (1)
sidik, (2) tabhlig, (3) amanah, dan (4) fatonah (Toeah, 1985:63).
Dalam memimpin kemenakan penghulu mempunyai pula tugas dan
kewajiban yang telah digariskan oleh adat. Ada empat tugas dan kewajiban yang
dimiliki oleh penghulu dalam memimpin anak dan kemenakan yaitu:
Pertama, menuruik alua nan luruih (menurut alur yang lurus), maksudnya
adalah tiap-tiap sesuatu yang akan dilaksanakan oleh penghulu hendaklah
menurut garis-garis kebenaran yang telah digariskan oleh adat. Penghulu

15

Baso artinya tata tertib atau sopan santun seseorang dalam pergaulan (Bapayuang, 2015:56)

Universitas Sumatera Utara

40

berkewajiban untuk tidak menyimpang dari kebenaran tersebut dan kebenaran itu
dapat dibuktikannya. Alur yang lurus ini dapat pula dibedakan atas dua bahagian,
yaitu alur adat dan alur pusaka. Alur adat yaitu peraturan-peraturan di dalam adat
Minangkabau yang asalnya peraturan tersebut disusun dengan kata mufakat oleh
penghulu-penghulu atau ninik mamak dalam satu nagari. Sedangkan alur pusaka
artinya semua peraturan-peraturan yang telah ada dan diterima dari nenek
moyang Dt. Katumanggungan dan Dt. Perpatih Nan Sabatang. Alur pusaka ini di
dalam adat dikatakan utang babaia, piutang batarimo; salah batimbang, mati
bakubua (utang dibayar, piutang diterima; salah ditimbang, mati dikubur).
Kedua, manampuah jalan nan pasa (menempuh jalan yang pasar),
maksudnya seorang penghulu hendaklah meletakkan atau melaksanakan apa yang
telah digariskan oleh adat dan tidak boleh menyimpang dari yang telah digariskan
adat, yaitu balimbago, bacupak, dan bagantang (berlembaga, bercupak, dan
bergantang).
Ketiga,

mamaliharo

harato

pusako

(memelihara

harta

pusaka),

maksudnya penghulu berkewajiban memelihara harta pusaka seperti dikatakan
warih dijawek, pusako ditolong (waris diterima, pusaka ditolong). Harta pusaka
merupakan kawasan tempat anak dan kemenakan berketurunan mencari
kehidupan, tempat beribadah, dan berkubur. Harta pusaka yang dipelihara seperti
pandam perkuburan, sawah ladang, labuh tapian, korong dengan kampung, rumah
tangga, balai adat, dan mesjid. Harta pusaka yang berupa adat istiadat yang telah
diwarisi turun-temurun dari nenek moyang juga dipelihara dan ditolong untuk
dilanjutkan pada generasi selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

41

Keempat,

mamaliharo

kemenakan), maksudnya

anak

kamanakan

(memelihara

anak

dan

penghulu berkewajiban memelihara anak

dan

kemenakan seperti kata pepatah siang mancaliak-caliakkan, malam mandangadangakan, barubah basapo, batuka baanjak, hilang bacari, tabanam basilami
(siang melihat-lihat, malam mendengar-dengarkan, berubah disapa, bertukar
dipindah/digeser, hilang dicari, terbenam disilami).
Menurut Penghulu (1982:26) tugas seorang penghulu bukan hanya
terbatas pada anak dan kemenakan semata, tetapi juga mencakup mayarakat
kampung dan nagari. Tugas seorang penghulu tersebut mencakup segala bidang
seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, perumahan, keamanan, dan agama serta
menyelesaikan sebaik-baiknya jika terjadi perselisihan dalam lingkungan anak
kemenakan dan masyarakat nagari. Tugas-tugas penghulu tersebut menurut
Penghulu (1982:20) merupakan suatu karya penghulu dalam memberikan
bantuan dan partisipasi terhadap lancarnya jalannya pembangunan dan roda
pemerintahan di nagari. Penghulu juga berkewajiban memikirkan dan
memecahkan persoalan pembangunan nagari seperti pembanguanan sekolah,
mesjid, surau, irigasi, rumah, dan jalan raya. Karena itu, seorang penghulu tidak
boleh bersikap acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam
masyarakat kampung dan nagari.
Di samping tugas dan kewajiban yang dilaksanakan penghulu dalam
memimpin kaum, penghulu juga mempunyai hak. Hak penghulu tersebut adalah
sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

42

Pertama, memutuskan sesuatu permasalahan secara tegas dan tepat. Di
tengah-tengah kaumnya seorang penghulu berhak untuk mengambil suatu
keputusan yang tegas dan tepat mengenai sesuatu permasalahan, tetapi tidak
ditinggalkan unsur-unsur musyawarah dengan seluruh anggota kaum. Dia tidak
ragu-ragu bertindak dan mengatur sesuatu yang bertujuan baik untuk kepentingan
kaum. Seorang penghulu tidak menerima saja apa yang diingini oleh anggota
kaumnya. Kelebihannya sebagai seorang pemimpin harus ditunjukkan dalam
sikap dan tindakannya.
Kedua, memperoleh sawah kebesaran. Karena tugas penghulu tersebut
cukup sibuk, baik urusan ke dalam maupun ke luar yang menyangkut dengan
kaumnya, sudah jelas dia tidak mempunyai waktu lagi untuk mencari nafkah,
maka penghulu mempunyai hak untuk mendapatkan sawah kebesaran milik
kaumnya. Hasil sawah kagadangan (kebesaran) ini diperuntukkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ketiga, menetapkan hak dan kewajiban kemenakan. Dalam kerapatan
suku dan nagari seorang penghulu mempunyai hak suara untuk menyampaikan
sesuatu berupa usul dan pendapat demi kepentingan suku, nagari, dan anak serta
kemenakan pada umumnya. Seseorang penghulu secara mufakat dan bersamasama pada tingkat nagari menetapkan atau memutuskan sesuatu yang akan
diberlakukan kepada anak dan kemenakannya.
Keempat, memperoleh hasil ulayat. Penghulu pada suku dan nagari juga
mempunyai hak untuk mendapatkan hasil dari ulayat suku dan nagari,
seagaimana dikatakan: karimbo babungo kayu, ka sawah babungo ampiang,

Universitas Sumatera Utara

43

kalauik babungo karang (kerimba berbunga kayu, ke sawah berbunga emping, ke
laut berbunga karang).
Penghulu sebagai pemangku adat yang didahulukan selangkah dan yang
ditinggikan seranting mempunyai pantangan-pantangan yang tidak boleh
dilakukannya. Pantangan ini gunanya untuk menjaga martabat dan wibawa
penghulu itu di tengah-tengah anggota kaumnya. Pantangan-pantangan penghulu
tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, marah. Penghulu harus bersifat sabar sebab dalam kehidupan
sehari-hari anak kemenakan banyak tingkahnya yang tidak sesuai dengan ajaran
adat dan moral. Dalam menghadapi hal-hal yang tidak baik ini, seorang penghulu
harus bijaksana dan pandai membawakan diri, seperti dikatakan juga harimau
dalam paruik, kambiang juo nan dikaluakan (harimau dalam perut, kambing juga
yang dikeluarkan). Seorang penghulu harus menjauhi sifat-sifat yang suka
menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan baju karena sifatsifat yang suka menghardik, menghantam tanah, serta menyingsingkan lengan
baju untuk menentang seseorang berkelahi. Biasanya seorang penghulu yang
bijaksana kalau ada hal-hal yang membuatnya marah akan menyerahkan
persoalannya kepada dubalang (hulubalang).
Kedua, berlari-lari. Walau bagaimanapun terburu-burunya seorang
penghulu karena sesuatu hal, penghulu dilarang berlari-lari apalagi berlari
kencang. Berlari-lari membuat dirinya seperti anak-anak. Seorang penghulu dapat
menyuruh anak dan kemenakannya kalau ada yang perlu untuk dituruti dengan
segera.

Universitas Sumatera Utara

44

Ketiga, menjinjing dan memikul beban. Menjinjing dan memikul beban
tidak pada tempatnya bagi seorang penghulu. Kalau ini terjadi akan hilang
wibawa penghulu tersebut karena dia mempunyai anak dan kemenakan yang
dapat membantunya.
Keempat, memanjat-manjat. Pantangan bagi seorang penghulu memanjat
pohon apalagi pohon kelapa, wibawanya akan hilang apabila hal ini dia lakukan.
Penghulu sebagai pemimpin kaum harus menjaga perangai dan kelakuan
agar tidak menurunkan wibawanya di hadapan anak dan kemenakan. Ada enam
macam perangai buruk penghulu di Minangkabau, yaitu:
Pertama, pangulu nan di tanjuang (penghulu yang di tanjung), artinya
penghulu yang diibaratkan tinggal di tanjung sehingga ia dapat berenang ke
sebelah kanan dan kiri. Situasi ini menggambarkan seorang penghulu dengan
mudah memberi alasan atau dalih apabila ada orang tidak bisa menemuinya. Hal
ini mengiaskan sikap penghulu yang mengelak dari tanggung jawab.
Kedua, pangulu ayam gadang (penghulu ayam jago), yaitu penghulu yang
diibaratkan seperti ayam jago yang berkokok merdu. H