Ekowisata Leuser (Studi Etnografi Tentang Pengembangan Usaha Ekowisata di Kawasan Ekosistem Leuser Pada Masyarakat di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh) Chapter III V

BAB III
Perkembangan Kawasan Ekosistem Leuser
3.1 Sejarah Singkat Ekosistem Leuser
Hutan Leuser adalah Mega Biodiversity dan sebuah ekosistem, bukanlah
suatu hutan tanpa penghuni akan tetapi ada masyarakat di sekitarnya juga
merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga. Rimba raya dalam perspektif
budaya masyarakat Aceh menyimpan kandungan spiritual dan misteri, keberadaan
hutan rimba di tengah masyarakat agraris Aceh telah memancarkan semangat
untuk menaklukkan misteri yang masih belum terungkap itu, nilai – nilai sosial,
ekonomi, politik dan budaya akan lebih terancam oleh masuknya mesin
penggerogot ekonomi, menggilas semua kepentingan dan kearifan budaya lokal
mereka, mungkin suatu saat hutan hilang dan tak menyisakan apapun kecuali
kesengsaraan akibat bencana alam.
Konsep pemikiran tentang hutan berbasis adat yang pernah diungkapkan
oleh mukim–mukim di Aceh harusnya di ambil kembali sebagai aturan dalam
pengelolaan hutan, kembali menggunakan alat tradisional seperti adanya pawang
uteun, Kejruen Blang, pawang krueng dan menggunakan kearifan lokal lainnya
dalam mengapresiasi hutan sebagai bagian dari kebudayaan, tapi aturan ini hilang
ditelan oleh keserakahan ekonomi global, mesin-mesin canggih terus berserakan
di hutan, gergaji mesin, tractor dan buldozer menghancurkan hutan tersisa.
Kawasan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,

yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya. Penetapan kawasan konservasi merupakan implementasi
49

Universitas Sumatera Utara

strategi konservasi ekosistem dan strategi konservasi in-situ yang diarahkan
sebagai fungsi pokok perlindungan/suaka dan pelestarian alam. Amanat tentang
kawasan konservasi baik Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian
Alam (KPA) dijelaskan dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang KSA dan KPA.
Salah satu contoh bentuk kawasan konservasi adalah taman nasional.
Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam, yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi. Adapun Kawasan Pelestarian Alam didefinisikan sebagai
kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL), serta pemanfaatan secara

lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sebagai Kawasan Pelestarian
Alam, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berfungsi utama sebagai sistem
penyangga kehidupan dengan fokus pengelolaan untuk mempertahankan
perwakilan ekosistem Leuser yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati
yang sangat tinggi serta habitat penting bagi keberadaan beberapa spesies
lambang/kebanggaan (flagship species). Namun demikian, TNGL juga merupakan
hotspot keterancaman degradasi keanekaragaman hayati yang tinggi, yang
disebabkan oleh illegal logging, perambahan kawasan, kebakaran, dan aktivitas
vandalisme lainnya.

50

Universitas Sumatera Utara

Secara yuridis formal keberadaan TNGL untuk pertama kali dituangkan
dalam Pengumuman Menteri Pertanian No. 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret
1980 tentang peresmian 5 (lima) TN di Indonesia, yaitu; TN. Gunung Leuser, TN.
Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo. Berdasarkan
Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser
adalah 792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti

dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan No. 719/Dj/VII/1/80 tanggal 7 Maret
1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser dengan isi penting
yaitu pemberian status kewenangan pengelolaan TNGL kepada Sub Balai KPA
Gunung Leuser. Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses pengukuhan
kawasan hutan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 276/KptsII/1997 tentang Penunjukan TNGL seluas 1.094.692 hektar yang terletak di
Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Provinsi Aceh) dan Provinsi Sumatera
Utara.
Merujuk pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004
dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 41 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam, maka pengelolaan TNGL harus didasarkan atas perencanaan jangka
panjang, jangka menengah, dan jangka pendek dengan mengakomodasikan
aspirasi Publik serta pelibatkan para pihak dan pakar untuk menjaring pendapat
berbagai sektor dan disiplin ilmu untuk pengkayaan materi. Pengelolaan TNGL
didesain untuk mampu memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya

51

Universitas Sumatera Utara


secara optimal dan menjamin legitimasi keberadaannya secara jangka panjang
dengan semangat perubahan demokratis, transparan dan bertanggung-gugat
(accountable), serta tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Historis lahirnya Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berawal pada
tahun 1920-an atau zaman Pemerintah Kolonial Belanda, melalui serangkaian
proses penelitian dan ekplorasi seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van
Heurn di Aceh. Dalam perkembangannya muncul inisiasi positif yang didukung
para tokoh masyarakat untuk mendesak Pemerintah Kolonial Belanda agar
memberikan status kawasan konservasi (wildlife sanctuary) dan status
perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai
Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah lembah Sungai
Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian utara.
Kronologis Sejarah Lahirnya Taman Nasional Gunung Leuser.


Pada tahun 1927 Pemimpin lokal Aceh meminta kepada Pemerintah
Hindia Belanda untuk melindungi kawasan Lembah Alas dari penebangan.




Pada bulan Agustus 1928 Usulan pertama diajukan oleh Dr.Van Heurn
kepada Pemerintah Belanda untuk melindungi kawasan Singkil (hulu
Sungai Simpang Kiri) bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah
lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian Utara.



Pada 6 februari 1934, Deklarasi Tapak Tuan, Tekad perwakilan
masyarakat lokal untuk melestarikan kawasan Leuser untuk selamanya
sekaligus juga mengatur sanksi pidananya (penjara dan denda). Deklarasi
ditandatangani oleh Gubernur Hindia Belanda.

52

Universitas Sumatera Utara



Pada 3 juli 1934 , keputusan Zelfbestuurs Belsuit (ZB) No. 317/35 berisi

keputusan Pembentukan Suaka Alam Gunung Leuser seluas 142.800 ha.



Pada 8 agustus 1935, keputusan ZB. No 138 , berisi keputusan
Pembentukan kelompok hutan Langkat Sekundur. Tata batas dilakukan
pada 12 Agustus 1936.



Pada 26 oktober 1936, keputusan ZB No. 122/AGR, berisi keputusan
Pembentukan Suaka Margasatwa Kluet seluas 20.000 ha.



Pada 30 oktober 1938, keputusan sultan Langkat, berisi keputusan
Penetapan Kelompok Hutan Langkat Sekundur, Langkat Selatan, dan
Langkat Barat sebagai Suaka Margasatwa Sekundur dengan nama
Wilhelmina Katen, dengan total luas 213.985 ha.




Pada 10 Desember 1976, keputusan SK Menteri Pertanian No.
69/Kpts/Um/12/1976, berisi keputusan Penunjukkan SM Kappi seluas
150.000 ha.



Pada 6 Maret 1980, keputusan SK Menteri Pertanian No. 811/Kpts/Um/
II/1980, berisi keputusan Deklarasi TN. Gunung Leuser seluas 792.675 ha.



Pada

7

Maret

1980,


keputusan

SK

Dirjen

Kehutanan

No.

719/Dj/VII/1/1980, berisi keputusan Sub Balai Perlindungan dan
Pelestarian Alam (PPA) Gunung Leuser diberi kewenangan mengelola
TNGL.


Pada tahun 1981 TNGL ditetapkan sebagai Cagar Biosfir oleh UNESCO
atas usulan Pemerintah Indonesia.

53


Universitas Sumatera Utara



Pada 3 maret 1982, keputusan SK Menteri Pertanian No. 166/Kpts/Um/3/
1982, berisi keputusan Penunjukan Hutan Wisata Lawe Gurah, yang
berasal dari sebagian SM Kappi (7.200 ha), dan Hutan Lindung
Serbolangit (2.000 ha).



Pada tahun 1982, keputusan SK Menteri Pertanian No. 923/Kpts/UM/12/
1982, berisi keputusan TNGL di Sumatera Utara seluas 213.985 ha,
gabungan dari SM Langkat Selatan, SM Langkat Barat, SM & TW
Sekundur.



Pada tahun 1982, keputusan SK Menteri Pertanian No. 924/Kpts/UM/12/

1982, berisi keputusan TNGL di DI Aceh seluas 586.500 ha, gabungan
dari SM Kluet, SM GunungLeuser, SM Kappi, dan TW Lawe Gurah.



Pada 12 mei 1984, keputusan SK Menteri Kehutanan No. 096/KptsII/1984, berisi keputusan Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Balai
TNGL di bawah Ditjen PHPA.



Pada tahun 11 Desember 1984, keputusan SK Dirjen PHPA No. 46/
Kpts/VI-Sek/84, berisi keputusan Penunjukan wilayah kerja TNGL,
mencakup SM Gunung Leuser, SM Langkat Barat, SM Langkat Selatan,
SM Sekundur, SM Kappi, SM Kluet, TW Lawe Gurah, TW Sekundur,
Hutan Lindung Serbolangit dan Hutan Produksi Terbatas Sembabala.



Pada tahun 1984 berisi keputusan Ditetapkan sebagai ASEAN Park
Heritage.




Pada tahun 1997, keputusan SK Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/1997,
berisi keputusan Penunjukan TNGL seluas 1.094.692 ha.
54

Universitas Sumatera Utara



Pada 10 juni 2002, keputusan SK Menteri Kehutanan No. 6186/KptsII/2002, berisi keputusan Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional,
sebagaimana telah diganti dengan Permenhut No. 03 Tahun 2007.



Pada juli 2004, keputusan Komite Warisan Dunia, berisi keputusan
Penetapan TNGL, TNKS, dan TNBBS sebagai kelompok Tropical
Rainforest Heritage of Sumatra.



Pada 1 februari 2007, keputusan PerMenHut No. P.03/ Menhut-II/2007,
berisi keputasan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman
Nasional.

3.1.1 Sejarah Pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser
Sejarah pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser dimulai pada tahun 1920
sebelum Indonesia merdeka ketika Pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa di
Indonesia (terutama di Pulau Sumatera bagian utara) memberikan ijin kepada
seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn untuk mencoba
mengekplorasi sumber minyak dan mineral yang diperkirakan banyak terdapat di
Provinsi Aceh tetapi wilayah yang dijejakinya tidak menemukan sumber-sumber
tersebut. Menurut Van Heurn, para pemuka adat setempat pada saat itu
menginginkan agar dia mendiskusikan hasil penemuannya karena para pemuka
adat tersebut merasa takut apabila Pemerintah Kolonial Belanda akan menduduki
secara permanen daerah tersebut untuk mengeksploitasi sumber mineral yang ada.
Mereka peduli tentang barisan pegunungan berhutan lebat yang ada di puncak
Gunung Leuser.14 Van Heurn juga melaporkan bahwa sebenarnya pada saat itu dia
14

(Griffiths1992; UML 1998; Dasrul et al. 2006).
55

Universitas Sumatera Utara

tidak menemukan kandungan mineral yang besar. Sebagai ganti mendiskusikan
hasil penemuannya, dia menawarkan bantuan kepada para wakil pemuka adat
tersebut (yaitu para Datoek dan Oeloebalang) untuk mendesak Pemerintah
Kolonial Belanda untuk memberikan status kawasan konservasi (wildlife
sanctury).
Bagi masyarakat adat, wilayah Gunung Leuser sendiri adalah kawasan
yang dianggap sakral dan suci. Akhirnya setelah berdiskusi dengan Komisi
Belanda untuk Perlindungan Alam, pada bulan Agustus 1928, sebuah proposal
diberikan kepada Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia untuk memberikan
status perlindungan terhadap sebuah kawasan yang terbentang dari Singkil (pada
hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah
lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian utara (Griffiths 1992;
UML 1998; Dasrul et al. 2006). Sebagai seorang naturalis, Van Heurn terpanggil
untuk terus mengusahakan perlindungan formal untuk daerah tersebut karena
disadarinya bahwa daerah ini begitu unik dan kaya akan keanekaragaman
hayatinya dan di dalamnya terdapat berbagai jenis habitat penting. Atas
pendekatannya dengan Pemerintah Belanda dan para pemuka adat setempat,
akhirnya pada tanggal 6 Pebruari 1934, semua perwakilan masyarakat lokal
menandatangani sebuah deklarasi yaitu “Deklarasi Tapaktuan” dalam sebuah
upacara adat di daerah Tapaktuan dan deklarasi tersebut ditandatangani oleh
Gubernur Hindia Belanda pada saat itu.

56

Universitas Sumatera Utara

3.1.2 Fungsi Kawasan Ekosistem Leuser
Kawasan yang luas wilayahnya dua juta hektar yang menjamin
kelangsungan hidup flora dan fauna dan menyediakan kesempatan ekonomi yang
berkelanjutan, zona zoobiography hutan Indo Malaya bagian barat, wilayah
admintisrasi KEL masuk dalam pemerintahan di dua provinsi pertama Pemprov
Aceh dan kedua provinsi Sumut. Rincian kabupaten Propinsi Aceh dan Sumut
yang termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser antara lain Kabupaten Aceh
Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tamiang, Aceh Timur,
Aceh Utara, Aceh Singkil, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Nagan Raya dan Aceh
Barat. Kabupaten di provinsi Sumut : Langkat, Deli Serdang, Dairi, Karo,
kawasan ini dicadangkan sebagai suatu unit kawasan ekologis makro yang masih
memiliki habitat yang cukup untuk mendukung keberadaan spesies utama dalam
jumlah yang menjamin kelangsungan hidup mereka. Fungsi hutan tersebut antara
lain hutan pelesetarian alam seperti Taman Nasional Gunung Leuser, Tahura
Bukit Barisan, Suaka Marga Satwa Rawa Singkil, Cagar Alam Serba Jadi di Aceh
Timur, hutan produksi yang ditetapkan berdasarkan Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK), dan sebaran desa enclave dalam KEL, beberapa potensi
fauna terdapat 176 jenis binatang menyusui lima diantaranya merupakan spesies
kunci seperti badak Sumatera (Dicherorhinus sumatrensis), orang utan Sumatera
(Pongo abelii) yang hanya terdapat di propinsi Aceh, Harimau Sumatera (Panthera
trigis sumatrensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Beruang
(Helarctos malayanus), 194 jenis binatang melata, 56 jenis amfibi, 320 jenis
burung potensi flora hampir seluruhnya merupakan sebaran dari tipe hutan rendah

57

Universitas Sumatera Utara

Sumatera dipterocarpaceae antara lain didominasi oleh jenis pohon kapur
(Drynabalanops aromatica), Gaharu (Aquilaria,sp), Meranti (Shorea.sp). Medang
(litsea.Sp) damar (Pinus merkusii) dan lain-lain.
3.1.3 Lembaga Pengelola Kawasan Ekowisata Leuser
Secara administrasi pengelolaan KEL terdapat banyak kelembagaan yang
menaunginya antara lain terdapat Yayasan Leuser Internasional (YLI), Dinas
Kehutanan Aceh seperti mengelola Hutan Produksi (TGHK), Balai Besar Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL), BKSDA Aceh, BP KEL, tentu saja terjadi
tumpang tindih dalam admnistrasi pengelolaan KEL antar lembaga dan
departemen seperti BKSDA dan Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan dan Dinas
Pertanian Tanaman Pangan, Departemen Perhubungan (Infrastuktur), Departemen
Pertambangan dan Energi, Departemen Transmigrasi, Departemen Pemukiman
dan Prasarana Wilayah, ini juga yang menjadi masalah dalam pengelolaan KEL
dan sering terjadi konflik kepentingan, khususnya dalam pengembangan kawasan.
Lembaga WWF Seorang peneliti orang utan Sumatera (Pongo abelii),
berkebangsaaan Belanda yang bernama Herman D, Rijksen yang bekerja untuk
Universitas Wagening yang didanai oleh WWF Belanda dan mendirikan stasiun
Penelitian Ketambe pada tahun 1971 di Desa Balai Lutu, kecamatan Badar,
Kabupaten Aceh Tenggara. Stasiun penelitian Ketambe merupakan stasiun riset
pertama di Indonesia dan di stasiun riset inilah yang merupakan cikal bakalnya
WWF hadir di provinsi Aceh dengan program rehabilitasi orang utan Sumatera.
Pada awalnya, stasiun penelitian Ketambe merupakan lokasi untuk
rehabilitasi orang utan dan sekaligus sebagai pusat laboratorium penelitian alam,

58

Universitas Sumatera Utara

pada tahun 1980 pengelolaan Stasiun Ketambe diserahkan ke Departement
Kehutanan (PHPA), sejak itu Ketambe dijadikan sebagi pusat penelitian primata,
mamalia besar lainnya hingga jenis burung dan ekologi lainnya, sedangkan pusat
rehabilitasi orang utan Sumatera dipindahkan ke Bukit Lawang Bahorok,
Kabupaten Langkat, SUMUT. Sejalan dari itu, setelah beberapa Tahun mengelola
KEL dan pada tahun 1997, WWF di Aceh yang berkantor cabang di Aceh Selatan
ditutup, pada tahun 2003, WWF kembali beroperasi di Aceh dengan membuka
kantor program yang bernama WWF kantor program Aceh tapi WWF tidak lagi
fokus terhadap KEL, Yayasan Leuser International (YLI) beriring sejalannya
waktu, berawal dari keprihatinan terhadap kondisi KEL, beberapa tokoh Aceh
diantaranya H.Rahman Ramli, Bustanil Arifin dan Ibrahim Hasan pada tanggal 24
september 1994, mengadakan jumpa pers dengan tujuan mengumumkan
berdirinya Yayasan Leuser Internasional (YLI), pendirian lembaga ini disebabkan
rasa khawatir yang mendalam terhadap kerusakan hutan dimana HPH mulai
merambah KEL, akibatnya perlu dijaga dan dipeliharanya ekosistem tersebut,
serta diharapkan dengan dengan adanya lembaga yang menangani KEL akan
memperkuat kampanye dan edukasi KEL untuk masyarakat sekitar akibat kurang
kesadaran mayarakat setempat terhadap pentingnya hutan tropis KEL sebagai
penyangga dunia. Dalam keterangan pers yang disampaikan oleh ketua sekaligus
pendirinya H. Rahman Ramli menyatakan bahwa yayasan itu berdiri secara
independen dan berusaha keras untuk tidak sekedar peduli dengan lingkungan
hidup tetapi juga menyelamatkan sebuah struktur ekologi yang kaya dengan
sumber daya hayati dan plasma nutfah (biodiversity).

59

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan YLI yang dipimpin oleh AR
Ramli mantan Dubes RI Untuk Amerika Serikat telah berhasil menarik perhatian
internasional terutama masyarakat Uni Eropa, usaha ini berhasil mendapatkan
sejumlah bantuan sekitar 32 Juta Euro bagi keperluan pelestarian ekosistem
Leuser ini, operasional pengelolaannya untuk tujuh tahun mendatang telah
dipercayakan kepada YLI berdasarkan Keputusan Menhut nomor 227/Kpts-11/95
tanggal 21 April 1995, YLI saat ini masih eksis mengawal beberapa program di
KEL.
Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BP–KEL) Pemerintah Aceh
di masa kepemimpinan Gubernur Irwandi Yusuf membentuk sebuah gugus tugas
dalam pengelolaan KEL dengan didirikannya Badan Pengelola Kawasan
Ekosistem Leuser melalui Peraturan Gubernur No. 52 tahun 2006, setelah
mendapat persetujuan dari DPR Aceh. Adapun tugas dan wewenang dari BPKEL
yang sebagian besar erat kaitannya dengan masalah pengelolaan akan dijelaskan
lebih lanjut di dalam dokumen tersebut, dengan berlakunya Undang-Undang No.
11 tahun 2006 dan Peraturan Gubernur No.52 tahun 2006 tersebut, maka
kewenangan pengelolaan yang selama ini ada dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat
telah ditugaskan kepada Pemerintah Aceh melalui BP-KEL. Pada tahun 2006
yang mengelola KEL seluas 2,6 Juta Hektar Unit Pengelola Tehknis Daerah
(UPTD-KEL) Seiring waktu dan berubahnya peta politik Aceh dan terjadi
perubahan kepemimpinan Aceh, di masa gubernur baru Dr. Zaini Abdulalah maka
kebijakan pengelolaan KEL dan kewenangan KEL diubah dan BP-KEL
dibubarkan melalui pencabutan SK Gubernur Aceh Nomor 73 Tahun 2012,

60

Universitas Sumatera Utara

menurut informasi Pemerintah Aceh pada tahun2013 ini berencana akan
mengelola KEL di bawah koordinasi Dinas Kehutanan Provinsi dengan
membentuk UPTD KEL.
3.1.4 Peraturan Kawasan Ekosistem Leuser
Aturan dalam pengelolaan hutan di KEL yang pertama, Ikrar Tapak Tuan
yaitu musyawarah Ulebalang “Raja Kecil di kabupaten Aceh Selatan dan
Kabupaten Aceh Tenggara di Tapak Tuan” tentang bagaimana menjaga
keselamatan hutan, binatang di kawasan Antara (Tanah Gayo) dan sekitar daerah
tersebut, ditanda tangani oleh Ule Balang Kedjoroen Petimbang Gajo Loeas
Penampa’an atau Landschaap Gajo Loeas, De Betuurscommisie Vat het Lanschap
Bambol Voorzittor, Laden, Kejoeroen lanschap Powlau Mas atau De
Zelfbestuurde van Manggeng, De Zelfbestuurder van Meuke (Meukek) yang
bernama Teuku raja Di Gunong, De Zelfbestuurder van het Lanschap Lho Pawoh
Noordz (sekarang Lhok Pawoh,Sawang) Defd. Controleur de Onderafdeeling
Gajo loeas De fd.Controleur de Ondrafdeeling Alaslanddan Onderrafealing
Tapatoean.c.m. dat Zelbeutuurder van manggeng geen ambtutempel heeft. Kedua,
Goeverneur vant Atjeh en Onderhoorigheden vaardezen, de asisetent resident der
Weskunt van Atjeh pada tanggal 3 february 1934. Ketiga, Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL) telah dikukuhkan dengan surat Menteri Pertanian No
811/kpts/II/1980 melalui Surat Menteri Kehutanan No 096/Kpts-II/1984 yang
meliputi areal seluas 830.000 Ha. Untuk selanjutnya aturan lain dibuat yang
dituangkan level Propinsi dan kabupaten terdapat Deklarasi Leuser di propinsi
Aceh tanggal 12-13 agustus 1997 yang ditandatangai oleh tokoh-tokoh Aceh

61

Universitas Sumatera Utara

diantaranya Ibrahim Hasan, Ali Hasyimi, H.Bustanil Arifin, Syamsudin Mahmud,
Safwan Idris, Syaed Mudahar, Deklarasi Masyarakat Karo pada tanggal 27-28
tahun 1999. Berdasarkan keputusan Menhut Nomor 227/Kpts-11/95 tanggal 21
April 1995 telah memberi hak kepada Yayasan Leuser Internasional (YLI ) untuk
mengkonversikan dan mengembangkan Kawasan ekositem Leuser yang terletak
di dua propinsi yaitu Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Sumatera utara
dengan luas 1.790.000 ha. Pada Tanggal 29 Mei 1995 telah ditandatangani
”Financial Memorandum Agreement, No ALA 94/95” antara pemerintah RI
(diwakili Menteri Negara PPN/Ketua Bapenas) dan Uni Eropa dengan Kucuran
dana 32 juta ACU dari Uni Eropa dan Pihak RI 18 juta ACU, Surat Menteri
Negara / Ketua Bapenas No SK 219/Ket/8/1995 Tanggal 29 Agustus 1995 telah
membentuk organisasi yang mengelola proyek pengembangan dan pelestarian
Ekosistem Leuser , disebut Unit Management Leuser. Tim koordinasi daerah yang
dibentuk berdasarkan surat keputusan bersama Gubernur Daerah Istimewa Aceh
dan Gubernur Sumatera Utara (SKB 552.51/538/1995 tim ini berperan
memfasilitasi keikutsertaan berbagi pihak terkait. Tim ini dipimpin oleh Sekwilda
di kedua propinsi secara operasionalnya dikepali oleh Ketua Bapeda dimasing masing propinsi tersebut, pada tanggal 28 februari 1998 Presiden Republik
Indonesia telah menandatangani Kepres No 33 tahun 1998 tentang pengelolaan
Kawasan Ekosistem Leuser Pasal 3 (1) Kepres berbunyi, dalam rangka
pelaksanaan pengeloaan Kawasan ekosistem Leuser, Pemerintah bekerjasama
dengan Yayasan Leuser Internasional yang didirikan berdasarkan akte notaris
Chufran Hamal, SH Nomor 75 tanggal 23 juli 1994 dan menetapkan Yayasan

62

Universitas Sumatera Utara

tersebut membantu pemerintah sebagai pelaksana pengelola kawasan, lingkup
kerjasama pelaksanaan pengelolaan sebagai mana yang dimaksud dalam ayat (1)
mencakup upaya konservasi dan pengembangan Kawasan Ekositem Leuser, yang
meliputi perlindungan dan pengamanan, pengawetan, pemulihan fungsi kawasan
dan pemanfaatan secara lestari, UUPA (undang – Undang Pemerintahan Aceh)
BAB XX tentang Perencanaan Pembangunan Dan Tata Ruang, Pasal 150 yang
berisikan : pertama, Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan
pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk
pelindungan,

pengamanan,

pelestarian,

pemulihan

fungsi

kawasan

dan

pemanfaatan secara lestari. Kedua, Pemerintah-pemerintah Aceh, dan pemerintah
kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan
ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ketiga, dalam
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh
melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dan dapat melakukan
kerja sama dengan pemerintah daerah dan pihak lain. Dalam rangka pelaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah berkewajiban menyediakan
anggaran, sarana, dan prasarana.
Idiom atau sebutan paradox untuk Kawasan Ekosistem Leuser adalah
sebagai paru – paru dunia, Kawasan Ekositem Leuser jika dikelola dengan baik
secara profesional, aspiratif, partisipatif dan akuntabilitas akan mempunyai
potensi menjadikannya salah satu kawasan konservasi hutan tropis terbaik di
dunia, jika spesifikasi Leuser dapat diangkat menjadi kawasan ekosistem terbaik
akan meningkatkan citra pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia

63

Universitas Sumatera Utara

pengelolaan dan pengawasan ekosistem Leuser yang profesional juga sekaligus
akan menimbulkan kesan dari dunia Internasional bahwa negara Republik
Indonesia mampu dan dapat memprioritaskan perlindungan alam sebagai salah
satu upaya pembangunan yang mengedepankan pembangunan yang berkelanjutan.
3.1.5 Kawasan Ekosistem Leuser Yang Sekarang
Nama Leuser diambil dari nama gunung kedua tertinggi di Pulau Sumatra
yaitu Gunung Leuser yang tingginya mencapai 3404 m dpl. Kata Leuser sendiri
berasal dari kata Leusoh yang dalam bahasa Gayo berarti “diselubungi awan”.
Tetapi menurut seorang informan saya yang bernama bang Bedu (27 tahun) dia
bekerja di staff TNGL , Leuser berarti “surga terakhir bagi satwa”.
Bang Bedu mengatakan :
“Bagaimanapun manusia harus bisa hidup selaras dengan alam
yang bisa kita perbuat adalah menjaganya sebelum kerusakan
terjadi dan akan merugikan kita karena ekologi yang rusak
menghambat aktivitas makhluk hidup dan keberlangsungannya,
Alam itu tidak bisa dilawan, makanya kita jaga selalu”
Kawasan Ekosistem Leuser diperkenalkan melalui Surat Keputusan (SK)
Menteri Kehutanan No.227/Kpts-II/1995 tahun 1995 yang kemudian dikuatkan
dengan Keputusan Presiden (Keppres) No.33 tahun 1998. Kawasan sangat penting
bukan hanya karena keanekaragaman hayatinya yang tinggi tetapi juga karena
fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitarnya dan sebagai kawasan
hutan alami. Kawasan Ekosistem Leuser terdiri dari Taman Nasional Gunung
Leuser, Suaka Margasatwa, Hutan Lindung, Cagar Alam, Hutan Lindung, dan
lain-lain (UML 1998; Consortium SAFEGE 2014). Mengapa Kawasan Ekosistem
Leuser (KEL) perlu dilestarikan? Berdasarkan peta tentang keadaan hutan di

64

Universitas Sumatera Utara

Sumatera dalam 6 dekade terakhir ini menunjukkan bahwa hutan-hutan asli di
Pulau Sumatera mulai mengalami perusakan yang parah mulai era tahun 1980-an.
Kerusakan semakin parah ketika Pemerintah Indonesia mulai menerapkan sistem
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan memberikan hak tersebut kepada beberapa
perusahaan besar yang kemudian memegang monopoli pengusahaan hutan. Dalam
prakteknya ternyata sistem ini tidak banyak memberi manfaat kepada masyarakat
yang tinggal di sekitar hutan tetapi malah lebih banyak merugikan. Kerusakan
hutan yang parah telah menyebabkan rusaknya keseimbangan lingkungan yang
ditandai dengan hampir punahnya spesies hayati penting, bencana alam dan
konflik antara manusia dengan satwa.
3.1.6 Program Penelitian untuk Kawasan Ekowisata yang dilindungi
Pengaruh manusia terhadap planet bumi sudah demikian besar sehingga
sulit untuk membayangkan adanya kawasan alam yang benar-benar alami atau
stabil. Perlindungan terhadap alam, baik berupa satu spesies yang penting ataupun
suatu ekosistem keseluruhan yang mewakili, memerlukan campur tangan
pengelola untuk menjamin agar lingkungan yang cocok terpelihara. Mengelola
alam pada tingkat efisiensi dan keselamatan manapun, pengelola harus
mengetahui dan memahami banyak hal mengenai cara bekerjanya berbagai
ekosistem.
Lokasi Stasiun Penelitian Ketambe berjarak kurang lebih 32 km dari Ibu
Kota Kabupaten Aceh Tenggara Kutacane dan dapat ditempuh dalam waktu
kurang lebih 30 menit dengan kenderaan roda empat. Stasiun Penelitian Ketambe

65

Universitas Sumatera Utara

merupakan stasiun penelitian yang mempunyai fasilitas yang terlengkap diantara
stasiun penelitian yang ada di TNGL, yang terdiri dari;
(i). Areal penelitian dengan luas ± 450 ha dan sudah dilengkapi dengan sistem
trail,
(ii). 1 (satu) bangunan kayu untuk kantor manager stasiun,
(iii). 1 (satu) bangunan kayu untuk kantor asisten lapangan,
(iv). 4 (empat) bangunan kayu dengan 13 kamar tidur untuk akomodasi peneliti
(v). 1 (satu) bangunan permanen untuk dapur dan ruang pustaka
(vi). 1 (satu) pos penyeberangan merangkap pos jaga
(vii). 1 (satu) unit stasiun pencatatan curah hujan dan suhu udara
(viii). 1 (satu) unit generator untuk penerangan pada malam hari,
(ix). 1 (satu) perahu untuk penyeberangan Sungai Alas (UML 1998).
Stasiun Penelitian Ketambe menempati urutan pertama dalam hal jumlah
peneliti/mahasiswa yang melakukan penelitian di sana. Jumlah dan asal mereka
mencapai ratusan peneliti. Sebagian besar peneliti mengadakan penelitian dengan
dana sendiri ataupun disponsori oleh lembaga lain. Dalam hal ini pihak TNGL
hanya memberikan fasilitas tempat penelitian dan membantu mereka terkait
dengan administrasi penelitian. Selain untuk penelitian, sebagian peneliti dan
mahasiswa datang ke Stasiun Penelitian Ketambe untuk orientasi lapangan
sebelum mereka melakukan penelitian yang sesungguhnya. Selain itu, Stasiun
Penelitian Ketambe juga sering dikunjungi murid SLTA yang biasanya
didampingi gurunya dan NGO untuk kegiatan pengamatan lapangan, misalnya

66

Universitas Sumatera Utara

kegiatan pengenalan tumbuhan, hewan, dan para tamu lainnya yang ingin melihat
keluarganya yang sedang melakukan penelitian.
Ada enam bidang pokok di mana informasi hayati ilmiah diperlukan
pengelola, sebelum ia membuat rencana menyeluruh mengenai pengelolaan
jangka panjang kawasan yang dilindungi, yaitu:
(i)

Inventarisasi, flora, fauna, dan sumberdaya apa yang ada

(ii)

Kunatifikasi, berapa jumlah dari setiap spesies yang ada,
bagaimana penyebarannya dalam ruang dan waktu

(iii)

Hubungan ekologi, siapa yang makan apa?, bersaing dengan
siapa?, apa yang bergantung pada apa?.

(iv)

Dinamika perubahan, diperlukan studi mengenai kolonisasi
kawasan yang terganggu, suksesi seral komunitas tumbuhan,
perubahan aliran sungai, evolusi rawa, invasi spesies baru, dan
kecenderungan populasi di dalam spesies.

(v)

Kebutuhan spesies, sebanyak mungkin informasi mengenai spesies
yang memerlukan pengelolaan khusus perlu dikumpulkan,
misalnya persyaratan habitat, kebutuhan tempat berlindung,
makanan, mineral, dan air.

(vi)

Prakiraan manipulasi terhadap ekosistem, bila proses perubahan
alami berlawanan dengan tujuan pengelolaan, pengelola tentu ingin
mencegah terjadinya perubahan atau mempengaruhi arah
perubahan. Untuk itu, ia memerlukan pengetahuan khusus

67

Universitas Sumatera Utara

mengenai pengaruh langsung dan tidak langsung, jangka pendek
dan jangka panjang berbagai pengelolaan yang dipilih .
Taman Nasional Gunung Leuser adalah salah satu Kawasan Pelestarian
Alam di Indonesia seluas 1.094.692 hektare yang secara administrasi
pemerintahan terletak di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Provinsi Aceh yang
terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh
Singkil, Aceh

Tenggara, Gayo

Lues, Aceh

Tamiang,

sedangkan

Provinsi

Sumatera Utara yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Dairi, Karo,
dan Langkat.
Taman nasional ini mengambil nama dari Gunung Leuser yang menjulang
tinggi dengan ketinggian 3404 meter di atas permukaan laut di Aceh. Menurut
informan saya pak Johan beliau dulu merupakan staff konservasi TNGL namun
keluar di tahun 2008, beliau mengatakan bahwa :
“Taman nasional ini meliputi ekosistem asli yang diliputi oleh hutan
lebat khas hujan tropis, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman
Nasional Gunung Leuser memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu :
Untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,
Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.”
Secara yuridis formal keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk
pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor:
811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman
Nasional di Indonesia, yaitu; TN. Gunung Leuser, TN. Ujung Kulon, TN. Gede
Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo. Berdasarkan Pengumuman Menteri

68

Universitas Sumatera Utara

Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser adalah 792.675 ha.
Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat
Jenderal Kehutanan Nomor: 719/Dj/VII/1/80, tanggal 7 Maret 1980 yang
ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Dalam surat tersebut
disebutkan bahwa diberikannya status kewenangan pengelolaan TN. Gunung
Leuser kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser.
Diterimanya Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera ke daftar Situs
Warisan Dunia pada tahun 2004, membuat Taman Nasional Gunung Leuser juga
masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, bersama dengan Taman
Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sebagai
dasar legalitas dalam rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan telah
dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang
Penunjukan TN. Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektare yang terletak di
Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara. Dalam keputusan tersebut
disebutkan bahwa TN. Gunung Leuser terdiri dari gabungan:
1. Suaka Margasatwa Gunung Leuser : 416.500 hektare
2. Suaka Margasatwa Kluet : 20.000 hektare
3. Suaka Margasatwa Langkat Barat : 51.000 hektare
4. Suaka Margasatwa Langkat Selatan : 82.985 hektare
5. Suaka Margasatwa Sekundur : 60.600 hektare
6. Suaka Margasatwa Kappi : 142.800 hektare
7. Taman Wisata Gurah : 9.200 hektare
8. Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas : 292.707 hektare

69

Universitas Sumatera Utara

Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007, Saat ini
pengelola TNGL adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA)Departemen Kehutanan
yaitu Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) yang dipimpin
oleh Kepala Balai Besar (setingkat eselon II).
Untuk lebih menjaga TNGL dari kerusakan yang lebih parah maka
dibentuklah suatu kawasan yang disebut Kawasan Ekosistem Leuser. Kawasan
yang memiliki luas 2,6 juta hektare ini meliputi area yang lebih datar di sekeliling
TNGL dan berfungsi sebagai penyangga (buffer).
3.2 Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman spesies fauna di Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL) cukup lengkap meliputi Mamalia, Aves, Reptilia, Amphibia, Ikan dan
spesies Invertebrata lainnya. Tercatat 739 jenis fauna. Mamalia (termasuk
Primata), tercatat sekitar 176 spesies, dimana 32 spesies diantaranya merupakan
spesies mamalia yang ada di dunia atau mewakili 25% spesies mamalia yang ada
di Indonesia.
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di desa Ketambe,
merupakan salah satu Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia dengan luas sekitar
1.094.692 ha. Di Pulau Sumatera, Gunung Leuser adalah satu-satunya kawasan
yang masih dihuni oleh orang utan. Orang utan yang sudah hampir punah ini tidak
ditemukan di Pulau Sumatera kecuali di Gunung Leuser. Namun selain orang
utan, kita bisa menemukan spesies lainnya seperti Rangkong, Rusa Sambar,
Kucing Hutan, Harimau Sumatera, dan lain-lain, Fisiognomi TNGL disajikan

70

Universitas Sumatera Utara

pada Taman Nasional Gunung Leuser telah dinobatkan sebagai Cagar Biosfir oleh
UNESCO ini menawarkan berbagai obyek wisata, misalnya Arum Jeram di
Sungai Alas, trekking ke Gunung Leuser dan Gunung Kemiri. Bahorok
merupakan tempat kegiatan rehabilitasi orang utan. Jika ingin melihat penelitian
primate yang ada di TNGL dan perpustakaan, bisa mengunjungi Ketambe. Kluet
merupakan obyek wisata untuk menikmati liburan dengan mengarungi sungai dan
danau sambil bersampan tentu menjadi pengalaman yang tidak terlupakan.
Sebaiknya jika melakukan wisata ke daerah ini menggunakan jasa pemandu
wisata agar tidak tersesat saat menyusuri kawasan, keindahan sungai di TNGL.
TNGL merupakan laboratorium alam yang kaya keanekaragaman hayati
sekaligus juga merupakan ekosistem yang rentan. Leuser memperoleh skor
tertinggi untuk kontribusi konservasi terhadap kawasan konservasi di seluruh
kawasan Indo-Malaya. Leuser merupakan habitat sebagian besar fauna, mulai dari
mamalia, burung, reptil, ampibia, ikan, dan invertebrata. Hampir 65% atau 129
spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera tercatat ada
di tempat ini. Berbagai jenis ekosistem, flora, fauna, maupun mikrobiologi
mewarnai keindahan TNGL, mempunyai ekosistem asli dari pantai sampai
pegunungan tinggi, meliputi hutan hujan tropis dan dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pendidikan, budidaya,
pariwisata, dan rekreasi. TNGL juga memiliki beberapa Pusat Rehabilitasi Satwa,
seperti Pusat Rehabilitasi Orangutan di Bahorok, Pusat Rehabilitasi Satwa Langka
di Sikundur, dan Pusat Penelitian Alam di Katambe, Aceh. Pak Johan juga
mengatakan bahwa :

71

Universitas Sumatera Utara

“ekowisata memiliki fungsi sebagai pelindung habitat asli satwa
yang ada di TNGL seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris),
Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Badak Sumatera (Dicerorhinus
sumatrensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus),
Tapir (Tapirus indicus), Owa (Hylobathes lar), dan Kedih (Presbytis
thomasii).”
TNGL juga merupakan kawasan dengan daftar spesies burung terbanyak
di dunia dengan 380 spesies dan rumah bagi 36 dari 50 spesies burung Sundaland.
Hampir 65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil
di Sumatera tercatat ada ditempat ini. Leuser merupakan habitat sebagian besar
fauna, mulai dari mamalia, burung, reptil, ampibia, ikan, dan invertebrata. Maka
dari itu, tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut TNGL sebagai laboratorium
alam yang menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya.
3.2.1 Flora
Vegetasi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser termasuk flora
Sumatera dan erat hubungannya dengan flora di Semenanjung Malaysia, Pulau
Jawa, Pulau Kalimantan, dan bahkan Philipina. Formasi vegetasi alami di Taman
Nasional Gunung Leuser ditetapkan berdasarkan 5 kriteria, yaitu bioklimat (zona
klimatik ketinggian dengan berbagai formasi floristiknya). Tanaman-tanaman
menakjubkan seperti Rafflesia (bunga terbesar di dunia) dan Amorphophallus
(bunga tertinggi di dunia) adalah beberapa tanaman yang dilindungi di sana
seperti tumbuhan pencekik dan lain sebagainya.
Selain itu kawasan ini memiliki struktur geografis yang unik yaitu
gabungan antara pantai dan hutan hujan tropika serta terhampar mulai dari dataran
rendah hingga dataran tinggi, maka kita bisa berharap untuk menemukan berbagai
area wisata seperti sungai, danau, pantai, gunung, gua, lembah, sumber air panah,
72

Universitas Sumatera Utara

dan air terjun. Tentu saja di area-area wisata tersebut kita bisa melakukan
berbagai aktivitas yang menyenangkan, seperti arum jeram, berenang,
berpetualang, berendam, dan lain sebagainya. Semua itu membuat obyek wisata
Taman Nasional Gunung Leuser menjadi sangat menarik untuk dikunjungi.
Empat kriteria lainnya adalah hubungan antara komposisi floristik dengan
biogeografi, hidrologi, tipe batuan dasar dan tanah. Pembagian wilayah tumbuhtumbuhan di Taman Nasional Gunung Leuser dalam beberapa zona, yaitu: Zona
Tropika (termasuk zona Colline, terletak 500 – 1000 mdpl). Zona Tropika
merupakan daerah berhutan lebat dengan jenis tegakan kayu yang berdiameter
besar dan tinggi sampai mencapai 40 meter. Pohon atau tegakan kayu yang
terdapat pada Zona Tropika digunakan sebagai pohon tumpangan dari berbagai
tumbuhan jenis liana dan epifit yang menarik, seperti anggrek, dan lainnya. Zona
peralihan dari Zona Tropica ke Zona Colline dan Zona Sub-Montane ditandai
dengan semakin banyaknya jenis tanaman berbunga indah dan berbeda jenis
tumbuhan dengan Zona Tropika karena perbedaan ketinggian. Semakin tinggi
suatu tempat maka pohon semakin berkurang, jenis liana mulai menghilang dan
makin banyak dijumpai jenis rotan berduri. Zona Montane (termasuk zona sub
montane,terletak 1000 – 1500 mdpl). Zona montane disebut juga dengan hutan
montane. Tegakan kayu yang terdapat pada Zona Montane tidak terlalu tinggi
hanya berkisar antara 10 – 20 meter. Pada Zona Montane Tidak terdapat jenis
tumbuhan liana. Pada Zona ini terdapat Lumut yang banyak menutupi tegakan
kayu atau pohon. Kelembaban udara sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup
kabut. Zona Sub Alphine (2900 – 4200 mdpl), disebut juga hutan Ercacoid dan

73

Universitas Sumatera Utara

pada zona ini tidak dijumpai lagi pohon-pohon tinggi. Hutan Ercacoid terdiri dari
lapisan tebal campuran dari pohon-pohon kerdil dan semak-semak dengan
beberapa pohon berbentuk payung (familia Ericacae) yang menjulang tersendiri
serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut.
3.2.2 Fauna
Taman Nasional Gunung Leuser merupakan habitat dari mamalia, reptil,
burung, ampibi, ikan, dan invertebrata. Kawasan ini juga merupakan habitat
burung dengan daftar spesies burung sebanyak 380 dengan 350 spesies di
antaranya merupakan hidup menetap di Taman Nasional Gunung Leuser.
Diprediksi bahwa 36 dari 50 jenis burung endemik di Sundaland, dapat juga
ditemukan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Dari 129 spesies mamalia
besar dan kecil di seluruh Sumatera, 65% di antaranya berada di kawasan taman
nasional ini
Beberapa mamalia penting (key species) yang terdapat di TNGL antara
lain orangutan (Pongo pygmaeus), serudung (Hylobates lar), siamang (Hylobates
syndactylus), kera (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestriana), kedih
(Presbytis thomasi), macan dahan (Neofalis nebulosa), beruang (Helarctos
melayanus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), badak Sumatera
(Dicerorhinus sumatrensis), buaya muara (Crocodylus porosus), dan kambing
hutan (Capricornis sumatrensis) Untuk spesies burung (Aves) di TNGL terdapat
paling sedikit 350 spesies yang sudah diidentifikasi. Jumlah ini mewakili 80%
spesies burung yang ada di Pulau Sumatera. Sedangkan untuk spesies Reptilia dan
Amphibia didominasi oleh spesies-spesies ular (Phyton) dan Buaya, sementara

74

Universitas Sumatera Utara

spesies ikan yang khas terdapat di TNGL adalah ikan jurung yang hidup
dibeberapa sungai yang mengalir di KEL.
Kekayaan fauna di Taman Nasional Gunung Leuser yang banyak terdapat
di kawasan yang terletak di ketinggian 0-1000 mdpl. komposisi fauna mengalami
perubahan dan keberadaannya mulai terbatas terdapat di daerah yang lebih tinggi..
Taman Nasional Gunung Leuser dan kawasan di sekitarnya yang disebut sebagai
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan habitat dari gajah Sumatera
(Elephas maximus sumatranus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae),
badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Orangutan Sumatera (Pongo abelii),
Siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), Owa (Hylobates lar), Kedih
(Presbytis thomasi). Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di Taman
Nasional Gunung Leuser antara lain mawas/orangutan (Pongo abelii), siamang
(Hylobates syndactylus), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), badak
Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis), harimau Sumatera (Panthera
tigris sumatrae), kambing hutan (Capricornis sumatraensis), rangkong (Buceros
bicornis), rusa sambar (Cervus unicolor), dan kucing hutan (Prionailurus
bengalensis sumatrana).
Diperkirakan ada sekitar 89 spesies langka dan dilindungi berada di
Taman Nasional Gunung Leuser, di antaranya:


Orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii)



Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)



Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae)



Gajah sumatera (Elephas maximus)

75

Universitas Sumatera Utara



Beruang madu (Helarctos malayanus)



Rangkong papan (Buceros bicornis)



Ajag (Cuon Alpinus)



Siamang (Hylobates syndactylus).

Diperkirakan ada sekitar 325 jenis burung di Taman Nasional Gunung Leuser, di
antaranya: rangkong badak (Buceros rhinoceros). Fauna reptilia dan amphibia
didominasi ular berbisa dan buaya (Crocodillus sp). Di sini terdapat ikan
jurung (Tor sp), ikan endemik Sungai Alas yang bisa mencapai panjang 1 meter.
Di sini juga terdapat kupu-kupu. Ekosistem memiliki keanekaragaman hayati
yang berlimpah dan saat ini terhitung langka.

3.3 Pengetahuan dan pandangan Penduduk Setempat mengenai Ekosistem
Leuser
Tanah Rencong (Aceh) adalah tanah perjuangan, hidup dan mati kita di
sini. Hutan Leuser adalah tempat Para Pejuang Muslimin Aceh bergerilya hidup
mati mempertahankan Republik ini dari Penjajahan Belanda, maka harapan
penyelamatan hutan Leuser harus terus dipertahankan, sejalan dengan masih
adanya hutan tersisa di Leuser, walau harapan sulit, tapi harus tetap ditumbuhkan
kembali dibumi Serambi Mekah. Nama Leuser diambil dari bahasa gayo yang
berarti LEUSOH yang berarti ”yang diselubungi awan”, dalam bahasa lokal Gayo
kawasan Leuser ini juga disebut dengan ”Padang Sri Bulan” tempat semua hewan
besar mengakhiri ajalnya disebuah Pegunungan di Kawasan Hutan Rimba Raya

76

Universitas Sumatera Utara

Leuser, hal ini seperti perumpaan bagi "Shangrila" sebuah nama pegunungan di
daratan china yang diartikan dalam bahasa China yang berarti surga yang
diselubungi Awan, ini menunjukan sebuah indikator hutan tropis yang masih
terawat dengan baik, menurut mitos masyarakat Gayo.
Menurut Kepala Adat pak Saparudin (40 tahun) di desa ketambe menyatakan
“kawasan ekosistem leuser dulu hingga sekarang sangat banyak
mengalami perubahan, baik dari segi SDA maupun SDMnya.”
Sehingga Ecotourism atau yang disebut ekowisata merupakan pariwisata
alternative yang menekankan perjalanan ke daerah-daerah yang masih asli untuk
memahami kebudayaan dan lingkungan alami sambil memelihara keseimbangan
ekosistem dan memberikan keutungan sosial ekonomis bagi penduduk setempat.
Mengutamakan

kelestarian lingkungan,

menikmati alam tanpa merusak

lingkungan dan berkontribusi terhadap perbaikan standar kesejahtraan sosial
ekonomi penduduk setempat merupakan inti pengertian ecotourism.15
Partisipasi masyarakat lokal didalam perencanaan, implementasi dan
pengelolaan proyek ekowisata adalah kunci dari kesuksesan proyek. Menurut
informan saya yang bernama Kamarudin (30 tahun) atau sapaan yang sering saya
ucapkan paman Udin merupakan Kepala Dusun Desa Jambur Laklak, beliau juga
salah satu pegawai di Wisma Cinta Alam milik pak Johan, dan juga sebagai
Guide. Paman udin menjelaskan bahwa
“untuk kesuksesan konservasi habitat, maka masyarakat lokal
harus menjadi pemain utama dalam proyek pembangunan.
Masyarakat harus mendapatkan keuntungan ekonomi secara
signifikan dari proyek sebagai kompensasi dari kehilangan akses
terhadap sumberdaya tersebut.”
Jarot Sumarwoto, “Pemasaran dan Pengelolaan Ecotourism”, Pancaroba, Musim Panen 1995,
hlm. 51.
15

77

Universitas Sumatera Utara

Mengambil pelajaran dari kegagalan beberapa proyek ekowisata karena
kurangnya kontrol lokal dan menggabungkannya dengan beberapa contoh
keberhasilan program ekowisata seperti beberapa saran dalam perencanaan
ekowisata di masa akan datang adalah :


Level Pedesaan : semua direncanakan dan diterapkan pada level desa,
walaupun proyek tersebut mempunyai cakupan yang lebih luas.



Integrasi Lokal : Ekowisata yang murni harus mengintegrasikan
masyarakat lokal sebagai mitra sejajar dalam disain, pelaksanaan dan
setiap aspek kegiatan proyek.



Kekuatan lokal yang sah dan berskala luas : Masyarakay harus
berpendidikan dan diperkuat dalam hal manajemen dan administrasi
pekerjaan. Proyek harus berbasis luas dengan derajat partisipasi yang luas
daripada hanya segelintir orang atau lembaga.



Penggunaan sumberdaya yang tersedia : Penggunaan tenaga kerja,
pemandu dan bahan-bahan lokal yang tersedia.



Cakupan atas skala yang memadai : rancangan dan pembangunan harus
pada skala yang tepat dengan kondisi kehidupan setempat, struktur sosial,
pandangan budaya, pola subsistem dan organisasi kemasyarakatan.



Kelestarian / kesinambungan : Bekerja untuk kelestarian jangka panjang
dan berkesinambungan usaha-usaha konservasi.



Kebutuhan lokal dan konservasi adalah hal utama : kebutuhan turis harus
merupakan prioritas kedua, setelah usaha konservasi sumberdaya termasuk
termasuk didalamnya masyarakat lokal.
78

Universitas Sumatera Utara



Profesionalisme harus menjadi bagian : Melibatkan para ahli untuk ikut
merancang dan diikutsertakan dalam kegiatan praktis yang berhubungan
dengan tanggungjawab dan manfaat konservasi.



Konservasi adalah strategi pembangunan yang hidup



Dukungan pemerintah : Pemerintah dan juga kelompok konservasi
nasional harus aktif mendorong masyarakat lokal kedalam ekowisata.



Investor dan operator yang berhati-hati : Investor asing harus didorong
untuk menanam modal pada proyek ekoturisme yang berbasis masyarakat
sebagai mitra sejajar dengan masyarakat lokal ataupun investor lokal.
Kegiatan penelitian dalam bidang ekowisata barangkali merupakan

kegiatan yang tidak ada habis-habisnya, dan perlu dilaksanakan pada berbagai
tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga ke monitoring. Melalui
penelitian

akan

diperoleh

informasi

yang

diinginkan,

sehingga

dapat

dipergunakan sebagai dasar untuk melaksanakan suatu program. Penelitian juga
dapat membantu memformulasikan aturan dan kebijakan terhadap kegiatan
ekoturisme. Salah satu konsep yang ditawarkan dalam pengembangan ekoturisme
adalah menggunakan prinsip Participatory Action Research (PAR) yang
dikemukakan oleh Ryan dan Robinson (1990), secara umum mempunyai lima
prinsip penelitian yaitu :
1. Penelitian harus melibatkan masyarakat secara penuh dan aktif mulai dari
proses penelitian.
2. Penelitian harus melibatkan seluruh komponen masyarakat secara penuh:
kaum miskin, tertekan dan kelompok yang tereksploitasi.

79

Universitas Sumatera Utara

3. Proses penelitian dapat membuat sadar masyarakat sebagai pemilik
sumberdaya dan menggerakkan untuk membangun kepercayaan diri.
4. Metode penelitian yang digunakan harus teliti dan menggunakan analisis
autentik berdasarkan realitas sosial.
5. Peneliti adalah orang yang mempunyai komitmen dan belajar dari proses
penelitian
Sedangkan kegiatan pendidikan ekowisata pada dasarnya dapat dibagi dua yaitu
pendidikan untuk para ekoturis dan pendidikan bagi para penyelenggara kegiatan
ekowisata. Aspek pendidikan yang akan diterima oleh para ekoturis sangat
bergantung dari kualitas program yang diikutinya. Program yang diikuti para
ekoturis merupakan akumulasi pengetahuan para stakeholder, khususnya
penyelengga (operator) turisme. Oleh karena itu pendidikan bagi penyelenggara
kegiatan ekoturisme

Dokumen yang terkait

Ekowisata Mangrove (Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kampoeng Nipah, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai)

20 256 138

Kebijakan Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara Dalam Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser

1 22 132

HUBUNGAN LAMA PENDIDIKAN DAN PENEGETAHUAN PETANI TERHADAP PELESTARIAN EKOSISTEM LEUSER DI KABUPATEN ACEH TENGGARA.

0 0 24

Ekowisata Leuser (Studi Etnografi Tentang Pengembangan Usaha Ekowisata di Kawasan Ekosistem Leuser Pada Masyarakat di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh)

0 0 15

Ekowisata Leuser (Studi Etnografi Tentang Pengembangan Usaha Ekowisata di Kawasan Ekosistem Leuser Pada Masyarakat di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh)

0 0 1

Ekowisata Leuser (Studi Etnografi Tentang Pengembangan Usaha Ekowisata di Kawasan Ekosistem Leuser Pada Masyarakat di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh)

0 0 23

Ekowisata Leuser (Studi Etnografi Tentang Pengembangan Usaha Ekowisata di Kawasan Ekosistem Leuser Pada Masyarakat di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh)

0 0 25

Ekowisata Leuser (Studi Etnografi Tentang Pengembangan Usaha Ekowisata di Kawasan Ekosistem Leuser Pada Masyarakat di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh)

1 1 3

Ekowisata Leuser (Studi Etnografi Tentang Pengembangan Usaha Ekowisata di Kawasan Ekosistem Leuser Pada Masyarakat di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh)

0 0 7

Membangun Komunlkasi Lintas Budaya dalam Pengembangan Ekowisata di Kawasan Ekosistem Leuser

0 0 11