Ekowisata Mangrove (Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kampoeng Nipah, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai)

(1)

EKOWISATA MANGROVE

(Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kampoeng Nipah, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan

Perbaungan, Serdang Bedagai) SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Sosial

Dalam bidang Antropologi

Oleh

WISNU TRIWIBOWO 110905057

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

EKOWISATA MANGROVE (Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kampoeng Nipah, Desa Sei

Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan disini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Mei 2015


(3)

ABSTRAK

Wisnu Triwibowo, 2015. Judul Skripsi: EKOWISATA MANGROVE (Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kampoeng Nipah, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai). Skripsi ini terdiri atas 5 bab, 119 halaman, 9 tabel dan 9 gambar.

Penelitian ini mengkaji tentang pengelolaan ekowisata mangrove berbasis masyarakat (community based-management) yang saat ini menjadi salah satu model pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (sustainibility development

tourism) dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai aktor dalam

pengelolaan kawasan ekowisata.

Penelitian dilakukan di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Daerah ini merupakan daerah pesisir Sumatera yang memanfaatkan keadaan alam untuk mengembangkan kepariwisataan khususnya di daerah Sumatera Utara.

Metode yang digunakan dalam penulisan adalah metode etnografi yang merupakan bagian dari pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan partisipasi observasi dimana penulis ikut terlibat dalam aktivitas pengelolaan ekowisata.

Permasalahan yang dibahas adalah mengenai pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat terlibat dalam pengelolaan ekowisata mulai dari perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi program. Selain itu mereka juga mengembangkan program-program yang mendukung keberlanjutan ekowisata yang kemudian dikemas dalam bentuk promosi dan pemasaran ekowisata. Dalam pengelolaanya masyarakat setempat telah memiliki struktur organisasi pengelolaan, pembukuan, pembagian hasil usaha serta kemampuan dalam menghadapi kasus-kasus yang berkembang selama menjalankan ekowisata.

Kata kunci: Pengelolaan, Ekowisata, Masyarakat, Sustainibility Development Tourism


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamua’laikum Wr Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul EKOWISATA MANGROVE (Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai). Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan kali ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada keluarga saya yang sampai saat ini terus mendukung dan memotivasi saya untuk terus melakukan yang terbaik. Terima kasih terbesar saya persembahkan untuk kedua orang tua, Ibu saya Suparmi dan Ayah Dipon yang dengan sukarela membesarkan, mendidik dan mengizinkan saya untuk dapat terus berkarya. Kepada kedua kakak saya, Irma wati dan Ranti Purwasih terima kasih atas dukungan yang begitu luar biasa.

Kepada Ibu Dra. Sabariah Bangun, M.Soc, Sc selaku dosen pembimbing saya yang telah banyak memberikan waktu, ilmu dan perhatian kepada saya mulai dari awal pemilihan judul hingga selesainnya skripsi ini. Bapak Prof. Dr. Badarudin M. Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(5)

Terima kasih saya ucapkan kepada Ketua Departemen Antropologi Bapak Dr. Fikarwin Zuska yang selalu memberikan arahan dan menjadi rekan diskusi yang mampu memberikan pencerahan. Bapak Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi. Dosen Penasehat Akademik Ibu Dra. Tjut Syahriani M.Soc, Sc yang selalu memberikan saran dan masukkan selama perkuliahan kepada saya. Dosen-dosen Antropologi Sosial yang telah banyak memberikan ilmu dan motivasi Dra. Nita Savitri M.Hum, Dra. Rita Tambunan, M.Si, Drs. Zulkifli, M.Si, Dra. Mariana Makmur, M.A, Drs. Ermansyah M.Hum, Dra. Sri Alem Sembiring, M.A, Kak Aida dan dosen lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu serta kak Nurhayatti staf administrasi yang juga telah berbaik hati mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada Kelompok Muara Baimbai terutama kepada Bang Tris selaku ketua dan Ibu Jumiati selaku manajer unit wisata yang mengizinkan saya untuk melakukan penelitian di lokasi ekowisata mangrove Kampoeng Nipah. Tak terlupakan pula terima kasih saya ucapkan kepada keluarga Bang Iyan yang memberikan tempat tinggal kepada saya selama saya berada di Sei Nagalawan. Kepada seluruh anggota kelompok Muara Baimbai Kak Nurlia, Ibu Saniah, Ibu Ani, Kak Lestari, Bang Isa, Bang Herman, Reza, Aris dan anggota lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih sudah mau berbagi cerita kepada saya.

Kerabat Antropologi angkatan 2011 yang sudah banyak memberikan pengalaman yang tak akan pernah terlupakan. Terkhusus kepada Rianda Purba, Suci Wulan Sari, Rini Rezeki Utami dan Mbak Evi terima kasih telah banyak


(6)

memberikan motivasi kepada saya. Kepada rekan-rekan magang Laila Ulfa, Fani Larasati serta Juliani dan teman-teman lain yang banyak berbagi dan menghabiskan waktu bersama. Terima kasih juga kepada senior Kak Desi, Bang Zulham, Kak Etta, Bang Samuel, Kak Fani, Kak Prisil dan lainnya.

Teman-teman penyiar Radio USUKOM yang sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk bergabung dan menjadi satu tim selama masa perkuliahan ini terutama kepada Miss Windi yang selalu menjadi pendengar yang baik, kepada Susan Natasya dan Agus Pamungkas yang selalu memberikan motivasi serta inpirasi, Endang Murdaningsih, Kak Icha, Kak Cessi, Yasmin Sarah, Ray Gunayes dan seluruh penyiar lainnya.

Teman-teman volunteer mangrove @KeMANGTEERMDN yang sudah memberikan dukungan untuk penulisan skripsi ini terutama kepada Ketua Doni Latuparisa, Divisi HUMKOMINFO Septian Yudhiansyah, Divisi acara Indra Surya, Anissa Solehati, Sardo Naibaho, Prasetyo Utomo, Maulana Shidiq dan seluruh volunteer @KeMANGTEERMDN

Teman-teman Beasiswa Dompet Dhuafa Waspada dan LAZ PT. Bank SUMUT angkatan XXII yang telah banyak membagi ilmu Terutama kepada Pak Arman, Fajri, Kartika, Siti dan Maya. Teman-teman Beasiswa Pertamina Foundation yang sudah banyak berbagi pengalaman selama di Surabaya serta terkhusus kepada teman-teman Regional Medan angkatan 3 dan 4 yakni Bang Apriandi, M. Anugerah, Rivai Muda Harahap, Rahmad, Fitri, Ristauli, Adilla Rahman dan Kak Ocha. Rekan kerja selama bekerja di Anggun Fashion 03 dan 05


(7)

yang sudah mengizinkan saya bekerja sambil kuliah terutama kepada Pak Taufik selaku head store, Kak Hera, Kak Nurul, Tyas dan Bang Anggi. Teman-teman bercerita yang sampai saat ini tidak pernah bosan mendengarkan yakni Hafiz dan Winda dan segala pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah keilmuan bagi penulis sendiri dan bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr Wb

Medan, Mei 2015 Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Wisnu Triwibowo lahir pada tanggal 4 Juli 1993 di Simalungun, Sumatera Utara. Anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Dipon dan Ibu Suparmi. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 096757 Panggualan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama di MTs Al-Washliyah Parlakitangan pada tahun 2008 dan menyelesaikan pendidikan SMA di SMA Negeri 1 Ujung Padang tahun 2011. Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Universitas Sumatera Utara dengan spesifikasi Ilmu

Antropologi Sosial. E-mail aktif

Selama kuliah banyak kegiatan yang telah diikuti, antara lain:

 Peserta Sobi Camp “Simplicity For Sustainibility” di Surabaya (2014)

 Magang di USAID-IUWASH Regional Sumatera Utara (2014)

 Co-Fasilitator di Training of Trainer USAID-IUWASH (2014)

 Local Assistant Pada Kegiatan Pengarusutamaan Gender di Biro PP SUMUT

 Seminar Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi SUMUT (2014)


(9)

 Workshop Media Broadcasting dengan Metro TV (2013)

 Seminar a Public Lecture on Barus History From XII to The Mid of XVII Century (2014)

 Pelatihan Training of Fasilitator oleh Departemen Antropologi- FISIP USU (2012)

 Penyiar di Radio USUKOM FM

 Mengundang UPM-Malaysia untuk melakukan studi banding di USUKOM (2013)

 Show The Dandess dan Payung Teduh dalam perayaan ulang tahun Radio USUKOM (2014)

 Founder KeMANGTEEER MEDAN (2014)

 Terlibat dalam kampanye anti kekerasan terhadap anak dan perempuan bersama PKPA Kota Medan (2012)

 Bekerja di Anggun Fashion (03 & 05) (2012-2014)

 Bekerjasama dengan Lembaga Kemitraan Jakarta sebagai Short Term-Observer (2014)

 Bekerjasama dengan Studi MSP-USU sebagai Enumerator untuk Evaluasi Kinerja Kota Medan (2014)

 Enumerator dalam penelitian Potensi Pariwisata Kabupaten Samosir (2014)


(10)

Prestasi

 Juara 1 lomba Debat Politik Antropologi FISIP-USU (2014)

 Pemenang essay Tropical Landscape Summit UNORCID (20015)

 Peserta PKM-GT (Program Kreativitas Mahasiswa) (2014)

 Penerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA)

 Penerima Beasiswa Dompet Dhuaffa-LAZ PT.Bank Sumut Angkatan XXII


(11)

KATA PENGANTAR

Judul skripsi ini adalah EKOWISATA MANGROVE (Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kampoeng Nipah, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai). Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Jurusan Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini membahas tentang pengelolaan ekowisata mangrove yang dijalankan oleh masyarakat setempat di Desa Sei Nagalawan tepatnya di dusun III, Kampoeng Nipah. Adapun pembahasan skripsi mengenai sejarah ekowisata mangrove, keanekaragaman mangrove, pengetahuan masyarakat lokal tentang mangrove, sarana dan prasarana ekowisata serta prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengelolaan dan pelayanan ekowisata.

Secara lebih spesifik skripsi ini berfokus pada kajian mengenai partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata, struktur organisasi, hal-hal yang dilakukan dalam pengembangan ekowisata, pembukuan dan sistem pembagian hasil usaha serta kasus-kasus yang berkembang selama ekowisata dijalankan.

Skripsi ini berisi kajian yang didasarkan pada data lapangan yang diperoleh melalui wawancara dan observasi partisipasi terhadap kelompok masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan ekowisata mangrove Kampoeng Nipah, Sei Nagalawan. Keterlibatan masyarakat setempat sudah dilakukan cukup lama bahkan sebelum ekowisata berkembang. Dengan swadaya dan kebersamaan


(12)

mereka membangun kawasan pesisir menjadi kawasan ekowisata yang memiliki nilai jual dan mendukung perekonomian masyarakat setempat.

Dalam tulisan ini, saya juga membuat daftar pustaka, tabel, gambar hasil penelitian, peta lokasi serta surat penelitian yang mendukung isi tulisan.

Dalam penulisan skripsi ini, saya yakin akan adanya kekurangan sehingga dengan sengan hati saya menerima masukan, kritik dan saran untuk membuat skripsi ini lebih baik lagi. Demikian pengantar dari saya, besar harapan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dalam bidang akademik maupun praktis.

Medan , Mei 2015


(13)

DAFTAR ISI

Pernyataan Originalitas ... i

Abstrak... ... ii

Ucapan Terima Kasih... ... iii

Riwayat Hidup... ... vi

Kata Pengantar... ... viii

Daftar Isi... ... x

Daftar Tabel... ... xiii

Daftar Gambar... ... xiv

Lampiran... ... xv

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tinjauan Pustaka ... 7

1.3 Rumusan Masalah ... 20

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 21

1.5 Metode Penelitian... 22

1.5.1 Teknik Observasi ... 24

1.5.2 Teknik Wawancara... 25

1.5.3 Analisis Data ... 26

1.6 Pengalaman Lapangan ... 27

BAB II Gambaran Umun Sei Nagalawan ... 33

2.1 Sekilas Tentang Desa Sei Nagalawan ... 33

2.2 Pemerintahan Desa ... 34

2.3 Luas dan Pembagian Wilayah ... 34

2.4 Batas Desa ... 35

2.5 Kependudukan... 36

2.5.1 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin ... 36

2.5.2 Komposisi Penduduk Menurut Usia ... 36

2.5.3 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 37

2.5.4 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 39

2.5.5 Komposisi Penduduk Menurut Agama ... 40

2.5.6 Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa ... 41

2.6 Sarana dan Prasarana... 42

2.6.1 Sarana Pendidikan ... 42

2.6.2 Sarana Kesehatan ... 42

2.6.3 Sarana Ibadah ... 43

2.6.4 Sarana Transportasi ... 43

2.6.5 Sarana Komunikasi ... 43

2.7 Potensi Desa Sei Nagalawan ... 44

2.7.1 Potensi Perkebunan dan Pertanian ... 44

2.7.2 Potensi Pariwisata ... 44


(14)

2.7.2.2 Ekowisata Mangrove Kampoeng Nipah ... 45

2.7.2.3 Pantai Tengah ... 45

2.7.3 Potensi Perikanan dan Kelautan ... 45

2.7.4 Potensi Kerajinan Tangaan Tikar Purun ... 46

BAB III Perkembangan Ekowisata Mangrove Kampoeng Nipah ... 47

3.1 Sejarah Ekowisata Mangrove ... 47

3.1.1 Motif Konservasi ... 53

3.1.2Motif Ekonomi ... 53

3.2 Keanekaragaman Mangrove di Kawasan Ekowisata ... 54

3.2.1 Siapi-api Hitam (Avicennia Alba) ... 55

3.2.2 Nipah (Nypa Fruticans). ... 55

3.2.3 Perepat (Sonneratia Alba). ... 56

3.2.4 Jeruju (Acantus Ilicifolius). ... 57

3.3 Pengetahuan dan Pandangan Penduduk Setempat Terhadap Mangrove. 59 3.4 Sarana dan Prasarana Ekowisata Mangrove ... 61

3.4.1 Pemandu Wisata ... 63

3.4.2 Joglo ... 65

3.4.3 Aula ... 66

3.4.4 Homestay ... 66

3.4.5 Lokasi Preweeding ... 67

3.4.6 Ruang Sholat ... 68

3.4.7 Berkeliling Dengan Perahu ... 69

3.4.8 Memancing ... 70

3.4.9 Menyantap Seafood ... 70

3.5 Prinsip-Prinsip Pengelolaan Ekowisata ... 73

3.5.1 Pelestarian ... 73

3.5.2 Pendidikan ... 74

3.5.3 Pariwisata ... 75

3.5.4 Ekonomi ... 76

3.5.5 Partisipasi ... 76

3.6 Prinsip Pelayanan Ekowisata ... 77

3.6.1 Aman ... 77

3.6.2 Sinergi ... 78

3.6.3 Ramah ... 78

3.6.4 Inspiratif ... 79

3.7 Hal Yang Dilakukan Dalam Pengelolaan Ekowisata ... 79

3.7.1 Melakukan Promosi ... 80

3.7.2 Segmentasi Pasar Wisata Mangrove ... 81

3.7.3 Target dan Prediksi Pengunjung ... 82

3.7.4 Pembentukan Kelompok Sadar Wisata ... 83

3.8 Program-Program Pengembangan Ekowisata ... 84

3.8.1 Program Wisata Edukasi ... 85

3.8.2 Program Wisata Konservasi ... 85

3.8.2.1 Paket Wisata Liburan Keluarga ... 86


(15)

3.8.2.3 Paket Wisata Camping Ground ... 87

3.8.2.4 Paket Wisata Class Mangrove ... 87

3.8.2.5 Paket Wisata Tour Mangrove... 88

3.8.2.6 Paket Wisata Kuliner... 88

3.8.2.7 Paket Wisata Adopsi Pohon ... 88

BAB IV Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat ... 90

4.1 Struktur Organisasi Pengelolaan Ekowisata ... 90

4.2 Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekowisata... 93

4.3 Masyarakat Yang Terlibat Dalam Pengelolaan Ekowisata ... 95

4.4 Oleh-Oleh Khas Mangrove ... 98

4.4.1 Dodol Mangrove ... 99

4.4.2 Kerupuk Mangrove ... 100

4.4.3 Sirup Mangrove ... 101

4.4.4 Teh Jeruju ... 102

4.4.5 Selai Mangrove ... 102

4.4.6 Kerupuk Ikan ... 102

4.4.7 Kue Selimut Api-Api ... 103

4.4.8 Kerupuk Teri ... 103

4.4.9 Kue Kering Selai Perepat ... 104

4.5 Pembukuan Ekowisata Mangrove ... 104

4.6 Sistem Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) ... 105

4.7 Kasus-Kasus Dalam Pengembangan Ekowisata mangrove ... 106

4.7.1 Anggota Kelompok Hilang Di Laut ... 103

4.7.2 Pemblokiran Akses Masuk Ekowisata ... 107

4.7.3 Konflik Dengan Sumatera Woman Foundation ... 108

4.7.4 Konflik Dengan Kelompok Maju Bersama... 110

4.7.5 Kasus Minuman Keras ... 112

4.8 Keterlibatan Pemerintah Dalam Pengembangan Ekowisata... 114

BAB V Penutup ... 116

5.1 Kesimpulan ... 116

5.2 Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Daftar Kepemimpinan Kepala Desa Sei Nagalawan ... 34

Tabel 2: Jumlah penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 36

Tabel 3: Komposisi Penduduk Menurut Usia ... 36

Tabel 4: Komposisi Penduduk Menurut Mata pencarian ... 38

Tabel 5: Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 39

Tabel 6: Komposisi Penduduk Menurut Agama ... 40

Tabel 7: Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa ... 41

Tabel 8: Modal Awal Unit Usaha Wisata ... 68


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Daftar Kepemimpinan Kepala Desa Sei Nagalawan ... 34

Tabel 2: Jumlah penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 36

Tabel 3: Komposisi Penduduk Menurut Usia ... 36

Tabel 4: Komposisi Penduduk Menurut Mata pencarian ... 38

Tabel 5: Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 39

Tabel 6: Komposisi Penduduk Menurut Agama ... 40

Tabel 7: Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa ... 41

Tabel 8: Modal Awal Unit Usaha Wisata ... 68


(18)

ABSTRAK

Wisnu Triwibowo, 2015. Judul Skripsi: EKOWISATA MANGROVE (Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kampoeng Nipah, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai). Skripsi ini terdiri atas 5 bab, 119 halaman, 9 tabel dan 9 gambar.

Penelitian ini mengkaji tentang pengelolaan ekowisata mangrove berbasis masyarakat (community based-management) yang saat ini menjadi salah satu model pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (sustainibility development

tourism) dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai aktor dalam

pengelolaan kawasan ekowisata.

Penelitian dilakukan di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Daerah ini merupakan daerah pesisir Sumatera yang memanfaatkan keadaan alam untuk mengembangkan kepariwisataan khususnya di daerah Sumatera Utara.

Metode yang digunakan dalam penulisan adalah metode etnografi yang merupakan bagian dari pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan partisipasi observasi dimana penulis ikut terlibat dalam aktivitas pengelolaan ekowisata.

Permasalahan yang dibahas adalah mengenai pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat terlibat dalam pengelolaan ekowisata mulai dari perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi program. Selain itu mereka juga mengembangkan program-program yang mendukung keberlanjutan ekowisata yang kemudian dikemas dalam bentuk promosi dan pemasaran ekowisata. Dalam pengelolaanya masyarakat setempat telah memiliki struktur organisasi pengelolaan, pembukuan, pembagian hasil usaha serta kemampuan dalam menghadapi kasus-kasus yang berkembang selama menjalankan ekowisata.

Kata kunci: Pengelolaan, Ekowisata, Masyarakat, Sustainibility Development Tourism


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penelitian ini mengkaji tentang pengelolaan ekowisata mangrove berbasis masyarakat dalam pengembangan ekowisata Kampoeng Nipah di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian didasarkan pada ketertarikan peneliti terhadap perkembangan ecotourism1

Mangrove merupakan jenis tanaman yang tumbuh di pesisir pantai. Hampir sepanjang pantai di nusantara ditumbuhi oleh tanaman mangrove. Mangrove memiliki fungsi penting dalam ekosistem pesisir, keberadaan mangrove mampu menahan abrasi pada bibir pantai. Mangrove juga menjadi tempat yang baik untuk berkembang biak bagi beberapa spesies ikan yang akan menghasilkan telur. Selain itu mangrove juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi untuk dimanfaatkan. Salah satu fungsi utama hutan bakau atau mangrove adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta meredam gelombang besar termasuk tsunami. Di Jepang, salah satu upaya mengurangi

dewasa ini serta keprihatinan akan kerusakan ekosistem mangrove akibat aktivitas manusia.

1

Terjemahan yang seharusnya dari ecotourism adalah wisata ekologis. Didalam tulisan ini digunakan istilah ekowisata yang banyak dipakai sebagai istilah umum (berdasarkan konsep yang digunakan oleh Chafid Fandeli dalam buku pengusahaan ekowisata)


(20)

dampak tsunami adalah dengan memasang Green Belt atau sabuk hijau hutan mangrove atau hutan bakau2

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologi dan ekonomi. Fungsi ekologi meliputi penahan abrasi, amukan angin topan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi

.

3

air laut dan sebagai penyedia

nutrient bagi biota perairan. Sementara itu, fungsi ekonomi antara lain sebagai

penyedia kayu, daun-daunan sebagai penyedia obat-obatan, bahan bangunan, alat penangkap ikan dan pupuk pertanian4

Semakin meningkatnya kebutuhan hidup manusia memberikan dampak negatif terhadap ekosistem mangrove. Hutan mangrove banyak digunduli untuk kepentingan sesaat. Ada yang menjadikan tambak, perkebunan kelapa sawit dan lain sebagainya. Akibat pemanfaatan mangrove yang menyalahi aturan kini kondisi mangrove terancam. Hampir sebagian mangrove di Indonesia mengalami kerusakan yang cukup parah.

.

Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang tumbuh karang di lepas pantai yang terlindung (Nybakken, 1992 dalam Suryono, 2013)

2

Hutan Baka

3

Intrusi air laut adalah masuknya atau menyusupnya air laut ke dalam pori-pori batuan dan mencemari air tanah yang terkandung di dalamnya. (Erinutami.blogspot.com/2012/intrusi-air-laut.html?m=1)

4


(21)

Menurut penelitian Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara (Sumut) menyebutkan, 90 persen mangrove di Sumatera Utara mengalami kerusakan cukup parah. Penyebabnya antara lain, alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit dan tambak ikan. Alih fungsi menjadi perkebunan sawit mencapai 12 ribu hektar lebih, sementara tambak ikan 10 ribu hektar lebih. Kerusakan cukup besar terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Batubara, Kota Tanjung Balai, Kota Sibolga dan Nias5

Rusaknya ekosistem mangrove berdampak langsung pada kehidupan masyarakat pesisir. Seperti misalnya kerusakan mangrove di Secanggang, menyebabkan penurunan pendapatan sebesar 33,89 persen dimana kelompok yang paling terkena dampaknya adalah nelayan. Selain itu, sekitar 85,4 persen masyarakat pesisir di kawasan tersebut kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum kerusakan mangrove

.

Keberadaan ekosistem mangrove berhubungan erat dengan manusia. Semakin meningkatnya kebutuhan hidup manusia menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kawasan hutan mangrove beralih fungsi menjadi lahan yang lebih bernilai ekonomis. Praktik tersebut diatas perlahan-lahan mengancam keberadaan mangrove karena cenderung mengabaikan fungsi utama mangrove.

6

5

Penelitian Hutan Mangrove Sumatera Utara Rusak Parah

. Sementara itu di Sei Nagalawan awalnya hutan mangrove juga pernah mengalami kerusakan yang tidak jauh berbeda dengan Secanggang. Mereka bahkan merasakan

diakses pada tanggal 10 April 2014

6

Ahmad Suryono, Sukses Usaha Pembibitan Mangrove Sang Penyelamat Pulau. (Pustaka Baru Press, Jogjakarta, 2013) Hal.23


(22)

dampaknya secara langsung bilamana terjadi angin kencang yang langsung bergerak ke rumah penduduk. Hasil tangkapan juga menurun dan mereka harus melaut lebih jauh menuju ke tengah laut akibat rusaknya mangrove. Mereka bahkan tidak dapat lagi menemukan kepiting bakau yang hidup dan berkembang biak di hutan-hutan bakau7

1. Daerah tersebut harus mempunyai apa yang disebut sebagai something

to see, artinya ditempat tersebut harus ada objek wisata yang berbeda

dengan yang dimiliki daerah lain. .

Salah satu cara agar pesisir tetap produktif tanpa merusak kestabilan ekosistem mangrove adalah dengan mengembangkan kawasan hutan mangrove menjadi kawasan ekowisata. Pengembangan ekowisata tentu akan saling menguntungkan dimana mangrove tetap lestari dan masyarakat pesisir tetap mendapatkan keuntungan dengan tidak merusak ekosistem mangrove. Pengembangan ekowisata mangrove dengan melibatkan masyarakat setempat merupakan program sustainability development dimana masyarakat dapat terus merasakan manfaatnya selama mangrove dikelola dengan manajemen yang baik.

Daerah tujuan wisata setidaknya harus memenuhi tiga syarat utama untuk dikunjungi oleh wisatawan potensial, yaitu:

2. Di daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut something to do, artinya di tempat tersebut banyak yang bisa dilihat dan dilakukan,

7

Wawancara langsung dengan salah satu penduduk setempat yang juga mengelola ekowisata mangrove (24 Mei 2014)


(23)

harus pula disediakan fasilitas rekreasi yang membuat mereka tinggal lebih lama.

3. Di daerah tersebut harus ada apa yang disebut dengan istilah something

to buy, artinya di daerah tersebut harus ada fasilitas untuk berbelanja

terutama barang-barang kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh8

Ketiga hal tersebut setidaknya telah ada di ekowisata mangrove Sei Nagalawan. Pengelolaan ekowisata mangrove disini memiliki apa yang disebut sebagai something to see yang tidak dimiliki daerah lain meliputi pemandangan muara sungai, pesisir, ekosistem mangrove, aktivitas nelayan serta penduduk setempat. Secara budaya, Sei Nagalawan juga memiliki keistimewaan tersendiri karena mayoritas penduduk setempat merupakan suku bangsa Banjar yang hidup secara dominan. Something to do disini meliputi berbagai kegiatan aktivitas misalnya, tracking mengelilingi mangrove baik dengan berjalan, menyewa perahu, menanam mangrove, memancing dan lain sebagainya. Sementara berkaitan dengan something to buy, pengunjung atau wisatawan dapat membeli produk hasil laut maupun produk olahan hasil mangrove. Produk tersebut meliputi menu makanan seafood (hasil laut), kerupuk olahan berbahan dasar ikan tongkol, kerupuk mangrove, teh mangrove, dodol maupun sirup yang diolah dari mangrove. Ketiga hal tersebut sudah dijalankan oleh masyarakat setempat sebagai pengelola yang telah memiliki kesadaran dalam pariwisata.

.

8

Murniarti, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata” (Skripsi FISIP-UNS, 2008) Hal:18


(24)

Pengembangan mangrove untuk tujuan wisata berbasis wisata telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah desa wisata mangrove di Desa Sei Nagalawan, Serdang Bedagai. Pengelolaan desa wisata mangrove melibatkan masyarakat setempat sebagai pengelola. Mangrove yang dikelola masyarakat merupakan mangrove yang mereka tanam sendiri secara swadaya. Awalnya, kondisi ekosistem mangrove di Desa Sei Nagalawan telah mencapai tahap kritis, namun berkat kesadaran mereka akan pentingnya melestarikan lingkungan, lahan tersebut ditanami kembali dan kini mereka merasakan manfaatnya. Mangrove telah menjadi salah satu sumber pendapatan mereka.

Berkaitan dengan desa wisata, hal ini merupakan salah satu target pengembangan pariwisata. Desa dinilai masih alami dan memiliki daya tarik tersendiri bila dibandingkan dengan daerah perkotaan yang lumayan padat penduduknya dan sangat kompleks. Para wisatawan lebih senang berkunjung di tempat yang bebas dari kebisingan dan aktivitas yang mereka lakukan seharian. Desa wisata diartikan sebagai tempat atau daerah yang memiliki produk, pelaku, akses dan potensi sehingga menjadikan daerah tersebut sebagai tempat tujuan wisata9

1.2 Tinjauan Pustaka

.

Manusia memiliki budaya yang tidak lepas dari lingkungan biotik dan abiotik, sehingga untuk tujuan kelestarian alam dan kelestarian, manusia harus menjaga keseimbangan antara ketiga unsur tersebut yaitu budaya, lingkungan biotik dan abiotik. Hal ini menunjukan bahwa semua aktivitas budaya manusia

9


(25)

tidak boleh menyebabkan rusaknya dan terganggunya lingkungan biotik dan abiotik sebagai sumber daya untuk memenuhi semua aktivitas hidup manusia yang tak terbatas10

Hutan-hutan mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan subtropika. Luas hutan mangrove di Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar dan merupakan mangrove yang terluas di dunia. Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputaran Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar yakni pantai Timur Sumatera dan pantai Barat serta Selatan Kalimantan

.

Rusaknya ekosistem mangrove tentu akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Kerusakan ekosistem mangrove menyebabkan abrasi yang berkelanjutan karena tidak ada yang menahan laju ombak yang menghempas bibir pantai. Rusaknya mangrove juga menyebabkan turunnya populasi biota karena tidak ada media untuk biota laut berkembang biak.

11

Ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Mangrove di Indonesia mempunyai keragaman jenis yang tinggi yaitu memiliki 89 jenis tumbuhan yang

.

10

Rudi Hilmanto, Etnoekologi. (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2010) Hal. 20

11


(26)

terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987 dalam Suryono, 2013)

Antropologi dan pariwisata (sebagai sebuah pengetahuan lapangan) memiliki hubungan yang jelas. Keduanya berusaha mengidentifikasi dan membuat kepemilikan budaya dan dinamika manusia karena budaya merupakan

setting global dari aktivitas banyaknya budaya, dibutuhkan pemahaman

mendalam sebagai konsekuensi dari interaksi antara menghasilkan dan menerima masyarakat pariwisata (Burns dan Holden, 1995)

Nash, 1981 dalam Stonza, 2005 mendefenisikan bahwa pariwisata dihasilkan dari pertemuan dua atau lebih budaya dan sub-budaya…proses ini melibatkan turis, perjalanan mereka dan pertemuan berikutnya dengan orang-orang yang disebut sebagai host. Pertemuan menyiratkan transaksi antara turis, agen, dan host dipengaruhi orang dan budaya yang terlibat.

Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kerusakan mangrove adalah dengan mengembangkan kawasan wisata berbasis ekosistem (ekowisata). Ekowisata merupakan bentuk alternatif dalam pariwisata. Ekowisata (ecotourism) memiliki arti yang sama dengan community based tourism, cultural tourism maupun alternative tourism.

Menurut Hector Ceballos-Lascurain “ekowisata adalah perjalanan ke tempat-tempat yang masih alami dan relatif belum terganggu atau tercemari dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora


(27)

dan fauna, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini12

Ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun pada hakekatnya, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat

.

13

Menurut Australian Departement of Tourist (Black, 1999 dalam Fandeli, 2000) yang mendefenisikan ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Defenisi ini memberikan penegasan bahwa aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti halnya bentuk

.

Defenisi ekowisata pertama sekali diperkenalkan oleh organisasi The

Ecotourism Society (1990) sebagai berikut:

“ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk”

12

Pengertian Ekowisat

13


(28)

pariwisata lainnya, tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative

tourism atau special interest tourism14 dengan objek dan daya tarik wisata alam15

Kegiatan ekowisata di Indonesia mulai dirasakan pada pertengahan tahun 1980-an, dimulai dan dilaksanakan oleh orang atau biro wisata asing, salah satu yang terkenal adalah Mountain Travel Sobek

.

16

, sebuah biro wisata petualangan tertua dan terbesar. Beberapa objek wisata terkenal yang dijual oleh Sobek antara lain adalah pendakian gunung api aktif tertinggi di khatulistiwa-Gunung Kerinci (3884 meter), pendakian danau vulkanik tertinggi kedua di dunia, danau Gunung Tujuh dan kunjungan ke danau vulkanik terbesar di dunia, Danau Toba.17

1. Komunitas setempat harus terlibat sejak penyusunan hingga evaluasi wisata

Berbeda dengan pariwisata massal yang menitikberatkan pada kuantitas pengunjung, ekowisata bersandar pada empat hal yaitu komunitas, pendidikan, budaya dan lingkungan.

2. Wisata itu harus menjadi media belajar bagi turis maupun pengelolanya

3. Budaya setempat harus diberi tempat agar tetap bertahan ditengah derasnya budaya lain, serta

14

Alternatif Tourism atau Special Interest Tourism merupakan pola wisata yang menjamin tetap terpeliharanya keberadaan dan kelestarian objek dan daya tarik wisata alam pada khususnya dan kawasan hutan pada umumnya

15

Ibid

16

Mountain Travel Sobek didirikan Januari 1969 dan telah berdiri lebih dari 40 tahun serta melakukan 200 pertualangan di dunia dan masih aktif hingga saat ini. Berlokasi di United States

1266 66Th, Emeryville, CA 96408

2014)

17


(29)

4. Kegiatan wisata tersebut harus memperhatikan kelestarian lingkungan18

Keempat hal tersebut diatas setidaknya terus diperhatikan dalam pengelolaan ekowisata Sei Nagalawan dimana komunitas masyarakat setempat terlibat dalam pengelolaan secara aktif mulai dari perencanaan hingga tahap evaluasi. Ekowisata juga dijadikan sebagai media belajar karenaa sifatnya yang konservasionis. Selain itu, masyarakat setempat tetap hidup dengan budaya mereka serta memperhatikan aspek lingkungan dalam mengembangkan ekowisata.

Ekowisata juga didukung oleh empat aspek utama, yakni: .

1. Adanya kelestarian lingkungan alam dan budaya 2. Keberadaan dan dukungan masyarakat

3. Pendidikan dan pengalaman

4. Kemampuan manajemen pengelolaan ekowisata (Choy, 1997 dalam Fandeli, 2000)

Salah satu daerah yang telah mengembangkan konsep ekowisata adalah kawasan Peruvian, Amazon. Disini, antropologi melihat bagaimana pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dikembangkan. Antropologi berbicara tentang konservasi, pembagian kerja, agen perjalanan, pembuat kebijakan dan pemimpin lokal mengenai ekowisata serta dampaknya terhadap

18

Jaringan Ekowisata Desa Untuk Alternatif Pariwisat


(30)

komunitas lokal dan ekosistem. Ekowisata dapat menjadi bentuk konservasi yang intensif untuk menjaga kelestarian lingkungan19

Pengelolaan diartikan sebagai rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dalam mencapai tujuan tertentu. Pengelolaan adalah suatu rangkaian kegiatan yang berintikan perencanaan, pengorganisasian pergerakan dan pengawasan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya

.

Pengelolaan ekowisata dengan melibatkan masyarakat sejalan dengan manajemen berbasis masyarakat (community based-management) yang melibatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat lokal sebagai dasarnya. Ekowisata juga merupakan alternatif dalam pariwisata yang konsisten dalam pengelolaan lingkungan, sosial, nilai-nilai dalam komunitas dan membuat host

dan guest menikmati secara positif, interaksi yang bermanfaat serta berbagi

pengalaman (Eadington dan Smith dalam Stonza)

20

Pengelolaan ekowisata merupakan penyelanggaraan kegiatan wisata yang bertanggungjawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan pada keindahan alam dan secara ekonomi berkelanjutan yang

.

19

Amanda Stonza, “The Anthropology of Based Tourism in The Peruvian Amazon”. Texas A&M University

20


(31)

mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat21

21

.

Di Indonesia sendiri sudah banyak daerah yang mengembangan ekowisata untuk memacu pertumbuhan pariwisata. Salah satunya adalah ekowisata di Jatiluwih, Bali yang memanfaatkan sawah terasering menjadi destinasi wisata. Disana masyarakat terlibat langsung dalam pengembangan ekowisata walaupun pada perkembangannya terjadi berbagai macam hal-hal yang tidak diinginkan sebagai dampak pengembangan pariwisata. Masyarakat mulai berubah dimana segala hal dipandang secara ekonomi misalnya ketika wisatawan meminta kepada masyarakat setempat untuk mengambil gambar dan masyarakat setempat menerapkan tarif satu dollar. Timbul komodifikasi dan kapitalisasi dalam perkembangan pariwisata tersebut serta adanya tarik-menarik kepentingan dan lain sebagainya.

Jika mengacu pada paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainability

development program) maka proses pengembangan harus melibatkan masyarakat

setempat terlebih jika masyarakat tersebut hidup dan tinggal di dalam wilayah yang kemudian akan dikembangkan menjadi kawasan ekowisata.

Setidaknya ada empat alasan mengapa pengembangan ekowisata harus melibatkan masyarakat/komunitas setempat, antara lain:


(32)

1. Oleh karena karakternya yang lebih mudah diorganisir dalam skala kecil, jenis pariwisata ini pada dasarnya merupakan suatu jenis pariwisata yang bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman dan tidak banyak menimbulkan dampak negatif.

2. Pariwisata berbasis komunitas memiliki peluang lebih mampu mengembangkan obyek-obyek dan atraksi wisata berskala kecil, oleh karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas lokal dan pengusaha lokal serta menimbulkan dampak sosiokultural yang minim. 3. Berkaitan dengan dua hal tersebut diatas, memberi peluang yang lebih besar bagi komunitas lokal untuk berpartisipasi dan melibatkan diri dalam pengambilan keputusan.

4. Pariwisata berbasis komunitas tidak hanya memberikan tekanan pada pentingnya keberlanjutan kultural, akan tetapi secara aktif bahkan berupaya membangkitkan penghormatan pada wisatawan terhadap kebudayaan lokal, antara lain melalui pendidikan dan pengembangan organisasi wisatawan22

Dalam etnografi, ahli antropologi banyak menaruh perhatian kepada komunitas desa dan komunitas kecil berkaitan dengan organisasi dan susunan didalam komunitas. Mereka memperhatikan pembagian kerja dalam komunitas, berbagai aktivitas kerjasama atau gotong royong dalam komunitas, hubungan dan sikap pemimpin dan pengikut dalam komunitas (prosedur membuat keputusan

.

22


(33)

bersama, soal membantah pimpinan dan lain sebagainya), soal cara-cara penggantian pimpinan, soal wewenang pemimpin dan kekuasaan pemimpin23

Berbicara tentang pariwisata berbasis komunitas akan berkaitan dengan isu, ancaman dan kesempatan. Hal ini bersinggungan langsung dengan perubahan nilai-nilai sosial, hegemoni, dekontruksi, komodifikasi, hubungan relasi kekuasaan dan pengembangan masyarakat. Berkaitan dengan komodifikasi misalnya, hal ini terjadi pada pariwisata di Toraja dalam hal upacara kematian. Upacara kematian awalnya hanya berfungsi sebagai ritual namun dalam dunia pariwisata hal ini kemudian dimanipulasi untuk menarik kunjungan wisatawan

. Komunitas tidak hanya mengacu pada lokalitas misalnya dalam komunitas desa melainkan juga jaringan dari sebuah relasi (hubungan). Komunitas dapat digambarkan sebagai sesuatu yang saling mendukung, menunjuk pada lokasi yang spesifik, adanya unit sosial seperti sebuah desa dimana orang-orang mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota komunitas dan membuat keputusan bersama.

24

23

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta:PT Rineka Cipta, 1990) Hal.36

24

Yamashita, Shinji. Tourism And Cultural Development in Asia And Oceania. Malaysia: University Kebangsaan Malaysia. 1997

. Pariwisata juga memiliki berbagai dampak bagi komunitas sekitar tempat wisata, secara umum perubahan tersebut terlihat pada sektor ekonomi dan perubahan sosial budaya. Perubahan yang terjadi berimplikasi secara positif maupun negatif.


(34)

Perspektif kajian budaya untuk mengkaji keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata dapat menggunakan beberapa teori. Dalam hal ini peneliti menekankan pada teori komodifikasi dan teori pembangunan pariwisata berbasis masyarakat. Komodifikasi adalah kapitalisme yang menjadikan sesuatu secara langsung dan sengaja (dengan penuh kesadaran dan perhitungan) sebagai sebuah komoditas untuk dijual di pasar dan terjadi tidak saja pada aspek produksi, tetapi juga pada aspek konsumsi dan aspek distribusi25. Dalam ekowisata mangrove, komodifikasi dilihat pada perubahan fungsi mangrove yang berubah untuk hal-hal berbau ekonomi dan memiliki nilai jual. Pada awalnya mangrove ditanam hanya sebatas untuk tujuan konservasi untuk menyelamatkan ekosistem pesisir namun kini berubah menjadi kawasan ekowisata yang mendatangkan pendapatan bagi masyarakat setempat. Komodifikasi merupakan bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil26

Pendekatan pembangunan pariwisata berbasis masyarakat digunakan untuk melihat bagaimana keterlibatan masyarakat dalam mengelola ekowisata untuk kesejahteraan masyarakat. Ini merupakan suatu model pembangunan yang bersifat bootom-up dimana proses sejak pengidentifikasian hingga evaluasi masyarakat setempat turut dilibatkan sehingga pengelolaannya berangkat dari hasil pemikiran masyarakat setempat. Pendekatan ini juga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan kemampuannya agar

.

25

26


(35)

tercapai kemampuan baik yang bersifat pribadi maupun kelompok. Ciri mencolok dari pendekatan ini adalah penekanannya terhadap lokalitas, baik dalam pengertian kelembagaan, komunitas, lingkungan, maupun kultur. Implikasi kebijakan pendekatan ini adalah penekanan pada transformative and transactive

planning, bottom up, community empowerment, dan participative27

Masyarakat Desa Sei Nagalawan didominasi oleh kaum nelayan. Kehidupan mereka bergantung pada hasil laut yang didapatkan baik melalui penangkapan ikan maupun proses budidaya. Kehidupan nelayan dekat dengan garis kemiskinan dimana kemiskinan mereka dekat dengan dua hal yakni kerentanan dan ketidakberdayaan. Kegiatan melaut biasanya dilakukan oleh kaum pria dan tidak melibatkan istri serta anak mereka. Di Riau misalnya, istri dan anak-anak tidak terlibat dalam kegiatan perikanan, kecuali anak laki-laki nelayan yang sudah cukup dewasa untuk pergi melaut. Istri dan anak-anak nelayan umumnya lebih banyak diam dan menganggur dirumah

.

28

Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Desa Sei Nagalawan. Istri lebih banyak menganggur sehingga mereka tidak dapat memaksimalkan perekonomian. Dengan adanya pengelolaan ekowisata yang melibatkan masyarakat setempat, istri-istri nelayan terlibat dalam pengelolaan tersebut. Mereka terlibat dalam banyak hal, misalnya terlibat dalam pengelolaan produksi mangrove menjadi bahan makanan berupa kerupuk, teh, dodol, sirup dan produk olahan lainnya. Selain terlibat dalam pengolahan, mereka juga terlibat dalam penjualan produk

.

27

Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat - Bahan Kuliah PPS SP ITB 28


(36)

makanan dengan sistem pembagian waktu kerja yang telah disepakati. Partisipasi ini dilakukan untuk penguatan ekonomi keluarga nelayan agar tidak bergantung pada hasil tangkapan laut serta menjaga kelestarian mangrove. Selain sebagai penguatan ekonomi, adanya desa wisata mangrove juga menjadi jaminan bagi penduduk setempat untuk tetap mandiri membangun perekonomian berkelanjutan.

1.3 Rumusan Masalah

Pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat merupakan hal baru dalam dunia kepariwisataan dimana masyarakat setempat terlibat langsung dalam pengelolaan. Mengingat sifatnya yang bottom-up berdasarkan pemahaman masyarakat lokal maka diperlukan penelitian untuk mengetahui sistem pengelolaannya. Pengungkapan ini dilakukan dengan pertanyaan:

Bagaimana pengelolaan ekowisata mangrove berbasis masyarakat Kampoeng Nipah dijalankan?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengelolaan ekowisata mangrove berbasis masyarakat. Penelitian ini juga diharapkan mampu menjelaskan apa saja yang dilakukan masyarakat setempat dalam mengelola ekowisata secara berkelanjutan. Ekowisata merupakan pengembangan pariwisata yang melibatkan masyarakat setempat mulai dari pengidentifikasian sampai kepada manajemen pengelolaan dan pengawasan terhadap kawasan wisata tersebut.


(37)

Secara akademis penelitian ini bermanfaat dalam keilmuwan antropologi dan menambah wawasan yang berkaitan dengan pengembangan dunia pariwisata melalui perspektif antropologi. Banyaknya pariwisata di Indonesia yang mengandalkan potensi alam akan semakin mudah dikembangkan apabila ada bahan rujukan yang dapat digunakan untuk mendukung pengembangan ekowisata tersebut. Selain itu secara praktis penelitian ini juga bermanfaat untuk berbagai kalangan, antara lain:

1. Bagi pemerintah, penelitian akhir dari studi ini akan menjadi bahan masukan dan rujukan untuk mengembangkan model-model wisata yang sama di tempat lain.

2. Bagi pelaku pariwisata, penelitian ini akan memunculkan potensi pariwisata yang memiliki nilai jual dan layak untuk dikembangkan. 3. Bagi komunitas masyarakat setempat akan berguna untuk menjadi

bahan masukan untuk mengelola objek ekowisata dengan pengelolaan yang lebih baik.

Ekowisata merupakan salah satu konsep dalam pariwisata yang saat ini banyak digandrungi karena pengelolaannya yang memperhatikan kelestarian lingkungan dan sifatnya yang konservasionis.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode etnografi. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk memahami apa yang dialami oleh informan berkaitan dengan persepsi, pengetahuan, motivasi, tindakan


(38)

dan lainnya secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode kualitatif yaitu berupa pengamatan, wawancara dan studi kepustakaan29. Sementara itu etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaandengan tujuan memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Etnografi berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan grafein yang berarti menulis, lukisan, gambaran. Oleh karena itu, etnografi juga bisa dipahami sebagai deskripsi tentang suatu suku bangsa menyangkut struktur, adat istiadat, dan kebudayaannya. Tujuan etnografi adalah memahami pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (native’s point of view), sehingga data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Peneliti bertugas membuat pelukisan mendalam yang menggambarkan kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks, termasuk asumsi-asumsi yang tidak terucap dan yang dianggap sebagai kewajaran mengenai kehidupan30

29

Lexy, J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif Rev.ed: Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) Hal 6

30

Chris Barker. Cultural Studies: Teori dan Praktik, Terj, Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana 2006. Hal 46

.

Penelitian ini dilakukan di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Tempat ini dipilih karena memanfaatkan ekosistem hutan mangrove dalam mengembangkan pariwisata serta melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaannya.


(39)

Untuk mendapatkan data-data yang mendukung dilapangan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1.5.1 Teknik Observasi

Observasi adalah tindakan untuk meneliti suatu gejala tindakan atau peristiwa atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi penelitian. Dengan observasi maka kita dapat mengamati gambaran sosial budaya. Observasi atau pengamatan merupakan aktivitas pencatatan fenomena yang dilakukan secara sistematis. Adapun observasi yang dilakukan peneliti disini adalah observasi partisipasi yang melibatkan peneliti atau observer secara langsung dalam kegiatan pengamatan di lapangan. Dalam melakukan observasi partisipasi, peneliti mengamati secara langsung dan merasakan apa yang ada dalam masyarakat tersebut. Peneliti juga berusaha sedekat mungkin membangun

rapport31dengan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan sehari-hari di desa

wisata. Peneliti turut serta di lapangan, misalnya ikut terlibat dalam kegiatan produksi hasil mangrove, penjualan ikan di tempat pelelangan ikan di dalam kawasan ekowisata, pengelolaan manajemen operasional dan lain-lain.

31

Rapport adalah hubungan antara peneliti dan informan yang sudah begitu dekat seolah tidak ada jarak antara keduanya


(40)

1.5.2 Teknik Wawancara

Teknik wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan data dalam suatu penelitian. Wawancara (interview) dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi (data) dari informan dengan cara bertanya langsung dan bertatap muka (face to face32

Wawancara yang dilakukan peneliti adalah wawancara mendalam (indept

interview). Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data secara akurat dan

mendalam. Wawancara mendalam akan dilakukan terhadap beberapa informan kunci. Informan kunci merupakan orang yang dianggap penting yang tahu tentang pengelolaan ekowisata tersebut serta kepada pemangku kepentingan terhadap keberadaan tempat wisata tersebut. Adapun informan kunci tersebut meliputi Ketua Kelompok Muara Bambai, Manajer Unit Wisata serta Kepala Desa Sei Nagalawan. Adapun alasan peneliti menetapkan ketiga informan diatas menjadi informan kunci berkaitan dengan kedudukan strategis mereka dalam sistem pengelolaan ekowisata. Ketua Kelompok Muara Baimbai Bang Tris merupakan informan yang telah terlibat dalam pengembangan kawasan ekowisata sejak pertama kali mangrove mulai ditanam. Beliau merupakan orang yang terlibat dari awal proses penanaman hutan mangrove sampai menjadi kawasan ekowisata. Selain Bang Tris, saya juga menetapkan Ibu Jumiati sebagai informan kunci karena beliau menjabat sebagai Manajer Unit Wisata sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan pengelolaan ekowisata harus berkoordinasi dengan beliau. Selain itu, beliau juga merupakan salah satu wanita penggerak yang

).

32


(41)

menggerakan masyarakat setempat untuk menanam mangrove saat kawasan pantai Sei Nagalawan dalam kondisi rusak. Informan kunci terakhir saya adalah pihak Kepala Desa yang diwakili oleh Sekretaris desa yang cukup mengetahui tentang Sei Nagalawan serta permasalahan didalamnya.

Adapun penetapan informan ini mengaju pada pedoman metode etnografi James Spradley dimana terdapat lima syarat yang disarankan Spradley untuk memilih informan yang baik, yaitu: (1) enkulturasi penuh, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4) waktu yang cukup, (5) non-analitis33

1.5.3 Analisis Data

Untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan, peneliti akan mengumpulkan data kepustakaan sebagai data sekunder. Data kepustakaan dapat diperoleh melalui buku, majalah, surat kabar dan tulisan dari berbagai media. Selain itu peneliti akan menggunakan alat bantu kamera sebagai alat dokumentasi visual untuk melengkapi data observasi dan wawancara. Peneliti juga akan menggunakan alat lain seperti tape recorder, buku dan pulpen untuk mencatat hal-hal penting dalam wawancara.

Analisis data merupakan suatu proses pengaturan data yang diorganisasikan dalam suatu bentuk atau kategori (Moleong, 2006). Analisis data

33

James Spradley. Metode Etnografi. Terj. Misbah. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006. Hal 65


(42)

dilakukan setelah data-data yang dibutuhkan diperoleh dari lapangan. Dalam hal ini data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Data dapat diperoleh dengan menggunakan berbagai macam teknik pengumpulan data. Disini, Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data secara observasi partisipasi dan wawancara mendalam terhadap informan di lokasi ekowisata mangrove. Selain itu data juga diperoleh melalui studi kepustakaan yang berkaitan dengan pengelolaan ekowisata mangrove berbasis masyarakat. Data yang dihasilkan kemudian dikategorisasikan berdasarkan kategori kategori yang telah dipersiapkan. Hasil analisis data tersebut kemudian akan dideskripsikan dan dijelaskan dalam laporan hasil akhir penelitian dalam bentuk skripsi.

1.6 Pengalaman Lapangan

Penelitian ini saya lakukan sendiri di Desa Sei Nagalawan. Sebelum melakukan penelitian saya sudah berkali-kali berkunjung ke lokasi ekowisata Kampoeng Nipah. Kunjungan ke lokasi ekowisata saya lakukan bersama dengan teman-teman relawan lingkungan KeMANGTEER Medan untuk melihat kondisi hutan mangrove serta melakukan penanaman mangrove.

Pertama kali saya datang ke Kampoeng Nipah, tepatnya di bulan Mei 2014. Saya sudah mengutarakan kepada pihak pengelola ekowisata untuk melakukan penelitian skripsi disini dan dengan sangat terbuka mereka menerima. Sebelum saya resmi melakukan penelitian saya sudah cukup banyak tahu tentang lokasi ekowisata ini dari masyarakat setempat yang sadar akan wisata. Masyarakat setempat sangat terbuka dengan pengunjung yang ingin mengetahui tentang


(43)

ekowisata mangrove sehingga dengan antusias mereka bercerita dan berbagi pengalaman.

Saya berangkat sendiri dari Medan menuju lokasi penelitian, karena sebelumnya pernah berkunjung ke desa Sei Nagalawan maka tidak terlalu sulit bagi saya untuk kembali ke desa ini. Sebelumnya saya memberitahukan akan kedatangan saya kepada manajer unit wisata mangrove Kampoeng Nipah, Ibu Jumiati. Dengan sukarela beliau mengizinkan saya melakukan penelitian dan mencarikan tempat tinggal untuk saya menginap selama di Sei Nagalawan.

Saya menginap di rumah Bang Iyan dan Kak Nur. Mereka berdua adalah sepasang suami istri yang terlibat dalam pengelolaan ekowisata mangrove Kampoeng Nipah. Mereka menyambut kedatangan saya dengan begitu hangat layaknya tamu yang benar-benar harus dihargai. Tinggal bersama mereka membuat saya berkenalan dengan banyak penduduk setempat.

Saya sudah seperti keluarga sendiri dirumah keluarga Bang Iyan. Makan selalu disediakan tepat waktu bahkan dihidangkan dan saya tinggal menikmati menu yang mereka hidangkan. Sedikit tidak enak karena mereka memperlakukan saya benar-benar diluar dugaan. Seringkali bahkan saya menghabiskan waktu siang di lokasi ekowisata dan Kak Inur selalu menyuruh Lia dan Reza anaknya untuk mencari saya dan menyuruh saya pulang untuk makan siang bersama. Mereka benar-benar menerapkan filosofi bahwa tamu adalah raja dan saya merasa beruntung bisa tinggal bersama mereka.


(44)

Bang Iyan selalu mengajak saya untuk berkumpul bersama komunitas yang mengelola ekowisata mangrove dan seluruh anggota komunitas sangat terbuka dengan kehadiran saya. Tanpa saya tanya bahkan mereka mau bercerita panjang lebar tentang ekowisata ini dan sangat membantu saya dalam pengumpulan data.

Tinggal di lingkungan baru memang terkadang membuat kita harus mampu beradaptasi. Saya tinggal di rumah penduduk yang sangat sederhana dimana saya harus menghabiskan malam dengan tidur di ruang tamu. Tidak ada kamar lebih yang bisa saya gunakan untuk beristirahat. Mandi juga dilakukan di halaman belakang rumah dengan penutup yang tingginya hanya sebatas dada. Terkadang saya agak merasa risih ketika mandi dengan kondisi terbuka namun memang beginilah masyarakat disini pada umumnya. Ketika buang air besar saya juga harus berjalan agak jauh ke belakang rumah dan ternyata saya harus buang air besar di sungai. Toilet dibangun hanya dengan menggunakan kumpulan papan dan hanya cukup untuk menyanggah kedua kaki dan kotoran langsung jatuh ke air. Sedikit was-was ketika saya buang air besar bilamana sewaktu-waktu kayu yang tempat saya buang air besar tidak kuat dan saya jatuh kedalam sungai. Benar-benar pengalaman yang tidak akan saya lupakan.

Hampir sepanjang hari saya habiskan waktu dengan mengikuti kegiatan mereka mengelola tempat wisata. Mulai dari tempat penjualan tiket, pemotongan tiket bahkan menjaga toilet saya ikuti dan saya larut mengobrol dengan mereka. Sesekali saya juga ikut terlibat dalam kegiatan gotong royong mereka menyelesaikan fasilitas wisata yang masih dalam proses pembangunan dan


(45)

hasilnya saya banyak belajar dan mendapatkan banyak informasi. Waktu senggang juga saya habiskan dengan mengikuti kegiatan kelompok ibu-ibu yang mengelola produk khas wisata mangrove Kampoeng Nipah. Sambil membuat kerupuk jeruju dan selimut api-api saya melakukan wawancara dan terlibat aktif dalam kegiatan pembuatan makanan. Saya bahkan ikut menggoreng kerupuk jeruju dengan kemampuan ala kadarnya dan syukur tidak mengecewakan hasilnya walaupun kerupuk yang saya goreng sedikit berantakan.

Sama sekali tidak ada rintangan berarti ketika saya melakukan penelitian bahkan ketika saya harus berhubungan dengan Kepala Desa. Pagi itu tepatnya hari jum’at saya baru memberikan surat izin penelitian kepada Seketaris Desa. Saya hampir lupa memberikan surat izin penelitian karena asyiknya melakukan penelitian dan bermain di wisata mangrove Kampoeng Nipah. Ibu Aminah sang Seketaris Desa justru tidak mempermasalahkan keterlambatan saya memberikan surat bahkan beliau antusias dengan kehadiran saya dan bertanya tentang kendala selama di lapangan.

Rasa kekeluargaan dan kebersamaan begitu kental disini sehingga tidak heran dalam waktu singkat saya dapat berbaur dengan mereka baik kaum pria, ibu-ibu, pemuda setempat serta anak-anak setempat. Bila tiba waktu makan siang dan saya masih berada dilokasi ekowiata mereka selalu mengajak saya untuk makan siang bersama sambil bercerita. Secara keseluruhan penelitian berjalan lancar hanya ada sedikit kendala ketika saya mendengarkan penduduk setempat yang berbicara satu sama lain dengan bahasa Banjar. Mayoritas penduduk Desa Sei Nagalawan adalah Suku Banjar sehingga mereka fasih berbahasa Banjar. Saya


(46)

terkadang tertawa dan mereka dengan sukarela menjelaskan apa yang mereka bicarakan.


(47)

BAB II

GAMBARAN UMUM SEI NAGALAWAN

2.1 Sekilas Tentang Desa Sei Nagalawan

Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat. Desa umumnya memiliki perbedaan dengan kota. Desa sering dicirikan dengan tingkat kekerabatan yang lebih erat dibandingkan masyarakat kota. Hal inilah yang setidaknya terlihat di Desa Sei Nagalawan. Penduduknya tinggal dengan rumah yang saling berdekatan. Satu sama lain masih memiliki hubungan darah yang masih dapat ditelusuri hubungannya. Kebersamaan dan gotong royong juga masih dijunjung tinggi oleh mereka.

Gambar 1: Peta wilayah desa Sei Nagalawan Sumber: Dokumentasi KSU Muara Baimbai

Desa Sei Nagalawan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Desa ini merupakan desa yang letaknya paling jauh dari ibukota kecamatan. Jarak dari ibukota kecamatan menuju Sei Nagalawan berkisar 15 km dan dibutuhkan waktu tempuh hampir 30 menit lamanya. Desa Sei Nagalawan berhadapan langsung dengan Selat Malaka.


(48)

Tidak seperti desa umumnya di Serdang Bedagai, Sei Nagalawan memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut berasal dari adanya suku bangsa Banjar yang sudah mendiami daerah ini dalam waktu yang cukup lama. Suku Banjar bahkan menjadi penduduk pertama yang mendiami wilayah Sei Nagalawan khususnya di dusun III. Hadirnya suku Banjar menjadi cikal bakal dibentuknya Desa Sei Nagalawan. Suku Banjar merupakan suku asli yang berasal dari pulau Kalimantan yang kemudian bermigrasi ke Langkat, Sumatera Utara untuk membuat bangsal. Seiring berjalannya waktu, suku Banjar tidak hanya mendiami wilayah Langkat melainkan mulai menyebar ke berbagai daerah termasuk Sei Nagalawan.

Suku Banjar bukan satu-satunya suku yang mendiami wilayah Sei Nagalawan. Mereka berbaur dan hidup bersama dengan suku lain seperti suku Jawa, Melayu, Minang, Batak dan berbagai suku lainnya. Kendati demikian kehidupan bermasyarakat di Desa Sei Nagalawan sangat harmonis.

Desa Sei Nagalawan merupakan penggabungan dua desa yang pernah ada sebelumnya yakni Desa Nipah dan Desa Nagalawan. Kedua desa ini diyakini sudah ada sejak tahun 1800 Masehi. Proses bergabungnya sendiri baru terjadi pada tahun 1949 tepatnya saat pemerintahan desa dipegang oleh Penghulu Saman. Proses penggabungan ini semakin menambah luas wilayah Desa Sei Nagalawan. Karena luasnya wilayah maka Desa Sei Nagalawan kemudian dibagi menjadi tiga dusun. Sei Nagalawan menyimpan sumberdaya alam berbasis pesisir dan laut yang sangat luar biasa. Hal ini dapat dilihat bahwa keberadaan pantainya tidak hanya mampu menghidupi masyarakat yang tinggal di wilayah Sei Nagalawan


(49)

saja, akan tetapi termasuk masyarakat di desa tetangga seperti Lubuk Bayas, Lubuk Rotan, Naga Kisar dan lain sebagainya

2.2 Pemerintahan Desa

Pemerintahan Desa Sei Nagalawan dilakukan oleh penghulu/kepala desa. Saat ini proses penentuan kepala desa dilakukan dengan pemungutan suara untuk periode jabatan selama lima tahun. Mulai tahun 1940 setidaknya sudah ada beberapa penghulu/kepala desa yang pernah menjabat, yakni:

Tabel 1

Kepemimpinan Kepala Desa Sei Nagalawan No Nama

1 Saman (1940-1952) 2 Muhammad (952-1957) 3 Tuganal (1957-1971) 4 Siab (1971-192) 5 Tuganal (1972-1987) 6 Umar (1987-2006)

7 Ishaq (Januari 2006-Juli 2006) 8 Sahrum ( Juli 2006-2011) 9 Japar Siddik (2011-Sekarang) Sumber : Data Kepala Desa 2014

2.3 Luas dan Pembagian Wilayah Sei Nagalawan

Desa Sei Nagalawan memiliki wilayah yang cukup luas yakni 871 hektar. Di lahan seluas itu penduduk melakukan berbagai aktifitas pertanian, perkebunan, perindustrian, perdagangan dan beragam akitifitas lainnya. Luasnya wilayah ini menyebabkan Desa Sei Nagalawan dibagi menjadi 3 dusun yakni dusun I, dusun II, dusun III


(50)

Secara spesifik wilayah Sei Nagalawan terdiri atas pertanian dan perkebunan. Pemanfaatan pertanian padi (sawah) mencapai 497 hektar. Sementara sisanya merupakan lahan kering yang dimanfaatkan untuk permukiman dan perkebunan. Desa Sei Nagalawan dikenal sebagai desa yang banyak menghasilkan padi. Tak heran jika musim tanam tiba maka penduduk setempat akan bersama-sama mengerjakan sawah mereka secara bergantian. Masyarakat setempat masih menerapkan sistem gotong royong dimana saling membantu satu sama lain secara sukarela serta secara bergantian mengerjakan sawah-sawah tersebut. Persawahan ini di dukung oleh adanya irigasi teknis seluas 252 hektar dan irigasi non teknis mencapai 245 hektar. Selain pemanfaatan sebagai lahan persawahan lahan juga digunakan untuk kepentingan pertanian non sawah seluas 258 hektar dan 116 hektar untuk kebutuhan non pertanian.

2.4 Batas Desa

Secara geografis Sei Nagalawan terletak pada 7º 50 ́ Lintang Utara 9º 21 ́ Lintang Utara dan 97º 18 ́ Bujur Timur - 98º 42 ́ Bujur Timur dengan batasan geografis yakni:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka,

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lubuk Bayas,

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Teluk Mengkudu, • Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Pantai Cermin.


(51)

2.5 Kependudukan

2.5.1 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Jumlah keseluruhan penduduk Sei Nagalawan pada tahun 2011 adalah 3005 jiwa. Bila dilihat dari jenis kelamin maka komposisi penduduk Desa Sei Nagalawan didominasi oleh kaum perempuan. Jumlah perempuan mencapai 1517 jiwa sedangkan jumlah laki laki hanya 1488 jiwa. Banyaknya jumlah perempuan tidak menutup kemungkinan perempuan terlibat dalam berbagai aktifitas untuk tercapainya kesetaraan gender. Keterlibatan perempuan salah satunya terlihat pada pengelolaan ekowisata mangrove.

Tabel 2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin (Dalam Satuan Jiwa)

No Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki-laki 1488 2. Perempuan 1517

Jumlah 3005

Sumber: Data Desember 2014

Diolah dari BPS Kabupaten Serdang Bedagai

2.5.2 Komposisi Penduduk Menurut Usia

Komposisi penduduk Desa Sei Nagalawan bervariasi bila dilihat dari usia. Melalui tabel dibawah ini maka dapat diketahui jumlah penduduk yang produktif dan tidak produktif. Berikut adalah komposisi penduduk Desa Sei Nagalawan berdasarkan usia:


(52)

Tabel 3

Komposisi Penduduk Menurut Usia (Dalam Satuan Jiwa)

No. Usia Jumlah

1. 0-5 tahun 411 2. 6-12 tahun 372 3. 13-16 tahun 409 4. 17-59 tahun 1551 5. 60+ tahun 262

Jumlah 3005

Sumber: Data Desember 2014

Diolah dari BPS Kabupaten Serdang Bedagai

Bila dilihat dari tabel di atas maka dapat diketahui bahwa jumlah terbanyak adalah penduduk dengan usia produktif yakni direntang usia 17-59 tahun dengan jumlah 1551. Peringkat kedua terbanyak ditempati oleh penduduk dengan usia yang belum produktif yakni pada rentang usia 13-16 tahun dengan jumlah 409. Penduduk yang tidak produktif (60+) jumlahnya paling sedikit yakni 262 jiwa. Adapun penduduk berumur antara 6-12 tahun sebanyak 372 dan 0-5 tahun sebanyak 411 jiwa.

2.5.3 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Penduduk Desa Sei Nagalawan bekerja pada banyak sektor. Ada yang bekerja sebagai PNS, karyawan, wiraswasta, nelayan, tani dan pekerjaan lainnya. Dari banyaknya pekerjaan banyak penduduk yang memanfaatkan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan sektor pertanian berkaitan dengan luasnya lahan kosong yang dapat digunakan untuk budidaya pertanian. Lahan yang tidak produktif diubah menjadi lahan yang lebih bernilai ekonomis. Usaha tani yang banyak dilakukan adalah pertanian sawah dengan memanfaatkan


(53)

irigasi. Selain bekerja pada sektor pertanian banyak juga penduduk setempat yang bekerja sebagai buruh. Kebanyakan penduduk menjadi buruh di pabrik, salah satu pabrik yang banyak mempekerjakan penduduk setempat sebagi buruh adalah PT. Aquafarm.

PT. Aqufarm sendiri merupakan perusahan yang menggunakan bahan baku ikan yang diperoleh melalui proses pembibitan dalam tambak dan hasil tangkapan nelayan setempat. Perusahaan ini merupakan perusahaan yang beroperasi di sekitaran Sei Nagalawan dan di kawasan danau Toba. Secara umum kehadiran PT. Aquafarm memberikan dampak positif dalam bidang perekonomian terutama bagi masyarakat setempat yang membutuhkan pekerjaan sebagai karyawan, namun disatu sisi perusahaan ini juga tidak terlepas dari dampak negatif. Dampak negatif terhadap lingkungan merupakan hal yang paling jelas terlihat dimana dengan beroperasinya PT. Aquafarm menyebabkan polusi udara serta tercemarnya sungai dan pesisir sekitar wilayah pabrik akibat pembuangan limbah hasil operasional PT. Aquafarm tersebut.

Tabel 4

Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencarian (Dalam Satuan Jiwa)

No Pekerjaan Jumlah

1. PNS 6

2. Karyawan 152

3. Wiraswasta 149

4. Jasa 48

5. Tani 320

6. Nelayan 136

7. Buruh 176


(54)

Jumlah 1561 Sumber: Data Desember 2014

Diolah dari BPS Kabupaten Serdang Bedagai

Selain tani dan buruh, bekerja sebagai nelayan juga banyak dilakukan terutama oleh penduduk yang tinggal dekat dengan laut. Penduduk bekerja dengan memanfaatkan keadaan geografis laut. Penduduk yang banyak bekerja sebagai nelayan berasal dari dusun III yang memang tepat berada di muara sungai yang langsung terhubung dengan laut. Penduduk Sei Nagalawan juga banyak yang menjadi karyawan dengan jumlah 152 jiwa, wiraswasta 149, jasa 48 jiwa. Pekerjaan yang paling sedikit jumlahnya adalah PNS yang hanya 6 jiwa.

2.5.4 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang penting untuk mendapatkan sumber daya manusia yang unggul dan memiliki kompetensi untuk bersaing di dunia kerja. Tak heran penduduk Sei Nagalawan banyak yang menyekolahkan anaknya untuk memudahkan dalam mencari pekerjaaan. Banyak pekerjaan yang mengutamakan kualifikasi pendidikan sebagai salah satu syarat utama.

Tabel 5

Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan (Dalam Satuan Jiwa)

No. Pendidikan Jumlah

1. TK 65

2 SD 184

3 SMP 203

4 SMA 276


(55)

6 S1 3

Jumlah 739

Sumber: Data Desember 2014

Diolah dari BPS Kabupaten Serdang Bedagai

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah terbanyak penduduk sekolah dan menamatkan pendidikannya pada tingkatan SMA dengan jumlah 276 jiwa, SMP 203 jiwa, SD 184 jiwa dan TK 65 jiwa. Sementara penduduk yang menamatkan program Diploma hanya berjumlah 8 jiwa dan S1 3 jiwa.

2.5.5 Komposisi Penduduk Menurut Agama

Kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan setiap penduduk telah dijamin oleh negara sehingga tidak ada paksaan untuk menganut agama/kepercayaan tertentu. Beberapa hal administratif bahkan mewajibkan tiap penduduk untuk mengisi kolom agama sesuai dengan yang diakui oleh negara Indonesia. Begitu halnya dengan penduduk Sei Nagalawan, mereka menganut agama/keyakinan sesuai hati nuraninya.

Tabel 6

Komposisi Penduduk Menurut Agama (Dalam Satuan Jiwa)

No Agama Jumlah

1. Islam 2712

2. Protestan 218

3. Katolik 75

4. Hindu -

5. Budha -

6. Konghucu -

Jumlah 3005

Sumber: Data Desember 2014


(56)

Berdasarkan tabel diatas penduduk Sei Nagalawan mayoritas memeluk agama Islam dengan jumlah 2712, Protestan 218 dan Katolik 75. Sementara penganut agama Hindu, Budha dan Konghucu sama sekali tidak terdapat di desa ini.

2.5.6 Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa

Konsep kesukubangsaan tidak dapat terlepas dari penduduk Sei Nagalawan. Hal ini dikarenakan Sei Nagalawan merupakan sebuah desa yang penduduknya masih memiliki rasa primordial satu sama lain. Penduduk Sei Nagalawan paling banyak bersuku bangsa Melayu. Hal ini wajar mengingat Sei Nagalawan berada di Kabupaten Serdang Bedagai yang terkenal dengan Kesultanan Melayu dari dahulu kala. Setelah Melayu, suku bangsa Jawa merupakan suku kedua terbanyak dengan jumlah 803 jiwa diikuti oleh suku bangsa Banjar sebanyak 692 jiwa, Batak 476 jiwa, Mandailing 79 jiwa, Karo 20 jiwa, Minang 42 jiwa, Tionghoa 20 jiwa dan arab 4 jiwa.

Tabel 7

Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa (Dalam Satuan Jiwa)

No Suku bangsa Jumlah

1. Melayu 868

2. Batak 476

3. Karo 20

4. Mandailing 79

5. Banjar 692

6. Jawa 803

7. Minang 42


(57)

9. Arab 4

Jumlah 3005

Sumber: Data Desember 2014

Diolah dari BPS Kabupaten Serdang Bedagai

Beragamnya suku bangsa yang mendiami Desa Sei Nagalawan menjadi bukti harmonisnya hubungan antara suku bangsa yang berbeda. Ekowisata mangrove merupakan salah satu objek wisata yang dibangun oleh orang-orang yang memiliki latar belakang suku yang berbeda satu sama lain.

2.6 Sarana dan Prasarana 2.6.1 Sarana Pendidikan

Sarana pendidikan yang ada di Desa Sei Nagalawan hanya Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) berjumlah satu buah dan SD Negeri yang juga hanya satu satunya di desa ini. Sementara sarana pendidikan untuk tingkat pertama (SMP/MTs) sama sekali tidak ada begitu juga sarana pendidikan tingkat lanjut (SMA sederajat). Penduduk setempat harus keluar desa untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Biasanya penduduk setempat menyekolahkan anaknya di Perbaungan yang memiliki fasilitas pendidikan lebih lengkap.

2.6.2 Sarana Kesehatan

Unit kesehatan berupa rumah sakit dan puskesmas sama sekali tidak terdapat di Sei Nagalawan. Hanya terdapat beberapa tenaga medis berupa bidan (2 orang), bidan desa (1 orang), dukun bayi (2 orang) dan tenaga paramedis (1


(58)

orang). Masyarakat setempat harus keluar desa untuk mendapatkan akses kesehatan.

2.6.3 Sarana Ibadah

Adapun sarana ibadah yang tersedia mesjid berjumlah 3 unit, surau 2 unit dan gereja 2 unit.

2.6.4 Sarana Transportasi

Wilayah Desa Sei Nagalawan merupakan wilayah yang terjauh dari Kecamatan Perbaungan. Lokasi yang cukup jauh dari jalan lintas membuat beberapa alat transportasi sangat penting untuk mendukung mobilitas. Alat transportasi yang banyak digunakan adalah becak motor dan ojek. Selain itu ada pula perahu yang digunakan nelayan untuk melaut. Sementara transportasi umum seperti minibus dan angkutan kota sama sekali tidak ada di desa ini. Untuk berpergian penduduk setempat banyak menggunakan sepeda motor pribadi.

2.6.5 Sarana Komunikasi

Sarana komunikasi yang umum digunakan antara lain telepon rumah, telepon genggam dan laptop dengan menggunakan jaringan komunikasi. Sarana komunikasi sudah ada di desa ini walaupun belum sepenuhnya maksimal. Minimya dukungan dari pihak pengembang layanan komunikasi menyebabkan komunikasi tidak berjalan maksimal. Media komunikasi hanya bisa digunakan untuk SMS dan telepon, sementara untuk akses belum didukung oleh layanan 3G yang maksimal.


(59)

2.7 Potensi Desa Sei Nagalawan 2.7.1 Potensi Pertanian dan Perkebunan

Sektor pertanian dan perkebunan merupakan salah satu sektor yang paling potensial di Desa Sei Nagalawan. Sektor ini didukung oleh luas lahan yang mencapai 871 hektar. Lahan yang ada dimanfaatkan untuk bertani padi, ubi serta tanaman palawija lainnya. Pemanfaatan lahan juga dimaksimalkan untuk menanam tanaman tahunan misalnya kelapa sawit dan karet.

2.7.2 Potensi Pariwisata

Potensi pariwisata Sei Nagalawan di dukung oleh letak geografisnya. Letak geografis yang berdekatan dengan laut membuat wisata berbasis kelautan menjadi wisata yang paling diandalkan. Saat ini setidaknya ada beberapa objek wisata yang memanfaatkan keindahan alam sebagai nilai jual pariwisata, antara lain:

2.7.2.1Pantai Klang

Pantai Klang berada di Desa Nagalawan Kecamatan Perbaungan. Pantai ini sudah cukup dikenal oleh masyarakat setempat. Pantai ini cocok untuk menjadi lokasi bersantai dan berkumpul bersama keluarga karena lokasinya yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan. Selain itu pantai Klang juga berdekatan dengan persawahan yang ditanam oleh masyarakat setempat.


(60)

2.7.2.2Ekowisata Mangrove Kampoeng Nipah

Ekowisata mangrove saat ini menjadi andalan wisata Sei Nagalawan. Wisata yang memanfaatkan ekosistem mangrove ini sudah dikenal sehingga cukup banyak pengunjung yang datang ke objek wisata. Pengunjung benar-benar dimanjakan dengan berbagai hal yang berbau mangrove. Menanam mangrove, makan kerupuk mangrove, mengelilingi hutan mangrove benar-benar hal yang tak akan terlupakan begitu saja. Ekowisata mangrove bahkan menjadikan Desa Sei Nagalawan menjadi salah satu desa wisata terpadu yang masih jarang dimiliki oleh Indonesia.

2.7.2.3Pantai Tengah

Pantai Tengah merupakan salah satu tujuan wisata yang banyak dikunjungi oleh masyarakat setempat. Letaknya bersebelahan dengan kawasan ekowisata mangrove Kampoeng Nipah. Namun kondisi pantai Tengah saat ini cukup memprihatinkan. Hampir seluruh bibir pantai mengalami abrasi yang parah karena terjangan ombak. Kawasan pantai ini merupakan kawasan pantai yang tidak ditanami dengan mangrove hingga laju abrasi pantai cukup tinggi.

2.7.3 Potensi Perikanan dan Kelautan

Sektor perikanan dan kelautan menjadi salah satu sektor yang menyokong banyak ekonomi rumah tangga penduduk Sei Nagalawan. Cukup banyak penduduk setempat yang berprofesi sebagai nelayan. Sayangnya potensi disektor perikanan dan kelautan belum dimanfaatkan secara maksimal. Banyak hal yang


(61)

menjadi kendala nelayan untuk memaksimalkan pendapatannya misalnya mahalnya bahan bakar yang digunakan untuk melaut.

2.7.4 Potensi Kerajinan Tangan Tikar Purun

Bertahun-tahun lamanya Desa Sei Nagalawan dikenal sebagai salah satu desa yang memiliki kerajinan yang memiliki nilai jual. Salah satu kerajinan tangan yang banyak dihasilkan adalah anyaman tikar yang diolah dengan memanfaatkan tanaman purun. Tanaman purun merupakan tumbuhan liar yang tumbuh di rawa dan persawahan. Menganyam purun menjadi tikar yang siap jual banyak dilakukan oleh kaum wanita untuk menambah pendapatan ekonomi. Saat ini produksi anyaman tikar purun tidak sebanyak dulu. Hal ini dikarenakan tanaman purun mulai sulit didapat. Sulitnya tanaman purun didapat karena lahan rawa sudah banyak dialihfungsikan menjadi lahan pertanian.

Banyaknya potensi pariwisata ini akan semakin baik jika dikelola secara terpadu sehingga wisatawan bisa berkunjung ke berbagai lokasi wisata di Sei Nagalawan secara bersamaan dan efisien. Sayangnya masyarakat setempat masing-masing memiliki kepentingan dalam mengelola tiap potensi yang ada. Selain itu beberapa lokasi ekowisata juga dikelola oleh pengelola profesional sehingga sulit untuk menjadikan objek wisata potensial menjadi kawasan wisata terpadu.


(62)

BAB III

PERKEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE KAMPOENG NIPAH

3.1 Sejarah Ekowisata Mangrove

Hijau, begitulah kata pertama yang akan terucap kala melihat lokasi ekowisata mangrove Kampoeng Nipah. Ekowisata mangrove terletak di Desa Sei Nagalawan tepatnya di dusun III, dusun paling ujung yang dekat dengan laut. Penamaan Kampoeng Nipah tidak terlepas dari sejarah geografis dimana dulu di daerah ini banyak sekali terdapat tanaman Nipah khususnya di sepanjang aliran sungai. Awalnya penyebutannya adalah Sungai Nipah sesuai dengan keadaan kala itu namun seiring perkembangan zaman masyarakat setempat menyebutnya menjadi Kampoeng nipah. Tidak ada yang menyangka bahwa lokasi wisata ini dulu pernah rusak dan mengalami abrasi besar akibat terjangan ombak.

Mangrove pernah tumbuh di daerah ini dengan sendirinya. Kondisi alam geografis yang mendukung membuat mangrove tumbuh dengan sangat baik. Masyarakat setempat dulu memanfaatkan mangrove sebagai salah satu sumber mata pencaharian. Mereka membuat tambak dengan mengeruk dan membuat pematang di sekitar mangrove dan membiarkan mangrove tetap hidup. Anak-anak dari mereka menjadikan mangrove sebagai tempat untuk bermain sambil mencari kepiting. Saat itu mangrove tumbuh besar tanpa ada yang mengganggu. Mangrove bahkan bisa tumbuh besar sampai dengan ukuran tiga kali pelukan orang dewasa dan anak-anak setempat menuliskan nama mereka pada batang-batang mangrove


(63)

tersebut. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena kemudian mangrove mulai terusik keberadaannya.

Pada tahun 1990-an kawasan pesisir di Desa Sei Nagalawan mengalami abrasi pantai yang luar biasa, akibatnya bibir pantai tergerus oleh air laut dan terjadi intrusi air laut ke lahan pertanian penduduk. Kerusakan ini akibat dari pengalifungsian hutan mangrove menjadi tambak udang yang terjadi hampir di seluruh kawasan pesisir timur Sumatera Utara pada tahun 1980-an. Saat itu pemerintah melegalkan pengusaha dan investor menjadikan mangrove menjadi lahan tambak, sawah dan permukiman. Hal ini berdampak pada hampir seluruh kawasan pesisir yang masuk dalam kawasan hutan lindung pantai. Disatu sisi peristiwa ini berdampak positif terhadap keberadaan kawasan yang dulunya terisolir dari akses publik, menjadi demikian berkembang pesat dan merubah pola pikir sebagian masyarakatnya. Akan tetapi disisi lain kawasan pesisir yang dulunya indah dan lestari terancam kelestariannya diakibatkan proses abrasi yang sangat cepat menghantam kawasan pesisir dan terjadi pula intrusi air laut ke lahan-lahan pertanian.

Kawasan pantai Desa Sei Nagalawan juga mengalami hal yang sama. Berdasarkan fakta, hampir sejauh 500 meter bibir pantai yang tergerus oleh air laut dan garis pantai hampir mencapai kepemukiman penduduk. Situasi ini tidak hanya berakibat pada rusaknya kawasan pesisir akan tetapi berakibat pula dengan menurunnya hasil tangkapan nelayan tradisional sebab hutan mangrove yang menjadi tempat tinggal biota laut semakin rusak. Menurunnya hasil tangkapan


(1)

Bersama. Konflik dibiarkan terjadi begitu saja serta berlarut-larut tanpa melibatkan kekuatan hukum untuk menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan kelompok yang terlibat dalam konflik masih memiliki hubungan darah satu sama lain. Mereka mayoritas adalah kelompok etnis Banjar yang berdiam di Sei Nagalawan yang sudah turun-temurun.

6. Tata kelola kepariwisataan yang baik (good tourism governance) belum sepenuhnya berjalan maksimal. Hal ini karena tidak semua stakeholder terlibat dan berpartisipasi. Hanya masyarakat setempat dan pihak swasta/industri pariwisata yang cukup aktif, sementara pemerintah setempat belum sepenuhnya mendukung.

5.2 Saran

Ekowisata mangrove Kampoeng Nipah merupakan ekowisata yang dikelola oleh kelompok masyarakat setempat yang diharapkan menjadi salah satu ekowisata yang diperhitungkan dalam perkembangan indutri pariwisata dan dikelola secara profesional. Oleh karena itu dibutuhkan banyak hal untuk mendukung keberlanjutan rencana tersebut, antara lain:

1. Mempersiapkan sumber daya manusia yang sadar wisata dan paham lingkungan untuk terus menjadikan kawasan ekowisata berkelanjutan. Hal ini diperlukan dalam menjual ekowisata sehingga memberikan dampak ekonomi yang positif terhadap masyarakat setempat.


(2)

2. Perlu adanya bantuan pendanaan untuk pengadaan sarana dan prasarana ekowisata. Sejauh ini masyarakat setempat sudah menyediakan sarana dan prasarana secara swadaya dan menggunakan material seadanya. Dengan adanya pendanaan yang cukup diharapkan akan tersedia sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan ekowisata sesuai standard dan ramah lingkungan sehingga tidak mengancam kelestarian ekosistem mangrove.

3. Melibatkan dengan lebih aktif seluruh stakeholder yang berhubungan langsung dengan pengembangan ekowisata mangrove seperti pemerintah setempat, pengusaha, agen perjalanan sehingga pengelolaan dan keberlanjutan ekowisata dapat terus dilakukan


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Burns, Peter & Holden. An Introduction To Tourism And Anthropology. London: Routledge. 1995

Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktik, Terj, Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana 2006

Fandeli, Chafid, et. al Pengusahaan Ekowisata. Jogjakarta: Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada. 2000

Hilmanto, Rudi. Etnoekologi. Bandar Lampung: Universitas Lampung. 2010

Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif Dan

Kuantitatif. Jakarta: Erlangga. 2009

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1990

KSU Muara Baimbai. Proposal Jasa Lingkungan KSU Muara Baimbai. Serdang Bedagai, 2011 (Tidak diterbitkan)

KSU Muara Baimbai. Laporan Pertanggungjawaban Koperasi Muara Baimbai 2012. Serdang Bedagai. 2012 (Tidak diterbitkan)

KSU Muara Baimbai. Laporan Pertanggungjawaban Koperasi Muara Baimbai 2013. Serdang Bedagai. 2013 (Tidak diterbitkan)

Moeleng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi, Bandung: PT. Salemba Humanika. 2006


(4)

Muniarti. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Desa Wisata. Skripsi FISIP-UNS. Surakarta. 2008

Mulyadi.S. Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2005

Putu. O.P. Dewa. Wacana Kontemporer Pariwisata. Jakarta: Salemba Humanika. 2011

Salazar, Noel. B. Community Based-Tourism: Issues, Threat And Oppurtinities. University of Leiven. 2011

Spradley, P. James. Metode Etnografi. Terj. Misbah. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006

Stonza, Amanda. Anthropology of Tourism: Forging New Ground For

Ecotourism And Other Alternatives. Anthropological Sciense: Stanford

University. 2001

Stronza, A. Hosts and Hosts: The Anthropology of Community-Based Ecotourism

in the Peruvian Amazon. National Association for Practice of Anthropology

Bulletin. 2005

Suhandi, A. Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di

Indonesia.(Makalah disampaikan pada Heritage and Ecotourism Seminar).

Surakarta. 2001 (Tidak diterbitkan)


(5)

Suyanto, Bagong & Suninah. Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif

Pendekatan. Jakarta: Pranada Media. 2005

Wardiyanto, Baiquni.M. Perencanaan Pengembangan Pariwisata. Bandung: Lubuk Agung. 2010

Yamashita, Shinji. Tourism And Cultural Development in Asia And Oceania. Malaysia: University Kebangsaan Malaysia. 1997

Sumber Lain:

Pengertian Bakau 2014)

Penelitian Hutan Mangrove Rusak Parah

Pengertian Ekowisata 2014)

Alamat Mt Sobe 2014)

Juni 2014)


(6)

Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat - Bahan Kuliah PPS SP ITB (diakses 20 Februari 2015)


Dokumen yang terkait

Kajian Strategi Pengembangan Ekowisata Mangrove di Pesisir Sei Nagalawan Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara

16 108 104

Kontestasi Masyarakat Nelayan (Studi etnografi Mengenai Polemik Dalam Pengelolaan Lahan Mangrove di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai)

3 41 146

Kontestasi Masyarakat Nelayan (Studi etnografi Mengenai Polemik Dalam Pengelolaan Lahan Mangrove di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai)

0 0 16

Kontestasi Masyarakat Nelayan (Studi etnografi Mengenai Polemik Dalam Pengelolaan Lahan Mangrove di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai)

0 0 1

BAB II GAMBARAN UMUM SEI NAGALAWAN 2.1 Sekilas Tentang Desa Sei Nagalawan - Ekowisata Mangrove (Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kampoeng Nipah, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai)

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Ekowisata Mangrove (Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kampoeng Nipah, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai)

0 1 28

Ekowisata Mangrove (Studi Etnografi Tentang Pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Kampoeng Nipah, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai)

1 1 17

Kajian Strategi Pengembangan Ekowisata Mangrove di Pesisir Sei Nagalawan Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara

0 1 16

Kajian Strategi Pengembangan Ekowisata Mangrove di Pesisir Sei Nagalawan Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara

0 1 13

KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA MANGROVE DI PESISIR SEI NAGALAWAN KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA

1 11 16