Kebijakan Donald Trump Melarang Masuknya Pengungsi Ke Amerika Serikat Ditinjau Dari Konvensi 1951 Dan Protokol 1967 Tentang Status Pengungsi Chapter III V

BAB III
DAYA IKAT HUKUM INTERNASIONAL DAN KAITANNYA DENGAN
KEDAULATAN NEGARA
A. Tinjauan Umum tentang Kedaulatan Negara
1. Pengertian Umum Kedaulatan Negara
Kata daulat dalam pemerintahan berasal dari kata supremus (bahasa
Latin), daulah (bahasa Arab), sovereignity (bahasa Inggris), souvereiniteit (bahasa
Prancis), dan sovranita (bahasa Italia) yang berarti “kekuasaan tertinggi”.
Kedaulatan, “sovereignity” merupakan salah satu syarat berdirinya suatu negara.
Seperti diketahui bahwa salah satu syarat berdirinya negara adalah adanya
pemeritahan yang berdaulat. Dengan demikian, pemerintah dalam suatu negara
harus memiliki kewibawaan (authority) yang tertinggi (supreme) dan tak terbatas
(unlimited). 35
Kedaulatan merupakan kata yang sulit untuk dibakukan karena para ahli
memberikan pengertian yang berlainan sehingga menimbulkan banyak penafsiran
yang berkembang dewasa ini. Dalam konteks itu, Philip Allot mengatakan, bahwa
kedaulatan itu bukanlah suatu fakta, akan tetapi adalah teori. Hal ini menunjukkan
bahwa kedaulatan adalah konsep yang samar (neboulous concept) yang bisa saja
berubah dari waktu kewaktu dikarenakan adanya perubahan konstelasi politik
Internasional. 36
Istilah kedaulatan pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli

kenegaraan berkebangsaan Perancis yang bernama Jean Bodin (1539-1596).
35

https://kiftiyaningsih.wordpress.com/pertemuan-3/materi-bab-iii/d-kedaulatan-negararepublik-indonesia/ diakses tanggal 22 Mei 2017.
36

Abdullah Azzam, Kedaulatan Negara . (Universitas Negeri Semarang, Semarang, 2016).

45
Universitas Sumatera Utara

Menurut Jean Bodin, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
Kedaulatan ini sifatnya tunggal, asli, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal berarti
hanya ada satu kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat dibagibagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain.
Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara itu berlangsung terus-menerus tanpa
terputus-putus. Maksudnya pemerintah dapat berganti-ganti, kepala negara dapat
berganti atau meninggal dunia, tetapi negara dengan kekuasaanya berlangsung
terus tanpa terputus-putus.37
Franz Magnis Suseno menyebutkan bahwa kedaulatan adalah ciri utama
negara, yang berarti bahwa tidak ada pihak, baik di dalam maupun di luar

suatu negara yang harus dimintai izin untuk menetapkan atau melakukan
sesuatu. Kedaulatan adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak
tergantung dan tanpa terkecuali. 38
Menurut Wagiman 39 , perkembangan hukum Internasional tidak akan
terlepas dari negara sebagai subjeknya. Sebagai subjek hukum internasional,
negara dianggap memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sifat hak-hak dan
kewajiban-kewajiban negara terkandung dalam pembicaraan filsafat ilmu negara.
Dalam konteks perananannya, hukum internasional masih tetap diperlukan
dan dirasakan urgensinya. Terlepas dari anggapan bahwa hukum Internasional
tidak memiliki daya paksa secara nyata sehingga dianggap seolah menjadi bagian
dari negara-negara besar/ kuat saja.
37

https://click-gtg.blogspot.co.id/2009/03/teori-kedaulatan.html diakses tanggal 22 Mei

2017.
38

Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 175.

39
Wagiman, Op.cit, Hlm 14.

46
Universitas Sumatera Utara

Memang dilihat sepintas, dimilikinya kekuasaan tertinggi oleh negara ini
bertentangan dengan hukum Internasional sebagai suatu sistem hukum yang
mengatur hubungan internasional terutama hubungan antar-negara. Dapat
dikemukakan bahwa hukum internasional tidak mungkin mengikat negara apabila
negara itu merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui suatu kekuasaan
yang lebih tinggi di atasnya. 40
Masalah kedaulatan merupakan topik atau kajian hukum Internasional
yang senantiasa berkembang secara dinamis. Mirza Satria membagi kedaulatan
dalam dua ranah konsep, yaitu kedaulatan dalam kaitan dengan jangkauannya
serta kedaulatan dalam format kewilayahan suatu negara. Dua kata kunci pada
kedaulatan berdasarkan jangkauannya, demikian Mirza Satria, yaitu independensi
dan supremasi. 41
Independensi


suatu

negara

berhubungan

dengan

yurisdiksi

atau

kewenangan suatu negara terhadap wilayahnya. Supremasi suatu negara
berhubungan erat dengan suatu pengambilan yang timbul di dalam yurisdiksi
negaranya. Dalam ranah supremasi mencakup sumber-sumber hukum negara
tersebut yang oleh Mirza Satria disebut meliputi constitution , status, regulations
serta custom.
Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan tertinggi.
Negara berdaulat memang berarti bahwa negara itu tidak mengakui suatu
kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri. Dengan perkataan

lain, negara memiliki monopoli kekuasaan, suatu sifat khas organisasi masyarakat
40

Mochtar Kusumaatmadja& Etty.R.Agoe. 2003. Pengantar Hukum Internasional. (PT.
Alumni:Bandung). Hlm. 16.
41

Wagiman, Op.cit. hlm. 15.

47
Universitas Sumatera Utara

dan kenegaraan dewasa ini yang tidak lagi membenarkan orang perseorangan
mengambil tindakan sendiri apabila ia dirugikan. Walaupun demikian , kekuasaan
tertinggi ini mempunyai batas-batasnya. 42
Negara merupakan suatu organsasi dalam masyarakat yang telah
memenuhi beberapa syarat tertentu. Pengertian negara dalam arti formil dan
materil 43 :
a. Negara dalam arti formil di maksudkan negara ditinjau dari aspek kekuasaan,
negara sebagai organisasi kekuasaan dengan suatu pemerintahan pusat.

Karakteristik dari negara formil adalah wewenang pemerintah untk
menjalankan paksaan fisik secara legal. Negara dalam arti formil adalah
negara sebagai pemerintah.
b.

Negara dalam arti materiil adalah negara sebagai masyarakat ( staat –
gemenschap ) atau negara sebagai persekutuan hidup.
Dalam

kerangka

hubungan

Internasional,

khususnya

dalam

hal


keanggotaan di dalam organisasi internasional maka kedaulatan negara menjadi
dasar dan tercermin dalam keputusan negara untuk memberikan persetujuan (
consent ) untuk mengikatkan diri pada organisasi internasional. Dalam konteks
seperti ini, consent atau persetujuan negara adalah keputusan suatu negara sebagai
subyek yang mandiri dan bebas untuk menjadi anggota organisasi internasional. 44
Kedaulatan negara merupakan prinsip yang mendasari hubungan antar
negara dan juga merupakan landasan dari tatanan dunia. Prinsip ini merupakan

42

Mochtar Kusumaatmadja& Etty.R.Agoe, Op.cit, hlm 17.

43

Samidjo. Ilmu Negara. (CV. Armico:Bandung). 2002. Hlm 33.

44

Riyanto, Sigit. 2012. Kedaulatan Negara Dalam Kerangka Hukum Internasional

Kontemporer. Yustisia Vol.1 No. 3.

48
Universitas Sumatera Utara

bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law) yang
tercantum dalam Piagam PBB (United Nations Charter) serta menjadi komponen
penting dalam upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia.
Kedaulatan mendasari beberapa hak yang diakui oleh hukum internasional
seperti misalnya; hak kesederajatan (equality), yurisdiksi wilayah (territorial
jurisdiction), hak untuk menentukan nasionalitas bagi penduduk di wilayahnya,
hak untuk mengijinkan dan menolak atau melarang orang untuk masuk dan keluar
dari wilayahnya, hak untuk melakukan nasionalisasi. 45
Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini selain
kemerdekaan (independence) juga paham kesederajatan (equality). Artinya,
bahwa negara-negara yang berdaulat itu selain masing-masing merdeka, juga
sama derajatnya satu dengan yang lainnya. Suatu negara yang merdeka, maka ia
mempunyai hak-haknya, seperti yurisdiksi teritorial dan mempertahankan
negaranya. Di samping hak terdapat kewajibannya yang mengikat atau
berhubungan dengan negara lain, seperti tidak mengambil jalan kekerasan, traktat

dengan iktikad baik, dan tidak intervensi. Prinsip menghormati kedaulatan
teritorial suatu negara salah satu contoh hak sekaligus kewajiban. 46
Berdasarkan sifatnya, kedaulatan sebuah negara dibagi menjadi dua jenis
yaitu: 47
1) Kedaulatan Ke Dalam

45

Ibid.
http://karim-muhamr.blogspot.co.id/2013/05/arti-kedaulatan-negara-dalam-hi.html
diakses tanggal 24 Mei 2017.
46

47

https://kiftiyaningsih.wordpress.com/pertemuan-3/materi-bab-iii/d-kedaulatan-negararepublik-indonesia/ diakses tanggal 24 Mei 2017.

49
Universitas Sumatera Utara


Pemerintah memiliki wewenang tertinggi dalam mengatur dan menjalankan
organisasi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Kedaulatan Ke Luar
Pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak tunduk kepada kekuasaan lain,
selain ketentuan ketentuan yang telah ditetapkan. Demikian juga halnya dengan
negara lain, harus pula menghormati kekuasaan negara yang bersangkutan dengan
tidak mencampuri urusan dalam negerinya.
Negara yang berdaulat adalah negara yang mampu membuat suatu
keputusan akhir tanpa dipengaruhi pihak atau otoritas lain, dan memperjuangkan
haknya untuk menentukan keputusan akhir tanpa harus mematuhi kehendak
otoritas lain. 48 Sehingga kedaulatan negara berdasarkan atas jangkauan dan
konsep suatu negara.
a) Kedaulatan Berdasarkan Jangkauan (Scope)
Sehingga kedaulatan negara berdasarkan atas jangkauan dan konsep suatu
negara. Kedaulatan mencakup independesi dan supremasi, dua aspek tersebut
sering disebut sebagai kedaulatan eksternal dan kedaulatan internal. Dalam
praktik internasional kedua kedaulatan baik eksternal dan internal tidak melalui
perjuangan yang mudah. Kedaulatan eksternal (Independensi) adalah hak atau
kewenangan eksklusif bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan
hubungan internasional dengan berbagai negara atau kelompok lain tanpa ada

halangan, rintangan, kekangan dan tekanan dari pihak manapun juga. Selain
jurisdiksi dan pengakuan negara lain yang sederajat, kedaulatan eksternal haruslah
memiliki prinsip non-intervention yang ditegaskan dengan rumusan International
48

Christopher M. Roy, Sovereignity, Intervention and the Law : Journal of International.

50
Universitas Sumatera Utara

Commission on Intervention and State Sovereignity (ICISS), yaitu “the concept is
normally used to encompass all matters in which state is permitted by
international law to decide and act without intervensions from other state.”
Kedaulatan eksternal disebut juga independensi negara yang berarti setiap
negara sama kedudukannya dalam interaksi internasional dengan negara lainnya.
Dalam kedaulatan internasional, harus ada sumber-sumber hukum seperti
Constitution, Statutes, Regulations, dan Customs yaitu:
(1) Constitution adalah dasar suatu negara, baik hukum tertulis maupun hukum
tidak tertulis yang mengatur secara bagaimana suatu pemerintahan
diselenggarakan dalam masyarakat.
(2) Statutes adalah statuta atau undang-undang.
(3) Regulations adalah peraturan-peraturan yang pembuatannya dari badan
legislatif kepada badan eksekutif.
(4) Customs

adalah

kebiasaan-kebiasaan

dalam

masyarakat.Kedaulatan

internasional diatas disebut sebagai supremasi negara.
b) Kedaulatan Berdasarkan Wilayah
Apabila seorang berada di wilayah tertentu, maka orang tersebut harus
tunduk pada hukum wilayah tersebut, hal ini dikenal dalam bahasa Romawi yang
terkenal “qui in territorio meo est, etiam meus subditus est.” Secara geografis,
kedaulatan mencakup tiga wilayah yaitu wilayah tanah, wilayah laut dan wilayah
udara di suatu negara.
2. Daya Ikat Hukum Internasional dikaitkan dengan Kedaulatan Negara
Setelah kita membahas tentang pengertian kedaulatan sebuah negara
diatas, maka dalam poin ini, kita akan membahas tentang seberapa mengikatnya

51
Universitas Sumatera Utara

Hukum Internasional jika kita kaitkan dengan Kedaulatan Negara. Sebab, tentu
akan menimbulkan pertanyaan dalam benak kita apakah yang dilakukan oleh
Donald Trump bertentangan dengan Hukum Internasional atau tidak. Sebelum
kita membahas lebih lanjut, ada baiknya kita me-review kembali definisi dari
Hukum Internasional secara singkat. Para ahli memberikan pandangan serta
pendapat mereka tentang definisi Hukum Internasional sebagai berikut: 49
a. Menurut J.G. Starke– Hukum Internasional adalah seperangkat hukum (badan
hukum), yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan aturan perilaku
dan perasaan negara terikat untuk mematuhi membangun hubungan dengan
satu sama lain.
b. Menurut Grotius (Hugo de Groot)– Hukum internasional terdiri dari
seperangkat prinsip-prinsip hukum dan karena biasanya dalam hubungan
antara negara-negara. Hubungan ini didasarkan pada kehendak bebas dan
persetujuan dari semua anggota untuk kepentingan Bersama.
c. Menurut Oppenheimer– Hukum internasional sebagai hukum yang timbul dari
masyarakat internasional dan perjanjian pelaksanaannya dijamin dengan
kekuatan dari luar.
d. Menurut Brierly– Hukum internasional sebagai seperangkat aturan atau
prinsip-prinsip untuk melakukan hal-hal yang mengikat negara-negara
beradab dalam hubungan mereka satu sama lain.
e. Menurut Dr. Mochtar Kusumaatmadja– Kesuluruhan kaidah dan asas yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara.

49

http://www.gurupendidikan.com/pengertian-hukum-internasional-menurut-paraahli/diakses tanggal 27 Mei 2017.

52
Universitas Sumatera Utara

f. Menurut Charles Cheny hyde– Hukum internasional adalah seperangkat
hukum yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan aturan yang harus
ditaati oleh negara. Oleh karena itu, hukum internasional harus ditaati dalam
hubungan antara mereka dengan satu sama lain.
Menurut

Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H., Hukum Internasional

merupakan Hukum yang lemah. Meskipun eksistensi hukum internasional sudah
tidak perlu diragukan lagi, namun pandangan umum yang masih menghinggapi
orang yang awam hukum, bahkan juga kalangan Para ahli hukum pada umumnya,
bahwa hukum internasional merupakan hukum yang lemah (weak law). 50 Lemah
karena Hukum Internasional tidak seperti layaknya Hukum Nasional yang
memiliki sanksi tegas dan nyata terhadap yang melanggarnya. Sebenarnya hal
semacam ini dapat kita temui di dalam fakta dunia Internasional yang semakin
membuktikan bahwa Hukum Internasional sebenarnya memang merupakan
hukum yang lemah seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. S.M. Noor, S.H.,
M.H., peristiwa-peristiwa yang pada dasarnya jelas-jelas merupakan pelanggaran
atas kaidah ataupun kebiasaan hukum internasional, tetapi pelakunya (negaranegara yang melanggar) tetap saja tidak dikenai sanksi ataupun tidak
mendapatkan tindakan tegas. Apalagi jika negara tersebut merupakan negara besar
dan kuat secara dunia Internasional, Hukum Internasional seperti tidak ada apaapanya. Terlihat bahwa adanya diskriminasi bahkan di dunia Internasional.
Contoh kasus yang mendukung pernyataan Prof. Dr. S.M. Noor, S.H.,
M.H tersebut dikutip dari artikel “Hukum Internasional Merupakan Hukum yang

50

http://www.negarahukum.com/hukum/hukum-internasional-merupakan-hukum-yanglemah.html diakses tanggal 31 Mei 2017.

53
Universitas Sumatera Utara

Lemah” : 51 pelanggaran yang dilakukan oleh Uni Soviet (sekarang Rusia) yang
menginvasi (menyerang dan menduduki wilayah Afganistan pada tahun 1980 dan
Irak yang menginvasi Kuwait pada tahun 1990), Uni Soviet sama sekali tidak
dikenakan sanksi apapun oleh masyarakat internasional c.q. Dewan Keamanan
PBB. Demikian Pula Israel yang menduduki secara illegal wilayah negara-negara
Arab sejak tahun 1948, meskipun telah berkali-kali dikenai resolusi Dewan
Keamanan PBB, tetap tidak dihiraukan oleh Uni Soviet dan masyarakat
internasional ternyata tidak dapat berbuat banyak. Sebaliknya Irak dengan cepat
dikenakan saksi oleh Dewan Keamanan PBB atas tindakannya menginvasi
Kuwait, bahkan sanksi tersebut masih terus berlangsung secara efektif hingga
tahun 2000. Demikian pula tindakan Amerika Serikat yang menginvasi Grenada,
sebuah negara kecil di kawasan Laut Karibia pada tahun 1987, sama sekali tidak
terkena sanksi apapun. Tampak ada nya penerapan sanksi yang tebang pilih.
Kasus di Afrika Selatan yang menerapkan politik Apartheid ( diskriminasi
warga kulit hitam ) bertahun-tahun lamanya yang sudah berkali-kali terkena
sanksi berupa embargo dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan olah raga,
seperti ditetapkan dalam sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB, sama sekali
tidak efektif. Ini disebabkan karena negara-negara besar seperti Amerika Serikat,
Inggris, Perancis, dan sekutu-sekutunya ternyata tidak dengan sepenuh hati
menerima resolusi-resolusi Dewan Keamanan tersebut.
Dari contoh-contoh diatas, kita bisa melihat kemudian bahwa dalam
penerapan sanksi dalam dunia Internasional terlihat ambigu atau mengambang.
Politik juga berperan di dalam penerapan sanksi bagi sebuah negara. Ini seperti

51

Ibid.

54
Universitas Sumatera Utara

case by case bahwa dalam suatu kasus ternyata terkait kepentingan dan negaranegara di dunia ini, terutama negara-negara besar dan berpengaruh seperti telah
dikemukakan di atas. Beraneka macam dan berubah-ubahnya kepentingan negaranegara sesuai dengan waktu dan tempatnya maupun situasi dan kondisinya, sangat
menentukan kesediaan negara-negara menaati hukum internasional maupun
kesungguhan negara-negara dalam menerapkan sanksi terhadap negara-negara
yang melanggarnya. Semua ini pada akhirnya menampakkan diri dalam bentuk
pertarungan

memperjuangkan

kepentingan

masing-masing

yang

muncul

kepermukaan dalam wujud percaturan politik internasional. Jadi negara-negara
bersedia ataupun tidak bersedia menaati hukum internasional, ataupun negaranegara melanggar hukum internasional, tidak terlepas dan faktor politik. Dengan
perkataan lain, dalam penataan atas hukum internasional faktor politik memainkan
peranan yang sangat dominan. Dominan-nya faktor politik ini tentu saja tidak
terlepas dari kedaulatan yang dimiliki atau melekat pada negara-negara. Selama
negara--negara memiliki kedaulatan dan tidak ada lembaga atau badan supranasional yang berada di atas kedaulatan, selama itu pula eksistensi maupun
penerapan hukum internasional tergantung pada faktor politik.
Ada beberapa ajaran atau mazhab yang berkaitan dengan daya ikat Hukum
Internasional, yaitu: 52
1. Mazhab atau Ajaran Hukum Alam
Menurut aliran hukum alam (natural law), hukum itu berasal dan alam dan
diturunkan oleh alam kepada manusia melalui akal atau rasionya. Hukum
dipandang memiliki sifat universal, abadi, tidak berubah-ubah, sama dimana52

http://www.negarahukum.com/hukum/daya-mengikat-hukum-internasional2.htmldiakses tanggal 27 Mei 2017.

55
Universitas Sumatera Utara

mana, seperti halnya dengan alam itu sendiri yang juga universal, abadi dan tidak
berubah-ubah, jadi dimanapun juga sama saja. Aliran hukum alam, memandang
hukum itu demikian abstrak dan tinggi serta hanya mengakui satu macam hukum
yang berlaku di seluruh dunia, yakni, hukum alam itu sendiri. Masyarakat atau
manusia dipandang hanya sebagai penerima yang pasif. Sekitar Abad
Pertengahan, sesuai dengan situasi dan kondisi pada masa itu, yakni
berkem-bangnya pengaruh ajaran Ketuhanan, aliran hukum alam ini pun tidak
luput dari pengaruh Ketuhanan sehingga menampakkan cini-ciri keagamaan
Ketuhanan yang sangat kuat. Hukum alam tidak lagi dipandang berasal dan alam,
melainkan berasal dan Tuhan. Tuhanlah yang menurun-kannya kepada manusia
melalui alam. Hukum alam berasal dan bersumber dan Tuhan.
Jadi, menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat
karena ia adalah bagian dari hukum alam yang diterapkan dalam kehidupan
bangsa-bangsa & negara-negara tunduk atau terikat kepada hukum internasional
dalam hubungan antar mereka karena hukum internasional itu merupakan bagian
dari hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum alam.
Namun, terlepas dari kelemahannya seperti telah diuraikan di atas, satu
sumbangan dari aliran hukum alam yang tak ternilai yakni, aliran hukum alam
telah berjasa meletakkan landasan yang ideal bagi norma hukum pada umumnya.
Dasar atau landasan ideal ini dapat ditunjukkan pada adanya pengakuan dan
penerimaan umat manusia atas nilai-nilai hukum dan kemanusiaan yang bersifat
universal dan abadi, seperti tentang hak-hak asasi manusia, kesamaan derajat
semua umat manusia, maupun kesamaan derajat negara-negara, perlakuan sama
bagi setiap orang di hadapan hukum, dan lain sebagainya.

56
Universitas Sumatera Utara

2. Mazhab atau Ajaran Hukum Positif
Menurut aliran hukum positif, hukum itu mengikat masyarakat atau
masyarakat tunduk pada hukum, disebab-kan karena masyarakat itu sendirilah
yang membutuhkan hukum tersebut untuk mengatur kehidupannya. Jika
pandangan aliran hukum positif ini dihubungkan dengan hukum internasional,
maka hukum internasional berlaku dan mengikat masyarakat internasional,
disebabkan karena masyarakat internasional itu sendirilah yang membutuhkan dan
menghendaki untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional. Jadi ada faktor
kehendak negara (state will) yang menyebabkan masyarakat internasional,
khususnya negara-negara untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional.
Seorang penganut aliran hukum positif, George Jellinek, yang juga dikenal
sebagai penganut teori kedaulatan negara (state sovereignty), berpendapat, bahwa
negara-negara sebagai pribadi hukum yang memiliki kedaulatan bersedia untuk
tunduk dan terikat pada hukum internasional, oleh karena negara-negara itu
sendirilah yang menghendakinya. Ini merupakan manifestasi dari kedaulatannya.
Sebaliknya, jika pada suatu waktu nanti, negara atau negara-negara memandang
tidak ada manfaatnya lagi untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional,
negara-negara itupun memiliki kehendak bebas untuk tidak mau lagi terikat pada
hukum internasional. Jadi berdasarkan kehendaknya itu, negara-negara bebas
untuk menyatakan dan untuk tunduk dan terikat ataukah tidak pada hukum
internasional. Apabila suatu negara memandang perlu untuk tunduk dan terikat
pada hukum internasional, negara itu bisa saja menyatakan dirinya bersedia untuk
terikat. Jadi negara bersedia secara sukarela untuk dibatasi oleh hukum
internasional. Sebaliknya, jika pada suatu waktu kemudian, negara yang

57
Universitas Sumatera Utara

bersangkutan memandang tidak perlu lagi untuk terikat, maka negara itupun bisa
saja sewaktu-waktu menyatakan dirinya tidak mau lagi terikat pada hukum
internasional. Hal ini berarti, George Jellinek menempatkan kedaulatan negara
(state sovereignty) dalam kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum
internasional. Pandangan George Jellinek ini dikenal pula dengan teori
pembatasan diri sendiri (self limitation theory).
Apabila pandangan George Jellinek ini diterapkan secara konsekuen, jelas
akan menimbulkan akibat yang fatal. Jika daya mengikat hukum internasional
digantungkan pada kehendak negara, baik secara individual maupun secara
bersama-sama, akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum
dalam pengertian yang paling ekstrim, sama saja dengan kekacauan, dan
kekacauan yang paling kacau adalah keadaan tanpa hukum, dimana setiap pihak
merasa memiliki kebebasan yang tanpa batas. lnilah yang disebut anarkisme.
3. Mazhab Wina 53
Kelemahan teori-teori berdasarkan kehendak negara melahirkan sebuah
teori baru, yang mendasarkan diri pada norma hukum yang telah ada terlebih
dahulu. Tokoh terkenal dari teori ini adalah Hans Kelsen dengan mazhabnya yaitu
Mazhab Wina.
Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional
didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada
dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi itu didasarkan oleh ada dan
mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya hingga
sampai pada suatu puncak piramida kaidah-kaidah hukum yang dinamakan kaidah
53

http://sospol.pendidikanriau.com/2010/10/hakekat-dan-dasar-mengikatnya-hukum.html
diakses tanggal 27 Mei 2017.

58
Universitas Sumatera Utara

dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum melainkan harus
diterima adanya sebagai hipotesa asal (ursprungshypothese). Menurut Kelsen,
kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau asas pacta sunt
servanda.
Pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti “janji harus
ditepati”. Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistem
hukum civil law, yang dalam perkembangannya diadopsi ke dalam hukum
internasional. Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan kontrak atau perjanjian
yang dilakukan diantara para individu, yang mengandung makna bahwa:
1) Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, dan
2) Mengisyaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada
perjanjian merupakan tindakan yang melanggar janji atau wanprestasi. 54
Kelemahan dari mazhab atau teori ini adalah bahwa memang sepintas
tampak bahwa konstruksi pemikiran mazhab ini tampak logis dalam menerangkan
dasar mengikatnya hukum internasional. Namun, mazhab ini tidak dapat
menerangkan mengapa kaidah dasar (grundnorm) itu sendiri mengikat? Lagipula,
dengan mengatakan bahwa kaidah dasar itu sebagai hipotesa, yang merupakan
sesuatu yang belum pasti, maka berarti pada akhirnya dasar mengikatnya hukum
internasional digantungkan pada sesuatu yang tidak pasti.
4. Mazhab Prancis
Mazhab Perancis dengan pemuka-pemukanya terutama Fauchile, Scelle
dan Duguit mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional seperti juga
segala hukum pada faktor-faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia
54

Harry Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional,
Jurnal Mimbar Hukum UGM Vol. 21, Nomor 1, Februari 2009, hlm. 158.

59
Universitas Sumatera Utara

yang mereka namakan fakta-fakta kemasyarakatan yang menjadi dasar. Menurut
mereka persoalannya dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai
makhluk sosial, hasratnya untuk berabung dengan manusia lain dan kebutuhannya
akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai orang seorang
menurut mereka juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Jadi dasar kekuatan mengikat
hukum (internasional) terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya
hukum itu perlu mutlak bagi dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa)
untuk hidup bermasyarakat.
3. Daya Ikat Perjanjian Internasional Bagi Negara Pihak
Perjanjian Internasional dapat dikatakan sebagai sumber hukum yang
terpenting dewasa ini. Melalui perjanjian Internasional, tiap negara menggariskan
dasar kerja sama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai
masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. 55
Negara adalah salah satu subyek hukum Internasional yang memiliki
kemampuan penuh untuk mengadakan atau untuk duduk sebagai pihak dalam
suatu perjanjian internasional. Hak suatu negara untuk mengadakan perjanjian
internasional adalah merupakan atribut dari kedaulatan yang dimiliki oleh suatu
negara. Negara dapat mengadakan perjanjian apapun tanpa ada hak dari pihak lain
untuk membatasi maupun melarangnya. 56
Induk dari Perjanjian Internasional adalah Konvensi Wina 1969 tentang
Hukum Perjanjian. Sebelum adanya Konvensi Wina 1969, perjanjian antar negara,
baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan
55

Sefriani. 2015. Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional
Kontemporer. (PT. Rajagrafindo Persada : Jakarta). Hlm. 81.
56

Parthiana,I Wayan. 2002. Perjanjian Internasional Bagian 1. (PT. Mandar Maju :
Bandung). Hlm. 19.

60
Universitas Sumatera Utara

asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut
terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya. 57
Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional
mengandung 2 aspek yaitu aspek eksternal dan aspek internal: 58
a. Aspek eksternalnya adalah keterikatan negara yang bersangkutan terhadap
perjanjian dalam hubungannya dengan negara lain yang juga sama-sama
terikat pada perjanjian itu. Suatu negara yang menyatakan persetujuan untuk
terikat pada suatu perjanjian internasional berarti negara itu menyatakan
kesediaannya menaati dan menghormati perjanjian internasional tersebut.
Perjanjian itu akan melahirkan hak dan kewajiban baik secara bersama-sama
maupun secara timbal balik antara negara-negara yang sama-sama telah
menyatakan persetujuannya untuk terikat.
b. Aspek internalnya adalah berkenaan dengan masalah di dalam negeri dari
negara yang bersangkutan. Misalnya, organ manakah dari pemerintah negara
itu yang berwenang menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu
perjanjian

Internasional,

bagaimana

mekanismenya

sampai

dengan

dikeluarkannnya persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada perjanjian,
serta konsekuensinya terhadap hukum nasional dari keterikatan negara itu
pada suatu perjanjian Internasional.
Adapun mengikatnya perjanjian tergantung pada tahap-tahap pembentukan
perjanjian itu. Untuk perjanjian yang tidak memerlukan ratifikasi maka
penandatangan akan menimbulkan akibat hukum yaitu terikatnya negara

57

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4268/konvensi-wina-1969-indukpengaturan-perjanjian-internasional diakses tanggal 23 Juni 2017.
58
Parthiana,I Wayan, Op.cit. hlm. 144-145.

61
Universitas Sumatera Utara

penandatanganan pada perjanjian tersebut. Namun, bila perjanjian mensyaratkan
ratifikasi maka negara akan terikat secara hukum setelah ia meratifikasi. 59
Ratifikasi adalah konfirmasi untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian
internasional. Tahapan ini diperlukan dengan alasan : 60
1) Negara berhak untuk meninjau kembali instrumen yang sudah ditandatangani
wakilnya sebelum negara memastikan diri bersedia untuk diikat dengan segala
hak dan kewajiban yang muncul dari perjanjian tersebut
2) Hak negara berdaulat untuk menarik dari suatu perjanjian yang telah
ditandatangani delegasinya apabila negara memang meragukan perjanjian
tersebut.
3) Sering suatu perjanjian internasional mengundang dilakukannya amandemen
atau penyesuaian dalam hukum nasional
4) Melaksanakan prinsip demokrasi, minat persetujuan rakyat
Bagi masyarakat

internasional, ketika negara sudah memberikan

konfirmasi untuk mengikatkan diri maka negara terikat secara yuridis kepada
perjanjian tersebut.
Dalam hal apabila adanya pertentangan diantara Hukum Nasional dan
Hukum Internasional maka yang mana harus didahulukan? Demi memelihara dan
mempertahankan tertib masyarakat Internasional, dan demi mempertahankan
nilai-nilai dan tujuan luhur dari perjanjian-perjanjian Internasional serta juga
supaya negara-negara tidak mudah menjadikan hukum nasionalnya sebagai alasan
untuk mengesampingkan suatu perjanjian Internasional, oleh Komisi Hukum
Internasional maupun negara-negara Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian
59

Sefriani. 2009. Hukum Internasional : Suatu Pengantar. (PT. RajaGrafindo Persada :
Yogyakarta). Hlm. 33.
60
Sefriani, Op.cit. hlm. 88-89.

62
Universitas Sumatera Utara

maka disepakatilah supaya hukum nasional tidak dapat dijadikan alasan pembenar
atas pelanggaran ataupun kegagalannya dalam melaksanakan ketentuan Perjanjian
Internasional. 61
Apabila dalam suatu kasus bahwa sebuah perjanjian internasional telah
berakhir eksistensinya ataupun masa berlakunya suatu perjanjian internasional,
maka semenjak itu pula perjanjian itu tidak lagi memberikan hak maupun
membebani kewajiban kepada para pihak, karena memang sudah tidak lagi
merupakan hukum Internasional positif. Akan tetapi perjanjian-perjanjian
Internasional jenis tertentu, yakni, perjanjian yang substansinya (sebagian)
merupakan formulasi dari kaidah hukum kebiasaan internasional, hak ataupun
kewajiban yang semula berasal dari hukum kebiasaan itu tetap berlaku. 62
B. Prinsip Non-Refoulement Sebagai Jus Cogens
1. Pengertian Prinsip Non-Refoulement
Istilah “non-refoulement” berasal dari bahasa Perancis “refouler” yang
berarti mengembalikan atau mengirim balik (to drive back).63 Prinsip

non-

refoulement adalah larangan atau tidak diperbolehkannya suatu negara untuk
mengembalikan atau mengirimkan pengungsi (refugee) ke suatu wilayah
tempat

dia

akan

menghadapi

persekusi

atau penganiayaan

yang

membahayakan hidup-nya karena alasan-alasan yang berkaitan dengan ras,

61

Parthiana,I Wayan. 2005. Perjanjian Internasional Bagian 2. (PT. Mandar Maju :
Bandung). Hlm. 276.
62
Ibid. Hlm. 458.
63
Harun Ur Rashid, 2005, “Refugee and the Legal Principle of Non-refoulement
(Rejection)”, dalam Law and Our Rights, Issue No. 197, July, 2005.

63
Universitas Sumatera Utara

agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, atau karena
keyakinan politiknya. 64
Prinsip non-refoulement merupakan konsep fundamental dalam sistem
perlindungan internasional bagi para pengungsi dan pencari suaka. Prinsip ini
muncul dari pengalaman dan sejarah Internasional ketika terjadinya kegagalan
negara-negara selama Perang Dunia II untuk menyediakan tempat yang aman
untuk pengungsi yang melarikan diri genosida tertentu yang pada saat itu
dilaksanakan oleh rezim Nazi. Hari ini, prinsip non-refoulement untuk melindungi
pengungsi dan pencari suaka yang diusir dari negara-negara penandatangan
Konvensi 1951 atau Protokol 1967.
Terjadinya pengusiran terhadap para pengungsi, baik oleh negara yang
telah menjadi pihak pada Konvensi 1951 maupun negara-negara yang belum
menjadi pihak pada Konvensi tersebut, telah meningkatkan penderitaan pengungsi
menjadi semakin berkepanjangan. Beberapa Negara Pihak pada Konvensi 1951
bahkan mengusir para pengungsi dengan alasan para pengungsi tersebut
mengancam keamanan nasional atau mengganggu ketertiban umum di negara
tersebut.65
Pada dasarnya, prinsip non-refoulement mewajibkan ketika terjadinya
pengungsian massal yang disebabkan oleh sebuah konflik, negara-negara yang
sanggup untuk menampung korban perang wajib memberikan tempat aman bagi
para pengungsi dan dilarang untuk mengusir atau mengembalikan mereka ke

64

Sigit Riyanto, “Prinsip Non-refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum
Internasional”. Mimbar Hukum Vol. 22 No. 33 Hlm. 434-449.
65

Jun Justinar , 2011 , Prinsip Non-Refoulement dan Penerapannya di Indonesia, Jurnal
Kemlu Vol. 3.

64
Universitas Sumatera Utara

tempat asal mereka dimana bahaya dapat ditemukan. Prinsip non-refoulement,
prinsip yang paling mendasar bagi keseluruhan sistem hukum pengungsi
internasional ini dibahas lebih secara jelas dalam Pasal 33 Konvensi Jenewa 1951
tentang Status Pengungsi Internasional (1951 Geneva Convention Relating to the
status of Refugees). 66
Prinsip non-refoulement tidak hanya terdapat di dalam pada Konvensi
1951, namun secara tersirat dapat kita temukan di dalam Pasal 3 Konvensi Anti
Penyiksaan, Pasal 45 paragraf 4 Konvensi Jenewa IV tahun 1949, Pasal 13
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1966. 67
Makna utama dari prinsip non-refoulement adalah tidak boleh ada
negara yang mengembalikan atau mengirim pengungsi dan/atau pencari suaka ke
suatu wilayah tempat kehidupan dan keselamatan pengungsi atau pencari
suaka tersebut akan terancam; kecuali kehadiran pengungsi atau pencari suaka
tersebut benar-benar menimbulkan
negara

yang

masalah ketertiban dan keamanan

bagi

bersangkutan. Ini jelas tercantum di dalam Pasal 33 ayat (2)

Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi yang berbunyi : “ Namun, keuntungan
ketentuan ini tidak boleh diklaim oleh pengungsi di mana terdapat alasan-alasan
yang layak untuk menganggapnya sebagai bahaya terhadap keamanan negara di
mana ia berada atau , karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan hakim yang
bersifat final atas tindak pidana sangat berat ia merupakan bahaya bagi
masyarakat negara itu.” Prinsip Non-refoulement hanya berlaku bagi pengungsi
dan pencari suaka.

66

Ibid.

67

Jun Justinar, Op.cit.

65
Universitas Sumatera Utara

Lebih lanjut, isi pokok prinsip non-refoulement ini juga dikukuhkan
oleh Majelis Umum PBB dalam Deklarasi tentang Suaka Teritorial 1967 (1967
Declaration on Territorial Asylum) yang disetujui secara aklamasi. Pasal 3
Deklarasi yang diterima oleh Majelis Umum PBB 14 Desember 1967 ini
menegaskan bahwa setiap orang yang berhak mencari suaka tidak boleh
diusir atau ditolak masuk oleh negara tempat ia mengajukan permohonan
suaka. Pencari suaka ini tidak boleh dikembalikan ke negara manapun dimana
dia menghadapi risiko penganiayaan (persekusi). 68
2. Prinsip Non-Refoulement sebagai Jus Cogens
Dalam sistem hukum internasional,konsep jus cogens atau yang sering
juga

disebut

sebagai

norma

pemaksa

dalam

hukum

internasional

( peremptory norm of international law ) adalah suatu ketentuan hukum yang
telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional dan ketentuan hukum
tersebut tidak dapat disimpangi atau dikalahkan oleh ketentuan hukum lain. 69
Prinsip non-refoulement yang mencerminkan perlindungan minimum
berdasarkan alasan kemanusiaan tercantum dalam Pasal 33 Konvensi 1951
mengenai Status Pengungsi. Pasal 33 ini mencakup beberapa hal penting : 70
Pertama, Konvensi 1951 hanya mengikat negara-negara yang telah
menjadi pihak pada Konvensi tersebut. Berdasarkan Pasal I ayat (1) Protokol
1967, suatu negara yang tidak menjadi pihak pada Konvensi 1951 namun menjadi
pihak pada Protokol, juga terikat pada Pasal 2 hingga Pasal 34 Konvensi 1951.
68

Sigit Riyanto, “Prinsip Non-refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum
Internasional”. Mimbar Hukum Vol. 22 No. 33 Hlm. 434-449.
69

https://maxbhirawaar.wordpress.com/2012/06/17/non-refoulement-principles-in-theinternational-legal-system/ diakses tanggal 31 Mei 2017.
70
Jun Justinar, Op.cit.

66
Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian, Pasal 33 Konvensi 1951 mengikat negara-negara yang menjadi
pihak pada Konvensi 1951 atau Protokol 1967, atau pada kedua instrument
tersebut.
Kedua, Konvensi 1951 bersifat kemanusiaan. Hal ini secara jelas
tercantum dalam paragraf pembukaan Konvensi 1951 yang mengemukakan
bahwa PBB peduli pengungsi dan menjamin pengungsi mendapatkan hak-hak
dasarnya serta kebebasannya sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia. Hal ini merupakan pengakuan dari seluruh
negara terhadap aspek sosial dan kemanusiaan dari masalah pengungsi.
Ketiga, larangan pengusiran mengandung hal yang khusus. Hal ini
didukung oleh Pasal 42 ayat (1) Konvensi 1951 yang mengecualikan Pasal 33 dari
tindakan reservasi. Dengan demikian larangan pengusiran dalam Pasal 33
Konvensi 1951 merupakan suatu kewajiban non-derogable yang membangun
esensi kemanusiaan dalam Konvensi 1951. Sifat non-derogable larangan
pengusiran ditegaskan kembali oleh Pasal VII ayat (1) Protokol 1967.
Komite Eksekutif UNHCR bahkan lebih jauh menetapkan bahwa prinsip
non-refoulement

merupakan

kemajuan

peremptory

norm

dalam

hukum

internasional. Prinsip non-refoulement telah dianggap sebagai hukum kebiasaan
internasional, yang bermakna seluruh negara, baik telah menjadi Negara Pihak
maupun bukan, pada konvensi-konvensi pengungsi dan/atau hak asasi manusia
yang melarang pengusiran, berkewajiban untuk tidak mengembalikan atau
mengekstradisi seseorang ke negara dimana hidup atau keamanan orang itu
sungguh-sungguh berada dalam bahaya.

67
Universitas Sumatera Utara

Peremptory norm atau disebut juga jus cogens atau ius cogens (dari bahasa
Latin yang berarti hukum yang memaksa) merupakan suatu prinsip dasar hukum
internasional yang diterima oleh negara-negara sebagai suatu norma yang tidak
dapat dikurangi pelaksanaannya. Sebagai peremptory norm atau jus cogens,
prinsip non-refoulement harus dihormati dalam segala keadaan dan tidak dapat
diubah. Hak dan prinsip mendasar ini telah diadakan untuk kepentingan semua
orang tanpa memandang apakah negara sudah menjadi pihak pada Konvensi 1951
atau belum dan tanpa memperhatikan apakah orang tersebut sudah diakui
statusnya sebagai pengungsi atau tidak. 71

71

http://muhammadalvisyahrin.blogspot.co.id/2016/02/penerapan-prinsip-nonrefoulement.html diakses tanggal 27 Mei 2017.

68
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
KEBIJAKAN DONALD TRUMP DITINJAU DARI KONVENSI 1951 DAN
PROTOKOL 1967 TENTANG STATUS PENGUNGSI
A. Sejarah Pengungsi di Amerika Serikat
Amerika merupakan negara yang memang lebih banyak didominasi oleh
Imigran dan Pengungsi sejak lama, sebab suku asli di Amerika merupakan suku
Indian sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa dan bangsa lainnya yang datang
dan menetap di Amerika hingga sekarang ini. Namun apa yang dilakukan oleh
Donald Trump malah seolah-olah Amerika menutup mata atas fakta tersebut.
Amerika Serikat memiliki tradisi panjang di dalam memberikan
perlindungan bagi mereka yang melarikan diri dari konflik dan penyiksaan, dan
Gedung Putih di bawah Pemerintahan Obama telah berjanji untuk menampung
110.000 pengungsi di tahun 2017. Akan tetapi, Donald Trump dan pejabat
lainnya, memiliki sebuah ketakutan yang tidak berdasar yang mengatakan bahwa
teroris mungkin saja menyusup melalui program penerimaan pengungsi, mereka
telah menangguhkan program tersebut selama 120 hari dan memotong jumlah
penerimaan pengungsi tahun ini ( 2017 ) lebih dari setengah. 72
Pada masa pemerintahan Barrack Obama pun , Obama selalu terbuka atas
penerimaan pengungsi. Namun, memang sejak lama Donald Trump selalu telah
menjadi penentang penerimaan pengungsi jauh sebelum ia menjadi Presiden
Amerika. Seperti yang dikutip dari laman Slate 73: “Refugees from Syria are now
pouring into our great country. Who knows who they are—some could be ISIS. Is

72

https://www.rescue.org/article/how-us-refugee-vetting-and-resettlement-process-reallyworks diakses tanggal 31 Mei 2017.
73
http://www.slate.com/articles/news_and_politics/history/2015/11/america_s_long_tradit
ion_of_fearing_refugees_the_united_states_has_always.html diakses tanggal 31 Mei 2017.

69
Universitas Sumatera Utara

our president insane?” asked real estate mogul Donald Trump, who leads the
Republican race for president. Former Arkansas Gov. Mike Huckabee said
basically the same, using more colorful phrasing. “If you bought a 5-pound bag of
peanuts and you knew that in the 5-pound bag of peanuts there were about 10
peanuts that were deadly poisonous, would you feed them to your kids? The
answer is no.”
Terjemahan : “Pengungsi dari Suriah kini telah membanjiri negara kita
yang hebat ini. Siapa yang tau mereka itu siapa—beberapa mungkin saja ISIS.
Apakah Presiden kita sudah gila?” tanya taipan real estate Donald Trump .
Mantan Gubernur Arkansas , Mike Huckabee juga mengatakan hal yang serupa,
namun dengan kata-kata yang lebih “indah” . “ Jika kamu membeli 5 pound
kacang-kacangan dan kamu tau bahwa di dalam 5 pound kacang-kacang itu ada
10 kacang yang beracun dan mematikan, akankah kamu memberikannya kepada
anak-anakmu? Tentu saja tidak.”
Amerika

Serikat

memiliki

sejarah

panjang

dalam

memberikan

perlindungan dan bantuan kepada orang-orang yang menghadapi penganiayaan
dan melarikan diri dari kekerasan. Setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat
memimpin dalam memberikan bantuan dan rekonstruksi untuk membantu orangorang yang kehilangan tempat tinggal. Bagian dari solusi Amerika Serikat adalah
menerima ratusan ribu orang Eropa yang merupakan korban dari perang yang
tidak dapat kembali ke rumah mereka lagi. Setelah mensahkan lebih dari 250.000
orang Eropa terlantar, Amerika Serikat mengeluarkan UU pertama mereka yang
berkaitan dengan Pengungsi yaitu Undang-Undang Pengungsi pada tahun 1948.

70
Universitas Sumatera Utara

Undang-undang ini dibuat untuk menerima tambahan 400.000 pengungsi dari
Eropa.
Kepemimpinan Amerika Serikat ini berlanjut sepanjang periode Perang
Dingin, Amerika kembali menerima banyak pengungsi dari Asia Tenggara, orangorang yang melarikan diri dari Uni Soviet, dan Kuba serta dari Hungaria,
Polandia, Yugoslavia, Korea, and China.
Pada tahun 1975, Amerika Serikat kembali menerima ratusan ribu
pengungsi Asia Tenggara melalui Satuan Tugas Pengungsi Ad Hoc dengan
system pendanaan sementara. Pengalaman ini kemudian mendorong Kongres
untuk mengeluarkan Undang-Undang Pengungsi tahun 1980, yang memasukkan
definisi PBB tentang pengungsi dan menetapkan standar layanan pengungsian
untuk semua pengungsi yang diterima di Amerika Serikat. Undang-undang
Pengungsi memberikan dasar hukum untuk Program Penerimaan Pengungsi di
Amerika Serikat hingga hari ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, Amerika Serikat telah menerima
pengungsi Darfuri yang melarikan diri dari genosida dan kekerasan, orang Bhutan
yang dipaksa keluar dari negara mereka, pengungsi Suriah, Irak, Afghanistan
yang menjadi korban oleh karena perang, dan banyak populasi lain yang
membutuhkan perlindungan nyawa.
Setiap tahun, Presiden Amerika Serikat, setelah berkonsultasi dengan
Kongres dan agen federal, menentukan negara-negara yang ditunjuk dan
memproses prioritas untuk pemukiman kembali pengungsi pada tahun yang akan
datang. Presiden juga menetapkan langit-langit tahunan mengenai jumlah
pengungsi yang dapat memasuki A.S. dari setiap wilayah di dunia.

71
Universitas Sumatera Utara

Saat ini, ada sembilan agen pengungsi A.S. dengan lebih dari 300 situs
lokal dan afiliasinya yang membantu pengungsi baru menetap ke komunitas lokal.
Organisasi-organisasi ini adalah Church World Service, Dewan Pengembangan
Komunitas Etiopia, Kementerian Migrasi Episkopal, HIAS, Komite Penyelamatan
Internasional, Layanan Imigrasi dan Pengungsi Lutheran, Komite Pengungsi dan
Imigran AS, Konferensi Uskup / Pelayanan Migrasi dan Pengungsi Amerika
Serikat, dan Dunia Bantuan. Mereka semua memiliki Perjanjian Kerjasama
dengan Departemen Luar Negeri untuk menempatkan kembali pengungsi.
Sejak tahun 1975, Amerika Serikat telah menerima lebih dari 3 juta
pengungsi, dengan angka penerimaan tahunan berkisar antara 207.000 pada tahun
1980 sampai tingkat terendah 27.110 di tahun 2002.
Pada Perang Dunia II juga, Amerika Serikat dibanjiri oleh pengungsi
Yahudi yang menjadi korban kekejaman Adolf Hitler. Berikut adalah sejarah
Penerimaan kaum Yahudi oleh Amerika Serikat dari kekejaman Hitler 74:
Amerika Serikat berupaya menyelamatkan kaum Yahudi dari Holocaust
setelah perang telah berlangsung cukup lama. Pada bulan Januari 1944, Sekretaris
Keuangan, Henry Morgenthau, Jr., membujuk Presiden Franklin D. Roosevelt
untuk membentuk Dewan Pengungsi Perang.
Walaupun laporan-laporan terverifikasi tentang pembunuhan massal kaum
Yahudi telah diterima Departemen Luar Negeri AS pada tahun 1942, kalangan
pejabat bergeming. Selama perang, Departemen Luar Negeri berkukuh bahwa
cara terbaik menyelamatkan para korban dari kebijakan Nazi Jerman adalah
dengan memenangkan perang secepat mungkin.
74

https://www.ushmm.org/outreach/id/article.php?ModuleId=10007749 diakses tanggal
31 Mei 2017.

72
Universitas Sumatera Utara

Dewan Pengungsi Perang bekerja sama dengan organisasi-organisasi
Yahudi, para diplomat dari negara-negara netral, dan kelompok-kelompok
perlawanan di Eropa untuk menyelamatkan kaum Yahudi dari wilayah-wilayah
kependudukan dan menyediakan bantuan bagi para tahanan di kamp-kamp
konsentrasi Nazi. Upaya penyelamatan Dewan Pengungsi Perang yang paling
ekstensif dipimpin oleh Raoul Wallenberg, seorang diplomat Swedia yang
berdinas di Budapest, Hungaria. Wallenberg membantu melindungi puluhan ribu
orang Yahudi Hungaria agar tidak dideportasi ke Auschwitz dengan cara
membagi-bagikan paspor Swedia yang memberikan perlindungan. Karena Swedia
merupakan negara netral, Jerman tidak bisa begitu saja berbuat semena-mena
terhadap warga Swedia. Wallenberg juga mendirikan rumah sakit, tempat
penitipan anak, dan dapur umum bagi kaum Yahudi di Budapest.
Dewan

Pengungsi

Perang

memainkan

peranan

krusial

dalam

menyelamatkan sebanyak 200.000 orang Yahudi. Akan tetapi, sejumlah kalangan
masih bertanya-tanya berapa banyak lagi orang Yahudi yang masih bisa
diselamatkan seandainya misi penyelamatan dilakukan lebih awal. Raoul
Wallenberg menghilang saat pembebasan Budapest oleh Uni Soviet. Dia terakhir
kali terlihat bersama pasukan Soviet pada tanggal 17 Januari 1945. Sepuluh tahun
kemudian, Uni Soviet mengakui bahwa dia telah ditangkap dan menyatakan
bahwa dia meninggal di penjara pada tahun 1947.
Jadi, sebenarnya sejak lama Amerika telah terbuka untuk kedatangan
pengungsi, bahkan di masa kepemimpinan Barrack Obama. Tetapi kini Donald
Trump menutup rapat pintu Amerika untuk para pengungsi melalui Perintah
Eksekutifnya, meskipun telah ditolak oleh Hakim Federal di Amerika.

73
Universitas Sumatera Utara

B. Kebijakan Donald Trump dikaitkan dengan Konvensi 1951 tentang
Status Pengungsi dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi
Kebijakan Donald Trump bukan hanya menyakiti hati para pengungsi
yang terdampak untuk masuk ke Amerika, namun kebijakannya sungguh melukai
semangat dunia Internasional yang selalu menggaungkan semangat Hak Asasi
Manusia. Namun , kali ini Donald Trump telah jelas-jelas mengabaikan semangat
tersebut dan seolah tidak memperdulikan nasib tidak beruntung yang menimpa
para pengungsi.
Trump di dalam mengeluarkan perintah eksekutifnya ini menyatakan
bahwa perintah eksekutifnya adalah karena alasan keamanan di Amerika Serikat.
Meskipun alasan ini masih belum ada bukti kuat untuk mendukungnya dan
mengingat yang telah kita bahas pada bahasan diatas bahwa Amerika merupakan
pihak di dalam Protokol 1967 dan bahkan telah meratifikasi Protokol tersebut,
maka sudah seharusnya Donald Trump sadar betul akan hal tersebut.
Ada sebuah fakta yang menarik juga, dimana Amerika Serikat sendiri
tidak meratifikasi Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian seperti yang
dikutip dari lamanresmi Departemen Negara Amerika Serikat: 75
“Is the United States a party to the Vienna Convention on the Law of Treaties?
No. The United States signed the treaty on April 24, 1970. The U.S. Senate has not
given its advice and consent to the treaty. The United States considers many of the
provisions of the Vienna Convention on the Law of Treaties to constitute
customary international law on the law of treaties.”

75

https://www.state.gov/s/l/treaty/faqs/70139.htm diakses tanggal 31 Mei 2017.

74
Universitas Sumatera Utara

Dari kutipan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Amerika Serikat hanya
menandatangani Konvensi tersebut namun tidak meratifikasinya karena mereka
menganggap banyak dari isi Konvensi Wina tersebut pada dasarnya merupakan
kebiasaan Internasional. Maka artinya, mereka seharusnya telah paham betul
dengan arti daripada sebuah perjanjian di dalam kebiasaan Hukum Internasional.
De